Hasan Al-Bashri
A. Nama dan Kelahirannya
Ḥasan al-Baṣrī merupakan sosok tokoh yang sangat menakjubkan, kisah kehidupannya patut ditiru, akhlak dan keteguhannya layak dicontoh, keselarasan ilmu dan amalnya pantas dijadikan teladan. Nasihat-nasihatnya bagai butir-butir mutiara yang kemilaunya tidak sirna sepanjang masa.
Nama lengkapnya adalah Abū Sa’īd al-Ḥasan bin Abi al-Ḥasan al-Baṣrī.[1] Ayahnya, Yasar, adalah seorang budak tawanan dari Maisan (distrik antara Basrah dan Wasiṭ). Setelah ia dibebaskan oleh tuannya di Madinah, ia menikahi pembantu (mantan budak) Ummu Salamah al-Makhzūmiyah yang bernama Khairah.[2]
Dari pernikahan mereka, lahirlah seorang tokoh umat, panutan sepanjang zaman, Ḥasan al-Baṣrī. Ia lahir dua tahun sebelum berakhirnya pemerintahan Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu.[3] Jika pemerintahan Umar bin al-Khaṭṭāb dimulai tahun 13 H hingga 23 H, maka dapat diperkirakan bahwa tahun kelahiran al-Ḥasan al-Baṣrī adalah sekitar tahun 21 H.
Meskipun ayah dan ibu Ḥasan al-Baṣrī adalah mantan budak, namun ia hidup dalam kasih sayang keluarga Nabi ﷺ dan para sahabatnya raḍiyallāhu ‘anhum. Cinta kasih Ummu al-Mukminin, Ummu Salamah, sering tercurahkan kepada al-Ḥasan kecil, karena ibunya bekerja di rumah Ummu Salamah. Kefasihan lisannya dan kecerdasan akalnya diserap dari berkah Ummul Mukminin ini raḍiyallāhu ‘anhā. Bahkan al-Ḥasan kecil pernah didoakan oleh Khalifah Umar bin al-Khaṭāb,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ، وَحَبِّبْهُ إِلَى النَّاسِ
“Ya Allah, jadikanlah ia faqīh dalam agama, dan dicintai manusia.”[4]
Ia dikenal dengan nisbat-nya yaitu al-Baṣrī, karena seluruh keluarganya berhijrah dari Madinah ke Baṣrah dan menetap di sana. Ketika itu, Ḥasan al-Baṣrī berusia sekitar 15 tahun, setelah terjadi perang Jamal di tahun 36 H.[5]
Siapa saja yang melihat Ḥasan al-Baṣrī, akan kagum dengan ketampanan wajahnya dan keindahan akhlaknya. Al-Zahabi (w. 748 H) menuturkan tentang ciri fisik dan kemuliaan sifatnya: postur tubuhnya sempurna, wajahnya tampan, parasnya menarik dan sangat pemberani.[6]
Al-Mizzī meriwayatkan bahwa sebelum al-Asy’aṡ bin Sawār dan ‘Aṣim al-Ahwal ke Baṣrah, mereka lebih dulu bertanya kepada al-Sya’bī (w. 104 H) tentang ciri-ciri Ḥasan al-Baṣrī, lalu al-Sya’bi berkata, “Jika Anda tiba di Baṣrah, perhatikanlah lelaki yang paling tampan, parasnya paling menarik, di Baṣrah tidak ada lelaki semisalnya (dalam warak, zuhud dan keidahan wajah), itulah Ḥasan al-Baṣrī, apabila Anda menemuinya sampaikan salamku padanya.”[7]
B. Perkembangan Keilmuannya
Ḥasan al-Baṣrī tumbuh di kota Madinah dalam keluarga yang penuh takwa. Kedua orang tuanya memiliki cita-cita mulia untuk semua anak-anak mereka. Ḥasan al-Baṣrī memiliki dua orang saudara yang memiliki tingkat keilmuan dan ketakwaan yang sangat tinggi, yaitu Sa’īd bin Abi al-Ḥasan dan ‘Ammār bin Abī al-Ḥasan.[8]
Sejak kecil Yasar dan Khairah telah membimbing Ḥasan al-Baṣrī agar fokus memperdalam ilmu agama dan ia pun berhasil menghafal Al-Qur’an sebelum mencapai usia balig.[9]
Berbeda dari sebagian pemuda di zaman ini, Ḥasan al-Baṣrī tidak menyia-nyiakan masa mudanya dalam kelalaian, akan tetapi waktu baginya bagaikan emas, yang tak boleh dilalui tanpa ada tindakan yang berharga. Di usia remaja, ia selalu ikut berjihad bersama kaum muslimin, menekuni ilmu dan mengamalkannya.
Perkembangan keilmuan Ḥasan al-Baṣrī dapat dibagi dalam dua babak, pertama, saat ia dan keluarganya masih tinggal di Madinah, dan kedua, setelah keluarganya berhijrah dan memutuskan untuk menetap di Baṣrah.
Di masa pemerintahan Uṡmān bin ‘Affān (dari 23-35 H), Madinah bukan hanya ibu kota kekhilafahan, tetapi juga merupakan salah satu markaz dan destinasi ilmu Islam. Hal itu disebabkan karena masih banyak para sahabat yang bermukim di dalamnya.
Di Madinah, Ḥasan al-Baṣrī gemar menghadiri majelis-majelis ilmu di masjid Nabawi. Ia sering berkunjung kepada para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum, untuk menimba ilmu dari mereka. Ḥasan al-Baṣrī juga menuturkan bahwa ia sering mendatangi rumah-rumah Rasulullah ﷺ -yang atapnya bisa diraih oleh anak remaja- agar bisa belajar dari Ummahātul Mu’minīn.[10]
Ia juga tak luput mendengarkan mutiara-mutiara ilmu dari khotbah Khalifah Uṡmān bin Affān di setiap salat Jumat di Masjid Nabawi. Ketika Khalifah Uṡmān bin Affān terbunuh oleh kaum Khawarij, Ḥasan al-Baṣrī saat itu berumur 14 tahun.[11]
Semangat Ḥasan al-Baṣrī dalam menuntut ilmu bagai cahaya mentari yang tak pernah padam. Setelah keluarganya pindah ke Baṣrah, Ḥasan al-Baṣrī tetap belajar dan menuntut ilmu dari sahabat-sahabat Nabi dan ulama-ulama besar yang berdomisili di sana.
Dari kesungguhannya dalam menuntut ilmu, Allah ﷻ mengaruniakan baginya derajat yang tinggi, lisan yang fasih, keberkahan dalam ilmu. Nasihat-nasihatnya sarat akan pelajaran, wejangan-wejangannya penuh dengan ilmu dan sastra yang menyerupai lisan seorang Nabi. Sulaiman bin Mihrān al-A’masy (w. 148 H) pernah berkata,
مَا زَالَ الْحَسَنُ البَصْرِيّ يَعِي الحِكْمَةَ حَتَّى نَطَقَ بِهَا، وَكَانَ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَ أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيّ بْنِ الحُسَيْنِ قَالَ: ذَاكَ الَّذِي يُشْبِهُ كَلاَمُهُ كَلاَمَ الأَنْبِيَاءِ
“Kata-kata hikmah selalu menghiasi lisan Ḥasan al-Baṣrī, jika Abū Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain mendengar namanya, ia berkata, ‘Itulah orang yang ucapannya menyerupai ucapan para Nabi’.”[12]
Dalam beberapa literasi tentang biografi Ḥasan al-Baṣrī disebutkan bahwa ia memiliki keakraban dengan Sa’īd bin al-Musayyib. Acap kali Ḥasan al-Baṣrī mengirim surat kepadanya di Madinah jika ada masalah yang ingin ditanyakannya. Imran bin Ḥuṣain menuturkan, “Tidak pernah kami mendapatkan kontradiksi fatwa dari kedua ulama ini (Ḥasan al-Baṣrī dan Sa’īd bin al-Musayyib).”[13]
C. Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Luasnya wawasan dan dalamnya ilmu keislaman Ḥasan al-Baṣrī, tidak luput dari bimbingan guru-guru terbaiknya. Ḥasan al-Baṣrī berguru kepada banyak sahabat Nabi, di antaranya adalah, Anas bin Malik, Abdullāh bin ‘Abbās, Abdullāh bin ‘Umar, Abdullāh bin ‘Amr bin al-Aṣ, Abū Mūsa al-‘Asy’arī, Jābir bin Abdillāh al-Anṣārī, Jundub bin Abdillāh al-Bajalī, dan yang lainnya.[14]
Dari hasil didikannya, lahirlah ulama-ulama besar yang menebarkan kebaikan Islam sepeninggalnya. Di antara murid-muridnya adalah Ayūb al-Sikhtiyānī, Qatādah bin Di’āmah al-Sadūsī, Khālid bin Mihrān al-Hażā’, Humaid al-Ṭawīl, Hisyam bin Hassan, Jarīr bin Hazim, Yazīd bin Ibrāhim al-Tusturi, Simāk bin Harb, dan yang lainnya.[15]
Kontribusi Ḥasan al-Baṣrī dalam menjaga sunnah Rasulullah ﷺ sangat besar, namanya kerap tergabung dalam rantai sanad periwayatan, lembar-lembar al-kutub al-tis’ah (sembilan kitab pokok hadis) mengabadikan namanya sebagai salah satu pewari yang ṡiqah. Ibnu Hajar (w. 852 H) berkata, “Ia adalah perawi yang ṡiqah, pakar fikih, memiliki keutaman dan sangat masyhur, namun ia juga dikenal sebagai perawi yang banyak melakukan tadlīs dan irsal.[16]
Para pakar sejarah menyebutkan bahwa di masa hidupnya, Ḥasan al-Baṣrī pernah mengemban beberapa amanah jabatan, di antaranya adalah menjadi sekretaris gubernur Khurasan, al-Rabī’ bin Ziyād al-Hāriṡī, di masa pemerintahan Mu’āwiyah bin Abī Sufyān.[17]
Selanjutnya ia juga pernah menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan ‘Umar bin Abdul Azīz (w. 101 H) di wilayah Basrah. Dalam masa jabatannya sebagai hakim, demi menegakkan keadilan dan membela kebenaran, Ḥasan al-Baṣrī tidak pernah mengambil gaji dari pemerintah, tidak pula menerima upah dari siapapun.[18]
D. Apresiasi Ulama Terhadapnya
Sebagai imam besar bagi para tabi’īn di ṭabaqah (level) ketiga, Ḥasan al-Basri banyak mendapatkan pujian dan apresiasi dari para tokoh di zamannya, mulai dari kalangan tabi’īn hingga kalangan sahabat Nabi.
Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Bertanyalah kepada Ḥasan al-Basri, karena banyak ilmu yang ia telah hafalkan sedang kami sudah lupa (karena tua).”[19]
Abū Burdah berkata, “Belum pernah aku melihat seseorang yang tidak bertemu Rasulullah ﷺ namun ia sangat mirip dengan akhlak sahabat Rasulullah ﷺ kecuali syekh ini (maksudnya Ḥasan al-Baṣrī).”[20]
Al-Mughīrah bin Syu’bah berkata, “Tokoh para tabi’īn yang terdepan di bidang ilmu adalah al-Sya’bi sebagai pakar ilmu peradilan dan sejarah, Ibrāhim al-Nakha’ī sebagai pakar halal dan haram, ‘Athā’ bin Abī Rabāh sebagai pakar hukum-hukum haji, Sa’īd bin Jubair sebagai pakar tafsīr, Muhammad bin Sīrīn sebagai pakar ilmu keuangan dan perdagangan, dan yang menguasai semua bidang ilmu itu adalah penghulu mereka yaitu Ḥasan al-Baṣrī.[21]
Ibnu Sa’d berkata, “Ḥasan al-Basri adalah seorang alim yang luas dan tinggi ilmunya, terpercaya, hamba yang ahli ibadah, fasih lisannya, indah wajahnya.”[22]
Al-Zahabi berkata, “Ia adalah seorang ulama yang keilmuannya bagai samudra yang tak bertepi, kedudukannya sangat dihormati, nasihat-nasihatnya indah dan menyentuh hati, dalam jiwanya terhimpun berbagai macam jenis kebaikan.[23]
Tentang waraknya, Ibrahim bin ‘Isa al-Yasykuri berkata, Tidak pernah aku melihat orang yang paling banyak bersedih daripada Ḥasan al-Baṣrī, setiap kali aku melihatnya seakan ia baru ditimpa musibah yang besar.”[24]
Khalid bin Safwān berkata, “Ketaatan Ḥasan al-Baṣrī selalu seimbang dalam kesendiriannya atau saat di keramaian, perkataan dan perbuatannya selaras, jika ia menyeru manusia mengerjakan sesuatu, dialah yang paling pertama melakukannya, jika ia melarang manusia dari sesuatu, dialah yang paling dahulu meninggalkannya.”[25]
E. Mutiara-mutiara Hikmahnya
Mutiara-mutiara hikmah Ḥasan al-Baṣrī sangat banyak, susunan kalimat-kalimatnya indah, ungkapan-ungkapan sastranya menyentuh hati apalagi jika dibaca redaksi Arabnya, karena teks terjemah terkadang tidak mewakili semua sisi balāgah bahasa aslinya. Berikut ini beberapa wejangannya yang dituliskan oleh Abū Nu’aim al-Ashbahānī (w. 430 H) dalam Hilyatul Auliyā’.
“Sepantasnya seorang mukmin bersedih di setiap pagi dan petangnya, karena dia selalu berada di antara dua kekhawatiran, pertama, khawatir akan dosanya yang telah lalu, sudahkan Allah ampunkan? Kedua, khawatir akan dekatnya ajal, dalam kondisi apakah dia akan diwafatkan?”
“Ciri orang berilmu (faqīh) adalah zuhud terhadap dunia, mendalam ilmu agamanya, selalu melakukan ibadah kepada Rabnya ﷻ.” Ia juga pernah berkata, “Banyak tertawa dapat mematikan hati.”
Setelah Umar bin Abdul Azīz dinobatkan sebagai khalifah ke-8 Bani Umayah, Ḥasan al-Baṣrī menuliskan surat padanya, “Dunia ini bagaikan rumah yang menakutkan, tidaklah Adam diusir dari surga ke dunia melainkan sebagai hukuman, siapa yang memuliakan dunia dia akan hina. Setiap hari pasti ada yang mati, maka hadapilah dunia seperti orang yang sedang mengobati luka, ia bersabar atas perih yang sesaat, agar tidak merakasan derita sakit yang berkepanjangan”.[26]
F. Wafatnya
Ketika wafat, Ḥasan al-Baṣrī mewariskan duka yang mendalam bagi penduduk Baṣrah khususnya, dan bagi kaum muslimin umumnya. Ibnu Khilkān meriwayatkan dari Humaid al-Thawīl bahwa Ḥasan al-Baṣri wafat di malam Jumat. Keesokan harinya bakda salat Jumat, berbondong-bondong penduduk Baṣrah mengantarkan jenazah ulama yang mulia ini, hingga tak tersisa seorang pun di masjid Baṣrah, dan salat Asar ditunda pelaksanaannya.[27] Ḥasan al-Baṣrī wafat di umur 89 tahun, pada malam Jumat tanggal 5 Rajab tahun 110 H, tepat seratus hari sebelum wafatnya Muhamad bin Sirīn.[28] Semoga rahmat Allah ﷻ selalu tercurahkan kepadanya dan kepada semua ulama Islam.
Footnote:
[1] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (cet. 2, muassasah al-Risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), juz. 4, h. 563
[2] Ahli sejarah menyebutkan beberapa riwayat tentang tuan Yasar. Ada yang mengatakan bahwa tuannya adalah Zaid bin Ṡābit, riwayat lain mengatakan Jamil bin Qutbah bin ‘Amir, riwayat lain al-Rabi’ binti al-Nadhr (bibi Anas bin Malik), riwayat lain mengatakan Abu al-Yusr Ka’b bin ‘Amr, riwayat lain mengatakan tuannya seorang lelaki dari Bani Najjar. Lihat al-Tabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’d Juz 7, h. 114, lihat juga Tazkiratul hufaz, Al-Zahabī, juz 1, h. 57, lihat juga Tahżib al-Kamal, Al-Mizzī, juz. 6, h. 96
[3] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 564
[4] Abū Bakr al-Baghdādī, Akhbar al-Qudhat (cet. 1, al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, Mesir, 1366 H/ 1947 M), juz. 2, h. 5
[5] Abū Yusuf Ya’qub bin Sufyān al-Fasawī, al-Ma’rifah wa al-Tārīkh, (cet. 2, Muassasah al-Risalah, Bairut, 1401 H/ 1981 M), juz. 2, h. 54
[6] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 572
[7] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1, Muassasah al-Risālah, Beirut, 1400 H/1980 M), juz. 6, h. 106 , Al-Sya’bī bernama asli ‘Amir bin Syurahbīl al-Humairī, seorang ulama dari kalangan tabi’īn yang bermukim di kota Kufah, lahir di tahun 17 H dan wafat di tahun 104 H
[8] Sa’id bin Abi al-Hasan adalah seorang ulama yang ṡiqah, termasuk perawi al-kutub al-sittah, bahkan Hasan al-Basri berguru padanya, ia wafat sebelum Hasan al-Bashri di tahun 108 H di Persia (lihat Tahzib al-Tahzib, Ibnu Hajar al-Asqalānī, juz. 4, h. 16). Diriwayatkan bahwa ‘Ammār bin Abī al-Hasan adalah seorang yang banyak ibadahnya dan banyak menangis (lihat Tahzīb al-Kamāl, Al-Mizzī, juz. 6, h. 97)
[9] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Tażkirat al-Huffāz, (cet. Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Libanon, 1419 H/ 1998 M), juz. 1, h. 57
[10] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 569
[11] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, (cet. 1, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1410 H/ 1990 M), juz. 7, h. 115
[12] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, juz. 6, h. 118. Lihat juga Ibnu Kaṡīr, al-Bidayah wa al-Nihayah, (cet. 1, Darul Fikr, 1407 H/1986 M), juz. 9, h. 267
[13] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, juz. 6, h. 107-108
[14] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, juz. 6, h. 98
[15] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Tażkirat al-Huffāz, juz. 1, h. 57
[16] Ibnu Hajar al-Asqalānī, Taqrib al-Tahzib, (cet. 1, Dār al-Rasyīd, Suria 1406 H/1986 M), h. 160
[17] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, juz. 6, h. 97
[18] Abū Bakr al-Baghdādī, Akhbar al-Qudhat, juz. 2, h. 7-8
[19] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 573
[20] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, juz. 7, h. 119
[21] Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabari, al-Muntakhab min Zailil Mużīl, (cet. 1, Muassasah al-A’lami, Bairut), h. 125
[22] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, juz. 7, h. 162
[23] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Tażkirat al-Huffāz, juz. 1, h. 57
[24] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, (cet. 3, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1409 H), juz. 2, h. 133
[25] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, juz. 2, h. 147
[26] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, juz. 2, h. 132-152
[27] Ibnu Khilkān, Wafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān, (cet. 1, Dār al-Shādir, Beirut, 1971 M), juz. 2, h. 72
[28] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, juz. 7, h. 132
Sumber : https://markazsunnah.com/hasan-al-basri-teladan-dalam-ilmu-dan-amal/
Hasan al-Bashri adalah diantara pembesar ulama tabi’in menengah. Beliau wafat pada tahun 110 H dalam usia 88 tahun, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi Rahimahullāh (lihat Thabaqāt ‘Ulamā’ al-Hadits, Juz 1 hal. 140-142). Abu Burdah berkata, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih mirip dengan para sahabat Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam melebihi dirinya.” (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 143), Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali mengatakan, “Dia itulah -Hasan al-Bashri- orang yang ucapan-ucapannya mirip ucapan para nabi” (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 144).
Guru dan murid beliau
Berikut ini sebagian guru-guru Hasan al-Bashri: ‘Imran bin Hushain, al-Mughirah bin Syu’bah, Abu Bakrah, an-Nu’man bin Basyir, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dsb. (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 150).
Berikut ini sebagian murid-murid beliau: Humaid ath-Thawil, Ayyub as-Sakhtiyani, Qotadah, Bakr bin Abdullah al-Muzani, Sa’ad bin Ibrahim, Ibnu ‘Aun, al-Mu’alla bin Ziyad, Yunus bin ‘Ubaid, dsb (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 150).
Sebagian nasihat dan mutiara hikmah beliau
1. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (lihat al-Ikhlās wa al-Niyyah, hal.65)
2. al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama niscaya keadaan umat manusia tidak ada bedanya dengan binatang.” (lihat Mukhtashar Minhāj al-Qāshidīn, hal. 15)
3. Hasan al-Bashri rahimahullāh mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan keberadaan mereka jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da’ā’im Minhāj Nubuwwah, hal. 279)
4. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sungguh, apabila aku dijatuhkan dari langit ke permukaan bumi ini lebih aku sukai daripada mengatakan: Segala urusan berada di tanganku!” (lihat Aqwāl Tābi’in fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān [1/134])
5. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Barangsiapa mendustakan takdir sesungguhnya dia telah mendustakan al-Qur’an.” (lihat Aqwāl Tābi’in fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān [1/138])
6. Dikatakan kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami lakukan? Kami berteman dengan orang-orang yang selalu menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami terbang melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya jika kamu bergaul dengan orang-orang yang selalu menakut-nakuti kamu sampai akhirnya kamu benar-benar merasakan keamanan; lebih baik daripada berteman dengan orang-orang yang selalu membuatmu merasa aman sampai akhirnya justru menyeretmu ke dalam keadaan yang menakutkan.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i, hal. 16)
7. Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan lā ilāha illallāh maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan lā ilāha illallāh kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitāb al-Tauhīd; Risālah Kalimāt al-Ikhlās wa Tahqīq Ma’nāhā oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullāh, hal. 40)
8. al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat al-Risalah al-Mugniyyah, hal. 62).
9. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm [6/264] cet. Dār Thaibah)
10. al-Hasan rahimahullāh menangis sejadi-jadinya, maka ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Sa’id, apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena takut kalau Allah melemparkan aku ke dalam neraka dan tidak memperdulikan nasibku lagi.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i, hal. 75)
11. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Wahai anak Adam. Sesungguhnya engkau adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu maka hilanglah sebagian dari dirimu.” (lihat Ma’ālim fi Tharīq Thalab al-‘Ilmi, hal. 35)
12. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang yang fāqih itu adalah orang yang zuhud kepada dunia dan sangat memburu akhirat. Orang yang paham tentang agamanya dan senantiasa beribadah kepada Rabbnya. Orang yang berhati-hati sehingga menahan diri dari menodai kehormatan dan harga diri kaum muslimin. Orang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta harta mereka dan senantiasa mengharapkan kebaikan bagi mereka.” (lihat Mukhtashar Minhāj al-Qāshidīn, hal. 28)
13. al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” (lihat Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam, hal. 211)
14. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwāl at-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1124)
15. al-Hasan rahimahullāh menafsirkan makna firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Wahai Rabb kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.” Beliau mengatakan, “Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah. Adapun kebaikan di akhirat adalah surga.” (lihat Akhlāq al-‘Ulamā’, hal. 40)
16. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “al-Qur’an itu diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi orang-orang justru membatasi amalan hanya dengan membacanya.” (lihat al-Muntaqā al-Nafis min Talbīs Iblīs, hal. 116)
17. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang yang benar-benar faqih/paham agama adalah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat al-Muntaqā al-Nafis min Talbīs Iblīs, hal. 136)
18. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Tidaklah memahami agamanya orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i [2/84])
19. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang beriman bersangka baik kepada Rabbnya sehingga dia pun membaguskan amal, adapun orang munafik bersangka buruk kepada Rabbnya sehingga dia pun memperburuk amal.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1157)
20. Hasan al-Bashri rahimahullāh menjelaskan tentang sifat orang-orang beriman yang disebutkan dalam firman Allah [QS. Al-Mu’minun: 60] yang memberikan apa yang bisa mereka berikan dalam keadaan hatinya merasa takut. Al-Hasan berkata, “Artinya, mereka melakukan segala bentuk amal kebajikan sementara mereka khawatir apabila hal itu belum bisa menyelamatkan diri mereka dari azab Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1160)
21. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudāwamah [konsisten dalam beramal] . Demi Allah, bukanlah seorang mukmin orang yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1160)
22. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Iman yang sejati adalah keimanan orang yang merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla walaupun dia tidak melihat-Nya. Dia berharap terhadap kebaikan yang ditawarkan oleh Allah. Dan meninggalkan segala yang membuat murka Allah.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1161)
23. Hasan al-Bashri rahimahullāh mengatakan, “Iman adalah ucapan. Dan tidak ada ucapan kecuali harus disertai dengan amalan. Tidak ada ucapan dan amalan kecuali harus dilandasi dengan niat. Tidak ada ucapan, amalan dan niat kecuali harus dilandasi dengan al-Sunnah.” Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1153)
24. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir tertimpa kemunafikan maka dia adalah orang munafik.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1218)
25. Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan merasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan merasa aman.”.” (lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm [5/350] cet. Maktabah al-Taufiqiyah).
Demikianlah sekelumit faidah yang bisa kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bisa memberikan manfaat dan pencerahan bagi kita. Wa shallallāhu ‘alā Nabiyyinā Muhammadin wa ‘alā ālihi wa sallam. Walhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn.
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/60916-untaian-hikmah-imam-hasan-al-bashri.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
Telah datang berita gembira kepada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Salamah, bahwa budaknya yang bernama Khairah telah melahirkan seorang bayi laki-laki.
Ummul Mukminin hanyut dalam kegembiraan dan wajahnya tampak ceria dan berseri-seri. Dia mengutus seseorang untuk membawa ibu dan bayinya ke rumah selama masa-masa pemulihan pasca melahirkan. Khairah adalah budak yang paling beliau sayangi dan beliau telah rindu menantikan kelahiran bayi pertama dari budaknya itu.
Tak lama setelah itu Khairah pun datang dengan bayi di gendongannya. Ketika Ummu Salamah memandangnya, beliau langsung menyukai bayi itu karena wajahnya yang tampan dan cerah, menarik hati siapapun yang memandangnya.
Ummu Salamah bertanya kepada budaknya: “Sudahkah engkau memberikan nama untuknya wahai Khairah?” Khairah menjawab: “Belum, aku ingin Anda-lah yang memilihkan nama untuknya sesuka Anda.”
Ummu Salamah berkata, “Kita akan memberi nama yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Hasan.” Lalu beliau mengangkat tangannya untuk mendoakan kebaikan bagi sang bayi.
Kebahagiaan atas kelahiran Hasan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga Ummul Mukminin Ummu Salamah saja. Namun juga dirasakan oleh seisi rumah di Madinah, yaitu di rumah sahabat utama yang juga penulis wahyu Rasulullah, Zaid bin Tsabit. Sebab ayah si bayi, yakni Yasaar, adalah budak Zaid bin Tsabit yang paling disayangi dan diutamakan di antara budak yang lain.
Hasan bin Yassar (yang pada akhirnya lebih terkenal dengan sebutan Hasan al-Bashri) tumbuh di salah satu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, besar di pangkuan salah satu istri beliau, yaitu Hindun binti Suhail yang lebih sering dipanggil dengan Ummu Salamah.
Adapun Ummu Salamah –kalau pembaca belum tahu- adalah seorang wanita Arab yang termasuk paling sempurna akalnya, banyak keutamaannya, dan teguh pendiriannya. Beliau juga termasuk istri nabi yang paling luas pengetahuannya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Beliau meriwayatkan sebanyak 387 hadis. Beliau juga termasuk dari sedikit bilangan wanita di masa jahiliyah yang mampu baca-tulis.
Hubungan bayi yang beruntung itu dengan Ummu Salamah tidak hanya sebatas itu. Lebih jauh lagi, karena seringkali ibunda beliau, Khairah, harus keluar dari rumah untuk mengurus kebutuhan Ummul Mukminin sehingga harus meninggalkan bayinya. Bila sang bayi menangis karena lapar, maka Ummul Mukminin meletakkan bayi itu di pangkuannya, lalu disusui supaya diam. Karena rasa cintanya terhadap bayi itu, Ummul Mukminin bisa mengeluarkan air susu yang kemudian diminum oleh si bayi hingga merasakan kenyang dan diam dari tangisnya. Dengan demikian, kedudukan Ummu Salamah bagi Hasan al-Bashri adalah sebagai ibu dalam dua sisi. Pertama karena Hasan al-Bashri adalah seorang dari mukminin sedang Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin. Kedua Ummu Salamah adalah ibu susuan bagi beliau.
Anak ini meraih kesempatan emas untuk bergaul dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab rumah-rumah mereka berdekatan sehingga ia bisa bermain dari satu rumah ke rumah yang lain. Sudah barang tentu akhlak beliau terwarnai oleh para penghuni rumah itu dan mendapatkan bimbingan dari mereka.
Seperti yang diceritakan oleh Hasan al-Bashri sendiri, dia mengisi rumah Ummul Mukminin dengan ketangkasannya yang menyenangkan. Sering dia naik ke atap rumah lalu berpindah-pindah dengan lincahnya.
Hasan dibesarkan dalam suasana yang diterangi oleh cahaya nubuwah dan meneguk sumber air jernih (ilmu) yang tersedia di rumah-rumah ummahatul mukminin. Beliau juga berguru kepada sahabat-sahabat utama di Masjid Nabawi. Beliau meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan lain-lain.
Meski demikian, kekaguman yang paling menonjol jatuh kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dia mengagumi keteguhan agamanya, ketekunan ibadahnya, kezuhudannya terhadap kesenangan dunia, kefasihan lidahnya, hikmah-hikmahnya yang berkesan di hatinya, kemantapan tutur katanya dan nasihat-nasihatnya yang menggetarkan hati. Sehingga beliau berusaha berakhlak dengannya dalam hal takwa dan ibadah serta mengikuti jejaknya dalam memberikan keterangan dan kefasihan bahasanya.
Menginjak usia 14 tahun, ketika memasuki usia remaja, beliau berpindah bersama kedua orang tuanya ke Bashrah dan menetap di sana. Dari sinilah muncul julukan al-Bashri, yang dinisbahkan pada kota Bashrah. Lalu keutamaan beliau mulai dikenal orang-orang di Bashrah.
Di saat Hasan al-Bashri menjadi imam, kota Bashrah merupakan benteng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung penuh dengan para sahabat dan tabi’in yang hijrah ke sana dan halaqah-halaqah keilmuan dengan beraneka ragam dan coraknya memakmurkan masjid-masjid dan suraunya.
Hasan al-Bashri tinggal di masjid itu dan menekuni halaqah Abdullah bin Abbas, Habru umati Muhammad (Ustadnya umat Muhammad). Dia mengambil pelajaran tafsir, hadis, qiraah, fiqh, adab, bahasa dan sebagainya. Hingga beliau menjadi seorang ulama besar dan fuqaha yang terpercaya.
Maka, umat banyak menggali ilmunya, mendantangi majelisnya serta mendengarkan ceramahnya yang mampu melunakkan jiwa-jiwa yang keras dan mencucurkan air mata orang-orang yang terlanjur berbuat dosa. Banyak orang terpikat dengan hikmahnya yang mempesona.
Nama Hasan al-Bashri telah menyebar di seluruh daerah dan dikenal di mana-mana.
Para gubernur dan khalifah menanyakan dan mengikuti beritanya.
Khalid bin Shafwan bercerita. “Aku bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di daerah Hirah, beliau berkata, ‘Wahai Khalid, ceritakan kepadaku tentang Hasan al-Bashri, aku rasa engkau lebih mengenalnya dari yang lain.”
Aku berkata, “Semoga Allah menjaga Anda. Saya sebaik-baik orang yang akan memberikan keterangan tentang Hasan al-Bashri wahai Amir, karena saya adalah tetangga sekaligus muridnya yang setia. Saya lebih mengenal beliau daripada orang Bashrah lainnya’.”
Beliau berkata, “Ceritakan apa yang Anda ketahui tentangnya.” Saya berkata, ‘Beliau adalah orang yang hatinya sama dengan lahiriyahnya, perkataannya serasi dengan perbuatannya. Jika menyuruh perkara yang ma’ruf, maka beliau pula yang paling sanggup melakukannya. Jika melarang yang mungkar, beliau pula yang paling mampu meninggalkannya. Saya mendapatinya sebagai orang yang tidak memerlukan pemberian; dan zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Sebaliknya saya dapati betapa orang-orang memerlukan dan menginginkan apa yang dimilikinya.”
Maslamah berkata, “Cukup wahai Khalid, cukup. Bagaimana kaum itu bisa sesat, bila ada orang semisal dia di tengah-tengah mereka?”
Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berkuasa di Irak, bertindak sewenang-wenang dan kejam di wilayahnya, Hasan al-Bashri adalah termasuk dalam bilangan sedikit orang yang berani menentang dan mengecam keras akan kezaliman penguasa itu secara terang-terangan.
Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai, diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al-Bashri tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik di mana banyak orang sedang berkumpul. Dia tampil memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar bersikap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Begitulah, ketika Hasan al-Bashri tiba di tempat itu dan melihat begitu banyak orang-orang mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halamannya yang luas, beliau berdiri untuk berkhutbah. Di antara yang beliau sampaikan adalah: “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang membangun istana yang lebih besar dan lebih megah daripada bangunan ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…”
Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti: “Cukup Wahai Abu Sa’id, cukup.”
Namun Hasan al-Bashri berkata, “Wahai saudaraku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia dan tak boleh menyembunyikannya.”
Keesokan harinya Hajjaj menghadiri pertemuan bersama para pejabatnya dengan memendam amarah dan berkata keras: “Celakalah kalian! Seorang dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorang pun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan darahnya kepada kalian wahai para pengecut!”
Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri.
Dibawalah Hasan al-Basri, semua mata mengarah kepadanya dan hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan al-Basri melihat algojo dan pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan seorang muslim, dan kehormatan seorang da’i di jalan Allah.
Demi melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan al-Basri, dia berkata ramah: “Silahkan duduk di sini wahai Abu Sa’id, silahkan..”
Seluruh yang hadir menjadi bengong dan terheran-heran melihat perilaku amirnya yang mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya. Sementara itu, dengan tenang dan penuh waibawa Hasan al-Basri duduk di tempat yang disediakan. Hajjaj menoleh kepadanya lalu menanyakan berbagai masalah agama, dan dijawab Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik dan mencerminkan pengetahuannya yang luas.
Merasa cukup dengan pertanyaan yang diajukan, Hajjaj berkata, “Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat.” Dia semprotkan minyak ke jenggot Hasan al-Basri lalu diantarkan sampai di depan pintu.
Sesampainya di luar istana, pengawal yang mengikuti Hasan al-Basri berkata, “Wahai Abu Sa’id sesungguhnya Hajjaj memanggil Anda untuk suatu urusan yang lain. Ketika Anda masuk dan melihat algojo dengan pedangnya yang terhunus, saya lihat Anda membaca sesuatu, apa sebenarnya yang Anda lalukan ketika itu?”
Beliau berkata, (Aku berdoa) “Wahai Yang Maha Melindungi dan tempatku bersandar dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”
Kejadian serupa sering dialami Hasan al-Basri berhubungan dengan para wali negeri dan amir, di mana beliau selalu lolos dari setiap kesulitan tanpa menjatuhkan wibawanya di mata para penguasa tersebut dengan lindungan dan pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah wafatnya khalifah yang zuhud Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan beralih ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Khalifah baru ini mengangkat Umar bin Hubairah al-Faraqi sebagai gubernur Irak sampai Khurasan. Yazid ditengarai telah berjalan tidak seperti jalannya kaum salaf yang agung. Dia senantiasa mengirim surat kepada walinya, Umar bin Hubairah agar melaksanakan perintah-perintah yang ada kalanya melenceng dari kebenaran.
Untuk memecahkan problem itu, Umar bin Hubairah memanggil para ulama di antaranya asy-Sya’bi dan Hasan al-Basri. Dia berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik telah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya. Sehingga wajib ditaati dan aku diangkat sebagai walinya di negeri Irak sampai kupandang tidak adil. Dalam keadaan yang demikian, bisakah kalian memberikan jalan keluar untukku, apakah aku harus menaati perintah-perintahnya yang bertentangan dengan agama?”
Asy-Sya’bi menjawab dengan jawaban yang lunak dan sesuai dengan jalan pikiran pemimpinnya itu, sedangkan Hasan al-Basri tidak berkomentar sehingga Umar menoleh kepadanya dan bertanya, “Wahai Abu Sa’id, bagaimana pendapatmu?”
Beliau berkata, “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah atas Yazid dan jangan takut kepada Yazid karena Allah. Sebab ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menyelamatkanmu dari Yazid, sedangkan Yazid tak mampu menyelamatkanmu dari murka Allah. Wahai Ibnu Hubairah, aku khawatir akan datang kepadamu malaikat maut yang keras dan tak pernah menentang perintah Rabb-nya lalu memindahkanmu dari istana yang luas ini menuju liang kubur yang sempit. Di situ engkau tidak akan bertemu dengan Yazid. Yang kau jumpai hanyalah amalmu yang tidak sesuai dengan perintah Rabb-mu dan Rabb Yazid.”
“Wahai Ibnu Hubairah, bila engkau bersandar kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka Dia akan menahan segala kejahatan Yazid bin Abdul Malik atasmu di dunia dan akhirat. Namun jika engkau lebih suka menyertai Yazid dalam bermaksiat kepada Allah, niscaya Dia akan membiarkanmu dalam genggaman Yazid. Dan sadarilah wahai Ibnu Hubairah, tidak ada ketaatan bagi makhluk, siapapun dia, bila untuk bermaksiat kepada Allah.”
Umar bin Hubairah menangis hingga basah jenggotnya karena terkesan mendengarnya. Dia berpaling dari asy-Sya’bi kepada Hasan al-Basri, Umar semakin bertambah hormat dan memuliakannya. Setelah kedua ulama itu keluar dan menuju ke masjid, orang-orang pun datang berkerumun ingin mengetahui berita pertemuan mereka dengan amir Irak tersebut.
Asy-Sya’bi menemui mereka dan berkata; “Wahai kaum barangsiapa mampu mengutamakan Allah atas makhluk-Nya dalam segala keadaan dan masalah, maka lakukanlah. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, semua yang dikatakan Hasan al-Basri kepada Umar bin Hubairah juga aku ketahui. Tapi yang kusampaikan kepadanya adalah untuk wajahnya, sedangkan Hasan al-Basri menyampaikan kata-katanya demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka aku disingkirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Ibnu Hubairah, sedangkan Hasan al-Basri didekati dan dicintai…”
Allah memberikan karunia umur kepada Hasan al-Basri hingga berusia lebih dari 80 tahun dan telah memenuhi dunia ini dengan ilmu, hikmah dan fiqih. Warisan yang diunggulkannya bagi generasi kini di antaranya adalah kehalusan dan nasihat-nasihatnya yang mampu menyegarkan jiwa dan mampu menyentuh hati, menjadi petunjuk bagi mereka yang lalai akan hakikat kehidupan dunia serta ihwal manusia dalam menyikapi dunia.
Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan keadaannya. Beliau berkata, “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat. Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.”
Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan dunia ini. Maka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang haram akan berujung siksa. Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin selalu dalam kesusahan.”
Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang keadaannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau berkata, “Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah menelantarkan agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu memakan harta yang bukan haknya.
Makanannya hasil menipu, amalnya karena terpaksa, ingin yang manis setelah yang asam, ingin yang panas setelah yang dingin, ingin yang basah setelah yang kering, hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata, “Wahai anakku, ambill obat pencerna.” Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau cerna itu adalah agamamu.
Mana tetanggamu yang lapar?
Mana yatim-yatim kaummu yang lapar?
Mana orang miskin yang menantikan uluranmu?
Mana nasihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya?
Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam matahari, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada padamu.”
Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan al-Basri pergi memenuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota Bashrah.
Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah shalat Jumat di masjid Jami Basrah, masjid tempat di mana beliau menghabiskan banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menyeru ke jalan Allah.
Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada shalat ashar di Masjid Jami tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Dan shalat jamaah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu kecuali di hari itu. Hari di mana Hasan al-Basri berpulang ke haribaan Rabb-nya.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Artikel www.KisahMuslim.com
Referensi : https://kisahmuslim.com/2812-kisah-tabiin-hasan-al-bashri.html
