Imam As Suyuti
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddien Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddien Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddien Muhammad bin asy-Syaich Hammamuddien al-Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam tahun sebelum bapaknya wafat.
Asal Usul Beliau
Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan cendekiawan sejak kecilnya. Bapaknya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an di usianya yang sangat dini dan selalu diikutkan bapaknya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya.
Dan bapaknya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapaknya melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits).
Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan. Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian menghafal kitab al-’Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H, yakni ketika berumur 15 tahun.
Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddien al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar-Raudhah. Belajar Faraidl dari syaikh Sihaabuddien Asy-Syaarmasaahi, dan mulazamah kepada asy-Syari al-Manaawi Abaaz Kuriya Yahya bin Muhammad, kakak dari Abdurrauf pensyarah al-Jami’ ash-Shaghir.
Kemudian menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits kepada Taqiyuddien asy-Syamini al-Hanafi (872 H).
Lalu mulazamah kepada syaikh Muhyiddien Muhammad bin Sulaiman ar-Ruumi al-Hanafi selama 14 tahun. Dari beliau ia menimba ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani. Juga berguru kepada Jalaaluddien al-Mahilli (864 H) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali. Dan membaca shahih Muslim, asy-Syifa, Alfiyah Ibnu malik dan penjelasaannya pada Syamsu as-Sairaami.
Imam Suyuthi tidak mau meninggalkan satu cabang ilmu pun kecuali ia berusaha untuk mempelajarinya, seperti ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin as-Sibaa’ dan Abudl Aziz al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim ad-Diwwani ar-Ruumi. Hal ini sesuai dan didukung oleh keadaan waktu itu di mana dia dapat menimba ilmu dari banyak syaikh. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, baik ilmu bahasa maupun ilmu dien, demikian pula ia tidak merasa cukup dengan para ulama yang telah ia temui.
Bahkan ia bepergian jauh sekedar untuk mencari ilmu dan riwayat hadits, hingga ke negeri Maghribi (Tanjung Harapan, sebelah ujuh barat pulau Afrika), ke Yaman, India, Syam Mahallah (di Mesir Barat), Diimath (sebuah kota di tepi sungai Nil, Mesir), dan Fayyum (Mesir) serta negeri-negeri Islam lainnya. Telah menunaikan ibadah Hajji dan telah minum air Zam-zam dengan harapan supaya dapat seperti Syaich al-Balqini dalam menguasi ilmu Fiqih serta dapat seperti Ibnu Hajar dalam menguasai ilmu Hadits.
Demikianlah imam yang mulia ini, mengadakan perjalanan yang tidak tanggung-tanggung dengan segala kesusahannya hanya untuk dapat menimba ilmu. Banyak sekali gurunya. Bahkan disebutkan oleh syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat bahwa gurunya lebih dari 600-an orang.
Sesuai dengan banyaknya syaikh dan jauhnya perjalanannya dalam menimba ilmu, hal itu didukung pula oleh kemampuannya untuk semaksimal mungkin dalam memanfaatkan perpustakaan Madrasah Mahmudiyah. Berkata al-Maqrizi, bahwa di dalam perpustakaan ini terdapat segala jenis kitab-kitab Islam, dan madrasah ini merupakan sebaik-baik madrasah yang ada, yang dinisbatkan kepada Mahmud bin al-Astadaar, yang berdirinya pada tahun 897 H. Dan kitab-kitab yang ada tersebut merupakan kitab yang paling lengkap dari yang ada sekarang di Qahirah (Cairo), yang merupakan koleksi dari Burhan Ibn Jama’ah dan kemudian dibeli oleh Mahmud al-Astadaar dengan uang warisannya setelah ia wafat dan kemudian ia waqafkan.
Hingga matanglah kepribadian Suyuthi, dan sempurnalah pembentukan ilmunya pada taraf syarat mampu untuk berijtihad. Beliau seorang yang mudah mengerti, kuat hafalannya, dianugerahi Allah dengan otak yang cerdas, disamping itu beliau adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud, tawadlu’. Tidak mau menerima hadiah raja. Pernah ia diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”
Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’ maupun penguasa.
Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.” Beliau terlalu disibukkan dengan memberi pelajaran dan berfatwa sampai umur 40 tahun, kemudian beliau lebih mengkhususkan untuk beribadah dan mengarang kitab. Dan karangan imam Suyuthi rahimahullah lebih dari 500 buah karangan.
Berkata imam Suyuthi, “Kalau seandainya aku mau maka aku mampu untuk menyusun kitab yang membahas setiap masalah dengan segala teori dan dalil-dalil yang kami nukil, qiyasnya, keterangannya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, muwazanahnya antara perselisihan berbagai madzhab tentang masalah itu, dengan fadhilah Allah, tidak dengan daya dan kemampuanku. Karena sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali dari Allah.”
Kitab-Kitabnya
Adapun kitab-kitab yang disusun oleh imam Suyuthi rahimahullah antara lain sebagai berikut:
1. Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an
2. Ad-Durrul Mantsuur fit Tafsiril Ma’tsuur
3. Tarjumaan al-Qur’an fit Tafsir
4. Israaru at-Tanziil atau dinamakan pula dengan Qathful Azhaar fi Kasyfil Asraar
5. Lubaab an-Nuqul fi Asbaabi an-Nuzuul
6. Mifhamaat al-Aqraan fi Mubhamaat al-Qur’an
7. Al-Muhadzdzab fiima waqa’a fil Qur’an minal Mu’arrab
8. Al-Ikllil fi istimbaath at-Tanziil
9. Takmilatu Tafsiir asy-Sayich Jalaaluddien al-Mahilli
10. At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir
11. Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi
12. Tanaasuq ad-Duraru fi Tanaasub as-Suwari
13. Maraashid al-Mathaali fi Tanaasub al-Maqaathi’ wal Mathaali’
14. Majma’u al-Bahrain wa Mathaali’u al-Badrain fi at-Tafsir.
15. Mafaatihu al Ghaib fi at-Tafsiir
16. Al-Azhaar al-Faaihah ‘alal Fatihah
17. Syarh al-Isti’adzah wal Kasmalah
18. Al-Kalaam ‘ala Awalil Fathi
19. Syarh asy-Syathibiyah
20. Al-Alfiyah fil Qara’at al ‘asyri
21. Khimaayal az-Zuhri fi Fadla’il as-Suwari
22. Fathul Jalil li ‘Abdi Adz Dzalil fil Anwa’il Badi’ah al- Mustakhrijah min Qaulihi Ta’ala: Allaahu Waliyyulladziina aamanu
23. al-Qaul al-Fashih Fi Ta’yiini adz-Dzabiih
24. al-Yadul Bustha fi as-Shalaatil Wustha
25. Mu’tarakul Aqraan Fi musykilaatil Qur’an
Semua itu judul-judul buku yang berkenaan dengan Tafsir, adapun yang berkenaan dengan ilmu hadits, antara lain adalah sebagai berikut:
1. ‘Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah
2. Durru ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah
3. Husnul Muhaadlarah
4. Riihu an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin
5. Is’aaful Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’
6. Kasyfu at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis
7. Taqriibul Ghariib
8. al-Madraj Ila al-Mudraj
9. Tadzkirah al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy
10. Asmaa`ul Mudallisiin
11. al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’
12. ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi al-mushthalah
Wafatnya
Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H. Sebelumnya beliau menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun. Dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun di Cairo.
Sumber : https://pena-mylife.blogspot.com/2012/04/biografi-imam-as-suyuti.html
Mengenal Imam Al-Suyuthi dan Al-Itqan-nya
Sungguh, (Imam) al-Suyuthi telah menegaskan hal itu (lahirnya dan pentingnya mempelajari ‘Ulum al-Qur’an) di dalam mukadimah kitabnya, al-Itqan, yang dari kitab itu lah kami merangkumkan intisari ini. Yakni tatkala beliau berkata, “Sungguh, ketika masih masa-masa belajar, saya benar-benar heran dengan para ulama pendahulu (al-mutaqaddimin), karena mereka tidak membukukan satu kitab pun yang memuat pembahasan tentang ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an), sebagaimana yang telah mereka lakukan pada disiplin Ilmu Hadis.”
Maka, ini adalah beberapa pasal dalam ‘Ulum al-Qur’an yang kami intisarikan dari kitabnya Imam al-Suyuthi Rahimahullah yang beliau beri judul, “al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an”, (kami mengintisarikannya) bersama beberapa pemastian (verifikasi pendapat yang paling sahih) dan beberapa tambahan yang diperlukan untuk menyempurnakan faedah. Dan kami menamainya “Zubdah al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an” (Intisari kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an). Kita memohon kepada Allah SWT, semoga memberi kemanfaatan kepadanya, sebagaimana Dia telah memberi kemanfaatan kepada kitab aslinya, dan semoga Dia menjadikannya sebagai amal saleh (yang murni) untuk mencari keridaan-Nya, Aamin. (Mekkah al-Mukarramah, 8 Rabi‘ al-Awwal 1401, ditulis oleh al-Sayyid Muhammad bin al-Sayyid ‘Alwi bin al-Sayyid ‘Abbas al-Maliki al-Hasani).
Jadi, dari penjelasan Abuya di atas, kita bisa memahami bahwa kitab beliau yang sedang kita kaji bersama ini adalah semacam “rangkuman” dari kitab yang berjudul al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, karya Imam al-Suyuthi, sebagaimana yang telah penulis singgung pada kesempatan-kesempatan sebelumnya. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, ada dua poin yang perlu kita bahas, yakni sekilas biografi Imam al-Suyuthi untuk mengenal beliau lebih dekat dan selayang pandang tentang kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.
Sketsa Biografi Imam al-Suyuthi
Nama asli beliau adalah ‘Abdurrahman. Lengkapnya, Jalaluddin Abu al-Fadhl ‘Abdurrahman bin Kamaluddin Abi al-Manaqib Abi Bakar bin Nashiruddin Muhammad bin Sabiquddin Abi Bakar bin Fakhruddin ‘Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khadhir bin Najmuddin Abi al-Shalah Ayyub bin Nashiruddin Muhammad bin al-Syeikh Humamuddin al-Humam al-Khudairi al-Asyuthi atau al-Suyuthi. Beliau dilahirkan di Mesir, setelah Maghrib, malam Ahad, bulan Rajab, tahun 849 H yang bertepatan dengan 3 Oktober 1445 M.
Nama “Jalaluddin” yang disematkan kepada beliau adalah sebuah julukan yang diberikan oleh ayahnya sendiri. Sedangkan terkait nama “Abu al-Fadhl”, yang di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah kunyah, beliau berkata, “Aku tidak mengetahui betul, apakah ayahku sendiri memberi kunyah kepadaku atau tidak. Tetapi, tatkala aku menghadap kepada teman karib ayahku, Syaikhina Qadhi al-Qudhah ‘Izzuddin Ahmad bin Ibrahim al-Kannani al-Hanbali, beliau bertanya, ‘Apa kunyah-mu?’ Aku pun menjawab, ‘Tidak ada (tidak punya).’ Beliau menjawab, ‘Abu al-Fadhl.’” Oleh karena itu, dari cerita al-Suyuthi ini, dapat dipahami bahwa yang memberi kunyah beliau adalah ‘Izzuddin Ahmad al-Kannani al-Hanbali tersebut.
Ada cerita menarik tentang kelahiran al-Suyuthi yang disampaikan oleh al-Zirikli di dalam al-A‘lam-nya. Bahwa pada suatu hari, tatkala ibu al-Suyuthi mengandung beliau, sang ayah meminta tolong kepada sang ibu untuk diambilkan sebuah kitab. Tiba-tiba, sang ibu “didatangi” oleh rasa sakit melahirkan. Oleh karenanya, sang ibu pun melahirkan di ruangan yang penuh dengan kitab-kitab itu. Dari sini lah al-Suyuthi dijuluki sebagai Ibnu al-Kutub, yakni putra dari kitab-kitab!
Beliau tumbuh besar di kota Kairo sebagai anak yatim, karena sewaktu beliau masih berumur 5 tahun, ayah beliau meninggal dunia. Untuk itu, beliau diasuh oleh rekan-rekan sang ayah yang juga ulama-ulama besar, di antaranya al-Kamal bin al-Hummam. Sejak umur 8 tahun, beliau telah hafal al-Qur’an. Lebih lanjut, beliau pun menghafal puluhan kitab matan dalam berbagai disiplin ilmu. Pada konteks ini, al-Dawudi, murid al-Suyuthi, menjelaskan bahwa guru-guru al-Suyuthi tidak kurang dari 51 syekh. Bahkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Iyad Khalid terhadap kitab-kitab karangan al-Suyuthi sendiri, jumlah guru-guru beliau kurang lebih mencapai 600 syekh! Di antaranya, yang paling berpengaruh dalam membentuk kepribadian beliau, adalah al-Kafiyaji, al-Syumuni, al-Syaramasahi, al-Bulqini dan al-Munawi.
Sedangkan di antara murid-murid al-Suyuthi adalah Ibrahim bin ‘Abdurrahman al-‘Alqami, Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar al-Haitami, Badruddin al-Kurkhi, Syamsuddin al-Fayyumi, ‘Abdur Razaq al-Hanafi, ‘Abdul Wahab bin Ahmad al-Sya‘rani al-Sya‘rawi, ‘Izzudin bin ‘Abdus Salam, ‘Ali bin Ahmad al-Qarrafi, Muhammad bin ‘Ali al-Dawudi, Ibnu Thulun, dan lain-lain.
Selanjutnya, terkait dengan keluasan ilmu beliau, al-Suyuthi sendiri berkata, “Aku diberi rezeki (oleh Allah SWT) mampu menguasai (al-tabahhur) 7 disiplin ilmu, yaitu Tafsir, Hadis, Fikih, Nahwu (gramatika), al-Ma‘ani, al-Bayan dan al-Badi‘.” Ketika mencapai umur 40 tahun, beliau mengasingkan diri dari manusia, hingga seakan-akan beliau tidak mengenal satu pun dari mereka, meskipun teman-teman beliau sendiri. Pada saat itu lah, beliau mulai fokus menulis kitab, mulai dari mengintasarikan kitab yang telah ada, mengomentari, menjelaskan, mengkritik, hingga membukukan suatu disiplin ilmu yang belum pernah ada sebelumnya.
Di saat-saat pengasingan itu pula, para pejabat pemerintah dan orang-orang kaya sering mengunjungi beliau. Mereka memberi harta benda dan hadiah-hadiah, namun beliau tolak. Bahkan, seorang raja yang berkuasa saat itu, berkali-kali mengundang beliau ke istana, tetapi juga beliau tolak. Pun demikian dengan hadiah-hadiah yang diberi sang raja. Hal ini terus berlangsung hingga beliau meninggal dunia pada tahun 911 H/1505 M, di usia 61 tahun.
Adapun karya-karya beliau, menurut al-Zirikli, mencapai kurang lebih 600 karya! Di antaranya yaitu al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Asybah wa al-Nadza’ir, al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil, al-Alfiyah fi Musthalah al-Hadits, al-Alfiyah fi al-Nahwi, Bughyat al-Wi‘ah fi Thabaqat al-Lughawiyyin wa al-Nuhah, Turjuman al-Qur’an, al-Jami‘ al-Shaghir, Tanwir al-Hawalik fi Syarhi Muwaththa’ al-Imam Malik, Jam‘ al-Jawami‘, Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, al-Dibaj ‘ala Shahih Muslim bin al-Hajjaj dan lain-lain.
Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an: Selayang Pandang
Setidaknya ada 3 poin yang akan kita bahas pada sub-judul ini. Pertama, patut digarisbawahi bahwa sebelum al-Itqan karya al-Suyuthi, ada beberapa kitab ‘Ulum al-Qur’an yang ditulis oleh para ulama. Selain al-Hufi (w. 430 H) dengan al-Burhan-nya yang telah disinggung pada kesempatan terdahulu, ada pula Ibnu al-Jauzi (w. 597 H). Ia menulis dua kitab sekaligus yang berkenaan dengan disiplin Ilmu al-Qur’an, yakni Funun al-Afnan fi ‘Uyun ‘Ulum al-Qur’an dan al-Mujtaba fi ‘Ulum Tata‘allaqu bi al-Qur’an.
Selanjutnya, pada abad ke-7 H, disusul oleh ‘Alamuddin al-Sakhawi (w. 641 H) dengan karyanya yang berjudul Jamal al-Qurra’ wa Kamal al-Iqra’. Selain itu, ada pula Abu Syamah (w. 665 H) yang menulis al-Mursyid al-Wajiz ila ‘Ulum Tata‘allaq bi al-Kitab al-‘Aziz. Kemudian, di permulaan abad ke-8, Sulaiman al-Thufi (w. 716 H) menulis kitabnya yang berjudul al-Iksir fi Qawa‘id al-Tafsir. Selain itu, ada pula al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi (w. 794 H).
Sedangkan pada abad ke-9, sebelum al-Suyuthi menulis al-Itqan-nya, ada 2 ulama yang menulis kitab seputar Ilmu al-Qur’an. Kedua-duanya pun merupakan guru al-Suyuthi. Yakni Muhammad bin Sulaiman al-Kafiyaji (w. 874 H) dan Jalaluddin al-Bulqini (w. 824 H). Yang pertama menulis al-Taisir fi Qawa‘id ‘Ilm al-Tafsir, sedangkan yang kedua menulis Mawaqi‘ al-‘Ulum min Mawaqi‘ al-Nujum. Demikian kurang lebih, kitab-kitab ‘Ulum al-Qur’an yang ditulis sebelum al-Itqan.
Kedua, bahwa sebenarnya, sebelum al-Suyuthi menulis al-Itqan, beliau telah menulis al-Tahbir fi ‘Ulum al-Tafsir yang penulisannya menurut penelitian yang dilakukan oleh al-Zarqani rampung pada tahun 872 H. Pada kitab itu, al-Suyuthi menghimpun segala macam cabang Ilmu al-Qur’an yang telah disebutkan oleh gurunya, al-Bulqini, dengan beberapa penambahan keterangan dan faedah. Namun ternyata, jiwa keilmuan beliau tidak puas dengan al-Tahbir-nya itu, sehingga lahirlah al-Itqan yang menghimpun dan menguraikan cabang-cabang Ilmu al-Qur’an lebih banyak daripada sebelumnya.
Ketiga, bahwa al-Itqan karya al-Suyuthi itu mencakup 80 macam pembahasan dalam Ilmu al-Qur’an (hampir 2 kali lebih banyak daripada al-Burhan karya al-Zarkasyi yang hanya mencakup 47 pembahasan). Tentu bukan di sini tempat mendeskripsikan 80 macam pembahasan itu. Tetapi yang jelas, dalam al-Itqan-nya tersebut, al-Suyuthi berhasil menghimpun berbagai macam disiplin Ilmu al-Qur’an yang “dulunya” tercerai-berai dalam serpihan-serpihan karya ulama sebelumnya. Bahkan, dengan tegas beliau menyatakan, “Semua itu yakni karyanya Ibnu al-Jauzi, al-Sakhawi, Abu Syamah dan Abu al-Ma‘ali Syaidzalah bila dinisbahkan pada satu macam pembahasan saja dalam kitab ini (al-Itqan), bagaikan sebutir pasir di sisi gundukan pasir dan setetes embun di samudera air yang melimpah.” Oleh karenanya, tidak berlebihan bila al-Zarqani berkata, “Ia (al-Itqan) adalah pedoman (utama) para peneliti dan penulis dalam disiplin ilmu ini (Ilmu al-Qur’an dan Tafsir).” Bahkan, lebih lanjut al-Zarqani berkata, “Seakan-akan tahun kewafan al-Suyuthi di permulaan abad ke-10 menjadi penghujung (nihayah) bagi kebagkitan penulisan dalam Ilmu-ilmu al-Qur’an.”
Demikian kajian kitab Zubdah al-Itqan pada kesempatan kali ini. Semoga apa yang telah kita pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat-berkah dan bisa kita lanjutkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Allaahumma Aamin, wa Shalla Allahu ‘ala Sayyidina Muhammad al-Mushthafa.
Referensi :
1. Iyad Khalid al-Thabba‘, al-Imam al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi: Ma‘lamat al-‘Ulum al-Islamiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1996), 29-31, 35, 44-47, 409-424.
2. Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Arab Saudi: Wazarat al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Awqaf wa al-Da‘wah wa al-Irsyad, 2010), Vol. 1, 251-252.
3. Walid bin Ahmad al-Husein al-Zubairi, dkk, al-Mawsu‘ah al-Muyassarah fi Tarajum al-A’immat al-Tafsir wa al-Iqra’ wa al-Nahw wa al-Lughah (Madinah: al-Hikmah, 2003), 1153-1154.
4. Fathi ‘Abdul Qadir Farid, dalam al-Suyuthi, al-Tahbir fi ‘Ilm al-Tafsir (Riyadh: Dar al-‘Ulum, 1982), 11.
5. Khairuddin al-Zirikli, al-A‘lam: Qamus Tarajim li Asyhar al-Rijal wa al-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyriqin (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002), Vol. 3, 301-302.
6. Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mu’assasah al-Risalah Nasyirun, 2008), 23-27.
7. Muhammad ‘Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1995), Vol. 1, 34-35.
8. Hazim Sa‘id Haidar, ‘Ulum al-Qur’an baina al-Burhan wa al-Itqan: Dirasah Muqaranah (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, 1420 H), 97-103.
Sumber : https://nursyamcentre.com/artikel/daras_tafsir/mengenal_imam_alsuyuthi_dan_alitqannya
