• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Ilmu Tahqiq dan Takhrij

Bagikan

Takhrij adalah menunjukkan atau menisbatkan hadits kepada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya dengan sanadnya. Tahqiq adalah semakna dengan Tadqiq (pemeriksaan secara seksama dan detil) di mana sebagian ulama menghampiri sebuah Makhthuth (Manu script) dari kitab-kitab karangan ulama ingin mencetaknya, akan tetapi cetakan ini perlu adanya naskah dengan tulisan yang baik, maka sang Muhaqqiq (orang yang melakukan Tahqiq) mengajukannya untuk dicetak, lalu mengevaluasi cetakan itu dan meneliti harakat naskahnya. Bila terdapat kata-kata yang perlu untuk dijelaskan, maka ia harus menjelaskannya dan bila terdapat kata-kata yang salah tulis oleh nasikh (pemindah tulisan asli), maka ia harus membetulkannya, lalu menyiratkan kepada upaya yang dilakukannya dalam tahqiq dan pembetulan ini.

Mengeluarkan nash secara benar dan tanpa cacat dengan Tadqiq dan pembetulan ini dinamakan Tahqiq. Mudah-mudahan dengan ini perbedaan antara takhrij dan tahqiq menjadi jelas.

(SUMBER: Fatawa Haditsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, Hal.161, dinukil dari tulisan Saudara Abu Al Jauzaa di www.myquran.org)

  1. Takhrij Hadits

Apakah yang dimaksud dengan takhrij hadits?

Takhrij secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja “خرّج, يخرّج, تخريجا”. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan, takhrij adalah: “menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah[1]”

Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;

التخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة المراد بالدلالة على موضع الحديث

“Menunjukkan letak Hadits dari sumber-sumber aslinya (sumber primer), untuk kemudian diterangkan rangkaian sanadnya, dan dinilai derajat haditsnya jika diperlukan[2].

Jadi, ada dua hal yang dikaji dalam takhrij hadits. Pertama, menunjukkan letak hadits dalam kitab-kitab primer hadits. Kedua, menilai derajat hadits tersebut jika diperlukan.

Apakah tujuan dari takhrij hadits?

Tujuan utama dari takhrij hadits adalah mengetahui derajat suatu hadits, apakah maqbul atau mardud. Sebenarnya takhrij tidak hanya untuk hadits saja, tetapi juga kepada perkataan yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in.

Apakah faedah dari takhrij hadits?

  1. Dapat diketahui banyak-sedikitnya jalur periwayatan suatu hadist yang sedang menjadi topik kajian.
  2. Dapat diketahui status hadist, apakah shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat di ketahui istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya.
  3. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadist      tersebut adalah makbul (dapat di terima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila      mengetahui bahwa hadist tersebut tidak dapat diterima (mardud).
  4. Dapat diketahui pula hadits yang semula dhaif dari satu jalur, ternyata ada jalur lain yang hasan atau shahih.

Ilmu apa saja yang harus dikuasai jika ingin melakukan takhrij?

Pertama yang jelas adalah Bahasa Arab. Karena literatur yang dipakai dalam takhrij hadits adalah kitab-kitab yang berbahasa Arab. Kedua, adalah ilmu Ushul al-Hadits atau lebih dikenal dengan Ilmu Mushthalah Hadits.Ketiga, lebih spesifik lagi adalah Ilmu at-Tarajum dan Ilmu al-Jarhi wa at-Ta’dil. Ilmu ini berkaitan dengan rawi dari setiap hadits yang akan kita takhrij, masa hidupnya dan penilaian ulama terhadapnya. Itulah kualifikasi dasar yang harus dimiliki seseorang jika ingin mencoba mentakhrij hadits Nabi[3].

Apakah takhrij hadits termasuk ilmu baru dalam Islam?

Bisa dikatakan iya, bisa tidak. Dikatakan ilmu baru karena memang ilmu ini belum berkembang pada masa awal Islam. Tetapi bisa dikatakan tidak baru, karena semangat dasar takhrij sudah ada sejak masa shahabat.

Takhrij hadits dimaksudkan agar seseorang berhati-hati dalam menerima informasi hadits, apakah memang benar dari Nabi Muhammad atau palsu.

Bisa dikatakan Abu Bakar as-Shiddiq adalah orang pertama dari shahabat Nabi yang selektif dalam menerima informasi hadits dari Nabi, jika beliau tidak langsung mendengarnya. Hal itu sebagaimana komentar dari ad-Dzahabi (w. 748 H)[4]:

كان أول من احتاط في قبول الأخبار

(Abu Bakar as-Shiddiq) adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima kabar dari Nabi. Sampai akhirnya takhrij hadits ini berkembang pesat pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.[5]

Contoh kitab-kitab takhrij dari ulama terdahulu?

Sebagaimana disebutkan diatas, masa keemasan ulama dalam menulis kitab takhrij adalah abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.

  1. Taghliq at-Ta’liq, karya: al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini      menerangkan tentang hadits-hadits yang disinyalir mu’allaq dalam kitab Shahih Bukhari yang      jumlahnya sekitar 1341 buah hadits.
  2. Al-‘Ujab fi Takhrij ma Yaqulu fihi at-Tirmidizi, karya al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w.     852 H).
  3. Nushbu ar-Rayah Li Ahadits al-Hidayah, karya: Abdullah bin Yusuf az-Zailaghi (w. 726 H). Kitab ini     merupakan takhrij dari kitab al-Hidayah karya Ali bin Abu Bakar al-Marghinani (w. 593 H).
  4. Al-Badru al-Munir, karya: Sirajuddin ibn al-Mulaqqan (w. 804 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits      yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H). Kitab as-Syarhu al-Kabir ini merupakan syarah dari kitab al-Wajiz karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
  5. At-Talkhish al-Habir, al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini juga mentakhrij hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H).
  6. Al-Mughni an Hamli al-Asfar di al-Asfar, karya: al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl al-Iraqi (w. 806 H).      Kitab ini mentakhrij kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
  7. Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytahirah ala al-Alsinah, karya:     Syamsuddin as-Sakhawi (w. 902 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits yang masyhur dalam      masyarakat.

Kitab-kitab yang membicarakan teori takhrij?

  1. Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, karya: Mahmud at-Thahhan.
  2. Kasyfu al-Litsam an Asrar Takhrij Sayyid al-Anam, karya: Abdul Maujud Muhammad Abdullatif.
  3. Thuruq Takhrij Haditsi Rasulillah, karya: Abdul Mahdi bin Abdul Qadir.

[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyariq, 1986), h. 172.

[2] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Maa’rif, 1991), h. 10.

[3] Hatim bin Arif al-Auni, at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Maktabah Syamilah), h. 2

[4] Syamsuddin ad-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffadz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H), juz 1, h. 9

[5] Muhammad bin Dhafir as-Syahri, Ilmu at-Takhrij wa Daurhu fi Hifdzi as-Sunnah an-Nabawiyyah, h. 6

Oleh Hanif Luthfi, Lc. MA

Sumber : https://www.rumahfiqih.com

2. Ilmu Takhrij

Definisi

Ilmu Jarh wa Ta’dil hanya berkutat pada kajian tsiqat atau ketidak-tsiqat-an para rawi hadis, begitu juga dengan Ilmu Rijal Al-Hadis yang hanya membahas tentang kebersambungan atau ke-muttashil-an para perawi baik dari segi tempat, waktu wafat dan lahir, maupun dari hubunganya sebagai guru dan murid. Sementara Ilmu Tahqiq Al-Hadis—meskipun secara kajian atau penelusuran pustaka belum kami dapatkan—tapi berdasarkan informasi sima’i dari para dosen, bahwasanya Ilmu Tahqiq Al-Hadis adalah tidak jauh dengan Ilmu Takhrij Al-Hadis. Ini artinya bahwa Ilmu Tahqiq Al-Hadis adalah ilmu yang membahas apakah suatu hadis itu termasuk shahih atau dha’if dan bisa dijadikan dasar sebuah hukum.

Ilmu Tahqiq Al-Hadis merupakan penjajagan ataupun penjelasan tahap akhir terhadap perincian pemahaman hadis secara universal atau keseluruhan khususnya yang terkait dengan substansi suatu hadis. Dalam istilah lain, Ilmu Tahqiq Al-Hadis disebut juga Fiqh Al-Hadis.[1] Kompleksitas yang mengarungi seluruh problematika hadis dijawab dengan ilmu ini.

Contoh Penerapan

Sebagai gambaran umum mengenai proyeksi kerja Ilmu Tahqiq Al-Hadis, dibawah ini kami berikan contoh sebagai pengantar untuk memahami apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan Ilmu Tahqiq Al-Hadis.

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ ﴿ رواه البخاري ﴾[2]

Telah berbicara kepada kami Ya’qub, berkata Ibrahim ibn Sa’d dari ayahnya dari Al Qasim ibn Muhammad dari Aisyah ra., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang mendatangkan hal baru dalam agama yang tidak termasuk dalam bagian darinya (tidak ada dasar hukumnya) maka tertolak”. ﴾HR. Bukhari﴿

Cara kerja Ilmu Tahqiq Al-Hadis dalam menganalisis hadis di atas adalah sama seperti dengan ilmu-ilmu hadis yang terkait. Namun dalam ilmu ini kita akan memperoleh gambaran yang lebih holistik dan secara menyeluruh serta komprehensif.

Hadis di atas terdapat pada:[3]

  1. Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Shulhi, Bab Iza Ishtholahu ‘ala Shulh Juur fa Al-Shulh Mardud, hadis nomor 2550.
  1. Shahih Muslim, Kitab Al-Aqdhiyah, Bab Naqhd Al-Ahkam Al-Bathilah wa Radd Muhaddatsat Al-Umur, hadis nomor 1718.
  1. Sunan Abu Daud, Kitab Al-Sunnah, Bab Fi Luzumi Al-Sunnah, hadis nomor 4606.
  2. Sunan Ibnu Majah, Kitab Al-Muqadimah, Bab Ta’dzim Hadits Rasulillah wa Al Taghlidz ‘ala Man      ‘Aridhah, hadis nomor 14.
  1. Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis nomor 3311, 3975, 4298, 4840.

Berdasarkan penjajagan kami dalam meneliti sanad-sanad yang ada dalam hadis di atas, maka hadis di atas menurut para muhaditsin adalah shahih. Karena disamping mar’fu, juga ittishal. Dalam studi sanad, hadis tersebut tidak bermasalah. Akan tetapi jika dilakukan studi hadis atau analisis matan, maka kita akan banyak menemukan masalah. Ini dikarenakan muatan matan hadis tersebut datang dengan maknanya yang mujmal sehingga membutuhkan banyak referensi agar kita memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai makna ke-mujmal-anya itu.

Secara substansial kita bisa memahami bahwa muatan makna hadis di atas berkenaan dengan hukum. Yaitu hukum tertolaknya amal yang tanpa bersumber dari dua prasasti hukum islam yaitu al-sunah dan al-Qur’an. Berkenaan dengan ini, Imam Nawawi berkata,” Hadis ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemunkaran”. Senada dengan itu, Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,” Hadis ini merupakan dasar islam. Secara tekstual, memiliki manfaat yang sangat luas, karena ia merupakan dasar global dari semua dalil.”[4]

Hadis ini merupakan dasar yang jelas bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syar’i adalah tertolak. Hadis ini juga menunjukan bahwa semua perbuatan, baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan terikat dengan hukum syara. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari koridor syara’, seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syara’ bukan syara’ yang menghukumi perbuatan.

Hadis ini merupakan jawami’ al-kalim (singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai nash al-Qur’an yang menyatakan bahwa keselamatan seseorang hanya hanya akan didapat dengan mengikuti petunjuk Rasulullah saw. tanpa menambah ataupun menguranginya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿ آل عمران 31 ﴾

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ﴾QS. Ali Imran: 31).

Juga dalam firman-Nya,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿ الأنعام 153 ﴾

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. ﴾QS. Al-An’am: 153﴿

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa dalam khutbahnya, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad saw. Seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan semua yang dibuat-buat adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.” Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan, “dan semua kesesatan masuk neraka.” [5]

Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syara’, maka perkara itu tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun, perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariat, maka perkara tersebut baik dan dapat diterima. Karena itulah Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Apa-apa yang sengaja dibuat dan tidak sesuai dengan al-Qur’an atau Sunnah, ijma’ atau atsar, maka perkara tersebut masuk dalam kategori bid’ah yang sesat. Dan apa-apa yang sengaja diciptakan dan bersifat baik juga tidak bertentangan dengan syara, maka masuk dalam kategori bid’ah yang baik.”[6]

Contoh bid’ah hasanah adalah seperti pengumpulan al-Qur’an di masa Abu Bakar, penyeragaman bacaan al-Qur’an di masa Utsman ibn ‘Affan. Contoh lain seperti penulisan ilmu nahwu, tafsir, ilmu hadis dan berbagai ilmu lainnya yang bersifat empiris dan sangat bermanfaat bagi manusia serta dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi. Dan yang termasuk bid’ah sayyi’ah atau sesat adalah seperti pengagungan suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut dengan keyakinan bahwa benda yang ia agungkan bisa memberi manfaat, misalnya mengagungkan pohon, batu dan kuburan.

Hadis ini dapat digunakan sebagai hujjah untuk menolak segala hal yang baru dalam perkara tetapi sesat dan atau menyesatkan (bid’ah). Namun demikian, sebagian ahli bid’ah membantah hadis ini. Karenanya, perlu disebutkan hadis senada yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ لَهُ ثَلَاثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ﴿رواه مسلم﴾[7]

Telah berkata kepada kami Ishaq ibn Ibrahim dan ‘Abd ibn Humaid, keduanya dari Abi ‘Amir, berkata ‘Abd, berkata ‘Abd Al-Malik ibn ‘Amr, berkata ‘Abdullah ibn Ja’far Al-Zuhri dari Sa’d ibn Ibrahim. Ia berkata, “Saya bertanya kepada Al Qasim ibn Muhammad tentang seorang laki-laki yang memiliki tiga buah tempat tinggal, kemudian ia berwasiat dengan sepertiga tempat tinggal.” Al-Qasim menjawab, “Semuanya dikumpulkan dalam satu tempat tinggal.” Kemudian ia berkata, “’Aisyah telah mengkhabarkan kepadaku sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasarkan perintah kami, maka ia ditolak.”” ﴾HR. Muslim﴿

Dalam tubuh suatu hadis terdapat dua kategori, yaitu kategori sanad dan kategori matan. Sanad sebagai pohon dan ranting suatu hadis, sementara matan adalah buah yang diproduksi atau dihasilkan oleh pohon tersebut. Dan Ilmu Tahqiq Al-Hadis adalah ilmu yang bisa memetik dan sekaligus memanfaatkan buah dengan cara memanjat atau menelusuri ranting-rantingnya hingga akhirnya bisa memetik buah itu dengan tangannya sendiri. Inilah analogi sederhana tentang tahqiq al-hadis yang ingin memetik sekaligus menikmati atau menggunakan buah (matan) suatu hadis, dengan melalui penelusuran secara menyeluruh melalui pohon atau ranting-ranting (sanad) nya. Seperti itulah apa yang dimaksud dengan ilmu ini, yaitu merupakan penjajagan ataupun penjelasan tahap akhir terhadap perincian pemahaman hadis secara universal atau keseluruhan khususnya yang terkait dengan substansi suatu hadis.

Wa Allah A’lam bi Al-Shawwab.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Utsman, Fatimah, Dra. Hj. M.Si. dan Hasan, A., Asy’ari Ulama’i, M.Ag, Ratu-Ratu Hadis. Semarang: ITTAQA Press, 2000.
  2. Abdillah, Abu, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Mughirah Al Ja’fari ibn Bardazabah Al Ja’fi Al Bukhari, Shahih Al-Bukhari Juz 2.

Surabaya: Makatabah Al-Syekh Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan, tth.

  1. Wensick,A. W., Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadits Al-Nabawi Juz 1. Leiden: Maktabah Barel, 1936.
  2. Musthafa, Dieb, Al-Bugha Muhyiddin Mistu, Dr., Menyelami Makna 40 Hadis Rasulullah saw. (Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah) (terj.), Al-

I’tishom Cahaya Umat, tth.

  1. Salim, Syekh, Alwan Al Hasani dan Fawwaz, Syekh, ‘Abboud, Bid’ah, makalah yang dipresentasikan dalam acara Daurah Ilmiyah “Bedah

Wacana Teologi Sunni” di Aula Serbaguna Jurusan Ilmu Agama Islam, FIS Universitas Negeri Jakarta tanggal 15 – 16 April 2004, kerjasama Pusat Kajian SYAHAMAH dengan IAI, FIS-UNJ Jakarta.

Husain, Abu, ibn Hajjaj ibn Muslim Al-Qusairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim Juz 1. Surabaya: Makatabah Al-Syekh Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan, tth.

Sumber : http://ilmutuhan.blogspot.com/2013/02/ilmu-tahqiq-al-hadis.html?m=1

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M