• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Oktober 2025

Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi

Bagikan

Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (1)
Mazhab Hanafi dinisbatkan kepada tokoh sentralnya yang terkenal dengan sebutan imam Abu Hanifah. Nama asli beliau adalah an Nu’man bin Tsabit al Kufi (w. 150 H), seorang ulama besar sekaligus dikenal sebagai pedagang sukses. Mazhabnya dikenal dengan sebutan mazhab Hanafi sedangkan para ulama yang berafiliasi kepada mazhab ini kadangkala disebut dengan al Hanafiyyah, dan kadangkala disebut dengan al Ahnaf

Dalam sejarah fiqih Islam, pada masa tabi’in di akhir-akhir abad pertama hijriah, pandangan-pandangan fiqih terpolarisasikan kepada dua mazhab utama; mazhab ahl ar ra’yi yang berpusat di Kufah, Irak dan mazhab ahl al atsar yang berpusat di Hijaz. Namun dalam perkembangannya, kristalisasi kedua mazhab ini didahului dengan lahir dan berkembangnya mazhab Hanafi sebagai kelanjutan bagi mazhab ahl ar Ra’yi.

Mazhab Hanafi dinisbatkan kepada tokoh sentralnya yang terkenal dengan sebutan imam Abu Hanifah. Nama asli beliau adalah an Nu’man bin Tsabit al Kufi (w. 150 H), seorang ulama besar sekaligus dikenal sebagai pedagang sukses. Mazhabnya dikenal dengan sebutan mazhab Hanafi sedangkan para ulama yang berafiliasi kepada mazhab ini kadangkala disebut dengan al Hanafiyyah, dan kadangkala disebut dengan al Ahnaf.

Meski mazhab ini dinisbatkan kepada sang imam, namun menurut para peneliti, pada hakikatnya mazhab ini merupakan kolaborasi dari empat ulama besar ahl ar ra’yi yaitu sang imam Abu Hanifah, dan ketiga murid utamanya; Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim (w. 182 H), Muhammad bin Hasan asy Syaibani (w. 189 H) dan Zufar bin al Huzail al ‘Anbari (w. 158 H).[1]

Bahkan imam Muhammad asy Syaibani dikenal pula sebagai salah satu tokoh yang juga memeliki kontribusi dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i. Posisi pentingnya dalam mazhab Maliki, dapat dilihat dari sosoknya sebagai salah satu periwayat yang mu’tamad atas kitab induk mazhab Maliki, al Muwaththa’. Sedangkan posisi pentingnya dalam mazhab Syafi’i, dikarenakan imam Muhammad merupakan guru dari imam asy Syafi’i dalam studi fiqih ahli ar Ra’yi di irak. Di samping itu, karyanya al Atsar merupakan referensi terpenting dalam penulisan kitab al Umm, karya imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i sebagai kitab induk mazhab Syafi’i.

Itu sebabnya, meski ketiga imam di atas dianggap berafiliasi kepada mazhab Hanafi, bukan berarti mereka orang-orang yang taqlid buta kepada imam Abu Hanifah, namun merekalah yang memiliki sumbangsih dan peran besar dalam penyebaran fiqih Abu Hanifah serta pembelaan atas ijtihad-ijtihadnya.

Disamping itu menurut Abd al Hayy al Luknawi mengutip Waliyyullah ad Dahlawi dalam al Inshaf, sebab afiliasi mereka kepada mazhab Hanafi karena ketiga murid imam Abu Hanifah meskipun sering kali memiliki pandangan yang berbeda dengan sang imam, namun mereka tidak pernah keluar dari manhaj berfikir guru-guru imam Abu Hanifah di Kufah seperti Ibrahim an Nakh’i.[2]

Bahkan pada hakikatnya setiap ulama yang sudah memiliki kapasitas untuk berijtihad, meskipun mereka berafiliasi kepada mazhab tertentu, bukan berarti mereka adalah orang-orang yang bertaqlid kepada imam-imam mazhab. Karena sesungguhnya seseorang yang sudah memiliki kemampuan berijtihad tidah boleh taqlid kepada siapapun sebagai kewajiban atas pemenuhan amanah ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka.

Diriwayatkan dari Abu Bakar al Qaffal asy Syafi’i, Abu Ali bin Khairan asy Syafi’i, dan Qadhi Husain asy Syafi’i (ketiganya mujtahid dalam mazhab Syafi’i) bahwa mereka berkata, “Tidaklah kami bertaqlid kepada Imam asy Syafi’i, akan tetapi pandangan/ijtihad kami kebetulan sama dengan pandangan/ijtihad sang Imam.” Sebagaimana hal senada telah diriwayatkan pula dari imam Abu Ja’far ath Thahawi al Hanafi.[3]
Berangkat dari penjelasan di atas, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam tubuh mazhab Hanafi sangat memungkinkan terjadinya khilafiyyah atau perbedaan pendapat sebagaimana hal yang sama terjadi pula pada mazhab-mazhab lainnya.

Itulah sebabnya dibutuhkan sebuah methode untuk membaca pendapat mazhab Hanafi hingga tidak salah menisbatkan sebuah pendapat kepada empunya. Sebab bisa saja pendapat tersebut telah dikoreksi oleh sang imam, sebagaimana imam Abu Hanifah pernah mengkoreksi kekeliruannya ketika berpendapat akan bolehnya seseorang shalat dengan melafazkan bacaan-bacaan shalat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.

Atau menisbatkan pendapat yang sesungguhnya merupakan kesimpulan ulama yang berafiliasi kepada mazhab Hanafi, padahal sang imam mazhab tidak pernah sama sekali mengatakannya. Atau mengambil pandangan yang dianggap lemah oleh ulama Hanafiyyah padahal ada pendapat lain yang lebih masyhur atau kuat kedudukannya.

Untuk membahas hirarki pendapat dalam mazhab Hanafi, penulis membagi pembahasan ini menjadi empat bab; Pertama: Sumber-sumber fiqih yang disandarkan kepada mazhab Hanafi; Kedua: Sebab-sebab terjadinya khilafiyyah dalam mazhab Hanafi; Ketiga: Tingkatan ulama Hanafiyyah; Keempat: Tarjih atas pendapat-pendapat ulama Hanafiyyah:

Pertama: Sumber-sumber Fiqih yang disandarkan kepada mazhab Hanafi
Secara umum, setiap kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama Hanafiyyah merupakan sumber utama fiqih mazhab Hanafi. Meskipun ulama belakangan seperti Abu al Hasanat Abd al Hayy al Luknawi kemudian mengklasifikasikannya menjadi dua; kitab-kitab Hanafi yang mu’tamad (standar) dan kitab-kitab Hanafi yang tidak mu’tamad. Dalam hal ini, untuk menilai sebuah kitab termasuk tidak standar dalam mazhab Hanafi, al Luknawi memiliki beberapa methode, di antaranya:[4]
Pertama: Secara sharih atau jelas ulama-ulama Hanafi yang diakui otoritasnya menolak atau memberikan penilaian buruk terhadap beberapa kitab fiqih karya ulama Hanafiyyah. Maka penilaian itu menjadi alasan tertolaknya kitab tersebut sebagai kitab standar.

Kedua: Ulama yang menulis kitab tersebut tidak dikenal meskipun kitab yang ditulisnya terhitung masyhur di tengah-tengah manusia. Seperti kitab “Jami’ ar Rumuz syarh an Niqayah” karya Syams ad Din Muhammad al Quhustani (w. 962 H).

Ketiga: Kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Hanafi yang telah dikenal, namun dalam bukunya ia sering kali mencampur adukan antara pandangan-pandangan fiqih Hanafi yang tidak diakui dan yang diakui. Kitab-kitab Jenis ini amatlah banyak, di antaranya: “al Qaniyyah” karya Najm ad Din Abu ar Raja’ Mukhtar bin Mahmud az Zahidi al Ghazmini (w. 658 H), “al Muhith al Burhani fi al Fiqh an Nu’mani” karya Abu al Ma’ali Burhan ad Din Mahmud bin Ahmad al Marghinani (w. 616 H), “as Siraj al Wahhaj syarh Mukhtashar al Qaduri” karya Abu Bakar bin Ali al Haddadi (w. 800 H), “Musytamil al Ahkam” karya Fakhr ad Din ar Rumi yang diperuntukkan bagi Khalifah Muhammad al Fatih, “Kanz al ‘Ubbad fi Syarh al Awrad” karya Ali bin Ahmad al Ghawri, “Mathalib al Mu’minin” karya Badr ad Din bin Taj al Lahuri, “Khazanah ar Riwayat” karya Qadhi Jakan al Hindi, “Syir’ah al Islam” karya Rukn al Islam Muhammad bin Abu Bakar al Jughi (w. 573 H), “al Fatawa ash Shufiyyah” karya Fadhlullah Muhammad bin Ayub, serta kitab “Fatawa ath Thawri” dan “Fatawa Ibnu Nujaim”.

Meski demikian, secara garis besar, kitab-kitab yang menjadi rujukan ulama Hanafi atau sumber-sumber fiqih Hanafi dikatagorikan menjadi tiga kelompok, yaitu:[5]

Pertama: al Ushul atau Masail al Ushul.
Yaitu kitab-kitab sumber utama yang juga disebut dengan ”Zhahir ar Riwayah” atau ”Zhahir al Mazhab”, yang mencakup:
– Enam kitab karya Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (w. 189 H): (1) ”al Jami‘ al Kabir (الجامع الكبير)”, (2) “al Jami‘ as Saghir (الجامع الصعير)”, (3) ”as Siyar al Kabir (السير الكبير)”, (4) ”as Siyar as Shaghir (السير الصغير)”, (5) ”az Ziyadat (الزيادات)”, dan (6) ”al Mabsuth (المبسوط)”. Di mana Isi kitab-kitab tersebut adalah riwayat-riwayat yang Muhammad riwayatkan dari Abu Yusuf dari Abu Hanifah, atau langsung dari Abu Hanifah. Muhammad menyusun kitab-kitab tersebut di Baghdad. Darinya kitab-kitab itu diriwayatkan secara mutawatir sampai kepada kita.
– Dua kitab karya al Hakim asy Syahid al-Muruzi: ”al Muntaqa” dan ”al Kafi”. Kitab al Kafi merupakan kesimpulan dari enam kitab Muhammad bin Hasan asy Syaibani di atas. Banyak ulama yang mensyarah kitab ini, di mana yang terbaik di antaranya adalah ”al Mabsuth” karya Syams al A’immah as Sarakhsi. Demikian penting kedudukan kitab ini, hingga ada ulama Hanafi menyatakan, bahwa semua riwayat yang bertentangan dengan kitab ini tidak bisa diterima.

Kedua: an Nawadir atau Masail ghair Zhahir ar Riwayat.
Yaitu kitab-kitab yang menghimpun riwayat-riwayat imam mazhab selain kitab-kitab ushul di atas. Yang termasuk kitab-kitab an Nawadir adalah:
– Karya-karya Muhammad bin Hasan asy Syaibani yang diriwayatkan secara ahad, tidak sampai pada derajat mutawatir maupun masyhur yaitu: ”ar Raqqiyyat”, ”al Kaysaniyyat”, ”al Jurjaniyyat” dan ”al Haruniyyat”.
– Kitab ”al Amali wa al-Jawami‘”, dan ”al Mujarrad” karya al Hasan bin Ziyad.
– Dan kitab-kitab yang diriwayatkan oleh Ibnu Sama’ah, Hisyam, Ibnu Rustum dll.

Ketiga: al Fatawa atau al Waqi‘at.
Yaitu himpunan hasil ijtihad mazhab al Hanafi al muta’akhkharin, seperti ashab (mitra belajar) Muhammad, Abu Yusuf, Zufar, al-Hasan bin Ziyad, ashab mereka, dan seterusnya. Yang termasuk dalam barisan ini antara lain: “al Nawazil” karya Abu al Laits as Samarqandi, “Majmu‘ an Nawazil wa al Hawadits wa al Waqi‘at” karya Ahmad bin Musa bin al Kashi, ”al Waqi‘at” karya Abu al ‘Abbas Ahmad bin Muhammad al Razi al Natifi, dan ”al Waqi‘at” karya al Sadr al Syahid. Semua kitab tersebut telah dihimpun dan disusun ulang secara tertib oleh Radhi al Din al Sarakhsi dalam Kitabnya “al Muhit” ataupun secara tidak urut oleh Qadhi Khan dalam ”Fatawa-nya”. (bersambung)

Referensi
[1] Ali Jum’ah Muhammad Abd al Wahhab, al Madkhal ila DIrasah al Mazahib al Arba’ah, (Kairo: Dar as Salam, 1422-2001), cet. 1, hlm. 87-88.
[2] Abd al Hayy al Luknawi, an Nafi’ al Kabir li man Yuthali’ al Jami’ ash Shaghir, (Bairut: Alim al Kutub, 1406 H), hlm. 13.
[3] Ali Jum’ah, al Madkhal ila Dirasah al Mazahib al Arba’ah, hlm. 101.
[4] Abd al Hayy al Luknawi, an Nafi’ al Kabir li man Yuthali’ al Jami’ ash Shaghir, hlm. 26-30.
[5] Ibnu ‘Abdin, Hasyiah Rad al Muhtar ‘ala ad Durr al Mukhtar syarh Tanwir al Abshar, hlm. 1/69, Abd al Hayy al Luknawi, an Nafi’ al Kabir li man Yuthali’ al Jami’ ash Shaghir, hlm. 17-18.
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/fikrah/304

Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 2)
Mengambil sebuah pendapat yang diketahui lemah di mazhab tertentu dan meninggalkan pendapat yang dianggap lebih kuat adalah sebuah kesalahan jika selanjutnya dinisbahkan kepada mazhab tersebut.

Kedua: Sebab-sebab terjadinya khilafiyyah di internal mazhab Hanafi
Berangkat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dinamika perdebatan, silang pendapat, atau khilafiyyah sangat mungkin terjadi di internal mazhab Hanafi.
Ibrahim al Hafnawi telah merinci sebab-sebab terjadi khilafiyyah atau perbedaan pandangan di internal mazhab Hanafi, yang ia rinci menjadi empat sebab:[1]

1. Terjadinya perbedaan dalam penukilan riwayat-riwayat dari Imam Abu Hanifah. Imam Abu Bakar al Baligi sebagaimana dikutip al Hafnawi mengatakan, setidaknya perbedaan penukilan riwayat dari imam Abu Hanifah terjadi karena empat sebab:

(1) Kekeliruan rawi dalam menukil perkataan imam Abu Hanifah,

(2) adanya riwayat yang menjelaskan bahwa imam Abu Hanifah telah mengkoreksi pendapatnya, namun di sisi lain ada rawi yang tidak menerima riwayat tersebut,

(3) terjadinya perbedaan persepsi atas ijtihad imam Abu Hanifah antara berpendapat dengan qiyas[2] atau istihsan[3](dalam hal jika terjadi kontradiksi dalam sebuah masalah antara hukum yang dihasilkan dengan qiyas di satu sisi dan istihsan di sisi yang lain, maka umumnya ulama Hanafiyyah mendahukan produk fiqih yang dihasilkan dari istihsan atas qiyas),

(4) kadangkala imam Abu Hanifah menjawab sebuah masalah dengan dua jawaban; pertama dengan hukum yang semestinya dan kedua dengan hukum yang di dasari atas kehati-hatian (ihtiyath), lalu dua jawaban tersebut diriwayatkan secara berbeda oleh murid-muridnya.

2. Adanya dua riwayat berbeda dari imam Abu Hanifah, di mana di satu sisi dapat diketahui pendapat mana yang awal terucap dan pendapat mana yang belakangan terucap, maka pendapat terakhir dianggap menegasikan pendapat yang awal. Namun kadangkala urutan waktunya tidak diketahui, hingga terjadilah khilafiyyah di antara ulama Hanafiyyah.

3. Terjadinya perbedaan pendapat antara Imam Ahmad dengan para shahabatnya semisal Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Zufar, al Hasan bin Ziyad dan lainnya.

4. Terjadinya perbedaan pendapat diantara ulama Hanabilah (takharij al ashab).
Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, tentunya dalam menisbatkan sebuah pendapat kepada mazhab Hanafi harus melalui proses tarjih yang dengannya sebuah pendapat dapat dikatakan sebagai pendapat yang mu’tamad atau diakui oleh segenap ulama Hanafiyyah.
Sebab, dengan mengambil pendapat yang diketahui lemah di mazhab tersebut dan meninggalkan pendapat yang dianggap lebih kuat adalah sebuah kesalahan jika selanjutnya dinisbahkan kepada mazhab tersebut. Sebagaimana kelirunya seseorang menisbatkan pendapat bolehnya nikah mut’ah kepada Ibnu Abbas, padahal Ibnu Abbas sendiri telah mengkoreksi kekeliruan pendapatnya ini.

Ketiga: Tingkatan ulama Hanafiyyah
Sebelum masuk kepada penjelasan tentang bagaimana hirarki pendapat dalam mazhab Hanafi, alangkah baiknya jika kitapun mengetahui, thabaqat atau tingkatan ulama yang berafiliasi kepada mazhab Hanafi. Untuk tingkatan ini terjadi silang pendapat di antara ulama Hanafiyyah, di mana yang pertama kali merumuskannya adalah Ibnu Kamal Basya ar Rumi.
Pertama: Tingkatan Ulama Hanafiyyah menurut Ibnu Kamal Basya (w. 940 H).[4]
Ibnu Kamal Basya yang bernama lengkap Syams ad Din Ahmad bin Sulaiman bin Kamal Basya dalam bukunya “Thabaqat al Fuqaha’” yang dinukil oleh Ibnu ‘Abdin (w. 1252 H) dalam Hasyiah-nya mengklasifikasikan ulama Hanafiyyah berikut kapasitas setiap level menjadi 7 tingkatan:

1. Al Mujtahidun fi asy Syara’ (المجتهدون في الشرع):
Yaitu para mujtahid yang merumuskan Ushul Mazhab, secara langsung seperti imam asy Syafi’i (w. 205 H) dalam ar Risalah-nya atau tidak langsung seperti imam Abu Hanifah, Malik bin Anas (w. 179 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam karya-karya mereka.

2. Al Mujtahidun fi al Mazhab (المجتهدون في المذهب):
Yaitu para mujtahid yang mampu melakukan istinbath hukum berdasarkan ushul mazhab imamnya meskipun produk fiqihnya bisa berbeda dengan imam mazhab. Seperti imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy Syaibani dalam mazhab Hanafi.
3. Al Mujtahidun fi al masail allati laa nasha fi ha ‘an shahib al mazhab (الْمُجْتَهِدِينَ فِي الْمَسَائِلِ الَّتِي لَا نَصَّ فِيهَا عَنْ صَاحِبِ الْمَذْهَبِ):
Yaitu para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, di mana tidak ditemukan nash dari imam mazhab sembari secara konsisten tetap mendasarkan kesimpulan hukumnya kepada dasar-dasar yang telah ditetapkan imam mazhab.
Di antara ulama Ahnaf yang masuk dalam katagori ini adalah Ahmad bin Amr al Khassaf (w. 261 H), Abu Ja’far at Thahawy (w. 321 H), Abu al Hasan al Karkhy, Syams al A’immah Al Hulwani (w. 449 H), Syams al A’immah as Sarakhsi, Fakhr al Islam al Bazdawi, Fakruddin Qadhi Khan (w. 592 H) dll.

4. Ashhab at Takhrij min al Muqallidin (أَصْحَابِ التخريج مِنْ الْمُقَلِّدِينَ):
Yaitu para ulama yang tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha takhrij atas pendapat imam mazhab atau ulama mujtahid lainnya. Seperti al Jashshas ar Razi.

5. Ashhab at Tarjih min al Muqallidin (أَصْحَابِ التَّرْجِيحِ مِنْ الْمُقَلِّدِينَ):
Yaitu para ulama yang tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha tarjih (menguatkan satu pendapat atas pendapat lain di internal mazhab) dengan mengatakan di dalam karya-karyanya; pendapat ini lebih utama, lebih shahih, lebih sesuai dll. Ulama Ahnaf yang tergolong tingkatan ini di antaranya Abu al Hasan al Quduri (w. 428 H) dan Burhan ad Din al Marghinani (w. 593 H).

6. Para ulama muqallidun yang mampu membedakan antara riwayat yang kuat dan lemah dalam mazhab (طَبَقَةُ الْمُقَلِّدِينَ الْقَادِرِينَ عَلَى التَّمْيِيزِ بَيْنَ الْأَقْوَى وَالْقَوِيِّ وَالضَّعِيفِ وَظَاهِرِ الْمَذْهَبِ وَالرِّوَايَةِ النَّادِرَةِ):
Di mana mereka hanya menuliskan dalam kitab-kitab mereka pendapat-pendapat yang mu’tamad dalam mazhab dan tidak meriwayatkan pendapat yang lemah dan tertolak. Ulama Ahnaf yang tergolong tingkatan ini di antaranya penulis kitab-kitab matan dari golongan muta’akhkhirin seperti Hafiz ad Din an Nasafi (w. 710 H) dengan karyanya “Kanz ad Daqa’iq”, Ibnu Maudud al Maushili (w. 683 H) dengan karyanya “al Mukhtar li al Fatwa”, Burhan asy Syariah al Mahbubi (w. 673 H) dengan karyanya “Wiqayah ar Riwayah fi Masail al Hidayah”, dan Muzhaffar ad Din Ibnu as Sa’ati (w. 694 H) dengan karyanya “Majma’ al Bahrain wa Multaqa an Nahrain”.

7. Para ulama muqallidun yang tidak mampu mengklasifikasin pendapat-pendapat mazhab antara yang kuat dan lemah.
Hanya saja pembagian Ibnu Kamal Basya ini mendapatkan kritikan yang luas dari kalangan Hanafiyyah berikutnya hingga mereka akhirnya merumuskan tingkatan ulama Hanafiyyah dengan urutan yang berbeda.
Di antara ulama Hanafiyyah yang mengkritiknya adalah Syihab ad Din al Marjani (w. 1306 H) dalam kitabnya, “Nazhurah al Haqq fi Fardhiyyah al ‘Asya’ wa in Lam Yaghib asy Syafaq”, Muhammad Zahid al Kautsari (w. 1371 H) dalam kitabnya “Husn at Taqadhi fi Sirah al Imam Abi Yusuf al Qadhi”, dan Dr. Muhammad bin Abd al Lathif al Farfur dalam kitabnya “al Wajiz fi Ushul al Istinbath”.
Di mana kritikan yang tersebut terkait dengan urutan yang dirumuskan oleh Ibnu Kamal Basya termasuk personalisasi ulama-ulama Hanafiyyah dalam setiap tingkatan.
Kedua: Tingkatan Ulama Hanafiyyah menurut Abu al Hasanat Abd al Hayy al Luknawi (w. 1303 H).[5]
Dalam kitabnya an Nafi’ al Kabir li man Yuthali’ al Jami’ ash Shagir yang merupakan kitab pendahuluan atas kitabnya syarh al Jami’ ash Shaghir karya Muhammad bin Hasan asy Syaibani, Abu al Hasanat Abd al Hayy al Luknawi mengajukan rumusan tentang tingkatan ulama Hanafiyyah yang berbeda dengan Ibnu Kamal Basya. Ia mengklasifikasikan ulama Ahnaf menjadi lima tingkatan:

1. al Mutaqaddimun. Yaitu para shahabat dan murid-murid imam Abu Hanifah semisal Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy Syaibani, dan Zufar. Di mana mereka melakukan ijtihad langsung berdasarkan dalil-dalil yang empat; al Qur’an, as Sunnah, al Ijma’, dan al Qiyas. Namun dalam melakukan ijtihad mereka menggunakan pisau analisis yang telah dirumuskan oleh Imam Abu Hanifah.

2. Ulama senior dari kalangan Muta’akhkhirin (أكابر المتأخرين). Di mana mereka melakukan ijtihad atas permasalahan-permasalahan yang tidak ada keterangan atau riwayat dari ulama mutaqaddimun. Di antara ulama Ahnaf yang tergolong kelompok ini adalah Abu Bakar al Khassaf, Abu Ja’far ath Thahawi, Abu al Hasan al Kharki, al Hulwa’i, as Sarakhsi, al Bazdawi, Qadhi Khan, Burhan ad Din Mahmud, dan Thahir Ahmad.

3. Ashhab at Takhrij min al Muqallidin (أَصْحَابِ التخريج مِنْ الْمُقَلِّدِينَ). Yaitu para ulama yang tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha takhrij atas pendapat imam mazhab atau ulama mujtahid lainnya. Seperti al Jashshas ar Razi.

4. Ashhab at Tarjih min al Muqallidin (أَصْحَابِ التَّرْجِيحِ مِنْ الْمُقَلِّدِينَ). Yaitu para ulama yang tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha tarjih (menguatkan satu pendapat atas pendapat lain di internal mazhab) dengan mengatakan di dalam karya-karyanya; pendapat ini lebih utama, lebih shahih, lebih sesuai dll. Ulama Ahnaf yang tergolong tingkatan ini di antaranya Abu al Hasan al Qaduri dan Burhan ad Din al Marghinani.
5. Para ulama muqallidun yang mampu membedakan antara riwayat yang kuat dan lemah dalam mazhab (طَبَقَةُ الْمُقَلِّدِينَ الْقَادِرِينَ عَلَى التَّمْيِيزِ بَيْنَ الْأَقْوَى وَالْقَوِيِّ وَالضَّعِيفِ وَظَاهِرِ الْمَذْهَبِ وَالرِّوَايَةِ النَّادِرَةِ). Di mana mereka hanya menuliskan dalam kitab-kitab mereka pendapat-pendapat yang mu’tamad dalam mazhab dan tidak meriwayatkan pendapat yang lemah dan tertolak. Ulama Ahnaf yang tergolong tingkatan ini di antaranya penulis kitab-kitab matan dari golongan muta’akhkhirin seperti Hafiz ad Din an Nasafi (w. 710 H) dengan karyanya “Kanz ad Daqa’iq”, Ibnu Maudud al Maushili (w. 683 H) dengan karyanya “al Mukhtar li al Fatwa”, Burhan asy Syariah al Mahbubi (w. 673 H) dengan karyanya “Wiqayah ar Riwayah fi Masail al Hidayah”, dan Muzhaffar ad Din Ibnu as Sa’ati (w. 694 H) dengan karyanya “Majma’ al Bahrain wa Multaqa an Nahrain”.

Ketiga: Tingkatan Ulama Hanafiyyah menurut Waliyyullah ad Dahlawi (w. w. 1176 H)[6][6]
Klasifikasi tingkatan ulama lainnya adalah apa yang diajukan oleh Syah Waliyullah ad Dahlawi yang bernama lengkap Ahmad bin Abd ar Rahim Syah Waliyullah ad Dahlawi dalam kitabnya, “’Iqd al Jayyid fi Ahkam al Ijtihad wa at Taqlid”. Akan tetapi klasifikasi yang ia ajukan tidak khusus terkait dengan ulama Ahnaf, namun juga mencakup ulama dari mazhab lainnya. Ia membaginya menjadi empat tingkatan:

1. Mujtahid Mutlak, yang kemudian ia bagi menjadi dua:

1. Mujtahid Mutlak Mustaqil. Seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
2. Mujtahid Mutlak Muntasib. Yaitu para ulama mujtahid yang berafiliasi kepada mazhab gurunya dan mengambil ushul mazhab sang guru sebagai pondasi untuk berijtihad dalam masalah-masalah fiqih.
2. Mujtahid fi al Mazhab, yaitu para ulama mujtahid yang melakukan takhrij atau proses analogis untuk masalah-masalah baru atas ijtihad-ijtihad fiqih imam mazhab.

3. Mujtahid Fatwa, yaitu para ulama mujtahid dalam mazhab imamnya, di mana mereka memiliki kemampuan untuk melakukan tarjih atas pandangan-pandangan imam-imam mujtahid sebelumnya.
4. Ulama muqallid yang hanya mampu merujuk kepada imam mujtahid atau pandangan-pandangan fiqihnya, tanpa melakukan proses tarjih.
Keempat: Tingkatan Ulama Hanafiyyah menurut Muhammad Abu Zahrah (w. 1974 M)
Di jajaran ulama kontemporerm terdapat nama Muhammad Abu Zahrah yang juga mengajukan pandangannya terkait tingkatan ulama dalam sebuah mazhab, khususnya ketika mengomentari tingkatan ulama mazhab Hanafi dalam bukunya, “Abu Hanifah: Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu.” Ia membaginya menjadi empat level:
1. Mujtahid Mutlak, yang meliputi imam Abu Hanifah dan murid-muridnya semisal Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zufar.
2. Mukharrijun atau Mujtahid fi al Mazhab, yaitu para ulama yang melakukan ijtihad atas masalah-masalah baru yang tidak terdapat pandangan ulama mujtahid dalam masalah tersebut.
3. Murajjihun, yaitu para ulama yang melakukan proses tarjih atas pandangan-pandangan ulama mujtahid sebelumnya.
4. Muftuun atau ulama yang berprofesi sebagai mufti, di mana ia menyelusuri pandangan-pandangan mujtahid lalu mencari pendapat yang dirajihkan oleh ulama tarjih (al murajjihun). (Bersambung)

Isnan Anshory, Lc. MA.
________________________________________
[1] Muhammad Ibrahim al Hafnawi, al Fath al Mubin fi Hill Rumuz wa Musthalahat al Fuqaha’ wa al Ushuliyyin, hlm. 25-28.
[2] Qiyas sebagaimana menurut ulama Ushul Fiqih adalah melakukan proses analogis (ilhaq) atas hukum sebuah masalah yang tidak terdapat nashnya kepada masalah yang terdapat nashnya, di mana hukum atas masalah yang ada nashnya menjadi hukum atas masalah yang tidak ada nashnya dikarenakan kesamaan ‘illat/alasan dari dua masalah tersebut.
[3] Sedangkan istihsan adalah memindahkan satu masalah dari hukum yang dihasilkan dari qiyas kepada hukum lain karena pertimbangan darurat atau maslahat dharuriah.
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/fikrah/305

Hirarki Pendapat Dalam Mazhab Hanafi (bag. 3)

Para Ulama Salaf Mujtahidun adalah orang-orang yang bebas untuk berijtihad, tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur politis yang menjaga mereka dari melakukan korupsi ilmu demi tujuan duniawi. Di tambah lagi produk fiqih dan methodology memahmi wahyu Allah (al Qur’an dan as Sunnah) yang mereka lakukan telah diuji, diteliti, diterapkan, dikritik oleh para ulama di setiap masa.

Kelima: Tingkatan Ulama Hanafiyyah menurut Dr. Muhammad bin Abd al Lathif al Farfur
Pandanngan Dr. Muhammad bin Abd al Lathif al Farfur tentang tingkatan ulama dalam kitabnya, “al Wajiz fi Ushul al Istinbath” agaknya pandangan yang dapat dikatakan telah mengkristal. Sebab pandangannya berangkat dari kesimpulan-kesimpulan yang ia lakukan dari beragam pandangan ulama-ulama sebelumnya, termasuk kritikan-kritikan yang diajukan. Ia membagi tingkatan ulama mazhab menjadi tiga level:
1. Mujtahid yang mampu memproduksi hukum syar’i dari dalil-dalil zhanni (untuk level pertama ini masuk di dalamnya mujtahid mutlak dan mujtahid fi al mazhab; mukharrijun).
2. Para ulama yang mengikuti ushul imam-imam mazhab, serta mampu memproduksi hukum fiqih berdasarkan ushul tersebut dalam melakukan proses tarjih (mujtahdi tarjih)
3. Para ulama muqallid yang dapat membaca tarjih ulama sebelumnya, namun ia tidak mampu melakukan tarjih.

Keempat: Tarjih atas pendapat-pendapat ulama Hanafiyyah
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan-pandangan ulama mazhab Hanafi dapat beragam, khususnya pada level mujtahid mutlak, mujtahid fi al mazhab/al mukharrijun dan mujtahid at tarjih.
Di mana secara methodologis para ulama saat ini, ketika membaca fiqih mazhab Hanafi, seyogyanya merujuk kepada pendapat-pendapat yang mu’tamad hingga dapat menisbahkan pendapat tersebut sebagai pendapat mazhab Hanafi. Tentunya, menjadi lebih baik jika dengan membaca argumentasi atas pendapat tersebut.
Adapun gambaran tarjih yang bisa disimpulkan dari keterangan di atas, setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa methode:[1]
Pertama: Tarjih atas masalah-masalah yang disandarkan kepada mazhab Hanafi. Di mana masalah-masalah atau ijtihad-ijtihad yang bersumberkan dari Masail al Ushul atau Zhahir ar Riwayat tentu harus didahulukan atas masalah-masalah yang bersumberkan dari Masail an Nawadir atau ghair Zhahir ar Riwayat. Sebagaimana dua sember tersebut harus didahulukan atas masail al Fatawa atau an Nawazil atau al Waqi’at.
Kedua: Dari aspek ulama Ahnaf. Jika ditelusuri dari aspek pandangan imam atau ulama-ulama Hanafiyyah, maka tarjih dilakukan sebagaimana ururan berikut:

1. Mentarjih atau menguatkan pendapat yang berdasarkan zhahir ar riwayat di mana para imam mazhab (Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan) sepakat dalam satu masalah.

2. Jika di antara imam mazhab terjadi perselisihan, maka proses tarjih dilakukan dengan urutan berikut:

2.1. Pendapat yang dihasilkan dari kesepakatan antara imam Abu Hanifah dengan salah satu muridnya (Abu Yusuf atau Muhammad bin Hasan)
2.2. Namun jika imam Abu Hanifah berbeda pandangan dengan kedua muridnya, maka masalah yang terjadi dilihat terlebih dahulu: jika perbedaan terjadi karena masa yang berbeda seperti pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan berbeda dengan Abu Hanifah setelah Abu Hanifah wafat, maka yang didahulukan adalah pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan; namun jika perbedaan terjadi ketika Abu Hanifah masih hidup, Abdullah bin Mubarak berpendapat bahwa pendapat imam Abu Hanifah didahulukan atas pendapat kedua muridnya.

3. Dan jika dalam sebuah masalah, tidak ditemukan pendapat Abu Hanifah, maka dapat diklasifikasikan dengan urutan berikut:
3.1. Didahulukan pendapat Abu Yusuf,
3.2. Kemudian pendapat Muhammad bin Hasan asy Syaibani
3.3. Kemudian pendapat Zufar dan al Hasan bin Ziyad

4. Dan jika dalam sebuah masalah, tidak ditemukan pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, maka dapat diklasifikasikan dengan urutan berikut:
4.1. Mendahulukan pendapat yang disepakati ulama Ahnaf Mutaakhkhirin seperti Abu Ja’far ath Thahawi, Abu al Hasan al Karkhi, Abu al Laits as Samarqandi, Syams al A’Immah as Sarakhsi, Syams al A’immah al Hulwani, Abu Hafs dll.
4.2. Kemudian mendahulukan pendapat mayoritas atas minoritas
4.3. Dan jika tidak ditemukan, maka seorang mufti hendaklah berijtihad semampunya.

Penutup
Demikianlah para ulama kita menyikapi pendapat-pendapat ulama terdahulu, meskipun pendapat-pendapat mereka sengat memungkinkan untuk salah, namun kehati-hatian mereka dalam menyampaikan urusan agama setidaknya dapat menjadi garansi akan jauhnya mereka dari kekeliruan. Apalagi masa mereka yang tidak terlalu jauh dengan masa kenabian, tentunya mereka adalah orang-orang yang pengetahuannya atas sumber-sumber ajaran Islam tidak lagi diragukan.

Meski demikian, mereka adalah orang-orang yang bebas untuk berijtihad, tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur politis yang menjaga mereka dari melakukan korupsi ilmu demi tujuan duniawi. Di tambah lagi produk fiqih dan methodology memahmi wahyu Allah (al Qur’an dan as Sunnah) yang mereka lakukan telah diuji, diteliti, diterapkan, dikritik oleh para ulama di setiap masa.
Wallahua’lam bi ash shawab
Isnan Ansory, Lc., M.Ag
________________________________________
[1] Muhammad Ibrahim al Hafnawi, al Fath al Mubin fi Hill Rumuz wa Musthalahat al Fuqaha’ wa al Ushuliyyin, hlm. 29-32.
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/fikrah/309

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M