Fiqih Safar
Perjalanan yang disebut sebagai safar
Setiap perjalanan yang dianggap oleh orang-orang sebagai safar (bepergian jauh), maka tidak diragukan lagi bahwa perjalanan tersebut adalah safar, baik jaraknya jauh atau tidak begitu jauh, lama atau hanya sebentar. Yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah ‘uruf (kebiasaan umum yang berlaku). Hal itu, karena dalil-dalil safar yang berlaku di sana rukhshah bersifat mutlak, tidak dibatasi oleh apa pun. AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu)…dst” (QS. An Nisaa’: 101)
Menjadikan suatu tempat sebagai tempat tinggal (baca: Istiithaan).
Istiithaan terbagi menjadi dua:
a. Seseorang menempati tempat tinggal aslinya (kampung halamannya).
b. Seseorang menempati tempat lain sebagai tempat tinggalnya.
Pertama, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu, dan dalam dirinya ada niat kembali lagi serta tidak menjadikan tempat lain sebagai tempat tinggalnya, maka keluarnya dianggap sebagai musafir.
Kedua, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu meskipun perginya ke kampung halamannya untuk berkunjung, dan tidak bermaksud tinggal di sana, maka kepergiannya ke kampung halamannya dianggap sebagai safar, berlaku hukum-hukum safar baginya. Hal ini, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar dari Mekah dan tinggal di Madinah, maka ketika Beliau ke Mekah, Beliau sebagai musafir. Oleh karena itu, saat Beliau ke Mekah dan melakukan shalat di sana, Beliau mengqasharnya, dan menyuruh penduduk Mekah sebagai makmum menyempurnakan shalatnya.
Mulai berlaku hukum-hukum safar
Apabila seseorang berpisah dari bangunan-bangunan kotanya, maka mulai berlaku hukum safar baginya. Hal ini berdasarkan hadis Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku shalat zuhur bersama Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat, dan di Dzulhulaifah dua rakaat.” (HR. Bukhari)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dijadikan patokan adalah berpisah badan dari bangunan yang ada, bukan berpisah pandangan, yakni tidak disyaratkan dalam berpisah itu harus tidak melihat rumah-rumah, bahkan cukup berpisah badan.” (Asy Syarhul Mumti’ 4/512)
Adab safar
Ada beberapa adab bagi musafir, di antaranya adalah:
a. Dianjurkan memilih hari Kamis
Hal ini berdasarkan hadis Ka’ab bin Malik berikut, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir tidak keluar dalam safar kecuali pada hari Kamis.” (HR. Bukhari)
b. Berdoa ketika berangkat dan ketika pulang.
Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah berada di atas untanya untuk keluar bersafar, Beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan:
« سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ » .
“Mahasuci Allah yang menundukkan binatang ini bagi kami, dan sebelumnya kami tidak mampu menundukkannya, dan sesungguhnya hanya kepada Tuhan kamilah kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan dan amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami safar ini dan dekatkanlah yang jauh. Ya Allah, Engkaulah teman di perjalanan dan pengganti kami bagi keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan safar, pandangan yang menyedihkan dan buruknya tempat kembali pada harta dan keluarga.”
Dan apabila Beliau pulang, maka Beliau mengucapkan kata-kata yang sama, namun menambah (dengan kata-kata):
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ » .
“Dalam keadaan kembali, bertobat, beribadah dan memuji Tuhan Kami.” (HR. Muslim)
c. Dianjurkan mengucapkan “A’uudzu bikalimaatillahittaammah min syarri maa khalaq” ketika singgah di suatu tempat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ » .
“Barangsiapa yang menempati suatu tempat, lalu mengucapkan, “A’uudzu…dst.” (artinya: Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.” (HR. Muslim)
d. Dianjurkan bertakbir ketika menaiki tempat tinggi dan bertasbih ketika turun.
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ketika menaiki tempat tinggi bertakbir dan ketika turun bertasbih.” (HR. Bukhari)
e. Dianjurkan berdoa ketika masuk ke sebuah kampung.
Doanya adalah sbb.:
اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّموَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ ،وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ. أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ اْلقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا ، وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ أَهْلِهَا ، وَشَرِّ مَا فِيْهَا
“Ya Allah, Tuhan langit yang tujuh dan apa yang dinaunginya, Tuhan bumi yang tujuh dan apa yang berada di atasnya, Tuhan setan-setan dan makhluk yang disesatkannya, Tuhan angin dan apa yang dibawanya. Aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan penghuninya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Aku pun berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penghuninya dan keburukan yang ada di dalamnya.” (HR. Nasa’i dalam ‘Amalul yaum, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi)
f. Wanita yang bersafar harus disertai mahram.
Haram hukumnya bagi wanita bersafar sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » .
“Janganlah sekali-kali seseorang berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali ditemani mahram, dan janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama mahram.” (HR. Muslim)
Dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri disebutkan contoh mahram:
…إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا » .
“… Kecuali bersamanya ada bapaknya atau anaknya atau suaminya atau saudaranya atau mahram lainnya.” (HR. Muslim)
Larangan di atas adalah umum bagi setiap wanita, baik masih kecil atau sudah dewasa.
Syarat mahram adalah muslim, laki-laki, baligh dan berakal.
g. Jika jumlah orang yang bepergian ada tiga orang atau lebih disunatkan mengangkat ketua rombongan.
اِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا اَحَدَهُمْ (ابو داود وصححه الالباني)
“Apabila keluar tiga orang untuk bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai ketua.” (HR. Abu Dawud)
h. Dianjurkan bagi musafir ketika berpamitan dengan keluarga dan kawannya mendoakan mereka.
Doanya adalah:
أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِي لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan kamu kepada Allah, di mana tidak akan sia-sia titipan-Nya.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan keluarga atau kawannya dianjurkan menjawab dengan kata-kata:
أَسْتَوْدِعُ اللهُ دِيْنَكَ وَاَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ
“Aku titipkan kamu kepada Allah baik agama, amanat maupun akhir-akhir amalmu.” (HR. Tirmidzi)
Rukhshah (keringanan) bagi musafir
a. Boleh menyapu bagian atas khuff (sepatu yang menutupi kedua mata kaki) ketika berwudhu’, tanpa perlu melepasnya. Hal ini apabila ia memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, selama tiga hari tiga malam. Namun jika ia mukim (di mana ia sudah menyempurnakan shalatnya), maka lamanya hanya sehari semalam.
b. Boleh bertayammum bila tidak mendapatkan air atau susah mencarinya.
c. Seorang musafir yang tidak mengetahui arah kiblat wajib berusaha mencarinya baik dengan bertanya atau lainnya. Jika telah berusaha mencarinya, lalu ia shalat dan setelah shalat ternyata tidak menghadap kiblat, maka shalatnya sah; tidak perlu diulangi. Namun, jika ia tidak berusaha mencarinya, dan ternyata shalatnya tidak menghadap kiblat, maka ia wajib mengulangi (lih. Al Mumti’ 2/281)
d. Dianjurkan membaca surat-surat pendek setelah Al Fatihah dalam shalat ketika safar. Dalam Shahih Muslim disebutkan,
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Isya bersama para sahabat ketika safar dengan membaca Wat Tiini waz zaitun.”
e. Disyari’atkan meng-qashar (mengurangi) jumlah shalat yang empat rakaat menjadi dua, seperti shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya. Kecuali jika dia bermakmum kepada imam yang bukan musafir, maka ia mengikuti imam (tidak mengqashar shalat).
f. Bagi musafir yang telah singgah di tempat yang dituju harus tetap menjaga shalat berjama’ah. Kecuali ketika ia masih dalam perjalanan, maka tidak mesti berhenti untuk shalat berjamaah saat mendengar azan.
g. Boleh menjama’ (menggabung) Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan Isya, baik jama’ taqdim (di awal waktu) maupun jama’ ta’khir (di akhir waktu seperti melakukan shalat Zhuhur dan ‘Asharnya di waktu ‘Ashar), hal ini jika perjalanan berat atau ia butuh menjama’.
h. Boleh melakukan shalat sunat di atas kendaraannya ke mana saja kendaraannya menghadap, namun untuk shalat fardhu hendaklah dia turun dan menghadap ke kiblat, kecuali jika tidak memungkinkan untuk turun dan waktu shalat akan habis.
i. Boleh berbuka puasa.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Al Mukhtashar fii ahkaamis safar, (Syaikh Fahd bin Yahya Al ‘Ammariy), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al jazaa’iriy).
Read more https://yufidia.com/3139-fiqh-safar.html