Daftar Isi :
- Ta’rif (definisi) Ilmu Fara’idh
- Tarikah (Harta warisan)
- Sebab Saling Waris-mewarisi
- Penghalang Waris-mewarisi
- Syarat Waris-mewarisi
- Laki-laki dan Wanita yang Menjadi Ahli Waris
- Laki-laki yang Menjadi Ahli Waris
- Wanita yang Menjadi Ahli Waris
- As-habul Furudh
- As-habul Furudh dari kalangan laki-laki
- As-habul Furudh dari kalangan wanita
- Contoh Singkat Perhitungan Fara’idh
- Ashabah
- ‘Ashabah binafsih
- ‘Ashabah bighairih
- ‘Ashabah ma’a ghairih.
- Masalah Musytarakah
- Hajb (Saling menghalangi)
- Tas-hihul Faraa’idh (Pengesahan bagian)
- Ushulul Faraa’idh
- ‘Aul dan Radd
- Tatacara Ta’shil (Mencari Asal Masalah)
- Empat Teori (Al Anzhar Al Arba’ah)
- Inkisar
- Munasakhah
- Syarat Munasakhah
- Cara membuat tabel munasakhah
- Khuntsa Musykil
- Janin
- Mafqud (Orang Hilang)
- Orang yang tenggelam dan orang-orang yang sepertinya
- Dzawul Arham
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Waris-mewarisi hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Dalam Alquran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An Nisaa’: 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Hubungkanlah fara’idh (bagian warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Syaikh al-Albani berkata, “Hasan shahih,” dalam Shahih Abi Dawud (2870) -Maktabah Syamilah)
1. Ta’rif (definisi) Ilmu Fara’idh
Fara’idh adalah bentuk jamak dari kata fariidhah, yang artinya fardh (ketentuan). Fardh secara syara’ artinya bagian yang ditentukan secara syara’ untuk mustahik (orang yang berhak menerimanya).
Dengan demikian, ilmu Fara’idh adalah ilmu tentang harta warisan, hukum-hukum yang berkenaan dengannya dan mengetahui perhitungan yang dapat mencapai kepada pembagiannya sesuai syariat.
2. Tarikah (Harta warisan)
Tarikah mencakup harta yang berupa uang, benda atau barang maupun hak-hak yang dimiliki si mati.
Harta warisan terbagi dua:
– Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama, dsb.
– Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan lainnya.
Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.
Ada empat hal yang perlu diambil dari tarikah:
- Biaya mengurus jenazahnya, seperti biaya kafan, hanuth (benda pengawet mayit), biaya memandikan, menguburkan, dsb.
- Melunasi utang. Tentunya utang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala harus didahulukan (seperti zakat, zakat fitri, kaffarat dan nadzar), kemudian utang kepada manusia.
- Menunaikan wasiat dengan syarat tidak melebihi 1/3.
- Waris-mewarisi, yakni berpindahnya harta si mati kepada orang yang hidup sepeninggalnya sesuai pembagian yang diterangkan dalam Alquran dan sunah.
Catatan: Terkadang ada hak orang lain pada harta si mati yang berupa ‘aini (barang atau benda), seperti hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya dan hak penggadai pada barang gadainya yang ada di tangan si mati. Hak-hak ini harus didahulukan sebelum pengurusan jenazah karena terkait dengan benda itu sebelum menjadi harta warisan (tarikah).
3. Sebab Saling Waris-mewarisi
Sebab saling mewarisi ada tiga:
- Nasab (kerabat/keluarga). Misalnya ahli waris adalah ushul (kerabat pihak atas si mati, seperti bapak, kakek, dst. ke atas), atau furu’ (kerabat pihak bawah si mati seperti anaknya, cucunya, dst. ke bawah) dan hawasyinya (kerabat garis menyimpang, seperti saudara dan anak-anaknya dst. ke bawah, paman dan anak-anaknya dst. ke bawah). Lihat dalilnya di surah An Nisaa’: 33.
- Menikah. Maksudnya ‘akad yang sah terhadap istri meskipun belum digauli atau belum berduaan dengannya (lihat dalilnya di surah An NIsaa’: 12). Demikian pula terjadi saling waris-mewarisi dalam thalaq raj’i, dan dalam talak ba’in ketika suami mentalaknya pada saat ia sakit yang membawa kepada kematiannya.
- Hubungan walaa’ (karena pemerdekaan budak). Misalnya seseorang memerdekakan seorang budak laki-laki atau wanita, sehingga ia mempunyai hubungan dengannya. Oleh karena itu, jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka yang memerdekakan dapat mewarisinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al Walaa’ liman a’taqa” (Wala’ itu untuk orang yang memerdekakan).” (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Namun orang yang dimerdekakan tidaklah mewarisi harta orang yang memerdekakan berdasarkan ijma’.
4. Penghalang Waris-mewarisi
Terkadang ada sebab waris-mewarisi, namun ada penghalang yang menghalanginya, sehingga ia tidak mendapatkan harta warisan. Penghalang itu adalah:
1. Kafir. Oleh karena itu, kerabat yang muslim tidak mewarisi kerabat yang kafir, demikian pula sebaliknya, kerabat yang kafir tidak mewarisi kerabat yang muslim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Daruquthni dan Hakim)
2. Pembunuhan. Oleh karena itu, orang yang membunuh tidaklah mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman terhadap kejahatannya jika pembunuhan yang dilakukan atas dasar kesengajaan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ
“Pembunuh tidaklah mendapatkan apa-apa dari harta warisan.” (HR. Daruquthni (4102), Baihaqi (6/220) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa’ul Ghalil no. 1671).
3. Perbudakan. Oleh karena itu, seorang budak tidak mewarisi harta kerabatnya, karena harta itu akan menjadi milik tuannya. Ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik sebagai budak sempurna atau kurang (seperti separuhnya budak[1], budak mukatab (yang hendak memerdekakan dirinya dengan membayar biaya tertentu kepada tuannya) serta ummul walad (budak wanita yang melahirkan anak bagi tuannya)), semua ini masih berlaku hukum budak.
4. Zina. Anak zina tidaklah mewarisi harta bapaknya dan bapaknya juga tidak mewarisi hartanya, tetapi yang mewarisinya adalah ibunya dan ahli waris yang lain selain bapaknya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al Walad lil firaasy walil ‘aahir al hajar.” (artinya: Anak itu untuk kasur (ibunya), dan bagi pezina adalah batu).
5. Li’aan. Anak dari suami-istri yang saling me-li’an tidaklah mewarisi bapaknya yang bapaknya menolak anak itu sebagai anaknya, demikian pula bapak itu tidaklah mewarisi anak ini karena diqiaskan dengan anak zina.
6. Tidak menangis sewaktu lahir si anak. Oleh karena itu, jika seorang anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan mati, ia tidak menangis ketika lahirnya, maka ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi karena tidak adanya kehidupan yang dilanjutkan oleh kematian setelahnya sehingga terjadi saling waris-mewarisi.
5. Syarat Waris-mewarisi
Syarat sahnya waris-mewarisi adalah sebagai berikut:
- Tidak adanya penghalang yang telah disebutkan.
- Matinya orang yang akan diwarisi meskipun secara hukmi (dihukumi mati). Misalnya hakim memutuskan matinya orang yang hilang.
- Ahli waris hidup pada hari matinya muwarrits (orang yang akan diwarisi hartanya).
Oleh karena itu, jika seorang wanita yang salah salah seorang anaknya ada yang meninggal, sedangkan si wanita ini memiliki janin di perutnya, maka janin ini berhak mendapat warisan dari saudaranya jika ketika lahir berteriak, karena hidupnya terwujud ketika saudaranya meninggal. Tetapi jika wanita ini hamil setelah wafat saudaranya, maka janin ini tidak memiliki hak waris dari saudaranya yang meninggal itu karena dia belum tercipta sebelumnya.
6. Laki-laki dan Wanita yang Menjadi Ahli Waris
A. Laki-laki yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:
- Suami. Suami mewarisi istrinya yang wafat, meskipun istrinya ditalak apabila belum habis masa ‘iddahnya. Tetapi apabila sudah habis masa ‘iddahnya, maka suami tidak mewarisinya.
- Orang yang memerdekakan, atau ‘ashabahnya yang laki-laki ketika tidak ada orang yang memerdekakan.
- Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’ dan hawasyi.
Ushul (keluarga pihak atas/leluhur) yaitu bapak, kakek, dst. ke atas. Furu’ (keluarga pihak ke bawah/turunan) yaitu anak, cucu, dst. ke bawah. Hawasyi (keluarga garis menyimpang), yaitu saudara dan anak-anaknya, saudara seibu, paman dan anak-anaknya baik paman tersebut sekandung maupun sebapak.
Mereka yang menjadi ahli waris ini tidak mungkin mewarisi bersama-sama harta peninggalan si mati, karena sebagian mereka memahjub (baca: menghalangi) yang lain. Misalnya bapak menghalangi kakek dan saudara seibu, anak menghalangi saudara, dan saudara menghalangi paman, dst. Oleh karena itu, jika mereka semua berkumpul, maka yang mewarisi dari kalangan laki-laki hanyalah tiga orang saja; suami, anak dan bapak.
B. Wanita yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:
- Istri,
- Wanita yang memrdekakan,
- Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’ dan hawasyi.
Ushul (kerabat ke atas dari pihak wanita) di sini yaitu ibu dan nenek, baik bagi ibu maupun bagi bapak.
Furu’ yaitu puteri, cucu perempuan dari anak laki-laki, dst. ke bawah.
Hawasyi yaitu saudari secara mutlak (sekandung, seayah dan seibu).
Catatan:
Bibi dari pihak bapak (‘ammah) maupun dari pihak ibu (khaalah) tidaklah mewarisi. Demikian pula cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan, puteri saudara dan puteri paman tidaklah mewarisi.
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya.
lakinya).
7. As-habul Furudh
As-habul Furudh adalah orang yang mendapatkan bagian yang ditentukan. Mereka yang termasuk As-habul Furudh adalah:
A. As-habul Furudh dari kalangan laki-laki
– 1/6, Jika bersama furu’/keturunan yang laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki).
– 1/6 dan ashabah (sisa). Jika bersama furu’ yang perempuan (tanpa ada laki-
– Ashabah. Jika tidak ada furu’/keturunan laki-laki atau perempuan (anak/cucu dari anak laki-laki).
– ¼ Jika bersama furu’.
– ½ jika tidak bersama furu’.
- Kakek (ayahnya ayah dst. ke atas).
Ia seperti ayah, hanya saja ia sebagai ‘ashabah jika tidak ada ayah dan tidak ada furu’. Dan ia terhalang (mahjub) ketika masih ada ayah.
– 1/6, jika seorang diri dan tidak ada ahli waris ushul maupun furu’.
– 1/3, Jika dua orang atau lebih mendapatkan dengan dibagi rata, (yang laki-laki tidak lebih dari wanitanya).
– Mahjub (tertutup), jika ada ahli waris dari kalangan ushul maupun furu’.
B. As-habul Furudh dari kalangan wanita
– ¼, jika tidak ada furu’.
– 1/8, jika ada furu’ (Jika jumlah isteri lebih dari satu, maka mereka mengambil secara rata dari 1/4 atau 1/8 itu.).
– 1/3, Jika tidak ada furu’ dan sejumlah (lebih dari satu) orang saudara.
– 1/6, apabila: (a) Jika ada furu’, atau (b) Ada sejumlah (lebih dari satu) saudara, baik pria maupun wanita.
– 1/3 dari sisa, Jika bersama ayah dan suami atau isteri.
- Nenek (ibunya ibu atau ibunya ayah).
– 1/6, jika tidak ada ibu. Jika jumlahnya banyak maka 1/6 itu dibagi rata.
– Mahjub (tertutup), Jika ada ibu atau nenek yang lebih dekat kepada si mati (seperti ibunya ayah).
– ½, Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki.
– 2/3, Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki.
– ‘Ashabah, Jika bersama anak laki-laki, yakni bagian seorang laki-laki dua bagian wanita.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki
– ½, Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.
– 2/3 (dibagi rata), Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu laki-laki.
– 1/6, Jika bersama seorang anak perempuan (tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki) menyempurnakan 2/3.
– Ashabah (sisa), Jika bersama dengan cucu laki-laki; untuk laki-laki dua bagian perempuan.
– Mahjub (tertutup), jika: (a) Jika ada anak laki-laki, (b) Jika ada dua puteri atau lebih, kecuali jika bersama mereka ada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat atau di bawah mereka sehingga mereka menjadi ‘ashabah.
– 1/2, Jika seorang diri dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung.
– 2/3, Jika 2 orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung.
– ‘Ashabah bi ghairih, Jika bersama saudara laki-laki sekandung dan tidak ada orang-orang di atas (ushul maupun furu’ yang laki-laki), bagian seorang laki-laki adalah dua bagian perempuan.
– ‘Ashabah ma’a ghairih, Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh.
– Mahjub (terhalang), Ketika ada ahli waris furu’ yang laki-laki seperti anak/cucu dan ketika ada ahli waris ushul seperti bapak.
– ½, Jika sendiri dan tidak ada anak atau cucu, saudara seayah, saudari sekandung dan ayah/kakek.
– 2/3, Jika ada 2 orang atau lebih dan tidak ada anak atau cucu, saudara dan ayah/kakek.
– 1/6, Jika bersama-sama dengan seorang saudari kandung, tanpa saudara laki-laki.
– Ashabah bighairih, Jika ada saudara laki-laki seayah, seorang laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan.
– ‘Ashabah ma’al ghair, Jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh.
– 1/6, Jika sendiri, dan tidak ada furu’ maupun ushul (anak/cucu/ayah/kakek).
– 1/3, Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada furu’ maupun ushul.
– Mahjub (terhalang), Jika ada furu’ maupun ushul.
8. Contoh Singkat Perhitungan Fara’idh
Harta peninggalan si mati Rp. 300.000, ahli waris: Saudari seibu, saudari sekandung, dua saudari seayah dan seorang ibu, maka:
Ahli waris |
Fardh |
AM = 6 |
Dari 300.000 |
Saudari seibu |
1/6 |
1/6 x 300.000 |
50.000 |
Saudari sekandung |
½ |
3/6 x 300.000 |
150.000 |
2 saudari seayah |
1/6 |
1/6 x 300.000 |
50.000 |
Seorang ibu |
1/6 |
1/6 x 300.000 |
50.000 |
Catatan:
– Untuk mengetahui fardh (bagiannya dalam warisan), maka lihat bagian As-habul Furudh.
– AM adalah singkatan dari Asal Masalah, yakni angka yang disimpulkan dari fardh-fardh yang ada. Seperti dari 1/6, ½, 1/6 dan 1/6 AM-nya adalah 6. AM dalam ilmu Matematika seperti KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil).
9. Ashabah
Ashabah (orangnya disebut ‘ashib) adalah yang mengambil semua harta ketika hanya sendiri atau sisa dari pembagian kepada as-habul furudh, dan ia tidak mendapatkan apa-apa jika tidak ada sisa dari pembagian kepada as-habul furudh. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hubungkanlah Fara’idh (bagian warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.”
Ashabah ada tiga macam:
1. ‘Ashabah binafsih
Dinamakan ‘ashabah binafsih karena sejak awal ia sebagai ‘ashabah. Yang menjadi ‘ashabah binafsih secara berurutan adalah:
- Bunuwwah (anak dst. ke bawah), dinamakan juga furu’.
- Ubuwwah (bapak dst. ke atas), dinamakan juga ushul.
- Ukhuwwah (saudara dan anak-anaknya), dinamakan juga hawasyi qaribah (dekat).
- ‘Umuumah (paman dan anak-anaknya), dinamakan juga hawasyi ba’idah (jauh).
- Mu’tiq (yang memerdekakan laki-laki atau perempuan).
- ‘Ashabah mu’tiq.
- Baitul maal.
Jika semuanya ada maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak dan ayah. Yang lainnya mahjub (terhalang). Tetapi yang menjadi ‘ashabah hanya anak, sedangkan ayah menjadi shaahib fardh/as-habul furuudh yaitu mendapatkan 1/6.
2. ‘Ashabah bighairih
Yaitu ahli waris wanita yang awalnya mendapatkan bagian tertentu (as-habul furuudh), tetapi berubah mengambil sisa semua harta karena ada ahli waris lain yang menariknya menjadi ‘ashabah. Ahli waris yang menarik itu disebut mu’ashshib. Dalam hal ini fardh(bagian)nya tidak berlaku, dan ia hanya berbagi dengan mu’ashshibnya (laki-laki mendapatkan dua bagian, sedangkan wanita satu bagian). Mereka ini ada empat perempuan:
A. Anak perempuan sekandung, mu’ashibnya (yang menjadikan ‘ashabah) adalah anak laki-laki yang sekandung dengannya (laki-laki mendapatkan dua bagian, sedangkan wanita satu bagian).
B. Cucu perempuan dari anak laki-laki, mu’ashibnya adalah:
- Cucu laki-laki.
- Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki jika diperlukan.
C. Saudari sekandung, mu’ashibnya adalah saudara sekandung
D. Saudari seayah, mu’ashibnya adalah saudara seayah.
3. ‘Ashabah ma’a ghairih
‘Ashabah ma’a ghairih adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ‘ashabah, tetapi orang lain itu tidak bersama-sama menerima ‘ashabah.
‘Ashabah ma’a ghairih hanya 2 orang saja:
- Saudari kandung baik seorang diri atau lebih bersama puteri atau puteri dari anak laki-laki,
- Saudari seayah baik seorang diri atau lebih bersama puteri atau puteri dari anak laki-laki.
Saudari kandung atau seayah jika sendiri mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh. Tetapi jika saudari kandung atau seayah lebih dari satu, maka mengambil dengan dibagi rata. Perlu diperhatikan, saudari kandung menghalangi saudari seayah, dan saudari seayah menghalangi anak saudara secara mutlak seperti halnya saudara seayah.
10. Masalah Musytarakah
Apabila seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, saudara seibu, seorang saudara kandung atau lebih, maka asal masalahnya adalah (karena KPK antara 1/2, 1/6 dan 1/3 adalah 6):
– Suami mendapatkan ½ dari 6, yaitu 3.
– Ibu mendapat 1/6 dari 6, yaitu 1.
– Saudara seibu mendapat 1/3 dari 6, yaitu 2.
Sedangkan saudara kandung tidak memperoleh sedikit pun tarikah (harta peninggalan), karena ia sebagai ‘ashabah, sedangkan ‘ashabah tidak mendapatkan apa-apa ketika pembagian kepada as-habul furudh tidak bersisa.
Akan tetapi, Umar radhiyallahu ‘anhu menetapkan agar saudara kandung diikutsertakan dengan saudara seibu dalam bagian 1/3 itu, sehingga mereka mengambil bagian secara sama rata; saudara kandung sama seperti saudara seibu. Oleh karena itulah masalah ini disebut masalah musytarakah atau hajariyyah. Disebut hajariyyah karena ketika itu para saudara kandung berkata kepada Umar, ketika pada awalnya Beliau mencegah mereka dari mendapat warisan, “Ya, bapak kami memang hajar (terhalang), tetapi bukankah ibu kami sama? Lalu mengapa kami terhalang, sedangkan saudara kami mendapatkannya?” Maka Umar pun tunduk dan akhirnya menetapkan agar mereka diikutsertakan dengan saudara mereka seibu dalam bagiannya 1/3.
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma aamin.
11. Hajb (Saling menghalangi)
Hajb artinya menghalangi. Menghalangi di sini ada dua:
- Menghalangi nuqshan (hanya mengurangi). Maksudnya mengurangi bagian ahli waris yang sebelumnya mendapatkan banyak menjadi sedikit, dari sebagai as-habul furudh menjadi ‘ashabah atau sebaliknya.
- Menghalangi isqath/hirman (membuat tidak mendapatkan bagian).
Maksudnya menghalangi ahli waris dari mendapatkan warisan karena ada hajib (ahli waris lain yang menghalangi).
Kaedah umum dalam hajb:
- Ushul yang terdekat dengan si mati menghalangi yang jauh, demikian pula furu’. Misalnya dalam ushul (leluhur mati), ada ayah dan kakek. Ayah lebih dekat dengan si mati, maka dia menghalangi kakek. Ibu dengan nenek, ibu lebih lebih dekat dengan si mati, maka ia menghalangi nenek. Sedangkan dalam furu’, contohnya anak laki-laki menghalangi cucu.
- Seluruh hawasyi dimahjub (baca: dihalangi) oleh ushul dan furu yang laki-laki. Contohnya adalah seorang wafat meninggalkan ayah dan saudara sekandung, maka ayah mendapatkan semua harta sedangkan saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga kakek menghalangi saudara menurut pendapat yang rajih, wallahu a’lam.
- Saudara seibu dihalangi juga oleh furu’ dari kalangan wanita. Contohnya seorang wafat meninggalkan puterinya dan saudara seibu serta saudara kandung, maka puteri mendapatkan ½, saudara kandung sisanya sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa.
- Hawasyi bisa dimahjub oleh ushul, furu’ maupun hawasyi sendiri.
- Yang lebih kuat kerabatnya menghalangi yang lemah. Misalnya saudara laki-laki sekandung dengan saudara laki-laki seayah, maka didahulukan saudara laki-laki sekandung.
- Yang lebih dahulu jihatnya menghalangi setelahnya. Oleh karena itu, Jika semua jihat ada; Bunuwwah (far’), Ubuwwah (ushul), Ukhuwwah (Hawaasyi Qaribah) dan ‘Umuumah (Hawasyi Ba’idah), maka yang didahulukan adalah jihat bunuwwah.
- Yang lebih dekat manzilah(kedudukan)nya menghalangi yang jauhnya. Misalnya sama jihatnya, yaitu di bunuwwah seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki, maka anak laki-laki lebih didahulukan daripada cucu laki-laki. Demikian juga antara bapak dan kakek, maka bapak lebih didahulukan daripada kakek.
- Yang lebih kuat kerabatnya menghalangi yang lebih lemah, penjelasan dan contoh tentang hal ini telah lewat sebelumnya.
Misalnya saudara laki-laki sekandung dengan saudara laki-laki seayah, maka didahulukan saudara laki-laki sekandung.
Catatan:
Ahli waris yang tidak bisa dimahjub adalah anak (baik laki-laki maupun perempuan), kedua orang tua, suami dan isteri. Selain itu bisa dimahjub dan bisa menjadi hajib. Akan tetapi kedua orang tua dan suami atau isteri bisa berkurang bagiannya (mahjub nuqshan).
Contoh Hajb Nuqshan (mengurangi)
1. Anak laki-laki dst. Ke bawah menghajb (menghalangi) suami dari mendapatkan ½ menjadi ¼. Demikian pula menghajb istri, dari mendapatkan ¼ menjadi 1/8. Anak laki-laki juga memahjub bapak dan kakek dengan memindahkan dari sebagai ‘ashabah menjadi sebagai as-habul furudh saja dengan mendapatkan 1/6.
2. Puteri, ia menghalangi puteri dari anak laki-laki dari mendapatkan ½ menjadi 1/6. Demikian pula menghalangi dua saudari kandung atau sebapak dengan memindahkannya dari mendapatkan 2/3 menjadi sebagai ‘ashabah. Puteri juga menghalangi suami dari mendapatkan ½ menjadi ¼, dan menghalangi istri dari mendapatkan ¼ menjadi 1/8. Puteri juga menghalangi ibu dari mendapatkan 1/3 menjadi 1/6. Demikian pula puteri menghalangi bapak dan kakek dari sebagai ‘ashabah menjadi sebagai as-habul furudh saja yaitu 1/6.
3. Dua orang saudara laki-laki secara mutlak atau lebih memahjub ibu, yaitu dengan mengurangi bagiannya dari 1/3 menjadi 1/6.
4. Seorang saudari sekandung memahjub saudari seayah dengan mengurangi bagiannya dari ½ menjadi 1/6 jika tidak ada saudara seayah bersamanya yang mengashabahkannya. Saudari kandung juga memahjub dua saudari seayah dengan mengurangi bagiannya dari 2/3 menjadi 1/6 jika ia tidak bersama saudara seayah yang mengashabahkannya.
Daftar hajib (yang menghalangi) dan mahjub (yang dihalangi)
Mahjub |
Hajib |
Kakek (ayahnya ayah) |
Ayah |
Ayah kakek dst. ke atas |
- Ayah
- Kakek dst. yang lebih dekat dengan muwarrits (si mati)
|
Nenek |
Ibu |
Ibunya nenek dst. ke atas |
- Ibu
- Nenek yang lebih dekat jaraknya dengan muwarrits (si mati)
|
Cucu laki-laki dari anak laki-laki |
Anak laki-laki |
Anak cucu laki-laki |
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki yang lebih dekat dengan muwarrits
|
Cucu perempuan dari anak laki-laki |
- Anak laki-laki
- Dua orang anak perempuan
|
Saudara kandung |
- furu’ (keturunan/anak) yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
|
Saudari kandung |
- furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
|
Saudara seayah |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
|
Saudari seayah |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Dua orang saudari kandung yang mendapat 2/3
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair.
|
Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan |
- Furu’ yang laki-laki
- Furu’ yang perempuan
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
|
Anak laki-laki saudara kandung |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Saudara seayah
- Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
|
Anak laki-laki saudara seayah |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Saudara seayah
- Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Anak laki-laki saudara kandung
|
Paman kandung |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Saudara seayah
- Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Anak laki-laki saudara sekandung
- Anak laki-laki saudara seayah
|
Paman seayah |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Saudara seayah
- Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Anak laki-laki saudara kandung
- Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman kandung |
Anak laki-laki paman kandung |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Saudara seayah
- Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Anak laki-laki saudara kandung
- Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman kandung
11. Paman seayah |
Anak laki-laki paman seayah |
- Furu’ yang laki-laki
- Ayah
- Kakek dst. ke atas
- Saudara kandung
- Saudari kandung jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Saudara seayah
- Saudari seayah jika menjadi ‘ashabah ma’al ghair
- Anak laki-laki saudara kandung
- Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman kandung
11. Paman seayah
12. Anak paman kandung |
Mu’tiq (laki-laki yang memerdekakan) atau Mu’tiqah (perempuan yang memerdekakan)
|
Semua yang disebutkan di atas
|
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma aamin.
12. Tas-hihul Faraa’idh (Pengesahan bagian)
A. Ushulul Faraa’idh
Ushulul faraa’idh (dasar-dasar penghitungan faraa’idh) ada tujuh, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12 dan 24.
½ tentu dari 2, 1/3 dari 3, ¼ dari 4, 1/6 dari 6, dan 1/8 dari 8.
Ketika berkumpul ¼ dan 1/6 maka dianggap dari 12, karena kelipatan persekutuan terkecil (KPK) antara 4 dan 6 adalah 12. dan ketika berkumpul 1/8, 1/6 dan 1/3 KPK-nya adalah 24.
Contoh:
- Suami dan saudara, maka asal masalahnya (AM) adalah 2, karena suami tanpa anak adalah ½, sedangkan saudara adalah sisanya yaitu ½.
- Ibu dan ayah, maka asal masalahnya adalah 3, karena ibu mendapatkan 1/3, sedangkan sisanya untuk ayah sebagai ‘ashabah.
- Ibu, ayah dan anak, maka asal masalahnya adalah 6, karena Ibu mendapat 1/6, yaitu 1, Bapak mendapatkan 1/6, yaitu 1, sedangkan sisanya untuk anak sebagai ‘ashabah, yaitu 4.
- Isti dan saudara, maka asal masalahnya adalah 4, karena istri tanpa ada anak mendapatkan ¼, sedangkan sisanya untuk saudara.
- Ibu dan anak, maka masalahnya adalah 8. untuk istri mendapat 1/8, yaitu satu, sedangkan sisanya untuk anak.
- Istri, ibu dan paman, maka masalahnya adalah 12, karena berkumpul ¼ dan 1/3. ¼ untuk istri, yaitu 3, dan 1/3 untuk ibu yaitu 4, sisanya untuk paman.
- Istri, ibu dan anak, maka masalahnya adalah 24, karena berkumpul 1/8 dan 1/6. 1/8 adalah untuk istri, yaitu 3, 1/6 adalah untuk ibu, yaitu 4, sedangkan sisanya untuk anak sebagai ‘ashabah.
B. ‘Aul dan Radd
‘Aul maksudnya naiknya angka pada masalah ketika dijumlahkan seluruh bagian yang akan didapatkan oleh ahli waris. Sedangkan Radd artinya membagi sisa pusaka kepada ahli waris. Radd adalah cara penyelesaian ketika terjadi kelebihan harta setelah semua as-habul furuudh mendapatkan bagian-bagiannya masing-masing, meskipun ada yang berpendapat bahwa sisa harta tersebut dikembalikan ke Baitul Mal.
Para sahabat selain Ibnu Abbas sepakat memberlakukan ‘aul.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa radd dapat diberikan kepada semua as-habul furudh selain kepada suami dan istri, ayah dan kakek.
Catatan: Masalah radd tidak akan pernah ada apabila masih ada ‘ashabah. Oleh karena itu, ayah dan kakek tidak mungkin mendapat radd, karena mereka akan menjadi ‘ashabah jika tidak ada ‘ashabah lain.
‘Aul hanya masuk pada tiga ushul faraa’idh saja, yaitu 6, 12 dan 24.
‘Aul dari 6 bisa menjadi 7, 8, 9 dan 10.
‘Aul dari 12 bisa menjadi 13, 15 dan 17.
‘Aul dari 24 bisa menjadi 27.
Contoh ‘Aul:
1. ‘Aul 6 ke 7 adalah jika ahli warisnya adalah suami, saudari kandung dan nenek. Asal masalahnya adalah 6; untuk suami ½ sehingga mendapat 3, saudari kandung mendapat ½ sehingga mendapat 3, sedangkan nenek mendapatkan 1/6 yaitu 1. Dalam keadaan ini asal masalah enam naik menjadi asal masalah tujuh. Misalnya harta peninggalannya Rp. 840.000 dengan ahli waris di atas:
Ahli waris |
Fardh |
AM = 6[1] |
Suami |
½ x 6 |
3 |
Saudari kandung |
½ x 6 |
3 |
Nenek |
1/6 x 6 |
1 |
Anda dapat melihat jumlah 3 + 3 + 1 = 7 melebihi asal masalah, maka cara pembagiannya tidak 3/6, 3/6 dan 1/6, tetapi menjadi 3/7, 3/7 dan 1/7. dengan ini selesailah masalahnya:
3/7 x 840.000 = 360.000
3/7 x 84.000 = 360.000
1/7 x 84.000 = 120.000
Lihat! 360.000 + 360.000 + 120.000 = 840.000
Habis bukan harta tersebut dan dapat dibagi secara adil. Inilah yang disebut dengan ‘Aul. Jika tidak diaul tentu masih ada sisa.
2. ‘Aul 6 ke 8 adalah jika ahli warisnya adalah suami, dua saudari kandung dan ibu. Asal masalahnya adalah 6; ½ untuk suami yaitu 3, 2/3 untuk dua saudari yaitu 4, sedangkan ibu mendapat 1/6 yaitu 1. Dalam keadaan ini asal masalah enam naik menjadi asal masalah delapan.
3. ‘Aul 12 ke 13 adalah jika ahli warisnya istri, ibu dan dua orang saudari seayah. Asal masalahnya adalah 12 karena ada ¼ dan 1/6 di sana. Untuk istri ¼ yaitu 3, untuk ibu 1/6 yaitu 2, dan untuk dua saudari seayah 2/3 yaitu 8. dalam masalah ini masalah 12 naik menjadi masalah 13.
4. ‘Aul 24 ke 27 adalah jika ahli warisnya istri, kakek, ibu dan dua puteri. Asal masalahnya adalah 24 karena ada 1/8 dan 1/6. istri mendapatkan 1/8 yaitu 3, kakek mendapatkan 1/6 yaitu 4, dan ibu mendapatkan 1/6 yaitu 4, sedangkan 2/3-nya yaitu 16 adalah untuk puteri, sehingga dalam hal ini ‘aul naik ke 27.
Contoh Radd
Dalam menyelesaikan masalah Radd, perlu kita perhatikan ahli waris yang berhak dan tidak berhaknya menerima Radd dengan jalan sebagai berikut:
1. Jika semua ahli waris berhak menerima Radd, maka penyelesaiannya ada beberapa cara di antaranya adalah dengan cara berikut:
– Mencari saham-saham (bagian) As-habul furuudh
– Menjumlah saham-saham tersebut
– Jumlah saham tersebut dijadikan asal masalah yang baru pengganti AM yang lama.
Contoh: Harta peninggalan Rp. 360.000,- , ahli warisnya: saudari sekandung, saudari seayah dan ibu. Maka:
Ahli waris |
Fardh |
AM = 6 menjadi 5[2] |
Dari 360.000 |
Saudari kandung |
½ |
3/5 x 360.000 |
216.000 |
Saudari seayah |
1/6 |
1/5 x 360.000 |
72.000 |
Ibu |
1/6 |
1/5 x 360.000 |
72.000 |
2. Jika di antara ahli waris ada yang tidak berhak menerima Radd, maka cara penyelesaiannya adalah:
– Seluruh As-habul furuudh diberikan fardh-nya masing-masing.
– Sisa harta hanya diberikan kepada mereka yang berhak menerima saja sesuai fardhnya masing-masing.
– Menjumlahkan sisa penerimaan mereka dengan penerimaan mereka yang semula.
Contoh: Harta peninggalan Rp. 240.000, ahli warisnya: istri, nenek dan dua saudari seibu.
Ahli waris |
Fardh |
AM = 12 |
Dari 240.000,- |
Istri |
¼ |
3/12 x 24.000 |
60.000 |
Nenek |
1/6 |
2/12 x 24.000 |
40.000 |
2 saudari seibu |
1/3 |
4/12 x 24.000 |
80.000 |
Sisa harta = 240.000 – 180.000 = 60.000,-
(diradd kepada mereka yang berhak menerima), yaitu:
nenek = 1/6 x 6[3] = 1
2 saudari seibu = 1/3 x 6 = 2
Jumlah = 3
Tambahan untuk:
– Nenek = 1/3 x 60.000 = 20.000
– 2 saudari seibu = 2/3 x 60.000 = 40.000
Jadi penerimaan:
– Nenek = 40.000 + 20.000 = 6.000,-
– 2 saudari seibu = 80.000 + 40.000 = 120.000,-
C. Tatacara Ta’shil (Mencari Asal Masalah)
Keadaan ahli waris ada beberapa macam:
- ‘Ashabah saja yang hanya terdiri dari laki-laki saja,
- ‘Ashabah yang terdiri dari laki-laki dan wanita,
- Ada yang terdiri dari ‘ashabah dan as-habul furdh.
- Ada pula yang terdiri dari as-habul furudh saja.
Jika seperti no. 1, maka dicari asal masalah sesuai jumlah mereka. Misalnya ada tiga anak laki-laki, maka asal masalahnya adalah 3, dimana masing-masing memperoleh satu bagian.
Jika seperti no. 2, maka bagian laki-laki dihitung dua dari bagian perempuan. Misalnya seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan, maka masalahnya adalah 4, karena seorang anak laki-laki dihitung 2 ditambah dengan dua anak perempuan menjadi 4.
Jika seperti no. 3, maka didahulukan as-habul furudh. Jika ada sisa diberikan kepada ‘ashabah, dan untuk mencari asal masalahnya adalah melihat maqam (angka penyebut yang terletak pada bagian bawah pecahan) yang diperoleh as-habul furudh. Misalnya suami, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka masalahnya adalah 4, karena ¼ untuk suami, dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan.
Gambarannya adalah sbb.:
Asal Masalah
|
4
|
Suami
|
1
|
Anak lk.
|
2
|
Anak Pr.
|
1
|
[1] KPK dari 2,2 dan 6 = 6.
[2] Menjadi 5, karena jumlah 3 + 1 + 1 = 5.
[3] KPK dari 6 dan 3 = 6.
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma aamin.
D. Empat Teori (Al Anzhar Al Arba’ah)
Jika dalam masalah ada as-habul furudh yang lebih dari seorang, yang berbeda-beda maqam (angka penyebutnya), maka dipilih di antara maqam tersebut, yaitu dengan menggunakan empat teori; tamatsul, tadakhul, tawafuq dan takhaluf. Tujuan menggunakannya adalah untuk menghasilkan asal masalah dan membetulkan masalah tersebut.
Tamatsul artinya beberapa kusur (pecahan) yang maqaamnya sama. Misalnya 1/2 dengan 1/2, maka diambil salah satu dari maqam tersebut sebagai asal masalah, yaitu 2. contohnya suami dengan saudari kandung, maka suami mendapatkan ½, dan saudari sekandung juga mendapatkan ½.
Gambarannya adalah sbb.:
Asal Masalah
|
2
|
2
|
Suami
|
½
|
1
|
Saudari kandung
|
½
|
1
|
Tadaakhul artinya saling masuk maqamnya. Maksudnya adalah maqaam (penyebutnya) berbeda, tetapi maqam yang terkecil masuk ke maqam terbesar.
Misalnya 1/3 dengan 1/6, maka angka 3 masuk ke dalam angka 6, sehingga yang dipakai adalah angka 6. lalu kita katakan asal masalahnya adalah 6.
Contoh: Ahli warisnya ibu, dua saudara seibu, dan anak laki-laki. Ibu mendapatkan 1/6 yaitu 1, dua saudara seibu mendapatkan 1/3 yaitu 2, dan sisanya buat ‘ashabah.
Gambarannya adalah sbb.:
Asal Masalah
|
6
|
Ibu
|
1
|
2 saudara seibu
|
2
|
Anak lk.
|
3
|
Tawafuq artinya dua angka yang berbeda, dan angka terbesar tidak dapat dibagi oleh angka yang terkecil, akan tetapi sama-sama dapat dibagi oleh angka yang sama. Misalnya angka 4 dan 6 atau 8 dan 12. 6 tidak dapat dibagi dengan 4, dan 12 tidak dapat dibagi dengan 8, akan tetapi semua bilangan dapat dibagi angka 2. Oleh karena itu, angka tawafuqnya adalah 2.
Untuk tas-hih (penyelesaian), maka angka 4, 6, 8 dan 12 dibagi 2, maka 4: 2 = 2, 6: 2 = 3, 8: 2 = 4, dan 12: 2 = 6, lalu dikali secara silang, seperti pada angka 4 dan 6, menjadi 2 x 6 atau 3 x 4 (lihat yang diberi garis bawah di atas).
Tawafuq adalah sebuah cara untuk meringkas (lihat gambaran perhitungan pertama ketika tidak menggunakan tawafuq).
Contoh: ahli warisnya adalah suami, ibu, tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan. Untuk suami ¼, ibu 1/6, sedangkan selebihnya sebagai ‘ashabah. Antara dua maqam (penyebut), yaitu 4 dan 6 wifq(angka sepakat)nya adalah 2, lalu 4: 2 = 2, dan 6:2 = 3, kemudian dikali secara silang; angka 2 ini dikalikan dengan 6 = 12 atau angka 3 dikali angka yang lain yaitu 4, hasilnya juga sama yaitu 12, dengan cara ini selesailah masalah.
Angka 12 ini menjadi asal masalah.
Asal Masalah
|
12
|
Suami
|
3
|
Ibu
|
2
|
Anak lk.
|
2
|
Anak lk.
|
2
|
Anak lk.
|
2
|
Anak pr.
|
1
|
Catatan:
Perbedaan antara tawafuq dengan tadakhul adalah, bahwa pada tadakhul angka yang kecil masuk ke dalam angka yang besar jika ditambah dua kali, tiga kali, dst. sedangkan tawafuq tidak begitu.
Contohnya angka 2 dan 6 disebut tadakhul, karena angka dua masuk ke dalam angka 6 jika ditambah dua sebanyak tiga kali. Sedangkan angka 4 dan 6 disebut tawafuq, karena di dalam 6 tidak ada 4 sebanyak 2 kali, tetapi 4 dan 6 bisa habis jika digugurkan 2 beberapa kali.
Takhaluf/Tabaayun yaitu ketika dua angkanya (penyebutnya) tidak sama, tidak masuk ke yang lain (tadakhul), dan tidak ada kecocokan pada angka (tawafuq) seperti angka 3 dan 4, maka cukup dengan dikali langsung dan hasilnya dijadikan sebagai asal mas’alah. Misalnya suami, ibu dan saudara kandung. Untuk suami ½, ibu 1/3, dan saudara kandung sisanya. Antara 2 dan 3 tidak sama, maka 2 dikali 3, menjadi 6, lalu dijadikanlah sebagai asal masalah.
Gambarannya adalah sbb.:
Asal Masalah
|
6
|
Suami
|
3
|
Ibu
|
2
|
Saudara kandung
|
1
|
Kesimpulan:
Kesimpulan tentang tamatsul, tadakhul, tawafuq dan tabayun adalah sebagai berikut:
كيفية النظر بين الرؤوس: أن يؤخذ أحد المتماثلات، وأكبر المتداخلات ويضرب الوفق في كامل الموافق والمباين في كامل الآخر.
Cara menyelelesaikan antara penyebut adalah:
=> Jika tamatsul, maka diambil salah satunya.
=> Jika tadakhul, maka diambil angka yang paling besar.
=> Jika tawafuq, maka dikali wifq angka yang satu ke angka yang satu lagi (secara silang).
=> JIka tabayun, maka tinggal dikali.
E. Inkisar
Inkisar adalah sebagian saham (bagian yang diperoleh) tidak terbagi rata kepada ahli waris, maka dalam hal ini dilihat saham (bagian) tersebut dan ahli warisnya.
Inkisar ini biasa terjadi pada tawafuq dan takhaluf/tabayun, karena pada tamatsul dan tadakhul tidak perlu tas-hih.
1. Jika terjadi tabayun, maka angka yang menunjukkan jumlah individu ahli waris langsung dikali dengan asal masalah.
Contoh:
Ahli waris |
Fardh/bagiannya |
AM = 12 |
Suami |
1/4 |
3 |
Anak Perempuan |
1/2 |
6 |
3 cucu perempuan |
1/6 |
2 |
Cicit/buyut laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki |
‘ashabah/sisa |
1 |
Saudara kandung |
Mahjub oleh cicit |
0 |
Bagian cucu perempuan sebagaimana disebutkan dalam tabel di atas adalah 2, sedangkan jumlah mereka ada 3, sehingga tidak bisa dibagi rata (tabaayun). Maka caranya jumlah ahli waris (cucu perempuan) langsung dikalikan asal masalah, yaitu 12. sehingga asal masalah menjadi 3 x 12 = 36, dan asal masalah yang pertama tadi (yakni 12) dianggap tidak berlaku. Berikut ini tabelnya setelah ditas-hiih (dibetulkan):
Ahli waris |
Fardh/bagiannya |
AM = 12 |
AM = 36 |
Suami |
1/4 |
3 |
9 |
Anak Perempuan |
1/2 |
6 |
18 |
3 cucu perempuan |
1/6 |
2 |
6 @=2 |
Cicit/buyut laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki |
‘ashabah/sisa |
1 |
3 |
Saudara kandung |
Mahjub oleh cicit |
0 |
0 |
2. Jika terjadi tawafuq, maka dicari wifq (angka yang menjadi faktor pembagi yang terkecil) dari jumlah ahli waris, lalu dikalikan dengan asal masalah.
Misalnya, seorang wafat meninggalkan suami, 2 anak laki-laki, dan 2 anak perempuan. Maka penyelesaiannya sbb.:
Ahli waris |
Fardh/bagiannya |
AM = 4 |
Suami |
¼ |
1
|
2 anak laki-laki |
Sisa |
3
|
2 anak perempuan |
sisa |
Dua anak laki-laki dihitung 4, sedangkan 2 anak perempuan dihitung 2, sehingga jumlah kepala dianggap ada 6, sedangkan 3 tidak bisa dibagi dengan 6. Wifq angka 6 adalah 3, lalu 6: 3 = 2, selanjutnya 2 ini dikalikan dengan asal masalah, yaitu 4.
Ahli waris |
Fardh |
4x 2 = |
8 |
Suami |
¼ |
1
|
2 |
2 anak lk. |
Sisa |
3
|
4 @ = 2 |
2 anak pr. |
Sisa |
2 @ = 1 |
Gambaran perhitungan pertama ketika tidak menggunakan tawafuq
1. Seorang wafat meninggalkan 7 nenek, 8 saudara seibu dan 9 paman. Maka:
7 nenek mendapatkan 1/6
8 saudara seibu mendapatkan 1/3
9 paman mendapatkan sisa.
Ini adalah asal masalah 6 seperti sebelumnya (karena 3 tadaakhul dengan 6).
7 Nenek mendapatkan 1/6 x 6 = 1
8 saudara seibu mendapatkan 1/3 x 6 = 2
9 paman mendapatkan sisa, yaitu 3.
Bagian-bagian tersebut untuk tiga golongan itu tentu tidak bisa dibagi secara bulat.
Maka jalan keluarnya 7 x 8 = 56 x 9 = 504, kemudian 504 ini dikali dengan asal masalah 6 = 3024. sehingga,
7 nenek mendapatkan 1/6 x 3024 = 504 (seorangnya mendapatkan 72)
8 saudara seibu mendapatkan 1/3 x 3024 =1008 (seorangnya dapat 126)
9 paman mendapatkan sisanya, yaitu 1512.
Totalnya jika dijumlahkan adalah 3024.
Dipakai cara seperti ini adalah agar mudah dipahami, cara sebenarnya adalah sbb.:
- Antara 7 nenek dengan 1 sebagai bagiannya adalah tabaayun[1]. Maka 7 itu kita tetapkan 7, dan dinamakan raaji’/mutsbat (angka yang ditetapkan karena melihat jumlah individu).
- Antara 8 saudara seibu dengan bagiannya 2 ada tawaafuq pada ½, yaitu 4, maka raaji’nya 4 bukan 8.
- Antara 9 paman dengan bagiannya 3 ada tawaafuq pada 1/3, yaitu 3. maka raaji’nya 3 bukan 9.
Sekarang raaji’ pertama yaitu 7 dikalikan dengan raaji’ kedua, yaitu 4 = 28. Kemudian 28 ini kita kalikan dengan raaji’ ketiga, yaitu 3 = 84.
84 ini kita kalikan dengan masalah 6 = 504.
Tabelnya adalah sbb:
Ahli waris |
Fardh |
AM = 6 |
Ditashih menjadi = 504
|
7 Nenek |
1/6 |
1 |
84 |
8 Saudara seibu
|
1/3 |
2 |
168 |
9 Paman |
Sisa |
3 |
252 |
Urutan: 7 x 4 = 28, 28 x 3 = 84 dan 84 x 6 = 504
|
[1] Jika terjadi tabayun antara jumlah individu dengan bagian yang diperolehnya, maka yang ditetapkan (mutsbatnya) adalah jumlah individu.
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma aamin.
Lanjutan pembahasan inkisar
3. Bagaimana jika ada dua orang atau lebih ahli waris yang jumlah individunya tidak sama dengan jumlah bagian yang diperolehnya?
Dalam hal ini ada 2 kaidah yang perlu diingat:
- Mencari angka yang dapat menampung seluruh jumlah individu dari jenis-jenis ahli waris yang berbeda.
- Selanjutnya angka yang didapat dikalikan dengan AM/asal masalah.
Contoh Tamatsul 1
Ahli waris |
Fardh |
AM = 24 x 4 (dari mutsbat 4) |
AM = 96 |
Ibu |
1/6 |
4 |
16 |
4 Istri |
1/8 |
3 mutsbat[1] 4 |
12 @ 3 |
4 anak |
sisa |
17 mutsbat 4 |
68 @ =17 |
Di sini ada dua angka yang tamatsul, yaitu 4, maka angka 4 dikali dengan asal masalahnya, yaitu 24, dan masalahnya pun akan selesai.
Contoh tamatsul 2
Ahli waris |
Fardh |
AM = 6 x 2 (dari mutsbat 2) |
AM = 12 |
Nenek |
1/6 |
1 |
2 |
2 saudara seibu |
1/3 |
2 mutsbat 2 |
4 @ 2 |
2 saudara seayah |
sisa |
3 mutsbat 2 |
6 @ = 3 |
Contoh tabayun
Seorang wafat meninggalkan 4 istri, 2 nenek, 3 saudara kandung dan saudara seayah.
Ahli waris |
Fardh |
AM = 12 x 12 (dari 4 x3) |
AM = 144 |
4 istri |
¼ |
3 mutsbat 4[2] |
36 @ 9 |
2 nenek |
1/6 |
2 |
24 @ 12 |
3 saudara kandung |
Sisa |
3 mutsbat 3 |
84 @ = 28 |
Saudara seayah |
mahjub |
0 |
|
Contoh tawafuq (angka wifq dari individu yang satu dikali dengan angka yang satunya)
Ahli warisnya adalah istri, seorang saudari kandung, 12 saudari seayah dan 10 paman kandung.
Ahli waris |
Fardh |
AM = 12 x 60 |
Ditashih menjadi = 720 |
Istri |
¼ |
3 |
180 |
Saudari kandung |
½ |
6 |
360 |
12 Saudari seayah |
1/6 |
2 mutsbatnya 12 |
120 @ 10 |
10 paman kandung |
Sisa |
1 mutsbatnya 10 |
60 @ 10 |
Angka 12 dan 10 adalah tawafuq, yaitu ketika dibagi 2. Wifq 12 adalah 6, sedangkan wifq 10 adalah 5. Kita boleh pilih antara 10 dikali wifq 12 (6), atau antara 12 dikali wifq 10 (5), Hasilnya sama-sama 60. Itulah angka komprominya.
Contoh ketika bercampur (ada tabayun, tadakhul dan tawafuq) adalah seorang wafat meninggalkan 4 istri, 5 saudara kandung, 12 saudara seayah, 10 anak saudara laki-laki dan paman kandung.
Cara penyelesaiannya adalah sbb:
Ahli waris |
Fardh |
AM = 12 x 60 |
Ditas-hih menjadi = 720 |
4 istri |
1/4 |
3 mutsbatnya 4 |
180 @ 45 |
5 Saudara kandung |
1/2 |
6 mutsbatnya 5 |
360 @ 72 |
12 saudara seayah |
1/6 |
2 mutsbatnya 6 |
120 @ 10 |
10 anak saudara laki-laki |
Sisa |
1 mutsbatnya 10 |
60 @ 10 |
Paman kandung |
Mahjub |
0 |
0 |
Dari mana kita mengetahui mutsbat dan bagaimana mengetahui tas-hihnya? Perhatikan penjelasan di bawah ini:
- 4 istri dengan bagiannya 3, adalah tabayun, maka ditetapkan (mutsbat) 4.
- 5 saudara kandung dengan bagiannya 6 adalah tabayun, maka ditetapkan 5.
- 12 saudara seayah dengan bagiannya 2 adalah tawafuq, maka ditetapkan 6.
- 10 anak saudara laki-laki dengan bagiannya 1 adalah tabayun, maka ditetapkan 10.
Di tabel ada 4 mutsbat, yaitu 4, 5, 6 dan 10.
5 dengan 10 adalah tadakhul, maka cukup dipakai 10 untuk menjadi angka kompromi.
4 dengan 6 adalah tawafuq, maka dicari wifq masing-masing, yaitu 2 dan 3.
Kemudian kita kalikan 2 x 6 atau 3 x 4 = 12. berarti angka komprominya adalah 12. Sekarang tinggal 12 dan 10, ternyata ada tawafuq juga, yaitu 60 (karena 12: 2 = 6 dan 10:2 = 5, lalu dikali secara bersilang dan hasilnya 60) lalu 60 dikalikan dengan asal masalah, yaitu 12 = 720.
Contoh lainnya adalah sbb.:
Seorang wafat meninggalkan 4 istri, 3 puteri dan 2 saudari kandung, maka penyelesaiannya seperti ini:
Ahli Waris |
Fardh |
AM = 24
Angka kompromi = 12 |
Tas-hih = 288 ( dari 24 x 12) |
4 istri |
1/8 |
3 mutsbat 4 |
36 @ = 9 |
3 puteri |
2/3 |
16 mutsbat 3 |
192 @ = 64 |
2 saudari kandung |
Sisa |
5 mutsbat 2 |
60 @ = 30 |
Di sini ada 3 mutsbat, yaitu 4, 3 dan 2. antara 4 dan 2 terjadi tadakhul, sehingga dipakai 4, dan antara 4 dengan 3 terjadi tabayun, maka tinggal dikali, dan jumlahnya 12. maka 12 dikali 24 hasilnya 288.
[1] Mutsbat maksudnya angka yang ditetapkan atau dianggap karena melihat jumlah individu ketika bagiannya tidak sesuai.
[2] Jika terjadi tabayun antara jumlah individu dengan bagian yang diperolehnya, maka yang ditetapkan (mutsbatnya) adalah jumlah individu.
13. Munasakhah
Dalam ilmu waris apabila ada seseorang yang meninggal dunia, maka hartanya semestinya segera diwariskan kepada ahli warisnya setelah kewajiban-kewajiban lain seperti yang sudah disebutkan (seperti wasiat, hutang dsb). Tetapi adakalanya, ahli waris yang berhak menerima harta itu meninggal terlebih dahulu sebelum harta tersebut dibagikan, sedangkan ia juga meninggalkan ahli waris lain. Jika terjadi kasus semacam ini, maka bisa dilakukan dua cara:
- Melakukan perhitungan secara terpisah. Dihitung berapa bagian ahli waris yang meninggal ini dari muwarritsnya, baru kemudian dibagi kepada ahli warisnya sendiri.
- Dengan menggunakan perhitungan langsung satu tabel. Inilah yang disebut perhitungan munasakhah.
Syarat Munasakhah:
- Adanya dua orang muwarrits yang meninggal. Yang pertama disebut muwarrits (yang meninggalkan warisan atau si mati) pertama, selanjutnya muwarrits kedua, dst.
- Muwarrits kedua harus salah satu dari ahli waris muwarrits pertama.
Cara membuat tabel munasakhah
Caranya adalah dengan menyelesaikan warisan dari muwarrits pertama dan meletakkan huruf w (wafat) sebagai tanda kematian ahli waris yang menjadi muwarrits kedua, selanjutnya ahli waris muwarrits pertama anda buatkan pembagian baru. Jika sebagai istri pada warisan pertama, bisa menjadi ibu pada warisan kedua, anda letakkan bagian ahli waris kedua di samping bagian pertama dari mayit pertama, dan jika ada ahli waris yang baru seorang atau lebih, maka anda letakkan di bagian bawah kotak pertama kemudian anda selesaikan masalahnya dan melihat asal masalah dengan bagian yang yang akan diperoleh si mati (untuk lebih jelas lihat tabelnya).
Jika bagian dapat dibagi kepada warisan kedua (tamatsul), maka masalahnya selesai seperti pada pembagian warisan yang pertama.
Contohnya adalah seorang istri wafat meninggalkan suami, ibu, seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan, lalu suami itu wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang telah disebutkan, maka masalah pertama adalah 12 dan diadakan pembetulan menjadi 36 karena inkisar (tidak terbagi) kepada bagian anak laki-laki dan anak perempuan, adapun asal masalah kedua adalah 3; bagian suami yang meninggal adalah 9 dan bisa dibagi kepada warisan kedua yaitu 3 dan masalahnya jika dibetulkan menjadi 36, lalu anda letakkan pada kotak akhir yang disebut jami’ah munasakhah warisan yang sah untuk dilakukan pembagian yaitu 36, kemudian anda pindahkan bagian ahli waris dan anda letakkan di bawahnya. Orang yang tidak memiliki sesuatu bagian pada warisan kedua, anda bisa letakkan bagiannya dari warisan pertama sejajar di depannya di bawah kotak munasakhah, sedangkan orang yang memiliki bagian pada warisan kedua, maka anda kalikan dengan angka yang berada di atas jami’ah faridhah (kotak warisan kedua), hasilnya anda tambahkan dengan bagiannya pada warisan pertama jika ia punya bagian di sana dan anda letakkan di depannya di jami’ah munasakhah (kotak terakhir) seperti ini:
3 kepala 3 kepala
Ahli Waris |
AM = 12 x 3 (jumlah kepala) |
36 |
Ahli waris |
3 |
36 |
Suami |
¼ yaitu 3 |
9 |
W (wafat) |
|
|
Ibu |
1/6 yaitu 2 |
6 |
|
|
6 |
Anak lk. |
7
|
14 |
Anak lk. |
2 |
20 (dari 6[1] + 14) |
Anak Pr. |
7 |
Anak Pr. |
1 |
10 (dari 3[2] + 7) |
Ini adalah contoh tamatsul. Contoh lain tamatsul adalah seorang wafat meninggalkan suami, ibu dan paman. Sebelum harta dibagi suami menyusul mati dengan meninggalkan 3 orang anak laki-laki, maka penyelesaiannya adalah sbb.:
Ahli Waris I
|
Fardh
|
AM = 6
|
Ahli Waris II
|
AM
=
3
|
AM = 6
|
Suami |
½ |
3 |
W |
|
|
Ibu |
1/3 |
2 |
|
|
2 |
Paman |
Sisa |
1 |
|
|
1 |
|
3 anak lk. |
3 |
3 |
Contoh Tawafuq
Tetapi jika bagian dari mayit kedua tidak dapat terbagi pada warisan kedua, maka anda memprosesnya dengan teori tawafuq dan takhaluf/tabayun. Jika bagian mayit kedua tawafuq dengan asal masalah kedua di salah satu nisbah (pembagi) paling kecil, maka anda ambil angka wifq bagian mayit kedua kemudian anda letakkan di atas warisan pertama, kemudian anda mengalikan dengannya, hasilnya anda letakkan di depannya yaitu di kotak munasakhah, lalu anda kalikan bagian ahli waris dengan angka wifq di atas asal masalah pertama, hasilnya anda letakkan di bawah jami’ah munasakah, dan jika ia memiliki bagian pada warisan kedua, maka anda kalikan dengan angka di atas asal masalah kedua, hasilnya anda gabungkan bagiannya dari warisan pertama jika punya, lalu totalnya anda letakkan di depannya di bawah kotak munasakhah, contohnya seperti ini:
Seorang wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudari kandung, lalu anak perempuan wafat meninggalkan ibunya yang merupakan istri pada warisan pertama, dan meninggalkan pula suami dan anak laki-laki, maka asal masalalahnya adalah 8, sedangkan yang kedua adalah 12, antara bagian wanita yang wafat ini yaitu 4 dengan asal masalah kedua yaitu 12 terdapat tawafuq yaitu seperempat, lalu wifq 4 yaitu 1 (dari 4:4) ditaruh di atas kotak warisan kedua, dan wifq warisan kedua yaitu 3 (dari 12:4) di atas warisan pertama, lalu dilakukan pembagian berikut:
3 1
Ahli Waris |
AM = 8 |
Ahli Waris |
AM = 12 |
24 (dari 8 x 3) |
Istri |
1/8 yaitu 1 |
Ibu |
1/6 yaitu 2 |
5 (dari 1 x 3 + 2) |
Anak pr. |
½ yaitu 4 |
W |
|
|
Saudari kandung |
Sisa, yaitu 3 |
|
|
9 (3 x 3) |
|
|
Suami |
¼ yaitu 3 |
3 (dari 3 x 1) |
|
|
Anak lk. |
7 |
7 (dari 7 x 1) |
Contoh Tabayun
Tetapi jika terjadi tabayun bagian mayit kedua dengan asal masalah kedua, maka anda ambil semua bagian (setelah ditotalkan) dan anda taruh sebagai asal masalah kedua, lalu anda ambil asal masalah kedua kemudian anda letakkan di atas warisan pertama dan anda kalikan dengannya, hasilnya anda letakkan di kotak munasakhah dan proses penyelesaian dilakukan seperti sebelumnya. Contoh: seorang wafat meninggalkan istri, tiga anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, lalu istri wafat meninggalkan tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa si istri tidak meninggalkan ahli waris baru sehingga ditaruh di jadwal di bawah yang pertama.
Tabelnya adalah sbb.:
7
Ahli Waris
I
|
AM = 8 |
Ahli Waris II
|
AM = 7 |
56 (dari 8 x 7) |
Istri |
1 |
W |
|
|
Anak lk. |
2 |
Anak lk. |
2 |
16 (dari 2 x 7 + 2) |
Anak lk. |
2 |
Anak lk. |
2 |
16 |
Anak lk. |
2 |
Anak lk. |
2 |
16 |
Anak pr. |
1 |
Anak pr. |
1 |
8 (dari 1 x 7 + 1) |
[1] 6 adalah hasil dari perkalian antara 2 dan 3 (yang diletakkan di atas)
[2] 3 adalah hasil dari perkalian antara 1 dan 3.
14. Khuntsa Musykil
Yang dimaksud khuntsa musykil adalah orang yang lahir dalam keadaan tidak jelas kelaminnya laki-laki atau perempuan, maka ditunggu sampai baligh agar jelas keadaannya. Jika pembagian warisan ingin segera diterapkan kepadanya, maka cara yang dianut sebagian ahli ilmu adalah diberikan separuh bagian laki-laki dan separuh bagian perempuan.
Cara pembagiannya adalah dengan membuat dua perhitungan yang satu sebagai laki-laki dan yang satu lagi sebagai perempuan. Hal ini apabila khuntsa musykil tersebut hanya seorang saja, jika dua, maka warisan dibuat empat kali.
Setelah itu anda lihat warisan dengan empat teori hingga anda menjadikannya sebagai satu bilangan, kemudian anda mengalikan hasil penglihatan itu dengan sejumlah kondisi, hasilnya anda jadikan sebagai sebagai asal masalah kemudian anda letakkan di kotak setelah kotak pokok warisan, kemudian anda membaginya dengan masing-masing pokok warisan (asal masalah) dan hasilnya anda letakkan di atasnya. Kemudian anda kalikan bagian setiap ahli waris dari setiap pokok warisan dengan angka yang ada di atasnya, dan hasil dari pengkalian anda satukan, kemudian hasilnya anda bagi dengan semua kondisi khuntsa musykil, hasilnya anda taruh di depan ahli waris di bawah kotak yang besar (terakhir), lalu anda total bagian ahli waris, jika sama jumlahnya dengan jumlah pokok warisan (asal masalah), maka prosesnya benar, tetapi jika tidak maka salah.
Contoh I: Seorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dan khuntsa musykil, maka yang perlu diperhatikan adalah:
6 4
Ahli Waris |
2 |
3 |
12 |
Anak laki-laki |
1 |
2 |
7 |
Khuntsa |
1 |
1 |
5 |
Inilah separuh bagian laki-laki dan separuh bagian perempuan yang diberikan kepada khuntsa.
- Kita tetapkan bahwa untuk khuntsa musykil ada dua kali dengan dua asumsi; asumsi sebagai laki-laki dan asumsi sebagai perempuan.
- Kita perhatikan antara kedua asal masalah tersebut ternyata kita temukan bahwa di antara keduanya terjadi takhaluf, maka kita kali antara asal masalah satu dengan yang satu lagi sehingga jumlahnya 6, lalu kita kali dengan jumlah kondisi, yaitu 2 (kondisi sebagai laki-laki dan kondisi sebagai perempuan) sehingga menjadi 12, maka kita letakkan pada kotak tas-hih (pelurusan).
- Kita membagi asal masalah pada kota tas-hih yaitu 12 dengan masing-masing pokok warisan (asal masalah), maka pada kotak pertama keluarlah angka enam lalu kita taruh di atasnya, dan pada kotak kedua keluarlah angka 4, lalu kita letakkan pula di atasnya.
- Kita kali bagian setiap ahli waris pada kedua model warisan dengan angka di atasnya, sehingga hasilnya untuk khuntsa adalah 10, kemudian kita bagi dengan total kondisinya yaitu dua, dan hasilnya adalah 5, lalu kita taruh di depannya di bawah kotak tas-hih, dan itulah bagiannya. Total bagian anak laki-laki adalah 14, lalu kita bagi dengan total kondisinya, yaitu 2, dan hasilnya 7, kemudian kita taruh di depannya di bawah kotak tas-hih, dan itulah bagiannya.
Contoh II : jika seorang wafat meninggalkan dua anak laki-laki dan seorang khuntsa.
10 6
Ahli Waris |
3 |
5 |
30 (dari 15 x 2 kondisi) |
Anak lk. |
1 |
2 |
11 |
Anak lk. |
1 |
2 |
11 |
Khuntsa |
1 |
1 |
8 |
Penyelesaiannya tidak berbeda dengan cara sebelumnya. Namun sebagian ahli ilmu ada yang menggunakan cara lain, yaitu dengan memberikan kepadanya bagian yang paling kecil dari kedua warisan, sedangkan sisanya ditahan sampai jelas keadaan yang masih musykil tadi atau mereka melakukan shulh (damai) terhadap pembagiannya. Cara penyelesaiannya adalah dengan menetapkan khuntsa sebagai wanita untuk hak dirinya agar dia memperoleh bagian terkecil yang pasti, dan ditentukan laki-laki untuk hak orang lain agar orang lain itu mempunyai bagian terkecil yang pasti, sedangkan sisanya ditahan.
Contoh: seorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang khuntsa, maka dibuatkan dua perhitungan, yang pertama sebagai anak laki-laki sehinga asal masalahnya 2, sedangkan pada perhitungan kedua sebagai anak perempuan, sehingga asal masalahnya 3, lalu dilihat antara keduanya ternyata terjadi takhaluf, maka dikalikan antara keduanya sehingga hasilnya 6, kemudian dijadikan di jami’ah tas-hih (kotak pelurusan), lalu bagian setiap ahli waris digabungkan pada kedua perhitungan dan ditaruh di depannya di bawah jami’ah tas-hih, sehingga bagian anak laki-laki adalah tiga, sedangkan bagian khuntsa adalah adalah dua, tinggallah satu, lalu ditunda sampai jelas keadaan khuntsa, jika sebagai laki-laki, maka diberikan kepadanya dan jika sebagai perempuan, maka diberikan kepada anak laki-laki tersebut, jika masih musykil keadaannya, maka mereka mengadakan shulh di antara mereka. Contohnya:
Ahli Waris |
2 |
3 |
6 |
Anak lk. |
1 |
2 |
3 |
Khuntsa |
1 |
1 |
2 |
Yang perlu diingat, ada satu yang masih tersisa karena kotak jami’ah tas-hih adalah 6, sedangkan total jumlahnya hanya lima, untuk sisanya yaitu satu ditahan sampai jelas keadaannya.
15. Janin
Untuk janin, para ahli waris boleh tidak melakukan pembagian tarikah sampai janin lahir, setelah itu dibagikan warisan. Jika mereka mau, maka mereka boleh menyegerakan pembagian, hanyasaja mereka harus melakukan dengan cara penyelesaian khuntsa yang terakhir, yaitu dengan diberikan kepada para ahli waris yang terpengaruh dengan adanya janin, keadaannnya sebagai laki-laki atau perempuan yaitu dengan diberi bagian terkecil yang pasti, dan ditahan sisanya sampai janin lahir. Contoh: Seorang wafat meninggalkan istri yang hamil, maka istri mewarisi dengan adanya janin dan lahir dalam keadaan hidup, sehingga bagiannya 1/8, dan si istri mewarisi dengan tanpa janin atau lahir dalam keadaan mati yaitu dengan mendapatkan ¼, sehingga diberikan kepadanya 1/8 karena itulah yang pasti. Sedangkan sisanya, maka sampai janin terlahir, jika lahir dalam keadaan hidup, maka si istri tidak mendapat bagian itu, tetapi jika lahir dalam keadaan meninggal, maka disempurnaka untuknya menjadi ¼ yang memang fardhnya jika tidak ada anak.
16. Mafqud (Orang Hilang)
Jika salah satu ahli waris hilang, kemudian ahli waris lainnya ingin melakukan pembagian warisan sebelum adanya kepastian kematian orang hilang tersebut atau vonis kematiannya, maka mereka menyikapinya seperti halnya para ahli waris yang ada janin, yaitu dengan diberikan bagian yang paling kecil yang pasti, dan ditahan sisanya sampai dijatuhkan vonis kematian orang yang hilang atau hidupnya. Contoh: Seorang wafat meninggalkan dua anak laki-laki yang satunya hilang, maka anak yang ada diberikan ½, karena itulah yang pasti, sedangkan sisanya ditahan sampai jelas kematian orang yang hilang atau hidup.
Contoh lainnya adalah seorang wafat meninggalkan istri, ibu dan dua saudara yang satunya mafqud (hilang), maka istri mendapatkan ¼ karena tidak terpengaruh dengan keberadaan mafqud dan ketidakadaannya, adapun ibu, maka ia mendapatkan 1/6, karena itulah yang pasti, sedangkan saudara laki-laki diberikan separuh dari sisanya, karena itulah yang pasti, sedangkan sisanya ditahan. Jika jelas hidup orang yang hilang, maka sisanya menjadi bagiannya sehingga ia ambil secara sempurna, tetapi jika jelas kematiannya, maka sisanya disempurnakan untuk ibu agar mendapat 1/3, sisanya untuk saudara laki-laki, sehingga masalahnya adalah 12 dan diadakan tas-hih menjadi 24, gambarannya sbb.:
1 2
Ahli Waris |
12 |
24 |
12 |
24 |
Istri |
3 |
6 |
3 |
6 |
Ibu |
2 |
4 |
4 |
4 |
Saudara lk. |
7 |
7 |
5 |
7 |
Saudara lk. mafqud |
|
7 |
0 |
0 |
Yang perlu diperhatikan di sini adalah:
- Kita adakan dua warisan, yang pertama jika si mafqud dianggap hidup, dan asal masalahnya adalah 24 karena terjadi inkisar (tidak terbagi) pada bagian dua saudara, dan yang kedua jika si mafqud dianggap sudah mati, maka asal masalahnya adalah 12.
- Kita perhatikan antara kedua asal masalah tersebut (24 dan 12), maka kita temukan terjadi tawafuq dengan setengah dari seperenam, maka kita letakkan wifq asal masalah pertama yaitu 2 di atas asal masalah kedua, dan wifq asal masalah kedua yaitu satu di atas asal masalah pertama, lalu kita kalikan dengan pokok warisan dan hasilnya 24, kemudian kita letakkan di kotak terakhir sebagai kotak tas-hih.
- Kita memberi bagian yang terkecil yang pasti pada ahli waris yang terpengaruh dengan masih hidupnya orang yang hilang. Kita kalikan bagian istri, yaitu 6 dengan angka di atas asal masalah pertama dan hasilnya 6, lalu kita letakkan secara sejajar di bawah kotak tas-hih, dan kita kalikan bagian saudara yang masih ada yaitu 7 dengan angka di atasnya juga, dan hasilnya 7, lalu taruh di bawah jami’ah tas-hih secara sejajar dengan sebelumnya.
- Total bagian di bawah kotak tas-hih adalah 17 bagian dari 24, sisanya adalah 7, lalu ditahan sampai ditetapkan mati atau hidup, jika ditetapkan hidup, maka diambil secara sempurna dan itulah bagiannya, tetapi jika ditetapkan mati, maka sepertiganya milik ibu, jadi total bagian ibu adalah 8, sedangkan sisanya disatukan dengan bagian saudara laki-laki sehingga bagiannya menjadi 10. inilah yang dinginkan.
17. Orang yang tenggelam dan orang-orang yang sepertinya
Adapun orang yang tenggelam dan orang-orang yang sepertinya seperti yang tertimpa reruntuhan dan orang yang terbakar, maka menurut ahli ilmu adalah bahwa antara mereka tidak saling mewarisi dari yang lain, dan masing-masing mereka mewariskan harta kekayaannya kepada ahli warisnya tanpa mendapatkan warisan dari korban musibah satunya.
Contoh:
Dua orang bersaudara meninggal dunia karena kecelakaan dan tidak diketahui siapa di antara mereka yang lebih dulu meninggal. Yang satu meninggalkan istri, putri dan pamannya, sedangkan yang satu lagi meninggalkan dua puteri dan paman yang telah disebutkan, maka masing-masing dari keduanya diwarisi oleh ahli warisnya saja. Jadi, istri mewarisi yang pertama dengan mendapatkan 1/8, demikian pula puterinya mewarisi dengan bagian ½ sedangkan sisanya untuk paman, adapun yang kedua diwarisi oleh dua puterinya dengan mendapatkan 2/3, sedangkan sisanya yaitu 1/3 adalah untuk paman.
18. Dzawul Arham
Dzawul arham adalah kerabat yang bukan termasuk as-habul furudh dan bukan ‘ashabah seperti khal (paman dari pihak ibu) dan khalah (bibi dari pihak ibu), ‘ammah (bibi dari pihak bapak), puteri paman, putera saudari, puteri saudari, anak-anak puteri, dan setiap kerabat yang bukan ahli waris karena ia bukan termasuk as-habul furudh dan bukan ‘ashabah.
a) Hukum kewarisan mereka
Para ulama berbeda pendapat tentang kewarisan dzawul arham, sebagian sahabat, tabi’in dan imam berpendapat bahwa mereka tidak mendapat warisan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala sendiri yang mengatur pembagian warisan dalam kitab-Nya, dan DIa membatasi hanya sampai As-habul furudh dan ‘ashabah. Di antara ulama yang berpendapat, bahwa mereka tidak mendapatkan warisan adalah Imam Malik dan Imam Syafi’I rahimahumallah.
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa mereka mendapatkan warisan adalah Abu Hanifah dan Ahmad rahimahullah. Mereka berdalih dengan hadits, “Al Khaalu waaritsu man laa waaritsa lah.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, namun dalam sanadnya terdapat kelemahan).
Di antara kedua pendapat di atas yang rajih, adalah pendapat yang mengatakan bahwa mereka mendapatkan warisan. Oleh karena itu, banyak fuqaha’ dari kalangan madzhab Maliki dan Syaf’i yang berpendapat bahwa mereka mendapatkan warisan. Hal itu, karena dzawil arham adalah kerabat, sedangkan kerabat wajib disambung hubungannya, dan lagi karena mereka mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal, baik hubungan kerabat maupun hubungan Islam. Berbeda dengan Baitul mal, karena yang meninggal tidak berhubungan dengan Baitulmal selain Islam. Terlebih mereka mensyaratkan, bahwa Baitulmal tersebut harus teratur, pengurusnya orang yang adil, pengawasnya orang yang amanah, dan dialihkan harta itu untuk maslahat umum kaum muslimin, sedangkan syarat-syarat ini jarang terwujud.
b) Cara pemberian warisan kepada Dzawul arham
Mereka diberi warisan dengan diposisikan sesuai orang yang menghubungkannya dari kalangan As-habul furudh dan ‘ashabah, lalu diberikan salah seorang di antara mereka sesuai yang diberikan kepada orang yang menghubungkannya (as-habul furudh atau ‘ashabah) oleh muwarritsnya dan menempati posisinya. Oleh karena itu, jika seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri, putera dari saudari, maka warisan dibagi dua setengah-setengah. Untuk puteri dari puteri mendapatkan setengah, karena itu merupakan warisan ibunya, sedangkan bagi putera dari saudari mendapatkan ½ pula sebagai warisan ibunya, karena jika seorang wafat meninggalkan puteri dan saudari, tentu harta dibagi dua bagian, masing-masingnya setengah, dimana bagian puteri adalah setengah, sedangkan bagian saudari adalah setengah. Jika saudari tersebut adalah sekandung dan ia bersama puteri dari saudara seayah, maka puteri dari saudara tersebut tidak mendapatkan apa-apa, karena yang menghubungkannya adalah saudara seayah yang termahjub oleh saudari sekandung, sehinga warisan hanya dibagi antara puteri dari puteri dan putera dari saudari yaitu setengah-setengah, seperti ini:
Ahli Waris |
AM = 2 |
Puteri dari puteri |
1 |
Puteri saudari sekandung |
1 |
Puteri saudara seayah |
0 |
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan puteri saudari sekandung, puteri saudari seayah, putera saudari seibu, puteri paman sekandung, maka untuk puteri dari saudari sekandung adalah setengah sebagai warisan bagi ibunya yang si anak ini menduduki posisinya, untuk puteri saudari seayah mendapatkan seperenam untuk menyempurnakan 2/3, ia merupakan warisan ibunya yang menduduki posisinya, sedangkan untuk putera saudari seibu mendapatkan 1/6 sebagai bagian ibunya, adapun sisanya, maka untuk puteri paman sekandung mendapatkan bagian pewarisnya yang menjadi ‘ashabah yaitu paman, seperti inilah contohnya:
Ahli Waris |
Fardh |
AM = 6 |
Puteri saudari sekandung |
½ |
3 |
Puteri saudari seayah |
1/6 |
1 |
Putera saudari seibu |
1/6 |
1 |
Puteri paman sekandung |
Sisa |
1 |
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri, putera dari saudari sekandung, putera dari saudari seibu, puteri dari saudara seayah, sehingga untuk puteri dari puteri adalah ½ sebagai bagian warisan ibunya yang menduduki posisinya, untuk putera dari saudari sekandung adalah setengah sebagai bagian ibunya yang menduduki posisinya, sedangkan untuk putera dari saudari seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ibunya yang menduduki posisinya tidaklah menjadi ahli waris karena termahjub oleh puteri sekandung, sebagaimana puteri dari saudara seayah juga tidak memperoleh apa-apa, karena yang menghubungkannya yaitu saudara seayah termahjub oleh saudari sekandung. Seperti inilah gambarannya:
Ahli Waris |
AM = 2 |
Puteri dari puteri |
1 |
Puteri saudari sekandung |
1 |
Puteri saudari seibu |
0 |
Puteri dari saudara seayah |
0 |
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak bapak, maka untuk bibi dari pihak ibu mendapatkan 1/3, karena itulah warisan ibu yang menhubungkannya kepada yang meninggalkan warisan. Untuk bibi dari pihak bapak adalah 2/3 sisanya, karena itulah warisan orang yang menghubungkannya yaitu bapak, sedangkan bapak adalah ‘ashabah ia mewarisi sisa as-habul furudh, seperti ini:
Ahli Waris |
AM = 3 |
Khalah (Bibi dari pihak ibu) |
1 |
‘Ammah (Bibi dari pihak bapak) |
2 |
Catatan:
- Dzawul arham tidaklah mendapat warisan jika masih ada as-habul furudh atau ‘ashabah, karena sisanya dari as-habul furudh dikembalikan kepada as-habul furudh sampai tidak tersisa sesuatu pun, kecuali jika as-habul furudhnya salah satu dari suami-istri, maka ketika itu diberikan kepada dzawul arham. Misalnya, seorang wafat meninggalkan saudara seibu atau seayah dan ‘ammah (bibi dari pihak bapak), maka ia (saudara) mengambil semua bagiannya, dan ‘ammah tidak mendapatkan apa-apa, karena ia termasuk dzawul arham, dan tidak ada dari warisan yang diberikan kepadanya. Demikian pula jika seorang wafat meninggalkan ibu dan khalah, maka harta untuk ibu sebagai as-habul furudh dan mendapatkan radd, sedangkan khalah tidak mendapatkan apa-apa. Adapun jika seorang wafat meninggalkan istri dan puteri dari saudara laki-laki, maka istri mendapatkan ¼ sebagai fardhnya, sedangkan sisanya untuk puteri dari saudara, karena ia menduduki posisi bapaknya yang menjadi ‘ashabah yang mengambil sisa fardhnya.
- Dzawul arham ketika berkumpul bersama, maka dilihat keadaan mereka, dan bahwa seakan-akan mereka adalah ahli waris yang asli dari kalangan as-habul furudh dan ‘ashabah, sehingga yang lebih tinggi memahjub yang berada di bawahnya, dan yang sekandung memahjub yang seayah. Ketika terjadi kesamaan derajatnya dan kedekatannya, maka mereka sama dalam warisan, dimana salah satunya tidak lebih dari yang lain dan untuk laki-laki dua kali bagian perempuan. Contohnya adalah seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri, puteri dari puteri dari puteri atau putera dari puteri dari puteri, maka harta untuk puteri dari puteri saja, adapun puteri dari puteri dari puteri tidaklah memperoleh apa-apa, demikian pula putera dari puteri dari puteri, karena puteri dari puteri lebih tinggi derajatnya dan yang tinggi memahjub yang rendah. Contoh lainnya adalah seorang wafat meninggalkan puteri dari saudara sekandung dan puteri dari saudara seayah, maka harta untuk puteri dari saudara sekandung, sedangkan untuk puteri dari saudara seayah tidaklah memperoleh apa-apa karena saudara sekandung memahjub saudara seayah. Oleh karena itu, diperhatikan siapa yang mewarisi dan yang termahjub, maka yang memnghubungkan dengan ahli waris menjadi mewarisi sedangkan yang menghubungkan dengan selain ahli waris, maka tidaklah mewarisi. Misalnya seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri dari anak laki-laki dan putera dari putera dari puteri, maka harta untuk puteri dari puteri dari anak laki-laki, sedangkan putera dari putera dari puteri tidaklah memperoleh apa-apa, karena ia meskipun sama derajatnya, sampai kepada yang wafat itu dua derajat, hanyasaja puteri dari puteri dari anak laki-laki telah menghubungkan dengan ahli waris sehingga mewarisi, adapun putera dari putera dari puteri, maka ia menghubungkan dengan selain ahli waris sehingga tidak mewarisi, karena putera dari putera itu ahli waris, sedangkan putera dari puteri bukanlah ahli waris.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
oleh Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Minhaajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Al Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Saabiq), Al Faraa’idh (A. Hassan), Belajar Mudah Ilmu Waris (Anshari Taslim, Lc) dll.
Read more https://yufidia.com/belajar-ilmu-waris-fiqh-faraidh-bag/