• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Minggu, 19 Mei 2024

Fiqih Jual Beli 

Bagikan

Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.

Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).

Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.

Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).

Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).

1.Dalil Al Qur’an

Allah ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)

Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).

2.Dalil Sunnah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)

Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.

Dalil Ijma’

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).

Dalil Qiyas

Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).

Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.

Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.

Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).

Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .

Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ

“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”

Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.

Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:

  • Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)

  • Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.

Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:

  • Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
  • Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)

  • Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
  • Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)

Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

Washshalatu was salamu ‘alaa nabiyyinal mushthafa. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/222-jual-beli-dan-syarat-syaratnya.html

Daftar Isi :

  1. Jual beli emas dan perak
  2. Barang selain emas, perak, mata uang (komoditas ribawi)
  3. Solusi Akad Salam


1.Jual beli emas dan perak

Bagaimana hukum jual beli online, ada yang melalui situs web, instagram, facebook, whatsapp? Bagaimana juga hukum jual beli dengan sistem dropship?

Berikut penjelasan rincinya yang kami sarikan dari penjelasan Ustadz Erwandi Tarmizi dari buku beliau “Harta Haram Muamalat Kontemporer”.

Jual beli emas dan perak

Komoditas ribawi yang disyaratkan harus tunai dalam serah terima barang dan uang tidak dibenarkan dilakukan melalui telepon dan internet. Karena yang terjadi adalah riba nasi’ah, ada barang yang tertunda.

Dalam hadits disebutkan,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim, no. 1587)

Catatan:

  1. Komoditas ribawi adalah: (1) emas, (2) perak, (3) gandum halus, (4) gandum kasar, (5) kurma, (6) garam.
  2. Komoditas ribawi di atas dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kesamaan ‘illah (sebab), yaitu kelompok 1 adalah alat tukar (mata uang) atau sebagai perhiasan emas dan perak; kelompok 2 adalah makanan yang bisa ditakar atau ditimbang.
  3. Komoditas sesama jenis (misalnya: emas dan emas) ketika ingin dibarter harus ada dua syarat yang dipenuhi: tunai diserahterimakan dan jumlah takaran atau timbangan sama.
  4. Adapun jika berbeda jenis namun masih dalam satu ‘illah atau kelompok (misalnya: emas dan uang, atau uang rupiah dengan uang dollar), harus memenuhi syarat yaitu tunai diserahterimakan.


Contoh penukaran yang tidak bermasalah:
Penukaran mata uang asing melalui ATM, hukumnya boleh karena penukaran yang terjadi adalah tunai dengan harga kurs hari itu.
Kembali ke menu/atas
2. Barang selain emas, perak, mata uang (komoditas ribawi)

Transaksi yang berlangsung via toko online (misalnya, situs web, instagram, whats app), jual beli ini sama hukumnya dengan jual beli melalui surat menyurat. Ijab qabul yang terjadi dianggap sama dengan jual beli langsung.

Untuk bentuk kedua ini ada tiga macam kasus:

  1. Toko online memiliki barang.
  2. Toko online sebagai agen dari pemilik barang.
  3. Toko online belum memiliki barang yang ditampilkan dan juga bukan sebagai agen.

1.Toko online memiliki barang

Hukumnya sama dengan bai’ al-ghaib ‘ala ash-shifat, yaitu jual beli sesuatu yang tidak terlihat secara fisik, tetapi diterangkan mengenai sifat-sifatnya (spesifikasinya). Hukum jual beli seperti ini adalah halal karena hukum asal jual beli demikian. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

2.Toko online merupakan wakil (agen) dari pemilik barang

Toko online ini berarti sebagai wakil dan status wakil dan hukumnya sama dengan pemilik barang.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hendak pergi menuju Khaibar, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku mengucapkan salam kepada beliau, aku berkata, “Aku ingin pergi ke Khaibar.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila engkau mendatangi wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasq (1 wasq = 60 sha’) berupa kurma. Bila dia meminta bukti (bahwa engkau adalah wakilku, letakkanlah tanganmu di atas tulang bawah lehernya.” (HR. Abu Daud, hasan).

Catatan: Barang harus sudah secara penuh dimiliki oleh pemilik barang sebelum dijualkan oleh toko online yang berkedudukan sebagai wakil.

3.Pemilik toko online belum memiliki barang yang ditampilkan, juga bukan sebagai wakil (agen)

Di sini terdapat gharar karena barang bukan miliknya lantas dijual.

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أَشْتَرِي بُيُوعًا فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا ، وَمَا يُحَرَّمُ عَلَيَّ قَالَ : فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا ، فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ.

“Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan yang haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.’” (HR. Ahmad, 3:402. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari jalur lainnya, secara sanad hadits ini hasan).

Solusi syar'i:

    1. Permohonan barang bukan berarti ijab dari toko online.
    2. Kalau belum memiliki barang, tidak boleh menerima langsung akad jual beli. Barang yang dimohon bisa dibeli terlebih dahulu. Setelah itu, menjawab permohonan pembeli dengan menghubunginya. Lalu memintanya untuk mentransfer uang ke rekening miliknya. Kemudian, barang dikirimkan kepada pembeli.

 

 

 

  1. Toko online meminta khiyar syarat pada pemilik barang, di mana toko online menyaratkan untuk mengembalikan barang—misal selama tiga hari sejak barang dibeli—untuk menjaga-jaga apabila pembeli membatalkan transaksi.

Kembali ke menu/atas
3. Solusi Akad Salam

Ada solusi yang ditawarkan berupa salam haal (akad salam tunai), menurut Ustadz Erwandi Tarmizi, ini tidaklah kuat dengan alasan:

  1. Larangan hadits Hakim bin Hizam adalah seseorang datang kepada Hakim bin Hizam dan ia menginginkan barang dengan spesifikasi tertentu (bahan makanan atau kain), lalu ia membuat akad jual beli, kemudian ia mencari barang sesuai dengan spesifikasi yang diminta dan membelinya, lalu menyerahkannya kepada pembeli. Larangan ini berarti larangan melakukan akad salam tunai, sehingga akad salam tunai hukumnya tidak dibolehkan.
  2. Larangan salam akad tunai dianut oleh mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali.
  3. Menurut madzhab Hambali, jarak waktu antara akad salam dan penyerahan barang haruslah dengan waktu yang diperkirakan harganya berbeda. Karena maqshad (tujuan) dari akad salam, pembeli mendapat harga yang lebih murah, di mana ia telah menyerahkan uang tunai di muka dan barang akan diterimanya kemudian hari, dan dalam akad salam penjual mendapatkan dana segar untuk memenuhi kebutuhan usaha ataupun pribadinya. Jika akad salam dilangsungkan dalam waktu yang tiada pengaruh terhadap harga barang hilanglah maqshad akad ini.
  4. Menurut hasil muktamar divisi fikih OKI bahwa tidak boleh melakukan akad salam via online karena tidak terjadinya serah terima ra’sul maal salam di majlis akad.

Catatan:

Pendapat dalam madzhab Syafii yang masih membolehkan akad salam tunai (salam haal) dengan syarat barang tersebut ada di pasaran.

Zakariya Al-Anshary berkata, “Akad salam tunai dibolehkan. Akan tetapi, jika barang yang dipesan tidak ada, maka akad salamnya tidak sah.” (Asna Al-Mathalib, 2:124, dinukil dari Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 274, cetakan ke-23)

Referensi:

Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22, Juli 2019. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit P.T. Berkat Mulia Insani.

Diselesaikan di Darush Sholihin, Kamis pagi, 12 Syawal 1441 H, 4 Juni 2020

Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Daftar Isi :

  1. Mengenal Dropshipper
  2. Mengenal Reseller
  3. Solusinya



1.Mengenal Dropshipper

Dropship meski berasal dari dua kata, drop dan ship. Dropshipping merupakan suatu metode penjualan yang memungkinkan toko ataupun si pemilik barang tidak menyimpan stok barang yang ingin dijual.

Dengan sistem dropship, sebagai pemilik toko tidak perlu menyimpan stok barang. Ketika ada pembeli yang datang dan memesan barang ke toko, dropshipper bisa langsung memesannya ke supplier dan meminta supplier barang untuk mengirimkan barang secara langsung ke konsumen.

Lalu apa bedanya dengan makelar?

Ketika menjadi makelar, asumsinya baik pemilik barang ataupun konsumen tidak tahu kalau makelar adalah tangan kedua. Sedangkan dalam sistem dropshipper, baik pemilik barang ataupun konsumen sudah mengetahui bahwa dropshipper adalah perantara.

Dengan adanya keterbukaan semacam ini lonjakan harga yang terlalu tinggi bisa diantisipasi. Karena umumnya pemilik barang pun memberikan batasan harga kepada dropshipper untuk menjual barang-barang mereka.

Problem dan solusi sebagai dropshipper

Dropshipper tidak memiliki barang, maka akan terkena hadits menjual barang yang tidak dimiliki. Masalah dalam hal ini:

Dropshipper hanya memajang foto tidak memiliki barang.Pengiriman barang dari supplier (owner) bukan dari dropshipper, padahal di sini kondisi barang tidak diketahui.Kalau ada keluhan, misal barang

cacat, dropshipper tidak mengetahui, padahal pembeli akan menuntut pada dropshipper. Kalau dropshipper lepas tanggung jawab berarti ia zalim karena konsumen hanya tahu beli barang dari dia. Itulah manfaat dalam syariat kita disuruh memiliki barang dahulu.
Kembali ke menu/atas
2. Mengenal Reseller

Bedanya reseller dengan dropshipper adalah, bila dengan sistem dropshipping tidak perlu stok barang dan melakukan inventarisasi. Yang menggunakan sistem reseller tetap harus melakukan stok barang dan inventarisasi.

Satu-satunya persamaan reseller dan dropshipper adalah menjual barang milik orang lain. Artinya dengan kedua sistem ini tidak dimungkinkan untuk membuat dan mengembangkan brand sendiri.

Problem dan solusi bagi reseller

Reseller diharapkan memiliki barang ketika melakukan transaksi jual beli dengan pelanggan agar tidak termasuk dalam larangan jual beli barang yang tidak dimiliki.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).

Kalau belum memiliki barang, tidak boleh menerima langsung akad jual beli. Barang yang dimohon bisa dibeli terlebih dahulu. Setelah itu, menjawab permohonan pembeli dengan menghubunginya. Lalu memintanya untuk mentransfer uang ke rekening miliknya. Kemudian, barang dikirimkan kepada

pembeli.Toko online meminta khiyar syarat pada pemilik barang, di mana toko online menyaratkan untuk mengembalikan barang—misal selama tiga hari sejak barang dibeli—untuk menjaga-jaga apabila pembeli membatalkan transaksi.
Kembali ke menu/atas
3. Solusinya

Jadi reseller kalau memang punya cukup modal. Sehingga barang dibuat siap stok, lalu bisa dijual dengan harga bebas. Sehingga jika ada pembeli yang memesan cukup menerima permohonan (tidak mengikat). Resikonya, memang siap-siap menerima pembatalan. Kalau tidak punya modal untuk menyediakan barang, jadilah marketer untuk mempromosikan, tidak dropshipper.Menjadi wakil untuk supplier.

Dropshipper menjadi wakil untuk supplier

Hadits yang mendasari tentang masalah wakil adalah hadits dari ‘Urwah ibnu Abil Ja’di Al-Bariqiy radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata bahwa,

أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun dapat membeli dua kambing. Di antara dua kambing tadi, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Hadits ini jadi dalil boleh mewakilkan jual beli pada orang lain.

Hadits ini juga jadi dalil bahwa wakil tidak boleh menyalahi apa yang diminta oleh pihak yang diwakili. Misalnya, wakil tidak boleh menetapkan harga sendiri ketika menjual orang tanpa izin dari supplier.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid membicarakan tentang masalah wakil,

من وكل غيره في الشراء، فاشترى الوكيل ما وُكل فيه: صح العقد، سواء صرح فيه بأن الشراء لموكِّله، أو لم يصرح وجعله باسمه، ونزّل نفسه منزلة موكِّله.

“Siapa yang mewakilkan yang lain dalam membeli, maka si wakil boleh membeli sebagaimana yang diwakilkan untuknya, Akad tersebut sah, terserah di sini secara tegas atas nama yang membeli adalah orang yang ia wakilkan, atau ia tidak menegaskannya dan posisi ia sendiri sudah sebagai wakil.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 299918)[1]

Dropshipper bisa saja menjadi wakil, berarti yang bisa dilakukan:

Jadi wakil dari pembeli, uang diserahkan, dan mendapatkan fee. Statusnya jadi wakalah bil ujrah.

atau bisa jadi:

Jalin kerjasama dengan supplier. Biasanya dropshipper disuruh menjadi anggota, bahkan ada yang meminta uang keanggotaan.Dropshipper tidak mengapa tak memiliki stok barang.Dropshipper boleh mengiklankan barang dan mendapatkan fee dari situ, baik dengan transaksi ijarah maupun ji’alah, yang keduanya adalah bentuk mengupahi. Ijarah itu mengupahi layaknya pegawai. Ji’alah itu mengupahi dengan melihat target penjualan.Dropshipper boleh menerima pembayaran karena sebagai wakil sama posisinya seperti penjual yang sudah diizinkan.Boleh mengirim barang dari supplier ke konsumen karena sudah ada kerjasama wakalah.Dropshipper harus siap menerima komplain karena konsumen tahunya bertransaksi dengannya.

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma dinyatakan,

وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ

“Tidak boleh ada keuntungan tanpa menanggung resiko.” (HR. An-Nasai, no. 4634. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Kaidah yang patut diingat pula dan ini menurut ulama Malikiyah ketika membahas masalah pembagian keuntungan dalam syirkah al-‘inan (masing-masing memberi modal dan mereka bekerja bersama),

اِسْتِحْقَاقُ الرِّبْحِ إِمَّا بِالمَالِ أَوْ بِالعَمَلِ أَوْ بِالْتِزَامِ الضَّمَانِ

“Orang berhak mendapatkan keuntungan, karena modal, usaha, atau menanggung resiko.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 4:609)

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Diselesaikan di Perpus Darush Sholihin, 12 Dzulqa’dah 1441 H, 3 Juli 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Bagaimana hukum jual beli barang kw (tiruan), terutama yang dimaksud adalah yang menggunakan merek dagang tertentu yang sudah terdaftar resmi dan dilindungi oleh undang-undang? Ada istilahnya KW super premium (grade ori), KW super AAA, KW super, KW semi super, KW 1, dan KW 2.

Perlu diperhatikan bahwa ada tiga prinsip penting yang mesti diperhatikan dalam jual beli:

Tidak boleh mengambil hak orang lain tanpa seizinnya;Tidak boleh membohongi dan menipu publik;Tidak boleh menyelisihi aturan pemerintah yang wajib ditaati, selama itu bukan maksiat.

1.Tidak Boleh Mengambil Hak Orang Lain Tanpa Izin

Kita tidak boleh melanggar hak orang lain tanpa izin termasuk dalam masalah merek. Dalam kaedah fikih disebutkan,

لاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بِلاَ إِذْنٍ

“Tidak boleh seseorang memanfaatkan kepemilikian orang lain tanpa izinnya.” (Lihat Ad Durul Mukhtaar fii Syarh Tanwirul Abshor pada Kitab Ghoshob, oleh ‘Alaud-din Al Hashkafiy)

Di antara dalil kaedah tersebut adalah hadits berikut, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridha pemiliknya.” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi)

2.Larangan Membohongi Konsumen (Publik)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.

3.Tidak Boleh Menyelisihi Aturan Pemerintah

Jika ada aturan pemerintah, atau undang-undang yang dibuat dan sifatnya mubah, tidak menyelisihi ketentuan Allah, aturan tersebut harus dijalankan.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).

4.Undang-Undang Mengenai Merek

Mengenai perdagangan produk atau barang palsu atau yang juga dikenal dengan barang “KW”, dalam Pasal 90 – Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) diatur mengenai tindak pidana terkait merek:

# Pasal 90

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

# Pasal 91

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

# Pasal 92

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

# Pasal 93

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

# Pasal 94

(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran Dan secara tegas pula, dalam Pasal 95, UU Merek menggolongkan seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai delik aduan, bukan delik biasa. Dalam keilmuan hukum, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana dalam UU Merek diberlakukan setelah adanya laporan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain sehingga terkait delik aduan pun penyidikan kepolisian dapat dihentikan hanya dengan adanya penarikan laporan polisi tersebut oleh si pelapor sepanjang belum diperiksa di pengadilan.

Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat ditindak jika ada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari perumusan Pasal 95 UU Merek:

“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan.”

Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang palsu hanya bisa ditindak oleh pihak yang berwenang jika ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut, dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri atau pemegang lisensi (Pasal 76 dan Pasal 77 UU Merek). (Sumber: HukumOnline.Com)

Penjelasan Ulama

Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus berkata,

“Berdasarkan uraian di atas, siapa saja yang menjual produk imitasi dengan kesan seakan-akan (barang tersebut) asli maka dia bukanlah orang yang bisa dipercaya dan bukanlah seorang yang menghendaki kebaikan untuk konsumen. …

Penjual produk imitasi itu berdosa. Namun, mengingat bahwa keuntungan yang didapat tidaklah haram karena zatnya, maka penjual boleh memanfaatkannya.

Adapun terkait dengan produk imitasi yang masih tersisa, maka itu boleh dijual. Dengan syarat, calon pembeli diberitahu bahwa produk tersebut tidaklah asli. Jika setelah mengetahui kondisi barang yang sebenarnya, dia tetap mau membelinya, maka tidak masalah. Akan tetapi, jika produk imitasi sudah habis terjual, penjual hendaknya menolak untuk membantu produsen imitasi untuk menjualkan produknya.

Setiap muslim wajib bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan rezeki yang halal, karena bertakwa kepada Allah dan membuat Allah ridha adalah sebab untuk mendapatkan kemudahan dari Allah.” (PengusahaMuslim.Com)

Dr. Ustadz Erwandi Tarmizi Menjelaskan dalam Buku Harta Haram Muamalat Kontemporer

Pemalsuan merek dagang jelas merugikan berbagai pihak. Tindakan ini merugikan:

  1. Perusahaan yang dipalsukan, karena umumnya kualitas barang palsu di bawah barang yang asli, tentunya pemalsuan ini akan menurunkan citra perusahaan yang dipalsukan, selain itu juga pencurian terhadap hak perusahaan lain.
  2. Pedagang yang menjual merek dagang asli, karena ada juga barang tiruan yang dijual dengan harga jauh di bawah harga barang asli. Jelas ini adalah persaingan niaga yang tidak sehat.
  3. Pembeli, karena terkadang penjual tidak memberitahukan bahwa barang yang dijualnya palsu dan dijual dengan harga yang sama dengan harga barang asli. Seandainya pembeli tahu bahwa barang yang ditawarkan adalah palsu, kemungkinan dia tidak mau membelinya sekalipun dengan harga lebih murah. Dengan demikian pembeli telah membayar uang yang tidak ada imbalannya dari penjual, yaitu selisih antara harga barang asli dan barang tiruan. Ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil, karena pembeli tidak rida dengan barang palsu andai dia tahu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Ada juga catatan menarik dari Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi di halaman yang sama, “Pemalsuan merek dagang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin mendapat keuntungan besar dengan cara memproduksi/ membeli barang yang serupa dengan barang yang diproduksi oleh sebuah perusahaan yang terkenal, lalu memalsukan merek dagang perusahaan tersebut dan dibubuhkan pada barang tiruan. Dengan demikian pemalsu merek dagang tadi mendapat keuntungan yang besar, karena jika ia tidak memakai merek dagang perusahaan terkenal tadi, kemungkinan barangnya tidak laku atau tidak akan terjual dengan harga yang tinggi.”

Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 180-182, cetakan ke-22, Dr. Erwandi Tarmizi, M.A.

Kesimpulan

1- Siapa yang menjual barang KW (imitasi) dengan membuat kesan bahwa seakan-akan barang itu asli seperti dengan menggunakan merek terdaftar, tidaklah boleh. Penjual yang melakukan seperti itu berdosa karena melakukan penipuan.

2- Jika sudah ada keterusterangan bahwa yang dijual adalah barang KW (imitasi) dan digunakan merek yang berbeda dengan merek terdaftar, maka tidaklah termasuk pelanggaran, juga tidak melanggar aturan undang-undang.

3- Adapun jika yang dijual adalah dengan merek terdaftar dan penjual terus terang bahwa barang tersebut KW, maka ia melakukan pelanggaran: (1) melanggar hak orang lain berupa merek, (2) bagi produsen, menyelisihi peraturan pemerintah.

Untuk pembeli barang kw, bagaimana hukumnya?

Anda bisa simpulkan sendiri kira-kira ada yang dirugikan ataukah tidak jika Anda membeli barang kw. Mending qanaah saja daripada memikirkan barang kw atau ori.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Sabtu pagi, 2 Jumadal Ula 1436 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Wakaf adalah harta yang dikeluarkan seorang Muslim dari kepemilikannya karena Allah Ta’ala. Semisal seseorang menyerahkan tanahnya untuk dibangun masjid, atau menyerahkan gedung miliknya untuk digunakan sebagai sekolah Islam, dan lainnya.



1.Bolehkah harta yang sudah diwakafkan kemudian dijual?

Dalam Mausu’ah Fiqhil Islami dijelaskan:

الوقف مال أخرجه الإنسان عن ملكيته لله عز وجل، فلا يجوز التصرف فيه ببيع أو هبة ونحوهما؛ لأن البيع يفتقر إلى ملكية، والوقف لا مالك له

“Wakaf adalah harta yang dikeluarkan seorang Muslim dari kepemilikannya karena Allah Azza wa Jalla. Maka tidak boleh melakukan transaksi terhadapnya baik berupa jual-beli, hibah, ataupun semisalnya. Karena jual-beli itu membutuhkan kejelasan kepemilikan, sedangkan harta wakaf itu tidak memiliki pemilik”.

Syaikh Muhammad Ali Farkus menjelaskan:

فالأصلُ أنَّ الوقف الصحيحَ اللازمَ الذي يحصل به مقصود الوقف من الانتفاع لا يجوز بيعه ويمتنع شراؤه، ولا يُشرع التصرُّف فيه بأيِّ شيءٍ يزيل وقفيتَه، لِمَا صحَّ من حديث ابن عمر رضي الله عنهما قال: «أَصَابَ عمرُ أرضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ: يا رسولَ اللهِ، إنِّي أصَبْتُ أرضًا بخَيبَرَ لَمْ أُصِبْ مالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقتَ بِهَا. قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ: أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا، وَلاَ يُبْتَاعُ وَلاَ يُورَثُ وَلاَ يُوهَبُ. قَالَ: فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي الفُقَرَاءِ وَفِي القُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ، لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالمَعْرُوفِ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ». متفق عليه واللفظ لمسلم.

وفي رواية البخاري: «تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ: لاَ يُبَاعُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ، فتَصَدَّقَ بِهِ».

“Hukum asalnya wakaf shahih yang sifatnya lazim (tetap) yang pemanfaatannya sudah sesuai dengan wakif, tidak boleh dijual dan terlarang untuk dibeli (oleh pembeli). Dan tidak boleh ditransaksikan dengan segala jenis transaksi yang bisa menghilangkan hakekat wakafnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma beliau berkata: Umar bin Khathab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian beliau menemui Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam untuk menanyakan hal ini. Umar berkata: “Wahai Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”. Rasulullah bersabda: “Bila kau mau, kau tahan tanah tersebut dan engkau sedekahkan“. Kemudian Umar menyedekahkannya, ia tidak menjualnya, tidak mewarisinya dan tidak juga menghibahkannya. Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, para budak, orang yang berjiha sabilillah, orang dalam perjalanan (ibnu sabil) dan kepada tamu. Dan tidak dilarang bagi yang diberi kewenangan menguasai tanah wakaf itu untuk mengambil keuntungan darinya dengan cara yang ma’ruf, atau memberi

makan temannya, dengan tanpa maksud untuk menumpuk harta darinya” (Muttafaq ‘Alaih, dan ini lafadz
Muslim). Dalam riwayat Al-Bukhari: “Nabi bersabda: ‘Sedekahkan pokoknya, jangan dijual namun
boleh diinfakkan hasilnya
‘. Maka Umar pun menyedekahkannya”.

Kembali ke menu/atas
2.Bagaimana jika harta wakaf sudah tidak bisa dimanfaatkan?

Terkadang pada kondisi tertentu, harta yang sudah diwakafkan tidak bisa lagi dimanfaatkan. Misalnya masjid yang terkena gempa bumi, atau bangunan sekolah yang sudah berhenti operasionalnya, atau masjid yang ditinggalkan orang karena terlalu bising atau tempatnya tidak strategis, dan keadaan semisal itu. Pertanyaannya, bolehkah dijual?

Dalam Mausu’ah Fiqhil Islami dijelaskan:

والقاضي له ولاية مبنية على الولاية العامة للحاكم ببيع ما لا مالك له. فإذا خرب الوقف، وتعطلت منافعه جاز بيعه واستبداله بمثله أو أفضل منه، كدار انهدمت، أو أرض خربت، أو مسجد انصرف أهل القرية عنه، أو ضاق بأهله ولم يمكن توسيعه ونحو ذلك من الأسباب التي تُنقِص أو تَمنع الانتفاع به

“Seorang qadhi memiliki kewenangan dalam wilayah hukumnya untuk menjual-belikan harta yang tidak memiliki pemilik. Jika harta wakaf rusak, dan terhenti manfaatnya, maka boleh menjualnya. Kemudian digantikan dengan yang semisalnya atau yang lebih baik. Semisal bangunan yang hancur, atau tanah yang rusak, atau masjid yang ditinggalkan penduduk, masjid yang terlalu sempit dan tidak mungkin diperluas, dan semisal itu, yang memiliki faktor-faktor yang bisa mengurangi atau menghilangkan manfaat dari wakaf”

Syaikh Muhammad Ali Farkuz juga menjelaskan:

فإن تعطَّلت منافع الوقف بالكلية ولَمْ يمكن الانتفاع به ولا تعميره وإصلاحه كدارٍ انهدمت، أو مَحَلِّ بيع قَلَّ العائدُ منه، أو أرض خربت وعادت مواتًا ولم يمكن عمارتها، أو مسجدٍ انتقل أهلُ القرية عنه أو ضاق بأهله ولم يمكن توسيعه، فيجوز ‑عند تعطل منافعه‑ أن يُباع الوقف للحاجة ويُشْترى ما يقوم مقامه، وهو مذهب أحمد ورواية عن مالك واختاره ابن تيمية وابن القيم ‑رحمهم الله‑ .

“Jika manfaat wakaf terhenti secara keseluruhan, dan tidak mungkin bisa dimanfaatkan lagi, dan tidak mungkin bisa diurus atua diperbaiki lagi, semisal bangunan yang hancur, atau tempat berjualan yang sedikit dikunjungi orang, atau tanah yang rusak atau hampir mati dan tidak bisa diurus lagi, atau masjid yang ditinggalkan penduduknya, atau masjid yang sempit dan tidak bisa diperluas lagi, maka boleh -ketika terhenti manfaatnya- untuk menjualnya karena ada kebutuhan. Dan hasil penjualannya digunakan untuk membeli yang bisa menggantikannya. Ini adalah madzhab imam Ahmad dan salah satu pendapat dari imam Malik, dan juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah. ”

Beliau juga menjelaskan:

ويدلّ على ذلك ما روي أنّ عمر رضي الله عنه كتب إلى سعد رضي الله عنه لما بلغه أنه قد نُقِبَ بيت المال الذي بالكوفة: «أن انقل المسجد الذي بالتمَّارين، واجعل بيت المال ممَّا يلي القبلة؛ فإنه لا يزال في المسجد من يصلِّي»، وكان هذا بمشهد من الصحابة رضي الله عنهم ولم يظهر خلافه فكان إجماعًا.

“Dalil atas hal tersebut adalah riwayat dari Umar radhiallahu’anhu bahwa beliau menulis surat

kepada Sa’ad radhiallahu’anhu ketika Sa’ad mengepalai Baitul Mal di Kufah. Isi suratnya:
pindahkanlah masjid yang ada di Tammarin. Dan buatkan di situ baitul Mal yang menghadap ke kiblat. Karena masjid tersebut sudah tidak ada yang shalat di sana‘. Dan hal ini disaksikan para sahabat radhiallahu’anhum dan tidak diketahui ada yang menyelisihi beliau, sehingga menjadi
sebuah ijma”.


Kembali ke menu/atas
3. Siapa yang berhak memutuskan dan mengurus penjualan wakaf?

Dalam keadaan yang dibolehkan untuk menjual wakaf, perlu diperhatikan bahwa hendaknya tidak sembarangan orang memutuskan untuk menjual wakaf atau sembarang orang yang mengurus penjualannya. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:

ويكون ذلك بواسطة المحكمة، إذا كان في البلاد محكمة، وإلا يكن ذلك بواسطة أهل الخير، كالمركز الإسلامي، أو العالم الذي يوثق به في البلد، أو في الأقلية الإسلامية، حتى يتعاون مع ناظر الوقف في ذلك الأمر، المقصود، أن ناظر الوقف يتعاون مع أهل الخير في ذلك حتى يبرئ ذمته، وحتى يسلم هذا الوقف من التعطيل، أما إذا كانت البلد فيها محكمة، فإن الناظر يستشير المحكمة، ويسير على ضوء توجيهات المحكمة في البيع، وفي شراء البديل.

“keputusan dan pengurusan penjualan wakaf dilakukan melalui mahkamah agama (baca: KUA), jika memang di negeri tersebut ada mahkamah. Atau melalui orang shalih atau ulama yang terpercaya di negerinya. Atau melalui lembaga-lembaga Islam, sehingga mereka bisa saling bahu-membahu bersama pengurus wakaf dalam hal ini. Maksudnya, mereka bekerjasama dengan pengurus wakaf mengurus penjualan wakaf hingga lepas bebannya, dan hingga wakaf bisa dimanfaatkan kembali. Adapun jika di negeri tersebut ada mahkamah, maka pengurus wakaf meminta bantuan mahkamah dan mengikuti bimbingan mahkaman dalam penjualannya serta dalam pembelian penggantinya”.

Syaikh Muhammad Ali Farkus juga menjelaskan:

لا يجوز للناظر على الوقف الاستقلال بمفرده بتحقيق مناط تعطّل منافع الوقف، خشية أن يكون تحقيقه للمناط قاصرًا، لذلك يجب رفع الأمر إلى جهة مسؤولةٍ -فعلاً- أو إلى قاضي البلد ليشكل من أهل الخبرة جماعة لدراسة وضع الوقف، ثمَّ يباع ويصرف ثمنه في غيره ممَّا يكون وقفًا أولويًّا من جنسه، وذلك إذا كان تقرير الخبرة يقضي بتعطل منافعه.

“tidak boleh seorang pengurus wakaf secara bebas dengan seorang diri memutuskan bahwa wakaf sudah tidak bisa bermanfaat. Karena dikhawatirkan penilaian si pengurus wakaf ini adalah penilaian yang prematur. Oleh karena itu wajib untuk menyerahkan urusannya kepada pihak yang berwenang, atau kepada qadhi yang ada di negerinya (baca: KUA), agar mereka menyerahkan kepada orang yang berkompeten secara bersama-sama menelaah kondisi wakaf. Kemudian bersama mereka juga mentransaksikan hasil penjualannya kepada hal yang lain yang bisa menjadi pengganti dan sesuai dengan jenis wakafnya. Itu pun jika orang yang berkompeten memutuskan bahwa wakafnya sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi”.

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Referensi:
  • Mausu’ah Fiqhil Islami
  • Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuz: http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1004
  • Fatwa Lajnah Daimah:  http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=5580

___

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/26106-bolehkah-menjual-harta-wakaf.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M