Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hambali
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (1)
Dalam tradisi fiqih Islam, istilah mazhab tidak selalu identik dengan fanatisme/taqlid buta yang cenderung berakibat negatif. Bermazhab merupakan akibat yang bersifat natural, di mana pemahaman dan metode para ulama dalam memahami wahyu yang bersifat zhanni menghendaki terjadinya silang pendapat di antara mereka.
Dalam tradisi fiqih Islam, istilah mazhab tidak selalu identik dengan fanatisme/taqlid buta yang cenderung berakibat negatif. Bermazhab merupakan akibat yang bersifat natural, di mana pemahaman dan metode para ulama dalam memahami wahyu yang bersifat zhanni menghendaki terjadinya silang pendapat di antara mereka. Inilah sebabnya keberadaan mazhab dalam tradisi fiqih Islam merupakan suatu kewajaran, tentu jika dilandasi dengan landasan, metode, dan tata cara bermazhab yang benar.
Sebagai sebuah metode berfikir, tentunya mazhab fiqih akan mengalami sebuah ‘ujian zaman’ yang menguatkan eksistensinya di tengah kehidupan kaum muslimin. Itulah sebabnya dari banyaknya mazhab fiqih yang lahir sekitar abad ketiga (3) dan keempat (4) hijriah, satu persatu mulai hilang dan tidak ditemukan eksistensinya. Hingga yang tersisa paling tidak hanyalah 4 mazhab fiqih yang hingga kini methodologi ushul fiqih serta produk fiqihnya selalu dipelajari dan diterapkan oleh umat Islam di berbagai wilayah.
Di antara 4 mazhab fiqih tersebut dan termasuk yang belakangan lahir adalah mazhab fiqih yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang masyhur dikenal dengan nama Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Di mana mazhab fiqihnya lebih dikenal dengan mazhab Hanbali, sedangkan para ulama yang berafiliasi pada mazhab ini dikenal dengan islilah Hanabilah.
Hirarki Pendapat Dalam Internal Mazhab Hanbali
Sebelumnya telah penulis paparkan, bahwa tidak selalu istilah mazhab identik dengan fanatisme buta. Hal ini ditandai dengan munculnya beragama pendapat dalam sebuah masalah di dalam internal mazhab tertentu, tak terkecuali mazhab Hanbali. Yang menunjukkan kepada kita bahwa tidak selalu seorang ulama yang berafiliasi pada mazhab tertentu harus mentah-mentah mengambil dan menerapkan begitu saja pendapat imamnya. Apalagi jika kondisi yang melingkupi permasalahan yang dihadapi menghendaki untuk menerapkan pandangan yang berbeda dengan sang imam.
Di tambah lagi, umur sang imam mazhab yang terbatas tentunya secara logika sehat tidak akan dapat menjawab setiap permasalahan yang ada ditambah permasalahan-permasalahan yang timbul dikemudian hari pasca wafatnya sang imam. Meskipun secara tidak langsung dapat saja sebuah pendapat dinisbatkan kepada mazhab imam, jika selaras dengan methodologi yang dibangun oleh sang imam atau disimpukan oleh penerusnya.
Itulah sebabnya, diperlukan sebuah methode untuk dapat menyusuri sebuah pendapat mazhab hingga secara amanah ilmiyyah, pendapat tersebut dapat dinisbatkan kepada sang imam mazhab atau mazhab itu sendiri.
Berdasarkan hal ini, para ulama Hanabilah belakangan melakukan sebuah studi mendalam dalam rangka menyeleksi di mana pendapat yang betul-betul dapat dinisbatkan kepada mazhab hanbali atau hanya sebagai pendapat lama yang dianggap lemah dan tidak boleh dinisbatkan kapada mazhab. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh imam ‘Ala’ ad Din al Mardawi al Hanbali (w. 885 H) dalam kitabnya “al Inshaf fi Ma’rifah ar Rajih min al Khilaf”, Abd al Qadir Badran (w. 1346 H) dalam kitabnya “al Madkhal ila Mazhab al Imam Ahmad bin Hanbal”, Muhammad bin Abd ar Rahman Aal Ismail dalam kitabnya “ al Laali al Bahiyyah fi Kaifiyyah al Istifadah min al Kutub al Hanbaliyyah”, Ibnu Hamdan dalam kitabnya “Shifat al Mufti wa al Mustafti”, Ibnu Qayyim al Jauziyyah dalam kitabnya “I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin”, Bakar Abu Zaid, al Madkhal al Mufashshal li Mazhab al Imam Ahmad wa Takhrijat al Ashshab, dan lainnya.
Dalam tulisan ringkas ini, penulis mencoba untuk merinkas berbagai kesimpulan dari buku-buku di atas, sebagai sebuah cara yang diakui dalam menisbahkan sebuah pendapat pada mazhab Hanbali. Secara sistematis penulis bagi menjadi tiga sub bab; pertama: methode untuk mengetahui sebuah pendapat yang dapat dinisbahkan kepada mazhab Hanbali; kedua: klasifikasi pendapat-pendapat di internal mazhab yang memungkinkan terjadinya kontradiksi; ketiga: methode untuk mengetahui pendapat yang dianggap mewakili atau mu’tabar dalam mazhab Hanbali.
Pertama: Methode Untuk Mengetahui Pendapat Mazhab Hanbali
Tentunya, secara sederhana, bagaimana kita dapat mengetahui pendapat mazhab Hanbali dalam masalah fiqih dapat dengan merujuk kepada buku-buku yang ditulis oleh para ulama Hanabilah semisal al ‘Umdah, al Kafi, al Muqni’ dan al Mughni karya al Muwaffaq Ibnu Qudamah, atau karya-karya dalam masalah fiqih yang ditulis semisal imam al Khiraqi, Syaikh al Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Ibnu al Jauzi, al Qadhi Abu Ya’la, Abu al Khaththab al Kalwadzani dan lainnya.
Namun jika ditelusuri kepada sumbernya, sebagaimana disimpulkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H),[1][1] penisbatan mazhab Hanbali dapat diklasifikasikan menjadi dua term; al Mazhab Haqiqatan dan al Mazhab Ishthilahan. Pembagian ini disimpulan dari definisi “mazhab Imam” berikut ini:
مذهب الإمام: هو ما قاله معتقدا له بدليله، ومات عليه، أو مَا جَرَى مَجْرَى قوله، أوشملته علته.
“Mazhab imam adalah hasil pemikiran yang diyakininya berdasarkan dalil dan terucap oleh lisannya, ia wafat dengan memegang pendapat itu, atau apa saja yang semisal perkataan (seperti: ketentuannya, isyaratnya, tulisannya, keputusannya dll), atau yang mencakup segala hal yang disandarkan kepadanya.”
Berdasarkan definisi ini, maka mazhab Hanbali dapat diklasifikasikan menjadi dua, yang kemudian dari dua hal tersebut dapat dirincikan menjadi beberapa hal lainnya yang lebih detail:
Pertama: al Mazhab Haqiqatan yaitu setiap produk hukum fiqih ijtihadi yang diterima dari imam melalui riwayat murid-muridnya. Jenis penisbatan mazhab pertama ini kemudian dibagi menjadi dua berdasarkan kuat dan tidaknya penisbatan pendapat tersebut kepada imam, yaitu:
Pertama: Pendapat yang jelas (ash Sharih), di mana pendapat imam dengan jenis ini dapat ditelusuri diberbagai kitab ulama Hanabilah dengan menggunkan lafaz-lafaz: ( ar riwayah) (ar riwayat al muthlaqah) yang dapat dipastikan bahwa pendapat itu secara lafzhi merupakan perkataan imam Ahmad bin Hanbal. Pendapat yang sharih ini adalah pendapat yang diriwayatkan oleh tujuh murid senior imam Ahmad; dua anaknya Abdullah dan Shalih, anak pamannya Ishak, Abu Bakar al Maruzhi, Ibrahim al Harbi, Abu Thalib at Tamimi, dan al Maymuni.
Kedua: Pendapat imam yang disebut dengan at tanbihat yaitu kesimpulan murid-murid imam Ahmad yang mereka simpulkan dari tindak tanduk sang imam. Dalam kitab-kitab ulama Hanabilah, jenis pendapat ini biasa dengan munggunakan lafaz-lafaz: (awma’a ilahi/asyara ilaihi=imam Ahmad mengisyaratkan pendapat tersebut), (dalla kalamuhu ‘alaihi=perkataannya menunjukkan kepada hukum tersebut), (tawaqqafa fihi/ sakata ‘anhu=imam tidak berpendapat).
Kedua jenis penisbatan pendapat ini secara hakiki dapat dinisbatkan kepada imam Ahmad bin Hanbali, sebab para penerusnya dari para ulama Hanabilah hanya menuqilnya semata di dalam kitab-kitab mereka.
Kedua: al Mazhab Ishthilahan atau at Takhrijat ‘ala al Imam yaitu setiap produk hukum fiqih ijtihadi dari para ulama Hanabilah di setiap abad. Jenis penisbatan mazhab kedua ini kemudian dibagi menjadi dua metode untuk mengetahui alur penisbatan pendapat kepada mazhab secara keseluruhan.
1. Methode Pertama: al istidlal atau kesimpulan yang ditarik ulama mazhab Hanbali dari pendapat imam Ahmad bin Hanbal.
2. Methode Kedua: takhrij al furu’ ‘ala al furu’ yaitu kesimpulan yang ditarik ulama mazhab Hanbali atas masalah-masalah baru yang memiliki kemiripan dengan produk-produk fiqih dari imam Ahmad, yang selanjutnya menerapkan hukum yang sama. Metode ini tampak mirip dengan alur berfikir qiyas. Atau pendapat-pendapat ulama Hanabilah yang dihasilkan dari oleh pikir melalui methodologi (ushul mazhab) yang telah dibangun imam Ahmad bin Hanbal atau dikembangkan oleh ulama Hanabilah.
Kedua: Klasifikasi Pendapat-pendapat Internal Mazhab yang Memungkinkan Terjadinya Kontradiksi
Berangkat dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dinamika perdebatan, silang pendapat, khilafiyyah sangat dapat mungkin terjadi di internal mazhab Hanbali. Apalagi faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya khilafiyyah itu disebabkan faktor eksternal seperti terjadinya perdebatan secara langsung ataupun tidak langsung dengan ulama mazhab lainnya, atau faktor sosio-politik yang berubah-ubah disetiap masa dan tempat.
Berangkat dari hal ini, khilafiyyah di internal mazhab Hanbali dapat diklasifikasikan menjadi empat macam:
1. Terjadinya perbedaan pendapat dalam penukilan riwayat-riwayat dari sang Imam. Hingga memungkinkan dalam sebuah masalah, Imam Ahmad memiliki beberapa pendapat yang kadangkala saling bertentangan karena riwayat-riwayat yang diterima oleh murid-muridnya berbeda-beda.
2. Terjadinya perbedaan pendapat antara riwayat dari Imam Ahmad dengan kesimpulan yang dihasilkan dari ijtihad ulama Hanabilah pada masa berikutnya. Karena pada hakikatnya, taklid seorang mujtahid kepada mujtahid lainnya tidak diperbolehkan.
3. Terjadinya perbedaan pendapat diantara ulama Hanabilah (takharij al ashab).
4. Terjadinya perbedaan penafsiran ulama Hanabilah atas satu riwayat yang mereka terima dari imam Ahmad.
Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, tentunya dalam menisbatkan sebuah pendapat kepada mazhab imam Ahmad harus melalui proses tarjih yang dengannya sebuah pendapat dapat dikatakan sebagai pendapat yang mu’tamad atau diakui oleh segenap ulama Hanabilah.
Sebab, dengan mengambil pendapat yang diketahui lemah di mazhab tersebut dan meninggalkan pendapat yang dianggap lebih kuat adalah sebuah kesalahan jika selanjutnya dinisbahkan kepada mazhab tersebut. Sebagaimana kelirunya seseorang menisbatkan pendapat bolehnya nikah mut’ah kepada Ibnu Abbas, padahal Ibnu Abbas sendiri telah mengkoreksi kekeliruan pendapatnya ini.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama mutaakhkhirin Hanabilah menetapkan methode tarjih berdasarkan tiga masa perkembangan mazhab Hanbali. Di mana setiap masa menggunakan methode tarjih yang berbeda-beda.
by. Isnan Ansory, Lc, MA
[1] [1] Bakar Abu Zaid, al Madkhal al Mufashshal li Mazhab al Imam Ahmad wa Takhrijat al Ashshab, (Jeddah: Dar al ‘Ashimah, 1417 H), cet. 1, hlm. 1/36.
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/fikrah/302
Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanbali (2)
Para ulama Hanabilah membagi tingkatan ulama Hanabilah berdasarkan urutan masa menjadi tiga tingkatan: (1) al Mutaqaddimun, (2) al Mutawassithun, dan (3) al Muta’akhkhirun.
Ketiga: Methode untuk mengetahui pendapat yang mu’tabar dalam mazhab Hanbali
Sebelum masuk pada pembahasan ini, kita perlu mengetahui bahwa para ulama Hanabilah membagi tingkatan ulama Hanabilah berdasarkan urutan masa menjadi tiga tingkatan: (1) al Mutaqaddimun, (2) al Mutawassithun, dan (3) al Muta’akhkhirun.
Pertama: Tingkatan al Mutaqaddimun. Para ulama Hanabilah yang masuk dalam kelompok al Mutaqaddimun adalah para ulama Hanabilah yang hidup dalam kurun waktu antara tahun 241 H hingga tahun 403 H. yaitu sejak wafatnya imam Ahmad bin Hanbal (w. 240 H) hingga wafatnya imam al Hasan bin Hamid al Hanbali (w. 403 H). Imam Ibnu Ya’la al Hanbali dalam kitab Thabaqat-nya dan al Mardawi dalam kitab al Inshaf-nya menghitung setidaknya jumlah ulama Hanabilah pada masa ini sekitar 577 orang.
Di antara ulama Hanabilah yang terkenal pada masa ini adalah: Ishaq al Maruzi (w. 251 H), al Atsram (w. 261 H), Ibrahim al Harbi (w. 285 H), Abdullah bin Ahmad (w. 290 H), al Khallal (w. 311 H), al Khiraqi (w. 334 H), Ibnu al Munadi (w. 336 H), al Baghawi (w. 317 H), al Ajuri (w. 360 H), Ghulam al Khallal Abd al Aziz (w. 363 H), Ibnu Syaqilla (w. 369 H), Ibnu Baththah al ‘Akbari (w. 387 H), Abu Hafs al Barmaki (w. 387 H), Ibnu al Muslim (w. 387 H) dan al Hasan bin Hamid (w. 403 H).
Sedangkan kitab-kitab rujukan mazhab pada masa ini di antaranya: Jami’ ar Riwayat karya al Khallal, asy Syafi dan at Tanbih karya Ghulam al Khallal, al Mukhtashar karya al Khiraqi (lebih dikenal dengan judul Mukhtashar al Khiraqi), dan al Jami fi al Mazhab karya al Hasan bin Hamid.
Kedua: Tingkatan al Mutawassithun. Para ulama Hanabilah yang masuk dalam kelompok ini adalah para ulama Hanabilah yang hidup dalam kurun waktu antara tahun 403 H hingga tahun 884 H, yaitu sejak wafatnya imam al Hasan bin Hamid (w. 403 H) hingga wafatnya imam al Burhan ibnu Muflih al Hanbali (w. 884 H). munurut Syaikh Bakar Abu Zaid, jumlahnya mencapai 166 orang yang mencakup para ulama dari keluarga Qudamah bin Miqdam, Bani Qadhi al Jabal, keluarga Taimiyyah, Keluarga Qadhi Abu Ya’la, keluarga Muflih, Keluarga Mindah, keluarga Surur al Muqadasah, keluarga Ibnu al Hanbali, keluarga al Muhibb as Sa’di, Bani al Manja, Bani al Yunaniyyah, keluarga Ibnu Hisyam al Anshari an Nahwi, keluarga al Jira’i, kekuarga Abu Ali al Banna’ dll.
Di antara ulama Hanabilah yang terkenal pada masa ini adalah: asy Syarif Abu Ali al Hasyimi (w. 428 H), Qadhi Abu Ya’la al Farra’ (w. 458 H), asy Syarif Abu Ja’far al Hasyimi (w. 470 H), Ibnu Mandah (w. 470 H), Ibnu al Banna’ (w. 471 H), as Sarraj (w. 500 H), al Hulwani (w. 505 H), Abu al Khaththab al Kalwadzani (w. 510 H), Abu al Wafa’ Ibnu ‘Aqil (w. 513 H), Muhammad bin Abi Ya’la (w. 526 H), Abu Khazim bin Abi Ya’la (w. 527 H), Ibnu az Zaghuni (w. 527 H), Abu al Fath Ahmad al Baghdadi (w. 532 H), Muhammad bin Abi al Khatthab (w. 533 H), Ibnu al Hanbali asy Syairazi (w. 536 H), Ali bin ‘Abdus (w. 559 H), Ibnu Abi Khazim Abu Ya’la ash Shaghir (w. 560 H), Abd al Qadir al Jailani (w. 561 H), Al ‘Aththar Abu al ‘Ala al Hamadani (w. 569 h), Ibnu al Minni Nashr bin Futyan an Nahrawani (w. 583 H), Makki bin Hubairah (w. 597 H), Abu al Faraj Ibnu al Jauzi (w. 597 H), Ibnu Sinninah al Samirri (w. 616 H), al Azji (w. 616 H) al Hujjah al Ba’quni (w. 617 H), al Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620 H), Qadhi al Qudhah Nashr bin Abd ar Razzaq (w. 633 H), al Majd Ibnu Taimiyyah (w. 652 H), Ibnu Razin (w. 656 H), Yusuf bin Abdurrahman Ibn al Jauzi (w. 656 H), Yahya ash Sharshari (w. 656 H), Ibnu Hamdan (w. 695 H), Ibnu Abi al Fath al Ba’li (w. 709 H), ath Thufi (w. 716 H), Syaikh al Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), ad Dujaili (w. 732 H), Ibnu Abd al Hadi (w. 744 h), Ibnu Qayyim al Jauziyyah (w. 751 H), asy Syams Ibnu Muflih (w. 763 H), Qadhi al Jabal (w. 771 H), az Zarkasyi (w. 772 H), al Ba’li (w. 777 H), Ibnu Rajab al Hanbali (w. 795 H), Ibnu al Lahham (w. 803 H), dan al Burhan Ibnu Muflih (w. 884 H).
Sedangkan kitab-kitab rujukan mazhab pada masa ini di antaranya: 11 kitab matan (al Mujarrad, at Ta’liq, dan ar Riwayatain karya Qadhi Abu Ya’la, al Hidayah karya Abu al Khaththab, al ‘Umdah, al Kafi dan al Muqni’ karya al Muwaffaq Ibnu Qudamah, al Muharrar karya al Majd Ibnu Taimiyyah, al Wajiz karya ad Dujaili, al Furu’ karya asy Syams Ibnu Muflih, dan at Tashil karya al Ba’li (w. 777 H)), al Mughni syarh al Khiraqi karya al Muwaffaq Ibnu Qudamah, asy Syarh al Kabir li al Muqni’ karya Ibnu Abi Umar, al Mubdi’ syarh al Muqni’ karya al Burhan Ibnu Muflih, dan Syarh az Zarkasyi li al Khiraqi karya az Zarkasyi.
Kedua: Tingkatan al Muta’akhkhirun. Para ulama Hanabilah yang masuk dalam kelompok ini adalah para ulama Hanabilah yang hidup dalam kurun waktu antara tahun 885 H hingga saat ini. Menurut Syaikh Bakar Abu Zaid, jumlahnya mencapai 100 orang.
Di antara ulama Hanabilah yang terkenal pada masa ini adalah: Abu al Hasan ‘Ala’ ad Din Ali bin Sulaiman al Mardawi (w. 885 H), Yusuf bin Abd al Hadi (w. 909 H), asy Syuwaiki (w. 939 H), al Hijawi (w. 968 H), Ibnu an Najjar Muhammad al Futuhi (w. 972 H), Mar’i al Karmi (w. 1033 H), Mansur bin Yunus al Buhuti (w. 1051 H), Yasin al Labadi (w. 1058 H), Ibnu Bulban (w. 1083 H), Abd ar Rahman Aba Bathin (w. 1121 H), Ibnu ‘Afaliq (w. 1163 H), Muhammad bin Abd al Wahab (w. 1206 H), ar Rahaibani as Suyuthi (w. 1240 H), Ibnu Badran (w. 1346 H), Faishal bin Mubarak (w. 1377 H), Ibnu Mani’ an Najdi (w. 1385 H), Muhammad bin Ibrahim Aal asy Syaikh (w. 1389 H), dan at Tuwaijiri (w. 1412 H).
Sedangkan kitab-kitab rujukan mazhab pada masa ini di sampaing kitab-kitab sebelumnya di antaranya: al Iqna’ dan Zad al Mustaqni’ karya al Hijawi, Muntaha al Iradat karya Ibnu an Najjar, Ghayah al Muntaha dan Dalil ath Thalib karya Mar’i al Karmi, ‘Umdah ath Thalib karya al Buhuti, Kafi al Mubtadi dan Akhshar al Mukhtasharat karya Ibnu Bulban/al Bulbani.
Adapun methode tarjih pada setiap tingkatan dilakukan secara berbeda-beda. Di mana dapat diklasifikasikan menjadi tiga methode:
Pertama: Tarjih untuk tingkatan al Mutaqaddimun yang dilakukan berdasarkan aspek riwayat (min jihah ar riwayah). Dengan rincian sebagai berikut:
1. Dari sisi rawi atau yang meriwayatkan pendapat imam Ahmad, maka yang didahulukan adalah pendapat yang diriwayatkan dengan redaksi yang sama oleh 7 murid imam Ahmad (Abdullah, Shalih, Ishak, Abu Bakar al Maruzhi, Ibrahim al Harbi, Abu Thalib at Tamimi, dan al Maymuni) – kemudian riwayat yang tertulis dalam kitab “Jami’ al Masa’il” karya al Khallal – kemudian riwayat salah satu di antara 7 murid imam Ahmad.
2. Merajihkan pendapat yang diriwayatkan oleh mayoritas atas minoritas.
3. Merajihkan pendapat yang masyhur di antara para murid Imam Ahmad.
4. Merajihkan pendapat yang diriwayatkan oleh murid yang lebih wara’.
5. Merajihkan pendapat yang dirajihkan (dikuatkan) oleh salah satu mujtahid Mutaqaddimin seperti al Khiraqi, al Khallal, Ghulam al Khallal, dan al Hasan bin Hamid.
Kedua: Tarjih untuk tingkatan al Mutawassithun yang dilakukan berdasarkan sosok ulama Hanabilah (min jihah as suyukh). Dengan rincian sebagai berikut:
1. Merajihkan pendapat yang didukung mayoritas ulama Hanabilah.
2. Kemudian merajihkan pendapat yang dirajihkan penghulu mazhab Hanbali dari kalangan al Mutawassithun seperti Qadhi Abu Ya’la, asy Syarifan (asy Syarif Abu Ali al Hasyimi dan asy Syarif Abu Ja’far al Hasyimi), as Sarraj, Abu al Khaththab, Ibnu ‘Aqil dan lainnya yang dikenal sebagai muhaqqiqun.
3. Kemudian merajihkan pendapat yang diambil oleh al Muwaffaq Ibnu Qudamah, al Majd Ibnu Taimiyyah, asy Syams Ibnu Abi Umar, asy Syams Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, ad Dujaili, Ibnu Hamdan, ath Thufi, Ibnu Taimiyyah dan Ibn Abdus dalam kitab Tazkirahnya.
4. Dan jika terjadi silang pendapat di antara mereka, maka yang didahulukan adalah pendapat asy Syams Ibnu Muflih dalam kitabnya “al Furu’”, dan jika ia tidak mentarjih, maka didahulukan pendapat yang disepakati dua syaikh (asy syaikhan); al Muwaffaq Ibnu Qudamah dan al Majd Ibnu Taimiyyah. Namun jika kedua syaikh berbeda pandangan maka yang dirajihkan adalah pendapat salah satu di antara mereka yang disetujui oleh Ibnu Rajab al Hanbali atau Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah.
Ketiga: Tarjih untuk tingkatan al Muta’akhkhirun yang dilakukan berdasarkan kitab rujukan (min jihah kutub al mazhab). Dengan rincian sebagai berikut:
1. Jika terjadi silang pendapat antara al Majd Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “al Muharrar” dengan al Muwaffaq Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al Muqni’” maka yang dirajihkan adalah apa yang disetujui al Muwaffaq Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al Kafi”.
2. Kemudian mendahulukan pendapat dalam sebuah masalah yang dirajihkan oleh Abu al Khaththab al Kalwadzani dalam kitabnya “Ru’us al Masa’il”.
3. Kemudian mendahulukan pendapat dalam sebuah masalah yang dirajihkan oleh al Muwaffaq Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al Mughni syarh Mukhtashar al Khiraqi”.
4. Kemudian mendahulukan pendapat dalam sebuah masalah yang dirajihkan oleh al Majd Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Syarh al Hidayah”.
5. Namun para ulama Hanabilah belakangan, lebih mendahulukan pendapat yang dirajihkan oleh al Hijawi dalam kitabnya “al Iqna’” dan Ibnu an Najar dalam kitabnya “Muntaha al Iradat”, dan jika terjadi silang pendapat dalam kedua kitab ini maka yang didahulukan adalah apa yang dirajihkan oleh Mar’i al Karmi dalam kitabnya “Ghayah al Muntaha”.
Hanya saja sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, tarjih di atas hanyalah bersifat umum bukan menyeluruh. Sebab bisa saja dalam kondisi tertentu, pendapat yang dianggap lemah menjadi kuat, atau bagi ulama tertentu pendapat yang dianggap lemah bagi ulama lain, baginya adalah pendapat yang kuat dan sebaliknya. Meski demikian, tentu yang berhak untuk melakukan tarjih adalah para ulama yang memiliki kompetensi (al mutaahhil) untu melakukan tarjih berdasarkan kualitas keilmuan yang dimiliki.
Penjelasan di atas, setidaknya menjadi norma bagi para peneliti kitab-kitab klasik dalam mazhab Hanbali hingga tidak keliru dalam menyandarkan sebuah pandangan kepada empunya mazhab. Meskipun, usaha itu dapat dikatakan sulit bagi umumnya manusia, tapi setidaknya kita dapat mengambil beberapa pelajaran, di antaranya kita dapat merasakan bahwa para ulama dahulu telah sedemikian kerasnya usaha yang mereka lakukan dalam menjaga pendapat-pendapat yang otoritatif dalam sebuah masalah fiqih.
Tentunya, kita dituntut untuk merasa bangga atas jerih payah mereka disamping dapat menghargai segenap usaha yang mereka lakukan, tidak saja mereka berhasil menjaga dua pusaka abadi umat Islam sebagai perwujudan kehendak Allah yaitu al Qur’an dan as Sunnah dengan methodologi menakjubkan yang mereka ciptakan (ilmu hadis, dll) namun mereka pun dapat menjaga pandangan-pandangan para ulama yang otoritaf dan tidak diragukan kewaraan dan kehati-hatian mereka dalam menyampaikan urusan agama.
Wallahua’lam bi ash Shawab.
Isnan Ansory, Lc., M.Ag
Peneliti dan Pengajar di Rumah Fiqih Indonesia
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/fikrah/303
