• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Oktober 2025

Imam Ath-Thabrani

Bagikan

Nama, Panggilan dan Sifat-Sifatnya
Nama beliau adalah Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mathir Al-Lakhami Asy-Syami Ath-Thabrani.

Panggilannya adalah Abul Qasim.
Kelahirannya: beliau dilahirkan pada bulan Shafar tahun 260 H. di Aka, kota asal ibunya. Sifat-sifatnya; Ibnu Mandah mengatakan, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Ath-Thabrani adalah orang yang baik penampilannya”.

Adz-Dzahabi mengatakan, “Kedua matanya menjadi buta pada akhir hayatnya.”

Ath-Thabrani mengatakan, “Orang-orang zindik telah menyihirku.”

Suatu saat, muridnya yang bernama Hasan Al-Aththar bermaksud menguji penglihatan Ath-Thabrani dengan mengajukan pertanyaan, “Berapakah jumlah pasak yang berada diatas atap itu?” Ia menjawab, “Aku tidak tahu, namun cincinku telah diukir oleh Sulaiman bin Ahmad yang indah”.

Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Diantara sanjungan para ulama tentang beliau adalah sebagai berikut:

1. Al-Hafidz Abu Abdillah bin Mandah mengatakan, “Abul Qasim Ath-Thabrani adalah salah satu Al-Hafidz yang agung.”
2. Adz-Dzahabi mengatakan, “Ath-Thabrani adalah seorang imam, Al-Hafidz, tsiqah, ulama yang melakukan banyak perjalanan, ahli hadits dan bendera para penyeberang lautan ilmu.” Tidak henti-hentinya hadits-hadits yang disampaikan Ath-Thabrani dituju, disenangi, dan diambil orang, lebih-lebih pada masa temannya, Ibnu Ridzah. Pada masa itu banyak para pencari ilmu yang menimba ilmu darinya. As-Salafi telah mencatat ada sekitar seratus orang yang menjadi muridnya.”
3. Al-Hafidz Sulaiman bin Ibrahim mengatakan, Ibnu Mardawaih pernah mempunyai rasa benci terhadap Ath-Thabrani sehingga mengucapkan sesuatu yang bernada mengejeknya. Maka Abu Nu’aim berkata kepadanya, “Berapakah hadits yang kamu tulis darinya, wahai Abu Bakar?” Ibnu Mardawaih berisyarat pada beberapa tumpukan berkas. Lalu Abu Nu’aim bertanya, “Apakah kamu melihat orang yang menyamainya?” Ibnu Mardawaih tidak menjawab pertanyaan ini.”
4. Ad-Dawudi mengatakan, “Ath-Thabrani adalah imam yang dijadikan hujjah, sandaran para Al-Hafidz dan menjadi sanad dunia.”

Ilmunya yang Luas dan Aktifnya dalam Mendengarkan Hadits

Abu Al-Husain Ahmad bin Faris Al-Lughawi mengatakan, “Aku mendengar ustadz Ibnu Al-Amid mengatakan, “Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini ada sesuatu yang lebih nikmat dari pada kepemimpinan dan kementrian yang aku berada di dalamnya sampai suatu saat aku melihat perdebatan antara Abu Al-Qasim Ath-Thabrani dan Abu Ja’far Al-Juba’I di depanku.

Ath-Thabrani mengalahkan Al-Juba’I dengan hafalan haditsnya dan Al-Juba’I mengalahkan Ath-Thabrani dengan akalnya. Perdebatan mereka berdua menjadi memanas sehingga suara mereka terdengar keras. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah.

Al-Juba’I berkata, “Aku mempunyai hadits yang tidak ada di dunia kecuali ada padaku.”

Ath-Thabrani mengatakan, “Datangkanlah apa yang kamu punyai itu.”

Al-Juba’I berkata, “Telah meriwayatkan hadits kepada kami Abu Khalifah Al-Jamhi, tel;ah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman bin Ayyub. “ Al-Juba’I kemudian menyebutkan matan hadits tersebut.

Ath-Thabrani mengatakan, “Telah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman bin Ayyub, dan dariku Abu Khalifah mendengar hadits tersebut. Maka mendengarlah dariku agar sanadmu menjadi tinggi.”

Mendengar keterangan Ath-Thabrani tersebut Al-Juba’I menjadi malu. Dan dari perdebatan tersebut aku berandai jika kementrian tidak ada dan aku adalah Ath-Thabrani serta aku senang seperti Ath-Thabrani merasa senang.”

Abu Bakar bin Abi Ali Al-Muaddil mengatakan, “Ath-Thabrani lebih masyhur dari pada kelebihan-kelebihannya yang disebut-sebut. Ia adalah orang yang luas ilmunya dan banyak karyanya.”

Adz-Dzahabi mengatakan, “Pertama kali ia mencari ilmu pada tahun 273 H. ia diajak oleh ayahnya, seorang ahli hadits dari kawasan Duhaim. Perjalanan pertama kalinya ia lakukan pada tahun 275 H. Ia terus menerus melakukan perjalanan mencari ilmu dan menemui para ahli hadits selama enam belas tahun. Ia mencari ilmu di Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Mesir, Baghdad, Kufah, Bashrah, Asfahan, Khuzastan dan negeri-negeri yang lain. Kemudian, ia menetap di Asfahan dan mengajar ilmu serta menulis kitab disana. Ia sampai ke Irak, setelah selesai melakukan perjalanan dari Mesir, Syam, Hijaz dan Yaman. Seandainya ia menuju Irak terlebih dahulu, maka ia akan menemukan sanad yang banyak.”

Guru dan Murid-Muridnya

Guru-gurunya:

Adz-Dzahabi mengatakan, “Guru-guru Ath-Thabrani di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Hasyim bin Murtsid Ath-Thabrani
2. Abu Zur’ah Ats-Tsaqafi
3. Ishaq Ad-Dabari
4. Idris Al-Aththar
5. Basyar bin Musa
6. Hafs bin Umar Sanjah
7. Ali bin Abdil Aziz Al-Baghawi
8. Miqdam bin Dawud Ar-Raini
9. Yahya bin Ayyub Al-Allaf
10. Abu Abdirrahman An-Nai
11. Abdullah bin Muhammad bin said bin abi Maryam, dan ulama-ulama yang lain”.

Murid-muridnya:

Adz-Dzahabi mengatakan, “Murid-murid Ath-Thabrani diantaranya adalah:

1. Abu Khalifah Al-Jamhi
2. Ibnu Uqdah
3. Ahmad bin Ahmad Ash-Shahhaf (mereka ini juga sekaligus termasuk-guru-gurunya)
4. Abu Bakar Ibnu Mardawaih
5. Al-Faqih Abu Umar Ahmad bin Al-Husain Al-Bisthami
6. Al-Husain bin Ahmad bin Al-Marzaban
7. Abu Bakar bin Abi Ali adz-Dzikwani, dan lain-lainnya.

Kitab-Kitab Karyanya

Diantara kitab-kitab hasil karya beliau adalah sebagai berikut:

1. Al-Mu’jam Al-Kabir
2. Al-Mu’jam Al-Ausath
3. Al-Mu’jam Ash-Shaghir
4. Ad-Du’aa’
5. Al-Manasik
6. ‘Isyratu An-Nisaa’
7. As-Sunnah
8. Ath-Thiwalat
9. An-Nawadir
10. Dalail an-Nubuwwah
11. Musnad syu’bah
12. Musnad Sufyan
13. Hadits asy-Syamiyyin
14. Al-Awa’il
15. Ar-Ramy
16. Tafsir Kabir, dan karya-karya beliau yang lain.

Meninggal Beliau

Adz-Dzahabi mengatakan, “Ath-Thabrani hidup selama 100 (seratus) tahun lebih sepuluh bulan.”

Al-Hafidz Abu Nu’aim mengatakan, “Ath-Thabrani meninggal pada tanggal 29 Dzulqa’dah tahun 360 H, di Asfahan. Sedangkan anaknya, Abu Dzar, meninggal pada tahun 399 H, dengan umur lebih dari enam puluh tahun.”

Sumber: dinukil dari kitab “Min A’lamis Salaf” karya, Syaikh Ahmad Farid, edisi indonesia : “60 Bigrafi Ulama Salaf” cet. Pustaka Azzam, hal : 634-640, dengan sedikit di ringkas.

Oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim.

http://www.alsofwah.or.id/cetaktokoh.php?id=163/
Sumber : https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2015/03/02/biografi-imam-ath-thabrani-wafat-360-h/

Imam ath-Thabrani adalah seorang imam dalam ilmu hadits. Selain menguasai ilmu hadits, beliau juga pakar dalam bidang tafsir. Ia memiliki usia yang panjang dan ilmu yang tersebar ke penjuru dunia. Bagi umat Islam adalah suatu kelayakan mengenal ulama mereka sendiri. Mengenal orang-orang yang berada di lingkungan dalam mereka. Meskipun telah wafat ratusan tahun lalu, namun namanya masih hidup bersama waktu.

Nasab dan Kelahirannya
Ath-Thabrani adalah seorang imam, hafizh, dan perawi terpercaya. Ia adalah Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir al-Lakhmi asy-Syami ath-Thabrani (Adz-Dzahabi: as-Siyar, 16/119). Dinisbatkan pada daerah yang Thabariyah. Ia adalah seorang ahli tafsir dan tokoh rijalul hadits di zamannya.

Ath-Thabrani dilahirkan pada tahun 260 H/873 M (Ibnu Khallikan: Wafayat al-A’yan, 2/407). Disebutkan bahwa ia dilahirkan di Kota Acre (di wilayah Israel sekarang). Artinya, ia dilahirkan di wilayah Syam. Umurnya panjang. Hampir 100 tahun. Dan hadits-haditsnya tersebar ke penjuru dunia.

Perjalanan Mencari Hadits
Di antara tradisi ahli hadits adalah bersafar dalam mencari hadits. Demikian juga dengan ath-Thabrani. Ia memulai perjalanan mencari hadits pada tahun 273 H (Adil Nuwaihidh: Mu’jam al-Mufassirin, 1/214). Saat itu usianya baru menginjak 13 tahun (ash-Shufdi: al-Wafi bil Wafayat, 15/213).

Perjalanan di usia beliau ini ia mulai dari negerinya Syam menuju Baghdad, Kufah, Bashrah, dan Isfahan (Ibnu Abdul Hadi: Thabaqat Ulama al-Hadits, 3/107). Kemudian menuju Hijaz, Yaman, Mesir, negeri-negeri di Jazirah Arab, dan lain-lain. Perjalanan belajar ini beliau tempuh selama 33 tahun, masyaallah. Luar biasa perjalanan para ulama kita dalam belajar.

Dari perjalanan ini, ia mendengar dan belajar dari banyak guru dan ulama. Sampai-sampai jumlah gurunya mencapai 1000 orang (Ibnu Khallikan: Wafayat al-A’yan, 2/407). Di antara gurunya adalah Abu Zur’ah ad-Dimasyqi an-Nasai. Ath-Thabrani pernah ditanya tentang banyaknya hadits yang ia riwayatkan, ia berkata, “Dulu aku tidur di atas al-Bawari (tikar yang terbuat dari jalinan rumput) selama 30 tahun (Ibnu Abdul Hadi: Thabaqat Ulama al-Hadits, 3/108).

Dari susah payah perjuangannya untuk menjaga kemurnian agama Allah ini, Allah kekalkan namanya hingga sekarang.

Pujian Para Ulama
Di antara pujian tersebut adalah ucapan Imam adz-Dzahabi rahimahullah, “Dia adalah seorang hafizh yang masyhur. Seorang musnad dunia.” (Adz-Dzahabi: Tarikhul Islam, 8/143). Beliau juga mengatakan, “Ath-Thabrani ibarat ahli penunggang kuda dalam permasalahan hadits ini. Bersamaan dengan kejujuran dan amanahnya.” (Adz-Dzahabi: Tadzkirotul Huffazh, 3/85). Di kesempatan lain, adz-Dzahabi mengatakan, “Dia adalah imam, al-hafizh, seorang pengembara dalam ilmu, dan seorang ahli hadits Islam. Senantiasa hadits-haditsnya diharapkan, bernilai sedekah, dan dicintai.” (Adz-Dzahabi: as-Siyar, 16/119).

Ibnul Jauzi berkata, “Atht-Thabrani termasuk salah seorang pemuka hafizh. Ia memiliki karya-karya yang bagus.” (Ibnul Jauzi: al-Hatstsu ‘ala Hifzhil Ilm wa Dzikru Kibaril Huffazh, Hal: 68). Ibnu Uqdah mengatakan, “Aku tak mengetahui ada orang yang lebih mengetahui hadits melebih ath-Thabrani. Dan juga tidak ada yang lebih hafal sanad melebihi dirinya.” (Ibnu Qathlubagha: ats-Tsiqat min man lam Yaqo’ fi Kutubis Sittah. 5/90).

Seorang Menteri Ibnu al-Amid berkata, “Aku tidak mengetahui di dunia ini ada yang lebih manis dan lebih lezat dibanding kekuasaan dan jabatan Menteri yang aku jabat sekarang sampai akhirnya aku melihat pengajian Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani dan Abu Bakr al-Ju’abi. Ath-Thabrani mengalahkan al-Ju’abi dalam banyaknya hafalan. Sementara al-Ju’abi mengalahkan ath-Thabrani dalam kecerdasannya dan kepintaran. Kemudian terjadi dialog antara mereka hingga tak diketahui mana yang lebih unggul di antara keduanya. Al-Ju’abi mengatakan, ‘Aku meriwayatkan hadits yang tidak ada orang yang meriwayatkannya di dunia ini kecuali aku’. Ath-Thabrani menanggapi, ‘Coba tunjukkan’. Al-Ju’abi mengatakan, ‘Abu Khalifah telah menyampaikan kepadaku. Sulaiman bin Ayyub telah menyampaikan kepadaku…’ Kemudian dia sampaikan isi haditsnya. Ath-Thabrani mengatakan, ‘Akulah Sulaiman bin Ayyub. Dan aku mendengar hadits itu dari Abu Khalifah’. Al-Ju’abi pun merasa malu. Ath-Thabrani mengunggulinya.” Ibnu al-Amid melanjutkan, “Aku berandai kalau saja kementrian dan jabatan ini tidak diberikan padaku. Dan aku berandai menjadi ath-Thabrani. Pastilah aku bahagia sebagaimana bahagianya ath-Thabrani karena hadits.” (Ibnu Manzhur: Mukhtashor Tarikh Dimasyqi, 10/104).

Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abdurrahman mengatakan, “Ath-Thabrani sudah dikenal walaupun tidak disebut keutamaan dan kontribusinya. Ia menyampaikan hadits di Isfahan selema 60 tahun. Yang mendengar darinya adalah seorang bapak, kemudian nanti anaknya, kemudian nanti cucunya. Bahkan sampai ke cicit mereka. Ia adalah seorang yang luas ilmunya dan banyak karya tulisnya. Dan di akhir usianya ia mengalami kebutaan.” (Ibnu Qathlubagha: ats-Tsiqat min man lam Yaqo’ fi Kutubis Sittah. 5/91).

Karya-Karyanya
Ath-Thabrani melahirkan banyak karya ilmiah berupa buku-buku yang bagus dan bermanfaat. Yang paling terkenal dari karya-karyanya adalah mu’jamnya. Baik Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-Awsath, dan Mu’jam ash-Shaghir (Ibnu al-Mustafi: Tarikh Irbil, 2/53). Dalam Mu’jam al-Awsath-nya ia mengatakan, “Buku ini adalah ruhku.” Karena begitu lelahnya ia dalam menyelesaikannya. Karyanya yang lain adalah pembahasan tentang Kitab ad-Du’a, Kitab ‘Isyratin Nisa, Kitab al-Manasik, Kitab al-Awail, Kitab as-Sunnah, Kitab an-Nawadir, Musnad Abu Hurairah, Kitab at-Tafsir, Kitab Dala-il an-Nubuwah, Musnad Syu’bah, Musnad Sufyan, Kitab Hadits asy-Syamiyyin, dll (adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 8/144).

Wafat
Setelah perjalanan panjang mencari hadits, Imam ath-Thabrani bermukim di Kota Isfahan. Ia menghabiskan sebagian besar usianya di kota Persia itu. Hingga ia wafat di kota itu pada tahun 360 H/971 M. Saat itu usianya kurang lebih 100 tahun (Ibnu Khallikan: Wafayat al-A’yan, 2/407). Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com
Sumber : https://kisahmuslim.com/6402-imam-ath-thabrani.html

Dalam sejarah penulisan kitab hadis ada beberapa konsep dan metode yang ditempuh para ulama. Para ulama menentukan metode pilihannya berdasarkan argumen dan latar belakang yang beragam. Kitab al Mu’jam al Kabir adalah karya besar seorang ulama ahli hadis masa lampau. Nama kitab ini sudah tidak asing lagi bagi para penuntut ilmu agama. Kitab ini begitu identik dengan pemiliknya yang bernama Ath Thabarani.

Ath Thabarani lahir di Palestina tepatnya di sebuah desa yang bernama Akka dan ibunya berasal dari suku Akka. Tercatat dalam biografinya bahwa beliau telah lahir pada bulan Safar tahun 260 Hijriyah atau bertepatan dengan 821 M. Nama beliau adalah Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Asy Syami Ath Thabarani (atau bisa dilafalkan dengan Ath Thabrani -adm)

Sang ayahanda adalah seorang ulama dan perawi hadis di zamannya. Oleh karenanya, dukungan moril pun muncul dari sang ayah untuk menuntut ilmu. Beliau tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang terhormat dan punya latar belakang agama. Tak heran jika beliau mulai belajar dan hadis pada usia 13 tahun. Bahkan beliau diajak ayahnya untuk berkelana ke berbagai negeri karena sang ayahanda adalah seorang ahli hadis dari kawasan Duhaim.

PERJALANAN INTELEKTUAL ATH THABARANI
Awal pertama kali perjalanannya menuntut ilmu pada tahun 275 H. Beberapa kota pernah menjadi tempat persinggahan nya seperti Syam, Hijaz, Baghdad, Kufah, Basrah dan selainnya. Demikian pula Qaisiriyah untuk menghafal Alquran dan memperdalam ilmu agama.

Afghanistan termasuk negeri yang pernah dikunjungi olehnya dalam rangka menuntut ilmu. Mesir, Irak, Iran dan semenanjung Arabia juga tidak luput dari perjalanan ilmiahnya mencari hadis.

Tentang perjalanan intelektualnya ini, Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia sampai ke Irak setelah melakukan perjalanan ke negeri-negeri tersebut. Seandainya ia menuju Irak terlebih dahulu ia akan mendapatkan sanad yang banyak di sana.”

Karena banyaknya perjalanan yang pernah ditempuh sehingga diantara predikat ulama yang diberikan kepada beliau adalah Ar-Rahlal (orang yang banyak melakukan perjalanan) dan Jawwal (Petualang berkeliling ke berbagai negeri).

Petualangannya dalam belajar ilmu hadis berlangsung selama 16 tahun dan selama itu pula beliau bersua dengan sekian banyak perawi hadiss. Bahkan salah satu referensi menyebutkan bahwa Thabarani pernah meriwayatkan hadis lebih dari seribu guru.

Pada tahun 290 H beliau berkunjung ke Asfahan. Di sinilah akhirnya beliau menetap berdakwah dalam menyusun karya tulis sampai akhir hayatnya.

Demikianlah Safar untuk menuntut hadis dan ilmu agama menjadi kebiasaan ulama terdahulu. Mereka rela berkorban mengorbankan waktu tenaga harta dan jiwa raga untuk meriwayatkan Hadiss.

GURU DAN MURIDNYA
Setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan beliau pun bertemu dengan para ulama ahli hadis, di antara mereka adalah Abu Zur’ah Abdurrahman bin Amr Ad Dimasqy, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, An-Nasa’i, Hasyim bin Martstsad Ath Thabarani, Ishaq Ad Duburi, Idris Aththar, Bisyr bin Musa, Hafs bin Umar, Ali bin Abdul Aziz dan selainnya.

Sebagaimana Ath Thabarani juga pernah bertemu dengan murid-murid ulama terkemuka seperti Yazid bin Harun, Ruh bin Ubadah, Abu Ashim, Hajjaj bin Muhammad, dan Abdurrazzaq Ash Shan’ani.

Kerja keras dan kesabarannya selama bertahun-tahun sungguh berbuah manis. Ath Thabarani menjadi ulama yang sangat menonjol terutama dalam bidang ilmu hadis. Ia pun menjadi perhatian ulama-ulama dan perawi hadis di masanya. Sejarah mencatat para pakar hadis dari berbagai belahan negeri sangat antusias meriwayatkan hadis darinya.

Abul Abbas bin Manshur as Shirazy menyatakan bahwa dirinya telah menulis 300 hadis dari Ath Thabarani. Sementara itu, ulama-ulama lain yang pernah menjadi muridnya adalah Ibnu Mandah, Muhammad bin Ahmad al Jarudi, Ibnu Mardawaih, Abu Nuaim Al Ashbahani, dan selainnya. Tiada henti-hentinya beliau menjadi tujuan para perawi hadis.

Ath Thabarani adalah figur ulama yang berbekal hafalan kuat dan intelektual tinggi. Ulama-ulama di zamannya atau setelahnya memberikan penilaian dan apresiasi yang sangat baik.

Adz Dzahabi dalam biografinya menyatakan bahwa atau Ath Thabarani adalah seorang Imam, hafidz dan ahli hadis. Ad dawudi menegaskan bahwa at Thabrani adalah seorang imam yang menjadi hujjah dan tumpuan para hafidz.

Abu Bakar bin Abi Ali Al Muaddil mengatakan, “Ath Thabarani lebih populer dari berbagai kelebihan yang diperbincangkan oleh manusia. Ia adalah manusia yang luas ilmunya dan banyak karya tulisnya.

Salah seorang muridnya yaitu Ibnu Mandah menuturkan bahwa Ath Thabarani memiliki penampilan yang bagus dan kemampuan yang baik dalam menyampaikan ilmu. Bahkan ia juga mempunyai kemampuan yang sangat baik dan jeli dalam adu argumen. Ini menggambarkan kapasitas keilmuannya yang sangat mumpuni dalam ilmu hadis.

Ibnu Al Amid pernah menuturkan, “Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini ada sesuatu yang lebih nikmat daripada kepemimpinan dan kementerian yang aku jabat selama ini. Hingga suatu ketika aku menyaksikan perdebatan antara Abul Qosim Ath Thabarani dengan Abu Jafar Al Ji’abi. Ath Thabarani mengalahkan mengalahkan Al Jiba’i dengan hafalannya yang banyak. Sedangkan Al Jiba’i mengungguli Ath Thabarani dengan kecerdasannya.

Masing-masing dari keduanya mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh selainnya. Akhirnya suasana menjadi panas dan suara keduanya meninggi. Al Jiba’i mengatakan, “Aku memiliki sebuah hadis yang tidak ada di dunia ini kecuali hanya pada diriku”. “Datangkan hadis yang kau miliki itu!”, Kata Ath Thabarani.

Al Jiba’i mengatakan, “Telah meriwayatkan hadis kepada kami, Abu Khalifah Al Jumahi, telah meriwayatkan hadis kepada kami Sulaiman bin Ayyub”, latas kemudian ia menyebutkan matan hadits tersebut.

Maka Ath Thabarani berkata, “Telah memberikan hadis itu kepada kami Sulaiman bin Ayyub dan dariku Abu khalifah mendengar hadis itu. Maka dengarlah hadis dariku sehingga sanadmu menjadi tinggi”. Sontak al Ji’abi kaget dan sangat malu mendengar jawaban tersebut.

Ibnu Al Amid melanjutkan kisahnya, “Setelah berakhirnya perdebatan itu aku berangan-angan seandainya kementrian itu tidak ada dan aku adalah Ath Thabarani sehingga akupun merasa senang sebagaimana kesenangan yang dirasakan olehnya.”.

KARYA TULISNYA
Perhatian Ath Thabarani terhadap hadis mendorongnya untuk menyusun banyak karya tulis. cukup banyak kitab-kitab yang dihasilkan sepanjang perjalanan hidupnya di antara kitabnya yang terkenal adalah Dalail An Nubuwwah, ‘Isyarah An Nisa, Fadhl Ramadhan, Musnad Abu Hurairah, Musnad Abu bakar wa Umar, Musnad Abu Dzar, Tafsir ath Thabrani, Kitab Asyribah, Kitab Ad Du’a, Kitab Al Ilm, dan masih banyak yang lainnya.

Karyanya yang paling fenomenal adalah ketiga kitab mu’jamnya yaitu Al Mu’jam Al Kabir, Al Mu’jam Al Ausath, dan Al Mu’jam Ash Shaghir.

Penulis mempunyai metode tersendiri dalam penyusunan kitab mu’jam yang pertama. Kitab ini disusun berdasarkan musnad para sahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah kecuali Abu Hurairah yang disusun dalam kitab tersendiri. kitab ini memuat 60.000 hadis sehingga disebut-sebut sebagai kitab mu’jam terbesar di dunia. Terbingkai dalam 12 jilid menjadikan kitab ini sebagai rujukan yang sangat lengkap. Apabila dikatakan kitab al-mu’jam secara umum maka yang dimaksud adalah kitab al Mu’jam al Kabir karya Ath Thabarani.

Adapun Al Mu’jam Al Ausath maka disusun berdasarkan nama guru-guru Ath Thabarani. Dengan 2 jilid yang besar, kitab ini mampu menampung 30.000 hadis. Sedangkan Al Mu’jam terakhir adalah hasil karyanya yang paling kecil dibandingkan 2 macam yang lainnya. Sesuai dengan namanya yaitu Ash Shaghir artinya kecil. Dalam kitab ini Ath Thabarani menyebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh gurunya. Terlepas dari keistimewaan Al Mu’jam karya Ath Thabarani, kitab ini menghimpun hadis yang sahih, hasan dan lemah.

AKHIR HAYATNYA
Di akhir hayatnya, kedua mata Ath Thabarani mengalami kebutaan sehingga tidak mampu melihat. Menurut penuturan Ath Thabarani kebutaan tersebut disebabkan karena pengaruh sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang zindiq.

Suatu ketika muridnya yang bernama Hasan Ath Ththar hendak menguji penglihatannya. Ia mengajukan sebuah pertanyaan kepada gurunya, “Berapa jumlah pasak yang berada di atas atap rumah itu?” “Aku tidak tahu” jawab Ath Thabarani.

Ia hidup selama 100 tahun lebih 10 bulan sebagaimana penuturan Adz-Dzahabi dan meninggal pada tanggal 29 Dzulqa’dah 360 H di Asfahan. Sementara putranya yang bernama Abu Dzar meninggal pada tahun 399 H dengan usia lebih dari 60 tahun.

Semoga Allah melimpahkan rahmat dan memberikan balasan terbaik kepada. Amin ya robbal alamin.

Sumber : Majalah Qudwah Edisi 63 Vol. 06 1440 H
Referensi : https://www.atsar.id/2019/03/biografi-imam-ath-thabrani.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M