• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Ilmu Mushtholâhul Hadîts

Bagikan

I. Definisi Ilmu Mushtalah

Ulama mendefinisikan ilmu ini dengan perkataannya:

عِلْمُ بِقَوَاعِدِ وَقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السنَدِ وَالمَتْن مِنْ حَيْثُ القَبُوْلُ أَوْ الرد

Adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan dari segi penerimaan dan penolakannya.

Sanad : silsilah (rantai) rijal (perawi-perawi) yang bersambung sampai ke matan.

Matan : perkataan yang datang setelah akhir sanad.

II. Urgensi Ilmu Musthalah

Sangat banyak manfaat ilmu ini yang terpenting diantaranya adalah :

1. Membedakan antara hadits shohih dan dhoif.

Pada abad pertama setelah wafatnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, sanad yang beredar adalah sanad yang shohih, sahabat meriwayatkan langsung dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan sahabat semuanya adil dan terpercaya. Namun setelah wafatnya Utsman bin Affan radhiyallohu anhu mulailah nampak bid’ah dan golongan sesat, serta mereka menambah, mengurangi dan memalsukan hadits nabi untuk memperkuat bid’ah mereka. Sebagaimana perkataan Muhammaf bin Sirrin : “Mereka (para sahabat) dulunya tidak pernah menanyakan tentang sanad, sampai terjadinya fitnah.

Maka ilmu ini dibuat untuk membedakan yang shohih dan yang dho’if.

2. Ilmu ini termasuk kunci untuk masuk dalam ilmu-ilmu syar’i yang lalu, seperti : Aqidah, Tafsir, Fiqh dan lain-lain.

Buku-buku maraji (rujukan) dari ilmu ini diriwayatkan dengan sanad.

3. Terhindar dari berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam

Karena meriwayatkan/menyebutkan hadits palsu dan lemah, sementara dia mengetahuinya atau tidak hati-hati dan teliti, itu artinya dia telah berdusta atas Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.

Imam Muslim meriwayatkan dalam muqoddimah shohihnya, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang meriwayatkan hadits sementara ia tahu bahwa (hadits) itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari pendusta.”

Dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda dalam hadits mutawatir : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”

4. Dapat membangkitkan rasa tenang dalam hati tentang janji Allah Azza wa Jalla untuk menjaga syari’at ini, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sesungguhnya Kami yang menurunkan (Al-Qur’an) dan kami pulalah yang menjaganya.” (QS. Al Hijr :9)

III. Sejarah Perkembangan Ilmu Musthalah.

Secara umum kita dapat membagi sejarah perkembangan ilmu musthalah menjadi empat marhalah (tahapan zaman) :

1. Marhalah pertama dimana sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam menghafal hadits-hadits beliau, safar untuk mengumpulkan dan mencocokkannya dan menulisnya pada shohifah (lembaran-lembaran), seperti : Shohifah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr, dan lain-lain.

2. Marhalah penulisan sunnah secara resmi ketika Umar bin Abdul Azis rahimahulloh memerintahkan untuk menyebarkan ilmu dan menulisnya, maka dikumpullah hadits-hadits Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan perkataan sahabat yang mana disela-selanya terdapat faidah-faidah dan isyarat-isyarat yang pada akhirnya Muhadditsin (ahli hadits) menjadikannya sebagai dasar ilmu musthalah, diantaranya Kitab Sunan Abi Daud, Musnad Ahmad, dan lain-lain.

3. Marhalah pemisahan faidah-faidah tersebut yang merupakan dasar ilmu musthalah dari kitab-kitab hadits, maka dikumpulkan ilmu-ilmu yang serupa pada kitab tersendiri, seperti Kitab Al ’Ilal oleh Ali bin Madini, Kitab Marasiil oleh Abu Daud, dan lain-lain.

4. Marhalah penggabungan setelah pemisahan. Ilmu-ilmu yang telah dipisahkan tadi seperti ‘Ilal dan Marasiil dan lain-lain digabung dalam satu kitab sebagai ilmu tersendiri yaitu Ilmu Musthalah Hadits. Maka orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abu Muhammad Hasan bin Abdur Rahman Al Romahurmuzi (wafat : 360H) dan menamakan kitabnya Al Muhaddits Al Fashil baina Ar Rowi wal Wa’iy Tapi kitab ini belum sempurna dan belum mencakup semua jenis istilah hadits. Kemudian datang setelahnya Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Hakim (wafat :405 H) dan mengarang kitab : Ma’rifah Ulum Al Hadits di dalamnya beliau menyebutkan 54 jenis istilah hadits dan kitab ini lebih unggul dari kitab yang pertama dari segi pengaturannya, kemudian setelahnya datang Abu Nu’aim Ahmad Al Ashbahani (wafat : 430 H) dan mengarang Mustahkraj atas kitabnya Al Hakim.

Kemudian datang setelahnya Al Muhaddits Abu Bakar Ahmad bin Ali yang terkenal dengan gelar Al Khatib Al Baghdadi (wafat : 463 H) dan mengarang kitab Ushulul Hadits dan diberi nama : Al Kifayah. Berkata Ibnu Nuqthoh : semua muhadditsin (ulama hadits) setelah Al Khatib merujuk pada buku-buku beliau. Kemudian datang setelahnya Al Qhadhi ‘Iyadh (wafat : 544 H) dan mengarang kitab Al Ilmaa’.

Setelah mereka datang Abu Hafs Umar bin Abdul Majid Al Mayanji (wafat : 580 H) dan mengarang kitab “Ma la Yasa’ul Muhaddits Jahluhu”. Setelah itu para ulama hadits terus mengarang kitab-kitab musthalah hadits dan semakin menyempurnakannya sampai datang Abu ‘Amr Ibn Shalah Utsman bin Abdur Rahman Ash Shaharzuri (wafat : 643).

Ketika mengajar di Madrasah Asyrafiyah di Damaskus dan mengarang kitab “Ulumul Hadits” yang kemudian masyhur dengan nama “Muqoddimah Ibnu Shalah”, kitab ini lebih sempurna dari kitab-kitab sebelumnya yang mana mencakup 65 jenis istilah hadits.

Diantara keistimewaan kitab ini, telah disusun dengan teliti dan bab-bab yang teratur serta mentarjih beberapa masalah istilah hadits. Dan orang-orang yang datang setelah beliau menjadikan bukunya sebagai rujukan dalam Ilmu Musthalah Hadits.

IV. Pembagian “Khabar” dari beberapa tinjauan

Al Khabar : apa saja yang datang dari Nabi dan selainnya berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan.Ada yang mengatakan bahwa Khabar itu sinonim dari hadits.

Pembagian Khabar ditinjau dari segi sampainya kepada kita terbagi dua : Mutawatir dan Ahad.

Khabar Mutawatir : khabar yang diriwayatkan oleh jumlah yang banyak yang mustahil (menurut kebiasaan) mereka semua sepakat berdusta.

Syarat hadits (khabar) mutawatir :

1. diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.

2. jumlah ini terdapat di seluruh thabaqot sanad.

3. mustahil mereka sepakat untuk berdusta.

4. sandaran khabar mereka adalah indra (perasa).

Khabar Ahad : khabar (hadits) yang tidak terpenuhi padanya syarat-syarat hadits mutawatir.

Khabar Ahad dipandang dari segi diterima dan ditolaknya terbagi menjadi dua : Maqbul (diterima) dan Mardud (ditolak)

– Khabar Maqbul : khabar (hadits) yang dijadikan hujjah.

Dan khabar maqbul terbagi menjadi 4 :

a. Shahih lizatihi

b. Shahih lighoirihi

c. Hasan lizatihi

d. Hasan lighairihi.

Definisi hadits shohih : hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya dari perawi yang sama (sifatnya), bersambung sanadnya dan tidak berillat serta syadz.

Hadits hasan : hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, ringan (kurang sempurna) hafalannya, bersambung sanadnya dan tidak berillat dan syadz.

Adil : seorang muslim berakal yang sudah baligh yang selamat dari kefasiqan.

Berillat : hadits yang pada zhohirnya selamat darinya, tetapi pada hakikatnya (setelah diteliti) adal illat yang dapat melemahkan hadits.

Syadz : hadits yang salah seorang rawinya yang maqbul menyelisihi rawi lain yang lebih kuat darinya.

– Khabar Mardud (dho’if) : hadits (khabar) yang tidak terkumpul padanya syarat hadits maqbul.

Jenisnya sangat banyak sebagian ulama menyebutkan sampai pada 49 jenis, dan dapat kita kelompokkan menjadi 4 kelompok besar :

1. Sanadnya yang terputus (tidak bersambung), seperti :
1.1. Hadits Mu’allaq.
1.2. Hadits Mursal.
1.3. Hadits Munqothi’.
1.4. Hadits Mu’dhol.
1.5. Hadits Mudallas.

2. Perawinya yang cacat. Ada 10 sebab, 5 diantaranya karena cacat “adalahnya” dan sisanya karena
cacat hafalannya.
2.1. Dusta atas nabi dan haditsnya dinamakan Maudhu’.
2.2. Tertuduh berdusta akibat dusta atas orang lain selain nabi dan haditsnya dinamakan Matruk.
2.3 Kefasikan yang tidak sampai kepada kekufuran dan haditsnya dinamakan Matruk.
2.4. Jahala (tidak dikenal) perawinya dan haditsnya Majhul.
2.5. Perawinya mubtadi’ (pelaku bid’ah).
2.6. Banyak lalainya (Katsratul Gaflah) dan haditsnya Matruk.
2.7. Banyak salahnya (Katsratul Galath) dan haditsnya Matruk.
2.8. Banyak kelirunya (Katsratul Wahm) dan hadits yang terdapat kekeliruan di dalamnya dinamakan
Mu’all atau Mu’allal.

3. Menyelisihi perawi lain yang lebih kuat (tsiqah) dan haditsnya dinamakan Syadz.

4. Jelek hafalannya, yaitu kesalahan dan kebenarannya dalam riwayat seimbang atau lebih banyak salahnya.

Oleh: Abu Unaisah, Aswanto bin M. Takwi, Lc
Sumber:htpps://markazassunnah.blogspot.com

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M