Fiqih Hadd Sariqah (Mencuri)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Di antara hal penting yang diperintahkan oleh agama Islam untuk menjaganya adalah harta. Islam telah memerintahkan supaya memperoleh harta tersebut dengan cara yang halal (pada dasarnya segala sesuatu diperbolehkan), dan melarang memperolehnya dengan cara yang haram. Islam juga telah menjelaskan berbagai jenis usaha yang haram, sebagaimana yang Allah firmankan:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“… Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu…” [Al-An’aam/6: 119]
Termasuk dari usaha yang haram adalah mencuri. Yaitu mengmbil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi dan tanpa diketahui.
Perbuatan ini termasuk dari dosa besar, dan hukumannya telah ditetapkan dalam al-Qur-an, as-Sunnah dan Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka ker-jakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Al-Maa-idah/5 : 38]
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotong (tangan) pencuri baju besi seharga tiga dirham. [1]
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “Para ahli fiqih telah sepakat bahwa pemotongan tangan pencuri wajib dilaksanakan apabila dua orang muslim yang adil dan merdeka bersaksi atas pencurian tersebut.”[2]
Apabila seorang yang baligh, berakal, dan dalam keadaan tidak terpaksa mencuri, maka ia wajib mendapat hukum hadd dengan adanya pengakuan darinya atau kesaksian dua orang yang adil.
Disyaratkan pula pada harta yang dicuri, hendaknya mencapai satu nishab dan dalam keadaan terjaga (disimpan).
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِي رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا.
“Tidaklah dipotong tangan pencuri kecuali pada (harta senilai) seperempat dinar atau lebih.”[3]
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “Para ahli fiqih telah sepakat bahwa pemotongan tangan hanya berlaku bagi orang yang mencuri harta dari tempat penyimpanan.”[4]
Adapun yang dimaksud tempat penyimpanan adalah setiap benda yang dapat digunakan sebagai tempat untuk menjaga dan menyimpan harta, seperti rumah yang tertutup (terkunci), lemari, lokasi yang tertutup, dan lain sebagainya.
Pengarang kitab ar-Raudhatun Nadiyyah” (II/277) berkata, “Tempat penyimpanan adalah tempat yang dianggap oleh masya-rakat sebagai tempat untuk menyimpan suatu benda. Sebagaimana lumbung adalah tempat untuk menyimpan gandum, kandang un-tuk binatang ternak, palang untuk kambing dan jarin[5] untuk buah-buahan.”
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ أَصَابَ بِفِيهِ مِنْ ذِيْ حَاجَةٍ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ وَمَنْ خَرَجَ بِشَيْءٍ مِنْهُ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ، وَمَنْ سَرَقَ مِنْهُ شَيْئًا بَعْدَ أَنْ يُؤْوِيَهُ الْجَرِيْنُ فَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ.
“Barangsiapa yang terpaksa mencuri untuk dimakan tanpa menyembunyikannya, maka itu tidak mengapa baginya (tidak ada hukum potong tangan). Namun barangsiapa keluar (dari kebun, ladang, dsb) dengan sesuatu, maka ia wajib membayar denda dua kali lipat. Dan barangsiapa mencuri dari buah-buahan tersebut setelah dimasukkan dalam jariin dan harganya setara dengan baju besi (yang ketika itu berharga seperempat dinar-pent.), maka ia harus dipotong tangannya.”[6]
Orang yang Dicuri Hartanya Boleh Memaafkan Pencuri Sebelum Diajukan Perkaranya kepada Hakim
Dari Shafwan bin Umayyah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari aku tidur di masjid di atas selendangku yang seharga 30 dirham. Kemudian datang seseorang dan mengambilnya dariku. Lalu laki-laki itu ditangkap dan dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memutuskan agar dipotong tangannya.” Shafwan berkata, “Kemudian aku mendatangi beliau dan aku katakan, ‘Apakah engkau akan memotong (tangan)nya hanya karena 30 dirham? Aku akan menjualnya dan aku tangguhkan pembayarannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ.
‘Andai saja (keputusanmu itu) datang sebelum engkau mendatangiku dengan laki-laki ini.’”[7]
Faedah:
Pengarang kitab ar-Raudhatun Nadiyyah (II/279) berkata, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa apabila pencuri melakukan pencuriannya untuk yang pertama kali, maka dipotong tangan kanannya, kemudian apabila mencuri lagi, dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berselisih bagaimana bila mencuri lagi setelah dipotong tangan dan kakinya. Sebagian besar dari mereka berpendapat dipotongnya tangan kiri.” Guru kami rahimahullah berkata dalam at-Ta’liqaat ar-Radhiyyah (III/298), “Menurut riwayat al-Baihaqi (VIII/284), pendapat ini benar bersumber dari Abu Bakar dan ‘Umar. Kemudian jika ia kembali mencuri, maka dipotong kaki kanannya, dan apabila masih tetap mencuri, maka ia dipukul dan dipenjarakan.”
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/97, no. 6795), Shahiih Muslim (III/ 1313, no. 1686), Sunan at-Tirmidzi (III/3, no. 1470), Sunan Abi Dawud (XII/ 51, no. 4363), Sunan an-Nasa-i (VIII/76).
[2] Al-Ijmaa’ (140/621).
[3] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/96, no. 6789), Shahiih Muslim (III/ 1312, no. 1684 (2)) dan ini lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (III/3, no. 1469), Sunan Abi Dawud (XII/51, no. 4362), Sunan an-Nasa-i (VIII/77), Sunan Ibni Majah (II/862, no. 2585).
[4] Al-Ijmaa’ (139/615).
[5] Jarin yaitu tempat penyimpanan dan pengeringan kurma dsb.
[6] Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3679)], Sunan Abi Dawud (XII/56, no. 4368), Sunan Ibni Majah (II/865-866), Sunan an-Nasa-i (85/8).
[7] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3695)], Sunan Abi Dawud (XII/62-63, no. 4371), Sunan Ibni Majah (II/865, no. 2595).
Referensi : https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html