• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Senin, 10 Maret 2025

Beberapa Kesalahan Dalam Shalat

Bagikan

Daftar Isi :

  1. Hukum Salam-salaman setelah Shalat
  2. Sujud syukur setiap selesai Shalat
  3. Telat Mengikuti Gerakan Imam
  4. Derajat Hadits Mengusap Wajah Setelah Berdoa

1.Hukum Salam-salaman setelah Shalat

Perkara Ibadah Butuh Dalil

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami bahwa dalam menetapkan suatu ibadah atau suatu tata cara dalam beribadah, butuh landasan hukum yang valid berupa dalil yang shahih. Baik ibadah yang berupa perkataan maupun perbuatan, harus dilandasi oleh nash dari Allah ataupun dari Rasulullah yang termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun sekedar perkataan seseorang “ini adalah ibadah” atau “ini baik dan bagus” ini bukan landasan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Selain itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika khutbah Jum’at atau khutbah yang lain beliau bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)

Sehingga para ulama memahami dari dalil-dalil ini bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang mengesahkannya.

Fatwa Para Ulama Tentang Salam-Salaman Setelah Shalat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab: “salam-salaman yang demikian (rutin setelah shalat) tidak kami ketahui asalnya dari As Sunnah atau pun dari praktek para sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Namun seseorang jika bersalaman setelah shalat bukan dalam rangka menganggap hal itu disyariatkan (setelah shalat), yaitu dalam rangka mempererat persaudaraan atau menumbuhkan rasa cinta, maka saya harap itu tidak mengapa. Karena memang orang-orang sudah biasa bersalaman untuk tujuan itu. Adapun melakukannya karena anggapan bahwa hal itu dianjurkan (setelah shalat) maka hendaknya tidak dilakukan, dan tidak boleh dilakukan sampai terdapat dalil yang mengesahkan bahwa hal itu sunnah. Dan saya tidak mengetahui bahwa hal itu disunnahkan” (Majmu’ Fatawa War Rasa-il, jilid 3, dinukil dari http://ar.islamway.net/fatwa/18117).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “pada asalnya bersalam-salaman itu disyariatkan ketika bertemu antar sesama muslim. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menyalami para sahabat nya jika bertemu dan para sahabat juga jika saling bertemu mereka bersalaman. Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Asy Sya’bi mengatakan:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika saling bertemu mereka bersalaman, dan jika mereka datang dari safar mereka saling berpelukan”

Dan terdapat hadits shahih dalam Shahihain, bahwa Thalhah bin ‘Ubaidillah (salah satu dari 10 sahabat yang dijamin surga) datang dari pengajian bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Ka’ab bin Malik radhiallahu’anhu yaitu ketika Ka’ab bertaubat kepada Allah (atas kesalahannya tidak ikut jihad, pent.). Thalhah pun bersalaman dengannya dan memberinya selamat atas taubatnya tersebut. Ini (budaya salaman) adalah perkara yang masyhur diantara kaum Muslimin di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun sepeninggal beliau.

Dan terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

ما من مسلمين يتلاقيان فيتصافحان إلا تحاتت عنهما ذنوبهما كما يتحات عن الشجرة ورقها

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon”

Maka dianjurkan bersalam-salaman ketika bertemu di masjid atau di shaf. Jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, maka hendaknya setelahnya sebagai bentuk keseriusan mengamalkan sunnah yang agung ini. Diantara hikmahnya juga ia dapat menguatkan ikatan cinta dan melunturkan kebencian. Namun, jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, disyariatkan untuk bersalaman setelah shalat yaitu setelah membaca dzikir-dzikir setelah shalat (yang disyariatkan).

Adapun yang dilakukan sebagian orang yang segera bersalam-salaman setelah selesai shalat fardhu yaitu setelah salam yang kedua, maka saya tidak mengetahui asal dari perbuatan ini. Bahkan yang tepat, ini hukumnya makruh karena tidak ada dalilnya. Karena yang disyariatkan bagi orang yang shalat dalam kondisi ini adalah segera membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setiap selesai shalat fardhu.

Adapun shalat sunnah, juga disyariatkan untuk bersalaman setelah salam, jika memang belum sempat bersalam ketika sebelum shalat. Jika sudah salaman sebelum shalat maka sudah cukup (tidak perlu salaman lagi).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 11, dinukil dari http://www.binbaz.org.sa/mat/951).

Sebagian Ulama Membolehkan?

Memang benar sebagian ulama membolehkan ritual bersalam-salaman setelah shalat. Namun perlu kami ingatkan, bahwa perkataan ulama bukanlah dalil dan dalam menetapkan suatu tata cara ibadah itu membutuhkan dalil. Para ulama berkata:

أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Asy Syafi’i berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Dan dalam menyikapi pendapat-pendapat para ulama yang berbeda, kita wajib kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

Diantara ulama yang membolehkan hal ini adalah Imam An Nawawi rahimahullah, beliau berkata, “ketahuilah bahwa bersalam-salam adalah sunnah dalam setiap kali pertemuan. Dan apa yang dibiasakan orang setelah shalat subuh dan shalat ashar itu tidak ada asalnya dari syariat, dari satu sisi. Namun perbuatan ini tidak mengapa dilakukan. Karena asalnya bersalam-salaman itu sunnah dan keadaan mereka yang merutinkan salam-salaman pada sebagian waktu dan menambahnya pada kesempatan-kesempatan tertentu, ini tidak keluar dari hukum sunnahnya bersalam-salaman yang disyariatkan secara asalnya. Ia merupakan bid’ah mubahah” (dinukil dari Mirqatul Mafatih, 7/2963).

Al Mula Ali Al Qari rahimahullah (wafat 1014H ) menjawab pendapat An Nawawi ini, “tidak ragu lagi bahwa perkataan Al Imam An Nawawi ini mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Karena melakukan sunnah pada sebagian waktu tidak dinamakan bid’ah. Sedangkan kebiasaan orang-orang melakukan salam-salaman pada dua waktu yang disebutkan (setelah subuh dan ashar) bukanlah dalam bentuk yang disunnahkan oleh syariat. Oleh karena itu sebagian ulama kita telah menegaskan bahwa perbuatan ini makruh jika dilukan pada waktu tersebut. Nah, jika seseorang masuk masjid dan orang-orang sudah shalat atau sudah akan segera dimulai, maka setelah shalat selesai andaikan mau bersalaman itu dibolehkan. Namun dengan syarat, memberikan salam terlebih dahulu sebelum salaman. Maka yang seperti ini barulah termasuk bentuk salaman yang disunnahkan tanpa keraguan” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).

Sehingga jelaslah bahwa dalam hal ini, pendapat Imam An Nawawi rahimahullah tidak lah tepat.

Jika Ada Yang Menyodorkan Tangan Untuk Salaman Setelah Shalat

Di atas telah dijelaskan bahwa salam-salaman setelah shalat jika dilakukan dengan anggapan itu ritual yang dianjurkan ini adalah perbuatan yang tidak ada asalnya dari syariat, dan semestinya ditinggalkan. Namun, jika ada jama’ah yang menyodorkan tangan untuk bersalam-salaman setelah shalat hendaknya tidak ditolak atau didiamkan. Al Mula Ali Al Qari rahimahullah berkata, “walaupun demikian, jika seorang ada Muslim menyodorkan tangannya untuk bersalaman (setelah shalat), maka jangan ditolak dengan menarik tangan. Karena hal ini akan menimbulkan gangguan yang lebih besar dari pada maslahah menjalankan adab (sunnah). Intinya, orang yang memulai salaman dengan anggapan itu disyariatkan, baginya makruh, namun tidak makruh bagi yang terpaksa menerima salamnya. Walaupun yang demikian ini terkadang ada unsur tolong-menolong dalam perkara bid’ah, wallahu a’lam.” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).

Dan dalam keadaan tersebut hendaknya kita juga bersemangat untuk menasehati orang yang mengajak kita salaman tersebut dengan cara yang hikmah dan santun, jika memang memungkinkan. Nasehat dengan tangan, jika tidak mungkin, maka dengan lisan, jika tidak mungkin, minimal dengan hati.

Adapun jika seseorang menyodorkan tangan untuk salaman karena memang belum sempat salaman sebelum shalat, bukan dengan anggapan perbuatan ini disyariatkan, maka sepatutnya sodoran tangan tadi disambut tanpa perlu ragu.

Semoga bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/20491-hukum-salam-salaman-setelah-shalat.html
Kembali ke menu/atas
2. Sujud syukur setiap selesai Shalat

Pertanyaan:
Saudaraku, saya pernah sujud syukur setiap selesai shalat dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat yang Ia berikan kepadaku berupa penglihatan, pendengaran, dan lainnya. Lalu aku tinggalkan kebiasaan itu karena khawatir itu adalah perbuatan bid’ah, sebab Rasul kita Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah melakukan hal tersebut. Apa nasehat anda kepada saya, jazaakumullah khayr.

Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد

Keputusan anda untuk meninggalkan kebiasaan sujud syukur tiap selesai shalat adalah keputusan yang benar. Karena sujud syukur itu disyari’atkan ketika mendapat nikmat yang besar atau ketika terhindar dari bencana. Adapun selain itu, tidak disyariatkan. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu senantiasa melimpahkan nikmat kepada hamb-Nya tanpa bisa terhitung serta terus-menerus tanpa henti.

Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’, yang merupakan kitab fiqih madzhab Syafi’i, beliau berkata :

قال الشافعي والأصحاب: سجود الشكر سنة عند تجدد نعمة ظاهرة واندفاع نقمة ظاهرة، سواء خصته النعمة والنقمة أو عمت المسلمين… ولا يشرع السجود لاستمرار النعم، لأنها لا تنقطع

“Imam Asy Syafi’i dan murid-murid beliau berkata, sujud syukur hukumnya sunnah dilakukan ketika mendapatkan nikmat yang besar atau ketika terhindar dari musibah yang besar. Baik nikmat dan bencana yang khusus bagi seseorang, maupun yang dialami kaum muslimin pada umumnya. Namun tidak disyariatkan sujud syukur untuk nikmat yang terus-menerus, karena nikmat dari Allah itu tidak pernah putus“.

Wallahu’alam

Sumber: http://islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=103772

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/10603-sujud-syukur-setiap-selesai-shalat.html
Kembali ke menu/atas
3. Telat Mengikuti Gerakan Imam 

Pertanyaan :

Apa hukum makmum yang tidak mengikuti gerakan imam secara langsung ketika shalat?  Seperti ketika imam berpindah dari posisi ruku’ ke posisi i’tidal. Akan tetapi makmum menunggu beberapa saat dan baru berdiri ketika imam sudah mau sujud. Apa hukumnya jika hal tersebut dilakukan ketika tasyahhud, yakni apakah dibolehkan bagi seorang makmum untuk menunda melakukan salam setelah imam salam?

Jawab:

Sesungguhnya, seorang makmum wajib mengikuti imam dalam setiap gerakan shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا ركع فاركعوا، وإذا رفع فارفعوا، وإذا صلى جالسا فصلوا جلوساً.

“Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti. Jika imam ruku, maka rukulah. Jika imam berdiri, maka berdirilah. Jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah dalam keadaan duduk pula” (HR. Muslim).

An Nawawi berkata dalam dalam Syarah Shahih Muslim: Baidhowi dan yang lainnya berkata: “kata الائتمام adalah menuruti atau mengikuti. Yakni seseorang yang diangkat menjadi imam wajib untuk dituruti dan diikuti. Di antara cara mengikuti imam adalah dengan tidak mendahuluinya, atau menyamai gerakannya atau lebih maju posisinya daripada imam. Akan tetapi menjaga posisinya dan melakukan gerakan berdasarkan gerakan imam.

Perlu diketahui bahwasanya seorang makmum harus melakukan gerakan setelah imam bergerak, dan tidak boleh mendahuluinya atau menyamai gerakannya. Mengenai tata cara mengikuti imam, para ahli fikih telah menerangkannya. Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya Al Mughni, “Dianjurkan bagi seorang makmum untuk memperhatikan gerakan dalam melakukan shalat, baik ketika hendak naik atau turun. Seorang makmum harus melakukannya setelah imam sudah pada posisinya. Serta merupakan hal yang makruh jika seorang makmum melakukan gerakan bersamaan dengan gerakan imam, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama.”

An Nawawi berkata dalam kitabnya Al Majmu’, “Yang dimaksud mengikuti imam adalah dengan melakukan gerakan sebagaimana imam, yakni memulai setiap gerakan dalam posisi terakhir setelah imam memulainya, dan makmum melakukan gerakan setelah imam sudah pada posisinya.”

Syaikh Ahmad Ad Dardiir, pensyarah Mukhtashor Kholil yang merupakan kitab rujukan Fikih Maliki berkata ketika menerangkan shalat jamaah, “Menyamakan waktu gerakan antara imam dan makmum di dalam gerakan-gerakan shalat adalah suatu yang dimakruhkan jika dilakukan selain untuk takbiratul ihram dan salam. Beliau pun mengatakan bahwa merupakan hal yang dianjurkan bagi makmum untuk melakukan gerakan setelah imam dan menyusul gerakan imam.”

Ad Dasuqi berkata bahwasanya ‘Iyad mengatakan, “Terjadi perselisihan di kalangan ulama mengenai mengikuti imam selain gerakan takbiratul ihram dan salam, apakah mengikutinya setelah imam memulai gerakan atau ketika imam telah pada posisi sempurna dari gerakannya.”

Mengenai pertanyaan di atas, maka sang penanya menggambarkan mengenai imam yang memberikan kesempatan kepada makmum untuk memperlama gerakan. Maka jika memperlama gerakan tersebut sesuai dengan  waktu yang dibutuhkan imam untuk menyempurnakan rukun-rukun shalat, hal itulah yang dibenarkan dan telah mengikuti sunnah insya Allah. Dalam Shahih Muslim dari Baro’ bahwasanya para sahabat ketika shalat bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, pada saat beliau ruku’, mereka pun ruku’, ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ kemudian mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, kami pun mengikutinya, dan tidaklah kami turun dari posisi berdiri sampai kami melihat Rasulullah meletakkan wajahnya ke tanah, lalu kami mengikutinya.

[07.09, 18/3/2022] Sukar: Syaikh Ahmad Ad Dardiir, pensyarah Mukhtashor Kholil yang merupakan kitab rujukan Fikih Maliki berkata ketika menerangkan shalat jamaah, “Menyamakan waktu gerakan antara imam dan makmum di dalam gerakan-gerakan shalat adalah suatu yang dimakruhkan jika dilakukan selain untuk takbiratul ihram dan salam. Beliau pun mengatakan bahwa merupakan hal yang dianjurkan bagi makmum untuk melakukan gerakan setelah imam dan menyusul gerakan imam.”

Ad Dasuqi berkata bahwasanya ‘Iyad mengatakan, “Terjadi perselisihan di kalangan ulama mengenai mengikuti imam selain gerakan takbiratul ihram dan salam, apakah mengikutinya setelah imam memulai gerakan atau ketika imam telah pada posisi sempurna dari gerakannya.”

Mengenai pertanyaan di atas, maka sang penanya menggambarkan mengenai imam yang memberikan kesempatan kepada makmum untuk memperlama gerakan. Maka jika memperlama gerakan tersebut sesuai dengan  waktu yang dibutuhkan imam untuk menyempurnakan rukun-rukun shalat, hal itulah yang dibenarkan dan telah mengikuti sunnah insya Allah. Dalam Shahih Muslim dari Baro’ bahwasanya para sahabat ketika shalat bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, pada saat beliau ruku’, mereka pun ruku’, ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ kemudian mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, kami pun mengikutinya, dan tidaklah kami turun dari posisi berdiri sampai kami melihat Rasulullah meletakkan wajahnya ke tanah, lalu kami mengikutinya.

Adapun mengakhirkan salam setelah imam melakukan salam, maka hal ini adalah hal yang makruh menurut sebagian ulama dan sebagian yang lainnya menyatakan tidak boleh. At Tilmisani mengatakan dalam kitabnya Muwaahibul Jaliil, “Tidak diperbolehkan bagi seorang makmum setelah salamnya imam untuk menyibukkkan dirinya dengan berdoa atau selainnya.”

Akan tetapi hal ini bukan berarti makmum boleh salam sebelum menyelesaikan doa tasyahuddnya dalam shalat. Justru hal tersebut diwajibkan bagi makmum untuk menyelesaikannya walaupun imam telah salam, berdasarkan hadits yang mengatakan wajibnya tasyahhud. Wallahu a’lam.

Sumber fatwa:

http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=53974

Penerjemah: Rian Permana
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/10513-telat-mengikuti-gerakan-imam.html
Kembali ke menu/atas
4. Derajat Hadits Mengusap Wajah Setelah Berdoa

Mengusap wajah setelah berdoa diperselisihkan para ulama hukumnya. Perselisihan tersebut berporos pada derajat hadits yang menjadi dasar sebagian ulama yang membolehkan atau menganjurkan. Sebagian ulama menganggap hadits-hadits yang ada dalam bab ini adalah hadits lemah, sedangkan sebagian ulama lain memandang hadits-hadits tersebut saling menguatkan sehingga derajatnya naik menjadi hasan. Berikut ini pembahasan singkat mengenai derajat hadits mengusap wajah setelah berdoa.

Hadits 1

Dikeluarkan At Tirmidzi dalam Sunan-nya (3386), Al Hakim dalam Al Mustadrak (1967), Al Bazzar dalam Musnad-nya (129), dan yang lainnya, semuanya dari jalan Hammad bin Isa Al Juhani:

حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِيُّ ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ الْجُمَحِيِّ ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ “

Hammad bin Isa Al Juhani menuturkan kepadaku, dari Hanzhalah bin Abi Sufyan Al Jumahi, dari Salim bin Abdillah, dari ayahnya dari Umar bin Al Khathab radhiallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya saat berdo’a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap wajahnya terlebih dahulu dengan kedua telapak tangannya”

Sanad ini lemah karena terdapat perawi Hammad bin Isa Al Juhani.

  • At Tirmidzi mengatakan: “haditsnya sedikit”
  • Abu Hatim Ar Razi mengatakan: “dha’iful hadits”
  • Al Hakim mengatakan: “ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash Shadiq”
  • Ibnu Hajar mengatakan: “dha’if”
  • Al Bazzar mengatakan: “layyinul hadits”
  • Abu Daud As Sijistani mengatakan: “dha’if, ia meriwayatkan hadits-hadits munkar”
  • Ibnu Ma’in mengatakan: “seorang syaikh yang shalih”

Dari keterangan-keterangan di atas, jelas bahwa Hammad adalah perawi yang lemah, sehingga sanad ini lemah. Namun masih dimungkinkan untuk menjadi syahid (penguat).

Hadits 2

Dikeluarkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1181, 3866),

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ ، قَالَا : حَدَّثَنَا عَائِذُ بْنُ حَبِيبٍ ، عَنْ صَالِحِ بْنِ حَسَّانَ الْأَنْصَارِيِّ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ ، وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا ، فَإِذَا فَرَغْتَ ، فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ “

Abu Kuraib dan Muhammad bin Ash Shabbah menuturkan kepadaku, mereka berdua berkata: ‘A-idz bin Habib menuturkan kepadaku, dari Shalih bin Hassan Al Anshari, dari Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “jika engkau berdoa kepada Allah maka berdoalah dengan telapak tanganmu dan bukan dengan punggung tanganmu. Dan jika engkau selesai, maka usaplah wajahmu dengan keduanya”

Sanad ini juga lemah karena terdapat perawi Shalih bin Hassan Al Anshari.

Al Baihaqi berkata: “dhaif”Abu Hatim Ar Razi berkata: “dhaiful hadits, munkarul hadits”Abu Nu’aim Al Asbahani mengatakan: “munkarul hadits, matruk”Ahmad bin Hambal mengatakan: “laysa bi syai’”Ibnu Hajar Al Asqalani dan An Nasa’i mengatakan: “matrukul hadits”Al Bukhari mengatakan: “munkarul hadits”Adz Dzahabi mengatakan: “jama’ah telah mendhaifkannya”

Dari keterangan-keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa Shalih bin Hassan Al Anshari adalah perawi yang matruk dan tidak bisa menjadi penguat.

Hadits 3

Dikeluarkan Ahmad dalam Musnad-nya (17943), Abu Daud dalam Sunan-nya (1492),

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ، عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ “

Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, Ibnu Lahi’ah menuturkan kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika berdoa beliau mengangkat kedua tangannya untuk mengusap wajahnya dengan keduanya.

Sanad ini lemah karena memiliki 2 masalah:

Perawi Ibnu Lahi’ah diperselisihkan statusnya. Mayoritas ulama mendhaifkannya, dan inilah yang pendapat yang kuat. Terlebih lagi dalam sanad ini, hadits Ibnu Lahi’ah tidak diriwayatkan oleh salah satu Al Abadilah Al Arba’ah. Penjelasan lebih lebar mengenai Ibnu Lahi’ah silakan baca pada tulisan kami mengenai hadits “Berdzikirlah Sampai Dikatakan Gila”.Perawi Hafsh bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash. Ibnu Hajar Al Asqalani dan Adz Dzahabi mengatakan: “majhul”. Dan yang meriwayatkan dari Hafsh bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash hanya Ibnu Lahi’ah yang statusnya lemah, maka jelas bahwa majhul di sini maksudnya adalah majhul ‘ain.

Dengan demikian sanad ini juga tidak bisa menjadi penguat.

Hadits 4

Dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir (13557),

حَدَّثَنَا عُبَيْدٌ الْعِجْلِيُّ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرَوَيْهِ الْهَرَوِيُّ , ثنا الْجَارُودُ بْنُ يَزِيدَ , ثنا عُمَرُ بْنُ ذَرٍّ , عَنْ مُجَاهِدٍ , عَنِ ابْنِ عُمَرَ , قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي أَنْ يَرْفَعَ الْعَبْدُ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا لا خَيْرَ فِيهِمَا , فَإِذَا رَفَعَ أَحَدُكُمْ يَدَيْهِ , فَلْيَقُلْ : يَا حَيُّ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ , ثُمَّ إِذَا رَدَّ يَدَيْهِ فَلْيُفْرِغْ ذَلِكَ الْخَيْرَ إِلَى وَجْهِهِ “

Ubaid Al ‘Ijli menuturkan kepada kami, Muhammad bin ‘Amrawaih Al Harawi menuturkan kepada kami, Al Jarud bin Yazid menuturkan kepada kami, Umar bin Dzarr menuturkan kepada kami, dari Mujahid dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “sesungguhnya Rabb kalian itu Maha Pemalu dan Pemurah. Ia malu jika hamba-Nya mengangkat kedua tangannya lalu Ia membalasnya dengan kehampaan tanpa kebaikan sedikitpun. Maka jika salah seorang dari kalian berdoa, ucapkanlah: yaa hayyu laa ilaaha illa anta, yaa arhamar raahimiin, sebanyak 3x. Lalu jika ingin mengembalikan kedua tangan, telungkupkanlah kebaikan (yang ada di tangannya) ke wajahnya”.

Sanad ini lemah karena perawi Al Jarud bin Yazid.

Abu Hatim Ar Razi berkata: “munkarul hadits, tidak ditulis haditsnya”An Nasa-i berkata: “matrukul hadits”Ad Daruquthni berkata: “matruk”Hammad bin Usamah Al Kufi berkata: “ia tertuduh sebagai pendusta”Al Bukhari berkata: “munkarul hadits”Ibnu Hibban berkata: “ia bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits munkar, dan ia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada asalnya dari para perawi tsiqah”

Dari sini jelas bahwa Al Jarud bin Yazid sangat lemah dan sanad ini tidak bisa menjadi penguat.

Kesimpulan

Hadits Umar bin Al Khathab adalah yang kualitasnya paling bagus dalam bab ini, namun tetap saja ia riwayat yang lemah. Sedangkan jalan-jalan yang lain kelemahannya lebih parah dan tidak bisa menjadi penguat. Maka dari keterangan-keterangan di atas, hadits-hadits mengenai mengusap wajah setelah berdoa adalah hadits-hadits yang lemah dan tidak dapat saling menguatkan. Sehingga tidak bisa menjadi sandaran untuk amalan mengusap wajah setelah berdoa. Karena amalan ibadah hanya bisa ditetapkan oleh hadits yang maqbul.

Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ: فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ أَوْ حَدِيثَانِ لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“adapun mengenai Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkat tangan dalam berdoa, ini telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Sedangkan mengusap wajah, maka tidak ada kecuali satu atau dua hadits saja yang tidak bisa menjadi hujjah. Wallahu a’lam” (Majmu’ Al Fatawa, 22/519).

Ini adalah logika yang cerdas dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pernyataan ini disebutkan dan diperluas lagi oleh Syaikh Al Albani rahimahullah:

وأما مسحهما به خارج الصلاة فليس فيه إلا هذا الحديث والذى قبله ولا يصح القول بأن أحدهما يقوى الآخر بمجموع طرقهما ـ كما فعل المناوى ـ لشدة الضعف الذى فى الطرق , ولذلك قال النووى فى ” المجموع “: لا يندب ” تبعا لابن عبد السلام , وقال: لا يفعله إلا جاهل. ومما يؤيد عدم مشروعيته أن رفع اليدين فى الدعاء قد جاء فيه أحاديث كثيرة صحيحة وليس فى شىء منها مسحهما بالوجه فذلك يدل ـ إن شاء الله ـ على نكارته وعدم مشروعيته

“adapun mengusap wajah (setelah doa) di luar shalat, maka tidak ada hadits kecuali ini dan yang sebelumnya. Dan tidak benar bahwa hadits-haditsnya saling menguatkan dengan banyaknya jalan (sebagaimana dikatakan oleh Al Munawi) karena terlalu beratnya kelemahan yang ada pada jalan-jalannya. Oleh karena itu Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ mengatakan: ‘hukumnya tidak disunnahkan‘, juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abdissalam (ulama Syafi’iyyah): ‘tidak ada yang melakukannya kecuali orang jahil‘.

Dan yang lebih menguatkan lagi bahwa hal tersebut tidaklah disyariatkan adalah bahwasanya mengangkat tangan dalam dia telah ada dalam banyak hadits shahih, namun tidak ada satupun di dalamnya yang menyebukan tentang mengusap wajah. Maka ini insya Allah menunjukkan pengingkaran terhadap perbuatan tersebut dan menunjukkan itu tidak disyariatkan” (Irwa Al Ghalil, 2/182).

Wallahu a’lam bis shawab.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/26976-derajat-hadits-mengusap-wajah-setelah-berdoa.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M