• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Fiqih Sholat

Bagikan

Daftar Isi : 

    1. Sholat para Nabi terdahulu
    2. Tata cara Sholat Nabi terdahulu
    3. Awal disyari'atkan Sholat malam
    4. Sholat lima waktu
    5. Perintah Sholat lima waktu dalam bilangan dua rakaat
    6. Perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah
    7. Sholat pertama yang kerjakan Rasulullah Mengahadap kiblat


1.Sholat para Nabi terdahulu

Salah satu hal yang menunjukkan akan agungnya ibadah shalat yang diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman adalah bahwa shalat merupakan ibadah yang Allah syariatkan pula kepada para Nabi dan Rasul terdahulu. Sebelum turunnya perintah shalat kepada Nabi, Allah telah mensyariatkan shalat kepada para Nabi dan Rasul terdahulu. Mereka diperintahkan mendirikan shalat sebagaimana perintah shalat yang didirikan oleh kaum muslimin pada umumnya. Namun, mengenai tatacara, waktu dan hal lainnya tidak disebutkan secara rinci. Diantara dalil yang menunjukkan akan hal itu diantaranya adalah([1]):

Adapun shalatnya Nabi Ibrahim álaihis salam, maka Allah menyebut Nabi Ibrahim, ketika meninggalkan Nabi Isma’ail di lembah yang tak ada orang sama sekali, beliau bermunajat kepada Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, beliau berkata :

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki kepada mereka dari buah-buahan, suapaya mereka bersyukur.” ([2])

Ibrahim tidak menyebut amalan-amalan apapun selain shalat, yang ini menunjukkan tidak ada amalan yang paling utama seperti shalat. Demikian juga Allah berfirman:

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” ([3])

Begitu pula disebutkan dalam firman Allah doa Ibrahim.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Ya Tuhanku, jadikanah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami perkenankanlah doaku.” ([4])

Tentang shalatnya Nabi Isma’il, Allah berfirman :

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma’il (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” ([5])

Allah berfirman tentang Nabi Syu’aib ketika melarang kaumnya menyembah sesembahan selain Allah azza wa jalla dan mencegah dari berbuat curang dalam masalah timbangan, maka kaumnya berkata :

يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ

“Hai Syu´aib, apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” ([6])

Di dalamnya terdapat dalil bahwa kaum Nabi Syu’aib tidak mengetahui amalan apapun yang paling agung yang dapat mengusik meraka keculai shalat. ([7])

Nabi Musa yang disebut dengan Kalimurrahman (orang yang diajak bicara oleh Allah), sesungguhnya perintah pertama yang Allah perintahkan kepadanya setelah tauhid adalah shalat. Allah berfirman :

فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى. إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” ([8])

Hal ini menunjukkan agungnya ibadah shalat karena Allah tidak menyebutkan dan mendahulukan amalan ibadah yang lain sebelum shalat.

Demikian pula perintah Allah kepada Nabi Musa agar memerintahkan kaumnya untuk shalat. Allah berfirman :

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah rumah-rumahmu itu qiblat (tempat shalat) dan dirikanlah shalat serta berikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman.” ([9])

Tentang shalatnya Nabi Daud, Allah menyampaikan ketika Nabi Daud ingin bertaubat dan kembali kepada Allah, beliau tidak memiliki cara selain dengan mendirikan shalat.

فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ

“Maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.” ([10])

Adapun shalatnya Nabi Sulaiman, maka Allah menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman pernah terlambat menunaikan shalat ashar disebabkan kuda-kuda beliau, kemudian beliau menyesal hal tersebut.

وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ. إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ. فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ. رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ

“Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Daud, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepada Sulaiman kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat berlari pada waktu sore. Maka ia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) hingga melalaikan diriku dari mengingat Tuhanku sampai kuda itu tertutup dari pandangan.” (Ia berkata), “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku!” Lalu ia menebas kaki dan lehernya.” ([11])

Ibnu Katsir berkata, “Banyak ulama ahli tafsir yang menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman tersibukkan dengan penampilan kuda-kuda yang dimilikinya hingga terlewatkan waktu shalat Ashar. Dan yang pasti, beliau tidak meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja, akan tetapi karena lupa. Sebagaimana Rasulullah disibukkan dengan penggalian parit pada waktu perang Khandaq dari shalat Ashar, hingga beliau mendirikan shalatnya setelah terbenamnya matahari” ([12])

Adapun shalatnya Nabi Zakaria, maka Allah berfirman :

فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab. ([13])

Tentang shalatnya Nabi Yunus ‘alaihis salam, Allah berfirman

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang bertasbih kepada Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”([14])

Sebagia salaf menafsirkan “bertasbih” dengan “mengerjakan shalat”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. Begitu pula yang dikatakan oleh Sa’id bin Jabir, Qatadah dan sebagainya.” ([15])

Adapun shalatnya Nabi ‘Isa, maka diantara mukjizat beliau adalah berbicara sedangkan beliau masih dalam gendongan. Dan diantara yang beliau ucapkan :

إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا. وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

“Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” ([16])

Allah berfirman menerangkan para Nabi dari kalangan Bani Isra’il :

وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku. ([17])

Allah menyebutkan para Nabi satu persatu dan mensifati mereka diantaranya dengan shalat, Allah berfirman :

أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh dan dari keturunan Ibrahim dan Israil dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” ([18])

Yang dimaksud dengan bersujud tersebut adalah shalat. Karenanya setelah itu Allah berfirman tentang kaum setelah para nabi yang tidak shalat sebagaimana para nabi. Allah berfirman :

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Kemudian datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan tersesat.” ([19])

([1]) Ta’dzim As-Shalat Li ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hal. 10.

([2]) QS Ibrahim: 37.

([3]) Al-Hajj: 26.

([4]) Ibrahim: 40.

([5]) Maryam: 54- 55.

([6]) Hud: 87

([7]) Al- Allamah As-Sa’diy menafsirkan ayat ini bahwa:

أَنَّ الصَّلَاة،َ لَمْ تَزَلْ مَشْرُوْعَةً لِلْأَنْبِيَاءِ الْمُتَقَدِّمِيْن،َ وَأَنَّهَا مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ، حَتَّى إِنَّهُ مُتَقَرِّرٌ عِنْدَ الْكُفَّارِ فَضْلَهَا، وَتَقْدِيْمَهَا عَلَى سَائِرِ الْأَعْمَالِ، وَأَنَّهَا تَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وَهِيَ مِيْزَانٌ لِلْإِيْمَانِ وَشَرَائِعِهِ، فَبِإِقَامَتِهَا تَكْمُلُ أَحْوَالُ الْعَبْدِ، وَبِعَدَمِ إِقَامَتِهَا، تَخْتَلُّ أَحْوَالُهُ الدِّيْنِيَّةُ.

Sesungguhnya shalat selalu menjadi syariat para Nabi terdahulu dan merupakan amalan yang paling utama. Sehingga orang-orang kafir mengakui keutamaannya diantara ibadah yang lain. Dapat mencegah perbuatan keji dan keburukan. Disamping itu shalat menjadi barometer keimanan dan syariat islam. Mengerjakannya dapat menyempurnakan kondisi dan keadaan seorang hamba dan sebaliknya, meninggalkannya mampu merubah keadaan ideologinya. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan Li Abdurrahman As-Sa’diy hal. 388)

([8]) Thaha: 13-14.

([9]) Yunus: 87.

([10]) Shad: 24.

([11]) Shad: 30-33.

([12]) Tafsir Ibnu Katsir 7/65.

([13]) Ali Imran: 39.

([14]) Ash-Shaffat: 143-144.

([15]) Tafsir At-Thabari 21/109.

([16]) Maryam: 30-31.

([17]) Al-Maidah: 12.

([18]) Maryam: 58.

([19]) Maryam: 59.
Kembali ke menu/atas

2. Tata cara Sholat Nabi terdahulu

Mengenai bilangan dan tata cara shalat yang dikerjakan oleh para nabi terdahulu maka para Nabi terdahulu senantiasa mendirikan shalat lima waktu sebagaimana shalat yang dikerjakan dan diajarkan oleh Jibril kepada Nabi. Hal ini berdasarkan riwayat berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّنِي جِبْرِيلُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتِ الشَّمْسُ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حُرِّمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَاةَ بَعْدَمَا أَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتْ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، الْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَكَ

Dari Ibnu Abbas, berkata: Rasulullah bersabda: Jibril mengimamiku shalat di Baitul Haram dua kali. Dia mengimamiku shalat dzuhur ketika matahari tergelincir (dan bayang-bayang) seperti tali sendal dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika mega merah menjadi hilang dan shalat shubuh ketika diharamkan bagi oang yang puasa untuk makan dan minum. Kemudian dia mengimamiku shalat dzuhur pada keesokan harinya ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika lewat sepertiga malam dan shalat shubuh setelah waktu isfar. Kemudian dia menoleh ke arahku, seraya berkata: “Wahai Muhammad! Waktu shalat adalah antara dua waktu ini yang merupakan waktu shalat para Nabi sebelum engkau.” ([1])

Adapun umat-umat para nabi terdahulu, maka telah datang dalil yang menunjukan bahwa bani Israil shalatnya kurang dari lima waktu dalam sehari semalam. Disebutkan dalam hadits yang panjang tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj, ketika Nabi turun dengan membawa perintah shalat lima waktu, kemudian bertemu dengan Nabi Musa, lalu Nabi Musa menyarankan kepada beliau agar tetap meminta keringanan lagi kepada Allah agar kurang dari 5 waktu. Ibnu Rajab mengomentari hadits tersebut dengan berkata :

وفي رواية شريك، عن أنس المتقدمة: أن موسى قال لمحمد – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بعد أن صارت خمسا: (قد – والله – رَاوَدْتُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ فَتَرَكُوْهُ) وهو يدل على أن الصلوات الخمس لم تفرض على بني إسرائيل، وقد قيل: أن من قبلنا كانت عليهم صلاتان كل يوم وليلة وقد روي عن ابن مسعود، أن الصلوات الخمس مما خص الله به هذه الأمة.

Riwayat Syarik menyebutkan, dari Anas: bahwa setelah ditetapkan perintah shalat lima waktu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi Musa berkata kepada Nabi Muhammad, “Demi Allah, aku telah membujuk Bani Isra’il agar mengerjakan shalat yang kurang dari lima waktu, namun mereka meninggalkannya”.

Ini menunjukkan bahwa shalat lima waktu tidaklah diwajibkan kepada Bani Isra’il. Dan dikatakan: sesungguhnya kaum sebelum kita diperintahkan dua shalat dalam sehari semalam. Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud bahwa shalat lima waktu merupakan ibadah yang dikhususkan bagi umat ini. Wallahu a’lam. ([2])

Ibnu Taimiyyah pernah ditanya: Apakah umat terdahulu diwajibkan shalat sebagaimana diwajibkannya kepada kita seperti halnya waktu dan teta cara pelaksanaannya ataukah tidak?

Maka beliau menjawab: Mereka diwajibkan shalat sebagaimana kita mendirikannya di waktu-waktu yang telah ditentukan. Namun, tidak sama dengan waktu dan tatacara shalat kita. Wallahu a’lam. ([3])

([1]) H.R. Ahmad no. 3322, Abu Dawud no. 393, Tirmidzi no. 149 dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ no. 1402.

([2]) Fathul Bari Li Ibni Rajab 2/321.

([3]) Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 22/5 dan Fatawa Al-Kubra 2/5.
Kembali ke menu/atas
3. Awal disyari'atkan Sholat malam

Syariat shalat pertama kali yang Allah perintahkan kepada Nabi adalah ibadah shalat malam. Perintah tersebut turun kepada Nabi pada permulaan islam yang kemudian dihapus dan digantikan dengan mendirikan shalat lima waktu.([1]) Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Muzzammil, Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا

Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil. (Yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu. ([2])

Ketika turun ayat tersebut, Nabi bersama para sahabat senantiasa mengerjakan perintah Allah ini selama setahun. Setelah setahun Allah menghapus perintah dalam ayat tersebut dan menggantinya dengan perintah yang ada dalam ayat terakhir dari suarat Al-Muzzammil:

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” ([3])

Muqathil dan Ibnu Kaisan mengatakan:

كَانَ هَذَا بِمَكَّةَ قَبْلَ أَنْ تُفْرَضَ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ.

“Ayat ini turun di Makkah sebelum diwajibkannya shalat lima waktu. Hingga akhirnya perintah tersebut dihapus dan digantikan dengan perintah mendirikan shalat lima waktu.” ([4])

Sisi Pendalilan

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menurunkan perintah untuk mendirikan shalat malam kepada NabiNya dan juga kepada para Sahabat. At-Thabari menjelaskan hal itu dalam tafsirnya:

خَيَّرَهُ اللهُ تَعَالَى ذِكْرَهُ حِيْنَ فَرَضَ عَلَيْهِ قِيَامَ اللَّيْلِ بَيْنَ هَذِهِ الْمَنَازِلِ أَيْ ذَلِكَ شَاءَ فَعَلَ، فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ فِيْمَا ذُكِرَ يَقُوْمُوْنَ اللَّيْلَ، نَحْوَ قِيَامِهِمْ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْمَا ذُكِرَ حَتَّى خَفَّفَّ ذَلِكَ عَنْهُمْ

Allah menjadikan Nabi sebagai manusia pilihan yaitu dengan menyebut beliau ketika mewajibkannya untuk menunaikan shalat malam (qiyamullail). Disebutkan pula, bahwa yang berkewajiban mendirikan shalat malam adalah Rasulullah dan para sahabat. Mereka mendirikan shalat malam ini sebagaimana mereka mendirikan shalat pada bulan ramadhan hingga Allah menurunkan ayat yang memberikan keringanan kepada mereka.

Adapun jarak antara ayat pertama dengan ayat yang terakhir sekitar satu tahun. ([5]) Hal ini berdasarkan riwayat-riwayat berikut :

عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ وَحَكِيْمُ بْنُ أَفْلَحَ، قَالَ سَعْدٌ: فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ…أَنْبِئِيْنِيْ عَنْ قِيَامِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: أَلَسْتَ تَقْرَأُ “يَا أَيُّهَا الْمُزَمِّل؟ قُلْتُ: بَلَى، قَالَتْ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجّلَّ افْتَرَضَ قِيَامَ الَّليْلِ فِيْ أَوَّلِ هَذِهِ السُّوْرَةِ فَقَامَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا وَأَمْسَكَ اللهُ خَاتِمَتَهَا اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا فِيْ السَّمَاءِ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ فِيْ آخِرِ هَذِهِ السُوْرَةِ التَّخْفِيْفَ فَصَارَ قِيَامُ الَّليْلِ تَطَوُّعًا بَعْدَ فَرِيْضَةٍ…”

Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir dan Hakim bin Aflah, Sa’ad berkata: Wahai Ummul-mu`minin…beritahukan kepadaku bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallm? Lalu Aisyah jawab : “Bukankah engkau hafal surat “Ya Ayyuhal-muzammil”? lalu akupun jawab: “Ya” Aisyah berkata: Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan shalat malam di awal surat ini maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya selama setahun dan Allah tahan penutup surat ini di langit selama dua belas bulan hingga Allah turunkan keringanan di akhir surat maka shalat malam menjadi sunah setelah sebelumnya hukumnya wajib…”([6])

Ibnu Abbas juga berkata :

لَمَّا نَزَلَ أَوَّلُ الْمُزَّمِّلِ كَانُوا يَقُومُونَ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِمْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى نَزَلَ آخِرُهَا، فَكَانَ بَيْنَ أَوَّلِهَا وَآخِرِهَا قَرِيبٌ مِنْ سَنَةٍ

Ketika turun ayat pertama dari surat Al-Muzzammil, mereka mendirikan shalat sebagaimana halnya shalat yang mereka dirikan pada bulan Ramadhan hingga turunlah ayat yang terakhir. Dan jarak antara ayat pertama dengan ayat terakhir mendekati satu tahun. ([7])

([1]) Demikian pendapat mayoritas ulama seperti imam As-Syafi’i (lihat: Al-Umm Li As-Syafi’i 1/86), Ibnu Hajar (Fathul Bari Li Ibn Hajar 1/465), Ibnu Rajab (lihat: Fathul Bari Li Ibn Rajab 2/306). Begitu juga halnya dari mayoritas ahli tafsir diantaranya At-Thabariy, Ibnu Katsir, Al-Qurthubiy, Al-Baghawi (Tafsir At-Thabari (Jami’ Al-Bayan) 23/679, Tafsir Al-Baghawi 8/258, Tafsir Ibnu Katsir 8/259 dan Tafsir Al-Qurthubi 19/56).

([2]) Al-Muzzammil: 1-3.

([3]) Al-Muzzammil: 20.

([4]) Tafsir Al-Baghawi 8/250.

([5]) Tafsir At-Thabariy (Jami’ Al-Bayan) 23/678.

([6])  HR Muslim : no 745, dan Ahmad dalam Musnadnya : no 24269.

([7]) H.R. Baihaqi no. 4310.
Kembali ke menu/atas
4. Sholat lima waktu

Para ulama berselisih sebelum diwajibkan shalat lima waktu maka berapa kali-kah kaum muslimin shalat dalam sehari semalam?. Ibnu Hajar berkata, “Sekelompok ulama berpendapat bahwasanya sebelum al-Israa’, tidak ada shalat yang diwajibkan kepada kaum muslimin selain shalat malam tanpa ada batasan jumlah rakaat tertentu. Dan Al-Harbi berpendapat bahwa sebelum al-Israa’ shalat diwajibkan dua raka’at di pagi hari dan dua raka’at di sore hari” ([1])

Adapun diwajibkan shalat 5 waktu sehari semalam yaitu terjadi pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Pada malam tersebut awalnya Allah mensyariatkan shalat sebanyak lima puluh kali, hingga akhirnya Allah ringankan menjadi lima kali shalat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa riwayat hadits yang menerangkan perjalanan isra’ mi’raj Nabi. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَوْحَى اللهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى، فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ “، قَالَ: ” فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي، فَقُلْتُ: يَا رَبِّ، خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي، فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقُلْتُ: حَطَّ عَنِّي خَمْسًا، قَالَ: إِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ “، قَالَ: ” فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ لِكُلِّ صَلَاةٍ عَشْرٌ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلَاةً، قَالَ: ” فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ “، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَقُلْتُ: قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ.

Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda: “Allah memberikan wahyu kepadaku, lalu memerintahkan kepadaku sholat lima puluh kali sehari semalam, kemudian aku kembali bertemu dengan Musa. Musa bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Apa yang Allah perintahkan padamu?” Aku menjawab: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan lima puluh kali sholat dalam sehari semalam.” Musa berkata: “Kembalilah dan mintalah keringanan kepada Tuhanmu, sungguh umatmu tak kan mampu (menunaikan) hal itu. Dan sesungguhnya aku telah dicoba dengan umatku (bani isra’il dan pemuka-pemukanya).” Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku dan berkata: “Ya Allah berilah keringanan kepada umatku”, Lalu Dia mengurangi menjadi lima kali shalat. Kemudian aku kembali kepada Musa dan berkata: “Telah diringankan kepadaku menjadi lima kali.” Dia lantas berkata: ‘Sunggguh, umatmu tidak akan mampu menunaikannya, kembalilah menghadap Rabb-mu dan mintalah keringanan.’ Aku senantiasa menghadap Allah dan kembali kepada Musa, hingga kemudian Allah berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya dia adalah lima kali shalat setiap hari dan satu kali shalat setara dengan sepuluh (kali shalat), sama dengan lima puluh kali shalat. Kemudian aku turun dan bertemu Musa dan mengabarkannya. Maka dia berkata: ‘kembalilah menghadap Rabb-mu dan mintalah keringanan.’ Lantas Rasulullah menjawab: ’Aku sudah kembali kepada Rabb-ku hingga aku merasa malu kepadaNya.” ([2])

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat lima waktu diwajibkan pada malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Isra’ dan Mi’raj. Ulama juga sepakat bahwa perintah diwajibkannya shalat lima waktu, bilangan rakaat, ruku’ dan sujudnya adalah saat peristiwa tersebut. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai waktu terjadinya peristiwa itu. ([3])

Adapun lima waktu yang diharuskan untuk didirikan shalat adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. ([4])

Di dalam ayat ini telah dijelaskan waktu-waktu didirikannya shalat lima waktu. (لِدُلُوكِ الشَّمْسِ) maksudnya adalah dari sesudah matahari tergelincir. Dan waktu mulai tergelincirnya matahari dari pertengahan langit menuju arah barat, merupakan permulaan waktu shalat dzuhur dan termasuk diantaranya adalah shalat ashar.

Adapaun (إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ) maksudnya adalah sampai gelap malam. Yaitu permulaan gelap malam waktu shalat maghrib dan shalat isya setelahnya.

Lalu (وَقُرْآنَ الْفَجْرِ) maksudnya adalah dan dirikanlah pula shalat subuh. Yaitu shalat fajar, Demikianlah petunjuk umum tentang waktu-waktu shalat lima waktu yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. ([5])

([1]) Fathul Baari 1/465

([2]) H.R. Bukhari no. 349 dan Muslim no.162.

([3]) Diantara pendapat tersebut adalah:

Al-Israa’ wa al-Mi’raaj terjadi 18 bulan setelah Nabi diangkat menjadi Nabi. Ini adalah pendapat Adz-Dzahabi di Taariikh beliau.Terjadi pada 27 Robiúl awwal setahun sebelum berhijrah. Ini adalah pendapat Abu Ishaaq al-Harbi.Adapun Ibnu Syihaab az-Zuhri, diriwayatkan dari beliau bahwa beliau berpendapat al-Israa’ terjadi setahun sebelum hijrah. Dana diriwayatkan juga dari beliau bahwa al-Israa’ terjadi 5 tahun setelah beliau diangkat menjadi Nabi (Lihat semua pendapat ini di Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 2/6)

Namun tidak ada dalil yang kuat yang menunjukan mana yang lebih tepat diantara pendapat-pendapat tersebut.

([4]) Al-Isra’: 78.

([5])Jami’ul bayan 17/514, Tafsir Ibn Katsir 5/102, Taisirul Kalamir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan hal.464.
Kembali ke menu/atas
5. Perintah Sholat lima waktu dalam bilangan dua rakaat

Bilangan rakaat pada shalat yang diperintahkan dari peristiwa isra’ dan mi’raj adalah dua rakaat dan dilaksanakan pada lima waktu yaitu pada waktu dzuhur, ashar, isya’, shubuh dan tiga rakaat pada shalat maghrib. Kemudian ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah diwajibkan menjadi empat rakaat kecuali maghrib dan shubuh, yaitu setelah kedatangan beliau ke Madinah.

Aisyah berkata :

فَرَضَ اللَّهُ الصَّلاَةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِي صَلاَةِ الحَضَرِ

“Pertama kali Allah memerintahkan salat adalah dua rakaat dua rakaat([1]), baik saat muqim maupun saat perjalanan. Setelah itu, ditetapkanlah ketentuan itu untuk shalat safar dan ditambahkan lagi untuk shalat disaat muqim. ([2])

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata:

فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا، وَتُرِكَتْ صَلاَةُ السَّفَرِ عَلَى الأُولَى

Shalat telah diwajibkan (pertama kali) sebanyak dua rakaat, kemudian ketika Nabi hijrah diwajibkan menjadi empat rakaat. Sedangkat shalat safar dibiarkan seperti semula. ([3])

Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah berkata:

فُرِضَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَالْحَضَرِ رَكْعَتَيْنِ، فَلَمَّا أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ زِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ، وَتُرِكَتْ صَلَاةُ الْفَجْرِ لِطُولِ الْقِرَاءَةِ، وَصَلَاةُ الْمَغْرِبِ لِأَنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ

Shalat ketika safar dan muqim diwajibkan sebanyak dua rakaat. Ketika Rasulullah berada di Madinah ditambahkan dua rakaat dua rakaat pada shalat ketika muqim. Sedangkan shalat shubuh dibiarkan (seperti semula) karena bacaannya yang panjang, begitu juga dengan shalat maghrib karena ia merupakan witr (shalat) siang hari. ([4])

Kemudian setelah ditetapkan perintah shalat dengan empat rakaat, diberikan keringanan dalam mengerjakan shalat ketika safar. Hal itu terjadi ketika Allah menurunkan firman-Nya:

فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu). ([5])

Kesimpulannya, shalat fardu (Dzuhur, Ashar, dan Isya) pertama kali diwajibkan ketika al-Israa’ adalah 2 raka’at, lalu ketika Nabi berhijrah berubah diwajibkan menjadi 4 raka’at, lalu Allah beri keringanan jika dalam safar menjadi 2 raka’at lagi. Sehingga statusya sekarang shalat safar 2 raka’at bukanlah ‘azimah([6]) akan tetapi rukhsah.([7])

([1]) Penyebutan ‘dua rakaat’ diulang dua kali untuk menjelaskan bahwa setiap shalat dikerjakan sebanyak dua rakaat. (Fathul Bari Li Ibni Hajar 1/464). Kecuali shalat maghrib maka sejak awal sudah diwajibkan 3 raka’at.

([2]) H.R. Bukhari no.350.

([3]) H.R. Bukhari no.3935.

([4]) An-Nisa’: 101.

([5]) H.R. Ibnu Khuzaimah no.305 dan Ibnu Hibban no.2738.

([6]) ‘Azimah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Syathibi, yaitu:

مَا شُرِعَ مِنَ الْأَحْكَامِ الْكُلِّيَّةِ ابْتِدَاءً

Artinya: Hukum-hukum yang berlaku umum yang disyariatkan sejak semula. (Al-Muwafaqat Li As-Syathibiy 1/464).

([7]) Lihat : Fathul Bari Li Ibn Hajar 1/465
Kembali ke menu/atas
6. Perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah

Ketika di Mekah Rasulullah mengerjakan shalat dengan menghadap ke Ka’bah sekaligus menghadap ke Baitul Maqdis. Yaitu dengan menjadikan ka’bah berada dihadapan beliau dan antara beliau dan Baitul Maqdis([1]). Namun ketika Nabi berhijrah ke Madinah maka hal ini tidak bisa beliau lakukan lagi, jika beliau menghadap Baitul Maqdis maka beliau tidak bisa menghadap Ka’bah. Karena Baitul Maqdis berada di sebelah utara kota Madinah, sementara Ka’bah terletak di sebelah selatan kota Madinah. Maka beliaupun rindu agar bisa shalat menghadap Ka’bah.

Rasulullah lebih senang jika dalam arah kiblat dalam shalat dihadapkan ke ka’bah. Al-Baraa’ bin ‘Aazib, berkata:

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الكَعْبَةِ

Rasulullah senang dengan dihadapkan kiblat ke arah ka’bah. ([2])

Hal ini (Nabi shalat di Madinah menghadap Baitul Maqdis dan membelakangi Ka’bah) berlangsung sekitar 16 bulan di Madinah, hingga akhirnya Allah menurunkan wahyuNya dengan merubah arah kiblat kepada Ka’bah. Allah berfirman :

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. ([3])

Ibnu Abbas, berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ بِمَكَّةَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَالْكَعْبَةُ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَبَعْدَ مَا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، ثُمَّ صُرِفَ إِلَى الْكَعْبَة

Dahulu ketika di Makkah Rasulullah mengerjakan shalat menghadap Baitul Maqdis, sedangkan Ka’bah berada di hadapan beliau. Setelah hijrah ke Madinah selama enam belas bulan, kemudian (qiblat) dirubah menghadap Ka’bah. ([4])

([1]) Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat antara rukun Yamani dengan Rukun Hajar Aswad, karena dengan demikian berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap ke utara ke arah Baitul Maqdis.

([2]) H.R. Bukhari no.399.

([3]) Al-Baqarah: 144.

([4]) H.R. Ahmad no.2991.
Kembali ke menu/atas
7. Sholat pertama yang kerjakan Rasulullah Mengahadap kiblat

Telah datang riwayat-riwayat yang menunjukan bahwa tatkala turun ayat tentang perubahan kiblat maka terjadi perubahan kiblat di masjid-masjid yang ada tatkala itu di kota Madinah. Diantaranya Masjid Nabawi([1]), Masjid Quba([2]), dan Masjid Bani Salimah([3]). Menurut Ibnu Hajar rahimahullah Masjid pertama kali yang mengalami perubahan kiblat adalah Masjid Banu Salimah, yaitu ketika Nabi sedang sholat duhur di situ, jadi perubahan kiblat terjadi ditengah-tengah Nabi sedang shalat dzhuhur. Setelah itu Nabi sholat ashar di Masjid Nabawi maka langsung menghadap Ka’bah sejak awal shalat. Adapun para penduduk Quba di Masjid Quba maka mereka baru menerima kabar keesokan harinya tatkala mereka sedang sholat subuh.

Ibnu Hajar berkata,

وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَّاهَا فِي بَنِي سَلِمَةَ لَمَّا مَاتَ بِشْرُ بْنُ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ الظُّهْرُ وَأَوَّلُ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بِالْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ الْعَصْر وَأما الصُّبْح فَهُوَ من حَدِيث ابن عُمَرَ بِأَهْلِ قُبَاءٍ

“Yang benar bahwasanya sholat yang pertama kali dilakukan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam (tatkala datang perintah merubah kiblat) di Bani Salimah ketika Bisyr bin al-Baroo’ bin Ma’ruur wafat adalah sholat dzhuhur. Dan sholat pertama yang Nabi kerjakan di Masjid Nabawi adalah sholat ashar. Adapun sholat subuh maka berdasarkan hadits Ibnu Umar yaitu di Masjid Quba” ([4]) Yaitu di Quba pada waktu shalat subuh keesokan harinya ([5]).

Ibnu Katsir berkata :

وَذَكَرَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْمُفَسِّرِيْنَ وَغَيْرِهِمْ: أَنَّ تَحْوِيْلَ الْقِبْلَةِ نَزَلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَقَدْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَذَلِكَ فِي مَسْجِدِ بَنِي سَلِمَةَ، فَسُمَّيَ مَسْجِدَ الْقِبْلَتَيْنِ

“Banyak ahli tafsir dan para ulama yang lainnya menyebutkan bahwa (perintah) perubahan qiblat turun kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sementara Nabi telah sholat dua rakaát dari sholat dzuhur, yaitu di Masjid Bani Salimah. Maka dinamakanlah Masjid tersebut dengan Masjid al-Qiblatain” ([6])

Terjadinya perubahan kiblat pada pertengahan bulan Rojab tahun kedua hijriyah menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama([7])

([1]) Diantaranya hadits Al-Baroo’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :

وَأَنَّهُ «صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ البَيْتِ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلَّاهَا صَلاَةَ العَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ»

“Bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam sholat ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan, dan beliau suka jika kiblat ke arah Ka’bah. Dan beliau sholat pertama kali (sholat menghadap Ka’bah) adalah sholat ashar dan sekelompok orang sholat bersama beliau” (HR Al-Bukhari no 40)

Ibnu Katsir berkata :

([2]) Diantaranya hadits Ibnu Umar, beliau berkata :

بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا»، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الكَعْبَةِ

“Tatkal orang-orang sedang sholat subuh di Masjid Quba’, tiba-tiba datang seseorang lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam telah diturunkan kepadanya malam kemarin suatu ayat Qurán, dan ia diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hendaknya kalian menghadap Ka’bah”. Awalnya wajah mereka menghadap Syaam (Baitul Maqdis) maka merekapun berputar untuk menghadap Ka’bah” (HR Al-Bukhari no 403 dan Muslim no 526)

([3]) Berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Saád. Beliau berkata :

وَيُقَالُ: بَلْ زَارَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم أُمَّ بِشْرِ بْنِ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ فِي بَنِي سَلِمَةَ فَصَنَعَتْ لَهُ طَعَامًا وَحَانَتِ الظُّهْرُ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أُمِرَ أَنْ يُوَجِّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَاسْتَدَارَ إِلَى الْكَعْبَةِ وَاسْتَقْبَلَ الْمِيزَابَ فَسُمِّيَ الْمَسْجِدُ: مَسْجِدُ الْقِبْلَتَيْنِ

“Dan dikatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam menziarahi Ummu Bisyr bin al-Baroo’ bin Ma’ruur di kampung Bani Salimah. Maka ia membuatkan makanan untuk Nabi shallallahu álaihi wasallam lalu tiba waktu dzhuhur. Maka Rasululah shallallahu álaihi wasallam sholat mengimami para shahabat dua rakaát pertama, kemudian beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah maka Nabipun berputar untuk menghadap Ka’bah dan beliau menghadap Mizab. Maka Masjid (di kampung Bani Salimah) tersebut dinamakan dengan Masjid al-Qiblatain” (At-Thobaqoot 1/241-242).

Riwayat inilah yang dinukilkan oleh para ulama diantaranya Ibnul Jauzi (Lihat Kasyful Musykil, 1/461) dan Ibnu Hajar (lihat Fathul Baari 1/503). Namun riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Sáad tanpa sanad.

([4]) Fathul Baari 1/97

([5]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/460.

Ibnu Umar berkata:

بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الكَعْبَةِ

Ketika orang-orang berada di Quba’ mengerjakan shalat shubuh, tiba-tiba datang seseorang kepada mereka seraya berkata: “Sesungguhnya telah diturunkan wahyu kepada Rasulullah, beliau telah diperintahkan agar menghadap Ka’bah, maka menghadaplah ke Ka’bah. Sebelumnya mereka menghadap ke Syam, lalu berputar menghadap ke Ka’bah. (H.R. Bukhari no.403 dan Muslim no.526.)

Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin ‘Azib, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ المَقْدِسِ، سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الكَعْبَةِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ}، فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الكَعْبَةِ “، وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ، وَهُمُ اليَهُودُ: {مَا وَلَّاهُمْ} عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا، قُلْ لِلَّهِ المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى، فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الأَنْصَارِ فِي صَلاَةِ العَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ المَقْدِسِ، فَقَالَ: هُوَ يَشْهَدُ: أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الكَعْبَةِ، فَتَحَرَّفَ القَوْمُ، حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الكَعْبَة

Dahulu Rasulullah mendirikan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah lebih suka menghadap kiblat ke arah ka’bah. Lalu Allah menurunkan ayat: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.” Lalu beliau menghadap ke Ka’bah. Orang-orang bodoh dari golongan yahudi berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allahlah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus.” Setelah itu ada seseorang lelaki yang shalat bersama Nabi, kemudian setelah selesai dia keluar, lalu melewati suatu kaum dari Anshar yang mengerjakan shalat ‘ashar menghadap Baitul Maqdis. Lalu dia berkata bahwa dia bersaksi telah mengerjakan shalat bersama Rasulullah dan menghadap ke arah Ka’bah. Setelah itu kaum tersebut berputar hingga menghadap ke arah Ka’bah.  (H.R. Bukhari no.399)

([6]) Tafsir Ibnu Katsir 1/326

([7]) Lihat : Fathul Baari 1/97

oleh ustad DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

https : //bekalislam.firanda.com/5189-sejarah-shalat-para-nabi-terdahulu.html

Datar Isi :

  1. Sholat wajib lima waktu (Fardu 'Ain)
  2. Sholat Jum'at (Fardu 'Ain)
  3. Sholat Khauf (Fardu 'Ain)
  4. Sholat Jenazah (Fardu Kifayah)



1.Sholat wajib lima waktu (Fardu 'Ain)

Yang dimaksud di sini adalah shalat-shalat yang wajib dilakukan mencakup yang fardhu ‘ain (yaitu wajib bagi setiap orang) dan fardhu kifayah (jika telah dilakukan oleh sebagian orang maka telah gugur kewajibannya).

Shalat 5 waktu

Permasalahan:

Hukum Qunut Subuh

Secara umum para ulama berselisih pendapat dalam qunut subuh menjadi dua:

PERTAMA : Qunut subuh tidak disyariatkan.

Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Hanabilah.

Pertama : Hanafiyah : Qunut subuh adalah bidáh([1])

Kedua : Qunut subuh adalah tidak dianjurkan dan makruh([2])

Akan tetapi Imam Ahmad rahimahullah tidak mencela orang yang qunut subuh. Beliau berkata :

لَا أُعَنِّفُ مَنْ يَقْنُتُ

“Aku tidak mencela orang yang qunut”

Imam Ahmad membolehkan untuk kontinyu (selalu) qunut subuh jika dalam rangka mendoakan kaum muslimin agar menang mengalahkan musuh.

Abdullah (putra Imam Ahmad) berkata :

إِنْ قَنَتَ فِي الصَّلَوَات كلهَا؟ قَالَ لَا إِلاَّ فِي الْوِتْرِ وَالْغَدَاةِ فَإِذَا كَانَ يَسْتَنْصِرُ وَيَدْعُو لِلْمُسْلِمِيْنَ

“Jika ia qunut dalam seluruh sholat?”. Imam Ahmad menjawab, “Tidak, kecuali di sholat witir dan subuh jika ia meminta pertolongan dan mendoakan kaum muslimin” ([3])

Beliau juga berkata :

وَإِنْ قَنَتَ رَجُلٌ السَّنَةَ لَمْ أَرَ بِهِ بَأْسًا فِي الْوِتْرِ وَإِنْ هُوَ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ إِذَا دَعَا عَلَى الْكَفَرَة وَيَدْعُو للْمُسْلِمِيْنَ لَمْ أَرَ بِهِ بَأْسًا

“Jika seseorang qunut sepanjang tahun menurutku tidak mengapa jika di sholat witir. Jika dia qunut di sholat subuh maka jika dia meminta kehancuran bagi kaum kafir dan mendaoakan kaum muslimin maka menurutku tidak mengapa” ([4])

Bahkan dalam riwayat yang lain dari Imam Ahmad memberikan rukhshah (keringanan) untuk qunut dalam shalat subuh meskipun beliau tidak memandangnya disyari’atkan.([5])

KEDUA : Qunut subuh disyariatkan.

Ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah([6]), dan Dzohiryah :

Pertama : Pendapat yang masyhur dari Malikiyah: Qunut subuh dianjurkan dan sebuah keutamaan. ([7])

Dalilnya adalah riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut subuh, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Khaffaf bin Ima’, Al-Bara’ dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum.

Kedua : Pendapat Syafi’iyah: Qunut subuh adalah sunnah.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ الْقُنُوتَ مَشْرُوعٌ عِنْدَنَا فِي الصُّبْحِ، وَهُوَ سُنَّةٌ مُتَأَكِّدَةٌ

“Ketahuilah sesungguhnya qunut disyariatkan menurut kami ketika subuh, dan dia adalah sunnah muakkadah (ditekankan)”. ([8])

Ketiga : Pendapat Ibnu Hazm rahimahullah: Qunut dianjurkan setiap shalat fardhu, baik subuh maupun lainnya.

Beliau berkata :

وَالْقُنُوْتُ فِعْلٌ حَسَنٌ، بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ فِي آخِرِ رَكْعَةٍ مِنْ كُلِّ صَلاَةِ فَرْضٍ – الصُّبْحِ وَغَيْرِ الصُّبْحِ، وَفِي الْوِتْرِ، فَمَنْ تَرَكَهُ فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ

“Qunut adalah perbuatan yang baik, setelah bangkit dari ruku’ di akhir rakaat setiap shalat fardhu (baik subuh maupun selain subuh) dan dalam witir, siapa yang meninggalkannya maka tidak mengapa”. ([9])

Dalil pendapat yang mengatakan tidak disyariatkan

Dalil utama pendapat ini adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

” قَنَتَ فِي صَلاةِ الْفَجْرِ شَهْرًا يَدْعُو فِي قُنُوتِهِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ، ثُمَّ تَرَكَهُ ”

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam qunut dalam shalat subuh selama satu bulan, beliau mendoakan keburukan kepada sebagian kampung Arab, kemudian beliau menginggalkannya”. ([10])

Ini menunjukkan bahwa qunut tersebut mansukh (dihapus), karena beliau meninggalkannya.

Dan riwayat Abu Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ الأَشْجَعِيِّ قَالَ: قُلْتُ لأَبِي: يَا أَبَتِ، إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ هَاهُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟ قَالَ: أَيْ بُنَيَّ، مُحْدَثٌ. وَفِي لَفْظٍ: يَا بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ.

Aku bertanya kepada ayahku: Ayah, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Utsman dan Ali di sini di Kufah sekitar lima tahun, apakah mereka melakukan qunut? Ia berkata: Wahai anakku, itu adalah sesuatu yang diada-adakan, dalam lafadz lain: Wahai anakku, sesungguh itu adalah bid’ah. ([11])

Mereka memiliki sejumlah dalil lainnya, akan tetapi yang nampak adalah hadits Abu Malik Al-Asyja’i inilah dalil terkuat pendapat ini.

Dalil Pendapat Disyariatkan Qunut Subuh([12])

Telah datang hadits-hadits tentang qunut dari beberapa sahabat. Diantaranya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dan hadits-hadits Anas terbagi menjadi dua model:

Pendalilannya sharih (jelas) tapi sanadnya diperselisihkanSanadnya shahih tapi segi pendalilannya tidak sharih (jelas)

Pertama : Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu melakukan qunut sampai wafat

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ يَعْنِي الرَّازِيَّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Menceritakan padaku Abdurrazzaq, ia berkata menceritakan padaku Abu Ja’far yaitu Ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu qunut subuh hingga meninggal dunia”. ([13])

Catatan: hadits ini bermasalah pada salah satu rawi bernama Isa bin Mahan yang dikenal dengan Abu Ja’far Ar-Razi. Para ulama yang memandang tidak disyari’atkannya qunut subuh karena mereka melemahkan hadits ini disebabkan perawi di atas.

Oleh karenanya perlu kita lihat penjelasan ulama hadits terutama mengenai Abu Ja’far Ar-Razi, dan berikut daftar pernyataan ulama tentang Abu Ja’far:

Pernyataan Ulama Hadits Mengenai Abu Ja’far Ar-Raziالمتساهلونالمعتدلونالمتشددونالحاكم : البخاري ومسلم قد هجرا أبا جعفر الرازي ولم يخرجا عنه وحاله عند سائر الأئمة أحسن الحال. وقال مرة : ثقةأحمد : رواية حنبل (صالح الحديث) ورواية عبد الله (ليس بقوي في الحديث)يحيى : روايات (ثقة – يكتب حديثه لكنه يخطئ – صالح – ثقة وهو يغلط فيما يروي عن مغيرة – صدوق ليس بمتقن)علي بن المديني : روايات (نحو موسى بن عبيدة يخلط فيما روى عن مغيرة ونحوه – كان عندنا ثقة)أبو حاتم الرازي : ثقة صدوق صالح الحديثأبو زرعة الرازي : شيخ يهم كثيراالنسائي : ليس بالقويابن عدي : ليس له أحاديث صالحة وقد روى عنه الناس، وأحاديثه عامتها مستقيمة، وأرجو أنه لا بأس بهابن خراش : سيء الحفظ صدوقمحمد بن سعد : كان ثقة، وكان يقدم بغداد يسمعون منهابن عبد البر : هو عندهم ثقة عالم يفسر القرآنSilahkan merujuk:

1. Al-Badrul Munir, Ibnul Mulaqqin 3/622

2. Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar 12/50

Kesimpulan Ibnu Hajar tentang Abu Ja’far Ar-Razi:

أَبَو جَعْفَرَ الرَّازِي التَّمِيْمِي [التَّيْمِي] مَوْلاَهُمْ مَشْهُوْرٌ بِكَنْيَتِهِ، وَاسْمُهُ عِيْسَى بْنِ أَبِي عِيْسَى عَبْدِ اللهِ بْنِ مَاهَانَ وَأَصْلُهُ مِنْ مَرْو وَكَانَ يَتَّجِرُ إِلَى الرَّيِ، صَدُوْقٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ خُصُوْصًا عَنْ مُغِيْرَةَ

“Abu Ja’far Ar-Razi At-Tamimi [At-Taimi] adalah maula mereka, terkenal dengan kunyahnya, namanya adalah Isa bin Abu Isa Abdullah bin Mahan, asalnya dari Maru pernah berdagang ke Ray, beliau shaduq sayyi’ul hifzi (jujur hafalannya buruk) khususnya dari Mughirah” ([14])

Kesimpulan Ibnu Hajar ini sangat kuat mengingat :

Ulama yang yang menilai Abu Ja’far tsiqoh lebih banyak, bahkan dari para ulama yang dikenal dengan mutasyaddid (ketat dan sangat mudah melemahkan kredibilitas para perawi)Para ulama yang melemahkan Abu Ja’far juga dengan bentuk pelemahan yang tidak keras, dan sebagian hanya melemahkan jika meriwayatkan dari Mughiroh

Siapa saja yang menshahihkan hadits ini?

Al-Qurthubi, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mulaqqin rahimahullah:

وروى البيهقي عن الخلفاء الأربعة القنوت فيه أيضا، وأعجبني قول القرطبي في “شرح مختصر مسلم”: الذي استقر عليه أمر النبي – صلى الله عليه وسلم – في القنوت هذا الحديث المخرج عند الدارقطني بإسناد صحيح.

“Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari para khalifah empat mereka qunut padanya (subuh) juga, dan menakjubkanku ucapan Al-Qurthubi dalam “Syarh Mukhtashar Muslim”: yang menetap dalam perkara Rasulullah dalam qunut adalah hadits ini yang dikeluarkan Ad-Daruquthni dengan sanad shahih”. ([15])

Ibnul Mulaqqin rahimahullah setelah menyebutkan hadits tersebut mengatakan: “Dalam sanadnya terdapat Abu Ja’far Ar-Razi dan di-tsiqah-kan oleh banyak kalangan”. ([16])

Abu Abdillah Muhammad bin ‘Ali Al-BalkhiAbu Abdillah Al-HakimAbu Bakar Al-Baihaqi

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Shalah rahimahullah: Hadits ini telah dihukumi shahih lebih dari satu dari kalangan huffadz al-hadits, di antara mereka: Abu Abdullah Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhi imam hadits, Abu Abdillah Al-Hakim, dan Abu Bakar Al-Baihaqi. ([17])

Ibnu Batthal ([18])

وثبت قنوته في الصبح، وصح الخبر عنه أنه لم يزل يقنت في صلاة الصبح حتى فارق الدنيا

“dan telah tetap qunut beliau dalam subuh, dan telah shahih kabar (hadits) dari beliau bahwa beliau selalu qunut dalam shalat subuh hingga beliau meninggal dunia.”

Ibnu Hajar menghasankan hadits dalam Nataijul Afkar. ([19])

Hadits Anas tentang Rasulullah qunut hingga beliau wafat, dari jalur lain:

Jalur Ismail Al-Makki dan Amr bin Ubaid dari Al-Hasan dari Anas, lafadznya adalah:

قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَحْسِبُهُ قَالَ رَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ.

“Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum -aku mengira ia berkata: empat- qunut sampai aku tinggalkan mereka”. ([20])

Ismail Al-Makki ([21]) dan Amr bin Ubaid Al-Mu’tazili ([22])  keduanya lemah.

Dari jalur Dinar bin Abdullah, pembantu Anas, lafadznya adalah:

مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الصُّبْحِ حَتَّى مَاتَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam senantiasa melakukan qunut dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia”. ([23])

Marilah kita simak keterangan dari Al-Allamah Al-Mu’allimi Al-Yamani:

وأما حديث “ما زال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقنت في الصبح حتى مات” فقد ورد من وجهين آخرين أو أكثر عن أنس، صحح بعض الحفاظ بعضها وجاء نحو معناه من وجوه أخرى راجع سنن الدارقطني وسنن البيهقي، وبمجموع ذلك يقوى الحديث.

“Adapun hadits “Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam senantiasa melakukan qunut dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia” maka datang dari dua jalur lain atau lebih dari Anas, sebagian huffadz menshahihkan sebagiannya, dan datang juga semakna dengannya dari jalur yang lain, lihat Sunan Ad-Daruquthni dan Sunan Al-Baihaqi, dan dengan gabungan semuanya maka hadits tersebut menjadi kuat”. ([24])

Kalaupun seandainya kita anggap hadits Anas dari jalur Abu Ja’far Ar-Razi ini lemah, maka harus diperhatikan beberapa poin:

Sangat jelas ada perbedaan lafadz ulama-ulama besar jarh wa ta’dil ketika menyebutkan Abu Ja’far Ar-Razi, bahkan Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah yang tergolong mutasyaddid dalam menilai rijal, beliau mengatakan: Tsiqah Shaduq Shalihul Hadits. Sebagian mereka menyebutkan bahwa lemah jika meriwayatkan dari Al-Mughirah, sementara dalam hadits qunut subuh ini beliau meriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Anas. Dari sini maka sangat wajar jika setelah itu para ulama berbeda pendapat tentang qunut subuh, karena mereka membangun hukum di atas dalil.Gugurnya hadits ini bukan berarti sudah final bahwa qunut subuh pun gugur, karena hadits ini bukan satu-satunya dalil qunut subuh, sehingga perlu kita lihat dalil-dalil lain, misalnya amalan para sahabat.Tidak bisa dikatakan bahwa disyariatkan qunut subuh hanya pendapat fuqaha karena mengikuti madzhab mereka dan bukan mengikuti dalil, sebab faktanya justru banyak ulama syafi’iah seperti Al-Baihaqi, An-Nawawi, Ibnu Shalah, Ibnul Mulaqqin, mereka adalah ulama besar di bidang hadits dan mereka juga terkemuka di bidang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits.

Kedua : Hadits Anas bin Malik qunut setelah rukuk sedikit

عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا.

“Dari Muhammad (bin Sirin), aku bertanya kepada Anas: Apakah Rasulullah qunut dalam shalat subuh? Ia menjawab: Ya, setelah rukuk sedikit”. ([25])

Segi pendalilan:

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan:

فإن مفهوم قوله بعد الركوع يسيرا يحتمل أن يكون وقبل الركوع كثيرا ويحتمل أن يكون لا قنوت قبله أصلا

“Mafhum dari ada kemungkinan sebelum ruku’ banyak dan ada kemungkinan sama sekali tidak melakukan qunut sebelumnya”. ([26])

[12.02, 6/3/2022] Abu Ikhsan: Ketiga: Hadits Anas bin Malik qunut setelah rukuk selama satu bulan

عَاصِمٌ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَدْ كَانَ الْقُنُوتُ قُلْتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قَالَ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمُ الْقُرَّاءُ زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا إِلَى قَوْمٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ.

Dari Ashim ia berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut, beliau menjawab: Qunut sudah lama dikerjakan. Aku bertanya: Sebelum ruku’ atau setelahnya? Beliau menjawab: Sebelumnya. Ia berkata: Karena fulan menceritakan padaku dari engkau bahwa engkau mengatakan: Setelah ruku’. Beliau menjawab: Dia berdusta (salah), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setelah ruku’ hanya selama satu bulan, beliau mengutus suatu rombongan yang dikenal dengan Al-Qurra’ berjumlah sekitar 70 orang kepada satu kaum dari musyrikin sedangkan jumlah mereka lebih sedikit dari mereka, pada saat itu antara mereka dan Rasulullah terdapat perjanjian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam qunut selama satu bulan mendoakan keburukan atas mereka. ([27])

Hadits ini menunjukkan bahwa qunut ada dua([28]):

Qunut Nawazil yang dilakukan setelah ruku’.Qunut yang dilakukan sebelum ruku’, jika bukan qunut subuh maka adakah qunut dalam shalat wajib lainnya? Sedangkan dalam selain subuh tidak ada ulama yang mengatakan disyariatkan qunut.

Imam As-Syaukani rahimahullah mengatakan:

واعلم أنه قد وقع الاتفاق على ترك القنوت في أربع صلوات من غير سبب وهي الظهر والعصر والمغرب والعشاء ولم يبق الخلاف إلا في صلاة الصبح من المكتوبات وفي صلاة الوتر من غيرها .

Ketahuilah bahwa telah disepakati meninggalkan qunut dalam empat shalat jika tidak ada sebab, yaitu dhuhur, asar, maghrib dan isya. Tidak tersisa khilaf kecuali dalam shalat subuh dalam shalat wajib dan shalat witir untuk selain wajib. ([29])

Kesimpulan Ibnu Hajar rahimahullah adalah:

ومجموع ما جاء عن أنس من ذلك أن القنوت للحاجة بعد الركوع لا خلاف عنه في ذلك وأما لغير الحاجة فالصحيح عنه أنه قبل الركوع

“Secara kesuluruhan, riwayat dari Anas adalah bahwa qunut karena ada kebutuhan yang dilakukan setelah ruku’ tidak ada khilaf, adapun jika qunut tanpa ada kebutuhan maka yang shahih dari beliau adalah sebelum ruku’”. ([30])

Ketiga : Hadits Al-Bara’ bin Azib qunut subuh dan maghrib

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ.

“Dari Al-Bara’ bin Azib, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu qunut dalam shalat subuh dan maghrib”. ([31])

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan sisi pendalilannya:

وتمسك به الطحاوي في ترك القنوت في الصبح قال لأنهم أجمعوا على نسخه في المغرب فيكون في الصبح كذلك انتهى ولا يخفى ما فيه وقد عارضه بعضهم فقال أجمعوا على أنه صلى الله عليه وسلم قنت في الصبح ثم اختلفوا هل ترك فيتمسك بما أجمعوا عليه حتى يثبت ما اختلفوا فيه.

dan (hadits ini) dipegang oleh At-Thahawi dalam meninggalkan qunut subuh, ia mengatakan karena mereka sepakat bahwa qunut di-naskh dalam maghrib, maka begitupula dalam subuh, selesai ucapan beliau dan tidak ada yang samar di sini. Akan tetapi sebagian ulama membantahnya bahwa mereka sepakat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam qunut dalam subuh, kemudian setelah itu mereka berbeda pendapat apakah beliau meninggalkannya? Maka dari sini, yang dapat dijadikan pegangan adalah ijma’ mereka (dalam melakukan qunut subuh) sampai dapat ditentukan shahihnya apa yang mereka perselisihkan. ([32])

Keempat : Riwayat para salaf dalam qun…
[12.04, 6/3/2022] Abu Ikhsan: Ketiga : Riwayat Ibnu Mas’ud Menafikan Qunut Rasulullah

Al-Baihaqi rahimahullah menjelaskan dalam As-Sunan: Riwayat tersebut diriwayatkan oleh Jabir bin Muhammad As-Suhaimi, dan dia adalah rawi yang matruk. Al-Baihaqi menjelaskan justru sebaliknya, Ibnu Masud meriwayatkan qunut Rasulullah dan doa beliau untuk suatu kaum, maka ini bertentangan dengan riwayat penafian mutlak yang riwayatnya sangat lemah. ([50])

Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan:

أما الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر، وعمر، وعثمان، وعلي، وابن عباس رضي الله عنهم: بأنهم لم يقنتوا فلا حجة في ذلك النهي عن القنوت، لأنه قد صح عن جميعهم أنهم قنتوا، وكل ذلك صحيح، قنتوا وتركوا، فكلا الأمرين مباح، والقنوت ذكر لله تعالى، ففعله حسن، وتركه مباح، وليس فرضا، ولكنه فضل.

Adapun riwayat dari Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka tidak qunut maka tidak ada hujjah dalam larangan qunut tersebut, karena telah shahih dari seluruh mereka bahwa mereka melakukan qunut, dan semuanya shahih, mereka qunut kemudian meninggalkannya, maka kedua hal ini boleh, dan qunut adalah dzikit kepada Allah Ta’ala, sehingga mengerjakannya bagus dan meninggalkannya boleh, bukan fardhu tapi keutamaan. ([51])

Keempat : Riwayat Umar Tidak Qunut

Yaitu:

عن الأسود وعمرو بن ميمون قالا: صلينا خلف عمر الفجر فلم يقنت

Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan:

وقد روينا في باب القنوت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم عن الخلفاء بعده أنهم قنتوا في صلاة الصبح ومشهور عن عمر من أوجه صحيحة أنه كان يقنت في صلاة الصبح فلئن تركوه في بعض الأحايين سهوا أو عمدا دل ذلك على كونه غير واجب.

“Kami telah meriwayatkan dalam Bab Qunut dari Rasulullah kemudian dari khulafa setelah beliau mereka melakukan qunut dalam shalat subuh, dan yang masyhur dari Umar dari berbagai jalur yang shahih bahwa beliau melakukan qunut dalam shalat subuh. Seandainya mereka meninggalkan dalam beberapa keadaan, karena lupa atau sengaja maka itu menunjukkan tidak wajib”. ([52])

Kelima : Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud Tidak Qunut

Ibnu Hazm rahimahullah menerangkan:

Adapun Ibnu Mas’ud sendiri tidak ada riwayat beliau membenci atau melarangnya, akan tetapi beliau tidak qunut, karena mubah, dan para sahabat selain beliau melakukan qunut.

Adapun Ibnu Umar, maka beliau tidak mengetahui, sebagaimana beliau tidak tahu Al-Mashu (disyari’atkannya mengusaf kedua khuf tatkala berwudhu), dan ini bukan celaan bagi orang yang tahu. ([53])

Al-Baihaqi rahimahullah berkata:

نسيان بعض الصحابة أو غفلته عن بعض السنن لا يقدح في رواية من حفظه وأثبته

“Lupanya sebagain sahabat dalam sebagian sunnah tidak menjadikan cacat pada riwayat sahabat lain yang menghafal dan menetapkannya”. ([54])

Keenam : Qunut Subuh Digabung Dengan Qunut Maghrib, Tapi Qunut Maghrib Tidak Dilakukan, Berarti Qunut Subuh Juga Tidak Disyariatkan

Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan jawabannya:

ولا يضر ترك الناس القنوت في صلاة المغرب لأنه ليس بواجب أو دل الاجماع على نسخه فيها

“Dan tidak masalah orang-orang meninggalkan qunut maghrib, karena memang tidak wajib atau ada ijma’ yang menunjukkan bahwa qunut maghrib sudah dimansukh”. ([55])

Kesimpulan:

Para ulama sepakat bahwa:

Disyariatkan qunut Nazilah dalam shalat lima waktu.Selain qunut nazilah maka para ulama sepekat bahwa tidak ada qunut di 4 sholat (dzuhur, ashar, maghrib, dan isya).

Kemudian para ulama berbeda pendapat dalam:

Qunut Subuh (selain qunut nazilah) tetapi qunut harian.Qunut Witir

Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan para ulama di atas, wallahu a’lam yang nampak kuat bagi kami adalah qunut subuh disyariatkan, akan tetapi tidak dilakukan terus-menerus. Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama:

Imam Ad-Dzahabi rahimahullah dari kalangan Syafiiyah, lalu dinukil oleh Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah dari kalangan Hanabilah.

Beliau memberikan keterangan setelah menyebutkan hadits Abu Malik Al-Asyja’i:

فهذا الحديث ما فيه أنهم ما قنتوا قط، بل اتفق أن طارقاً صلى خلفَ كل منهم، وأخبرَ بما رأى، فحديثه في الجملة يدل على أنهم ما كانوا يحافظون على قنوتٍ راتبٍ.

Hadits ini bukan berarti mereka tidak qunut sama sekali, bakan disepakati bahwa Thariq shalat bermakmum di belakang seluruh mereka, lalu beliau menceritakan apa yang ia saksikan, sehingga hadits beliau secara umum menunjukkan bahwa mereka tidak terus-menerus melakukan qunut ratib. ([56])

Ucapan At-Thabari, yang dinukil oleh Ibnu Batthal rahimahullah dari kalangan Malikiyah.

وذلك أنه كان يقنت أحيانًا، ويترك القنوت أحيانًا، فأخبر أنس عنه أنه لم يزل يقنت على ما عهده من فعله ذلك بالقنوت فيها مرةً وترك القنوت أخرى معلمًا بذلك أمته أنهم مخيرون في العمل بأي ذلك شاءوا من فعله. وأخبر طارق أنه صلى معه، فلم يره قنت، وغير منكر أن يكون صلى معه في الأوقات التي لم يقنت فيها، فأخبر عنه بما رأى وشاهد.

Demikian karena beliau terkadang melakukan qunut dan terkadang meninggalkan qunut, sehingga Anas menceritakan dari beliau bahwa kebiasaan beliau adalah terkadang melakukan qunut dan terkadang meninggalkannya, karena mengajarkan umatnya bahwa mereka mendapat pilihan dalam mengerjakannya. Sedangkan Thariq menceritakan bahwa ia shalat bersama beliau, ia melihat sedang tidak qunut, dan tidak mengingkari bahwa beliau shalat bersamanya di waktu-waktu tidak mengerjakan qunut, sehingga ia menceritakan apa yang ia lihat dan ia saksikan. ([57])

Ibnul Qayyim rahimahullah dari kalangan Hanabilah.

نَعَمْ صَحَّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: «وَاللَّهِ لَأَنَا أَقْرَبُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَمَا يَقُولُ: (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ، وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ» ) .

وَلَا رَيْبَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ ذَلِكَ ثُمَّ تَرَكَهُ، فَأَحَبَّ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنْ يُعَلِّمَهُمْ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْقُنُوتِ سُنَّةٌ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ، وَهَذَا رَدٌّ عَلَى أَهْلِ الْكُوفَةِ الَّذِينَ يَكْرَهُونَ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ مُطْلَقًا عِنْدَ النَّوَازِلِ وَغَيْرِهَا، فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه، ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن. وَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ أَحْسَنَ، وَرُكْنُ الِاعْتِدَالِ مَحَلُّ الدُّعَاءِ وَالثَّنَاءِ، وَقَدْ جَمَعَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ.

وَدُعَاءُ الْقُنُوتِ دُعَاءٌ وَثَنَاءٌ، فَهُوَ أَوْلَى بِهَذَا الْمَحَلِّ، وَإِذَا جَهَرَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْيَانًا لَيُعَلِّمَ الْمَأْمُومِينَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

“Benar, telah valid dari Abu Hurairah bahwasanya ia berkata, “Demi Allah sungguh aku yang paling mirip shalatnya dengan shalat Rasulullah”. Maka Abu Hurairah melakukan qunut di rakaát yang terakhir di sholat subuh setelah beliau berkata, “Samiállahu liman hamidah” lalu beliau berdoa untuk kaum mukminin dan melaknat orang-orang kafir.

Dan tidak diragukan bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melakukan hal tersebut lalu meninggalkannya. Maka Abu Hurairah ingin mengajarkan kepada mereka bahwa qunut yang seperti ini adalah sunnah, dan bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melakukannya. Dan ini bantahan terhadap ahlul Kuufah (dari madzhab Hanafi-pen) yang membenci qunut pada shalat subuh secara Mutlaq, baik tatkala dalam kondisi nazilah (adanya musibah) atau selainnya.

Adapun ahlul hadits maka mereka pertengahan antara mereka dan yang menjadikannya mustahab ketika nawazi dan selainnya, mereka juga lebih dekat ke hadits daripada dua kelompok, karena mereka qunut dimana Rasulullah qunut, dan meniggalkan dimana beliau meninggalkan, mereka mengikuti beliau ketika mengerjakan dan meninggalkan. Mereka mengatakan: mengerjakannya sunnah dan meniggalkannya sunnah. Sekalipun demikian mereka tidak mengingkari orang yang melakukannya terus menerus dan mereka juga tidak membenci pelaksanaannya, mereka juga tidak menganggapnya bid’ah dan pelakunya menyelisihi sunnah, sebagaimana mereka tidak mengingkari orang yang mengingkarinya pada saat ada nazilah, mereka pun tidak beranggapan meninggalkannya bid’ah dan yang meninggalkannya menulisihi sunnah, akan tetapi yang melakukan qunut telah melakukan perbuatan yang bagus. Dan siapa yang meninggalkannya maka ia telah berbuat baik. Dan rukun iktidal adalah tempatnya doa dan memuji Allah, dan sungguh Nabi shallallahu álaihi wasallam telah mengumpulkan keduanya (doa dan pujian) pada iktidal. Dan doa qunut adalah doa dan pujian, maka ia lebih utama di tempat ini (iktidal). Dan jika imam mengeraskan bacaan qunut terkadang untuk mengajarkan para makmum maka tidak mengapa”  ([58])

Kemudian beliau mengatakan:

فإذا قلنا: لم يكن مِن هديه المداومةُ على القنوت في الفجر، ولا الجهرُ بالبسملة، لم يدلَّ ذلك على كراهية غيره، ولا أنه بدعة، ولكن هديُه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أكملُ الهدي وأفضلُه، والله المستعان.

Jika kita katakan: terus menerus melakukan qunut subuh adalah tidak termasuk petunjuk beliau, begitupula mengeraskan basmalah, ini tidak menunjukkan bahwa selainnya dibenci, tidak juga bid’ah, akan tetapi petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah petunjuk paling sempurna dan paling utama, wallahu’ musta’an. ([59])

Akhirnya, bagaimanapun juga, qunut subuh adalah masalah yang sudah diperselisihkan oleh para ulama kita semenjak dahulu. Jika ada yang berpendapat hukumnya sunnah telah ada salafnya (dari madzhab malikiyah, syafiíyah, dan dzohiriyah), jika ada yang bependapat bidáh maka juga telah ada salafnya (dari madzhab hanafiyah), dan jika ada yang menyatakan dikerjakan sesekali juga ada salafnya. Yang terpenting bagi kita menghormati dan toleransi terhadap pendapat yang lain selama ada salafnya.

Apa yang dilakukan oleh makmum?

Dalam madzhab hanabilah disebutkan, jika seorang shalat dibelakang imam yang melakukan qunut subuh maka dia ikut qunut imam, sehingga mengaminkan dan berdoa.([60])

FOOTNOTE:

([1]) Majma’ Al-Anhar 1/129 cet. Dar Sa’adat, teksnya adalah: قَالَ الإِمَامُ: الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ بِدْعَةٌ (Al-Imam Abu Hanifah berkata : Qunut subuh bidáh)

([2]) Syarh Muntaha Al-Iradat 1/228 cet. Dar Al-Fikr, Kassyaf Al-Qina’ 1/421 cet. Dar Al-Fikr

([3]) Masaail al-Imaam Ahmad, riwayat ibnihi Ábdillah hal 92 no 324

([4]) Masaail al-Imaam Ahmad, riwayat ibnihi Ábdillah hal 99 no 347, Lihat juga Masaail al-Imaam Ahmad riwayat Ishaaq dan Ahmad 2/648 no 295

([5]) Lihat Al-Inshaf, Al-Mardaawi 2/124.

([6]) Perbedaan qunut subuh antara Malikiyah dan Syafi’iyah:

Malikiyah: (Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/192)

Qunut boleh dilakukan sebelum ruku’ atau setelahnya pada rakaat kedua, tapi yang lebih utama dilakukan sebelum ruku’ setelah membaca surat, tanpa didahului takbir. (Lihat : Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239, Mawahibul Jalil 1/539, Al-Muntaqa Syarh Muwattha 2/290). Hikmahnya adalah karena lebih memudahkan bagi makmum masbuq dan tidak memisahkan antara dua rukun shalat serta itulah amalan Umar radhiyallahu ‘anhu yang ditetapkan dengan hadirnya para sahabat lain.Jika meninggalkan qunut baik dengan sengaja maupun karena lupa maka tidak mengapa, dan tidak perlu sujud sahwi. Bahkan jika sujud sahwi karenanya sebelum salam maka shalatnya batal.Tidak ada doa qunut tertentu, hendaklah berdoa sesuai kebutuhannya, tapi dianjurkan membaca: (Lihat : Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no 4978, Lihat Syarh Ma’ani Al-Atsar no 1475, Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr 1/207)

اللهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ ونَسْتَهْدِيْكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَنَشْكُرُكَ وَلَا نَكْفُرُكَ وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ. اللهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّي، وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ.

Tidak mengangkat kedua tangan. (Mawahibul Jalil 1/540, Hasyiah Al-Adawi ‘Ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239)Dianjurkan tidak mengeraskan bacaan (baik untuk imam, makmum maupun orang yang shalat sendiri), karena itu adalah doa, sehingga lebih baik tidak dikeraskan agar tidak timbul riya’. (Mawahibul Jalil 1/539, Hasyiah Al-Adawi ‘Ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239)

Syafiiyah:

Tempatnya adalah setelah bangkit dari ruku’ pada rakaat kedua, seandainya qunut sebelum ruku’ maka tidak dianggap menurut pendapat yang dikuatkan, sehingga tetap harus mengulang qunut setelah ruku’ dan sujud sahwi setelah salam. (Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 3/495, Al-Adzkar Nawawi hlm. 86, Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah Ibnu ‘Allan 2/293)Jika ditinggalkan maka shalatnya tidak batal, akan tetapi disunnahkan melakukan sujud sahwi, baik ditinggalkan karena sengaja maupun lupa. (Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 3/495, Al-Adzkar Nawawi hlm. 86)Bacaannya, diutamakan membaca ucapan yang diriwayatkan Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan padaku beberapa kalimat yang aku baca ketika witir: ( Ibnu Majah no 1427, Nasa’I no 1745)

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَأَنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa tidak mengapa dengan tambahan وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ sebelum تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ dan tambahan setelahnya dengan فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ Abu Hamid dan Al-Bandaniji dan lainnya bahwa ini dianjurkan. (Lihat : Raudhatut Thalibin 1/254, Al-Majmu’ 3/496)

Disunnahkan juga setelah itu membaca:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: “ketahuilah bahwa dalam qunut tidak ada doa tertentu dalam pendapat yang terpilih, sehingga doa apa saja bisa dijadikan qunut, sekalipun qunut dengan membaca satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang mengandung doa maka dianggap qunut, tapi yang lebih utama adalah yang terdapat dalam sunnah” (Lihat : Al-Majmu’ 3/497, Raudhatut Thalibin 1/254, Al-Adzkar hlm. 88).

Dalam mengangkat tangan ada dua pendapat yang masyhur, yang lebih kuat adalah dianjurkan mengangkat tangan. (Lihat : Al-Adzkar hlm. 88) Adapun mengusap wajah dengan dua tangan seusai berdoa maka ada dua pendapat, pendapat yang terkuat adalah tidak dianjurkan mengusap wajah. (Lihat : Al-Majmu’ 3/500-501)Mengeraskan bacaan qunut bagi imam dalam pendapat yang paling benar, dan tidak mengeraskan jika shalat sendiri tanpa ada khilaf, adapun makmum maka qunut dengan tidak mengeraskan seperti bacaan lainnya jika imam tidak mengeraskan bacaan dan jika imam mengeraskan bacaan maka makmum yang mendengar mengaminkan doanya, jika makmum tidak mendengar qunutnya imam maka qunut makmum juga dengan tidak keras. (Lihat : Al-Adzkar hlm. 86-89, Raudhatut Thalibin 1/253-255, Al-Majmu’ 3/492-511)

([7]) Mawahibul Jalil Syarh Mukhtashar Khalil 1/539, Syarh Minahul Jalil Ala Mukhtashar Khalil.  1/157, Syarh Al-Adawi ‘Ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239, Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/193.

Catatan: Ali bin Ziyad, salah satu murid Imam Malik rahimahumallah dan ulama madzhab Maliki (w. 183 H) berpendapat wajibnya qunut subuh, orang yang meninggalkannya maka shalatnya batal. (Lihat Hasyiah Al-Bunani ‘Ala Az-Zurqani 1/212, Minahul Jalil 1/157, Mawahibul Jalil 1/539)

([8]) Al-Adzkar hlm. 86. Adapun ucapan Imam Syafi’i sendiri, beliau berkata dalam Al-Umm 1/205:

وَلاَ قُنُوتَ في شَيْءٍ من الصَّلَوَاتِ إلاَّ الصُّبْحَ إلاَّ أَنْ تَنْزِلَ نَازِلَةٌ فَيُقْنَتَ في الصَّلَوَاتِ كُلِّهِنَّ إنْ شَاءَ الإِمَامُ.

“Dan tidak ada qunut dalam satu shalatpun kecuali shalat subuh, kecuali ada nazilah maka dilakukan qunut di semua shalat, jika imamnya menginginkannya”.

Faidah: Tersebar di kalangan muta’akhirin kisah Imam Syafi’i shalat subuh di dekat kuburan Imam Abu Hanifah, beliau tidak qunut sebagai bentuk adab kepada Abu Hanifah. Hikayat ini disebutkan oleh Ad-Dahlawi dalam kitab beliau Hujjatullah Al-Balighah 1/269 tanpa menyebutkan sanad bahkan disebutkan setelah itu ucapan Imam Syafi’i “Dan bisa jadi kita turun ke madzhab penduduk Iraq”, sementara ulama-ulama besar penulis sejarah, thabaqat dan biografi tidak menyebutkannya, sehingga kebenaran kisah ini masih menyimpan tanya tanya.

([9]) Al-Muhalla 3/54 cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah

([10]) HR. Bukhari no 4090 dan Muslim no 1586

([11]) Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab 3/504. Sedangkan haditsnya maka diriwayatkan oleh Ahmad 6/394, Tirmidzi 402, Nasa’I 2/204 dan Ibnu Majah 1241. Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih.

Adapun riwayat أَيْ بُنَيَّ فَحَدِّثْ “wahai anakku maka sampaikanlah hal ini” maka ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 3/482 cet. Maktabah Al-Irsyar dan 4/493 cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, namun penulis belum menemukan keterangan yang jelas dari ulama dalam masalah ini, apakah ini tashif ataukah bagaimana? Wallahu a’lam.

([12]) Faedah: Al-Qadhi Abu Muhammad ketika menyatakan shalat wustha adalah shalat subuh berdalil dengan ayat وَقُوْمُوا للهِ قَانِتِيْنَ karena qunut tidak dilakukan kecuali pada shalat subuh, maka ini isyarat bahwa yang dimaksud dengan qunut dalam ayat tersebut adalah qunut subuh. (lihat Al-Muntaqa Syarh Al-Muwattha’ 2/223)

([13]) HR. Ahmad 12679, Daruquthni 1692, Abdurrazzaq 4969, Al-Baihaqi 2926 dan Al-Hakim dalam kitab Al-Arbain

([14]) Taqrib At-Tahdzib, Ibnu Hajar 2/629 nuskhah Muhammad Awwamah.

Catatan penting:

Sebagian penulis masalah qunut subuh ketika menyebutkan hadits ini hanya menyebutkan perkataan ulama yang melemahkan Abu Ja’far Ar-Razi lantas mengatakan haditsnya dhaif, maka ini bukanlah sikap yang ilmiah, alangkah baiknya mereka menyimak ucapan Ibnul Mulaqqin rahimahullah, beliau berkata menyayangkan apa yang dilakukan oleh Ibnul Jauzi:

“Adapun Ibnul Jauzi beliau menyebutkan kecacatannya dalam Al-Ilal Al-Mutanahiyah dan Tahqiq berkaitan dengan Abu Ja’far Ar-Razi, maka ini beliau lakukan untuk membela madzhabnya, karena beliau menukil ucapan yang melemahkannya saja dan ucapan yang tidak baik, beliau mencukupkan riwayat yang menyebutkan kelemahannya dari Ahmad, Ibnul Madini dan Yahya bin Ma’in, maka bukan seperti ini yang dilakukan seorang inshaf”.

Beliau melanjutkan: “Karena hadits Anas dengan jalur ini, Isa bin Mahan tidak menyendiri, tapi ada jalur-jalur lain yang telah aku sebutkan dengan jelas dalam takhrij-ku pada hadits-hadits Al-Muhadzab,engkau harus merujuk padanya”. (Al-Badrul Munir, Ibnul Mulaqqin 3/627)

([15]) At-Taudhih li Syarhi Al-Jami’ As-Shahih

([16]) Al-Ilmam bi Ahadits Ahkam 1/173

([17]) Al-Wasith fi Al-Madzhab, Al-Ghazali, dengan hamisy Syarh Musykilul Wasith oleh Ibnu Shalah 2/131, senada dengan ucapan Imam Nawawi juga dalam Khulashatul Ahkam fi Muhimmatis Sunan wa Qawaid Al-Islam 1/450

([18]) Syarh Al-Bukhari Ibnu Batthal 2/586

([19]) Nata’ijul Afkar 2/94 hadits no 480

([20]) HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya no 1716, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no 3231, At-Tahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/243

([21]) Tentang Ismail Al-Makki disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib 1/289:

وقال ابن معين ليس بشيء وقال ابن المديني لا يكتب حديثه وقال الفلاس كان ضعيفا في الحديث يهم فيه وكان صدوقا يكثر الغلط يحدث عنه من لا ينظر في الرجال وقال الجوزجاني واه جدا، وقال أبو زرعة ضعيف الحديث وقال أبو حاتم ضعيف الحديث مختلط وقال ابن أبي حاتم قلت لابي هو أحب اليك أو عمرو ابن عبيد فقال جميعا ضعيفان واسماعيل ضعيف الحديث ليس بمتروك يكتب حديثه وقال البخاري تركه يحيى وابن مهدي وتركه ابن المبارك وربما ذكره، وقال النسائي متروك الحديث وقال مرة ليس بثقة وقال ابن عدى أحاديثه غير محفوظة إلا انه ممن يكتب حديثه.

([22]) Tentang Amr bin Ubaid disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib 8/62:

قال عمرو بن علي متروك الحديث صاحب بدعة وقال أيضا كان يحيى بن سعيد يحدثنا عنه ثم تركه وقال أيضا كان يحيى وعبد الرحمن لا يحدثان عنه وقال أبو حاتم متروك الحديث وقال الآجري عن أبي داود أبو حنيفة خير من ألف مثل عمرو بن عبيد وقال النسائي ليس بثقة ولا يكتب حديثه وقال في الكنى قال حفص بن غياث ما وصف لي أحد إلا رأيته دون الصفة إلا عمرو بن عبيد فإني رأيته فوق ما وصف لي وما لقيت أحدا أزهد منه وكان يضعف في الحديث وانتحل ما انتحل وقال الميموني عن أحمد بن حنبل ليس بأهل أن يحدث عنه وقال الدوري عن ابن معين ليس بشيء.

([23]) Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: hadits ini dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Kitabul Qunut, dan dicela oleh Ibnul Jauzi karenanya, disebabkan oleh Dinar ini. Akan tetapi Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi membela Al-Khatib dalam kitab beliau At-Tankil dalam fasal khusus beliau membelanya dari tujuh segi, dan Al-Mu’allimi condong menguatkan hadits ini (Lihat Silsilah ad-Dhaifah 3/386).

([24]) At-Tankil 2/147, Syaikh Al-Albani rahimahullah pun menukil ucapan Al-Mu’allimi ini, akan tetapi beliau tidak sepakat dengannya, beliau mengatakan: “dan telah kami kumpulkan dalam tahqiq ini semua jalur yang ia isyaratkan, dan semuanya sangat lemah, kecuali jalur pertama, maka hanya lemah saja, akan tetapi dia munkar sebagaimana akan datang penjelasannya” (Lihat Silsilah ad-Dhaifah 3/386).

([25]) HR. Bukhari no 1001 dan Muslim 1578

([26]) Fathul Bari, Ibnu Hajar 2/490

([27]) HR. Bukhari no 1002

([28]) Hal ini juga diakui oleh Ibnul Qoyyim, beliau berkata -mengomentari hadits Anas- :

وَالْقُنُوتُ الَّذِي ذَكَرَهُ قَبْلَ الرُّكُوعِ غَيْرُ الْقُنُوتِ الَّذِي ذَكَرَهُ بَعْدَهُ

“Dan qunut yang disebutkan oleh Anas sebelum ruku’ bukanlah qunut yang beliau sebutkan setelah ruku’” (Zaadul Maáad 1/273)

Akan tetapi beliau memandang bahwa qunut yang sebelum ruku’ maksudnya adalah lamanya berdiri dalam sholat bukan doa. Tentu ini adalah takwil yang jauh, karena Ashim ketika bertanya kepada Anas tentu bertanya tentang qunut yang berarti doa, bukan qunut yang berarti lama berdiri. Lalu tatkala Anas menjawab tentu sedang membandingkan antara dua hal yang mirip, yaitu doa, bukan membandingkan antara doa dan berdiri. Wallahu álam

([29]) Nailul Authar 2/386

([30]) Fathul Bari, Ibnu Hajar 2/491

([31]) HR. Tirmidzi no 401 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi, diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad no 18493 Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: sanadnya shahih sesuai syarat as-syaikhain.

([32]) Fathul Bari 2/491

([33]) HR. Tirmidzi no 302, Ibnu Majah no 1241, Ahmad no 15920. Menurut Tirmidzi hadits ini hasan shahih, lalu beliau mengatakan: “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ulama”.

([34]) Al-I’tibar fi An-Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Atsar hlm. 91-92

([35]) Al-I’tibar fi An-Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Atsar hlm. 91-92

([36]) Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/193

([37]) Tirmidzi dalam sunan beliau dalam hadits no 403

([38]) Al-Badrul Munir, Ibnul Mulaqqin 3/627

([39]) Disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunan beliau dalam hadits no 404

([40]) Di mana menemukan riwayat salaf tentang qunut subuh?

Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, beliau menyebutkan dua bab:

Yang tidak qunut subuh: beliau menyebutkan 37 riwayat, dari no 7034 sampai 7071

Yang qunut subuh: beliau menyebutkan 12 riwayat, dari no 7072 sampai 7084

Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra, Bab: Dalil bahwa beliau tidak meninggalkan asal qunut subuh, tetapi beliau hanya meninggalkan doa keburukan suatu kaum atau kaum lain dengan nama dan kabilah mereka. Dari no 2926 sampai 2941.

([41]) Al-Istidzkar 2/233

([42]) Al-Muntaqa 1/282

([43]) ‘Aridhatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi 1/163-164

([44]) Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi 2/213, lihat ungkapan senada di Al-Muhalla 3/57

([45]) Lima jawaban ini (no 2 sampai 6) disebutkan dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari tanpa menyebutkan siapa yang mengatakan demikian kecuali keempat adalah ucapan At-Thaibi. Lalu dikomentari penulisnya bahwa terlalu jauh (dalam takwil) dan yang kelima sangat aneh. 3/329

([46]) Siyar A’lam An-Nubala 6/184 berikut teksnya:

قال النسائي: ليس به بأس، وقال أحمد ويحيى: ثقة. وقال أبو حاتم: صالح الحديث، يكتب حديثه. وقال العقيلي: لا يتابع على حديثه في القنوت.

Catatan:

Mutabaah adalah hadits dari jalur lain yang menguatkan hadits ini, menunjukkan bahwa Abu Malik sendiri yang mengingkari qunut subuh. Wallahu a’lam.Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Al-Khathib dalam kitab “Al-Qunut” mempermasalahkan Ayah Abu Malik apakah beliau sahabat atau bukan, akan tetapi Ibnu Hajar mengatakan bahwa ini keanehan dari Al-Khathib. (lihat Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah 3/412)

([47]) Tanqih At-Tahqiq, Ad-Dzahabi 1/225

([48]) Al-Badrul Munir 3/625-626, lihat juga Al-Majmu’ 3/505 dan Ma’alim As-Sunan lil Khatthabi 1/288

([49]) Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari 7/17

([50]) As-Sunan Al-Kubra nomor 2972

([51]) Al-Muhalla 3/57

([52]) Sunan Al-Kubra no 3695

([53]) Al-Muhalla 3/57 dan beliau membahas jawaban ini dengan panjang lebar silahkan merujuk ke sana, lihat juga Al-Majmu’ 3/505

([54]) Sunan Al-Kubra no 2975

([55]) Al-Majmu’ 3/505

([56]) Tanqih At-Tahqiq fi Ahadits At-Ta’liq 1/219, lalu ucapan ini dinukil oleh Ibnu Abdil Hadi Al-Hanbali (w. 744 H) dalam kitab beliau Tanqih At-Tahqiq fi Ahadits At-Ta’liq 2/431

([57]) Syarh Shahih Bukhari 2/586-587

([58]) Zadul Ma’ad 1/264-265

([59]) Zadul Ma’ad 1/265

([60]) Sebagaimana ditegaskan dalam Ar-Ri’ayah As-Sughra dan Al-Hawiyain, dan ditegaskan dalam Al-Fushul untuk ikut. Dalam fatawa Ibnu Az-Zaghuni dianjurkan menurut Ahmad untuk ikut dalam doa yang diriwayatkan Al-Hasan bin Ali, jika ditambahi maka dibenci mengikutinya dan jika tidak ikut sampai sempurna shalat maka lebih utama, namun jika sabar dan ikut maka tidak mengapa. Lihat Al-Inshaf Al-Mardawi 2/124
Kembali ke menu/atas
2. Sholat Jum'at (Fardu 'Ain)

Hukum Shalat Jum’at

Shalat jumat hukumnya fardhu ‘ain dan ini ditetapkan oleh Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’.

Adapun dari Al-quran firman Allah subhanahu wa ta’ala:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ}

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ([1])

Adapun dari As-Sunnah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([2])

Dan juga terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkannya secara sengaja tanpa udzur, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika beliau memegang tongkat di mimbarnya:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat jumat menghentikan perbuatannya. Atau jika tidak, Allah akan menutup hati-hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan tergolong ke dalam orang-orang yang lalai.” ([3])

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” ([4])

Adapun Ijma’ maka kaum muslimin sepakat akan wajibnya shalat jum’at, dan tidak ada yang berkeyakinan tidak wajibnya shalat jum’at.

Hikmah disyariatkan Shalat Jum’at

Allah mensyariatkan waktu-waktu yang banyak untuk berkumpul, di antaranya: berkumpul untuk melaksanakan shalat lima waktu setiap hari, berkumpul ketika shalat dua hari raya, shalat jum’at, ketika haji dan umroh. Sungguh Agama Islam sangat bersemangat dalam mengumpulkan kaum muslimin untuk bersatu dalam niat, perkataan, hati, dan badan. Karena di dalamnya terdapat sesuatu yang menimbulkan rasa cinta antara kaum muslimin, juga terdapat kewibawaan dan kekuatan.

Syarat Wajib Shalat Jum’at

Pertama: Muslim, adapun orang kafir tidak wajib untuk melaksanakan shalat jumat, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas, Dari Ibnu Abbas bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus Muadz ke Yaman, lalu beliau bersabda kepadanya:

ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ…..

“Ajaklah mereka (penduduk Yaman) untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sungguh aku adalah utusan Allah, jika mereka menaatinya, maka beritahukan mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat dalam sehari semalam…. “ ([5])

Sisi pendalilannya adalah bahwa orang kafir, yang pertama kali wajib dilaksanakan adalah mengucapkan dua kalimat syahadat (untuk masuk Islam) kemudian melaksanakan kewajiban-kewajiban yang lain.

Kedua: Lelaki

Ketiga: Tidak ada udzur. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([6])

Dari perkataan Rasulullah ketika mengatakan tidak wajibnya bagi wanita menunjukan mafhum dari kebalikannya bahwasanya lelaki wajib untuk melaksanakan shalat jum’at.

Juga disebutkan bahwa orang yang sakit tidak wajib melaksanakan shalat jum’at. Hal ini dikarenakan sakit termasuk udzur syar’i yang membolehkan seseorang tidak mengikuti shalat jum’at, bukan berarti pembatasan udzur tersebut hanya untuk orang yang sakit saja, tetapi semua udzur yang menyebabkan seseorang kesulitan untuk mendatangi shalat jum’at maka masuk ke dalamnya.

Keempat: Mukallaf, yaitu bukan anak kecil ataupun orang gila berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ”

“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang tidur hingga ia bangun,  dari anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila sampai ia sadar.” ([7])

Kelima: Orang merdeka (bukan budak)

Keenam: Berdomisili dalam suatu daerah.

Golongan Tidak Wajib Shalat Jum’at

Pertama: Musafir

لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ

“Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir.” ([8])

Akan tetapi dikatakan bahwa hadits di atas dho’if ([9]), namun walaupun dhoif para ulama sepakat bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir. Berkata Ibnu Qudamah membawakan perkataan Ibnul Mundzir:

أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا جُمُعَةَ عَلَى النِّسَاءِ. وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الْحُضُورِ فِي مَجَامِعِ الرِّجَالِ، وَلِذَلِكَ لَا تَجِبُ عَلَيْهَا جَمَاعَةٌ. وَأَمَّا الْمُسَافِرُ فَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِ كَذَلِكَ

“Telah sepakat semua orang yang kami ketahui dari kalangan ahli ilmu bahwasanya shalat jum’at tidak wajib bagi wanita, karena wanita bukan termasuk bagian dari orang-orang yang hadir di perkumpulan-perkumpulan para lelaki, karena itu tidak wajib baginya melaksanakan shalat jum’at. Adapun musafir, kebanyakan ulama memandang tidak wajib juga baginya melaksanakan shalat jum’at.” ([10])

Kedua: Wanita

Berdasarkan hadits thoriq Bin Syihab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([11])

Begitu juga berdasarkan ijma’ para ulama, di antaranya:

– Ibnul Mundzir: “Mereka (para ulama) sepakat tidak (wajib) shalat jum’at untuk wanita.” ([12])

– Al-Khotthoby: “Fuqaha telah sepakat bahwa para wanita tidak (wajib) shalat jum’at.” ([13])

– Ibnu Batthol: “Mereka (para Ulama) sepakat bahwa shalat jum’at tidak wajib bagi para wanita.” ([14])

– Ibnu Qudamah: “Adapun wanita, maka tidak ada perselisihan bahwa tidak (wajib) jum’at baginya.” ([15])

Ketiga: Budak

Berdasarkan hadits Thoriq Bin Syihab di atas: “(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.”Dan juga ini disepakati oleh para Imam Madzhab. ([16])Karena dia sudah tersibukkan dengan berkhidmah pada tuannya.

Keempat: Orang yang tidak mukallaf, yaitu belum baligh dan tidak berakal seperti anak kecil dan orang gila.

1- Berdasarkan hadits Ali:

رُفِعَ القلمُ عن ثلاثةٍ: عن النائمِ حتى يَستيقظَ، وعن الصَّبيِّ حتى يَبلُغَ، وعن المجنونِ حتى يَعقِلَ

“Pena pencatat amal telah diangkat dari tiga golongan: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia berakal”.

2- Dan juga berdasarkan hadits Thoriq Bin Hisyam di atas.

3- Para imam madzhab telah sepakat. ([17])

Kelima: Orang yang sakit.

Semuanya ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([18])

Syarat Ditegakkan Shalat Jum’at

Dan syarat ini terbagi menjadi dua: Syarat umum dan Syarat khusus

Syarat umum

Maksud dari syarat umum adalah syarat secara umum yang terdapat pada 5 shalat wajib dan ini dibagi menjadi dua macam:

Pertama: Syarat sah shalat, yaitu: suci dari hadats, masuk waktu shalat, menutup aurat, suci dari najis, menghadap kiblat dan niat.

Kedua: Syarat wajib shalat, yaitu: Islam, berakal dan Mumayyiz (baligh). ([19])

Syarat khusus untuk shalat jum’at

Yaitu syarat yang khusus untuk shalat jum’at:

Pertama: Waktu, yaitu seperti waktu shalat zhuhur. ([20])

Kedua: Berjamaah

Dalil wajibnya shalat jum’at secara berjama’ah adalah firman Allah:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ}

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ([21])

Dan jama’ah terwujud dengan adanya tiga orang, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

وَتَنْعَقِدُ الْجُمُعَةُ بِثَلَاثَةٍ: وَاحِدٌ يَخْطُبُ وَاثْنَانِ يَسْتَمِعَانِ

“Shalat jum’at sah dengan tiga orang: satu orang yang berkhutbah dan dua orang mendengarkannya” ([22])

Ketiga: Tidak boleh menegakkan shalat jum’at dalam sebuah kota lebih dari satu kecuali ada kebutuhan, karena shalat jum’at disyariatkan untuk mengumpulkan kaum muslimin dan ini tidak mungkin tercapai apabila kaum muslim terpencar dengan banyaknya kelompok-kelompok yang menegakkan shalat jumat. Kecuali ada kebutuhan, seperti masjid sudah terlalu penuh dan tidak muat lagi, maka boleh untuk menegakkan shalat jumat lebih dari satu dalam satu kota.

Keempat: Dimulai dengan dua khutbah, sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ}

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ([23])

Berkata At-Thobari makna dari “Dzikrullah” dalam ayat di atas adalah nasihat dari imam. ([24])

Ibnu Qudamah mengatakan:

وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْخُطْبَةَ شَرْطٌ فِي الْجُمُعَةِ، لَا تَصِحُّ بِدُونِهَا كَذَلِكَ قَالَ عَطَاءٌ، وَالنَّخَعِيُّ، وَقَتَادَةُ، وَالثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَإِسْحَاقُ، وَأَبُو ثَوْرٍ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ. وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ مُخَالِفًا، إلَّا الْحَسَنَ

“Secara global, khutbah adalah syarat pada shalat jum’at, tidak sah shalat jum’at tanpa khutbah, begitu yang dikatakan oleh ‘Atho, An-Nakhai, Qotadah, At-Tsaury, As-Syafi’i, Ishaq, Abu Tasur, dan Ashab Ar-Ro’yi. Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi tentang khutbah adalah syarat kecuali Al-Hasan. ([25])

Dan dua khutbah ini menempati posisi dua raka’at yang pada shalat zhuhur, sehingga ketika meninggalkan dua khutbah, maka shalat jum’at tidak sah, sama halnya shalat zhuhur hanya dikerjakan dua raka’at. ([26])

Khutbah Jum’at

Syarat khutbah shalat jum’at ([27])

Pertama: Harus dilakukan ketika sudah masuk waktu

Kedua: Harus dilakukan sebelum melakukan shalat. Ini adalah ijma’ para ulama. ([28])

Dan juga antara khubah dan shalat harus dilakukan dengan berkesinambungan. ([29])

Ketiga: Niat. ([30])

Keempat: Dengan suara keras: maka tidak sah khutbah dengan suara yang pelan dan tidak terdengar oleh jama’ah shalat jum’at, karena maksud dari khutbah jum’at adalah agar tersampaikan apa yang diucapkan oleh khotib, ini tidak terwujud kecuali dengan suara yang keras. ([31])

Rukun-rukun khutbah jum’at

Dalam khutbah jum’at rukunnya adalah minimal dengan apa yang dinamakan khutbah jum’at secara ‘urf. ([32])

Sunnah-sunnah dalam berkhutbah

Hendaknya seorang khotib mengenakan pakaian terbagus.Mengucapkan salam kepada para jamaah dan menghadap mereka.Memberikan nasehat dengan bahasa yang jelas dan mudah difahami.Memendekkan khutbah.Membagi khutbah menjadi dua bagian.

Sunnah-sunnah Shalat Jum’at

Bacaan shalat jumát

Shalat jum’at adalah dua raka’at dan di jahrkan (jelas) bacaannya, disunnahkan ketika salat jum’at untuk membaca surat berikut:

Pilihan Pertama: Membaca surat Al-A’la dan Al-Ghosyiyah, berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ قَالَ وَرُبَّمَا اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَقَرَأَ بِهِمَا

“Dalam shalat hari raya dan shalat Jum’at, Rasulullah membaca: Sabbihisma rabbikal a’la dan Hal ataaka hadiitsul ghaatsiyah. Nu’man berkata: Dan terkadang (hari raya dan shalat jum’at) bertepatan dalam satu hari, maka beliau juga membaca kedua surat tersebut”. ([33])

Pilihan Kedua: Membaca surat Al-Jumu’ah dan Al-Ghasyiyah, berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir ketika ditanya oleh Adh-Dhohhak tentang bacaan Rasulullah ketika shalat jum’at:

أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ قَيْسٍ سَأَلَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ مَاذَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى إِثْرِ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ بِهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

“Dhahhak bin Qais bertanya kepada Nu’man bin Basyir: Surat apakah yang biasa di baca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jum’at setelah surat Al Jum’ah? dia menjawab: Beliau membaca Hal ataaka hadiitsul Ghaasyiyah.” ([34])

Pilihan Ketiga: Membaca surat al-jumu’ah dan al-munafiqun, berdasarkan hadits Ibnu Abu Rofi’:

صَلَّى بِنَا أَبُو هُرَيْرَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَفِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالَ فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ

“Abu Hurairah shalat mengimami kami pada hari Jum’at, ia membaca surat Al Jumuah pada raka’at pertama dan idza jaaakal munafiqun pada raka’at terakhir. Selesai shalat, aku berkata kepadanya: Sesungguhnya Anda membaca surat sebagaimana yang dibaca oleh Ali bin Abi Thalib ketika di Kufah. Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam membaca kedua surat tersebut pada shalat Jum’at. ([35])

Adab-adab yang berkaitan dengan shalat jum’at

Pertama : Datang ke masjid lebih awal

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً

“Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka ia seperti berkurban unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka ia seperti berkurban sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka ia seperti berkurban kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka ia seperti berkurban ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka ia seperti berkurban telur.” ([36])

Kedua : Berangkat dari rumah dalam keadaan sudah berwudhu

Ketiga : Mendengar khutbah dan diam tidak berbicara ketika khatib menyampaikan khutbah

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya akan diampuni antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang sia-sia.” ([37])

Keempat : Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ

“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih utama.” ([38])

Kelima : Memakai wangi-wangian

Di antaranya riwayat dari Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam bersabda:

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

”Tidaklah seseorang mandi pada hari Jumat, lalu ia membersihkan anggota badannya semaksimal mungkin, dan memakai minyak atau memakai wangi-wangian yang ada di rumahnya, kemudian ia berangkat ke masjid, dan ia tidak memisahkan antara dua orang, kemudian ia melaksanakan shalat, dan ketika imam berkhutbah ia pun diam, melainkan dosa-dosanya akan diampuni antara Jumat itu dengan Jumat yang berikutnya’.” ([39])

Keenam : Bersiwak

Ketujuh : Memakai pakaian bagus

Kedelapan : Tidak melangkahi bahu orang

Rasulullah bersabda:

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَاسْتَاكَ، وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ، وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ، ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ، فَلَمْ يَتَخَطَّ رِقَابَ النَّاسِ، ثُمَّ رَكَعَ مَا شَاءَ أَنْ يَرْكَعَ، ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ، كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا

“Siapa yang mandi hari Jum’at, bersiwak, memakai parfum jika memiliki parfum, memakai pakaian paling bagus, kemudian pergi sampai datang ke masjid, tidak melangkahi bahu orang, kemudian shalat sunnah terserah dia, kemudian diam ketika imam datang, tidak berbicara sampai selesai shalat, maka hal itu menggugurkan dosa antara Jum’at itu dan Jum’at sebelumnya”. ([40])

Kesembilan : Tidak berbicara dan mengobrol saat mendengar khutbah Jum’at

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ. وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at ‘Diamlah’, sedangkan khotib sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berkata sia-sia.” ([41])

Kesepuluh : Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik:

يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” ([42])

Kesebelas : Tidak duduk memeluk lutut saat mendengar khutbah

Dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya (Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy), ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” ([43])

Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab:

كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء

“Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari mendengarkan khutbah dan dikhawatirkan pula posisi seperti itu membatalkan wudhu (karena bisa keluar angin tanpa disadari-pent).” ([44])

Permasalahan Seputar Shalat Jum’at

Ketika lupa melakukan shalat jum’at

Sudah diketahui bersama bahwa shalat wajib yang terluput karena lupa atau tertidur maka wajib untuk melaksanakannya ketika ingat. Lalu bagaimana dengan shalat jum’at, apakah sama dengan shalat wajib lainnya?

Berkata ‘Alauddin Al-Hanafi:

وَأَمَّا إذَا فَاتَتْ عَنْ وَقْتِهَا وَهُوَ وَقْتُ الظُّهْرِ سَقَطَتْ عِنْدَ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ ; لأَنَّ صَلاةَ الْجُمُعَةِ لا تُقْضَى

“Adapun jika telah luput shalat jum’at dari waktunya, yaitu waktu shalat zhuhur, maka gugur shalat jum’at tersebut menurut kebanyakan para ulama, karena shalat jum’at tidak dapat diqodho.” ([45])

Maka dapat kita ketahui bahwa siapapun yang terluput darinya shalat jum’at, ia harus melaksanakan shalat zhuhur, bukan shalat jum’at.

Menjamak shalat jum’at dengan shalat ashar

Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini, akan tetapi yang lebih kuat yaitu bolehnya menjamak antara sholat jum’at dan sholat ashar dengan jamak taqdim([46]), hal ini disebabkan ada banyak kesamaan antara shalat jumat dengan shalat zhuhur yang menguatkan untuk menjadikan sholat jumat mengambil hukum sholat dzuhur dalam permasalahan ini.:

Masbuq dalam shalat jum’at

Selagi makmum masbuk mendapatkan satu raka’at dari shalat jum’at, maka dia masih mendapati shalat jum’at tersebut. Adapun jika dia mendapatkan kurang dari satu raka’at maka dia tidak mendapatkan shalat jum’at, ia harus menyempurnakan shalat tersebut sebagai shalat zhuhur. ([47])

Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Huroiroh:

«مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ»

“Siapa yang mendapati satu raka’at dari shalat (imam), maka dia mendapatkan shalat tersebut.” ([48])

Dan satu raka’at didapatkan dengan mendapatkan rukuknya imam. Berdasarkan hadits Abu Bakrah, ketika ia mendapatkan jama’ah dalam keadaan ruku’, ia melakukan ruku’ dari sebelum masuk dalam shaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diceritakan hal tersebut beliau bersabda:

«زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ»

“Semoga Allah menambahkan semangat kepadamu wahai Abu Bakrah, namun shalatmu tidak perlu diulang” ([49])

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Telah kami sebutkan bahwa madzhab kami (Syafi’i), jika seseorang mendapatkan ruku’ di raka’at kedua, maka dia mendapatkan shalat Jumat. Jika tidak, maka tidak. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Ibnul Mundzir menyebutkan hal ini dari Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Anas bin Malik, Sa’id bin Al Musayyib, Al Aswad, ‘Alqomah, Al Hasan Al Bashri, Urwah bin Jubair, An Nakho’i, Az Zuhri, Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Abu Yusuf, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Ibnul Mundzir menyatakan bahwa pendapatnya juga demikian.” ([50])

FOOTNOTE:

([1]) QS. Al Jumuah: 9

([2]) HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.

([3]) HR. Muslim no. 865

([4]) HR. Abu Daud no. 1052, Nasai no. 1369, dan Ahmad 3: 424. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih

([5]) HR. Bukhori no. 1395

([6]) HR. Abu Dawud no. 1067, dishahihkan oleh Al-Abani di Shahih al-Jaami’ no 3111 dan Shahih Sunan Abi Daud no 978

([7]) HR. Abu Dawud no. 4403, dishahihkan oleh Al-Albani di al-Irwaa’ no 297

([8]) HR. Ad Daruquthni no. 1582, namun sanadnya dho’if

([9]) Lihat: At-Tibyan Fi Takhrij Wa Tabwib Ahaadiitsi Buluughil Maroom 5/211

([10]) Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/250

([11]) HR. Abu Daud no. 1067, dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani

([12]) Al-Ijma’ Hal. 40

([13]) Ma’alimus Sunan 1/243

([14]) Syarhu Shohihil Bukhory, Ibnu Batthol

([15]) Al-Mughni Libni Qudamah 2/250

([16]) Madzhab Hanafiyah: “Shalat jum’at tidak wajib bagi musafir, wanita, orang sakit, budak, dan orang yang buta. Jika mereka menghadiri shalat jum’at maka tidak perlu melaksanakan shalat wajib (zhuhur)”. (Mukhtashor Al-Qodhury hal. 40)

Madzhab Malikiyah: Jika shalat jumát wajib bagi lelaki merdeka, maka mafhum mukhoolafahnya (kebalikannya) yaitu tidak wajib bagi wanita dan budak. (Lihat: Syarh Mukhtoshor Kholil 2/79)

Madzhab syafi’iyah: Imam An-Nawawi berkata ketika menyebutkan macam-macam orang yang tidak wajib untuk shalat jum’at: “Dan juga tidak wajib bagi budak dan mukatab (budak yang telah membuat akad dengan tuannya untuk membayarkan sejumlah uang dengan timbal balik mendapat kebebasan) walaupun dia mudabbar (budak yang kebebasannya tergantung dengan kematian tuannya)”. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/485 )

Madzhab hanabilah: Ibnu Qudamah berkata bahwa ada dua riwayat dari Imam Ahmad dalam masalah budak wajib melaksanakan shalat jumat, lalu beliau menguatkan riwayat tidak wajib bagi budak melaksanakan shalat jum’at, berdasarkan hadits Thoriq bin Syihab di atas. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/251)

([17]) HR. Abu Daud no. 1067, dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani

([18]) HR. Abu Daud no. 4403, dan dishahihkan oleh Al-Albani

([19]) Lihat: Bidayatul ‘Abid wa Kifayatuz Zahid, karya Abdurrahman bin Abdullah Al-Khalutiy, hal.36

([20]) Waktu dimasukkan dalam syarat khusus, karena ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

Pendapat pertama: Waktu shalat jumat sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dilakukan setelah zawal (tergelincir matahari), dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Pendapat kedua: Shalat Jum’at boleh dilakukan sebelum zawal, waktunya memulainya sama dengan waktu memulai shalat dhuha, ini adalah pendapat Imam Ahmad, akan tetapi Ibnu Qudamah sendiri yang bermadzhab hambali lebih menyukai untuk dilaksanakan shalat jum’at setalah zawal, karena ini adalah hal yang disepakati oleh semua ulama dan terlepas dari perselisihan. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/250)

([21]) QS. Al Jumuah: 9

([22]) Al-Fatawa Al-kubro 5/355

Para ulama sepakat bahwa:

Syarat sah shalat jum’at adalah harus dilakukan secara berjama’ahTidak sah shalat jum’at jika dilakukan sendirian.

Tetapi ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah disyaratkan bilangan tertentu untuk sah shalat jum’at:

Pendapat pertama: Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat disyaratkan harus minimal 40 orang, berdasarkan hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik:

أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون

Sesungguhnya Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat untuk As’ad bin Zurarah. Aku bertanya kepadanya: “Apabila mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad?” Ka’ab bin Malik menjawab: “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang disebut dengan Naqi’ Al-Khashimaat”. Aku bertanya padanya: “Kalian berapa orang pada saat itu?” Beliau menjawab: “Empat puluh orang.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi: Hadits hasan dengan sanad sahih)

Dijawab oleh ulama yang lain bahwa ini bukan dalil yang tegas bahwa syarat bilangan minimal sahnya shalat jum’at adalah 40 orang, adapun perbuatan mengumpulkan yang dilakukan As’ad Bin Zuroroh ini hanya kebetulan mendapatkan 40 orang, bukan sengaja mencari 40 orang.

Pendapat kedua: Pendapat Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, dan Ath-Thobary. Mereka mengatakan sah shalat jum’at dengan dua orang. Berkata Ibnu al-Útsaimin:

إن الاثنين جماعة فيحصل الاجتماع، ومن المعلوم أن صلاة الجماعة في غير الجمعة تنعقد باثنين بالاتفاق، والجمعة كسائر الصلوات فمن ادعى خروجها عن بقية الصلوات، وأن جماعتها لابد فيها من ثلاثة فعليه الدليل

“Sesungguhnya dua orang adalah jama’ah, sehingga terwujud ijtima’ (perkumpulan). Termasuk sesuatu yang diketahui bersama bahwa shalat jama’ah di selain shalat jum’at itu sah dengan dua orang, sedangkan shalat jum’at sama seperti shalat wajib lainnya. Maka siapa yang menyangka bahwa  shalat jum’at berbeda dari shalat-shalat lain dan jama’ahnya harus terdiri dari tiga orang, ia harus bisa dalil” (Asy-Syarh al-Mumti’ 5/41).

Ibnu Hazm berkata :

وأما حجتنا فهي ما قد ذكرناه قبل من حديث مالك بن الحويرث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له:” إذا سافرتما فأذنا وأقيما، وليؤمكما أكبركما “، فجعل عليه السلام للاثنين حكم الجماعة في الصلاة”

“Adapun hujjah kami adalah yang kami sebutkan sebelumnya dari hadits Malik bin Al-Huwairits  bahwa Rasulullah berkata kepadanya: Jika kalian berdua safar maka adzan dan iqomahlah, lalu hendaklah yang paling besar di antara kalian menjadi imam. Rasulullah menjadikan dua orang sudah dihukumi berjama’ah dalam shalat.” (Al-Muhalla 3/251)

Berkata Asy-Syaukani:

” و اعلم أنه لا مستند لاشتراط ثمانين أو ثلاثين أو عشرين أو تسعة أو سبعة ، كما أنه لا مستند لصحتها من الواحد المنفرد ، و أما من قال أنها تصح باثنين فاستدل بأن العدد واجب بالحديث و الإجماع ، و رأى أنه لم يثبت دليل على اشتراط عدد مخصوص ، و قد صحت الجماعة في سائر الصلوات باثنين ، و لا فرق بينها و بين الجماعة ، و لم يأت نص من رسول الله صلى الله عليه و سلم بأن الجمعة لا تنعقد إلا بكذا، و هذا القول هو الراجح عندي”

“Ketahuilah bahwa tidak ada landasan dalam pensyaratan bilangan 80, 30, 20, 9, atau 7. Sebagaimana tidak ada landasan untuk sahnya shalat jum’at bagi satu orang. Adapun yang mengatakan bahwa shalat jum’at sah dengan dua orang, maka ia berdalil bahwa bilangan ini adalah yang dinyatakan wajib (dalam berjama’ah) berdasarkan hadits dan ijma’, juga dia memandang tidak ada dalil yang bisa mendasari syarat bilangan tertentu, sesungguhnya shalat berjama’ah itu sah dengan dua orang, dan tidak ada perbedaan antara shalat jum’at dengan shalat jama’ah, juga tidak ada riwayat dari Rasulullah bahwasanya shalat jum’at tidak sah kecuali dengan bilangan tertentu. Ini adalah pendapat yang kuat menurutku.” (Naliul Author 3/276)

Pendapat ketiga: Pendapat Abu Hanifah, beliau mengatakan sah dengan empat orang, berdalil dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Sisi pendalilannya: dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga golongan; (1) Al-Munadi, yaitu muadzin, (2) Yang mengingatkan: yaitu imam atau khothib, (3) Yang mendengar panggilan dan bersegera mendatangi shalat jum’at, karena disini menggunakan lafaz jamak “Fas’au” dan minimal jamak adalah dua. Sehingga total semuanya adalah empat orang.

Tetapi dijawab oleh ulama yang lain bahwa khithab di sini yaitu dalam lafaz “Wahai orang-orang beriman” bersifat umum untuk seluruh orang-orang yang beriman terhadap wajibnya menegakkan shalat jum’at saat dikumandangkan adzan, bukan mengkhususkan beberapa orang tanpa yang lain.

Dan juga kalau kita perhatikan lagi, ketika mendengar khutbah tidak memasukkan muadzin dalam hitungan orang yang mendengarkan khutbah, maka ada yang aneh, karena muadzin dan yang lain sama wajibnya untuk mendengarkan khutbah.

Pendapat keempat: Pendapat yang masyhur dari Malikiyyah, yaitu sah dengan 12 orang. Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Abdillah:

بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ عِيرٌ تَحْمِلُ طَعَامًا فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا }

“Ketika kami sedang shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datang rombongan dagang yang membawa makanan. Orang-orang pun (berhamburan pergi) mendatangi rombongan tersebut, sampai tidak tersisa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali hanya dua belas orang. Maka turunlah ayat ini: (Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, maka mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka meninggalkan kamu ketika kamu sedang berdiri menyampaikan berkhutbah)”. (QS. Al Jumu’ah: 12) (HR. Bukhori no. 884)

Dijawab oleh para ulama: hadits ini bukanlah dalil yang tegas dalam membatasi jumlah minimal harus 12 orang, juga orang yang tersisa terjadi karena kebetulan, bukan sengaja syariat membatasi jumlah mereka, jadi ini tidak bisa dijadikan patokan batasan minimal.

Pendapat kelima: Boleh kurang dari 40 orang dan tidak boleh kurang dari 3 atau 4, ini adalah Madzhab Imam Malik. Dan batasan mereka adalah jika memungkinkan membuat sebuah kampung dengan jumlah tersebut. Tetapi pendapat ini tidak memiliki landasan dalil.

Pendapat keenam: Shalat jum’at sah dengan 3 orang yaitu 1 imam dan 2 makmum. Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, pendapat Abu Yusuf, Al-Auza’i, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin, dan ini adalah yang difatwakan oleh Lajnah Daimah  (Lihat Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/371)

Kesimpulan:

Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak ada dalil yang tegas dalam pembatasa jumlah orang agar shalat jum’at menjadi sah. Dari pemaparan dalil-dalil di atas bisa disimpulkan pendapat yang kuat adalah yang menyatakan bahwa shalat jum’at sah dengan 2 atau 3 orang, karena bilangan tersebut sah untuk melakukan shalat berjamaah.

Tetapi dari keduanya, yang tampak lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa shalat jum’at sah dengan 3 orang. Ketika kita lihat konteks dari ayat “Fas’au ila dzikrillah” kita ambil penafsiran ”dzikir” tersebut dengan khutbah, maka tampak yang diperintahkan untuk bersegera (atau mendengarkan) khutbah adalah bentuk jamak, karena itu bagi yang mendengar khutbah harus lebih dari satu. Ini juga berdasarkan alasan-alasan lain, di antaranya:

Berdasarkan hadits Abu Darda:

ما من ثلاثة في قرية ولا بدو لا تقام فيهم الصلاة إلا قد استحوذ عليهم الشيطان فعليك بالجماعة، فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية

”Tiada tiga orangpun di dalam sebuah desa atau lembah yang tidak didirikan di sana shalat jama’ah, melainkan mereka telah dikuasai oleh setan, karena itu hendaklah kamu membiasakan shalat jama’ah, sebab serigala itu hanya menerkam kambing yang jauh dari kawannya.” (HR. Abu Dawud no. 556)

Secara bahasa, bilangan minimal untuk disebut jamak adalah angka tiga.Diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa shalat jum’at sah dengan dua orang selain imam, ini juga pendapat Ats-Tsaury(Mukhtashor Ikhtilaf Ulama 1/30)Berkata Abu Aja’far: “Jamak yang benar adalah tiga, karena mereka sepakat posisi mereka di belakang imam, adapun dua orang maka ini diperselisihkan hukumnya, ada yang mengatakan di sisi kanan, ada yang mengatakan di sisi kiri, dan ada yang mengatakan di belakang imam (karena ada perselisihan dalam angka dua ini) maka wajib untuk mengambil angka tiga yang telah disepakati.” (Lihat: Mukhtashor Ikhtilaf Ulama 1/31)Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan sah dengan 3 orang, karena khithob dalam wajibnya shalat jum’at datang dengan bentuk jamak “Fas’au ila dzikrillah” dan harus ada jama’ah yang mendengarkan khutbah, batasan minimal jamak adalah dua, adapun yang dilakukan As’ad bin Zuroroh mengumpulkan orang maka ini hanya kebetulan dan tidak secara sengaja.

Beliau juga berkata:

وَتَنْعَقِدُ الْجُمُعَةُ بِثَلَاثَةٍ: وَاحِدٌ يَخْطُبُ وَاثْنَانِ يَسْتَمِعَانِ

“Shalat jum’at sah dengan tiga orang: satu orang yang berkhutbah dan dua orang yang mendengarkannya” (Lihat: Maniyatus Sajid Syarh Bidayatil ‘Abid Wa Kifayatiz Zahid)

Berdasarkan Fatwa Lajnah Daimah:

من كان مقيماً مثلكم إقامة تمنع قصر الصلاة في السفر فعليه إقامة صلاة الجمعة على الصحيح من أقوال العلماء، ولا يشترط لوجوبها ولا لصحتها أن يكون العدد أربعين رجلاً، بل يكفي أن يكونوا ثلاثة فأكثر

“Siapa yang mukim seperti kalian, yang tercegah darinya mengqoshor shalat ketika safar, maka hendaknya ia melakukan shalat jum’at menurut pendapat yang shahih dari berbagai pendapat ulama, dan tidak disyaratkan untuk wajib dan sah (yang hadir) harus berjumlah  40 orang lelaki, akan tetapi cukup 3 orang atau lebih. (Fatawa Lajnah Daimah 2/211)

Syaikh Utsaimin berkata: Akan tetapi pendapat yang diambil Syaikhul Islam lebih benar, karena (dalam shalat jum’at) harus ada jama’ah yang mendengar khutbah, dan bilangan minimal dalam jama’ah adalah dua, sedangkan khotib adalah orang yang ketiga.

([23]) QS. Al Jumuah: 9

([24]) Jami’ul Bayan Fi Takwilil Quran 23/384

([25]) Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/224

([26]) Ada beberapa syarat shalat jum’at lain yang diperselisihkan ulama:

Pertama: Tempat ditegakkannya shalat jum’at harus berada di mishr (kota). Yang dimaksud dengan mishr ini adalah sebuah kota yang di dalamnya ada seorang Qodhy yang semua permasalahan dan gugatan disampaikan kepadanya. Ini dalam madzhab hanafiyah. Tetapi madzhab yang lain tidak mensyaratkan hal ini, inilah yang kuat karena tidak ada dalil jelas yang menunjukkan bahwa shalat jumat harus didirikan di mishr, juga menyebabkan terluputnya syariat shalat jum’at bagi orang-orang yang tinggal di perkampungan.

Kedua: Izin dari pemimpin, ini juga pendapat madzhab hanafiyyah, sedangkan madzhab lain menyelisihinya, karena tidak adanya dalil yang kuat dalam masalah ini.

([27]) Mengambil dari website Islamqa.

([28]) Sebagaimana yang dikatakan oleh Syirbiny:

(الْخَامِسُ) مِنْ الشُّرُوطِ (خُطْبَتَانِ) لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا» (1) وَكَوْنُهُمَا (قَبْلَ الصَّلَاةِ) بِالْإِجْمَاعِ إلَّا مَنْ شَذَّ

“Yang kelima dari syarat-syarat shalat jum’at adalah dua khutbah. Berdasarkan riwayat dalam as-shohihain dari Ibnu Umar: Rasulullah berkhutbah pada hari jum’at dengan dua khutbah, beliau duduk di antara keduanya. Keduanya dilakukan sebelum shalat berdasarkan ijma’ ulama, kecuali ada pendapat yang ganjil”. (Mughni Al-Muhtaj 1/549)

([29]) Berkata Ibnu Qudamah: “Begitupula disyaratkan bersambungnya antara khutbah dan shalat (jum’at)”. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/230)

([30]) Berdasarkan hadits Umar bin Al-Khottob, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat”. (HR. Bukhori No. 1) Tetapi para ulama berbeda pendapat dalam masalah niat adalah syarat dalam khutbah.

([31]) Ada juga syarat khutbah lainnya yaitu harus dengan Bahasa Arab. Para ulama sepakat lebih utama berkhutbah menggunakan Bahasa Arab, tetapi mereka berselisih dalam pensyaratannya menjadi beberapa pendapat:

Merupakan syarat khutbah jum’at bagi yang mampu walaupun yang mendengar tidak memahaminya. Ini pendapat malikiyah dan hanabilah.Merupakan syarat bagi yang mampu, kecuali yang mendengar tidak memahaminya maka harus berkhutbah dengan bahasa yang mereka paham. Dan ini adalah pendapat yang shohih menurut madzhab syafi’iyah dan ini juga pendapat sebagian hanabilah.Bukan termasuk syarat khutbah harus dengan bahasa arab, dan ini adalah perkataan Imam Abu Hanifah dan juga pendapat sebagian syafi’iyah

Dan pendapat ketiga ini adalah pendapat yang kuat, karena sesuai dengan tujuan dari syariat khutbah pada shalat jum’at, yaitu memberi nasehat dan memberi peringatan, sedangkan hal ini tidak mungkin tercapai kecuali berkhutbah sesuai dengan bahasa yang difahami orang yang mendengar.

([32]) Lihat: Al-Muhalla bil Atsar 5/97

Adapun rukun-rukun khutbah, sebagian ulama menyebutkan beberapa perkara, seperti yang disebutkan dalam madzhab syafi’I bahwasa rukun khutbah ada lima berikut:

1- Mengucapkan hamdalah, dengan bentuk ucapan apa pun yang mengandung pujian pada Allah.

2- Bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan apa pun yang menunjukkan shalawat. Disyaratkan agar nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut secara jelas, seperti menyebut dengan Nabi, Rasul atau Muhammad. Tidak cukup dengan dhomir (kata ganti) saja.

3- Wasiat takwa dengan bentuk lafazh apa pun. Tiga rukun ini adalah rukun dari dua khutbah.

4- Membaca salah satu ayat dari Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.

Ayat yang dibaca harus jelas, tidak cukup dengan membaca ayat yang terdapat huruf muqotho’ah (seperti alif laam mim) yang terdapat dalam awal surat.

5- Berdoa kepada kaum mukminin pada khutbah kedua dengan doa-doa yang sudah makruf. (Lihat: Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabi Al Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al Bugho, ‘Ali Asy Syabajiy 1/206-207)

Akan tetapi yang lebih tepat adalah seperti yang disampaikan oleh Syaikh Abdurrhman As-Sa’di:

” اشتراط الفقهاء الأركان الأربعة في كل من الخطبتين فيه نظر ، وإذا أتى في كل خطبة بما يحصل به المقصود من الخطبة الواعظة الملينة للقلوب فقد أتى بالخطبة ، ولكن لا شك أن حمد الله ، والصلاة على رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وقراءة شيء من القرآن من مكملات الخطبة ، وهي زينة لها ”

“Pensyaratan para ulama dengan empat rukun di setiap dua khutbah maka perlu ditinjau ulang, karena apabila (seorang khotib) telah mendatangkan di setiap khutbahnya dengan apa yang mencapai maksud dari khutbah, berupa nasehat yang melunakkan hati, maka dia sejatinya sudah melakukan khutbah. Tetapi tidak diragukan bahwa tahmid, shalawat kepada Rasul, dan membaca satu ayat dari al-quran termasuk kesempurnaan khutbah, dan dia adalah hiasan baginya (khutbah)”. (Lihat: Al-Fatawa As-Sa’diyyah Hal: 193)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

وَلَا يَكْفِي فِي الْخُطْبَةِ ذَمُّ الدُّنْيَا وَذِكْرُ الْمَوْتِ، بَلْ لَا بُدَّ مِنْ مُسَمَّى الْخُطْبَةِ عُرْفًا، وَلَا تَحْصُلُ بِاخْتِصَارٍ يَفُوتُ بِهِ الْمَقْصُودُ، وَيَجِبُ فِي الْخُطْبَةِ أَنْ يَشْهَدَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“Tidak cukup dalam khutbah hanya mencela dunia dan mengingatkan kematian, tetapi harus dengan apa yang dinamakan khutbah secara ‘urf. Tidak tercapai khutbah dengan sesuatu yang ringkas yang justru menghilangkan tujuan khutbah. Wajib dalam khutbah ada syahadat bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”. (Lihat: Al-Fatawa Al-kubro 5/355)

([33]) HR. Abu Dawud No. 1122

([34]) HR. Abu Dawud No. 1123

([35]) HR. Abu Dawud No. 1124

([36]) HR. Bukhāri No. 881 dan Muslim No. 850

([37]) HR. Muslim no. 857

([38]) HR. An-Nasa’i no. 1380, Tirmidzi no. 497, Ibnu Mājah  no. 1091

([39]) HR. Bukhāri no. 883

([40]) HR. Ahmad dalam musnadnya No. 11768 dan sanadnya hasan

([41]) HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851

([42]) HR. Bukhāri no. 930 dan Muslim no. 875

([43]) HR. Tirmidzi, no. 514; Abu Daud, no. 1110. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

([44]) Taqrir Riyadhus Sholihin 1/959

([45]) Bada-I’us Shona-I’ Fii Tartiibisy Syaro-i’ 1/269

([46]) Secara umum ada dua pendapat :

Pertama : Tidak boleh menjamak sholat jum’at dengan sholat ashar. Dan ini adalah pendapat Madzhab Hanbali (lihat  Kasysyaful Qina’ 2/21) dan madzhab Hanafi, karena pada dasarnya madzhab Hanafi tidak membolehkan jamak yang sesungguhnya kecuali pada hari ‘Arofah (antara dzuhur dan ashar) dan di Muzdalifah (antara maghrib dan isya), adapun selain 2 kondisi ini maka hanya boleh jamak suri (yaitu pada hakikatnya tidak menjamak, hanya saja misalnya sholat dzuhur di kerjakan di akhir waktu dzuhur, sehingga begitu selesai sholat dzuhur sudah masuk waktu ashar lalu sholat ashar) (lihat Ad-Durrul Mukhtar, hal: 55).

Alasan mereka adalah :

Tidak adanya dalil tentang menjamak antara shalat jum’at dan shalat ashar, dan asal dalam ibadah adalah larangan sampai datang dalil pembolehannya.Tidak dapat diqiyaskan antara shalat zhuhur dengan shalat jum’at, karena tidak boleh mengqiyaskan antara ibadah-ibadah.

Berikut perbedaan antara shalat jumát dan shalat dzuhur :

No.Shalat Jumat Shalat Zhuhur1Tidak sah kecuali dikerjakan secara berjamaahBisa dikerjakan sendiri ataupun berjama’ah2Tidak ditegakkan kecuali di kota atau di kampungDapat dikerjakan di setiap tempat3Tidak ditegakkan dalam safar walaupun dengan berjama’ahDapat ditegakkan ketika safar maupun mukim4Ditegakkan hanya dalam satu masjid dalam satu kota, kecuali ada kebutuhan menegakkannya lebih dari satu masjid dalam satu kotaBisa ditegakkan di setiap masjid berapapun dalam satu kota5Tidak bisa qodho ketika sudah lewat waktunyaTetap harus diqodho walaupun sudah lewat waktunya, jika ada udzur6Wajib untuk lelaku dan tidak wajib bagi wanitaWajib bagi lelaki dan wanita7Tidak wajib bagi budakWajib bagi orang yang merdeka dan budak8Disunnahkan untuk membaca dengan jahr (keras)Disunnahkan untuk membaca dengan sir (pelan)9Disunnahkan untuk membaca surat tertentu seperti Surat Al-Jumu’ah dan Al-MunafiqunTidak ada sunnah membaca surat tertentu10Ada sunnah-sunnah yang harus dikerjakan sebelumnya seperti mandi, memakai wewangian, dan lainnya.Tidak ada sunnah-sunnah khusus yang dilakukan sebelumnya.11Tidak ada shalat sunnah rawatib sebelumnyaAda shalat sunnah rawatib sebelumnya12Didahului dengan dua khutbahTidak didahului dengan dua khutbah13Apabila sudah terluput atau terlewat dalam satu masjid maka tidak bisa diulangKetika terluput dalam satu masjid maka boleh ada pengulangan

Shalat jum’at adalah shalat yang mustaqil (berdiri sendiri), yang hukum-hukumnya berbeda dengan shalat zhuhur.,Karena pada zaman Nabi pernah terjadi hujan yang mana hujan termasuk salah satu sebab bolehnya untuk menjamak sebagaimana hadits anas bin malik tentang a’roby yang meminta kepada Rasulullah untuk berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan,

أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ قَامَ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: هَلَكَ المَالُ وَجَاعَ العِيَالُ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا، فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ قَزَعَةً، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الجِبَالِ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ المَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمُطِرْنَا يَوْمَنَا ذَلِكَ، وَمِنَ الغَدِ وَبَعْدَ الغَدِ، وَالَّذِي يَلِيهِ، حَتَّى الجُمُعَةِ الأُخْرَى، وَقَامَ ذَلِكَ الأَعْرَابِيُّ – أَوْ قَالَ: غَيْرُهُ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تَهَدَّمَ البِنَاءُ وَغَرِقَ المَالُ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا، فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا» فَمَا يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ السَّحَابِ إِلَّا انْفَرَجَتْ، وَصَارَتِ المَدِينَةُ مِثْلَ الجَوْبَةِ، وَسَالَ الوَادِي قَنَاةُ شَهْرًا، وَلَمْ يَجِئْ أَحَدٌ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَّا حَدَّثَ بِالْجَوْدِ

“Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam manusia tertimpa paceklik. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang memberikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang Arab badui berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan telah terjadi kelaparan, maka berdo’alah kepada Allah untuk kami.” Beliau lalu mengangkat kedua telapak tangan berdoa, dan saat itu kami tidak melihat sedikitpun ada awan di langit. Namun demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh beliau tidak menurunkan kedua tangannya kecuali gumpalan awan telah datang membumbung tinggi laksana pegunungan. Dan beliau belum turun dari mimbar hingga akhirnya aku melihat hujan turun membasahi jenggot beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka pada hari itu, keesokan harinya dan lusa kami terus-terusan mendapatkan guyuran hujan dan hari-hari berikutnya hingga hari Jum’at berikutnya. Pada Jum’at berikut itulah orang Arab badui tersebut, atau orang yang lain berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, banyak bangunan yang roboh, harta benda tenggelam dan hanyut, maka berdo’alah kepada Allah untuk kami.” Beliau lalu mengangkat kedua telapak tangannya dan berdoa: اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan jangan sampai menimbulkan kerusakan kepada kami) ‘. Belum lagi beliau memberikan isyarat dengan tangannya kepada gumpalan awan, melainkan awan tersebut hilang seketika. Saat itu kota Madinah menjadi seperti danau dan aliran-aliran air, Madinah juga tidak mendapatkan sinar matahari selama satu bulan. Dan tidak seorang pun yang datang dari segala pelosok kota kecuali akan menceritakan tentang terjadinya hujan yang lebat tersebut.” (HR. Bukhori no. 933)

Kedua : Boleh menjamak sholat jum’at dan sholat ashar, maka ini adalah dzohir dari pendapat madzhab Maliki, karena mereka membolehkan menjamak dua shalat fardhu yang waktunya saling berkaitan seperti antara dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya (lihat Al-Muqaddimat Al-Mumahhidat 1/186) sementara mereka memandang bahwa waktu sholat jumat adalah waktu sholat dzuhur (lihat At-Tamhiid At-Tamhid 8/71).

Dan ini juga adalah pendapat madzhab Syafi’i. Meskipun madzhab syafi’i dalam hal ini terbagi menjadi 3 kelompok :

ada yang membolehkan secara mutlak, baik jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Ini adalah pendapat an-Nawawi (lihat Al-Majmu’ 4/383)ada yang tidak membolehkan secara mutlak, ini adalah pendapat Ar-Ruyani (lihat Bahrul Madzhab 2/308)dan ada yang membolehkan dengan jamak taqdim saja. Ini adalah pendapat mayoritas ulama syafi’iyah, diantaranya Al-‘Imrani, Az-Zarkasyi, Zakariya Al-Anshari (Lihat : Asnal Mathalib 1/242), Asy-Syirbini (Lihat : Mughnil Muhtaj 1/529) , Syamsuddin Ar-Ramli (Lihat : Nihayatul Muhtaj 2/272-273), Al-Bujairami (Lihat : Hasyiah Al-Bujairami Alal Khathib 2/175), Ibnu Hajar Al Haitami (Lihat : Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj 2/394).

Alasan mereka adalah:

Mengqiyaskan dengan shalat zhuhur, ketika shalat zhuhur boleh dijamak dengan ashar maka begitu pula shalat jum’at yang waktunya sama dengan shalat zhuhur boleh dijamak dengan shalat ashar.

Jika ada yang mengatakan ini masuk dalam Qiyas dalam ibadah, maka Qiyas yang tidak dibolehkan dalam ibadah adalah bila dia tidak bisa dicerna oleh akal (ghairu ma’qulil ma’na). Adapun masalah ini, yakni menjamak shalat, maka termasuk hal yang ma’qulul ma’na, karena kita tahu bahwa maksud dari menjamak dua shalat ini adalah untuk meringankan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari kesulitan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- [HR. Muslim: 705].

Bahwa shalat Jum’at adalah gantinya shalat Zhuhur dan pengganti itu bisa mengambil hukum sesuatu yang digantikannya. Sehingga ketika shalat Zhuhur bisa dijamak dengan shalat Ashar, maka begitu pula shalat Jum’at bisa diganti dengan shalat Ashar.

Diantara bukti bahwa shalat Jum’at itu pengganti shalat Zhuhur adalah:

Pertama : Ketika makmum masbuq dan hanya mendapati shalatnya imam kurang dari satu rekaat, maka dia harus menyempurnakannya menjadi shalat Zhuhur empat rekaat.

Kedua :  Saat makmum ketinggalan shalat Jum’at, baik masih dalam waktunya, ataupun sudah keluar waktunya, dia harus melakukan shalat Zhuhur, bukan shalat Jum’at.

Ketiga : Saat seseorang sedang safar di hari jum’at dan tidak melakukan shalat Jum’at, maka yang dilakukan adalah shalat Zhuhur.

Dan secara umum, ketika shalat Jum’at ditinggalkan, harus diganti dengan shalat Zhuhur. Sebaliknya ketika shalat Jum’at dilakukan, maka shalat Zhuhur menjadi gugur. Ini semua menguatkan kesimpulan bahwa shalat Jum’at adalah gantinya shalat Zhuhur.

Jika demikian, maka sebagaimana ada rukhshah jamak dalam shalat Zhuhur, begitu pula harusnya ada rukhshah jamak dalam shalat Jum’at. Wallahu a’lam.

Adanya kesamaan antara shalat Jum’at dengan shalat Zhuhur dalam hal udzur. Shalat Jum’at sama dengan shalat Zhuhur dalam hal udzur-udzur yang membolehkan seseorang untuk tidak mendatanginya. Maka konsekuensi dari adanya udzur tersebut harusnya juga sama, diantaranya adanya keringanan untuk menjamak.Karena ma’na menjamak antara 2 shalat adalah meletakkan salah satu shalat di waktu shalat yang lain, dan ini didapatkan di shalat jum’at, dan shalat jum’at waktunya tidak berubah akan tetapi kita hanya memajukan shalat ashar ke dalam waktu shalat jum’at, dan ketika kita melakukan jamak taqdim antara shalat zhuhur dengan ashar diselain hari jum’at sama seperti ketika kita menjamak taqdim antara shalat jum’at dengan ashar.Karena Allah memberi keringanan kepada orang yang safar dan tidak mewajibkan mereka untuk melaksanakan shalat jum’at, dan menjadikan safar salah satu udzur yang menggugurkan wajibnya shalat jum’at, walaupun demikian ketika musafir tersebut melaksanakan shalat jum’at maka sah shalatnya karena kemudahan dan rahmat dari Allah, maka bagaimana mungkin dia di beratkan dengan dilarang untuk menjamak shalat jum’at dengan shalat ashar?Karena waktu shalat jumat dan shalat zhuhur itu sama.Dan syari’at tidak memisahkan antara 2 yang semisal, sebagaimana tidak menggabung antara 2 perkara yang berbeda, ketika didapati ‘illah atau sebab untuk menjamak maka didapati hukum bersama dengan illah tersebut, dan disini kita dapati illah menjamak adalah keringanan dari masyaqqoh, maka apa bedanya antara menjamak zhuhur bersama ashar dengan menjamak antara shalat jum’at dengan ashar ketika keduanya sama-sama didapati didalamnya terdapat masyaqqoh atau mungkin masyaqqoh pada shalat jum’at lebih berat.Tidak ada penukilan dari Rasulullah tentang pelarangan menjamak antara shalat jum’at dengan shalat ashar padahal banyak terjadinya safar dihari shalat jum’at, apabila tidak boleh maka aka nada penukilan dari Rasulullah.Adapun kisah A’robi yang minta Nabi untuk berdoa lantas turun hujan di hari jumát, dan ternyata Nabi tidak menjamaknya dengan shalat ashar, maka jawabannya :

Pertama : Hujan tidaklah mewajibkan untuk menjamak shalat, akan tetapi salah satu sebab untuk dibolehkannya menjamak. Dan bisa jadi ketika itu Nabi memilih ázimah (hukum asal) dan tidak mengambil rukhshoh untuk menjamak.

Kedua : Secara logika, jika ternyata dalam kejadian tersebut ada sekelompok orang yang ternyata terlambat datang menghadiri sholat jumát sehingga akhirnya hanya bisa shalat dzuhur, maka apakah diizinkan bagi mereka untuk menjamak shalat dzuhur dan shalat ashar ?. Tentu sepakat dibolehkan bagi mereka. Maka sungguh aneh jika jamaah yang hadir sejak awal untuk melaksanakan shalat jumát dilarang untuk menjamaknya dengna shalat ashar, sementara yang terlambat sehingga hanya bisa shalat dzuhur dibolehkan untuk menjamaknya dengan shalat ashar?, padahal masyaqqoh (kesulitan) yang dihadapi oleh kedua kelompok tersebut adalah sama, sama-sama terhalangi untuk pulang ke rumah akibat hujan yang deras.

Dan pendapat yang lebih kuat adalah yang membolehkan jamak shalat jumát dan shalat ashar dengan taqdim saja. Karena ketika shalat Jum’at dijamak secara taqdim, maka yang menjadi berubah adalah waktu shalat Asharnya, bukan waktu shalat Jum’at-nya.

Jika demikian, maka tidak ada perbedaan antara shalat Ashar di hari Jum’at dengan shalat Ashar di hari-hari lainnya. Jika shalat Ashar di hari-hari lainnya boleh dijamak taqdim, maka harusnya shalat Ashar di hari Jum’at juga boleh dijamak taqdim, karena tidak adanya perbedaan di antara shalat-shalat Ashar tersebut. Wallahu a’lam bis showaab.

([47]) Adapun Abu Hanifah menyatakan bahwa makmum masbuk mendapati shalat jum’at dengan mendapati bagian apapun dari shalat imam, berdalil dengan hadits Abu Huroiroh:

«إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَلاَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ، وَأْتُوهَا تَمْشُونَ، عَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»

“Jika shalat telah didirikan (terdengar iqamat), maka janganlah mendatanginya dengan berlari (tergesa-gesa). Datangilah shalat itu dengan berjalan tenang. Apa yang kamu dapati dari imam, maka shalatlah (kerjakanlah sepertinya), dan apa yang terlewatkan darimu maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no. 908 dan Muslim no. 151)

Sisi pendalilannya: hadits keumumannya ini menunjukkan bahwa apabila makmum masbuk mendapati sedikit dari shalat imamnya, walaupun itu tasyahhud, maka dia shalat dengan posisi yang ia dapati, setelah itu ia bisa menyempurnakan yang tersisa dan tidak perlu menambahkan.

Akan tetapi, jika kita lihat ketika dia hanya mendapatkan tasyahhud, maka dia harus menyempurnakan shalatnya dua raka’at sendirian, maka seakan-akan dia melakukan shalat jum’at secara sendirian, dan kita ketahui shalat jum’at tidak boleh dilakukan sendirian.

Ada juga yang berpendapat: orang yang tidak mendapati khutbah imam maka ia harus mengerjakan shalat zhuhur empat raka’at.

([48]) HR. Bukhori no. 580, Muslim no 607

([49]) HR. Bukhori no. 783

([50]) Al-Majmu Syahul Mudzdzab 4/302
Kembali ke menu/atas
3. Sholat Khauf (Fardu 'Ain)

Shalat khauf adalah shalat fardhu yang dikerjakan apabila kaum muslimin sedang berada dalam keadaan perang, melawan musuh atau berjaga jaga dari serangan musuh. ([1])

Shalat khauf bukanlah shalat yang berdiri sendiri seperti halnya shalat ied atau yang lain, shalat khauf adalah cara melaksanakan shalat wajib lima waktu dalam keadaan kondisi tadi secara berjama’ah.

Syariat shalat khauf telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Allah Ta’āla berfirman:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu”. ([2])

Adapun dalil dari sunnah, maka sangat banyak. Akan kita sebutkan dalam pembahasan tata cara shalat khauf.

Syariat Shalat Khauf berlaku sampai akhir zaman dan tidak dimansukh. ([3])

Shalat khauf boleh dilaksanakan dalam semua bentuk peperangan selama bukan dalam kemaksiatan, seperti berperang melawan orang kafir harbi, melawan orang yang ingin membunuh kaum muslimin atau ingin merampas hartanya. Boleh juga dilakukan karena lari dari hewan buas.([4])

Hikmah

Di antara hikmah disyariatkan shalat khauf adalah untuk meringankan kaum muslimin agar dapat melaksanakan ibadah dan tetap waspada serta tidak lengah terhadap musuh.

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. ([5])

kaki atau mengendarai tunggangan, menghadap ke kiblat maupun tidak”. ([6])

Macam-Macam Ketakutan

Dari dalil dalil diatas kita dapat simpulkan bahwa ketakutan terbagi menjadi dua sifat :

Pertama: Ketakutan yang ringan, disebutkan dalam ayat:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu”. ([7])

Ini adalah ketakutan yang masih memungkinkan kaum muslimin melakukan shalat secara berjama’ah. Maka mereka harus melakukan shalat khauf dengan cara berjama’ah, sebagaimana telah dijelaskan cara-caranya dari cara pertama sampai keenam, tergantung bagaimana yang terbaik dari segi keamanan dan penjagaan dari musuh.

Kedua: Ketakutan yang berat, sebagaimana dalam ayat:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan”. ([8])

Ini adalah ketakutan yang menyebabkan kaum muslimin tidak dapat melaksanakan shalat secara berjama’ah, karena perang yang sedang berkecamuk. Maka kaum muslimin shalat sendiri-sendiri semampu mereka sebagaimana pada cara ketujuh.

Syarat mengerjakan shalat khauf

Dalam peperangan yang mubah

Shalat khauf boleh ditegakkan apabila terjadi di peperangan yang diwajibkan atau dibolehkan oleh syariat, seperti perang melawan kafir harbi, perang melawan pemberontak, atau memerangi orang yang ingin pertumpahan darah kaum muslimin.

Dalilnya adalah sebagai berikut:

1- Dari Al Qur’an

فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا

“Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. ([9])

2- Rukhsah (keringanan) tidak boleh bercampur dengan kemaksiatan. ([10])

3- Shalat khauf itu rukhsah, dan rukhsah boleh dilakukan dalam hal mubah sebagaimana dibolehkan dalam hal-hal yang wajib. ([11])

Yakin adanya musuh

Maka apabila sekelompok orang melihat bayangan hitam lalu mengira itu adalah musuh dan mereka melakukan shalat khauf, lalu ternyata itu bukan musuh maka mereka wajib mengulangi shalat. Ini juga disepakati jumhur ulama’([12])

Dalilnya adalah sebagai berikut :

1- Dari Al Qur’an

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. ([13])

2- Siapapun yang meninggalkan kewajiban dalam shalat dengan prasangka yang tidak benar, maka ia wajib mengulangi. Sebagaimana hadits seorang yang berwudhu lalu ia lupa mengusap kedua kakinya dan dia melaksanakan shalat, setelah itu ingat bahwa dia belum mengusap kakinya, maka dia wajib mengulangi shalatnya. ([14])

Tata cara Shalat Khauf

Shalat khauf bermacam-macam caranya. Nabi telah melaksanakannya di berbagai kesempatan dengan cara yang berbeda-beda, tergantung mana lebih baik dalam melaksanakan shalat dan lebih aman untuk berjaga-jaga. Sehingga walaupun bentuknya berbeda-beda tetapi maknanya sama. ([15])

Cara Pertama ([16])

Cara yang pertama ini disebut cara shalat khauf Dzaatur Riqa’, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melakukannya dalam perang tersebut. Di perang inilah shalat khauf pertama kali disyariatkan.

Perincian tata caranya adalah sebagai berikut:

Imam membagi jamaah menjadi dua kelompok, kelompok pertama shalat bersama imam dan yang kedua menghadap musuh.Imam shalat bersama kelompok tersebut satu raka’at.Setelah mereka menyelesaikan rakaat pertama, mereka menyempurnakan shalat sendiri-sendiri sedangkan imam tetap berdiri. ([17])Kelompok yang telah selesai shalat menggantikan kelompok yang berjaga, adapun yang tadi berjaga sekarang shalat bersama imam.Imam shalat bersama kelompok kedua satu raka’at.Saat imam tasyahud, kelompok ini menyempurnakan sholat sampai tasyahud bersama imam.Setelah mereka semua tasyahud, imam menutup shalat dengan salam.Cara Kedua

Cara ini dilakukan apabila musuh berada di arah kiblat, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah. ([18]) Cara yang kedua ini disebut shalat khauf ‘Usfan karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melakukannya di perang tersebut.

Tata caranya sebagai berikut:

Imam membagi jamaah menjadi dua shaf ke belakang.Imam memulai shalat dari bertakbiratul ihram sampai bangkit dari rukuk bersama seluruh jamaah.Imam turun untuk sujud bersama shaf depan saja, sedangkan shaf yang di belakang berjaga-jaga.Setelah imam beserta shaf depan selesai dan sudah berdiri, maka shaf belakang melakukan sujud.Selesai sujud, shaf belakang maju ke depan dan shaf depan mundur ke belakang.Imam memulai raka’at kedua, sampai rukuk dan bangkit dari rukuk bersama seluruh jamaah.Setelah bangkit, imam sujud bersama shaf yang sekarang berada di depan (tadi pada rakaat pertama di belakang), sedangkan shaf yang di belakang berdiri berjaga-jaga.Saat imam dan shaf depan bertasyahud, barulah shaf belakang sujud sampai mereka bertasyahud semua, lalu imam salam bersama semua makmum.Cara Ketiga

Cara yang ketiga adalah imam shalat dengan sebagian jamaah secara sempurna dua rakaat lalu salam, lalu imam shalat dengan jamaah lainnya sempurna dua rakaat lalu salam. ([19])

Cara yang ketiga ini disebut dengan shalat khauf Bathnu Nakhlah, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melakukannya di sana.

Cara Keempat

Imam membagi jamaah menjadi dua dan imam sholat bersama tiap kelompok satu raka’at. ([20])

Perincian tata cara keempat:

  1. Imam membagi jamaah menjadi dua, sekelompok sholat bersamanya dan kelompok yang lain menghadap musuh.

2. Imam shalat dengan kelompok yang pertama satu rakaat penuh.

3. Setelah sempurna satu rakaat, kelompok pertama menggantikan posisi kelompok    kedua menghadap musuh.

4. Imam shalat dengan kelompok kedua satu rakaat, lalu salam.

5. Lalu kedua kelompok tersebut menyempurnakan shalat mereka masing masing.

Cara Kelima

Imam akan shalat dengan satu kelompok satu raka’at, dengan kelompok yang lain satu raka’at, mereka semua takbir bersama imam dan salam setelah imam. ([21])

Perincian tata caranya adalah:

  1. Imam membagi jamaah menjadi dua kelompok, satu kelompok shalat bersama imam dan yang lain menghadap musuh
  2. Imam memulai shalat dengan takbiratul ihram diikuti oleh semua jama’ah, baik yang shalat dan yang menjaga
  3. Imam shalat dengan kelompok pertama satu raka’at lalu mereka bergantian dengan yang menghadap musuh
  4. Setelah mereka datang ke barisan shalat mereka shalat satu raka’at masing masing sedangkan imam tetap berdiri menunggu mereka
  5. Setelah mereka selesai mereka shalat bersama imam satu raka’at lalu duduk
  6. Lalu yang mengahdap musuh datang ke barisan shalat dan rukuk lalu sujud dan imam beserta yang bersamanya tetap duduk
  7. Setelah mereka semua duduk maka imam salam diikuti semua jama’ah

Cara Keenam (Mengerjakan Shalat Semampunya)

Apabila telah datang waktu sholat, tetapi kaum muslimin tidak dapat melaksanakan shalat secara berjama’ah; misalnya karena musuh terlalu banyak dan pertempuran memakan waktu lama sehingga mereka sulit untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka mereka shalat sendiri-sendiri sesuai yang mereka mampu. Baik dalam keadaan berdiri, berjalan ataupun sedang mengendarai hewan tunggangan, baik mereka menghadap kiblat maupun tidak. Ini adalah pendapat jumhur ulama’.([22])

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan”. ([23])

Ibnu Umar menjelaskan:

فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ أَشَدُّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ، أَوْ غَيْرِ مُسْتَقْبِلِيهَا

“Apabila ketakutan yang terjadi luar biasa maka mereka shalat dalam keadan berjalan diatas

Permasalahan

Shalat Khauf tidak dilakukan dengan qashar apabila tidak dalam safar

Shalat khauf tidak selalu dikerjakan dengan cara qashar. Dalam keadaan muqim maka dikerjakan sesuai jumlah raka’at shalatnya, apabila shalat dhuhur maka empat raka’at, ashar empat raka’at maghrib tiga raka’at dan seterusnya. Karena shalat khauf disyariatkan saat kondisi ketakutan, bukan kerena sebab safar. ([24])

Dan perlu diketahui bahwa shalat khauf boleh dikerjakan selama diperlukan, walaupun tidak dalam keadaan safar. ([25])

Melaksanakan Shalat Jum’at dengan shalat khauf

Apabila dalam suatu daerah terjadi pertempuran lalu tiba waktu shalat jum’at, maka shalat jum’at boleh dilaksanakan dengan cara shalat khauf, baik dengan cara yang dilakukan Nabi di perang dzaatur riqa (cara pertama) maupun dengan cara yang kedua.

Namun apabila menggunakan cara yang pertama disyaratkan:

Imam berkhutbah kepada seluruh jama’ah lalu membaginya menjadi dua kelompok, atau imam berkhutbah kepada suatu kelompok lalu membagi kelompok itu menjadi dua kelompok lagi dengan jumlah empat puluh orang atau lebih. Jika imam berkhutbah dengan suatu kelompok, tetapi shalat dengan kelompok yang lain, maka tidak sah.Jumlah kelompok yang pertama harus lebih dari empat puluh orang, apabila kurang maka shalat jum’atnya tidak sah. Adapun kelompok yang kedua, maka tidak diwajibkan lebih dari empat puluh.

Namun apabila imam telah berkhutbah dan ingin mengerjakan shalat dengan cara yang kedua maka ini lebih baik. ([26])

Membawa senjata saat shalat khauf

Membawa senjata pada saat shalat khauf lebih baik, tidak dianjurkan meletakkan senjata kecuali ada udzur, misalnya: sakit, hujan dan yang lainnya. ([27])

Allah azza wa jalla berfirman:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ… وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata… Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu”. ([28])

Tetapi jika senjata diletakkan saat shalat khauf maka shalat itu tidak batal, karena bukan termasuk pembatal shalat atau meninggalkan rukunnya.

Juga diperbolehkan bagi orang yang sedang melaksanakan shalat khauf untuk memukul, menusuk dan lain lain. karena inilah tujuan dari membawa senjata saat shalat. Gerakan tersebut tidak membatalkan shalat karena ada udzur. ([29])

Sujud sahwi saat shalat khauf

Dalam shalat khauf, kelompok pertama wajib sujud sahwi apabila terjadi kesalahan pada raka’at pertama, ketika mereka shalat bersama imam. Akan tetapi apabila imam melakukan kesalahan setelah mereka berpisah di raka’at kedua maka mereka tidak sujud sahwi, karena mereka telah berpisah dengan imam dan menyempurnakan shalat mereka sendiri.

Adapun untuk kelompok yang kedua, maka mereka mengikuti imam, baik terjadi kesalahan di raka’at pertama ataupun kedua. Karena kelompok kedua hukumnya sama dengan hukum orang yang masbuq dalam shalat, dan mereka salam dengan salam imam juga, maka mereka sujud sahwi apabila imam sujud di akhir shalatnya. ([30])

Keadaan berubah aman ketika shalat khauf

Apabila sedang melakukan shalat khauf lalu keadaan berubah menjadi aman, maka shalat disempurnakan seperti halnya shalat dalam keadaan aman. Apabila seorang sedang menunggangi hewan dan tidak menghadap kiblat maka ia turun dan menyempurnakan shalatnya dengan menghadap kiblat seperti saat dalam keadaan aman.

Demikian sebaliknya, orang yang sedang shalat dalam keadaan aman dengan mengerjakan semua rukun dan kewajiban-kewajibannya, lalu keadaan berubah menjadi sulit dan menakutkan, maka dia boleh melaksanakannya dangan cara shalat khauf. ([31])

Meringankan bacaan pada shalat khauf

Imam Syafi’i mengatakan: Imam membaca surat Al fatihah di shalat khauf, dan surat pendek seukuran Al A’la atau atau semisalnya untuk meringankan keadaan perang dan karena beratnya membawa senjata. Jika ia membaca surat Al-Ikhlas atau yang semisalnya pada rakaat pertama maka tidak aku benci. ([32])

Apakah wajib berwudhu ketika shalat khauf ?

Wudhu adalah syarat sahnya semua shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Tidaklah diterima shalat salah seorang di antara kalian apabila ber-hadats sampai dia berwudhu.” ([33]) Apabila tidak ada air maka boleh bertayamum.

Bolehkan berbicara dalam shalat khauf?

Orang yang sedang melaksanakan shalat tidak boleh berbicara, dan ini berlaku dalam semua shalat termasuk shalat khauf. ([34])

FOOTNOTE:

([1]) Kifayah At-Thalib Ar-Rabbani oleh Abu Al-Hasan Al-Maliki

([2]) QS. An-Nisa’ : 102

([3]) Ini adalah pendapat fuqaha empat, mayoritas ulama dan bahkan dinukil ijma’ dalam hal ini. (Lihat Bada’i Shana’i 1/242, Ad-Dzakhirah Al-Qarrafi 2/437, Al-Majmu’ An-Nawawi 4/404, Al-Mughni 2/297)

([4])  Lihat Raudhatut Thalibin (2/62)

([5]) QS. Al-Hajj : 78

([6]) HR. Bukhari 8/199 dan Muslim 1/574. Imam Al Bukhari menambahkan bahwa Imam Malik berkata: Aku mengira Ibnu Umar tidak mengatakan ini kecuali dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam.

Imam Nawawi menjelaskan: “Imam Syafi’I berkata bahwa Ibnu Umar telah meriwayatkannya dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, maka tidak diwajibkan kepada orang yang shalat dalam keadaan berjalan untuk menghadap kiblat seperti orang yang mengendara, walaupun itu dalam takbiratul ihram, rukuk, sujud dan tidak wajib juga menempelkan keningnya ke tanah, karena hal itu bisa membahayakan”. (Raudhatut Thalibin 2/273)

As-Sarakhsi menerangkan: “Mereka tidak wajib mengerjakan shalat secara berjama’ah saat menunggangi hewan, karena ada batas jalan di antara mereka dan imam, sehingga mereka terhalang dari mengikuti imam yang sah”. (Mabsuth karya As-Sarakhsi 2/49)

Begitu juga orang yang berada dalam pesawat tempur, apabila telah datang waktu shalat dan tidak memungkinkan untuk melaksanakannya di daratan karena sempitnya waktu, maka dia shalat di pesawatnya sesuai kemampuannya, baik itu menghadap kiblat atau tidak.

([7]) QS. An-Nisa’ : 102

([8]) QS. Al-Baqarah : 239

([9]) An-Nisa’ : 101

([10]) Lihat Al-Majmu’ oleh An-Nawawi 4/402

([11]) Lihat Al-Hawi Al-Kabir karya Al Mawardi 2/476

([12])  Lihat Al Mughni 2/311, Al-Majmu’ oleh An-Nawawi 4/431, Badai’u Ash-Shanai’ oleh Al-Kasani 1/245

([13]) An-Nisa’ : 101

([14]) Lihat Al-Mughni 2/311

([15]) Lihat penjelasan Al-Khatthabi dalam Maalimus Sunan 1/269

([16]) Ini adalah cara yang tercantum dalam Surat An-Nisa : 102. “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”

Cara ini juga selaras dengan hadits berikut:

عَنْ صَالِحِ بْنِ خَوَّاتٍ، عَمَّنْ صَلَّى مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم، يَوْمَ ذَاتِ الرِّقَاعِ، صَلاَةَ الْخَوْفِ؛ أَنَّ طَائِفَةً صَفَّتْ مَعَهُ، وَصَفَّتْ طَائِفَةٌ وِجَاهَ الْعَدُوِّ. فَصَلَّى بِالَّتِي مَعَهُ رَكْعَةً. ثُمَّ ثَبَتَ قَائِماً، وَأَتَمُّوا لِأَنْفُسِهِمْ. ثُمَّ انْصَرَفُوا. فَصَفُّوا وِجَاهَ الْعَدُوِّ. وَجَاءَتِ الطَّائِفَةُ الْأُخْرَى، فَصَلَّى بِهِمُ الرَّكْعَةَ الَّتِي بَقِيَتْ مِنْ صَلاَتِهِ. ثُمَّ ثَبَتَ جَالِساً، وَأَتَمُّوا لِأَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ سَلَّمَ بِهِمْ.

 

“Dari Shalih bin Khawwaat, dari seorang yang sholat khauf bersama Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam saat perang Dzaat Ar Riqaa’, bahwasannya sekelompok orang sholat bersama beliau dan yang lain menghadap musuh, beliau shalat bersama mereka satu raka’at lalu beliau tetap berdiri, dan mereka menyempurnakan masing masing. Lalu mereka pergi menghadap musuh dan yang lain shalat bersama beliau satu raka’at, lalu beliau duduk dan mereka menyempurnakan masing-masing, lalu beliau salam.” (HR Bukhari No. 4129 dan Muslim No. 842)

Ini adalah cara yang paling mudah, sahabat yang dimaksud dalam sanad hadits tersebut adalah Sahl bin Abi Hatsmah, cara ini adalah yang dipilih Imam Ahmad bin Hambal karena sesuai dengan Al Qur’an, beliau juga mengakui tata cara yang lain karena semua hadits yang shahih tentang shalat khauf boleh dipraktekkan.  (Al-Mughni 2/306)

([17]) Ulama’ berbeda pendapat tentang apa yang dilakukan imam saat menunggu kelompok yang kedua:

Imam Syafi’i mengatakan dalam salah satu qaul beliau, bahwa imam diam saat menunggu, sampai kelompok yang kedua datang, agar sama antara kelompok pertama dan kedua.

Ibnu Qudamah mengatakan: Dalil kami adalah dalam shalat tidak ada kondisi diam dan qiyam adalah untuk membaca, maka hendaknya melakukan apa yang semestinya, sebagaimana ketika menunggu dalam tasyahud, maka bertasyahud juga dan tidak diam, ini sama saja. (Al-Mughni 2/405)

([18]) Berikut haditsnya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْخَوْفِ  فَصَفَّنَا صَفَّيْنِ: صَفٌّ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَالْعَدُوُّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ ، فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَبَّرْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ ، وَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نَحْرِ الْعَدُوِّ ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السُّجُودَ وَقَامَ الصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ وَقَامُوا ، ثُمَّ تَقَدَّمَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ وَتَأَخَّرَ الصَّفُّ الْمُقَدَّمُ ، ثُمَّ رَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَكَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ الَّذِي كَانَ مُؤَخَّرًا فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى ، وَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نُحُورِ الْعَدُوِّ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السُّجُودَ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ ، فَسَجَدُوا ، ثُمَّ سَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَلَّمْنَا جَمِيعًا

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, ia berkata: “Aku melaksanakan shalat khauf bersama Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam maka kami membuat dua shaf di belakang beliau dan musuh berada di antara kami dan kiblat, Nabi bertakbir (takbiratul ihram) maka kami bertakbir, lalu beliau rukuk dan kami rukuk, lalu beliau berdiri dari rukuk dan kami juga berdiri, lalu beliau sujud beserta shaf yang ada di belakang beliau (shaf depan) sementara shaf yang di belakang berdiri menghadap musuh. Ketika beliau selesai sujud dan shaf yang di belakang beliau sudah berdiri, maka shaf yang berada di belakang sujud lalu berdiri dan maju ke shaf yang di depan, sedangkan shaf yang tadi di depan mundur ke belakang. Lalu Nabi rukuk dan kami semua rukuk, lalu beliau bangkit dari rukuk maka kami pun bangkit, lalu beliau sujud bersama shaf yang berada di belakangnya yang di rakaat pertama berada di belakang, sedangkan shaf yang berada di belakang berdiri menghadap musuh. Ketika Nabi selesai sujud beserta shaf yang di belakang beliau, maka shaf yang berada di belakang melakukan sujud, lalu Nabi salam dan mereka salam”. (HR Muslim No. 840)

([19]) Berdasarkan hadits Jabir:

أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بطائفة من أصحابه ركعتين، ثم سلم، ثم صلى بآخرين أيضًا ركعتين، ثم سلم

“Bahwasanya Nabi shalat dengan sebagian sahabatnya dua rakaat lalu salam lalu shalat dengan sebagian yang lain dua raka’at juga lalu salam.” (HR An-Nasa’I No. 1552 hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhoif Sunan An-Nasa’i).

Dan hadits Abu Bakrah:

صلى النبي صلى الله عليه وسلم في خوفٍ الظهر فصف بعضهم خلفه وبعضهم بإزاء العدو، فصلى بهم ركعتين ثم سلم، فانطلق الذين صلوا معه فوقفوا موقف أصحابهم، ثم جاء أولئك فصلوا خلفه، فصلى بهم ركعتين، ثم سلم، فكانت لرسول الله صلى الله عليه وسلم أربعًا، ولأصحابه ركعتين

“Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat khauf di waktu dhuhur, maka sebagian sahabat membuat shaf di belakang beliau dan yang lain menghadap musuh, Nabi shalat bersama mereka dua raka’at lalu salam, lalu yang baru saja shalat bersama beliau pergi dan menggantikan posisi yang lain (untuk berjaga jaga), lalu kelompok yang lain shalat di belakang Nabi dan beliau shalat bersama mereka dua rakaat lalu salam. Sehingga Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam shalat empat rakaat dan para sahabat beliau shalat dua raka’at”. (HR Abu Dāwud No. 1248 hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani Shahih wa Dhoif Sunan Abu Dāwud).

([20]) Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar:

حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما، قال: غزوت مع النبي – صلى الله عليه وسلم – قِبَل نجدٍ فوازينا العدو، فصاففناهم، فقام رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يصلي لنا، فقامت طائفة معه وأقبلت طائفة على العدو، فركع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – بمن معه وسجد سجدتين، ثم انصرفوا مكان الطائفة التي لم تصلِّ، فجاؤوا فركع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – بهم ركعة وسجد سجدتين، ثم سلَّم، فقام كل واحد منهم فركع لنفسه ركعة وسجد سجدتين وفي لفظ لمسلم: (ثم سلم النبي – صلى الله عليه وسلم -، ثم قضى هؤلاء ركعة وهؤلاء ركعة) وفي لفظ لمسلم أيضًا: (ثم قضت الطائفتان: ركعة ركعة)

“Aku berperang bersama Nabi menghadap ke Najed dan kami searah dengan musuh, lalu Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam shalat bersama kami, maka sekelompok shalat bersama beliau dan sekelompok menghadap musuh, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam rukuk bersama mereka lalu beliau sujud dua kali, lalu mereka pergi ke tempat kelompok yang belum shalat, mereka datang dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam rukuk dan sujud dua kali bersama mereka lalu beliau salam. Mereka masing-masing berdiri lalu menyempurnakan rukuk dan sujud dua kali”. Dalam riwayat Muslim: “Lalu Nabi salam dan mereka masing-masing mengqadha satu rakaat”. Dan dalam riwayat muslim juga: “Lalu kedua kelompok tersebut mengqadha satu rakaat satu rakaat”. (HR. Bukhāri No. 942, 4133 dan Muslim No. 839)

Al Hafid Ibnu Hajar berkata:

Zahir hadits ini menunjukkan bahwa mereka menyempurnakan shalat dalam satu waktu, ada kemungkinan bergiliran dan ini adalah yang rajih, karena apabila tidak, hilanglah fungsi berjaga-jaga saat mereka shalat. Ini dikuatkan dengan hadits riwayat Abu Dāwud dari hadits Ibnu Mas’ud: “Lalu Nabi salam dan mereka berdiri, yaitu kelompok kedua, untuk menyempurnakan satu rakaat sendiri-sendiri, lalu mereka pergi dan kelompok pertama datang, lalu menyempurnakan satu rakaat dan salam”. Akan tetapi Ar-Rafi’i dan yang lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dalam hadits Ibnu Umar ini adalah setelah itu kelompok kedua kembali lagi berjaga, sedangkan kelompok pertama menyempurnakan shalat, setelah itu barulah kelompok kedua menyempurnakan shalat. (Fathul Bari 2/431)

([21]) Berdasarkan hadits Abu Hurairah:

عن أبي هُرَيرَةَ أنَّها قامتْ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم طائفةٌ، وطائفةٌ أخرى مقابلَ العدوِّ، وظهورهم إلى القِبلة؛ فكبَّر فكبَّروا جميعًا الذين معه، والذين مقابلَ العدوِّ، ثم ركَع ركعةً واحدةً ركعت الطائفةُ التي معه، ثم سَجَد فسجَدتِ التي تليه, والآخرون قيامٌ مقابلَ العدوِّ، ثم قام وقامت الطائفة التي معه, فذهبوا إلى العدوِّ وقابلوهم, وأقبلتِ الطائفةُ التي كانت مقابلَ العدوِّ، فركعوا وسجدوا، ورسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قائمٌ كما هو، ثم قاموا فرَكع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ركعةً أخرى، فركعوا معه، وسجَدَ وسجَدُوا معه، ثم أقبلتِ الطائفةُ التي كانتْ مقابلَ العدوِّ فركعوا وسجَدوا، ورسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قاعدٌ ومَن معه، ثم كان السَّلامُ، فسَلَّمَ وسلَّموا جميعًا، فكان لرسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ركعتانِ؛ وللقومِ لكلِّ طائفةٍ ركعتانِ

“Bahwasanya sekelompok orang pernah melaksanakan shalat khauf bersama Nabi dan sebagian dari mereka menghadap musuh membelakangi kiblat. Maka Nabi bertakbir (takbiratul ihram) maka yang shalat bersama nabi bertakbir dan juga yang menghadapi musuh, lalu beliau rukuk dan juga orang orang yang shalat bersamanya lalu Nabi sujud dan mereka sujud, sedangkan yang lain menghadap musuh lalu yang shalat bersama nabi berdiri dan menggantikan mereka yang mnghadap musuh, lalu mereka rukuk dan sujud sedangkan Nabi tetap berdiri, setelah sempurna satu raka’at nabi shalat bersama mereka satu raka’at, mereka pun rukuk dan sujud, lalu datanglah mereka yang menghadap musuh lalu rukuk dan sujud sedangkan Nabi dan yang lain tetap duduk, lalu salam, maka mereka semua salam. Maka Nabi shalat dua raka’at dan setiap kelompok juga shalat dua raka’at”. (HR. Abu Dāwud No. 1240, An-Nasa’i No. 1543 dan Ahmad No. 8243 hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dāwud dan Shahih Sunan An-Nasa’i)

([22]) Sebagian ulama berpendapat bolehnya mengakhirkan shalat apabila ketakutan sangat mencekam, apabila para mujahid tidak bisa lagi memahami apa yang mereka katakan karena pertempuran yang sangat berkecamuk. Ini adalah pendapat Imam Bukhari, sebagian ulama’ madzhab hambali, dan juga Al-Auza’i. Ini juga pernah dilakukan sahabat pada zaman Umar radhiallahu anhu ketika Perang Tustar, mereka mengakhirkan shalat subuh sampai waktu dhuha.

Dan ini juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu, beliau menjelaskan bolehnya shalat khauf apabila ketakutan tersebut sangat mencekam dan seseorang tidak dapat menyadari apa yang dia katakan. Beliau juga menjelaskan bahwa mengakhirkan shalat yang pernah nabi lakukan tidaklah mansukh, tetapi masih berlaku dalam keadaan darurat yang memaksa untuk melakukan itu. Lalu beliau berkata: Kita di sini tidak dapat merasakannya secara pasti, karena yang tahu adalah orang yang berada dalam medan peperangan. (Syarh Al Mumti’ 4/586).

([23]) QS. Al-Baqarah : 239

([24]) Sehingga dapat difahami sebagai berikut:

Pertama: Keringanan pada rukun rukun shalat dan jumlah rakaat, apabila terkumpul rasa takut dan safar.

Kedua: Keringanan pada jumlah rakaat saja apabila safar dan tidak ada rasa takut.

Ketiga: Keringanan pada rukun-rukunnya saja apabila takut tapi tidak safar. (Lihat Zaadul Ma’ad 1/529)

Imam Al Hafidz Ibnul Mundzir menjelaskan jika shalat tersebut dalam keadaan tidak qashar: “Shalat khauf dikerjakan dalam keadaan muqim dengan cara imam membagi dua kelompok, dia shalat dengan kelompok pertama dua rakaat lalu dia duduk tasyahud, mereka menyempurnakan sendiri lalu pergi, kemudian kelompok satunya shalat bersama imam dua raka’at, lalu imam tetap duduk saat mereka menyempurnakan tanpa imam, jika mereka duduk tasyahud maka imam salam bersama mereka. Apabila dalam shalat maghrib, maka imam shalat dengan kelompok pertama dua raka’at dan kelompok kedua satu raka’at dengan cara ini pula”. (Al-Iqna’ oleh Ibnu Mundzir 1/123)

Al Khiraqi rahimahullah berkata: “Apabila shalat khauf tersebut maghrib, maka imam shalat dengan kelompok pertama dua raka’at, dan kelompok tersebut menyempurnakan shalat sendiri tanpa imam, cukup membaca Al-Fatihah saja, lalu imam shalat dengan kelompok kedua satu raka’at, lalu kelompok ini juga menyempurnakan sendiri dua raka’at sisanya, dengan membaca Al-Fatihah dan surat pendek”. (Al-Mughni 3/309)

([25]) Akan tetapi Imam Malik berpendapat harus safar, beliau mengatakan bahwa tidak boleh shalat khauf dalam keadaan muqim, karena ayat menunjukkan bahwa shalat tersebut dua raka’at, sedangkan shalat muqim empat rakaat, dan karena Nabi belum pernah melakukannya dalam keadaan muqim. Akan tetapi jumhur ulama’ mengingkari hal itu, karena ayatnya bersifat umum dan Nabi tidak melakukannya karena beliau sedang tidak butuh untuk melakukannya. (Al Mughni 3/305, lihat juga keterangan Imam Syafi’i dalam Al-Umm 1/244)

([26]) Raudhatut Thalibin 2/57. Penyebutan minimal 40 orang ini hanya berlaku bagi pendapat yang mensyaratkan batas minimal sahnya shalat jumat adalah 40 orang.

Imam Syafi’i berkata: “Hendaknya imam tidak meninggalkan shalat jum’at, shalat ied maupun shalat khusuf apabila mungkin mengerjakan shalat dan tetap berjaga-jaga, ia mengerjakan shalat sebagaimana mengerjakan shalat shalat wajib dengan cara shalat khauf”. (Al-Umm oleh Imam Syafi’I 1/260)

([27]) Imam Syafi’I berkata: “Aku lebih suka jika orang yang shalat khauf membawa senjata, selama tidak najis, tidak mengganggu shalatnya atau mengganggu orang lain”. (Al-Hawi Al-Kabir 2/467)

Imam Nawawi menjelaskan dalam bahwa syarat disunnahkannya membawa senjata dalam shalat khauf ada empat: yang pertama adalah senjata tersebut suci, maka tidak boleh membawa senjata yang terdapat sesuatu yang najis, yang kedua tidak menghalanginya untuk melakukan rukun shalat, misalnya helm perang yang menghalangi keningnya dari tempat sujud, yang ketiga tidak mengganggu orang yang shalat di sebelahnya, dan yang keempat adalah apabila ditakutkan akan terjadi bahaya apabila dia meninggalkan senjatanya. (Raudhatut Thalibin 2/60)

Bagi orang yang melaksanakan shalat di atas hewan tunggangan, ia juga diperbolehkan memegang tali kekangnya. (Al-Umm oleh Imam Syafi’i 1/256)

([28]) QS. An-Nisa’ : 102

([29]) QS. An-Nisa’ : 102

([30]) Raudhatut thalibin 2/58, Al Mughni karya Ibnu Qudamah 2/406. Lihat perincian masalah ini dalam Al-Umm 1/246.

Imam Syafi’i berkata: “Apabila imam melakukan kesalahan pada rakaat pertama, dia memberi isyarat pada makmum dengan sesuatu yang bisa mereka fahami bahwa ia lupa, jika mereka mengqadha maka mereka sujud sahwi kemudian salam. Apabila imam tidak lupa tetapi mereka yang lupa setelah berpisah dengan imam, maka mereka sujud karena lupa mereka. Adapun kelompok yang lain sujud bersama imam karena imam lupa di raka’at pertama”. (Lihat Al Haawi Al Kabir 2/469)

([31]) Lihat Al-Haawi Al Kabir 2/471

([32]) Al-Umm oleh Imam Syafi’i 1/245

([33]) HR Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225

([34]) Imam Syafi’i berkata: “Apabila musuh datang dan seseorang berbicara sebab kehadiran musuh tersebut sementara dia dalam shalat, maka shalatnya batal. Tapi apabila dia lupa bahwa dia sedang shalat, maka dia tetap melanjutkan shalat dan nanti melakukan sujud sahwi”. (Al Umm karya Imam Syafi’i 1/247)
Kembali ke menu/atas
4. Sholat Jenazah (Fardu Kifayah)

Secara etimologi, kata janaiz adalah bentuk plural dari jinazah dan bisa juga dibaca janazah, artinya dalam Bahasa Indonesia adalah orang yang telah meninggal dunia ([1]). Ada sebagian ahli bahasa yang membedakan; janazah adalah orang yang telah meninggal, adapun jinazah adalah keranda (yang dipakai untuk meletakkan orang yang telah meninggal) ([2]).

Adapun shalat jenazah, yang dimaksud adalah: menyalati jenazah dengan tata cara khusus. ([3])

Hukum dan dalilnya

Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah, artinya apabila sebagian kaum muslimim melakukannya maka gugur kewajiban tersebut bagi kaum muslimin yang lain, tetapi apabila tidak ada saeorangpun yang mengerjakannya, maka semua orang berdosa.

Dalil wajibnya shalat jenazah adalah firman Allah:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” ([4])

Ayat ini menunjukkan larangan menyalati orang-orang munafiq, maka difahami dari kebalikannya, yaitu apabila mayit tersebut muslim maka wajib dishalati.

Adapun dalil yang menjelaskan bahwa wajib tersebut wajib kifayah adalah dalam hadits Salamah bin Akwa’:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟»، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟»، قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، قَالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ

“Sesungguhnya didatangkan jenazah kepada Nabi agar dishalati, beliau bertanya: Apakah dia memiliki hutang? Para sahabat menjawab: Tidak, Nabipun menyalatinya. Kemudian didatangkan jenazah yang lain, Nabi bertanya: Apakah dia memiliki hutang? Para sahabat menjawab: Iya, Nabipun berkata: Shalatilah teman kalian. Lalu Abu Qotadah berkata: Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah, maka Nabi pun menyalatinya.” ([5])

Sisi pendalilannya:

Sabda beliau, “shalatilah teman kalian” ini adalah perintah yang menunjukkan wajibnya shalat jenazah, akan tetapi fardhu kifayah karena Nabi pada awalnya tidak menyalatinya karena jenazah masih menanggung hutang, seandainya fardhu ‘ain tentunya beliau juga menyalatinya.

Hal ini berdasarkan ijma’ para ulama. ([6])

Keutamaannya

Adapun keutamaan dari sholat jenazah sebagaimana berikut:

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh radhiyallahu’anhu:

«مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ»، قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟ قَالَ: «مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ»

“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar.” ([7])

Mereka diberikan izin untuk memberikan syafaat untuk si mayit, berdasarkan riwayat dari Kuraib, ia berkata:

أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ »

“Anak ‘Abdullah bin ‘Abbas di Qudaid atau di ‘Usfan meninggal dunia. Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Wahai Kuraib, lihat berapa banyak manusia yang menyolati jenazahnya.” Kuraib berkata, “Aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul maka aku pun mengabarkannya, Lantas mereka menjawab, “Ada 40 orang”. Kuraib berkata, “Baik kalau begitu.” Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Keluarkan mayit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa’at (do’a) mereka untuknya.” ([8])

Dan juga berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ

“Tidaklah seorang mayit dishalatkan (dengan shalat jenazah) oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai 100 orang, lalu semuanya memberi syafa’at (mendoakan kebaikan untuknya), maka syafa’at (do’a mereka) akan diperkenankan.”([9])

Doa mereka untuk si mayit akan dikabulkan, berdasarkan riwayat dari Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ

“Tidaklah seorang muslim mati lalu dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan do’a mereka akan dikabulkan.” ([10])

Tata Cara Sholat Jenazah

Sholat jenazah adalah sholat yang dimulai tanpa adzan dan iqomat, tidak ada ruku’ juga sujud, akan tetapi hendaknya sebelumnya kita mengetahui rukun-rukun shalat jenazah.

Rukun-rukun shalat jenazah ada 7:

BerdiriEmpat kali takbirMembaca alfatihahBersholawat kepada nabiMendoakan mayitSalamTertib

Tata Caranya:

1- Niat

Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Umar Bin Al-Khottob,

«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ….»

“sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya” ([11])

Dikatakan oleh Al-Khotthoby maksud dari hadits ini,

أن صحة الأعمال ووجوب أحكامها إنما يكون بالنية فإن النية هي المصرفة لها إلى جهاتها

“sesungguhnya sahnya amalan-amalan dan kewajiban hukumnya hanya didapati dengan niat, karena niat adalah yang menggerakan amalan-amalan kepada arah (tujuan)nya.” ([12])

2- Melakukan takbiratul ihram (takbir pertama), dengan mengangkat kedua tangan sejajar pundak atau telinga([13]), lalu mendekapkan tangan sebagaimana orang sholat biasanya.

Tidak membaca doa istiftah([14]), akan tetapi langsung berta’aawudz (أَعُوّْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ)lalu membaca basmalah (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ).Lalu membaca al-Fatihah([15]), sebagian ulama membolehkan membaca surat pendek atau ayat-ayat setelah membaca al-fatihah([16]).

3- Melakukan takbir kedua dan membaca sholawat kepada Nabi sebagaimana sholawat di tasyahhud([17]), Diantaranya seperti sholawat yang terbaik yang sholawat Ibrahimiyah yang diajarkan langsung oleh Nabi untuk diucapkan dalam sholat. Yaitu;

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah rahmatilah Muhammad dan istri-istri beliau serta keturunan beliau, sebagaimana Engkau merahmati keluarga Ibrahim, dan berilah keberkahan kepada Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya sebagaimana Engkau memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau maha terpuji dan maha agung”([18])

4- Melakukan takbir ketiga dan mendoakan untuk si mayyit dengan doa-doa yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.

Di antara doa-doa tersebut adalah:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الإِسْلَامِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الإِيمَانِ، اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

“Ya Allah berilah ampunanMu bagi yang hidup diantara kami dan yang telah wafat diantara kami, yang hadir, yang tidak hadir, yang masih kecil, yang sudah tua, pria maupun wanita, ya Allah siapa diantara kami yang Engkau berikan kehidupan maka hidupkanlah ia dalam Islam, dan siapa diantara kami yang Engkau wafatkan maka wafatkanlah dalam iman, ya Allah janganlah engkau halangi kami dari pahala bersabar atas musibah kematiannya, dan janganlah Engkau sesatkan kami setelah keimanan” ([19])

Diantaranya juga:

«اللهُمَّ، اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ – أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ -»

Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khilhul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.

“Ya Allah! Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.”([20])

Diatas doa untuk jenazah lelaki, apabila wanita maka tinggal mengganti kata ganti (dhomir) yang tadinya هُ menjadi هَا berikut doanya,

«اللهُمَّ، اغْفِرْ لَها وَارْحَمْها وَعَافِها وَاعْفُ عَنْها، وَأَكْرِمْ نُزُلَها، وَوَسِّعْ مُدْخَلَها، وَاغْسِلْها بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّها مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْها دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِها، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِها وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِها، وَأَدْخِلْها الْجَنَّةَ وَأَعِذْها مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ – أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ -»

Allahummaghfirla-haa warham-haa wa ‘aafi-haa wa’fu ‘an-haa wa akrim nuzula-haa, wa wassi’ madkhola-haa, waghsil-haa bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-haa minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-haa daaron khoirom min daari-haa, wa ahlan khoirom min ahli-haa, wa zawjan khoirom min zawji-haa([21]), wa ad-khilhaa aljannata, wa a’idz-haa min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar

Jika yang dishalatkan adalah dua orang mayit, maka doanya dirubah menjadi :

اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُمَا وَارْحَمْهُمَا وَعَافِهُمَا وَاعْفُ عَنْهُمَا وَأَكْرِمْ نُزُلَهُمَا، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُمَا، وَاغْسِلْهُمَا بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهُمَا مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُمَا دِيَارً خَيْرًا مِنْ دِيَارِهِمَا، وَأَهْلِيْنَ خَيْرًا مِنْ أَهْلِيْهِمَا وَأَزْوَاجاً خَيْرًا مِنْ أَزْوَاجِهِمَا، وَأَدْخِلْهُمَا الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُمَا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّار

Yaitu dengan mengubah dhomir (kata ganti) menjadi kata ganti orang ketiga dua orang yaitu هُمَا

Jika yang dishalatkan adalah banyak mayit, maka doanya dirubah menjadi :

اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَعَافِهِمْ وَاعْفُ عَنْهُمْ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُمْ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُمْ، وَاغْسِلْهُمْ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِمْ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُمْ دِيَارً خَيْرًا مِنْ دِيَارِهِمْ، وَأَهْلِيْنَ خَيْرًا مِنْ أَهْلِيْهِمْ وَأَزْوَاجاً خَيْرًا مِنْ أَزْوَاجِهِمْ، وَأَدْخِلْهُمُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ

Yaitu dengan mengubah dhomir (kata ganti) menjadi kata ganti orang ketiga jamak yaitu هُمْ.

Jika seseorang tidak tahu status mayat, apakah lelaki atau wanita, dua orang atau banyak orang -sebagaimana yang sering terjadi di masjid nabawi dan masjidil haram, karena posisi mayat jauh di depan dan tidak nampak, maka ia boleh berdoa dengan mengganti dhomir mudzakkar هُ yaitu (اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ…) dan yang ia maksudkan adalah المَيِّتُ mayit, atau dengan menggunakan dhomir muánnats هَا yaitu (اللهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا…) dan yang maksudkan adalah الجِنَازَةُ janazah, dan kata المَيِّتُ ataupun  adalah الجِنَازَةُ kata jenis yang mencakup seluruh jenis mayat atau janazah baik tunggal, dua orang, ataupun jamak, lelaki maupun wanita([22]).

Adapun jika yang disholatkan adalah mayit anak kecil maka tidak ada doa yang shahih yang datang dari Nabi shallallahu álaihi wasallam([23]). Namun ada sebagian doa yang datang dari sebagian salaf.

Diantaranya dari Abu Huroiroh radhiallahu ánhu. Yaitu doa:

اللَّهُمَّ أَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah lindungilah dia dari adzab kubur”([24])

Dan dari Al-Hasan al-Bashri yaitu doa:

اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا

“Ya Allah jadikanlah mayat anak kecil ini bagi kami sebagai faroth (yaitu yang tiba lebih dahulu dari orang-orang yang datang untuk mempersiapkan tempat bagi orang-orang yang datang belakangan), salaf (yang lebih dahulu menuju surga karena kita), dan pahala (kematiannya menjadi sebab bagi kami untuk memperoleh pahala dengan kesabaran kami)” (Shahih Al-Bukhari 2/89 di bab : بَابُ قِرَاءَةِ فَاتِحَةِ الكِتَابِ عَلَى الجَنَازَةِ)

Sebagian ulama menganjurkan untuk mendoakan kedua orang tuanya, dengan doa apa saja, mengingat sang bayi atau anak kecil tidak memiliki dosa sama sekali, sehingga kedua orang tuanya lebih utama untuk didoakan. Diantara doa yang disebutkan oleh para fuqohaa’ adalah :

اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِوَالِدَيْهِ، وَذُخْرًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا، اللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِينَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُورَهُمَا، اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فِي كَفَالَةِ إبْرَاهِيمَ وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِينَ، وَأَجِرْهُ بِرَحْمَتِك مِنْ عَذَابِ الْجَحِيمِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ

“Ya Allah, jadikanlah anak ini sebagai faroth, dzukhr, salaf, dan pahala bagi kedua orang tuanya, Ya Allah, perberatlah karenanya timbangan kebaikan kedua orang tuanya, perbanyaklah pahala kedua orang tuanya, masukkanlah dia dalam pengasuhan Ibrahim, dan dengan rahmat-Mu, dan kumpulkanlah dia bersama orang-orang shalih terdahulu dari kalangan orang yang beriman, lindungilah ia dengan rahmatMu dari siksa neraka Jahim, gantikanlah baginya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya.” ([25])

Ibnu Qudamah berkata :

وَبِأَيِّ شَيْءٍ دَعَا مِمَّا ذَكَرْنَا أَوْ نَحْوَهُ أَجْزَأَهُ وَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ مُوَقَّتٌ

“Dan dengan doa apapun yang ia baca baik dari yang kita sebutkan atau yang semisalnya maka sukup, dan tidak ada doa khusus yang valid” ([26])

Apakah boleh berdoa dengan doa-doa yang bukan berasal dari hadits-hadits yang shohih yang datang dari Rasulullah?

Maka jawabannya adalah yang lebih utama kita berdoa dengan doa-doa yang Rasulullah ajarkan kepada kita, namun jika kita berdoa dengan doa yang lain maka tidak mengapa, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah,

«إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ، فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ»

“jika engkau menshalati mayyit maka berdoalah dengan ikhlas untuknya” ([27])

Iimam asy-Syaukani berkata berdasarkan hadits di atas,

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ دُعَاءٌ مَخْصُوصٌ مِنْ هَذِهِ الْأَدْعِيَةِ الْوَارِدَةِ، وَأَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْمُصَلِّي عَلَى الْمَيِّتِ أَنْ يُخْلِصَ الدُّعَاءَ لَهُ

“dalam hadits tersebut terdapat petunjuk bahwasanya tidak ditentukan doa khusus dari doa-doa yang datang (dari hadits-hadits yang shohih), dan selayaknya bagi orang yang menshalati mayyit untuk mengiklaskan doa untuknya” ([28])

Dan Ibnu ‘Abdil Bar berkata,

وَالدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ اسْتِغْفَارٌ لَهُ وَدُعَاءٌ بِمَا يَحْضُرُ الدَّاعِيَ مِنَ الْقَوْلِ الَّذِي يَرْجُو بِهِ الرَّحْمَةَ لَهُ وَالْعَفْوَ عَنْهُ

“dan doa untuk mayyit adalah memohon ampunan untuknya dan mendoakan dengan doa yang terlintas berupa ucapan yang mengandung harapan rahmat dan ampunan untukya” ([29])

Dan berkata Al-Hajjawi,

ويدعو في الثالثة سرا بأحسن ما يحضره ولا توقيت فيه ويسن بالمأثور

“dan berdoa di (takbir) yang ketiga dengan doa yang paling baik yang terlintas secara pelan dan tidak ada  pembatasan disini dan disunnahkan berdoa dengan doa yang dating dari Nabi” ([30])

5- Melakukan takbir terakhir (takbir keempat)([31]), berhenti sejenak, lalu salam ke arah kanan dengan satu kali salam([32]).

Apakah ada doa setelah takbir keempat yang sebelum salam?

Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang lebih kuat adalah dianjurkannya doa setelah takbir yang keempat([33]). Adapun dalilnya hadits Abdullah bin Abi Aufa. Abu Ya’fuur berkata

شَهِدْتُهُ وَكَبَّرَ عَلَى جِنَازَةٍ أَرْبَعًا، ثُمَّ قَامَ سَاعَةً , يَعْنِي يَدْعُو، ثُمَّ قَالَ: أَتَرَوْنِي كُنْتُ أُكَبِّرُ خَمْسًا؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ أَرْبَعًا

“Aku menghadiri Abdullah bin Abi Aufa beliau sholat janazah dan bertakbir 4 kali, lalu beliau diam sesaat -yaitu beliau berdoa-, lalu beliau berkata, “Apakah kalian melihatku bahwa aku bertakbir yang kelima?”. Mereka berkata, “Tidak”. Beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bertakbir empat kali” ([34])

Posisi Imam

Posisi imam untuk janazah wanita maka di tengah badannya tanpa adanya perselisihan di antara para ulama, hal ini berdasarkan hadits Samuroh Bin Jundub,

«صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا، فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا»

“aku menshalati wanita yang meninggal saat nifasnya di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berdiri di tengahnya” ([35])

Hal ini dikarenakan ketika imam berada di posisi tengah wanita maka ini lebih menutup bentuk tubuh wanita dari pandangan para jamaah yang lain, dan terdapat beberapa atsar yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya yang disampaikan oleh Abul Hasan Al-‘Adawi,

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: لِأَنَّهُ يَسْتُرُهَا عَنْ النَّاسِ

Berkata Abu Huroiroh: karena sesungguhnya ia menghalanginya (jenazah wanita) dari (pandangan) manusia. ([36])

Juga berkata imam an-Nawawi:

السنة أن يقف الإمام عند عجيزة المرأة بلا خلاف للحديث ؛ ولأنه أبلغ في صيانتها عن الباقين

“dan sunnahnya adalah seorang Imam berdiri disisi bokong (tengah) wanita tanpa adanya perselisihan karena adanya hadits (yang menjelaskan hal tersebut), dan juga ini lebih menjaganya dari orang lain.” ([37])

Adapun lelaki maka pendapat yang kuat bahwa imam berdiri diposisi kepala lelaki([38]), hal ini berdasarkan riwayat berikut, Abu Ghalib al-Khayyath berkata:

شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَذِهِ جِنَازَةُ فُلَانَةَ ابْنَةِ فُلَانٍ فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلَاءُ فَقَالَ احْفَظُوا

“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalatinya!” Maka beliau pun menshalatinya dan berdiri di sisi tengahnya. Di sisi kami ada al-Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.” Maka al-Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah (perhatikan)!” ([39])

Dan juga dijelaskan alasan mengapa untuk jenazah lelaki imam berada di posisi sejajar dengan kepalanya bukan tengahnya yaitu agar ia tidak melihat kemaluannya. ([40])

Namun apabila jenazah lebih dari 1 orang dan berbeda jenis dan usia maka urutannya untuk yang paling dekat dengan imam adalah dimulai dari lelaki dewasa, anak kecil lelaki, wanita dewasa, lalu anak kecil wanita, hal ini berdasarkan hadits Ammar Maula al-Harits Bin Naufal,

أَنَّهُ شَهِدَ جَنَازَةَ أُمِّ كُلْثُومٍ، وَابْنِهَا، فَجُعِلَ الْغُلَامُ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ، فَأَنْكَرْتُ ذَلِكَ، وَفِي الْقَوْمِ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ، وَأَبُو قَتَادَةَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، فَقَالُوا: «هَذِهِ السُّنَّةُ»

“bahwasanya beliau (Ammar Maula al-Harits Bin Naufal) menyaksikan jenazah Ummu Kultsum dan anak(lelaki)nya, kemudan dijadikan jenazah anaknya yang mendekati imam, maka aku (Ammar Maula al-Harits Bin Naufal) pun mengingkarinya, dan di dalam kerumunan ada Ibnu Abbas dan Abu Sa’id al-Khudry, Abu Qotadah, Dan Abi Huroiroh, lalu mereka berkata: “ini adalah sunnah”. ([41])

Dan imam al-Baihaqi juga meriwayatkan hal serupa dari ‘Ammar Bin Abu Ammar mengatakan,

أَنَّ الْإِمَامَ كَانَ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: وَكَانَ فِي الْقَوْمِ الْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عُمَرَ وَنَحْوٌ مِنْ ثَمَانِينَ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“sesungguhnya yang menjadi imam adalah Ibnu Umar, dan diantara kamu tersebut ada Al-Hasan, Al-Husain, Abu Huroiroh, Ibnu Umar dan sekitar 80 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ([42])

Berkata imam an-Nawawi membawakan perkataan Ibnul Mundzir:

وَمِمَّنْ قَالَ يُقَدَّمُ الرِّجَالُ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ وَالنِّسَاءُ وَرَاءَهُمْ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَعَلِيٌّ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبُو قَتَادَةَ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَالشَّعْبِيُّ وَعَطَاءٌ وَالنَّخَعِيُّ وَالزُّهْرِيُّ وَيَحْيَى الْأَنْصَارِيُّ وَمَالِكٌ والثوري وأصحاب الرأى وأحمد واسحق

“dan termasuk yang mengatakan bahwa jenazah lelaki di kedepankan di dekat imam dan wanita di belakangnya adalah Utsman Bin Affan, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al-Hasan, Al-Husain, Zaid Bin Tsabit, Abu Huroiroh, Abu Said Al-Khudri, Abu Qotadah, Sa’id Bin Al-Musayyib, Asy-Sya’bi, Atho. An-Nakho’i, Az-Zuhri, Yahya Al-Anshori, Malik, Ats-Tsauri, Ashabu Ar-Ro’yi, Ahmad, dan Ishaq.” ([43])

Adapun jika jenazah yang banyak tersebut hanya satu jenis seperti jenazah yang banyak semuanya lelaki atau semuanya wanita maka yang dikedepankan adalah yang paling mulia diantara mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh imam an-Nawawi,

وَإِنْ اتَّحَدَ النَّوْعُ قُدِّمَ إلَى الْإِمَامِ أَفْضَلُهُمْ

“dan jika jenazah sama jenisnya maka di kedepankan (mendekati) imam adalah yang paling mulia diantara mereka”

Lalu beliau melanjutkan penjelasannya tentang patokan yang dijadikan landasan dalam mengukur kemuliaan dengan membawakan perkataan imam al-Haromain,

قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَغَيْرُهُ وَالْمُعْتَبَرُ فِي الْفَضِيلَةِ هُنَا الْوَرَعُ وَالتَّقْوَى وَسَائِرُ الْخِصَالِ الْمَرْعِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَالْغَلَبَةُ عَلَى الظَّنِّ كَوْنُهُ أَقْرَبُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى قَالَ الْإِمَامُ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَا يَلِيقُ بِهَذَا الْبَابِ التَّقْدِيمُ بِغَيْرِ مَا ذَكَرْنَاهُ

“berkata imam al-Haromain dan selainnya: yang menjadi patokan dalam masalah kemuliaan disini adalah sifat waro, taqwa, dan seluruh sifat-sifat yang dijaga dalam menshalatinya.  Dan juga prasangka yang kuat bahwasanya dia adalah yang lebih dekat untuk mendapat rahmat Allah Ta’ala, lalu al-imam rahimahullah berkata: maka tidak layak dalam masalah ini mengedepankan selain yang kami sebutkan.” ([44])

Dan ini juga diperkuat dengan sabda Nabi,

«لِيَلِينِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ»

“hendaknya (berada) setelahku (dalam shaf) dari kalian adalah orang-orang yang dewasa dan yang berilmu, kemudian yang setelahnya kemudian yang setelahnya” ([45])

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang dekat dengan imam adalah orang yang memiliki keutamaan lebih dari yang lainnya

Masbuq dalam shalat janazah

Secara umum ada dua pendapat dalam permasalahan ini.

Pertama: Pendapat mayoritas ulama yang menganggap bahwa setiap takbir pada sholat janazah seperti setiap rakaat pada sholat-sholat yang lainnya

As-Sarokhsi (dari madzhab Hanafi) berkata :

أَنَّ كُلَّ تَكْبِيرَةٍ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجِنَازَةِ قَائِمَةٌ مَقَامَ رَكْعَةٍ

“Bahwasanya setiap takbir dalam sholat janazah menduduki kedudukan setiap rakaát” ([46]) Sehingga barang siapa yang terlambat 2 takbir misalnya makai a masuk mengikuti imam pada takbir ke tiga, lalu menyelesaikan hingga takbir yang keempat, setelah imam selesai maka ia menyempurnakan 2 takbir lagi yang ketinggalan, jika ia tidak mengqodo takbir yang ketinggalan lalu salam bersama imam maka sholat janazahnya tidak sah, sebagaimana diqiaskan dengan sholat-sholat yang lain, barang siapa yang masbuq ketinggalan rakaát lantas tidak mengqodo rakaát yang ketinggalan tersebut maka sholatnya tidak sah. Dan ini adalah madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafií([47]).

Adapun cara sholat masbuq menurut para ulama ini adalah misalnya ia mendapati imam pada takbir yang ketiga, maka ia bertakbir yang pertama lalu membaca al-Fatihah (sementara imam di takbir yang ketiga sedang berdoa), lalu jika imam bertakbir yang keempat maka juga bertakbir yang kedua dan bersholawat kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam. Jika imam salam maka ia bertakbir yang ketiga dan berdoa kepada mayat, akan tetapi dengan segera sebelum mayat diangkat. Cukup ia berdoa dengan singkat misalnya, اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ “Ya Allah ampunilah dia”([48]), lalu ia takbir yang keempat lalu salam([49]).

Kedua: Pendapat sebagian ulama yang lain -dan ini adalah madzhab Hanbali- bahwasanya disunnahkan (tidak wajib) untuk mengqodo takbir yang tertinggal, namun jika ia tidak mengqodo’nya lalu salam bersama dengan salamnya imam maka tidaklah mengapa. Imam Ahmad berkata إذَا لَمْ يَقْضِ لَمْ يُبَالِ “Jika ia tidak mengqodo (takbir yang tertinggal), maka aku tidak perduli”. ([50])

Menurut mereka hal ini karena takbir-takbir dalam sholat janazah adalah takbir-takbir yang berturut-turut yang dikerjakan dalam kondisi berdiri, dan ini mirip halnya dengan takbir-takbir tatkala berdiri di sholat íed. Sehingga jika ada takbir yang tertinggal tidak harus diqodo.

Adapun cara sholat masbuq menurut mereka adalah misalnya jika masbuq mendapati imam pada takbir yang ketiga, maka iapun bertakbir seperti takbir yang ketiga, maka ia langsung berdoa sebagaimana sang imam sedang berdoa kepada mayat, jika imam salam setelah takbir yang keempat, maka ia boleh salam bersama salamnya imam, atau ia mengqodo 2 takbir yang tertinggal, yaitu -setelah imam salam- ia takbir yang pertama dan membaca al-fatihah dan lalu takbir yang kedua ia bersholawat kepada Nabi lalu ia salam. ([51])

Jika tidak diketahui jumlah janazah, lelaki atau wanita?

Jika seseorang tidak tahu status mayat, apakah lelaki atau wanita, dua orang atau banyak orang -sebagaimana yang sering terjadi di masjid nabawi dan masjidil haram, karena posisi mayat jauh di depan dan tidak nampak, maka ia boleh berdoa dengan mengganti dhomir mudzakkar هُ yaitu (اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ…) dan yang ia maksudkan adalah المَيِّتُ mayit, atau dengan menggunakan dhomir muánnats هَا yaitu (اللهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا…) dan yang maksudkan adalah الجِنَازَةُ janazah, dan kata المَيِّتُ ataupun  adalah الجِنَازَةُ kata jenis yang mencakup seluruh jenis mayat atau janazah baik tunggal, dua orang, ataupun jamak, lelaki maupun wanita([52])

Jika lupa, apakah sujud sahwi?

Ada dua kesepakatan para ulama dalam hal ini.

Pertama : Para ulama sepakat tidak ada sujud apapun dalam sholat janazah([53]).

Kedua : Para ulama sepakat bahwa makmum yang lupa tidak perlu sujud sahwi([54]). Kesepakatan ini berlaku pada sholat-sholat yang ada sujudnya, maka bagaimana lagi dengan sholat janazah yang memang asalnya tidak ada sujudnya.

Kesimpulannya : Jika makmum lupa dalam sholat janazah, baik lupa baca al-fatihah, atau lupa bersholawat, atau lupa berdoa atau lupa takbir, maka ia tidak perlu sujud sahwi.

Namun jika ia lupa satu takbir lalu ingat setelah itu maka hendaknya ia menambah takbirnya, karena para ulama memandang sholat janazah harus 4 takbir, jika kurang dari 4 takbir dengan sengaja maka tidak sah sholat.

Ibnu Qudamah berkata :

فَإِنْ نَقَصَ مِنْهَا تَكْبِيرَةً عَامِدًا بَطَلَتْ، كَمَا لَوْ تَرَكَ رَكْعَةً عَمْدًا، وَإِنْ تَرَكَهَا سَهْوًا احْتَمَلَ أَنْ يُعِيدَهَا، كَمَا فَعَلَ أَنَسٌ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُكَبِّرَهَا، مَا لَمْ يَطُلْ الْفَصْلُ، كَمَا لَوْ نَسِيَ رَكْعَةً، وَلَا يُشْرَعُ لَهَا سُجُودُ سَهْوٍ فِي الْمَوْضِعَيْنِ

“Jika kurang satu takbir karena sengaja maka batal sholat janazahnya, sebagaimana jika ia sengaja meninggalkan satu rakaát. Dan jika ia meninggalkan satu takbir karena lupa maka memungkinkan ia mengulangi sebagaimana dilakukan oleh Anas bin Malik, dan memungkinkan ia bertakbir lagi selama jeda nya tidak lama, sebagaimana jika ia lupa satu rakaát (maka ia boleh menambah satu rakaát lagi meski setelah salam selama tidak panjang jeda nya-pen). Dan pada kedua kondisi tidak disyariátkan sujud sahwi” (al-Mughni 2/385)

Shalat untuk janin yang keguguran

Untuk janin yang keguguran maka tidak terlepas dari 3 keadaan

Apabila lahir dalam keadaan terlihat tanda-tanda kehidupan darinya kemudian mati , maka para ulama sepakat bahwa ia disholatkan seperti jenazah dewasa. ([55])Apabila lahir dalam keadaan tidak terlihat tanda-tanda kehidupan darinya dan usianya dibawah 4 bulan, maka para ulama juga sepakat ia tidak dishalatkan dan langsung dikuburkan. ([56])Apabila lahir dalam keadaan terlihat tanda-tanda kehidupan darinya dan usianya diatas 4 bulan, maka disini ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ([57]), dan yang kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa janin yang keguguran dan lahir dalam keadaan telah meninggal dan usianya diatas 4 bulan maka ia dishalatkan berdasarkan hadits marfu’ dari Al-Mughiroh Bin Syu’bah

«السِّقْطُ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ»

“janin yang mati keguguran ia dishalatkan dan disoakan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat” ([58])

Adapun mengapa dibedakan antara bayi yang meninggal usia dibawah 4 bulan dengan bayi yang meninggal diusia 4 bulan keatas adalah karena bayi yang usianya 4 bulan sudah ditiupkan ruh ke dalamnya adapun bayi yang di bawah 4 bulan belum ditiupkan ruh, sebaimana yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud,

” إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ فِي أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ، فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ….. ”

“Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya…..” ([59])

Dan juga dikatakan alasannya lainnya oleh Ibnu Qudamah berdasarkan hadits di atas,

وَقَبْلَ ذَلِكَ فَلَا يَكُونُ نَسَمَةً، فَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، كَالْجَمَادَاتِ وَالدَّمِ

“dan sebelum itu (sebelum usia 4 bulan) maka dia belum menjadi manusia, maka tidak dishalati seperti benda-benda mati dan darah.” ([60])

Menshalati orang yang mati bunuh diri atau pelaku dosa besar lainnya

Bunuh diri termasuk dosa-dosa besar yang Allah haramkan, Allah berfirman

(و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” ([61])

Dan juga terdapat ancaman-ancaman yang besar dari Rasulullah, sebagaimana yang datang dari hadits Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda,

«مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ، فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا»

“Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung sehingga membunuh dirinya, maka di dalam neraka Jahannam dia (juga) menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung. Dia akan tinggal di dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Barangsiapa meminum racun sehingga membunuh dirinya, maka racunnya akan berada di tangannya. Dia akan meminumnya di dalam neraka Jahannam. Dia tinggal di dalam neraka Jahannam selama-selamanya. Barangsiapa membunuh dirinya dengan besi, maka besinya akan berada di tangannya. Di dalam neraka Jahannam ia akan menikam perutnya. Dia akan tinggal di dalam neraka Jahannam selama-lamanya.” ([62])

Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit Bin Adh-Dhohhak bahwa Rasulullah bersabda,

«مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا، عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu didunia, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat” ([63])

Walaupun dia melakukan dosa besar akan tetapi dia tetaplah seorang muslim yang masih berhak mendapatkan hak-haknya sebagai seorang muslim, dan tidaklah dikafirkan seorang muslim yang melakukan dosa besar selama ia tidak meyakini akan kehalalannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ath-Thohawi,

وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ

“dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari ahlul qiblah (muslim) karena sebab sebuah dosa selama ia tidak menghalalkannya” ([64])

Maka dari sini kita ketahui bahwa setiap muslim yang melakukan dosa-dosa selama ia tidak meyakini kehalalannya maka dia masih memiliki hak-hak sebagai seorang muslim, salah satunya adalah hak mendapat pengurusan jenazahnya dan di antaranya adalah hak untuk dishalatkan, dan ini adalah pendapat mayoritas para ulama walaupun sebagian mengatakan bahwa bagi orang yang memiliki kedudukan seperti pemimpin maka disunnahkan untuk menshalati orang yang mati karena bunuh diri sebagai hukuman baginya juga sebagai peringatan bagi orang lain. Berkata imam An-Nawawi ketika menjelaskan tentang hadits Jabir,

«أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ»

“didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was allam jenazah seorang lelaki yang membunuh dirinya sendiri dengan anak panah maka nabi pun tidak menshalatinya.” ([65])

Lalu beliaupun mengatakan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ لِمَنْ يَقُولُ لَا يُصَلَّى عَلَى قَاتِلِ نَفْسِهِ لِعِصْيَانِهِ وَهَذَا مَذْهَبُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْأَوْزَاعِيِّ

“dalam hadits ini terdapat dalil bagi yang mengatakan bahwa orang yang bunuh diri tidak dishalati karena kemakshiyatannya, dan ini adalah madzhab Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz, Al-Awza’i.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya,

وَقَالَ الْحَسَنُ وَالنَّخَعِيُّ وَقَتَادَةُ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَجَمَاهِيرُ الْعُلَمَاءِ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَأَجَابُوا عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ زَجْرًا لِلنَّاسِ عَنْ مِثْلِ فِعْلِهِ وَصَلَّتْ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَهَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ عَلَى مَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ زَجْرًا لَهُمْ عَنِ التَّسَاهُلِ فِي الِاسْتِدَانَةِ وَعَنْ إِهْمَالِ وَفَائِهِ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

“dan berkata Al-Hasan, An-Nakho’I, Qotadah, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’I, dan mayoritas ulama bahwa (orang yang mati bunuh diri) dishalati. Dan mereka menjawab tentang hadits ini bahwa Nabi tidak menshalatinya agar orang lain jera dari melakukan perbuatan semisalnya, dan para sahabat menshalatinya. Begitu juga Nabi pada awal islam tidak menshalati orang yang memiliki hutang sebagai pembuat jera bagi mereka dari bermudah-mudahan dalam berhutang dan dari meremehkan untuk menunaikannya dan beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menshalatinya, Nabi bersabda “صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ” (shalatilah teman kalian).” ([66])

Menshalati Ahlul Bidáh

Ahlu bid’ah tidak lepas dari 2 keadaan:

1- Bid’ah yang kufur (yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam) dan telah tegak hujjah kepadanya, maka dia tidak dishalati sebagaimana firman Allah,

{وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ}

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” ([67])

Dalam ayat ini kita dilarang untuk menshalati orang-orang munafiq (yang nyata akan kemunafikannya) dan disebutkan alasannya karena mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya. Maka begitu juga pelaku bid’ah yang bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan kekafiran dan telah dijelaskan kepadanya dan dia bukanlah orang yang bodoh.

Dan berkata al-Buhuti menukilkan perkataan imam Ahmad

(قَالَ) الْإِمَامُ (أَحْمَدُ الْجَهْمِيَّةُ وَالرَّافِضَةُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِمْ وَقَالَ أَهْلُ الْبِدَعِ إنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تُصَلُّوا عَلَيْهِمْ) وَذَلِكَ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَرَكَ الصَّلَاةَ بِأَدَقِّ مِنْ هَذَا، فَأَوْلَى أَنْ تُتْرَكَ الصَّلَاةُ بِهِ وَلِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «إنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوسًا، وَإِنَّ مَجُوسَ أُمَّتِي الَّذِينَ يَقُولُونَ لَا قَدَرَ، فَإِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ» رَوَاهُ أَحْمَدُ.

“Berkata imam Ahmad: al-jahmiyyah dan ar-rofidhoh mereka tidak dishalati, dan beliau juga berkata: ahlul bid’ah jika sakit maka jangan kalian kunjungi mereka, dan jika meninggal maka jangan kalian shalati mereka, hal itu dikarenakan Nabi meninggalkan shlata jenazah lebih kecil dari hal ini, maka terlebih lagi untuk meninggal shalat jenazah dari hal tersebut, dan juga berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar bahwa Nabi berkata: “sesungguhnya disetiap ummat ada majusinya, dan sesungguhnya majusi dari ummatku adalah mereka yang mengatakan tidak ada qodar, maka jika mereka sakit janganlah kalian menjenguk mereka dan jika mereka meninggal jangan kalian menyaksikan jenazahnya” diriwayatkan oleh imam Ahmad.” ([68])

2- Bid’ah yang bukan kufur (tidak mengeluarkan dari islam), maka hukumnya seperti kaum muslimin yang lain yang berhak untuk dishalati dan didoakan ampunan untuknya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,

فَكُلُّ مُسْلِمٍ لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ مُنَافِقٌ جَازَ الِاسْتِغْفَارُ لَهُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ بِدَعَةٌ أَوْ فِسْقٌ، لَكِنْ لَا يَجِبُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ أَنْ يُصَلِّي عَلَيْهِ. وَإِذَا كَانَ فِي تَرْكِ الصَّلَاةِ عَلَى الدَّاعِي إِلَى الْبِدْعَةِ وَالْمُظْهِرِ لِلْفُجُورِ مَصْلَحَةٌ مِنْ جِهَةِ انْزِجَارِ النَّاسِ، فَالْكَفُّ عَنِ الصَّلَاةِ كَانَ مَشْرُوعًا لِمَنْ كَانَ يُؤْثِرُ تَرْكَ صَلَاتِهِ فِي الزَّجْرِ

“setiap muslim yang tidak diketahui bahwasanya dia munafiq boleh dimintakan ampunan untuknya dan menshalatinya walaupun di dalam dirinya ada kebid’ahan atau kefasikan, akan tetapi tidak wajib bagi setiap kaum muslimin untuk menshalatinya. Dan jika meninggalkan untuk menshalati seorang yang mengajak kepada kebid’ahan dan orang yang menampakkan kefajirannya terdapat mashlahat dari sisi memberi jera kaum muslimin maka tidak menshalatinya adalah hal yang disyariatkan bagi orang yang memiliki pengaruh ketika meninggalkan menshalatinya dalam memberikan efek jera.” ([69])

Dan terdapat perkataan yang sangat bagus dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang memerinci hal ini, beliau berkata:

مَنْ عُلِمَ مِنْهُ النِّفَاقُ وَالزَّنْدَقَةُ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ لِمَنْ عَلِمَ ذَلِكَ مِنْهُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ. وَإِنْ كَانَ مُظْهِرًا لِلْإِسْلَامِ فَإِنَّ اللَّهَ نَهَى نَبِيَّهُ عَنْ الصَّلَاةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ. فَقَالَ: {وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ} وَقَالَ: {سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ}.

“orang yang diketahui bahwa dia munafiq dan zindiq maka tidak boleh bagi orang yang mengetahuinya untuk menshalatinya walaupun dia menampakkan keislamannya karena Allah berfirman,

{وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ}

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” ([70])

Dan juga Allah berfirman,

{سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ} [المنافقون: 6] .

“sama saja apakah engkau (wahai Muhammad) memohonkan ampunan atau tidak memohonkan ampunan untuk mereka sunggu Allah tidak akan mengampuni mereka”

Lalu beliau melanjutkan,

وَأَمَّا مَنْ كَانَ مُظْهِرًا لِلْفِسْقِ مَعَ مَا فِيهِ مِنْ الْإِيمَانِ كَأَهْلِ الْكَبَائِرِ، فَهَؤُلَاءِ لَا بُدَّ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِمْ بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ. وَمَنْ امْتَنَعَ مِنْ الصَّلَاةِ عَلَى أَحَدِهِمْ زَجْرًا لِأَمْثَالِهِ عَنْ مِثْلِ مَا فَعَلَهُ، كَمَا امْتَنَعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ الصَّلَاةِ عَلَى قَاتِلِ نَفْسِهِ، وَعَلَى الْغَالِّ، وَعَلَى الْمَدِينِ الَّذِي لَا وَفَاءَ لَهُ، وَكَمَا كَانَ كَثِيرٌ مِنْ السَّلَفِ يَمْتَنِعُونَ مِنْ الصَّلَاةِ عَلَى أَهْلِ الْبِدَعِ – كَانَ عَمَلُهُ بِهَذِهِ السُّنَّةِ حَسَنًا.

“dan adapun orang yang menampakkan kafasikannya bersama dengan keimanannya dalam dirinya seperti para pelaku dosa-dosa besar maka wajib bagi sebagian kaum muslimin untuk menshalati mereka. Dan barang siapa yang tidak menshalati salah satu dari mereka dalam rangka memberi efek jera terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan semisalnya sebagaimana Nabi tidak menshalati orang yang membunuh dirinya sendiri, dan terhadap orang yang mencuri harta ghonimah, dan terhadap orang yang memiliki hutang yang tidak menunailan hutangnya dan sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan para salaf maka amalan mereka terhadap sunnah(tidak menshalati pelaku dosa besar dalam rangka memberi efek jera) ini adalah baik.” ([71])

Waktu Shalat Janazah

Para ulama sepakat bahwa shalat jenazah boleh dilakukan kapan saja diselain waktu-waktu yang dilarang, adapun menshalati jenazah di waktu-waktu yang dilarang maka sebagaimana yang diriwayatkan oleh Uqbah Bin ‘Amir,

” ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ ”

“ada tiga waktu yang Rasulullah melarang kami untuk melakukan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami di tiga waktu tersebut, yaitu ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit sampai matahari tergelincir dan ketika matahari akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.” ([72])

Maka disini ada yang disepakati akan kebolehannya dan ada yang diperselisihkan akan kebolehannya, adapun yang disepakati akan kebolehannya adalah:

Setelah shalat subuhSetelah shalat ashar

Berkata Imam Asy-Syafi’i

إجْمَاعِ النَّاسِ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجَنَائِزِ بَعْدَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ

“para ulama telah sepakat (ijma’) bolehnya shalat jenazah setelah subuh dan setelah ashar.” ([73])

Berkata Ibnu Qudamah

أَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى الْجِنَازَةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَمِيلَ لِلْغُرُوبِ، فَلَا خِلَافَ فِيهِ

“adapun shalat jenazah setelah subuh sampai terbit matahari dan setelah ashar hingga hamper terbenam maka tidak ada perselisihan (akan kebolehannya) di dalamnya.” ([74])

Berkata Ibnu Mundzir,

إجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجِنَازَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَالصُّبْحِ

“para kaum muslimin sepakat (ijma’) bolehnya shalat jenazah setelah ashar dan shubuh.” ([75])

Berkata Imam An-Nawawi,

وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى إبَاحَةِ صَلَاةِ الْجَنَائِزِ بَعْدَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ

“dan para kaum muslimin telah ijma’ akan bolehnya melaksanakan shalat jenazah setelah subuh dan ashar.” ([76])

Adapun yang diperselisihkan akan kebolehannya adalah:

Ketika matahari terbit hingga terangkatKetika matahari berada pada posisi tepat diatas kepalaKetika matahari terbenam

dan yang lebih kuat adalah bolehnya melaksanakan shalat jenazah di waktu-waktu  tersebut([77]),

Berkata imam an-Nawawi

تَجُوزُ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ فِي كُلِّ الْأَوْقَاتِ وَلَا تُكْرَهُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ لِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ

“boleh shalat jenazah disetiap waktu dan tidak dimakruhkan shalat di waktu-waktu yang dilarang, karena dia shalat yang memiliki sebab.

Tempat Shalat Janazah

Shalat jenazah di masjid

Adapun melakukan shalat jenazah di dalam masjid maka pendapat para ulama berkisar di antara boleh([78]) dan makruh([79]) saja, dan tidak didapati ulama yang melarang atau mengharamkannya. Dan yang kuat adalah pendapat yang membolehkan hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abbad Bin Abdillah Bin Az-Zubair dari ‘Aisyah

عَنْ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا لَمَّا تُوُفِّيَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ يَمُرُّوا بِجَنَازَتِهِ فِي الْمَسْجِدِ، فَيُصَلِّينَ عَلَيْهِ، فَفَعَلُوا فَوُقِفَ بِهِ عَلَى حُجَرِهِنَّ يُصَلِّينَ عَلَيْهِ أُخْرِجَ بِهِ مِنْ بَابِ الْجَنَائِزِ الَّذِي كَانَ إِلَى الْمَقَاعِدِ، فَبَلَغَهُنَّ أَنَّ النَّاسَ عَابُوا ذَلِكَ، وَقَالُوا: مَا كَانَتِ الْجَنَائِزُ يُدْخَلُ بِهَا الْمَسْجِدَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَائِشَةَ، فَقَالَتْ: مَا أَسْرَعَ النَّاسَ إِلَى أَنْ يَعِيبُوا مَا لَا عِلْمَ لَهُمْ بِهِ، عَابُوا عَلَيْنَا أَنْ يُمَرَّ بِجَنَازَةٍ فِي الْمَسْجِدِ، «وَمَا صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ ابْنِ بَيْضَاءَ إِلَّا فِي جَوْفِ الْمَسْجِدِ»

“dari [Abbad bin Abdullah bin Zubair] ia menceritakan dari [Aisyah] bahwa ketika Sa’d bin Abi Waqash meninggal dunia, para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang-orang agar membawa jenazahnya ke masjid untuk dishalatkan (di situ). Permintaan tersebut mereka penuhi, maka dibawalah jenazah tersebut ke muka kamar para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mereka shalatkan. Kemudian dibawa kembali keluar melalui pintu jenazah yang berhubungan dengan tempat duduk. Tidak berapa lama kemudian sampailah kabar kepada para istri nabi bahwa orang-orang banyak mencela perbuatan mereka itu. Mereka berkata, “Jenazah tidak boleh dibawa ke masjid.” Ucapan orang banyak itu sampai pula kepada Aisyah. Maka Aisyah pun berkata, “Alangkah cepatnya orang-orang mencela apa yang tidak mereka ketahui. Mereka mencela kami membawa jenazah ke masjid. Padahal tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menshalatkan Suhail bin Baidla` kecuali di dalam masjid.” ([80])

Shalat jenazah di kuburan

Adapun shalat jenazah dikuburan maka diperbolehkan([81]), hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas

مَاتَ إِنْسَانٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَمَاتَ بِاللَّيْلِ، فَدَفَنُوهُ لَيْلًا، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرُوهُ، فَقَالَ: «مَا مَنَعَكُمْ أَنْ تُعْلِمُونِي؟» قَالُوا: كَانَ اللَّيْلُ فَكَرِهْنَا، وَكَانَتْ ظُلْمَةٌ أَنْ نَشُقَّ عَلَيْكَ فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ

“telah meninggal dunia orang yang biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguknya. Dan dia meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya orang-orang memberitahu Beliau. Maka Beliau bersabda: “apa yang menghalangi kalian untuk memberi tahu aku?” Mereka menjawab: “Kejadiannya malam hari dan kami segan, dan juga gelap malam membuat kami khawatir memberatkan anda”. Maka kemudian Beliau mendatangi kuburan orang itu lalu menshalatinya”. ([82])

Shalat Ghoib

Asal dari melaksanakan shalat jenazah ialah dengan menghadirkan jenazah di hadapan imam dan orang-orang yang meshalatinya, namun apabila jenazah tidak ada dihadapan imam dan orang yang-orang yang meshalatinya maka diperbolehkan untuk menshalatinya dan shalat ini dinamakan dengan shalat ghoib.

Terjadi perbedaan pendapat apakah shalat ghoib disyariatkan untuk ummatnya atau ini merupakan kekhususan Nabi. Dan pendapat yang kuat adalah bahwa shalat ghoib disyariatkan juga untuk ummatnya namun khusus bagi orang yang meninggal di tempat yang jauh dan belum sempat disholatkan([83]). Dalil dari hal ini adalah hadits Abu Huroiroh,

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي اليَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى المُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا»

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian([84]) An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” ([85])

Shalat Janazah untuk sebagian tubuh

Apabila ditemukan bagian tubuh dari seorang muslim yang sudah tidak utuh entah itu disebabkan peperangan ataupun kecelakaan maka wajib bagi kita untuk mensahalati bagian tubuh yang ditemukan tersebut, walaupun yang ditemukan berupa bagian kecil dari tubuhnya seperti hanya menemukan tangan, kepala, atau yang lainnya. ([86])

Dan apabila setelah menguburkan jenazah kemudian ditemukan kembali bagian tubuh yang lain maka disebutkan oleh Ibnu Qudamah untuk dimandikan dan dishalatkan,

وَإِنْ وُجِدَ الْجُزْءُ بَعْدَ دَفْنِ الْمَيِّتِ، غُسِّلَ، وَصُلِّيَ عَلَيْهِ، وَدُفِنَ إلَى جَانِبِ الْقَبْرِ، أَوْ نُبِشَ بَعْضُ الْقَبْرِ وَدُفِنَ فِيهِ، وَلَا حَاجَةَ إلَى كَشْفِ الْمَيِّتِ، لِأَنَّ ضَرَرَ نَبْشِ الْمَيِّتِ وَكَشْفِهِ أَعْظَمُ مِنْ الضَّرَرِ بِتَفْرِقَةِ أَجْزَائِهِ

“dan jika ditemukan bagian tubuh setelah dikuburkan mayyit tersebut maka baguan tersebut dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan disamping kuburnya, atau digali sebagian kuburan mayyit tersebut lalu dikuburkan didalamnya dan tidak usah untuk menyingkap mayyit tersebut karena kerusakan dalam menggali si mayyit dan menyingkapnya lebih besar dari kerusakan memisahkan anggota tubuhnya.”

Menshalati janazah yang tidak jelas identitasnya

Perlu diketahui bahwa asal menshalati orang yang muslim adalah wajib, sedangkan menshalati orang yang kafir adalah haram. Lalu bagaimana hukunya apabila jenazah muslim tercampur dengan jenazah kafir?

Dan dalam keadaan ini, terjadi benturan hukum, antara yang wajib dan yang haram bercampur. Hanya saja, kewajiban ini terkait kepentingan kaum muslimin yang lain. Sehingga meninggalkan kewajiban ini, berarti menelantarkan hak muslim yang lain.

Dalam hal ini, terdapat kaidah yang menyatakan,

إذا اختلط الواجب بالمحرم فتراعى مصلحة الواجب

Apabila yang wajib dan yang haram bercampur, maka diperhatikan kemaslahatan yang wajib.

Dalil yang mendukung kaidah ini adalah hadis dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

حتى مر في مجلس فيه أخلاط من المسلمين والمشركين عبدة الأوثان واليهود وفيهم عبد الله بن أبي ابن سلول فسلم عليهم النبي صلى الله عليه وسلم ثم وقف فنزل فدعاهم إلى الله وقرأ عليهم القرآن

Hingga ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati perkumpulan, di sana campur antara muslim, musyrik penyembah berhala, dan yahudi. Dan diantara mereka ada Abdullah bin Ubai bin Salul. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi salam kepada mereka, lalu beliau turun dari Keledai, dan mengajak mereka untuk masuk islam dan membacakan al-Quran kepada mereka. ([87])

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi salam kepada mereka, sementara di tengah perkumpulan mereka ada orang kafir. Beliau menyampaikan salam dan sasarannya sesuai niat beliau. ([88])

Berdasarkan keterangan di atas, ketika ada banyak jenazah, bercampur antara muslim dan kafir, maka semuanya ditangani secara islam, dan yang membedakan adalah niatnya.

Syaikh Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu menyebutkan contoh penerapan kaidah ini,

إذا اختلط موتى المسلمين بالكفار، ولم يمكن التمييز بينهم غسِّل الجميع وصلى عليهم ويكون التمييز بالنية

Ketika ada jenazah kaum muslimin dan orang musyrik bercampur, dan tidak mungkin dibedakan, maka semua dimandikan, dishalati, dan yang membedakan niatnya. ([89])

FOOTNOTE:

([1]) Lihat: Al-‘Ain Karya Al-Kholil Bin Ahmad Al-Farohidi 6/70

([2]) Lihat: Tahdziibu Al-Lughoh karya Abu Manshur Muhammad Bin Ahmad Bin Al-Azhary Alharowy 10/29

([3]) Lihat: mu’jam al-lughoh al-‘arobiyyah al-mu’aashiroh karya ahmad mukhtar bin Abdul humaid 1/404

([4]) QS. At-Taubah 84

([5]) HR. Bukhori no. 2295

([6]) Di antaranya:

Perkataan Imam An-Nawawi:

الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ فَرْضُ كِفَايَةٍ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا وَهُوَ إجْمَاعٌ

“Menyalati mayat hukumnya fardhu kifayah menurut kami tanpa ada perselisihan dan ini adalah ijma’.” (Al-Majmu’ 5/212)

Ibnu hazm berkata:

وَأَمَّا كَوْنُ صَلَاةِ الْجِنَازَةِ فَرْضًا عَلَى الْكِفَايَةِ؛ فَلِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّهُ إذَا قَامَ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا قَوْمٌ فَقَدْ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْ الْبَاقِينَ.

“Adapun (dalil) shalat jenazah (hukumnya) fardhu kifayah adalah berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam: “shalatilah teman kalian”, dan tidak ada perselisihan bahwasanya jika sudah ada suatu kaum yang menyalatinya maka kewajiban tersebut gugur bagi selainnya.” (Al-Muhalla Bil Aatsaar 2/4)

Ini pendapat ulama madzhab.

Berkata Al-Buhuti: “Dan dia (shalat jenazah) adalah fardhu kifayah….”(Kasysyaaf Al-Qinaa’ 2/109)

Begitu juga dalam fiqih madzhab Hanafiyyah mengatakan bahwa hukumnya fardhu kifayah. (Al-Muhiithu Al-Burhaani Fii Al-Fiqhi An-Nu’maani 2/177)

Dan juga dalam fiqih madzhab Malikiyyah juga disebutkan bahwa hukumnya fardhu kifayah, walaupun ada pendapat lain dalam madzhab yang menyebutkan hukumnya sunnah muakkadah. (Mawaahibul Jaliil Fii Syarhi Muktashori Kholiil 2/208)

([7]) HR. Bukhari 2/87 no. 1325 dan Muslim 2/652 no. 945

([8]) HR. Muslim no. 948

([9]) HR. Muslim no. 947

([10]) HR. Tirmidzi no. 1028 dan Abu Daud no. 3166. Imam Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ 5/212 bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan jika sahabat yang mengatakan)
([11]) HR. Bukhori no. 1

([12]) Lihat: Ma’alimus Sunan Syarh Sunan Abu Dawud 3/244

([13]) Para ulama sepakat bahwa takbir yang pertama disunnahkan mengangkat tangan. Adapun untuk takbir yang kedua, ketiga, dan seterusnya maka para ulama berselisih apakah mengangkat tangan ketika takbir atau tidak. Ibnul Mundzir berkata:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُصَلِّيَ عَلَى الْجَنَازَةِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي أَوَّلِ تَكْبِيْرَةٍ يُكَبِّرُهَا

“Para ulama telah sepakat bahwa orang yang sholat janazah mengangkat kedua tangannya pada takbir yang pertama” (al-Ijmaa’ hal 44 no 84)

Adapun mengangkat kedua tangan setiap kali takbir maka ada perbedaan pendapat dikalangan ulama:

Pendapat pertama: Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mengangkat kedua tangan setiap kali takbir. (lihat penjelasan At-Tirmidzi dalam sunannya setelah hadits no 1077)

Pendapat kedua: mengangkat tangan hanya pada takbir pertama saja, dan ini pendapat Hanafiyyah.

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عَلَى الْجِنَازَةِ فِي أَوَّلِ تَكْبِيرَةٍ ثُمَّ لَا يَعُودُ»

“sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dalam shalat jenazah pada takbir yang pertama kemudian tidak mengulangnya” (sunan ad-daruquthny no. 1832)

 

Dan yang kuat adalah pendapat pertama, hal ini berdasarkan beberapa atsar dari para sahabat yang menyatakan mereka mengangkat kedua tangan mereka setiap kali bertakbir:

1.Telah valid/shahih dari Ibnu Umar radhiallahu ánhumaa bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir dalam sholat janazah (Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya secara ta’liq di bab : بَابُ سُنَّةِ الصَّلاَةِ عَلَى الجَنَازَةِ, dan disambung oleh al-Bukhari dalam kitabnya Rofúl Yadain. Dari Ibnu Umar:

أَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي كُلِّ تَكْبِيرَةٍ عَلَى الْجَنَازَةِ

“Bahwasanya Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir dalam sholat janazah” (Rofúl Yadain hal 74 no 106, dan lihat Fathul Baari 3/190)

Ibnu Hajar juga mengatakan telah valid dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhumaa bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir

وقد صح عن ابن عباس أنه كان يرفع يديه في تكبيرات الجنازة

“sungguh telah valid/shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhumaa bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya setiap takbir (shalat) janazah.” (Lihat: At-Talkhishul Habiir karya Ibnu Hajar 2/333)

dan juga pengamalan dari para salaf yang lain seperti Qois Bin Abu Hazim, Aban Bin ‘Utsman, Nafi’ Bin Jubair, Umar Bin Abdul Aziz, Makhul, Wahb Bin Munabbih, dan Az-Zuhry. (Lihat: Qurrotul ‘Ainain Birof’il Yadain Fis Sholah 1/74-77)

Adapun hadits Ibnu Abbas yang dijadikan landasan oleh hanafiyah maka banyak diperbincangkan oleh para ulama dan dikatakan ini lemah bahkan mungkar,

1.dikatakan Abu Bakr Al-Bayhaqy bahwa ini adalah hadits yang mungkar. (Lihat: Al-Khilafiyat Baynal Imamain Asy-Syafi’i Wa Abi Hanifah Wa Ashabihi 4/241)

dalam hadits tersebut terdapat perowi bernama Al-Fadhl Bin As-Sakan dan dikatakan bahwasanya dia majhul, dan disebutkan oleh Imam At-Tirmidzi bahwa mengangkat tangan setiap takbir dalam shalat jenazah adalah pendapat kebanyakan ahlul ilmi seperti Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq. (Lihat: Al-Jami’us Shohih Lis Sunani Wal Masanid 28/457)

([14]) terdapat perbedaan pendapat di antara ‘Ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama: tidak disyariatkan membaca doa istiftah, dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Pendapat kedua: disyariatkan membaca doa istiftah, hal ini dikarenakan shalat jenazah sama seperti shalat-shalat yang lain, maka di syariatkan untuk membaca doa istiftah. Dan ini adalah pendapat Hanafiyah.

Dan yang kuat adalah pendapat pertama, hal ini dikarenakan beberapa alasan:

Tidak terdapat dari hadits nabi yang menjelaskan akan disyari’atkan membaca doa istiftah dalam shalat jenazah.Disyariatkan untuk memperingan dan bersegera dalam mengurus jenazah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Huroiroh,

«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ، فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»

“bersegeralah dalam mengurus jenazah, apabila ia sholih maka lebih baik untuk mengedepankannya, dan jika bukan yang sholih maka buruk untuk kalian meletakkannya di atas pundak-pundak kalian.” HR. Bukhori no. 1315, HR.  Muslim no. 944

Berkata Imam An-Nawawi,

(وَأَمَّا) دُعَاءُ الِاسْتِفْتَاحِ فَفِيهِ الْوَجْهَانِ الْمَذْكُورَانِ فِي الْكِتَابِ …… وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْأَصَحَّ أَنَّهُ لَا يَأْتِي بِهِ وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْمُسْتَحَبَّ تَرْكُهُ

“adapun doa istiftah maka ada 2 pendapat yang disebutkan dalam kitab ……., dan mereka sepakat bahwa yang lebih shohih bahwasanya tidak dibaca, dan maknanya bahwa yang mustahab adalah meninggalkannya.” (lihat: al-majmu’ syarhul muhadzdzab 4/235)

 

([15]) Membaca al-Fatihah dalam sholat janazah diperselisihkan oleh para ulama (lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar 3/203). Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وَتَنَازَعَ الْعُلَمَاءُ فِي الْقِرَاءَةِ عَلَى الْجِنَازَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ: قِيلَ: لَا تُسْتَحَبُّ بِحَالِ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ. وَقِيلَ: بَلْ يَجِبُ فِيهَا الْقِرَاءَةُ بِالْفَاتِحَةِ. كَمَا يَقُولُهُ مَنْ يَقُولُهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد. وَقِيلَ: بَلْ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ فِيهَا سُنَّةٌ وَإِنْ لَمْ يَقْرَأْ بَلْ دَعَا بِلَا قِرَاءَةٍ جَازَ وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ

“Dan para ulama berselisih tentang hukum membaca (al-Fatihah) pada sholat janazah, ada tiga pendapat. (1) Dikatakan bahwa tidak disyariátkan sama sekali, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah (lihat Umdatul Qoori 8/139) dan Malik (Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Batthool 3/317). Dan (2) dikatakan bahwa wajib membaca al-Fatihah sebagaimana pendapat yang dikatakan oleh para ulama Syafiíyah dan Hanabilah, dan (3) dikatakan bahwa membaca al-Fatihah dalam sholat janazah adalah sunnah, dan jika seseorang tidak membaca al-Fatihah dan hanya berdoa saja maka dibolehkan. Dan inilah pendapat yang benar” (Majmuu’ Al-Fataawa 22/274)

Perselisihan ini dikarenakan telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwasanya Ibnu Úmar sholat janazah tanpa membaca al-Fatihah. Dari Nafi’ ia berkata :

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يَقْرَأُ فِي الصَّلاَةِ عَلَى الْجِنَازَةِ

“Bahwasanya Ibnu Umar tidak membaca (al-fatihah) dalam sholat janazah” (HR Malik no 777)

Sementara dalam hadits-hadits yang lain menunjukan bahwa wajib membaca surat al-Fatihah dalam sholat, seperti sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam :

لا صَلاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah” (HR al-Bukhari no 714 dan Muslim no 595)

Dan sholat janazah termasuk sholat, karenanya Allah menamakan sholat janazah dengan sholat sebagaimana dalam firmanNya وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا “Dan janganlah engkau sekali-kali menyolatkan (janazah) atas seorang yang mati diantara mereka (kaum munafiq)” (QS At-Taubah : 84). Nabi shallallahu álaihi wasallam juga menamakan sholat janazah dengan sholat dalam sabdanya صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ “Sholatlah atas janazah sahabat kalian” juga dalam sabdanya مَنْ صَلَّى عَلَى الجَنَازَةِ “Barang siapa yang menyolatkan janazah…”, maka wajib membaca al-Fatihah sebagaimana sholat-sholat yang lain. Demikian pula Ibnu Ábbas pernah sholat janazah dan menjahrkan al-fatihah (HR Al-Bukhari no 1335) dan ia menjelaskan bahwa hal itu adalah sunnah Nabi shallallahu álaihi wasallam. (Lihat Asy-Syarh al-Mumti’ 5/318).

Maka untuk lebih hati-hati hendaknya seseorang membaca al-Fatihah dalam sholat Janazah.

([16]) Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, dari Tholhah bin Abdullah bin ‘Auf ia berkata :

صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضي الله عنهما – عَلَى جَنَازَةٍ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ وَجَهَرَ حَتَّى أَسْمَعَنَا، فَلَمَّا فَرَغَ أَخَذْتُ بِيَدِهِ فَسَأَلْتُهُ، فَقَالَ: سُنَّةٌ وَحَقٌّ

“Aku sholat bermakmum kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhumaa dalam sholat janazah, maka beliau membaca surat al-Fatihah dan sebuah surat, dan beliau menjaharkan (mengeraskan) bacaannya hingga mendengarkan kami. Tatkala ia selesai akupun memegang tangannya lalu aku bertanya kepadanya, maka beliau berkata, “Ini adalah sunnah dan kebenaran” (HR An-Nasaai no 1987, dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa tidak disyari’atkan untuk membaca surat sama sekali setelah al-Fatihah, karena riwayat Ibnu ‘Abbas di atas adalah syadz, yang shahih adalah riwayat Ibnu ‘Abbas di Shahih al-Bukhari -tanpa ada tambahan membaca surat-. Dari Tholhah bin Abdillah bin Áuf ia berkata :

صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ قَالَ: «لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ»

“Aku sholat bermakmuk kepada Ibnu Ábbas radhiallahu ánhuma pada sholat janazah, maka beliau membaca al-Fatihah, ia berkata, “Agar mereka tahu bahwasanya membaca al-Fatihah adalah sunnah Nabi” (HR Al-Bukhari no 1335)

Al-Baihaqi setelah meriwayatkan atsar Ibnu Ábbas yang menyebutkan beliau membaca surat, beliau berkata وَذِكْرُ السُّورَةِ فِيهِ غَيْرُ مَحْفُوظٍ “Dan penyebutan “surat” dalam riwayat ini tidak shahih” (As-Sunan al-Kubro 4/26 hadits no 6954)

Namun pernyataan al-Baihaqi ini diselisihi oleh para ulama yang lain yang memandang bahwa tambahan penyebutan “membaca surat” adalah tambahan yang shahih. Diantara para ulama tersebut adalah an-Nawawi (lihat al-Majmuu’ 5/234) dan Ibnu Hajar (lihat at-Talkhiish 5/165), lihat juga penjelasan Al-Albani di Ashlu Sifat as-Sholat 2/555, serta lihat juga Dzakhirotul Úqba, Al-Ityhubi 19/321

([17]) Berdasarkan hadits Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif mengatakan bahwasanya sebagian sahabat Rasulullah mengabarkan kepapadanya :

أَنَّ السُّنَّةَ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجِنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الْإِمَامُ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى سِرًّا فِي نَفْسِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Bahwasanya sunnah pada sholat janazah hendaknya Imam bertakbir, lalu membaca surat al-Fatihah dengan sir setelah takbir pertama, lalu bersholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR Al-Hakim no 1331 dan al-Baihaqi di as-Sunan al-Kubro no 6959 dan 6962)

([18]) HR Al-Bukhari no 3369 dan Muslim no 407

([19]) HR Abu Dawud no 3201 dan dishahihkan oleh Al-Albani

([20]) HR. Muslim 2/662no. 963

([21]) terdapat perbedaan pendapat dalam masalah apakah mayyit wanita boleh didoakan dengan doa وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِها “dan semoga Allah mengganti baginya pasangan yang lebih baik dari pasangannya”,

Pendapat pertama: bahwasanya doa untuk digantikan pasangan itu khusus untuk lelaki bukan untuk wanita, karena wanita apabila meninggal dan dia termasuk penduduk surga maka dia akan menjadi pasangan untuk suaminya di dunia.

Berkata Imam As-Suyuthi,

قَالَ طَائِفَة مِنْ الْفُقَهَاء : هَذَا خَاصّ بِالرَّجُلِ وَلَا يُقَال فِي الصَّلَاة عَلَى الْمَرْأَة أَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجهَا ؛ لِجَوَازِ أَنْ تَكُون لِزَوْجِهَا فِي الْجَنَّة ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَا يُمْكِن الِاشْتِرَاك فِيهَا ، وَالرَّجُل يَقْبَل ذَلِكَ

“berkata sekolompok dari kalangan ahlu fiqih: ini khusus untuk lelaki dan tidak dikatakan untuk wanita dalam shalat jenazah (أَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجهَا) karena dia masih bisa untuk menjadi pasangan untuk suaminya di surga, karena sesungguhnya wanita tidak mungkin bisa berbarengan di surga(memiliki pasangan lebih dari 1), adapun lelaki masih bisa menerima hal tersebut. (Lihat: Syarhus Suyuthy Lissunanin Nasa-I 4/73)

Berkata Al-Buhuty: “dan mendoakan untuk wanita:

اللَّهُمَّ إنَّ هَذِهِ أَمَتُكَ ابْنَةُ أَمَتِكَ نَزَلَتْ بِكَ، وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُولٍ بِهِ

Allahumma inna hadzihi amatuka ibnatu amatika nazalat bika wa anta khoiru manzuulin bihi

“ya Allah, sesungguhnya ini adalah hambamu dan putri hambamu singgah kepadaMu, dan Engkau sebaik-baiknya yang disinggahi”

Sebagai pengganti dari yang lalu dari doa untuk lelaki:

اللَّهُمَّ إنَّهُ عَبْدُكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَزَلَ بِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُولٍ بِهِ

Allahumma innahu abduka ibnu amatika nazala bika wa anta khoiru manzuulin bihi

اللَّهُمَّ إنَّهُ عَبْدُكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَزَلَ بِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُولٍ بِهِ

““ya Allah, sesungguhnya ini adalah hambamu dan putra hambamu singgah kepadaMu, dan Engkau sebaik-baiknya yang disinggahi.” (doa ini diriwayatkan oleh Baihaqy dalam as-sunanul kubro no. 7031 akan tetapi tanpa adanya lafaz “innahuu”, dan “ibnu amatika” yang tercantum adalah “waladu abdika”)

Dan tidak mendoakan (untuk wanita): أَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا (dan gantikanlah pasangan yang lwbih baik untuk pasangannya).” (lihat: kasyaful qina’ ‘an matnil iqna’ 2/115)

Pendapat kedua: bolehnya mendoakan wanita dengan doa (أَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجهَا) sebagaimana bolehnya mendoakan lelaki dengan doa tersebut, karena beberapa alas an:

Keumuman hadits tersebut, karena doa yang diajarkan bisa mencakup untuk lelaki dan wanita,Adapun makna dari (أَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجهَا) maka maksudnya adalah doa untuk digantikan sifat yang lebih baik dari pasangannya, buka doa meminta diganti orangnya.

Dan ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Haitsamy dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhil Minhaj 3/140

وَظَاهِرٌ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْإِبْدَالِ فِي الْأَهْلِ وَالزَّوْجَةِ إبْدَالُ الْأَوْصَافِ لَا الذَّوَاتِ

“dan yang tampak bahwa yang dimaksud dari penggantian dalam keluarga dan pasangan adalah penggantian sifat-sifat bukan dzat-dzatnya.”

Hal serupa juga dikatakan oleh Ar-Romly dalam kitab Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj 2/476, juga dikatakan oleh syaikh ‘utsaimin dalam kitab Asy-Syarhul Mumti’ 5/326 bahwa doa ini boleh diucapkan untuk lelaki dan wanita.

Dan pendapat kedua ini yang nampaknya lebih kuat, karena tidak ada yang penukilan dari Nabi bahwasanya Nabi mengecualikan kalimat ini (أَبْدِلْه زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجه) dari wanita dan juga tidak ada penjelasan dari Nabi bahwasanya doa tersebut khusus untuk lelaki.

([22]) Lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 17/103

([23]) Al-Ádziim Aabaadi berkata :

وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى الطِّفْلِ الَّذِي لَمْ يَبْلُغِ الْحُلُمَ فَكَالصَّلَاةِ عَلَى الْكَبِيرِ وَلَمْ يَثْبُتْ عَنِ النبي بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّهُ عَلَّمَ أَصْحَابَهُ دُعَاءً آخَرَ لِلْمَيِّتِ الصَّغِيرِ غَيْرَ الدُّعَاءِ الَّذِي عَلَّمَهُمْ لِلْمَيِّتِ الْكَبِيرِ بَلْ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا

“Adapun sholat atas janazah anak kecil yang belum dewasa maka seperti sholat atas janazah orang besar, dan tidak valid dari Nabi shallallahu álaihi wasallam dengan sanad yang shahih bahwasanya beliau mengajarkan para sahabatnya doa yang lain (khusus) untuk mayat anak kecil selain doa yang beliau ajarkan untuk mayat dewasa. Bahkan beliau berdoa dengan doa

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا

“Ya Allah berilah ampunanMu bagi yang hidup diantara kami dan yang telah wafat diantara kami, yang hadir, yang tidak hadir, yang masih kecil, yang sudah tua…” (Áunul Ma’buud 8/362)

Ini adalah isyarat bahwa al-Ádziim Abaadii berpendapat bahwa seorang boleh berdoa dalam sholat janazah untuk mayat anak kecil dengan doa yang disebutkan di atas yang juga buat orang dewasa.

([24]) Saíd bin Al-Musayyab rahimahullah berkata :

صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى صَبِيٍّ لَمْ يَعْمَلْ خَطِيئَةً قَطُّ. فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Aku sholat bermakmum kepada Abu Huroiroh yang menyolatkan janazah anak kecil yang tidak melakukan dosa sama sekali. Maka aku mendengarnya berdoa, “Ya Allah lindungilah dia dari adzab kubur” (Atsar riwayat Malik di al-Muwattho’ no 776 dengan sanad yang shahih)

([25]) Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/365

([26]) Al-Mughni 2/365

([27]) HR. Abu Dawud no 1497, dan hadits ini di hasankan oleh Syaikh Al-Albani,

Maksud dari doa dengan ikhlas adalah berdoa dengan mengkhususkannya di hati (lihat: Kifayatul Hajah Fi Syarhi Sunani Ibni Majah Karya Nurud Din As-Sindi 1/456), dan juga dengan mensucikan fikiran dari kotoran-kotoran dunia dan kesibukan-kesibukan syaithoniyah dan dengan menundukkan hati dan anggota badan (lihat: Syarh Sunan Abi Dawud Karya Badrud Din Al-‘Aini 6/143)

([28]) Lihat: Naylul Awthor Karya Asy-Syaukany 4/79

([29]) Lihat: Al-Istidzkar Karya Ibnu Abdil Bar 3/38

([30]) Lihat: Al-Iqna’ Fi Fiqhil Imam Ibni Hanbal 1/224

([31]) Telah datang dalam hadits-hadits dan atsar-atsar sahabat yang shahih bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam pernah bertakbir di sholat janazah lebih dari 4 takbir, yaitu beliau bertakbir 5 kali, 7 kali, hingga pernah 9 kali. Maka boleh seseorang bertakbir lebih dari 4 kali, dan sesekali seseorang bertakbir lebih dari 4 kali untuk menjelaskan demikian sunnah Nabi. Dan jika seseorang ingin melazimi satu cara maka hendaknya takbir 4 kali, karena hadits-hadits yang menunjukan tentang takbir 4 kali lebih banyak (lihat Ahkaam al-Janaaiz, Al-Albani hal 111-114)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

وَهَذِهِ آثَارٌ صَحِيحَةٌ، فَلَا مُوجِبَ لِلْمَنْعِ مِنْهَا، وَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَمْنَعْ مِمَّا زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِ، بَلْ فَعَلَهُ هُوَ وَأَصْحَابُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Dan ini adalah atsar-atsar yang shahih, maka tidak ada dalil yang mengharuskan untuk melarang bertakbir lebih dari 4 kali. Dan Nabi shallallahu álaihi wasallam tidaklah melarang takbir lebih dari 4 kali, bahkan beliau sendiri melakukannya dan para sahabat setelah beliau juga melakukannya” (Zaadul Máad 1/489)

([32]) Ini adalah pendapat mayoritas ulama, baik dari kalangan salaf (terdahulu) maupun kholaf (belakangan). Sebagian ulama diantaranya Abu Hanifah dan salah satu pendapat As-Syafií memandang salam dua kali, diqiaskan dengan sholat-sholat lainnya. (Lihat al-Istidzkaar, Ibnu Abdilbarr 3/32, lihat pendapat Syafiíyyah di al-Majmuu’, An-Nawawi 5/240, dan lihat pendapat Al-Hanfiyah di al-Mabsuuth, As-Sarokhsi 2/64).

Ibnu Qudamah berkata :

التَّسْلِيمُ عَلَى الْجِنَازَةِ تَسْلِيمَةٌ وَاحِدَةٌ، عَنْ سِتَّةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَيْسَ فِيهِ اخْتِلَافٌ إلَّا عَنْ إبْرَاهِيمَ … وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُمْ مُخَالِفٌ فِي عَصْرِهِمْ، فَكَانَ إجْمَاعًا قَالَ أَحْمَدُ: لَيْسَ فِيهِ اخْتِلَافٌ إلَّا عَنْ إبْرَاهِيمَ

“Salam pada sholat janazah satu salam, diriwayatkan dari 6 sahabat Nabi shallallahu álaihi wasallam, tidak ada perselisihan kecuali dari Ibrahim An-Nakhoí (seorang tabiín)….dan tidak diketahui ada yang menyelisihi para sahabat tersebut di zaman mereka, maka ini adalah perkara ijmak. Imam Ahmad berkata, “Tidak ada perselisihan kecuali dari Ibrahim an-Nakhoí”…” (al-Mughni 2/366)

Adapun yang berpendapat dengan dua salam -ke kanan dan ke kiri- maka mereka berdalil dengan hadits Ibnu Masúd, dimana beliau berkata :

ثَلَاثُ خِلَالٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ، تَرَكَهُنَّ النَّاسُ، إِحْدَاهُنَّ: التَّسْلِيمُ عَلَى الْجِنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيمِ فِي الصَّلَاةِ

“Tiga perkara yang dilakukan oleh Nabi shallallahu álaihi wsallam dan ditinggalkan oleh orang-orang, salah satunya adalah mengucapkan salam dalam sholat janazah sebagaimana mengucapkan salam dalam sholat” (HR Al-Baihaqi no 6989, sanadnya dinyatakan baik oleh An-Nawawi di Al-Majmuu’ 5/239 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani di Ahkaam al-Janaaiz hal 127)

Namun hadits ini penunjukannya tidak begitu tegas, karena perkataan Ibnu Masúd “salam dalam sholat janazah seperti salam dalam sholat yang lainnya” tidak pasti menunjukan maksud beliau adalah 2 kali salam. Masih ada kemungkinan maksudnya sholat janazah pun ada salamnya sebagaimana dalam sholat biasa, dan tidak berkaitan dengan jumlah salamnya.

Terlebih lagi telah datang hadits yang menunjukan bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam salam hanya sekali. Dari Abu Huroiroh:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  «صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا، وَسَلَّمَ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً»

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sholat atas janazah lalu beliau bertakbir 4 kali, dan beliau mengucapkan salam sekali” (HR Ad-Daruquthni no 1817, Al-Hakim no 1332, dan al-Baihaqi no 6982). Hadits ini dihasankan oleh Al-Albani di Ahkaam al-Janaaiz hal 129.

Lagi pula sholat janazah memang sholat yang ringan karena tujuannya adalah untuk berdoa. Maka salam sekali sudahlah cukup.

([33]) berikut pendapat-pendapat ulama daslam masalah berdoa setelah takbir keempat

Pendapat pertama: berpendapat bahwa tidak ada doa setelah takbir yang keempat, ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari imam Ahmad, yaitu hanya diam sejenak lalu salam. Alas an mereka tidak adanya doa yang disyariatkan setelah takbir keempat, apabila ada maka aka nada penukilannya, hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah (lihat: al-mughni libni qudamah 2/365)

Pendapat kedua: Adapun madzhab syafiíyah dan madzhab malikiyah maka ada doa setelah takbir yang keempat (lihat al-Mausuuáh al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 16/28)

Dan pendapat yang lebih kuat adalah dianjurkannya doa setelah takbir yang keempat. Adapun dalilnya:

Pertama: Hadits Abdullah bin Abi Aufa. Abu Ya’fuur berkata:

شَهِدْتُهُ وَكَبَّرَ عَلَى جِنَازَةٍ أَرْبَعًا، ثُمَّ قَامَ سَاعَةً, يَعْنِي يَدْعُو، ثُمَّ قَالَ: أَتَرَوْنِي كُنْتُ أُكَبِّرُ خَمْسًا؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ أَرْبَعًا

“Aku menghadiri Abdullah bin Abi Aufa beliau sholat janazah dan bertakbir 4 kali, lalu beliau diam sesaat -yaitu beliau berdoa-, lalu beliau berkata, “Apakah kalian melihatku bahwa aku bertakbir yang kelima?”. Mereka berkata, “Tidak”. Beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bertakbir empat kali” (HR Al-Baihaqi no 6937 dan dishahihkan oleh Al-Albani di Ahkaam al-Janaaiz hal 126)

Hadits ini sangat jelas setelah takbir yang keempat masih berdoa sebagaimana yang dipraktikan oleh Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu ánhu

Kedua : Lebih baik berdoa dari pada diam saja. Syaikh al-Útsaimin berkata :

وَالْقَوْلُ بِأَنَّهُ يَدْعُو بِمَا تَيَسَّرَ أَوْلَى مِنَ السُّكُوْتِ؛ لِأَنَّ الصَّلاَةَ عِبَادَةٌ لَيْسَ فِيْهَا سُكُوْتٌ أَبَداً إِلاَّ لِسَبَبٍ كَالاِسْتِمَاعِ لِقَرَاءَةِ الإِمَامِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Dan pendapat bahwa berdoa dengan yang dimudahkan (setelah takbir keempat) lebih utama daripada hanya berdiam (tanpa membaca apapun-pen). Karena sholat adalah ibadah, tidak ada diam sama sekali kecuali karena ada sebab, seperti untuk mendengarkan bacaan imam dan yang semisalnya” (Asy-Syarh al-Mumti’ 5/336)

([34]) HR Al-Baihaqi no 6937 dan dishahihkan oleh Al-Albani di Ahkaam al-Janaaiz hal 126

([35]) HR Al-Bukhori no. 1331

([36]) Lihat: Haasyiyatul ‘Adawi ‘Alaa Syarhi Kifaayati At-Thoolibi Ar-Robbaani 1/426

([37]) Lihat: Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab 5/225

([38]) ada perbedaan pendapat dalam masalah posisi imam untuk jenazah lelaki, 1) imam berada di posisi dada untuk jenazah lelaki dan wanita, dan ini adalah perkataan Imam Abu Hanifah, dan dalam riwayat lainnya imam berada di posisi tengah dari jenazah lelaki dan wanita, 2) imam berada di posisi kepala untuk jenazah lelaki dan wanita, dan ini perkataan Imam Malik, 3) imam berada di posisi kepala jenazah lelaki dan berada di posisi dada wanita, dan ini adalah perkataan al-hadi (juga pendapat madzhab Syafi’iyah), dan imam asy-syaukani menguatkan pendapat terakhir karena pendapat-pendapat yang lain tidak ada sandaran dalil dari hadits Rasulullah. (lihat: nailu al-awthor 4/81)

Dam pendapat yang terakhir adalah pendapat yang kuat, karena sesuai dengan hadits Abu Gholib Al-Khoyyath adapun yang lain tidak ada sandaran dalil dari hadits-hadits Nabi sebagaimana yang dipaparkan oleh Asy-Syaukani.

([39]) HR. Ahmad No. 13114

([40]) Lihat: Irsyaadu As-Saary Li Syarhi Shohiih Al-Bukhoori 2/430

([41]) HR. Abu Dawud no 3193

([42]) HR. al-Baihaqi no. 6920

([43]) Lihat: Al-Majmu’ 5/228

([44]) HR. Ahmad no. 4373

([45]) Lihat: Al-Majmu’ 5/227

([46]) Lihat: Al-Mabsuuth 2/66

([47]) Lihat khilaf permasalahan ini di al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/369

([48]) Demikian pula jika ia tertinggal takbir ke dua, maka jika ia mengqodho takbir yang kedua ia cukup bersholawat dengan sholawat yang tersingkat yaitu اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ agar ia bisa selesai sholat sebelum mayat diangkat.

([49]) Sebagian ulama menyatakan bahwa bahkan tidak mengapa ia membaca doa dengan panjang meskipun mayat sudah diangkat dan dibawa pergi dari lokasi sholat. Karena sholat janazah (disertai doa di dalamnya) tidaklah terhalangi dengan ketidak hadiran mayat yang telah diangkat.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahkan jika ia bertakbir setelah imam salam ia tidak perlu berdoa, akan tetapi ia bertakbir ke-3 dan ke-4 dengan segera tanpa doa dan tanpa dzikir agar ia cepat selesai sebelum mayat diangkat. (lihat al-Majmuu’, An-Nawawi 5/240)

([50]) Lihat: Al-Mughni 2/369

([51]) Lihat: Al-Mughni 2/370

([52]) Lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 17/103

([53]) Ini adalah kesepekatan seluruh ulama madzhab, baik madzhab Hanafi (lihat Badaai’ As-Shonaai’, al-Kaasaani 1/152), Maliki (lihat Mawaahibul Jaliil, Al-Hatthoob 2/215), Syafií (lihat al-Majmuu’ 4/73), Hanbali (lihat al-Mughni 2/362), lihat juga Bidaaytul Mujtahid, Ibnu Rusyd 1/47

([54]) Ibnul Mundzir berkata

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنْ لَيْسَ عَلَى مَنْ سَهَا خَلْفَ الإِمَامِ سُجُوْدُ، وَانْفَرَدَ مَكْحُوْلٌ وَقَالَ: عَلَيْهِ

“Para ulama sepakat bahwasanya makmum yang sholat di belakang imam jika lupa maka tidak wajib sujud sahwi. Hanya Makhuul yang bersendirian berpendapat bahwa wajib bagi makmum sujud sahwi” (al-Ijmaa’ hal 40 no 50)

([55]) berikut pernyataan dari para ulama madzhab yang empat yang menunjukkan akan kesepakatan mereka bahwa janin yang lahir dalam keadaan hidup lalu meninggal maka dia disholatkan seperti manusia pada umumnya:

berkata imam thohawi (salah satu ulama madzhab hanafiyah) dalam kitab haasyiyah at-thohawi 1/596-597 bahwa anak yang lahir keguguran dan terlihat darinya tanda-tanda kehidupan kemudian mati maka dia diberikan nama, dimandikan, disholatkan, mendapat warisan dan bisa memberikan warisan.Berkata imam Malik,

لَا يُصَلَّى عَلَى الْمَوْلُودِ وَلَا يُغَسَّلُ وَلَا يُحَنَّطُ وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُورَثُ وَلَا يَرِثُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا بِالصَّوْت

“bayi yang keguguran tidak dishalati, tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak diberi nama, tidak diberi warisan, dan juga tidak memberi warisan sampai terdengar jelas suara teriakan (tangisannya)”. Lihat: at-Taaj wa al-iklil li mukhtashori kholil 3/55

Berkata al-Khotib asy-Syirbini (termasuk ulama Syafi’iyyah)

(وَالسِّقْطُ)….(إنْ) عُلِمَتْ حَيَاتُهُ بِأَنْ (اسْتَهَلَّ) أَيْ صَاحَ (أَوْ بَكَى)…. فَإِذَا مَاتَ بَعْدَ ذَلِكَ فَحُكْمُهُ (كَكَبِيرٍ) فَيُغَسَّلُ وَيُكَفَّنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْفَنُ لِتَيَقُّنِ مَوْتِهِ بَعْدَ حَيَاتِهِ

“dan as-siqthu (bayi yang keguguran) apabila diketahui hidupnya dengan teriak atau menangis, jika mati setelah itu maka dia dimandikan, dikafankan, dishalati, dan dikubur karena yakinnya dia mati setelah sebelumnya dia hidup.” (lihat: Mughni Al-Muhtaj Ilaa Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj 2/33)

Berkata ibnu Qudamah (termasuk ulama hanabilah)

فَأَمَّا إنْ خَرَجَ حَيًّا وَاسْتَهَلَّ، فَإِنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ

“adapun jika keluar dalam (bayi yang keguguran) dalam keadaan hidup dan menangis maka dia dimandikan da disahalati.” (lihat: al-mughni 2/389)

([56]) berikut pernyataan dari para ulama madzhab yang empat yang menunjukkan akan kesepakatan mereka bahwa janin yang lahir dalam keadaan meninggal dan usianya belum sampai 4 bulan maka dia tidak disholatkan:

Dalam madzhab hanafiyah didapati bahwa riwayat-riwayat yang ada menunjukkan akan kesepakatan bahwa bayi yang gugur (secara umum dan tidak dibatasi dengan usia) dan keluar dalam keadaan meninggal maka tidak dishalati dan tidak ada khilaf diantaranya, karena khilaf yang terjadi dalam madzhab mereka adalah dalam masalah apakah bayi yang meninggal tersebut dimandikan atau tidak, berkata al-Kasani,

فَاتَّفَقَتْ الرِّوَايَاتُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَى مَنْ وُلِدَ مَيِّتًا، وَالْخِلَافُ فِي الْغُسْلِ

“semua riwayat sepakat bahwa bayi yang terlahir dalam keadaan meninggal tidak dishalati, yang terjadi perbedaan pendapat (dalam madzhab) hanya dalam masalah memandikannya.” Lihat: Badai’us Shonai’  Fii Tartiibi Asy-Syarooi’ 1/302

oleh, ustad DR.Firanda Adirja, Lc. MA.

https : //bekalislam.firanda.com/panduan-tata-cara-sholat-lengkap

Daftar Isi :

  1.  Hukum Sujud Sahwi
  2. Sebab adamya Sujud Sahwi
  3. Tata cara Sujud Sahwi
  4. Lupa melakukan Sujud Sahwi
  5. Sujud Sahwi dalam sholat berjamaah



1.Definisi Sujud Sahwi

Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai.[1] Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja.[2]

Pensyariatan Sujud Sahwi

Para ulama madzhab sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Di antara dalil yang menunjukkan pensyariatannya adalah hadits-hadits berikut ini. Hadits-hadits ini pun nantinya akan dijadikan landasan dalam pembahasan sujud sahwi selanjutnya.

Pertama: Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

“Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no. 389)

Kedua:  Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)

Ketiga: Hadits Abu Hurairah, ia berkata,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالُوا صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin shalat Zhuhur atau Ashar. Namun pada raka’at kedua, beliau sudah mengucapkan salam. Kemudian beliau pergi ke sebatang pohon kurma di arah kiblat masjid, lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah. Di antara jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara. Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil berujar, “Shalat telah diqoshor (dipendekkan).” Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah anda lupa?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, “Betulkan apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?” Jawab mereka, “Betul, wahai Rasulullah. Engkau shalat hanya dua rakaat.” Lalu beliau shalat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Keempat: Hadits ‘Imron bin Hushain.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِى ثَلاَثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ فِى يَدَيْهِ طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ. وَخَرَجَ غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ « أَصَدَقَ هَذَا ». قَالُوا نَعَمْ. فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar lalu beliau salam pada raka’at ketiga. Setelah itu beliau memasuki rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang bernama al-Khirbaq (yang tangannya panjang) menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya, “Wahai Rasulullah!” Lalu ia menyebutkan sesuatu yang dikerjakan oleh beliau tadi. Akhirnya, beliau keluar dalam keadaan marah sambil menyeret rida’nya (pakaian bagian atas) hingga berhenti pada orang-orang seraya bertanya, “Apakah benar yang dikatakan orang ini?“ Mereka menjawab, “Ya benar”. Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)

Kelima: Hadits ‘Abdullah bin Buhainah.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Keenam: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud.

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَمْسًا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا. قَالَ « إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ ». ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.” Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)

Lalu apa hukum sujud sahwi?

Mengenai hukum sujud sahwi para ulama berselisih menjadi dua pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunnah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati adalah pendapat yang menyatakan wajib. Hal ini disebabkan dua alasan:

Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukan sujud sahwi –ketika ada sebabnya- dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.

Pendapat yang menyatakan wajib semacam ini dipilih oleh ulama Hanafiyah, salah satu pendapat dari Malikiyah, pendapat yang jadi sandaran dalam madzhab Hambali, ulama Zhohiriyah dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[3]

[14.03, 17/3/2022] Abu Ikhsan: Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] Lisanul ‘Arob, Muhammad bin Makrom binn Manzhur Al Afriqi Al Mishri, 14/406, Dar Shodir.

[2] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/459, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/ 463.

Sumber: https://muslim.or.id/10299-sujud-sahwi-1-hukum-sujud-sahwi.html
Kembali ke menu/atas
2. Sebab Adanya Sujud Sahwi

Pertama: Karena adanya kekurangan.

Rincian 1: Meninggalkan rukun shalat[1] seperti lupa ruku’ dan sujud.

  1. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya sebelum memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka hendaklah ia mengulangi rukun yang ia tinggalkan tadi, dilanjutkan melakukan rukun yang setelahnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  2. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya setelah memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka raka’at sebelumnya yang terdapat kekurangan rukun tadi jadi batal. Ketika itu, ia membatalkan raka’at yang terdapat kekurangan rukunnya tadi dan ia kembali menyempurnakan shalatnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  3. Jika lupa melakukan melakukan satu raka’at atau lebih (misalnya baru melakukan dua raka’at shalat Zhuhur, namun sudah salam ketika itu), maka hendaklah ia tambah kekurangan raka’at ketika ia ingat. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.[2]

Rincian 2: Meninggalkan wajib shalat[3] seperti tasyahud awwal.

  1. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mampu untuk kembali melakukannya dan ia belum beranjak dari tempatnya, maka hendaklah ia melakukan wajib shalat tersebut. Pada saat ini tidak ada kewajiban sujud sahwi.
  2. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya, namun belum sampai pada rukun selanjutnya, maka hendaklah ia kembali melakukan wajib shalat tadi. Pada saat ini juga tidak ada sujud sahwi.
  3. Jika ia meninggalkan wajib shalat, ia mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya dan setelah sampai pada rukun sesudahnya, maka ia tidak perlu kembali melakukan wajib shalat tadi, ia terus melanjutkan shalatnya. Pada saat ini, ia tutup kekurangan tadi dengan sujud sahwi.

Keadaan tentang wajib shalat ini diterangkan dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah. Ia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ

“Jika salah seorang dari kalian berdiri dari raka’at kedua (lupa tasyahud awwal) dan belum tegak berdirinya, maka hendaknya ia duduk. Tetapi jika telah tegak, maka janganlah ia duduk (kembali). Namun hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud.” (HR. Ibnu Majah no. 1208 dan Ahmad 4/253)

Rincian 3: Meninggalkan sunnah shalat[4].

Dalam keadaan semacam ini tidak perlu sujud sahwi, karena perkara sunnah tidak mengapa ditinggalkan.

Kedua: Karena adanya penambahan.

  1. Jika seseorang lupa sehingga menambah satu raka’at atau lebih, lalu ia mengingatnya di tengah-tengah tambahan raka’at tadi, hendaklah ia langsung duduk, lalu tasyahud akhir, kemudian salam. Kemudian setelah itu, ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ingat adanya tambahan raka’at setelah selesai salam (setelah shalat selesai),  maka ia sujud ketika ia ingat, kemudian ia salam.

Pembahasan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا . فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada menanyakan kepada beliau, “Apakah engkau menambah dalam shalat?” Beliau pun menjawab, “Memangnya apa yang terjadi?” Orang tadi berkata, “Engkau shalat lima raka’at.” Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dua kali setelah ia salam tadi.” (HR. Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572)

Ketiga:  Karena adanya keraguan.

  1. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, kemudian ia mengingat dan bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia anggap yakin. Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, dan saat itu ia tidak bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia yakin (yaitu yang paling sedikit). Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Mengenai permasalahan ini sudah dibahas pada hadits Abu Sa’id Al Khudri yang telah lewat. Juga terdapat dalam hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلاَثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلاَثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya hingga tidak tahu satu rakaat atau dua rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaknya ia hitung satu rakaat. Jika tidak tahu dua atau tiga rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung dua rakaat. Dan jika tidak tahu tiga atau empat rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung tiga rakaat. Setelah itu sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Tirmidzi no. 398 dan Ibnu Majah no. 1209. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1356)

Yang perlu diperhatikan: Seseorang tidak perlu memperhatikan keragu-raguan dalam ibadah pada tiga keadaan:

  1. Jika hanya sekedar was-was yang tidak ada hakikatnya.
  2. Jika seseorang melakukan suatu ibadah selalu dilingkupi keragu-raguan, maka pada saat ini keragu-raguannya tidak perlu ia perhatikan.
  3. Jika keraguan-raguannya setelah selesai ibadah, maka tidak perlu diperhatikan selama itu bukan sesuatu yang yakin.

Demikian serial pertama mengenai sujud sahwi dari muslim.or.id. Adapun mengenai tatacara sujud sahwi, bacaan di dalamnya dan permasalahan-permasalahn seputar sujud sahwi, akan kami bahas pada kesempatan selanjutnya insya Allah. Semoga Allah mudahkan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,

–  Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

–  Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.

–  Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/313-314)

[2] Keadaan semacam ini sudah dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah tentang Dzul Yadain yang telah lewat.

[3] Yang dimaksud wajib shalat adalah perkataan atau perbuatan yang diwajibkan dalam shalat. Jika wajib shalat ini lupa dikerjakan, bisa ditutup dengan sujud sahwi. Namun jika wajib shalat ini ditinggalkan dengan sengaja, shalatnya batal jika memang diketahui wajibnya. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/328)

[4] Yang dimaksud sunnah shalat adalah perkataan atau perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan dalam shalat dan yang melakukannya akan mendapatkan pahala. Jika sunnah shalat ini ditinggalkan tidak membatalkan shalat walaupun dengan sengaja ditinggalkan dan ketika itu pun tidak diharuskan sujud sahwi. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/336)
Kembali ke menu/atas
3. Tata Cara Sujud Sahwi

Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?

Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen).”[1]

Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.

Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi  sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.

  1. Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti kekurangan tasyahud awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
  2. Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
  3. Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki kekurangan raka’at, maka hendaklah ia menyempurnakan kekurangan raka’at tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
  4. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan.
  5. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia yakini.

Tata Cara Sujud Sahwi

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.

Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,

فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,

فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.

“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)

Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?

Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits mengenai sujud sahwi yang telah lewat.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud? Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]

Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?

Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.

Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy). Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali, kemudian duduk tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi sebelumnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan, maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud.”[3]

Do’a Ketika Sujud Sahwi

Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]

Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .

“Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang dianjurkannya bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan, “Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.”[5]

Sehingga tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi][6]

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]

Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”

[14.35, 17/3/2022] Abu Ikhsan: Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?”

Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu, sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.”[10]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.

[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.

[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.

[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.

[6] HR. Muslim no. 772

[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484

[8] Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal, yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.

[9] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.

[10] Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.

Sumber: https://muslim.or.id/10305-sujud-sahwi-3-tata-cara-sujud-sahwi.html
Kembali ke menu/atas
4. Lupa Melakukan Sujud Sahwi

Jika Lupa Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Shalatnya Mesti Diulangi?

Mengenai masalah ini kita dapat bagi menjadi dua keadaan:

Keadaan pertama: Jika sujud sahwi yang ditinggalkan sudah lama waktunya, namun wudhunya belum batal.

Dalam keadaan seperti ini –menurut pendapat yang lebih kuat- selama wudhunya masih ada, maka shalatnya tadi masih tetap teranggap dan ia melakukan sujud sahwi ketika ia ingat meskipun waktunya sudah lama. Inilah pendapat Imam Malik, pendapat yang terdahulu dari Imam Asy Syafi’i, Yahya bin Sa’id Al Anshori, Al Laits, Al Auza’i, Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[1].[2]

Di antara alasan pendapat di atas adalah:

Pertama: Karena jika kita mengatakan bahwa kalau sudah lama ia meninggalkan sujud sahwi, maka ini sebenarnya sulit dijadikan standar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah dalam lupa sehingga hanya mengerjakan dua atau tiga raka’at, setelah itu malah beliau ngobrol-ngobrol, lalu keluar dari masjid, terus masuk ke dalam rumah. Lalu setelah itu ada yang mengingatkan. Lantas beliau pun mengerjakan raka’at yang kurang tadi. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi. Ini menunjukkan bahwa beliau melakukan sujud sahwi dalam waktu yang lama. Artinya waktu yang lama tidak bisa dijadikan.

Kedua: Orang yang lupa –selama wudhunya masih ada- diperintahkan untuk menyempurnakan shalatnya dan diperintahkan untuk sujud sahwi. Meskipun lama waktunya, sujud sahwi tetap diwajibkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat atau ketiduran, maka kafarohnya (penebusnya) adalah hendaklah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim no. 684)

Keadaan kedua: Jika sujud sahwinya ditinggalkan dan wudhunya batal.

Untuk keadaan kedua ini berarti shalatnya batal hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Orang seperti berarti harus mengulangi shalatnya. Kecuali jika sujud sahwi yang ditinggalkan adalah sujud sahwi sesudah salam dikarenakan kelebihan mengerjakan raka’at, maka  ia boleh melaksanakan sujud sahwi setelah ia berwudhu kembali. [3]

Jika Lupa Berulang Kali dalam Shalat

Jika seseorang lupa berulang kali dalam shalat, apakah ia harus berulang kali melakukan sujud sahwi? Jawabannya, hal ini tidak diperlukan.

Ulama Syafi’iyah, ‘Abdul Karim Ar Rofi’i rahimahullah mengatakan, “Jika lupa berulang kali dalam shalat, maka cukup dengan sujud sahwi (dua kali sujud) di akhir shalat.”[4]

Sujud Sahwi Ketika Shalat Sunnah

Sujud sahwi ketika shalat sunnah sama halnya dengan shalat wajib, yaitu sama-sama disyari’atkan. Karena dalam hadits yang membicarakan sujud sahwi menyebutkan umumnya shalat, tidak membatasi pada shalat wajib saja.

Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Sebagaimana dikatakan dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf,

إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ

“Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa sujud sahwi itu disyariatkan pula dalam shalat sunnah sebagaimana disyariatkan dalam shalat wajib (karena lafazh dalam hadits ini umum). Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama yang dulu dan sekarang. Karena untuk menambal kekurangan dalam shalat dan untuk menghinakan setan juga terdapat dalam shalat sunnah sebagaimana terdapat dalam shalat wajib.”[5]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengkhususkan jika memang sujud sahwinya terletak sesudah salam, inilah yang beliau bolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 23/32.

[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.

[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.

[4] Fathul ‘Aziz Syarh Al Wajiz, Abul Qosim Abdul Karim bin Muhammad Ar Rofi’i, 4/172, Darul Fikr

[5] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 3/144, Idarotuth Thoba’ah Al Muniirah.

Sumber: https://muslim.or.id/10309-sujud-sahwi-4-lupa-melakukan-sujud-sahwi.html
Kembali ke menu/atas
5. Sujud Sahwi dalam Shalat Berjama’ah

Memperingatkan Imam

Di saat imam itu lupa, makmum disyari’atkan untuk mengingatkannya yaitu dengan ucapan tasbih “subhanallah” bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita. Hal ini berdasarkan hadits Sahl bin Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ

“Barangsiapa mengingatkan sesuatu pada imam dalam shalatnya, maka ucapkanlah “subhanallah” (Maha Suci Allah).” (HR. Bukhari no. 1218)

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

“Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421)

Cara wanita tepuk tangan adalah bagian dalam telapak tangan menepuk bagian punggung telapak tangan lainnya. Demikian kata penulis Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik hafizhohullah.[1]

Imam Merespon Peringatan dari Makmum

Mayoritas ulama dari ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika imam menambah dalam shalatnya, namun imam yakin atau berprasangka kuat bahwa ia benar, sedangkan makmum berpendapat bahwa imam telah mengerjakan lima raka’at (misalnya), maka imam tidak perlu merespon makmum.

Hal di atas adalah jika imam berada dalam kondisi yakin atau sangkaan kuat bahwa ia benar. Jika imam berada dalam kondisi ragu-ragu, maka ia wajib merespon peringatan makmum.  Demikian pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits Dzul Yadain yang pernah disebutkan dalam tulisan yang lewat.

Jika Imam Lupa dan Melakukan Sujud Sahwi, Makmum Wajib Mengikuti Imam

Baik kondisinya adalah makmum dan imam sama-sama lupa atau imam saja yang lupa, maka jika imam lakukan sujud sahwi, makmum wajib ikuti. Ibnul Mundzir berkata, “Semua ulama sepakat bahwa makmum ketika imam lupa dalam shalatnya dan imam melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk sujud bersamanya. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti.”[2][3]

Jika Imam Lupa dan Tidak Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Makmum Harus Melakukan Sujud Sahwi?

Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah makmum tetap melakukan sujud sahwi walaupun imam tidak melakukannya.Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Sirin, Qotadah, Al Auza’i, Malik, Al Laits, Asy Syafi’i, Abu Tsaur, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Alasannya, karena sujud sahwi itu wajib bagi imam dan makmum. Oleh karena itu, tidak boleh makmum meninggalkan kewajiban sebagaimana yang diwajibkan pada imam. Demikian pula karena setiap orang yang melaksanakan shalat semua wajib melakukan hal yang fardhu, sebagaimana imam pun demikian. Maka tidak boleh sujud sahwi ini ditinggalkan kecuali dengan menunaikannya.

Apakah Makmum Masbuk Juga Ikut Melakukan Sujud Sahwi?

Yang tepat dalam masalah ini makmum masbuk (yang telat mengikuti imam sejak awal) melakukan sujud sahwi bersama imam jika sujud sahwinya sebelum salam. Namun jika sujud sahwi terletak sesudah salam, makmum tersebut tetap berdiri melanjutkan shalatnya dan ia sujud sahwi setelah ia salam (mengikuti sujud sahwi yang dilakukan oleh imam sebelum tadi). Inilah pendapat dari Imam Malik, Al Auza’i, dan Al Laits. Pendapat ini yang dikuatkan oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik.

Jika Makmum Lupa di Belakang Imam

Jika makmum yang lupa sedangkan imam tidak, maka kealpaan makmum dipikul oleh imam, dan makmum tersebut tidak perlu melakukan sujud sahwi. Inilah pendapat mayoritas ulama dari empat madzhab. Telah terdapat hadits yang membicarakan hal ini,

لَيْسَ عَلَى مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ سَهْوٌ فَإِنْ سَهَا الإِمَامُ فَعَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ خَلْفَهُ السَّهْوُ وَإِنْ سَهَا مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ سَهْوٌ وَالإِمَامُ كَافِيهِ

“Tidak diharuskan bagi yang shalat di belakang imam ketika ia dalam keadaan lupa (untuk sujud sahwi). Jika imam lupa, maka itu jadi tanggungannya dan makmum di belakangnya mengikuti dalam sujud sahwi. Jika makmum yang lupa, maka tidak ada kewajiban sujud sahwi untuknya. Imam sudah mencukupinya.” Hadits ini dho’if.[4] Akan tetapi hadits tersebut diamalkan oleh kebanyakan ulama.

Untuk mendukung hal di atas, ada penjelasan yang apik dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah sebagai berikut,

“Kami tahu dengan yakin bahwa sahabat yang meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat di belakang beliau. Dan di antara mereka pasti pernah dalam keadaan lupa yang di mana mengharuskan mereka untuk sujud sahwi jika mereka shalat sendirian. Jika memang sahabat ketika shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka lupa, lalu mereka sujud sahwi setelah salam beda dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu ada keterangan (dalam riwayat) kalau para sahabat melakukan seperti itu. Namun jika tidak ada riwayat tentang hal itu, maka menunjukkan bahwa dalam kondisi makmum saja yang lupa tanpa imam, maka tidak disyariatkan makmum untuk sujud sahwi. Ini adalah penjelasan yang amat jelas—insya Allah Ta’ala–. Hal ini telah dikuatkan dengan hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami bahwasanya ia ngobrol di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak tahu. Namun  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan dia untuk sujud sahwi.”[5]

Demikian sajian sederhana kami tentang sujud sahwi. Yang benar datang dari Allah, yang keliru dalam tulisan kami adalah dari kesalahan diri kami sendiri yang lemah.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] Shahih Fiqh Sunnah,1/468.

[2] HR. Bukhari no. 688 dan Muslim no. 411.

[3] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 3/322.

[4] Di antara yang menyatakan sanad hadits ini dho’if adalah An Nawawi dalam Al Khulashoh (2/642) dan Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom.

[5] Irwa’ul Gholil, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, 2/132.

Sumber: https://muslim.or.id/10311-sujud-sahwi-5-sujud-sahwi-dalam-shalat-berjamaah.html

Seiring dengan banyaknya kesibukan duniawi, khusyu’ dalam shalat menjadi sesuatu yang amat sulit dicapai. Padahal shalat adalah induknya seluruh ibadah, yang bila ia baik maka baiklah ibadah-ibadah lainnya. Namun bila ia rusak karena tidak khusyu’ umpamanya, maka ibadah-ibadah lainnya akan terpengaruh. Berikut ini adalah tips sederhana yang insya Allah dapat membantu anda untuk khusyu’ dalam shalat. Akan tetapi kuncinya ialah konsentrasi, konsentrasi, dan konsentrasi. Tips ini takkan berguna jika sedari awal anda tidak konsentrasi pada shalat.

Karenanya, usahakan agar sebelum shalat anda dalam kondisi tenang. Lebih baik jika Anda telah berada di mesjid atau mushalla anda sebelum adzan berkumandang, agar memiliki waktu luang untuk konsentrasi dan menenangkan pikiran, baru kemudian ikuti tips di bawah.

Tahukah Anda, bahwa setiap gerakan dan ucapan dalam shalat memiliki makna dan jawaban tertentu?

Tidak tahu? Kalau begitu perhatikan tips berikut dengan baik.

Melepas alas kaki: lepaslah dunia beserta alas kaki anda.

Ucapan Allahu Akbar: Tidak ada yang lebih besar dari Allah, camkan itu!

Mengangkat kedua tangan: lemparkan segala urusan dunia ke belakang.

Berdiri: ketahuilah, bahwa Anda sedang berdiri menghadap Allah.

Tangan kanan di atas tangan kiri: Berlaku sopanlah di hadapan Allah.

Al Fatihah: Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah mengatakan: Aku membagi shalat untuk-Ku dan hamba-Ku dalam dua bagian, dan hamba-Ku akan mendapat apa yang dimintanya. Jika hamba-Ku mengucapkan: Alhamdulillahi rabbil ‘alamien (segala puji bagi Allah penguasa jagat raya), Ku-jawab: “hamidani ‘abdi” (hamba-Ku memuji-Ku).

Jika hamba-Ku megatakan: “Arrahmanirrahim” (Yang Maha pengasih lagi penyayang), Ku-jawab: “Atsna ‘alayya ‘abdi” (hamba-Ku memujiku lagi).

Jika hamba-Ku mengatakan: “Maaliki yaumiddien” (Penguasa di hari pembalasan), Ku-jawab: “Majjadani ‘abdi” (hamba-Ku menyanjung-Ku).

Jika hamba-Ku mengatakan: “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’ien” (hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong). Ku-jawab: Inilah batas antara Aku dan hamba-Ku, dan baginya apa yang dia minta…

Jika hamba-Ku mengatakan: “Ihdinassiraatal mustaqiem… dst” (tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. Bukan jalan orang-orang yang Kau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat), Ku-jawab: Inilah bagian hamba-Ku, dan baginya apa yang dia minta (HR. Muslim).

Mulai sekarang, biasakan tiap kali membaca Al Fatihah bersikaplah seakan Anda mendengar jawaban Allah pada tiap ayatnya.

Ruku’: Bungkukkan punggung Anda untuk Allah saja, dan tundukkan hati Anda bersamanya.

Berdiri dari ruku’: Segala puji bagi Allah yang menjadikan punggung Anda tegak kembali.

Sujud: letakkan bagian tubuh Anda yang paling terhormat –yaitu wajah- pada tempat yang paling rendah di bumi –yaitu tanah-. Ingatlah bahwa Anda berasal darinya, dan Anda akan kembali ke sana. Lalu katakan “Subhaana Rabbiyal a’la” (Maha Suci Rabb-ku yang Maha Tinggi) 3x, agar makna tersebut semakin meresap dalam hati, lalu berdoalah sesuka Anda.

Duduk lalu sujud yang kedua: bersimpuhlah di hadapan Allah, dan sujudlah kembali, sebab sujud tidak cukup hanya sekali !

Tasyahhud: Attahiyyaatu lillaah wasshalawaatu wat thayyibaat (Salam sejahtera, shalawat, dan segala yang baik adalah milik Allah)… rasakan keagungan Allah ketika itu !

Assalaamu ‘alaika Ayyuhannabiyyu (salam sejahtera atasmu wahai Nabi)… ucapkan salam atas Nabi dan yakinlah bahwa Nabi membalas salam Anda. Nabi bersabda:

ما من عبد يصلى ويسلم علي إلا رد الله علي روحي فارد السلام

“Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan salam dan shalawat atasku, melainkan Allah kembalikan ruhku agar aku membalas salamnya”.

‘Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibaadillaahisshaalihien (Salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih)… sekarang kedudukanmu mulai terangkat, salamilah dirimu dan kau perlu bersahabat dengan orang-orang shalih.

‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah’ (Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah)…yakinlah bahwa Allah ada meski engkau tak melihat-Nya.

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala aali Ibrahim (Ya Allah limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Kau limpahkan atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim)…Teladanilah kedua Nabi yang mulia ini, karena keduanyalah suri teladan terbaik. Dan berterima kasihlah kepada mereka yang telah mengajarkan kebaikan untukmu, dengan mendoakan mereka dalam shalatmu.

Salam ke kanan: tujukan kepada malaikat pencatat kebaikan…

Salam ke kiri: ucapkan dalam hati “Hai Malaikat di sebelah kiri, aku telah bertaubat !”.

Penutup Shalat

Istighfar 3x: Aku mohon ampun atas segala kekurangan yang terjadi dalam shalatku.

Bacalah: ‘Allahumma antassalaam waminkassalaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam’ (Ya Allah, engkaulah As Salaam, dan dari-Mu lah keselamatan. Maha berkah Engkau wahai Yang memiliki segala kemuliaan)… ingatlah bahwa kalimat ini akan Anda ucapkan kepada Allah di Surga, tatkala Dia menyingkap tabir-Nya… Allah akan menyeru Anda dengan mengatakan: “Wahai Ahli Surga, Salaamun ‘alaikum”, maka mereka menjawab: “Allahumma antas salaam, wa minkas salaam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam”.

Lalu bacalah: “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik” (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu)…agar shalat anda yang berikutnya juga sempurna.

Cobalah tips di atas, dan buktikan kemanjurannya karena saya sendiri telah mencobanya ! Semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Sufyan Basweidan, Lc

Artikel www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/8092-tips-khusyu-dalam-shalat.html

Daftar Isi :

  1. Hukum Salam-salaman setelah Shalat
  2. Sujud syukur setiap selesai Shalat
  3. Telat Mengikuti Gerakan Imam
  4. Derajat Hadits Mengusap Wajah Setelah Berdoa



1.Hukum Salam-salaman setelah Shalat

Perkara Ibadah Butuh Dalil

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami bahwa dalam menetapkan suatu ibadah atau suatu tata cara dalam beribadah, butuh landasan hukum yang valid berupa dalil yang shahih. Baik ibadah yang berupa perkataan maupun perbuatan, harus dilandasi oleh nash dari Allah ataupun dari Rasulullah yang termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun sekedar perkataan seseorang “ini adalah ibadah” atau “ini baik dan bagus” ini bukan landasan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Selain itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika khutbah Jum’at atau khutbah yang lain beliau bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)

Sehingga para ulama memahami dari dalil-dalil ini bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang mengesahkannya.

Fatwa Para Ulama Tentang Salam-Salaman Setelah Shalat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab: “salam-salaman yang demikian (rutin setelah shalat) tidak kami ketahui asalnya dari As Sunnah atau pun dari praktek para sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Namun seseorang jika bersalaman setelah shalat bukan dalam rangka menganggap hal itu disyariatkan (setelah shalat), yaitu dalam rangka mempererat persaudaraan atau menumbuhkan rasa cinta, maka saya harap itu tidak mengapa. Karena memang orang-orang sudah biasa bersalaman untuk tujuan itu. Adapun melakukannya karena anggapan bahwa hal itu dianjurkan (setelah shalat) maka hendaknya tidak dilakukan, dan tidak boleh dilakukan sampai terdapat dalil yang mengesahkan bahwa hal itu sunnah. Dan saya tidak mengetahui bahwa hal itu disunnahkan” (Majmu’ Fatawa War Rasa-il, jilid 3, dinukil dari http://ar.islamway.net/fatwa/18117).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “pada asalnya bersalam-salaman itu disyariatkan ketika bertemu antar sesama muslim. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menyalami para sahabat nya jika bertemu dan para sahabat juga jika saling bertemu mereka bersalaman. Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Asy Sya’bi mengatakan:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika saling bertemu mereka bersalaman, dan jika mereka datang dari safar mereka saling berpelukan”

Dan terdapat hadits shahih dalam Shahihain, bahwa Thalhah bin ‘Ubaidillah (salah satu dari 10 sahabat yang dijamin surga) datang dari pengajian bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Ka’ab bin Malik radhiallahu’anhu yaitu ketika Ka’ab bertaubat kepada Allah (atas kesalahannya tidak ikut jihad, pent.). Thalhah pun bersalaman dengannya dan memberinya selamat atas taubatnya tersebut. Ini (budaya salaman) adalah perkara yang masyhur diantara kaum Muslimin di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun sepeninggal beliau.

Dan terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

ما من مسلمين يتلاقيان فيتصافحان إلا تحاتت عنهما ذنوبهما كما يتحات عن الشجرة ورقها

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon”

Maka dianjurkan bersalam-salaman ketika bertemu di masjid atau di shaf. Jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, maka hendaknya setelahnya sebagai bentuk keseriusan mengamalkan sunnah yang agung ini. Diantara hikmahnya juga ia dapat menguatkan ikatan cinta dan melunturkan kebencian. Namun, jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, disyariatkan untuk bersalaman setelah shalat yaitu setelah membaca dzikir-dzikir setelah shalat (yang disyariatkan).

Adapun yang dilakukan sebagian orang yang segera bersalam-salaman setelah selesai shalat fardhu yaitu setelah salam yang kedua, maka saya tidak mengetahui asal dari perbuatan ini. Bahkan yang tepat, ini hukumnya makruh karena tidak ada dalilnya. Karena yang disyariatkan bagi orang yang shalat dalam kondisi ini adalah segera membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setiap selesai shalat fardhu.

Adapun shalat sunnah, juga disyariatkan untuk bersalaman setelah salam, jika memang belum sempat bersalam ketika sebelum shalat. Jika sudah salaman sebelum shalat maka sudah cukup (tidak perlu salaman lagi).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 11, dinukil dari http://www.binbaz.org.sa/mat/951).

Sebagian Ulama Membolehkan?

Memang benar sebagian ulama membolehkan ritual bersalam-salaman setelah shalat. Namun perlu kami ingatkan, bahwa perkataan ulama bukanlah dalil dan dalam menetapkan suatu tata cara ibadah itu membutuhkan dalil. Para ulama berkata:

أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Asy Syafi’i berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Dan dalam menyikapi pendapat-pendapat para ulama yang berbeda, kita wajib kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

Diantara ulama yang membolehkan hal ini adalah Imam An Nawawi rahimahullah, beliau berkata, “ketahuilah bahwa bersalam-salam adalah sunnah dalam setiap kali pertemuan. Dan apa yang dibiasakan orang setelah shalat subuh dan shalat ashar itu tidak ada asalnya dari syariat, dari satu sisi. Namun perbuatan ini tidak mengapa dilakukan. Karena asalnya bersalam-salaman itu sunnah dan keadaan mereka yang merutinkan salam-salaman pada sebagian waktu dan menambahnya pada kesempatan-kesempatan tertentu, ini tidak keluar dari hukum sunnahnya bersalam-salaman yang disyariatkan secara asalnya. Ia merupakan bid’ah mubahah” (dinukil dari Mirqatul Mafatih, 7/2963).

Al Mula Ali Al Qari rahimahullah (wafat 1014H ) menjawab pendapat An Nawawi ini, “tidak ragu lagi bahwa perkataan Al Imam An Nawawi ini mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Karena melakukan sunnah pada sebagian waktu tidak dinamakan bid’ah. Sedangkan kebiasaan orang-orang melakukan salam-salaman pada dua waktu yang disebutkan (setelah subuh dan ashar) bukanlah dalam bentuk yang disunnahkan oleh syariat. Oleh karena itu sebagian ulama kita telah menegaskan bahwa perbuatan ini makruh jika dilukan pada waktu tersebut. Nah, jika seseorang masuk masjid dan orang-orang sudah shalat atau sudah akan segera dimulai, maka setelah shalat selesai andaikan mau bersalaman itu dibolehkan. Namun dengan syarat, memberikan salam terlebih dahulu sebelum salaman. Maka yang seperti ini barulah termasuk bentuk salaman yang disunnahkan tanpa keraguan” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).

Sehingga jelaslah bahwa dalam hal ini, pendapat Imam An Nawawi rahimahullah tidak lah tepat.

Jika Ada Yang Menyodorkan Tangan Untuk Salaman Setelah Shalat

Di atas telah dijelaskan bahwa salam-salaman setelah shalat jika dilakukan dengan anggapan itu ritual yang dianjurkan ini adalah perbuatan yang tidak ada asalnya dari syariat, dan semestinya ditinggalkan. Namun, jika ada jama’ah yang menyodorkan tangan untuk bersalam-salaman setelah shalat hendaknya tidak ditolak atau didiamkan. Al Mula Ali Al Qari rahimahullah berkata, “walaupun demikian, jika seorang ada Muslim menyodorkan tangannya untuk bersalaman (setelah shalat), maka jangan ditolak dengan menarik tangan. Karena hal ini akan menimbulkan gangguan yang lebih besar dari pada maslahah menjalankan adab (sunnah). Intinya, orang yang memulai salaman dengan anggapan itu disyariatkan, baginya makruh, namun tidak makruh bagi yang terpaksa menerima salamnya. Walaupun yang demikian ini terkadang ada unsur tolong-menolong dalam perkara bid’ah, wallahu a’lam.” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).

Dan dalam keadaan tersebut hendaknya kita juga bersemangat untuk menasehati orang yang mengajak kita salaman tersebut dengan cara yang hikmah dan santun, jika memang memungkinkan. Nasehat dengan tangan, jika tidak mungkin, maka dengan lisan, jika tidak mungkin, minimal dengan hati.

Adapun jika seseorang menyodorkan tangan untuk salaman karena memang belum sempat salaman sebelum shalat, bukan dengan anggapan perbuatan ini disyariatkan, maka sepatutnya sodoran tangan tadi disambut tanpa perlu ragu.

Semoga bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/20491-hukum-salam-salaman-setelah-shalat.html
Kembali ke menu/atas
2. Sujud syukur setiap selesai Shalat

Pertanyaan:
Saudaraku, saya pernah sujud syukur setiap selesai shalat dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat yang Ia berikan kepadaku berupa penglihatan, pendengaran, dan lainnya. Lalu aku tinggalkan kebiasaan itu karena khawatir itu adalah perbuatan bid’ah, sebab Rasul kita Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah melakukan hal tersebut. Apa nasehat anda kepada saya, jazaakumullah khayr.

Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد

Keputusan anda untuk meninggalkan kebiasaan sujud syukur tiap selesai shalat adalah keputusan yang benar. Karena sujud syukur itu disyari’atkan ketika mendapat nikmat yang besar atau ketika terhindar dari bencana. Adapun selain itu, tidak disyariatkan. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu senantiasa melimpahkan nikmat kepada hamb-Nya tanpa bisa terhitung serta terus-menerus tanpa henti.

Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’, yang merupakan kitab fiqih madzhab Syafi’i, beliau berkata :

قال الشافعي والأصحاب: سجود الشكر سنة عند تجدد نعمة ظاهرة واندفاع نقمة ظاهرة، سواء خصته النعمة والنقمة أو عمت المسلمين… ولا يشرع السجود لاستمرار النعم، لأنها لا تنقطع

“Imam Asy Syafi’i dan murid-murid beliau berkata, sujud syukur hukumnya sunnah dilakukan ketika mendapatkan nikmat yang besar atau ketika terhindar dari musibah yang besar. Baik nikmat dan bencana yang khusus bagi seseorang, maupun yang dialami kaum muslimin pada umumnya. Namun tidak disyariatkan sujud syukur untuk nikmat yang terus-menerus, karena nikmat dari Allah itu tidak pernah putus“.

Wallahu’alam

Sumber: http://islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=103772

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/10603-sujud-syukur-setiap-selesai-shalat.html
Kembali ke menu/atas
3. Telat Mengikuti Gerakan Imam 

Pertanyaan :

Apa hukum makmum yang tidak mengikuti gerakan imam secara langsung ketika shalat?  Seperti ketika imam berpindah dari posisi ruku’ ke posisi i’tidal. Akan tetapi makmum menunggu beberapa saat dan baru berdiri ketika imam sudah mau sujud. Apa hukumnya jika hal tersebut dilakukan ketika tasyahhud, yakni apakah dibolehkan bagi seorang makmum untuk menunda melakukan salam setelah imam salam?

Jawab:

Sesungguhnya, seorang makmum wajib mengikuti imam dalam setiap gerakan shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا ركع فاركعوا، وإذا رفع فارفعوا، وإذا صلى جالسا فصلوا جلوساً.

“Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti. Jika imam ruku, maka rukulah. Jika imam berdiri, maka berdirilah. Jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah dalam keadaan duduk pula” (HR. Muslim).

An Nawawi berkata dalam dalam Syarah Shahih Muslim: Baidhowi dan yang lainnya berkata: “kata الائتمام adalah menuruti atau mengikuti. Yakni seseorang yang diangkat menjadi imam wajib untuk dituruti dan diikuti. Di antara cara mengikuti imam adalah dengan tidak mendahuluinya, atau menyamai gerakannya atau lebih maju posisinya daripada imam. Akan tetapi menjaga posisinya dan melakukan gerakan berdasarkan gerakan imam.

Perlu diketahui bahwasanya seorang makmum harus melakukan gerakan setelah imam bergerak, dan tidak boleh mendahuluinya atau menyamai gerakannya. Mengenai tata cara mengikuti imam, para ahli fikih telah menerangkannya. Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya Al Mughni, “Dianjurkan bagi seorang makmum untuk memperhatikan gerakan dalam melakukan shalat, baik ketika hendak naik atau turun. Seorang makmum harus melakukannya setelah imam sudah pada posisinya. Serta merupakan hal yang makruh jika seorang makmum melakukan gerakan bersamaan dengan gerakan imam, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama.”

An Nawawi berkata dalam kitabnya Al Majmu’, “Yang dimaksud mengikuti imam adalah dengan melakukan gerakan sebagaimana imam, yakni memulai setiap gerakan dalam posisi terakhir setelah imam memulainya, dan makmum melakukan gerakan setelah imam sudah pada posisinya.”

Syaikh Ahmad Ad Dardiir, pensyarah Mukhtashor Kholil yang merupakan kitab rujukan Fikih Maliki berkata ketika menerangkan shalat jamaah, “Menyamakan waktu gerakan antara imam dan makmum di dalam gerakan-gerakan shalat adalah suatu yang dimakruhkan jika dilakukan selain untuk takbiratul ihram dan salam. Beliau pun mengatakan bahwa merupakan hal yang dianjurkan bagi makmum untuk melakukan gerakan setelah imam dan menyusul gerakan imam.”

Ad Dasuqi berkata bahwasanya ‘Iyad mengatakan, “Terjadi perselisihan di kalangan ulama mengenai mengikuti imam selain gerakan takbiratul ihram dan salam, apakah mengikutinya setelah imam memulai gerakan atau ketika imam telah pada posisi sempurna dari gerakannya.”

Mengenai pertanyaan di atas, maka sang penanya menggambarkan mengenai imam yang memberikan kesempatan kepada makmum untuk memperlama gerakan. Maka jika memperlama gerakan tersebut sesuai dengan  waktu yang dibutuhkan imam untuk menyempurnakan rukun-rukun shalat, hal itulah yang dibenarkan dan telah mengikuti sunnah insya Allah. Dalam Shahih Muslim dari Baro’ bahwasanya para sahabat ketika shalat bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, pada saat beliau ruku’, mereka pun ruku’, ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ kemudian mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, kami pun mengikutinya, dan tidaklah kami turun dari posisi berdiri sampai kami melihat Rasulullah meletakkan wajahnya ke tanah, lalu kami mengikutinya.

[07.09, 18/3/2022] Sukar: Syaikh Ahmad Ad Dardiir, pensyarah Mukhtashor Kholil yang merupakan kitab rujukan Fikih Maliki berkata ketika menerangkan shalat jamaah, “Menyamakan waktu gerakan antara imam dan makmum di dalam gerakan-gerakan shalat adalah suatu yang dimakruhkan jika dilakukan selain untuk takbiratul ihram dan salam. Beliau pun mengatakan bahwa merupakan hal yang dianjurkan bagi makmum untuk melakukan gerakan setelah imam dan menyusul gerakan imam.”

Ad Dasuqi berkata bahwasanya ‘Iyad mengatakan, “Terjadi perselisihan di kalangan ulama mengenai mengikuti imam selain gerakan takbiratul ihram dan salam, apakah mengikutinya setelah imam memulai gerakan atau ketika imam telah pada posisi sempurna dari gerakannya.”

Mengenai pertanyaan di atas, maka sang penanya menggambarkan mengenai imam yang memberikan kesempatan kepada makmum untuk memperlama gerakan. Maka jika memperlama gerakan tersebut sesuai dengan  waktu yang dibutuhkan imam untuk menyempurnakan rukun-rukun shalat, hal itulah yang dibenarkan dan telah mengikuti sunnah insya Allah. Dalam Shahih Muslim dari Baro’ bahwasanya para sahabat ketika shalat bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, pada saat beliau ruku’, mereka pun ruku’, ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ kemudian mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, kami pun mengikutinya, dan tidaklah kami turun dari posisi berdiri sampai kami melihat Rasulullah meletakkan wajahnya ke tanah, lalu kami mengikutinya.

Adapun mengakhirkan salam setelah imam melakukan salam, maka hal ini adalah hal yang makruh menurut sebagian ulama dan sebagian yang lainnya menyatakan tidak boleh. At Tilmisani mengatakan dalam kitabnya Muwaahibul Jaliil, “Tidak diperbolehkan bagi seorang makmum setelah salamnya imam untuk menyibukkkan dirinya dengan berdoa atau selainnya.”

Akan tetapi hal ini bukan berarti makmum boleh salam sebelum menyelesaikan doa tasyahuddnya dalam shalat. Justru hal tersebut diwajibkan bagi makmum untuk menyelesaikannya walaupun imam telah salam, berdasarkan hadits yang mengatakan wajibnya tasyahhud. Wallahu a’lam.

Sumber fatwa:

http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=53974

Penerjemah: Rian Permana
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/10513-telat-mengikuti-gerakan-imam.html
Kembali ke menu/atas
4. Derajat Hadits Mengusap Wajah Setelah Berdoa

Mengusap wajah setelah berdoa diperselisihkan para ulama hukumnya. Perselisihan tersebut berporos pada derajat hadits yang menjadi dasar sebagian ulama yang membolehkan atau menganjurkan. Sebagian ulama menganggap hadits-hadits yang ada dalam bab ini adalah hadits lemah, sedangkan sebagian ulama lain memandang hadits-hadits tersebut saling menguatkan sehingga derajatnya naik menjadi hasan. Berikut ini pembahasan singkat mengenai derajat hadits mengusap wajah setelah berdoa.

Hadits 1

Dikeluarkan At Tirmidzi dalam Sunan-nya (3386), Al Hakim dalam Al Mustadrak (1967), Al Bazzar dalam Musnad-nya (129), dan yang lainnya, semuanya dari jalan Hammad bin Isa Al Juhani:

حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِيُّ ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ الْجُمَحِيِّ ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ “

Hammad bin Isa Al Juhani menuturkan kepadaku, dari Hanzhalah bin Abi Sufyan Al Jumahi, dari Salim bin Abdillah, dari ayahnya dari Umar bin Al Khathab radhiallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya saat berdo’a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap wajahnya terlebih dahulu dengan kedua telapak tangannya”

Sanad ini lemah karena terdapat perawi Hammad bin Isa Al Juhani.

  • At Tirmidzi mengatakan: “haditsnya sedikit”
  • Abu Hatim Ar Razi mengatakan: “dha’iful hadits”
  • Al Hakim mengatakan: “ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash Shadiq”
  • Ibnu Hajar mengatakan: “dha’if”
  • Al Bazzar mengatakan: “layyinul hadits”
  • Abu Daud As Sijistani mengatakan: “dha’if, ia meriwayatkan hadits-hadits munkar”
  • Ibnu Ma’in mengatakan: “seorang syaikh yang shalih”

Dari keterangan-keterangan di atas, jelas bahwa Hammad adalah perawi yang lemah, sehingga sanad ini lemah. Namun masih dimungkinkan untuk menjadi syahid (penguat).

Hadits 2

Dikeluarkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1181, 3866),

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ ، قَالَا : حَدَّثَنَا عَائِذُ بْنُ حَبِيبٍ ، عَنْ صَالِحِ بْنِ حَسَّانَ الْأَنْصَارِيِّ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ ، وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا ، فَإِذَا فَرَغْتَ ، فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ “

Abu Kuraib dan Muhammad bin Ash Shabbah menuturkan kepadaku, mereka berdua berkata: ‘A-idz bin Habib menuturkan kepadaku, dari Shalih bin Hassan Al Anshari, dari Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “jika engkau berdoa kepada Allah maka berdoalah dengan telapak tanganmu dan bukan dengan punggung tanganmu. Dan jika engkau selesai, maka usaplah wajahmu dengan keduanya”

Sanad ini juga lemah karena terdapat perawi Shalih bin Hassan Al Anshari.

Al Baihaqi berkata: “dhaif”Abu Hatim Ar Razi berkata: “dhaiful hadits, munkarul hadits”Abu Nu’aim Al Asbahani mengatakan: “munkarul hadits, matruk”Ahmad bin Hambal mengatakan: “laysa bi syai’”Ibnu Hajar Al Asqalani dan An Nasa’i mengatakan: “matrukul hadits”Al Bukhari mengatakan: “munkarul hadits”Adz Dzahabi mengatakan: “jama’ah telah mendhaifkannya”

Dari keterangan-keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa Shalih bin Hassan Al Anshari adalah perawi yang matruk dan tidak bisa menjadi penguat.

Hadits 3

Dikeluarkan Ahmad dalam Musnad-nya (17943), Abu Daud dalam Sunan-nya (1492),

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ، عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ “

Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, Ibnu Lahi’ah menuturkan kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika berdoa beliau mengangkat kedua tangannya untuk mengusap wajahnya dengan keduanya.

Sanad ini lemah karena memiliki 2 masalah:

Perawi Ibnu Lahi’ah diperselisihkan statusnya. Mayoritas ulama mendhaifkannya, dan inilah yang pendapat yang kuat. Terlebih lagi dalam sanad ini, hadits Ibnu Lahi’ah tidak diriwayatkan oleh salah satu Al Abadilah Al Arba’ah. Penjelasan lebih lebar mengenai Ibnu Lahi’ah silakan baca pada tulisan kami mengenai hadits “Berdzikirlah Sampai Dikatakan Gila”.Perawi Hafsh bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash. Ibnu Hajar Al Asqalani dan Adz Dzahabi mengatakan: “majhul”. Dan yang meriwayatkan dari Hafsh bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash hanya Ibnu Lahi’ah yang statusnya lemah, maka jelas bahwa majhul di sini maksudnya adalah majhul ‘ain.

Dengan demikian sanad ini juga tidak bisa menjadi penguat.

Hadits 4

Dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir (13557),

حَدَّثَنَا عُبَيْدٌ الْعِجْلِيُّ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرَوَيْهِ الْهَرَوِيُّ , ثنا الْجَارُودُ بْنُ يَزِيدَ , ثنا عُمَرُ بْنُ ذَرٍّ , عَنْ مُجَاهِدٍ , عَنِ ابْنِ عُمَرَ , قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي أَنْ يَرْفَعَ الْعَبْدُ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا لا خَيْرَ فِيهِمَا , فَإِذَا رَفَعَ أَحَدُكُمْ يَدَيْهِ , فَلْيَقُلْ : يَا حَيُّ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ , ثُمَّ إِذَا رَدَّ يَدَيْهِ فَلْيُفْرِغْ ذَلِكَ الْخَيْرَ إِلَى وَجْهِهِ “

Ubaid Al ‘Ijli menuturkan kepada kami, Muhammad bin ‘Amrawaih Al Harawi menuturkan kepada kami, Al Jarud bin Yazid menuturkan kepada kami, Umar bin Dzarr menuturkan kepada kami, dari Mujahid dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “sesungguhnya Rabb kalian itu Maha Pemalu dan Pemurah. Ia malu jika hamba-Nya mengangkat kedua tangannya lalu Ia membalasnya dengan kehampaan tanpa kebaikan sedikitpun. Maka jika salah seorang dari kalian berdoa, ucapkanlah: yaa hayyu laa ilaaha illa anta, yaa arhamar raahimiin, sebanyak 3x. Lalu jika ingin mengembalikan kedua tangan, telungkupkanlah kebaikan (yang ada di tangannya) ke wajahnya”.

Sanad ini lemah karena perawi Al Jarud bin Yazid.

Abu Hatim Ar Razi berkata: “munkarul hadits, tidak ditulis haditsnya”An Nasa-i berkata: “matrukul hadits”Ad Daruquthni berkata: “matruk”Hammad bin Usamah Al Kufi berkata: “ia tertuduh sebagai pendusta”Al Bukhari berkata: “munkarul hadits”Ibnu Hibban berkata: “ia bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits munkar, dan ia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada asalnya dari para perawi tsiqah”

Dari sini jelas bahwa Al Jarud bin Yazid sangat lemah dan sanad ini tidak bisa menjadi penguat.

Kesimpulan

Hadits Umar bin Al Khathab adalah yang kualitasnya paling bagus dalam bab ini, namun tetap saja ia riwayat yang lemah. Sedangkan jalan-jalan yang lain kelemahannya lebih parah dan tidak bisa menjadi penguat. Maka dari keterangan-keterangan di atas, hadits-hadits mengenai mengusap wajah setelah berdoa adalah hadits-hadits yang lemah dan tidak dapat saling menguatkan. Sehingga tidak bisa menjadi sandaran untuk amalan mengusap wajah setelah berdoa. Karena amalan ibadah hanya bisa ditetapkan oleh hadits yang maqbul.

Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ: فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ أَوْ حَدِيثَانِ لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“adapun mengenai Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkat tangan dalam berdoa, ini telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Sedangkan mengusap wajah, maka tidak ada kecuali satu atau dua hadits saja yang tidak bisa menjadi hujjah. Wallahu a’lam” (Majmu’ Al Fatawa, 22/519).

Ini adalah logika yang cerdas dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pernyataan ini disebutkan dan diperluas lagi oleh Syaikh Al Albani rahimahullah:

وأما مسحهما به خارج الصلاة فليس فيه إلا هذا الحديث والذى قبله ولا يصح القول بأن أحدهما يقوى الآخر بمجموع طرقهما ـ كما فعل المناوى ـ لشدة الضعف الذى فى الطرق , ولذلك قال النووى فى ” المجموع “: لا يندب ” تبعا لابن عبد السلام , وقال: لا يفعله إلا جاهل. ومما يؤيد عدم مشروعيته أن رفع اليدين فى الدعاء قد جاء فيه أحاديث كثيرة صحيحة وليس فى شىء منها مسحهما بالوجه فذلك يدل ـ إن شاء الله ـ على نكارته وعدم مشروعيته

“adapun mengusap wajah (setelah doa) di luar shalat, maka tidak ada hadits kecuali ini dan yang sebelumnya. Dan tidak benar bahwa hadits-haditsnya saling menguatkan dengan banyaknya jalan (sebagaimana dikatakan oleh Al Munawi) karena terlalu beratnya kelemahan yang ada pada jalan-jalannya. Oleh karena itu Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ mengatakan: ‘hukumnya tidak disunnahkan‘, juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abdissalam (ulama Syafi’iyyah): ‘tidak ada yang melakukannya kecuali orang jahil‘.

Dan yang lebih menguatkan lagi bahwa hal tersebut tidaklah disyariatkan adalah bahwasanya mengangkat tangan dalam dia telah ada dalam banyak hadits shahih, namun tidak ada satupun di dalamnya yang menyebukan tentang mengusap wajah. Maka ini insya Allah menunjukkan pengingkaran terhadap perbuatan tersebut dan menunjukkan itu tidak disyariatkan” (Irwa Al Ghalil, 2/182).

Wallahu a’lam bis shawab.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/26976-derajat-hadits-mengusap-wajah-setelah-berdoa.html

Daftar Isi :

  1. Mendengar Adzan Dari Rekaman, Perlu Dijawab?
  2. Kapan Disyariatkan Duduk Tawarruk
  3. Bagaimana Duduknya Makmum Masbuk Ketika Imam Tasyahud Akhir?
  4. Memejamkan Mata Saat Shalat
  5. Tersenyum Ketika Shalat
  6. Masuk Ketika Imam Rukuk, Takbir Sekali Atau Dua Kali?
  7. Membatalkan Shalat Untuk Menyelamatkan Orang Yang Terancam Bahaya
  8. Al Fatihah Setelah Shalat Atau Mengirimnya Untuk Orang Mati
  9. Berdoa Dengan Bahasa Indonesia Di Dalam Shalat
  10. Bolehkah Ada Beberapa Jama’ah Dalam Satu Masjid?
  11. Kapankah Seseorang Dikatakan Mendapati Shalat Jama’ah?
  12. Hukum Sujud diatas Alas Lantai atau Penghalang
  13. Bolehkah Menunda Sholat karena alasan Pekerajaan



1.Mendengar Adzan dari rekaman, perlu dijawab 

Fatwa Syakh Abdul Karim Al Khudhair

Soal:

Jika menggunakan perekam untuk adzan di waktu-waktu shalat, apakah perlu dijawab adzannya?

Jawab:

Adzan yang bunyinya disalurkan melalui perantaraan media lain, misalnya adzannya masjidil haram disiarkan melalui radio, atau adzan dari masjid jami’ al kabir di Riyadh disiarkan melalui radio Iza’atul Qur’an misalnya,  maka ini semua adzan haqiqi yang berlaku hukum-hukum adzan terhadapnya, dan dianjurkan menjawabnya. Karena tujuan penggunaan media-media tersebut adalah untuk menyampaikan adzan kepada orang yang tidak mendengarkan, seperti menggunakan pengeras suara.

Adapun menggunakan rekaman dan muadzin di rekaman tersebut tidak sedang adzan saat itu, yaitu seorang muadzin direkam suaranya, ketika rekaman dibunyikan si muadzin tersebut tidak ada atau bahkan orangnya sudah meninggal, misalnya adzannya Al Minsyawi yang sekarang ini sering diputar oleh beberapa radio padahal Al Minsyawi sudah meninggal beberapa tahun lalu, atau adzannya Muhammad Rif’at padahal beliau telah meninggal empat puluh tahun lalu, semisal ini semua tidak perlu dijawab dan tidak berlaku hukum-hukum adzan.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/42135

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/14587-fatwa-ulama-mendengar-adzan-dari-rekaman-perlu-dijawab.html
Kembali ke menu/atas
2. Kapan Disyariatkan Duduk Tawarruk

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad

Soal:

Kapan saja disyariatkan duduk tawarruk*) ?

Jawab:

Duduk tawarruk itu disyariatkan pada shalat yang memiliki dua tasyahud, dan dilakukan pada tasyahud yang terakhirnya. Sehingga ia ada pada semua shalat wajib kecuali shalat shubuh. Maka duduk tawarruk itu dilakukan pada tasyahud terakhir pada shalat rubai’iyyah (yang empat rakaat) dan tsulatsiyyah (yang tiga rakaat).

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33201

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/20030-fatwa-ulama-kapan-disyariatkan-duduk-tawarruk.html
Kembali ke menu/atas
3. Bagaimana Duduknya Makmum Masbuk Ketika Imam Tasyahud Akhir?

Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Aqil

Soal:

Bagaimana pendapat kalian –semoga Allah memberikan ganjaran kepada kalian-, tentang seorang makmum yang hendak shalat maghrib bersama imam, ia telah tertinggal 1 raka’at. Apakah jika imam duduk tawarruk pada tasyahud akhir, makmum mengikuti duduk sang imam dalam keadaan tawarruk, ataukah iftirasy? karena duduk tasyahud akhirnya imam adalah tasyahud awal bagi si makmum.

Jawab:

Yang ditegaskan oleh para ulama fikih kita, jika seorang makmum shalat bersama imam yang jumlah raka’atnya 4 atau 3, imam telah mendahuluinya dalam sebagian raka’at, maka makmum duduk tasyahud akhir bersama imam dalam keadaan tawarruk, bukan iftirasy. Alasan mengikuti imam dalam rangka menjaga agar tidak terjadi perselisihan, berdasarkan hadits,

إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه

“Imam itu diangkat untuk ditaati, maka janganlah kalian menyelisihinya”1

Dikatakan dalam Al-Iqna’ dan syarahnya Kasyful Qina’2: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam ketika imam tawarruk. Karena bagi imam, itu merupakan akhir dari shalat, walaupun bagi si makmum, itu bukan akhir shalat. Dalam kondisi ini si masbuk duduk tawarruknya sebagaimana ketika ia sedang tasyahud kedua. Maka, seandainya makmum  mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.

Disebutkan dalam Al-Muntaha dan syarahnya: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam pada saat tasyahud akhir dalam shalat yang jumlah raka’atnya 4 dan shalat maghrib”.

Disebutkan dalam Mathalib Ulin Nuhaa fi Syarhi Ghayatil Muntaha: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam dalam duduk tasyahud yang ia dapatkan bersama imam disebabkan karena itu akhir shalat bagi si imam, walaupun bukan bagi si makum. Sebagaimana ia juga duduk tawarruk pada tasyahud ke-2 yang setelah ia menyelesaikan rakaat sisanya. Maka, seandainya makmum  mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.

Wallahu A’lam.

1 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (722), dengan lafazh hadits Abu Hurairah (414) tanpa kata “diangkat”

2 (1/248)

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/27464

Penerjemah: Wiwit Hardi Priyanto

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/14022-fatwa-ulama-bagaimana-duduknya-makmum-masbuk-ketika-imam-tasyahud-akhir.html
Kembali ke menu/atas
4. Memejamkan Mata Saat Shalat

Fatwa Syaikh ‘Abdul Karim Al Khudair hafzihohullah

Soal:

Apakah ketika sujud mata dalam keadaan dipejam atau mesti dibuka?

Jawab:

Asalnya, mata dalam keadaan terbuka baik ketika sujud dan keadaan lainnya dalam shalat. Sebagian ulama mengatakan bahwa disunnahkan untuk memejamkan kedua mata karena hal itu lebih mudah mendatangkan khusyu’. Namun hal itu cuma was-was saja dalam shalat dan tidak ada dalil pendukung. Perlu diketahui bahwa Yahudi biasa memejamkan mata dalam shalat mereka. Kita diajarkan tidak mengikuti jejak mereka (kita dilarang tasyabbuh).[1]

(Sumber fatwa di website pribadi Syaikh ‘Abdul Karim Khudair: http://www.khudheir.com/text/4112)

* Syaikh ‘Abdul Karim Al Khudair adalah ulama senior di Saudi Arabia, berdomisi di kota Riyadh. Beliau adalah anggota Hai-ah Kibaril Ulama dan menjadi pengajar di kuliah hadits Jami’ah Malik Su’ud (King Saud University), Riyadh Saudi Arabia.

Riyadh, KSA, 22 Muharram 1434 H

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] Disebutkan dalam Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim 85 dan Zaadul Ma’ad 1: 283.

Sumber: https://muslim.or.id/10855-fatwa-ulama-memejamkan-mata-saat-shalat.html
Kembali ke menu/atas
5. Tersenyum Ketika Shalat

Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih

Soal:

Fadhilatus Syaikh, assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, apa hukum tersenyum ketika shalat?

Jawab:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin wa ushali wa usallimu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi

wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, amma ba’du

Jawaban saya terhadap pertanyaan anda, kami katakan, tersenyum ringan ketika shalat itu tidak mengapa jika memang senyumnya tidak bisa ditahan. Adapun jika sengaja tersenyum maka ini dapat mengurangi pahala shalat atau terkadang dapat membatalkannya.

Sumber: http://almosleh.com/ar/index.php?go=fatwa&more=3647

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/19418-fatwa-ulama-tersenyum-ketika-shalat.html
Kembali ke menu/atas
6. Masuk Ketika Imam Rukuk, Takbir Sekali Atau Dua Kali?

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ Saudi Arabia

Soal: 

Seseorang masuk ke masjid ketika imam sedang ruku’. Apakah diwajibkan baginya untuk bertakbir 2 kali ataukah cukup bertakbir sekali lalu ikut ruku’ bersama imam? Ataukah harus 2 kali yaitu takbiratul ihram dan takbir untuk ruku’ ?

Jawab:

Hendaknya ia bertakbir takbiratul ihram dalam keadaan berdiri, lalu bertakbir lagi untuk ruku. Dan jika ia mencukupkan diri dengan satu takbir saja dalam keadaan tersebut, yaitu takbiratul ihram saja, maka itu pun cukup.

Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam

Sumber: http://goo.gl/Ne4LLw

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/19137-fatwa-ulama-masuk-ketika-imam-rukuk-takbir-sekali-atau-dua-kali.html
Kembali ke menu/atas
7. Membatalkan Shalat Untuk Menyelamatkan Orang Yang Terancam Bahaya

Fatwa Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Aqil

Soal:

Jika saya sedang shalat, lalu saya melihat ada orang yang sedang dalam bahaya –semisal rumahnya terbakar, jatuh dari dinding, atau tertabrak mobil- bolehkah saya membatalkan shalat lalu membantu orang tersebut ataukah saya tetap meneruskan shalat saya?

Jawab:

Iya, Anda boleh membatalkan shalat jika keadaannya sebagaimana yang Anda tanyakan. Bahkan wajib bagi setiap orang untuk menyelamatkan orang lain yang terancam bahaya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Contoh dengan lisan : Misalkan ada orang tuna netra yang sedang berjalan, lalu di depannya ada sumur atau api, maka hendaknya orang yang sedang shalat memperingatkannya dengan lisan (meneriakinya) supaya tidak terjatuh ke dalam bahaya jika si buta tersebut tidak paham dengan isyarat tasbih (yakni subhaanallah-pent), sementara ia tetap di tempat shalatnya. Setelah itu, ulangilah shalatnya. Ini berlaku baik untuk imam maupun makmum.

Contoh dengan perbuatan : Misalkan ada orang yang tercebur ke dalam air lalu ditakutkan akan tenggelam, atau ada rumah yang dilalap api, atau ada ular yang bergerak mendekati seseorang –atau sebaliknya-, maka orang yang sedang shalat wajib menghentikan shalatnya lalu menolong orang yang terancam bahaya tadi semampunya. Setelah itu, ia ulangi shalatnya.

Penulis Al Mughni berkata dalam kitabnya1 dalam pembahasan hukum berbicara ketika shalat : “Bagian ke-4 : Berbicara yang hukumnya wajib : Misalnya memperingatkan anak kecil atau orang yang terancam bahaya, atau adanya ular yang sedang mendekati orang yang tidak menyadarinya atau sedang tidur, atau melihat api sedang berkobar, sedangkan tidak mungkin untuk memperingatkan orang lain dari bahaya ini dengan sekedar isyarat tasbih”.

Di dalam kitab Al Iqna’ dan Syarh-nya disebutkan : “Wajib menolong orang kafir yang mendapat perlindungan, semisal dzimmi, mu’ahad, atau musta’man yang terjatuh dalam sumur atau semisalnya, seperti bahaya ular yang mengancam dirinya, sebagaimana menolong seorang muslim dari bahaya-bahaya tersebut dengan berbagai cara. Demikian juga wajib untuk menolong orang yang tenggelam ataupun terbakar. Maka orang yang sedang shalat harus menghentikan shalatnya –baik shalat wajib maupun sunnah- untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman bahaya”

Di dalam Zaadul Mustaqni’  beserta Syarh-nya2 disebutkan : “(Hukum berbicara) wajib untuk memperingatkan orang lain yang terancam bahaya atau orang yang tidak menyadari adanya bahaya”

Ucapan para ahli fiqih seputar hal ini banyak dan jelas sehingga kita tidak perlu memperpanjang bahasan dengan menyebutkannya semua. Wallahu a’lam.

Catatan Kaki

1 2/448
2 Lihat Ar Raudhul Murbi’ hal. 98

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/26031

Penerjemah: Yananto Sulaimansyah
Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/17113-fatwa-ulama-membatalkan-shalat-untuk-menyelamatkan-orang-yang-terancam-bahaya.html
Kembali ke menu/atas
8. Al Fatihah Setelah Shalat Atau Mengirimnya Untuk Orang Mati

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:

Sebagian jama’ah ada yang selalu membaca Al Fatihah setelah shalat. Alasannya karena Al Fatihah itu doa atau berkah. Apakah amalan ini termasuk dalam sunnah Nabi? Dalam kesempatan lain pun mereka mengirimkan Al Fatihah untuk arwah orang yang sudah mati, apa hukum amalan ini?

Jawab:

Tentang membaca Al Fatihah setelah shalat, saya tidak mengetahui adanya dalil dari sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Adapun yang terdapat dalil dari sunnah Nabi ialah membaca ayat Kursi, qul huwallahu ahad, qul a’udzu birabbil falaq, qul a’udzu birabbinnaas. Terdapat banyak hadits yang menganjurkan membaca surat-surat tersebut setelah shalat yang lima waktu. Adapun surat Al Fatihah, saya tidak mengetahui adanya dalil yang menunjukkan disyariatkan membacanya setelah shalat.

Surat-surat yang tadi saya sebutkan, itu pun tidak boleh dibaca dengan cara bersama-sama dengan suara yang dikeraskan. Yang benar adalah setiap orang membaca sendiri-sendiri dengan suara yang didengar oleh diri sendiri.

Adapun mengirimkan Al Fatihah untuk arwah orang mati, ini termasuk amalan bid’ah. Arwah orang mati tidak perlu dikirimkan Al Fatihah ataupun bacaan Qur’an lainnya, karena amalan demikian tidak ada tuntunannya dari sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun dari praktek orang-orang shalih generasi salaf dari umat ini. Dan ini adalah amalan yang tertolak. Jadi tidak diperlu mengirimkan Al Fatihah baik dari masjid, dari kuburan, dari rumah, atau dari tempat lain.

Kepada orang yang sudah meninggal, yang kita kirimkan adalah doa, jika ia orang Muslim. Kita mohonkan rahmah dan maghfirah baginya. Juga bersedekah atas nama mereka. Juga berhaji atas nama mereka. Inilah amalan-amalan yang ada dalilnya. Adapun mengirim Al Fatihah atau ayat Qur’an lain untuk orang yang sudah mati, ini adalah amalan yang diada-adakan dan bid’ah.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/29974

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/16769-fatwa-ulama-al-fatihah-setelah-shalat-atau-mengirimnya-untuk-orang-mati.html
Kembali ke menu/atas
9. Berdoa Dengan Bahasa Indonesia Di Dalam Shalat

Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid

Soal:

Apakah kita boleh berdoa dengan selain bahasa Arab di dalam shalat seperti setelah tasyahud akhir? Dan bolehkah hanya berdoa dengan lafazh yang terdapat di hadist saja? Juga apakah boleh kita berdoa dengan lafazh yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan tidak terdapat di hadist?

Jawab:

Alhamdulillah

Pertama:

Apabila orang yang shalat tadi bisa dengan baik berdoa menggunakan bahasa arab maka tidak boleh baginya berdoa dengan selain bahasa Arab.

Akan tetapi, apabila orang yang shalat tersebut tidak mampu berdoa dengan bahasa Arab maka tidak mengapa baginya berdoa dengan selain bahasa arab, selama dia tetap berusaha untuk belajar bahasa Arab.

Adapun masalah berdoa di luar sholat maka tidak mengapa bagi seseorang berdoa dengan selain bahasa Arab, lebih-lebih lagi apabila dia bisa lebih menghadirkan hatinya jika berdoa dengan selain bahasa Arab.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:

والدعاء يجوز بالعربية ، وبغير العربية ، والله سبحانه يعلم قصد الداعي ومراده ، وإن لم يقوِّم لسانه ، فإنَّه يعلم ضجيج الأصوات ، باختلاف اللغات على تنوع الحاجات

“Berdoa itu boleh dengan menggunakan bahasa Arab maupun selain bahasa Arab. Allah mengetahui tujuan dan maksud orang yang berdoa, walaupun bahasanya tidak fasih. Allah mengetahui maksud di balik suara tidak jelas, dengan berbagai macam jenis bahasa dan hajat-hajatnya” (Majmu’ Al Fatawa, 22/488-489).

Kedua :

Tidak mengapa bagi seseorang untuk berdoa dengan lafazh yang terdapat didalam Al-Qur’an walaupun tidak berdoa dengan lafazh yang tidak terdapat di dalam hadist. Semuanya merupakan kebaikan. Dan kita sama-sama mengetahui bahwa doa para Nabi dan Rasul ‘alaihimus sholat was salam kebanyakannya terdapat di dalam Al-Qur’an. Dan tidak diragukan doa mereka adalah doa yang paling mendalam dan yang paling agung kandungan maknanya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

وينبغي للخلق أنْ يدْعوا بالأدعية الشرعيَّة التي جاء بها الكتاب والسنة ؛ فإنَّ ذلك لا ريب في فضله وحُسنه وأنَّه الصراط المستقيم ، وقد ذكر علماءُ الإسلام وأئمَّة الدين الأدعيةَ الشرعيَّة ، وأعرضوا عن الأدعية البدعية فينبغي اتباع ذلك

“Seyogyanya bagi seorang hamba agar berdoa dengan lafazh yang terdapat didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah karena hal tersebut tidak diragukan lagi keutamaannya dan kebaikannya. Dan doa-doa tersebut adalah shiratal mustaqim (jalan yang lurus). Ulama-ulama Islam dan imam-imam mereka berdoa dengan lafazh yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan berpaling dari lafadz doa yang bid’ah. Maka sepatutnya untuk meneladani hal tersebut” (Majmu’ Al Fatawa, 1/346-348).

Wallahu a’lam.

Sumber:  https://islamqa.info/ar/answers/20953

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/56873-berdoa-dengan-bahasa-indonesia-di-dalam-shalat.html
Kembali ke menu/atas
10. Bolehkah Ada Beberapa Jama’ah Dalam Satu Masjid?

Ta’addud al jama’ah ada beberapa keadaan, dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Keadaan Pertama

Di dalam sebuah masjid ada dua jama’ah secara terus menerus. Ada jama’ah pertama dan ada jama’ah kedua. Maka ini tidak ragu lagi, minimalnya makruh andai tidak kita katakan haram. Karena ini adalah sebuah kebid’ahan. Tidak dikenal di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Diantara yang ma’ruf pernah terjadi seperti ini adalah di Masjidil Haram di zaman dahulu, sebelum Masjidil Haram dikelola oleh pemerintah Saudi. Dahulu di Masjidil Haram ada empat jama’ah. Setiap jama’ah memiliki imam tersendiri. Imam Hanabilah mengimami jama’ah Hanabilah. Imam Syafi’iyyah mengimami jama’ah Syafi’iyyah. Imam Malikiyyah mengimami jama’ah Malikiyyah. Imam Hanafiyah mengimami jama’ah Hanafiyah.

Mereka lalu memberi label, ini tempat jama’ah Syafi’iyyah, ini tempat jama’ah Malikiyah, ini tempat jama’ah Hanafiyah, ini tempat jama’ah Hanabilah. Namun Raja Abdul Aziz, semoga Allah membalas beliau dengan kebaikan, ketika beliau masuk ke Makkah, beliau mengatakan: “sungguh ini telah memecah belah umat!”. Maksudnya, umat Muslim terpecah belah dalam satu masjid. Dan ini tidak diperbolehkan. Maka beliau pun menyatukan jama’ah dalam satu imam. Dan ini merupakan jasa beliau dan keutamaan beliau, semoga Allah merahmati beliau.

Demikian juga, adanya beberapa jama’ah dalam satu masjid, akan mengajak orang untuk malas. Karena orang-orang akan mengatakan: “selama ada jama’ah kedua, kami akan menunggu jama’ah kedua saja”. Sehingga orang-orang yang berlambat-lambat untuk menghadiri jama’ah gelombang pertama.

Keadaan Ke Dua

Sedikit berbeda, ada imam ratib (imam tetap) yang mengimami jama’ah di masjid. Namun terkadang ada dua, tiga, atau empat orang shalat di jama’ah yang baru. Maka untuk keadaan ini, ada khilaf di antara ulama.

Sebagian ulama berpendapat, tidak boleh ada jama’ah kedua. Orang yang baru datang, wajib shalat sendiri-sendiri. Sebagian ulama lain berpendapat, boleh ada jama’ah kedua. Dan ini pendapat yang shahih. Dan ini merupakan pendapat madzhab Hambali. Dalilnya sebagai berikut:

Pertama: hadits dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صلاةُ الرجلِ مع الرجلِ أزكَى من صلاتهِ وحدهُ ، وصلاتهُ مع الرجلينِ أزكَى من صلاتهِ مع الرجلِ ، وصلاتهُ مع الثلاثةِ ، أزكَى من صلاتهِ مع الرجلينِ ، وكلمَا كثرَ فهو أزكَى وأطيبُ

“Shalatnya seseorang bersama orang lain, itu lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang itu lebih baik dari pada bersama satu orang. Shalat seseorang bersama tiga orang itu lebih baik dari pada bersama dua orang. Semakin banyak semakin baik” (HR. Abu Daud no.554, An Nasa-i no. 843, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Ini adalah nash yang sharih (tegas) bahwa shalat seseorang bersama orang lain lebih utama daripada shalat sendirian. Andaikan kita katakan bahwa tidak boleh mendirikan jama’ah kedua, maka konsekuensinya kita menjadikan hal yang kurang utama menjadi lebih utama. Dan ini menyelisihi nash.

Kedua: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam suatu hari sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, lalu ada seorang yang memasuki masjid untuk shalat. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?”. Maka seorang lelaki pun berdiri untuk shalat bersamanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang ini adalah jama’ah” (HR. Ahmad no.22189, At Tirmidzi no. 220, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Ini adalah nash yang sharih (lugas) bolehnya membuat jama’ah baru setelah jama’ah yang diimami imam ratib. Karena dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan para sahabatnya untuk shalat bersama orang yang masuk ke masjid. Jika ada yang beralasan: “shalat yang ada dalam hadits ini adalah sedekah, adapun jama’ah kedua yang didirikan di masjid, shalat yang mereka melakukan itu wajib”. Maka kita jawab, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits ini memerintahkan untuk bersedekah, beliau perintahkan orang yang sudah shalat untuk ikut shalat kepada lelaki tersebut, maka bagaimana lagi dengan orang yang belum shalat? (tentu lebih layak lagi untuk menemani lelaki tersebut, pent).

Keadaan Ke Tiga

Jika masjidnya merupakan masjid yang ada di pasar, di pinggir-pinggir jalan raya, atau semisal itu, maka masjid pasar itu tentunya orang sering keluar-masuk ke sana. Terkadang datang dua orang, terkadang tiga orang, terkadang 10 orang, kemudian keluar. Sebagaimana di masjid-masjid yang ada di pasar-pasar kita. Maka tidak dimakruhkan untuk mendirikan jama’ah-jama’ah lain di sana. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalam hal ini tidak ada khilafiyah. Karena memang masjid ini disiapkan untuk tempat shalat banyak jama’ah” (Syarhul Mumthi, 4/227-231).

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/55302-bolehkah-ada-beberapa-shalat-jamaah-dalam-satu-masjid.html
Kembali ke menu/atas
11. Kapankah Seseorang Dikatakan Mendapati Shalat Jama’ah?

Kapankah seseorang dikatakan mendapati shalat jama’ah?

Seseorang dikatakan mendapati shalat jama’ah bersama imam jika dia mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam. Siapa saja yang mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam, maka dia dinilai mendapatkan shalat jama’ah. Dan siapa saja yang mendapatkan kurang dari satu raka’at bersama imam, seperti dia masuk ketika imam sedang sujud di raka’at terahir atau sedang tasyahhud akhir, maka dia dinilai telah ketinggalan shalat berjama’ah.

Inilah pendapat yang paling kuat dari dua pendapat para ulama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Siapa saja yang mendapati satu raka’at shalat, maka dia telah mendapati shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)

Makna teks hadits di atas sangatlah jelas, yaitu siapa saja yang mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam, dia dinilai telah mendapatkan shalat berjama’ah. Makna sebaliknya dari hadits di atas adalah bahwa siapa saja yang mendapatkan kurang dari satu raka’at bersama imam, dia dinilai belum mendapatkan shalat berjama’ah.

Kapankah seseorang dikatakan mendapati satu raka’at penuh bersama imam?

Satu raka’at penuh tidaklah didapatkan kecuali dengan mendapatkan ruku’ bersama imam, meskipun dalam waktu yang sebentar, meskipun dia tidak membersamai imam ketika membaca surat Al-Fatihah [1, 2].

Ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat jama’ah itu bisa didapatkan asalkan mendapati satu takbir saja bersama imam sebelum salam.  Pendapat ini adalah pendapat yang lemah dan tidak didukung oleh dalil, dengan beberapa alasan berikut ini:

Pendapat pertama

Pendapat ini dibangun di atas alasan logika. Yaitu, makmum mendapati “satu bagian” dari shalat imam, maka hal ini mirip (sama) sebagaimana makmum yang mendapati satu raka’at bersama imam (sama-sama mendapatkan satu bagian dari shalat bersama imam). Namun, alasan ini tidaklah diterima karena bertabrakan dengan dalil hadits di atas.

Pendapat Ke dua

Tidak diketahui dari dalil-dalil syari’at dikaitkannya mendapatkan shalat dengan mendapatkan satu takbir bersama imam, baik ketika shalat jum’at atau shalat jama’ah lainnya. Hal ini adalah sifat yang diabaikan atau tidak dianggap berdasarkan dalil syar’i, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai patokan dan membangun hukum di atasnya.

Pendapat ke tiga

Bahwa kurang dari satu raka’at itu tidak teranggap dalam shalat, karena makmum akan meneruskan shalatnya secara sendiri. Maka dia tidaklah mendapatkan bagian yang teranggap oleh syari’at, sehingga seluruh shalatnya menjadi shalat sendirian (shalat munfarid).

Bagaimana jika imam kelebihan raka’at karena lupa, apakah itu teranggap?

Ada satu masalah lagi yang perlu dibahas, yaitu apakah makmum masbuq dinilai mendapatkan shalat jama’ah bersama imam ketika dia membersamai imam di raka’at tambahan karena terlupa? Sehingga raka’at tersebut pun teranggap di sisi makmum?

Misalnya, makmum masbuq mendapatkan raka’at ke lima dari shalat dzuhur karena imam lupa, dan makmum tidak tahu hal itu. Atau misalnya makmum masbuq mendapatkan raka’at ke empat dari shalat maghrib karena imam lupa. Ketika makmum masbuq masuk dan membersamai imam di raka’at tambahan tersebut, apakah dia dinilai mendapatkan shalat jama’ah bersama imam?

Pendapat terkuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini adalah bahwa raka’at tersebut teranggap, sehingga makmum masbuq tersebut dinilai mendapatkan shalat berjama’ah. Hal ini karena dia mendapatkan satu raka’at bersama imam, meskipun raka’at tersebut adalah raka’at tambahan di sisi imam. Apa yang dilakukan oleh imam tersebut bisa dimaklumi karena dia lupa dan tidak sengaja melakukannya. Raka’at tambahan (bagi imam) tersebut juga sah di sisi makmum karena raka’at tersebut termasuk bagian dari shalatnya sejak asal. [3]

Rumah Lendah, 18 Rabi’ul akhir 1441/ 15 Desember 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dalil jumhur ulama dalah masalah ini hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau terlambat mendatangi shalat berjama’ah sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dalam posisi ruku’. Maka Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu langsung ruku’, meskipun belum sampai masuk ke dalam shaf. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Bakrah untuk mengulangi raka’at yang dia terlambat tersebut, yang menunjukkan bahwa raka’atnya tersebut sah (HR. Bukhari no. 784).

[2] Silakan dilihat kembali tulisan yang lain di sini:

[3] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 158-159 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul

Minhaaj, Riyadh KSA).

Sumber: https://muslim.or.id/54009-kapankah-seseorang-dikatakan-mendapati-shalat-jamaah.html
Kembali ke menu/atas
12. Hukum Sujud diatas Alas Lantai atau Penghalang

Sebagian kaum Muslimin mempermasalahkan sujud seseorang dalam shalat yang tidak langsung ke lantai melainkan di atas suatu alas lantai seperti karpet, sajadah, atau semisalnya. Berikut ini penjelasan Asy Syaikh Al ‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.

Soal:

Apa hukum sujud di atas suatu penghalang yang menghalangi lantai?

Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjawab:

Sujud di atas suatu penghalang yang menghalangi dari lantai ada tiga keadaan: ada yang terlarang, ada yang boleh dan ada yang makruh.

Yang terlarang adalah jika salah satu bagian tubuh anggota sujudnya berada di atas anggota sujud yang lain. Misalnya seperti meletakkan kedua tangannya atau salah satunya di atas pahanya, atau sujud dalam keadaan jidatnya berada di atas kedua tangannya, atau meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain. Ini semua tidak dibolehkan dan membatalkan shalatnya, karena sujud di atas tujuh anggota sujud itu adalah rukun shalat. Dan dalam keadaan tesebut ia meninggalkan sebagian anggota sujudnya sehingga ia dihukumi telah bersujud dengan anggota sujud yang tidak sempurna.

Adapun penghalang yang makruh adalah jika sujud di atas bagian pakaian yang muttashil (bersambung) dengan orang yang shalat tersebut, atau di atas imamah yang ia pakai tanpa udzur.

Adapun yang dibolehkan adalah jika penghalang tersebut ghayru muttashil (tidak bersambung) dengan orang yang shalat. Maka termasuk yang dibolehkan dalam shalat adalah semua jenis alas-alas lantai yang mubah.

(Sumber: Irsyad Ulil Bashair wal Albab li Nailil Fiqhi, hal. 49, Maktabah Mishr).

*

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/28563-fatwa-ulama-hukum-sujud-di-atas-alas-lantai-atau-penghalang.html
Kembali ke menu/atas
13. Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?

Soal:

Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?

Jawab:

Jika penundaan shalat tersebut masih dalam rentang awal hingga akhir waktu, dan shalat masih dikerjakan pada waktunya, maka tidak mengapa. Karena menyegerakan shalat di awal waktu adalah perkara afdhaliyah (hal yang utama), tidak sampai wajib. Ini jika tidak ada shalat jama’ah di masjid. Jika ada shalat jama’ah di masjid, maka wajib menghadiri shalat jama’ah. Kecuali bila ia memiliki udzur syar’i untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

Jika penundaan shalat tersebut sampai keluar dari waktunya, maka ini tidak diperbolehkan. Kecuali jika seseorang itu lupa atau tenggelam dalam kesibukannya sehingga terlewat dari shalat, dalam hal ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها

“barangsiapa yang tertidur hingga ia melewatkan shalat, atau terlupa, maka hendaknya ia shalat ketika ia ingat”

Maka untuk kasus demikian, ketika ia ingat, segeralah ia kerjakan shalat, dan ini tidak mengapa.

Namun jika kasusnya, ia sebenarnya ingat waktu shalat, namun karena alasan sibuk dengan pekerjaan lalu ia tunda shalatnya (hingga keluar dari waktunya) maka ini haram dan tidak boleh. Andaikan ia tetap mengerjakan shalat setelah habis waktunya, shalatnya tetap tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa orang yang sengaja menunda shalat sehingga keluar dari waktunya tanpa udzur syar’i maka ia tidak bisa mengganti shalat tersebut. Karena sudah keluar dari waktu yang diperintahkan oleh syariat untuk mengerjakannya tanpa udzur, sehingga ia menjadi amalan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wallahul muwaffiq.

Sumber: http://islamancient.com/newsite/play.php?catsmktba=10316

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/28558-fatwa-ulama-bolehkah-menunda-shalat-karena-pekerjaan.html

 

Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A.

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M