Imam al-Malibari
Di Indonesia, kalangan pelajar ilmu agama sudah tidak asing lagi dengan kitab Fath Al-Mu’in Syarh Qurrah Al-‘Ain karya Al-Malibari. Kitab ini merupakan bagian dari kurikulum fikih tingkat menengah (mutawassith) di banyak pondok pesantren di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian budaya masyarakat Indonesia dan Timur Asia pada umumnya yang cenderung mengikuti mazhab Syafi’i, yang diasuh oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami. Sementara itu, masyarakat Timur Tengah lebih banyak mengikuti Imam Syamsuddin Ar-Ramli. Kesimpulan ini saya peroleh dari para guru.
Fath Al-Mu’in bisa dianggap sebagai rangkuman dari apa yang Al-Malibari pelajari dari gurunya, Ibnu Hajar Al-Haitami, yang merupakan pengarang kitab Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarh Al-Minhaj. Bahasa dalam kitab ini lebih eksplisit, ringkas, dan praktis untuk dipelajari oleh pelajar agama. Bahkan, mempelajari dan memahami Fath Al-Mu’in sudah cukup untuk menjadi pengantar (madkhal) menuju At-Tuhfah.
Sayangnya, kitab ini yang tersebar di berbagai negeri Islam ini sering kali mengalami kesalahan dalam menisbahkan penulisnya. Hal ini terlihat dari beberapa muhasysyi (pengulas syarah) yang keliru dalam menyampaikan biografi penulis. Bahkan, edisi teks (tahkik) yang dilakukan oleh para penahkik turats masa kini pun sering kali tidak bebas dari kesalahan.
Kita dapat dengan mudah melihat kesalahan ini di sampul kitab Fath Al-Mu’in dalam banyak cetakan, yang mencantumkan nama Imam Al-Malibari dengan variasi seperti Zainuddin bin Abdul’aziz, Zainuddin bin Abdul’aziz bin Zainuddin, Ahmad Zainuddin bin Abdul’aziz, Ahmad bin Abdul’aziz, atau seumpamanya. Seolah tidak ada yang curiga dengan banyaknya perbedaan nama dan nasab ini. Indonesia pun termasuk negara yang masih dibanjiri oleh kesalahan tersebut hingga hari ini, kecuali beberapa cetakan yang terbit baru-baru ini.
Jarang sekali ditemukan kajian penahkik yang benar-benar memperhatikan biografi pengarang kitab ini. Contohnya, saat membahas biografi pengarang, sangat sedikit yang menyajikan informasi yang komprehensif. Lebih banyak ketidaktahuan daripada yang diketahuinya. Bahkan ada yang mengungkapkan, “Saya tidak menemukan informasi mengenai beliau di kitab-kitab biografi, kecuali isyarat yang terdapat dalam kitab ini (Fath Al-Mu’in).” Kalaupun ada paparan biografi yang cukup panjang, sering kali penahkik lebih banyak menguraikan sejarah Malibar, kisah para guru, kitab-kitab karangan, dan hasyiah-hasyiah atas Fath Al-Mu’in. Meskipun demikian, beberapa penahkik mulai menunjukkan kesadaran dan menggunakan nama serta nisbah yang benar dalam karya-karya tulis Al-Malibari lainnya.
Di sini, saya akan mencoba untuk menceritakan sepenggal kisah hidup Al-Malibari. Semoga coretan kecil ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Keluarga
Al-Malibari berasal dari keluarga ‘Al-Makhdum’, yang dipimpin oleh Syekh Zainuddin Ibrahim bin Ahmad (saudara buyutnya). Beliau memiliki saudara bernama Ali (buyut Al-Malibari), yang memiliki anak bernama Zainuddin (kakek). Zainuddin ini kelak menjadi duta pertama dari Malibar yang belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Selama di Al-Azhar, sang kakek belajar kepada Syekh Abdullah Al-Makkudi Al-Azhari, Syamsuddin As-Sakhawi Al-Azhari, Jalaluddin As-Suyuthi Al-Azhari, dan lainnya. Sepulang dari sana, sang kakek meniru metode pembelajaran di Al-Azhar dengan mendirikan masjid jami’ di Ponnani, Kerala, India, sebagai tempat belajar dengan sistem halakah.
Sang kakek memiliki lima anak: tiga laki-laki dan dua perempuan. Anak laki-laki beliau adalah Yahya (anak tertua, meninggal kecil), Muhammad Al-Ghazali (anak kedua, ayah penulis), dan Abdul’aziz (anak bungsu, sering disalahartikan sebagai ayah penulis).
Dari pemaparan di atas, kita mengetahui bahwa Zainuddin (kakek) memiliki anak bernama Muhammad Al-Ghazali. Nama ini diberikan sebagai tayammun (mengharap baik) dan bentuk penghormatan kepada Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali. Cerita yang sama juga saya dengar dari para guru di Al-Azhar tentang mengapa Syekh Muhammad Al-Ghazali As-Saqqa dinamakan demikian.
Ayahnya, Muhammad Al-Ghazali, adalah seorang ulama besar di Malibar pada zamannya. Beliau menjabat sebagai mufti dan kadi serta membangun masjid jami’ di Chombala, Kerala, India. Di Chombala, sang ayah menikah dengan seorang wanita salehah yang berasal dari keluarga Waliyakat Karakutti, yang terkenal taat beragama.
Nama Asli Penulis Fath Al-Mu’in
Dari orang tua yang saleh, lahirlah Ahmad Zainuddin bin Muhammad Al-Ghazali bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Makhdumi Al-Ma’bari Al-Malibari Al-Hindi Al-Asy’ari Asy-Syafi’i Al-Qadiri, penulis Fath Al-Mu’in.
Argumen yang memperkuat bahwa beliau adalah anak Muhammad Al-Ghazali ialah perkataan beliau sendiri yang tertuang dalam mukadimah kitabnya sendiri, Al-Ajwibah Al-‘Ajibah ‘an Al-As’ilah Al-Gharibah, yang berbunyi:
فَيَقُولُ أَضْعَفُ الْعِبَادِ، وَأَفْقَرُهُمْ إلى رَحْمَةِ الْجَوَادِ، أَحْمَدُ زَيْنُ الدِّينِ بْنُ مُحَمَّدِ الْغَزَالِيِّ الْمَعْبَرِيِّ الشَّافِعِيِّ
Sedangkan nisbah yang ditulis oleh sejumlah ulama dan sejarawan bahwa Abdul’aziz adalah ayahnya alih-alih Muhammad Al-Ghazali adalah sebuah kealpaan besar. Apalagi dalam ilmu tahkik, mukadimah penulis adalah argumen terkuat dalam studi dan verifikasi data. Adapun Abdul’aziz, ialah pamannya, bukan ayahnya, sebagaimana termaktub dalam beberapa buku biografi ulama India.
Mengingat terdapat kesamaan nama antara penulis dan kakeknya (Zainuddin), maka sang kakek dikenal dengan Zainuddin Al-Makhdum Al-Kabir. Sedangkan beliau dikenal dengan Zainuddin Al-Makhdum Ash-Shaghir.
Menuntut Ilmu
Al-Malibari lahir pada tahun 938 H (1532 M) di Chombala menurut pendapat sejarawan yang lebih kuat. Adapun yang mengatakan bahwa beliau lahir di Ponnani adalah pendapat yang lemah, karena bapak-ibunya bermukim di Chombala, bukan di Ponnani.
Seperti halnya didikan para ulama terdahulu kepada anak-anaknya, orang tua adalah madrasah pertama bagi sang anak dalam menimba ilmu agama. Setelah pondasi ilmu agama selesai diajarkan oleh sang ayah, ayahnya wafat ketika beliau masih kecil. Sang ibu kemudian menyerahkan Al-Malibari kecil kepada saudara ayahnya, Syekh Abdul’aziz, pamannya yang mengajar di masjid yang dibangun kakeknya di Ponnani. Mengingat Al-Malibari dididik sejak kecil oleh pamannya, bisa jadi itulah salah satu penyebab sejumlah sejarawan menisbahkannya kepada sang paman dan mengatakan kelahirannya di Ponnani.
Selama dididik oleh sang paman, beliau menghafal Al-Quran dan belajar ilmu-ilmu dasar agama. Layaknya didikan ulama dari generasi ke generasi sebelum menjadi tokoh.
Sumber : https://tawazun.id/ahmad-zainuddin-al-malibari-pengarang-fath-al-muin-murid-ibnu-hajar-al-haitami/
