• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Minggu, 1 Juni 2025

Fiqih Warisan (Fara’id)

Bagikan

Daftar Isi :

  1. Ta’rif (definisi) Ilmu Fara’idh
  2. Tarikah (Harta warisan)
  3. Sebab Saling Waris-mewarisi
  4. Penghalang Waris-mewarisi
  5. Syarat Waris-mewarisi
  6. Laki-laki dan Wanita yang Menjadi Ahli Waris
  7. Laki-laki yang Menjadi Ahli Waris
  8. Wanita yang Menjadi Ahli Waris
  9. As-habul Furudh
  10. As-habul Furudh dari kalangan laki-laki
  11. As-habul Furudh dari kalangan wanita
  12. Contoh Singkat Perhitungan Fara’idh
  13. Ashabah
  14. ‘Ashabah binafsih
  15. ‘Ashabah bighairih
  16. ‘Ashabah ma’a ghairih.
  17. Masalah Musytarakah
  18. Hajb (Saling menghalangi)
  19. Tas-hihul Faraa’idh (Pengesahan bagian)
  20. Ushulul Faraa’idh
  21. ‘Aul dan Radd
  22. Tatacara Ta’shil (Mencari Asal Masalah)
  23. Empat Teori (Al Anzhar Al Arba’ah)
  24. Inkisar
  25. Munasakhah
  26. Syarat Munasakhah
  27. Cara membuat tabel munasakhah
  28. Khuntsa Musykil
  29. Janin
  30. Mafqud (Orang Hilang)
  31. Orang yang tenggelam dan orang-orang yang sepertinya
  32. Dzawul Arham

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:

Waris-mewarisi hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Dalam Alquran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An Nisaa’: 7)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

Hubungkanlah fara’idh (bagian warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Syaikh al-Albani berkata, “Hasan shahih,” dalam Shahih Abi Dawud (2870) -Maktabah Syamilah)

1. Ta’rif (definisi) Ilmu Fara’idh

Fara’idh adalah bentuk jamak dari kata fariidhah, yang artinya fardh (ketentuan). Fardh secara syara’ artinya bagian yang ditentukan secara syara’ untuk mustahik (orang yang berhak menerimanya).

Dengan demikian, ilmu Fara’idh adalah ilmu tentang harta warisan, hukum-hukum  yang berkenaan dengannya dan mengetahui perhitungan yang dapat mencapai kepada pembagiannya sesuai syariat.

2. Tarikah (Harta warisan)

Tarikah mencakup harta yang berupa uang, benda atau barang maupun hak-hak yang dimiliki si mati.

Harta warisan terbagi dua:

–      Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama, dsb.

–     Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan lainnya.

Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.

Ada empat hal yang perlu diambil dari tarikah:

  1. Biaya mengurus jenazahnya, seperti biaya kafan, hanuth (benda pengawet mayit), biaya memandikan, menguburkan, dsb.
  2. Melunasi utang. Tentunya utang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  harus didahulukan (seperti zakat, zakat fitri, kaffarat dan nadzar), kemudian utang kepada manusia.
  3. Menunaikan wasiat dengan syarat tidak melebihi 1/3.
  4. Waris-mewarisi, yakni berpindahnya harta si mati kepada orang yang hidup sepeninggalnya sesuai pembagian yang diterangkan dalam Alquran dan sunah.

Catatan: Terkadang ada hak orang lain pada harta si mati yang berupa ‘aini (barang atau benda), seperti hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya dan hak penggadai pada barang gadainya yang ada di tangan si mati. Hak-hak ini harus didahulukan sebelum pengurusan jenazah karena terkait dengan benda itu sebelum menjadi harta warisan (tarikah).

3. Sebab Saling Waris-mewarisi

Sebab saling mewarisi ada tiga:

  1. Nasab (kerabat/keluarga). Misalnya ahli waris adalah ushul (kerabat pihak atas si mati, seperti bapak, kakek, dst. ke atas), atau furu’ (kerabat pihak bawah si mati seperti anaknya, cucunya, dst. ke bawah) dan hawasyinya (kerabat garis menyimpang, seperti saudara dan anak-anaknya dst. ke bawah, paman dan anak-anaknya dst. ke bawah). Lihat dalilnya di surah An Nisaa’: 33.
  2. Menikah. Maksudnya ‘akad yang sah terhadap istri meskipun belum digauli atau belum berduaan dengannya (lihat dalilnya di surah An NIsaa’: 12). Demikian pula terjadi saling waris-mewarisi dalam thalaq raj’i, dan dalam talak ba’in ketika suami mentalaknya pada saat ia sakit yang membawa kepada kematiannya.
  3. Hubungan walaa’ (karena pemerdekaan budak). Misalnya seseorang memerdekakan seorang budak laki-laki atau wanita, sehingga ia mempunyai hubungan dengannya. Oleh karena itu, jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka yang memerdekakan dapat mewarisinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Al Walaa’ liman a’taqa” (Wala’ itu untuk orang yang memerdekakan).” (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Namun orang yang dimerdekakan tidaklah mewarisi harta orang yang memerdekakan berdasarkan ijma’.

4. Penghalang Waris-mewarisi

Terkadang ada sebab waris-mewarisi, namun ada penghalang yang menghalanginya, sehingga ia tidak mendapatkan harta warisan. Penghalang itu adalah:

1. Kafir. Oleh karena itu, kerabat yang muslim tidak mewarisi kerabat yang kafir, demikian pula sebaliknya, kerabat yang kafir tidak mewarisi kerabat yang muslim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

      “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Daruquthni dan Hakim)

2. Pembunuhan. Oleh karena itu, orang yang membunuh tidaklah mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman terhadap kejahatannya jika pembunuhan yang dilakukan atas dasar kesengajaan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ

      “Pembunuh tidaklah mendapatkan apa-apa dari harta warisan.” (HR. Daruquthni (4102), Baihaqi (6/220) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa’ul Ghalil no. 1671).

3. Perbudakan. Oleh karena itu, seorang budak tidak mewarisi harta kerabatnya, karena harta itu akan menjadi milik tuannya. Ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik sebagai budak sempurna atau kurang (seperti separuhnya budak[1], budak mukatab (yang hendak memerdekakan dirinya dengan membayar biaya tertentu kepada tuannya) serta ummul walad (budak wanita yang melahirkan anak bagi tuannya)), semua ini masih berlaku hukum budak.

4. ZinaAnak zina tidaklah mewarisi harta bapaknya dan bapaknya juga tidak mewarisi hartanya, tetapi yang mewarisinya adalah ibunya dan ahli waris yang lain selain bapaknya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al Walad lil firaasy walil ‘aahir al hajar.” (artinya: Anak itu untuk kasur (ibunya), dan bagi pezina adalah batu).

5. Li’aan. Anak dari suami-istri yang saling me-li’an tidaklah mewarisi bapaknya yang bapaknya menolak anak itu sebagai anaknya, demikian pula bapak itu tidaklah mewarisi anak ini karena diqiaskan dengan anak zina.

6. Tidak menangis sewaktu lahir si anakOleh karena itu, jika seorang anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan mati, ia tidak menangis ketika lahirnya, maka ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi karena tidak adanya kehidupan yang dilanjutkan oleh kematian setelahnya sehingga terjadi saling waris-mewarisi.

5. Syarat Waris-mewarisi

Syarat sahnya waris-mewarisi adalah sebagai berikut:

  1. Tidak adanya penghalang yang telah disebutkan.
  2. Matinya orang yang akan diwarisi meskipun secara hukmi (dihukumi mati). Misalnya hakim memutuskan matinya orang yang hilang.
  3. Ahli waris hidup pada hari matinya muwarrits (orang yang akan diwarisi hartanya).

Oleh karena itu, jika seorang wanita yang salah salah seorang anaknya ada yang meninggal, sedangkan si wanita ini memiliki janin di perutnya, maka janin ini berhak mendapat warisan dari saudaranya jika ketika lahir berteriak, karena hidupnya terwujud ketika saudaranya meninggal. Tetapi jika wanita ini hamil setelah wafat saudaranya, maka janin ini tidak memiliki hak waris dari saudaranya yang meninggal itu karena dia belum tercipta sebelumnya.

6. Laki-laki dan Wanita yang Menjadi Ahli Waris

A. Laki-laki yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:

  1. Suami. Suami mewarisi istrinya yang wafat, meskipun istrinya ditalak apabila belum habis masa ‘iddahnya. Tetapi apabila sudah habis masa ‘iddahnya, maka suami tidak mewarisinya.
  2. Orang yang memerdekakan, atau ‘ashabahnya yang laki-laki ketika tidak ada orang yang memerdekakan.
  3. Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’ dan hawasyi.

Ushul (keluarga pihak atas/leluhur) yaitu bapak, kakek, dst. ke atas. Furu’ (keluarga pihak ke bawah/turunan) yaitu anak, cucu, dst. ke bawah. Hawasyi (keluarga garis menyimpang), yaitu saudara dan anak-anaknya, saudara seibu, paman dan anak-anaknya baik paman tersebut sekandung maupun sebapak.

Mereka yang menjadi ahli waris ini tidak mungkin mewarisi bersama-sama harta peninggalan si mati, karena sebagian mereka memahjub (baca: menghalangi) yang lain. Misalnya bapak menghalangi kakek dan saudara seibu, anak menghalangi saudara, dan saudara menghalangi paman, dst. Oleh karena itu, jika mereka semua berkumpul, maka yang mewarisi dari kalangan laki-laki hanyalah tiga orang saja; suami, anak dan bapak.

B. Wanita yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:

  • Istri,
  • Wanita yang memrdekakan,
  • Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’ dan hawasyi.

Ushul (kerabat ke atas dari pihak wanita) di sini yaitu ibu dan nenek, baik bagi ibu maupun bagi bapak.

Furu’ yaitu puteri, cucu perempuan dari anak laki-laki, dst. ke bawah.

Hawasyi yaitu saudari secara mutlak (sekandung, seayah dan seibu).

Catatan:

Bibi dari pihak bapak (‘ammah) maupun dari pihak ibu (khaalah) tidaklah mewarisi. Demikian pula cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan, puteri saudara dan puteri paman tidaklah mewarisi.

Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya.

lakinya).

7. As-habul Furudh

As-habul Furudh adalah orang yang mendapatkan bagian yang ditentukan. Mereka yang termasuk As-habul Furudh adalah:

A. As-habul Furudh dari kalangan laki-laki

  • Ayah

–   1/6, Jika bersama furu’/keturunan yang laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki).

–   1/6 dan ashabah (sisa). Jika bersama furu’ yang perempuan (tanpa ada laki-

–   Ashabah. Jika tidak ada furu’/keturunan laki-laki atau perempuan (anak/cucu dari anak laki-laki).

  • Suami

–   ¼ Jika bersama furu’.

–   ½ jika tidak bersama furu’.

  • Kakek (ayahnya ayah dst. ke atas).

Ia seperti ayah, hanya saja ia sebagai ‘ashabah jika tidak ada ayah dan tidak ada furu’. Dan ia terhalang (mahjub) ketika masih ada ayah.

  • Saudara seibu

–   1/6, jika seorang diri dan tidak ada ahli waris ushul maupun furu’.

–   1/3, Jika dua orang atau lebih mendapatkan dengan dibagi rata, (yang laki-laki tidak lebih dari wanitanya).

–   Mahjub (tertutup), jika ada ahli waris dari kalangan ushul maupun furu’.

B. As-habul Furudh dari kalangan wanita

  • Istri

–   ¼, jika tidak ada furu’.

–   1/8, jika ada furu’ (Jika jumlah isteri lebih dari satu, maka mereka mengambil secara rata dari 1/4 atau 1/8 itu.).

  • Ibu

–  1/3, Jika tidak ada furu’ dan sejumlah (lebih dari satu) orang saudara.

–  1/6, apabila: (a) Jika ada furu’, atau (b) Ada sejumlah (lebih dari satu) saudara, baik pria maupun wanita.

–  1/3 dari sisa, Jika bersama ayah dan suami atau isteri.

  • Nenek (ibunya ibu atau ibunya ayah).

–   1/6, jika tidak ada ibu. Jika jumlahnya banyak maka 1/6 itu dibagi rata.

–   Mahjub (tertutup), Jika ada ibu atau nenek yang lebih dekat kepada si mati (seperti ibunya ayah).

  • Anak perempuan

–   ½, Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki.

–   2/3, Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki.

–   ‘Ashabah, Jika bersama anak laki-laki, yakni bagian seorang laki-laki dua bagian wanita.

  • Cucu perempuan dari anak laki-laki

–    ½, Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.

–    2/3 (dibagi rata), Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu laki-laki.

–    1/6, Jika bersama seorang anak perempuan (tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki) menyempurnakan 2/3.

–    Ashabah (sisa), Jika bersama dengan cucu laki-laki; untuk laki-laki dua bagian perempuan.

–    Mahjub (tertutup), jika: (a) Jika ada anak laki-laki, (b) Jika ada dua puteri atau lebih, kecuali jika bersama mereka ada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat atau di bawah mereka sehingga mereka menjadi ‘ashabah.

  • Saudari kandung

– 1/2, Jika seorang diri dan tidak ada anak/cucu,  ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung.

 2/3, Jika 2 orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu,  ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung.

 ‘Ashabah bi ghairih, Jika bersama saudara laki-laki sekandung dan tidak ada orang-orang di atas (ushul maupun furu’ yang laki-laki), bagian seorang laki-laki adalah dua bagian perempuan.

– ‘Ashabah ma’a ghairih, Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh.

– Mahjub (terhalang), Ketika ada ahli waris furu’ yang laki-laki seperti anak/cucu dan ketika ada ahli waris ushul seperti bapak.

  • Saudari seayah

–     ½, Jika sendiri dan tidak ada anak atau cucu, saudara seayah, saudari sekandung dan ayah/kakek.

–     2/3, Jika ada 2 orang atau lebih dan tidak ada anak atau cucu, saudara dan ayah/kakek.

–     1/6, Jika bersama-sama dengan seorang saudari kandung, tanpa saudara laki-laki.

–     Ashabah bighairih, Jika ada saudara laki-laki seayah, seorang laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan.

–     ‘Ashabah ma’al ghair, Jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh.

  • Saudari seibu

–       1/6, Jika sendiri, dan tidak ada furu’ maupun ushul (anak/cucu/ayah/kakek).

–       1/3, Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada furu’ maupun ushul.

–       Mahjub (terhalang), Jika ada furu’ maupun ushul.

8. Contoh Singkat Perhitungan Fara’idh

Harta peninggalan si mati Rp. 300.000, ahli waris: Saudari seibu, saudari sekandung, dua saudari seayah dan seorang ibu, maka:

Ahli waris Fardh AM = 6 Dari 300.000
Saudari seibu 1/6 1/6 x 300.000 50.000
Saudari sekandung ½ 3/6 x 300.000 150.000
2 saudari seayah 1/6 1/6 x 300.000 50.000
Seorang ibu 1/6 1/6 x 300.000 50.000

 Catatan:

–    Untuk mengetahui fardh (bagiannya dalam warisan), maka lihat bagian As-habul Furudh.

–    AM adalah singkatan dari Asal Masalah, yakni angka yang disimpulkan dari fardh-fardh yang ada. Seperti dari 1/6, ½, 1/6 dan 1/6 AM-nya adalah 6. AM dalam ilmu Matematika seperti KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil).

9. Ashabah

Ashabah (orangnya disebut ‘ashib) adalah yang mengambil semua harta ketika hanya sendiri atau sisa dari pembagian kepada as-habul furudh, dan ia tidak mendapatkan apa-apa jika tidak ada sisa dari pembagian kepada as-habul furudh. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Hubungkanlah Fara’idh (bagian warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.”

Ashabah ada tiga macam:

1. ‘Ashabah binafsih

Dinamakan ‘ashabah binafsih karena sejak awal ia sebagai ‘ashabah. Yang menjadi ‘ashabah binafsih secara berurutan adalah:

  1. Bunuwwah (anak dst. ke bawah), dinamakan juga furu’.
  2. Ubuwwah (bapak dst. ke atas), dinamakan juga ushul.
  3. Ukhuwwah (saudara dan anak-anaknya), dinamakan juga hawasyi qaribah (dekat).
  4. ‘Umuumah (paman dan anak-anaknya), dinamakan juga hawasyi ba’idah (jauh).
  5. Mu’tiq (yang memerdekakan laki-laki atau perempuan).
  6. ‘Ashabah mu’tiq.
  7. Baitul maal.

Jika semuanya ada maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak dan ayah. Yang lainnya mahjub (terhalang). Tetapi yang menjadi ‘ashabah hanya anak, sedangkan ayah menjadi shaahib fardh/as-habul furuudh yaitu mendapatkan 1/6.

2. ‘Ashabah bighairih

Yaitu ahli waris wanita yang awalnya mendapatkan bagian tertentu (as-habul furuudh), tetapi berubah mengambil sisa semua harta karena ada ahli waris lain yang menariknya menjadi ‘ashabah. Ahli waris yang menarik itu disebut mu’ashshib. Dalam hal ini fardh(bagian)nya tidak berlaku, dan ia hanya berbagi dengan mu’ashshibnya (laki-laki mendapatkan dua bagian, sedangkan wanita satu bagian). Mereka ini ada empat perempuan:

A. Anak perempuan sekandung, mu’ashibnya (yang menjadikan ‘ashabah) adalah anak laki-laki yang sekandung dengannya (laki-laki mendapatkan dua bagian, sedangkan wanita satu bagian).

B. Cucu perempuan dari anak laki-laki, mu’ashibnya adalah:

  • Cucu laki-laki.
  • Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki jika diperlukan.

C. Saudari sekandung, mu’ashibnya adalah saudara sekandung

D. Saudari seayah, mu’ashibnya adalah saudara seayah.

3. ‘Ashabah ma’a ghairih

‘Ashabah ma’a ghairih adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ‘ashabah, tetapi orang lain itu tidak bersama-sama menerima ‘ashabah.

‘Ashabah ma’a ghairih hanya 2 orang saja:

  1. Saudari kandung baik seorang diri atau lebih bersama puteri atau puteri dari anak laki-laki,
  2. Saudari seayah baik seorang diri atau lebih bersama puteri atau puteri dari anak laki-laki.

Saudari kandung atau seayah jika sendiri mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh. Tetapi jika saudari kandung atau seayah lebih dari satu, maka mengambil dengan dibagi rata. Perlu diperhatikan, saudari kandung menghalangi saudari seayah, dan saudari seayah menghalangi anak saudara secara mutlak seperti halnya saudara seayah.

10. Masalah Musytarakah

Apabila seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, saudara seibu, seorang saudara kandung atau lebih, maka asal masalahnya adalah (karena KPK antara 1/2, 1/6 dan 1/3 adalah 6):

–     Suami mendapatkan ½ dari 6, yaitu 3.

–     Ibu mendapat 1/6 dari 6, yaitu 1.

–     Saudara seibu mendapat 1/3 dari 6, yaitu 2.

Sedangkan saudara kandung tidak memperoleh sedikit pun tarikah (harta peninggalan), karena ia sebagai ‘ashabah, sedangkan ‘ashabah tidak mendapatkan apa-apa ketika pembagian kepada as-habul furudh tidak bersisa.

Akan tetapi, Umar radhiyallahu ‘anhu menetapkan agar saudara kandung diikutsertakan dengan saudara seibu dalam bagian 1/3 itu, sehingga mereka mengambil bagian secara sama rata; saudara kandung sama seperti saudara seibu. Oleh karena itulah masalah ini disebut masalah musytarakah atau hajariyyah. Disebut hajariyyah karena ketika itu para saudara kandung berkata kepada Umar, ketika pada awalnya Beliau mencegah mereka dari mendapat warisan, “Ya, bapak kami memang hajar (terhalang), tetapi bukankah ibu kami sama? Lalu mengapa kami terhalang, sedangkan saudara kami mendapatkannya?” Maka Umar pun tunduk dan akhirnya menetapkan agar mereka diikutsertakan dengan saudara mereka seibu dalam bagiannya 1/3.

Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma aamin.

11. Hajb (Saling menghalangi)

Hajb artinya menghalangi. Menghalangi di sini ada dua:

  1. Menghalangi nuqshan (hanya mengurangi). Maksudnya mengurangi bagian ahli waris yang sebelumnya mendapatkan banyak menjadi sedikit, dari sebagai as-habul furudh menjadi ‘ashabah atau sebaliknya.
  2. Menghalangi isqath/hirman (membuat tidak mendapatkan bagian).

Maksudnya menghalangi ahli waris dari mendapatkan warisan karena ada hajib (ahli waris lain yang menghalangi).

Kaedah umum dalam hajb:

  1. Ushul yang terdekat dengan si mati menghalangi yang jauh, demikian pula furu’. Misalnya dalam ushul (leluhur mati), ada ayah dan kakek. Ayah lebih dekat dengan si mati, maka dia menghalangi kakek. Ibu dengan nenek, ibu lebih lebih dekat dengan si mati, maka ia menghalangi nenek. Sedangkan dalam furu’, contohnya anak laki-laki menghalangi cucu.
  2. Seluruh hawasyi dimahjub (baca: dihalangi) oleh ushul dan furu yang laki-laki. Contohnya adalah seorang wafat meninggalkan ayah dan saudara sekandung, maka ayah mendapatkan semua harta sedangkan saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga kakek menghalangi saudara menurut pendapat yang rajih, wallahu a’lam.
  3. Saudara seibu dihalangi juga oleh furu’ dari kalangan wanita. Contohnya seorang wafat meninggalkan puterinya dan saudara seibu serta saudara kandung, maka puteri mendapatkan ½, saudara kandung sisanya sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa.
  4. Hawasyi bisa dimahjub oleh ushul, furu’ maupun hawasyi sendiri.
  5. Yang lebih kuat kerabatnya menghalangi yang lemahMisalnya saudara laki-laki sekandung dengan saudara laki-laki seayah, maka didahulukan saudara laki-laki sekandung.
  6. Yang lebih dahulu jihatnya menghalangi setelahnyaOleh karena itu, Jika semua jihat ada; Bunuwwah (far’), Ubuwwah (ushul), Ukhuwwah (Hawaasyi Qaribah) dan ‘Umuumah (Hawasyi Ba’idah), maka yang didahulukan adalah jihat bunuwwah.
  7. Yang lebih dekat manzilah(kedudukan)nya menghalangi yang jauhnya. Misalnya sama jihatnya, yaitu di bunuwwah seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki, maka anak laki-laki lebih didahulukan daripada cucu laki-laki. Demikian juga antara bapak dan kakek, maka bapak lebih didahulukan daripada kakek.
  8. Yang lebih kuat kerabatnya menghalangi yang lebih lemah, penjelasan dan contoh tentang hal ini telah lewat sebelumnya.

Misalnya saudara laki-laki sekandung dengan saudara laki-laki seayah, maka didahulukan saudara laki-laki sekandung.

Catatan:

Ahli waris yang tidak bisa dimahjub adalah anak (baik laki-laki maupun perempuan), kedua orang tua, suami dan isteri. Selain itu bisa dimahjub dan bisa menjadi hajib. Akan tetapi kedua orang tua dan suami atau isteri bisa berkurang bagiannya (mahjub nuqshan).

Contoh Hajb Nuqshan (mengurangi)

1. Anak laki-laki dst. Ke bawah menghajb (menghalangi) suami dari mendapatkan ½ menjadi ¼. Demikian pula menghajb istri, dari mendapatkan ¼ menjadi 1/8. Anak laki-laki juga memahjub bapak dan kakek dengan memindahkan dari sebagai ‘ashabah menjadi sebagai as-habul furudh saja dengan mendapatkan 1/6.

2. Puteri, ia menghalangi puteri dari anak laki-laki dari mendapatkan ½ menjadi 1/6. Demikian pula menghalangi dua saudari kandung atau sebapak dengan memindahkannya dari mendapatkan 2/3 menjadi sebagai ‘ashabah. Puteri juga menghalangi suami dari mendapatkan ½ menjadi ¼, dan menghalangi istri dari mendapatkan ¼ menjadi 1/8. Puteri juga menghalangi ibu dari mendapatkan 1/3 menjadi 1/6. Demikian pula puteri menghalangi bapak dan kakek dari sebagai ‘ashabah menjadi sebagai as-habul furudh saja yaitu 1/6.

3. Dua orang saudara laki-laki secara mutlak atau lebih memahjub ibu, yaitu dengan mengurangi bagiannya dari 1/3 menjadi 1/6.

4. Seorang saudari sekandung memahjub saudari seayah dengan mengurangi bagiannya dari ½ menjadi 1/6 jika tidak ada saudara seayah bersamanya yang mengashabahkannya. Saudari kandung juga memahjub dua saudari seayah dengan mengurangi bagiannya dari 2/3 menjadi 1/6 jika ia tidak bersama saudara seayah yang mengashabahkannya.

Daftar hajib (yang menghalangi) dan mahjub (yang dihalangi)

Mahjub Hajib
Kakek (ayahnya ayah) Ayah
Ayah kakek dst. ke atas
  1. Ayah
  2. Kakek dst. yang lebih dekat dengan muwarrits (si mati)
Nenek Ibu
Ibunya nenek dst. ke atas
  1. Ibu
  2. Nenek yang lebih dekat jaraknya dengan muwarrits (si mati)
Cucu laki-laki dari anak laki-laki Anak laki-laki
Anak cucu laki-laki
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki yang lebih dekat dengan muwarrits
Cucu perempuan dari anak laki-laki
  1. Anak laki-laki
  2. Dua orang anak perempuan
Saudara kandung
  1. furu’ (keturunan/anak) yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
Saudari kandung
  1. furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
Saudara seayah
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
Saudari seayah
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Dua orang saudari kandung yang mendapat 2/3
  6. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair.
Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Furu’ yang perempuan
  3. Ayah
  4. Kakek dst. ke atas
Anak laki-laki saudara kandung
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  6. Saudara seayah
  7. Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
Anak laki-laki saudara seayah
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  6. Saudara seayah
  7. Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  8. Anak laki-laki saudara kandung
Paman kandung
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  6. Saudara seayah
  7. Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  8. Anak laki-laki saudara sekandung
  9. Anak laki-laki saudara seayah
Paman seayah
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  6. Saudara seayah
  7. Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  8. Anak laki-laki saudara kandung
  9. Anak laki-laki saudara seayah

10. Paman kandung

Anak laki-laki paman kandung
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  6. Saudara seayah
  7. Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  8. Anak laki-laki saudara kandung
  9. Anak laki-laki saudara seayah

10. Paman kandung

11. Paman seayah

Anak laki-laki paman seayah
  1. Furu’ yang laki-laki
  2. Ayah
  3. Kakek dst. ke atas
  4. Saudara kandung
  5. Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  6. Saudara seayah
  7. Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
  8. Anak laki-laki saudara kandung
  9. Anak laki-laki saudara seayah

10. Paman kandung

11. Paman seayah

12. Anak paman kandung

Mu’tiq (laki-laki yang memerdekakan) atau Mu’tiqah (perempuan yang memerdekakan)

Semua yang disebutkan di atas

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M