Imam Ibnu Taimiyah
Nama
Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1]
Julukan
Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.”
Kunyah
Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3]
Kelahiran dan masa kecil
Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab.
Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda.
Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5]
Guru-guru
Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegas,kan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah:
Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im
Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah.
Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah
Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi
Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi
Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi
Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi
Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi
Kesembilan: Syekh Al-Wasiti
Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani
Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari:
Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar.
Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah.
Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab.
Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah.
Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah.
Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau.
Murid-murid
Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah:
Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah
Kedua: Imam Al-Dzahabi
Ketiga: Imam Ibn Katsir
Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar
Kelima: Imam Ibn Abdulhadi
Keenam: Syekh Al-Wasiti
Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi
Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq
Kesepuluh: Imam Ibn Muflih
Akidah
Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi,
خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7]
Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan.
Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan,
أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة
“Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim… Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8]
Mazhab
Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah.
Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9]
Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas.
Beliau berkata,
ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة
“Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’”
Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10]
Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam.
********
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15.
[2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132.
[3] Muttafaqun ‘alaihi.
[4] Op.Cit.
[5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan.
[6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6.
[7] Muttafaqun ‘alaihi.
[8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161.
[9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan.
[10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.
Sumber: https://muslim.or.id/102291-biografi-ringkas-syekhul-islam-ibnu-taimiyah-bag-1.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
Sifat fisik
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya, “Ia berkulit putih, memiliki rambut dan janggut hitam, sedikit beruban, suaranya keras dan jelas, rambutnya sampai ke ujung telinga, fasih berbicara, matanya tajam seakan-akan matanya bisa berbicara, tubuhnya sedang, dengan jarak antara bahunya yang lebar, kadang tampak tegas, namun ia bisa mengendalikan tegasnya dengan kesabaran.” [1] Al-Hafiz Al-Bazzar berkata, “Sesungguhnya sangat jarang terdengar seseorang seperti beliau.” [2]
Akhlak dan sifat-sifatnya
Akhlaknya terpancar melalui penerapan dan pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tampak dalam cara berinteraksi dan hubungan baiknya dengan orang lain. Berikut adalah beberapa akhlak yang dimiliki oleh Imam Ibn Taimiyah:
Keutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskin
Meskipun hidup sederhana, Imam Ibn Taimiyah selalu mengutamakan orang lain dengan apa yang ia miliki, baik itu sedikit atau banyak. Ia bahkan tidak meremehkan sedikit pun yang ia miliki dan tetap mendermakan apa yang ada, bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa, ia akan melepaskan sebagian pakaiannya untuk diberikan kepada orang miskin. Suatu ketika, ia melihat seorang pria membutuhkan penutup kepala, dan tanpa diminta, ia membagi sorbannya menjadi dua bagian: satu untuk dirinya dan satu untuk pria tersebut. [3]
Kedermawanannya
Imam Ibn Taimiyah dikenal sangat dermawan. Beliau memberikan apa saja yang diminta darinya, seperti uang, pakaian, buku, dan lainnya. Suatu ketika, ada seseorang yang meminta sebuah buku untuk dipelajari, dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk memilih buku apa saja. Bahkan, beliau tidak ragu memberikan buku yang sangat berharga yang baru saja ia beli. Beliau juga sangat dermawan dalam menyebarkan ilmu, menjelaskan perbedaan pendapat para ulama, dan memberikan jawaban lebih dari yang diminta, untuk memberi manfaat lebih banyak kepada orang yang bertanya. [4]
Ke-wara’-annya
Imam Ibn Taimiyah memiliki sifat wara‘ yang sangat tinggi. Ia tidak terlibat dalam urusan jual beli, bisnis, atau urusan duniawi lainnya, serta tidak menerima hadiah atau uang dari pemerintah atau penguasa. Hidupnya sangat sederhana dan segala yang ia miliki hanya ilmu yang ia wariskan kepada umat. Beliau mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mewariskan uang atau harta, melainkan ilmu yang bermanfaat bagi umat.[5]
Kecerdasannya
Imam Ibn Taimiyah diberkahi dengan kemampuan memahami masalah dengan sangat cepat. Banyak orang yang menyaksikan beliau memberikan jawaban dan solusi tepat sebelum mereka sempat bertanya. Beliau juga dikenal mampu mengetahui keadaan orang lain tanpa diberitahu, seperti saat seorang pria yang baru tiba di kota dan sakit, beliau sudah mengetahui dan menolongnya. [6]
Tawadhu‘ dan tidak sombong
Imam Ibn Taimiyah dikenal dengan sifat tawadhu‘ yang sangat tinggi. Ia tidak pernah menunjukkan kesombongan terhadap siapa pun, baik terhadap orang besar maupun kecil. Ia selalu menyapa, berinteraksi, dan memperhatikan kebutuhan orang lain, terutama orang miskin dan lemah. Bahkan, beliau rela membantu mereka dengan tangannya sendiri dan mengunjungi orang sakit setiap minggu. Ia tidak merasa tinggi hati, meskipun beliau seorang ilmuwan besar dan pejuang agama. Tawadhu‘ beliau terlihat jelas dalam cara ia berinteraksi dengan orang lain, baik murid, teman, atau orang yang baru dikenalnya. [7]
Pengangkatannya sebagai pengajar
Imam Ibn Taimiyyah mengambil posisi sebagai pengajar pada usia dua puluh tahun, yang bukan hal baru bagi keluarganya yang terkenal dengan ilmu pengetahuan. Kehidupan Imam Ibn Taimiyah, tumbuh dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan, serta memperoleh ilmu dari keluarganya dan ulama di zamannya sejak kecil, ditambah dengan kecerdasan yang tampak sejak muda, mempersiapkannya untuk memegang posisi pengajaran. Tempatnya telah siap, dan kursi pengajaran kosong setelah ayahnya, yang merupakan pemimpin hadis yang meninggal pada tahun 682 H. Ibn Taimiyah menggantikan posisi ayahnya setahun setelah kematian ayahnya, yaitu pada usia 22 tahun, yang membuatnya pantas menduduki posisi tertinggi dalam bidang ilmu.
Dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, serta kepribadiannya yang luar biasa, ia menjadi sosok yang luar biasa sejak kecil. “Ia sering menghadiri sekolah-sekolah dan pertemuan ilmiah sejak kecil, berdialog dan mengalahkan para ulama senior, dan memberikan jawaban yang membuat mereka terheran-heran. Ia sudah memberi fatwa sebelum berusia sembilan belas tahun, mulai mengumpulkan dan menulis karya ilmiah, dan namanya semakin terkenal di seluruh dunia. Pada tahun 681 H, ia mulai mengajarkan tafsir Al-Qur’an di masjid, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan lancar dan tidak terbata-bata, dengan suara yang jelas dan fasih, yang memukau siapa pun yang hadir. Bahkan, para ulama besar pada zaman itu mengaguminya, memberikan pujian atas pengajarannya dan banyak manfaat yang didapatkan, terkejut dengan ketajaman pemikirannya dan kemampuan memahaminya dengan cepat. Seiring berjalannya waktu, ia terus berkembang dengan kualitas pribadi dan bakat luar biasa, serta ilmu yang luas. Ia mulai memberikan pelajaran di masjid besar dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih. Banyak orang yang memperhatikannya, dan banyak yang menjadi murid-muridnya yang setia, mengikuti ajarannya. Meskipun pendengarnya beragam (baik yang mendukung atau yang menentang, pengikut sunah atau yang berpandangan berbeda), ia tetap mengajar dengan penuh semangat. Pelajarannya berfokus pada penghidupan ajaran yang diterima oleh para sahabat di abad pertama, yang menerima Islam dalam bentuk yang murni, tanpa pemikiran asing atau penyimpangan.” [8]
Wafat
Imam Ibnu Taimiyah wafat pada malam Senin, tanggal 20 Zukaidah tahun 728 H, di Benteng Damaskus, di ruangan tempat beliau dipenjara. Banyak orang yang datang ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau, dan mereka diizinkan masuk untuk mengunjunginya, lalu mereka pergi. Yang tinggal hanyalah orang-orang yang bertugas memandikan jenazah atau membantu proses memandikannya. Mereka adalah sejumlah ulama dan orang saleh, termasuk Imam Al-Mizzi dan lainnya.
Setelah selesai dimandikan, benteng tersebut, serta area di sekitarnya, dipenuhi oleh orang-orang. Banyak sekali manusia yang berkumpul di benteng hingga jalan menuju Masjid Jami‘. Ketika kabar wafatnya tersebar, hampir tidak ada seorang pun di Damaskus yang mampu datang untuk salat jenazah, kecuali ikut hadir. Orang-orang menangis, memuji, dan mendoakan beliau dengan penuh rasa belas kasih.
Jenazah Imam Ibnu Taimiyah kemudian dibawa ke Masjid Jami‘ Bani Umayyah, dengan harapan masjid tersebut mampu menampung seluruh jemaah. Namun, banyak orang yang tetap berada di luar masjid karena padatnya kerumunan. Jenazahnya diusung oleh para pembesar, bangsawan, dan orang-orang terhormat, serta mereka yang merasa mendapatkan kehormatan untuk ikut memikulnya.
Setelah itu, jenazah dibawa ke tanah lapang yang luas, di mana orang-orang kembali melaksanakan salat jenazah. Jenazah kemudian diangkat di atas kepala orang-orang yang memadati, maju mundur karena derasnya arus manusia. Suara tangisan, rintihan, doa, dan pujian untuk beliau terdengar di mana-mana. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak, “Inilah yang pantas untuk jenazah para Imam Ahli Sunah!” Hal ini membuat orang-orang semakin menangis dengan sangat.
Jenazah akhirnya dimakamkan di Pemakaman Shufiyyah sebelum waktu Asar. Diperkirakan jumlah wanita yang hadir mencapai 15 ribu orang, sedangkan jumlah laki-laki berkisar antara 60 hingga 200 ribu orang. Tidak pernah terlihat prosesi pemakaman sebesar ini kecuali untuk Imam Ahmad bin Hanbal, karena keduanya memiliki keutamaan ilmu, amal, zuhud, ibadah, meninggalkan dunia, dan fokus pada akhirat.
Salah satu tanda husnul khatimah Imam Ibnu Taimiyah adalah wafatnya beliau setelah selesai membaca firman Allah,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.” [9]
Perkataan ulama tentang Ibnu Taimiyah
Para ulama besar pada masa Imam Ibnu Taimiyah banyak memuji beliau dan memberikan sanjungan yang melimpah. Hal ini disebabkan karena mereka menyaksikan bagaimana beliau menggabungkan antara ucapan dan perbuatan, menjadi seorang imam dalam agama, sekaligus hidup dalam kezuhudan terhadap gemerlap dunia.
Mereka juga melihat bagaimana beliau senantiasa mengikuti jejak para salaf saleh, menghidupkan petunjuk mereka, dan mengibarkan panji jihad di jalan Allah. Semua ini menjadikan beliau sosok ulama yang dihormati dan dicintai oleh generasi pada zamannya.
Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Ketika aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu berada di depan matanya. Ia mengambil apa yang ia kehendaki dan meninggalkan apa yang ia kehendaki. Aku berkata kepadanya,’Aku tidak pernah menyangka bahwa Allah masih menciptakan orang sepertimu!’” [10]
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia adalah tanda keajaiban dalam kecerdasan dan kecepatan pemahaman, pemimpin dalam ilmu Al-Qur’an dan Sunnah serta perbedaan pendapat, samudra dalam ilmu naqli. Pada masanya, ia adalah satu-satunya yang unggul dalam ilmu, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma’ruf nahi mungkar, serta banyaknya karya tulisnya.” Beliau juga berkata, “Ia terlalu besar untuk seseorang seperti diriku menyoroti biografinya. Jika aku disumpah di antara Rukun dan Maqam, aku akan bersumpah bahwa aku belum pernah melihat dengan mataku seseorang sepertinya, dan bahwa ia pun tidak pernah melihat dirinya seperti dalam hal ilmu.” [11]
Penulis: Gazzeta Raka Setyawan
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Al Bidayah wa An Nihayah, 14137.
[2] Imam Abdi Al-Hadi, Al- ‘Uqud Ad-Durriyyah, hal. 294.
[3] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A‘lam Al‘Aliyyah, hal. 85.
[4] Ibid, hlm. 59-61 dengan perubahan dan diringkas.
[5] Op.cit, hlm. 41.
[6] Ibid, hlm. 53-58.
[7] Ibid, hlm. 48.
[8] Imam Ibnu Al-Waridi dalam kitabnya Tatimmu Al Mukhtashar, hal. 408 dengan perubahan.
[9] QS. Al-Qamar: 54-55.
[10] Al Imam Mar’iy Al-Karamiy, Al-Kawakib Addurriyyah, hal. 56.
[11] Ibid, hal. 62.
Sumber: https://muslim.or.id/102715-biografi-ringkas-syekhul-islam-ibnu-taimiyah-bag-2.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
Kisah Jihad Syekhul Islam Ibnu Taimiyah
Ulama rabbani adalah hamba Allah Ta’ala dalam setiap waktu dan keadaan. Jika ia berada di masjid, maka ia adalah pengajar, pemberi nasihat, dan pembimbing. Jika ia berada di mimbar, maka ia adalah khatib yang fasih dan berpengaruh. Jika ia berada di jalan, maka ia selalu berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, atau memberikan nasihat. Dan jika panggilan jihad berkumandang, ia adalah yang pertama memenuhi seruan itu. Jika dua pasukan bertempur, ia adalah pejuang yang gagah berani, pembela yang berani dan tangguh. Jika ada tempat kosong di garis pertahanan, ia adalah yang pertama mengisinya karena ia mengetahui keutamaannya dan betapa pentingnya hal itu.
Ulama juga masuk ke tengah barisan, menyemangati para prajurit, mengangkat semangat mereka, membacakan ayat-ayat tentang jihad, syahid, dan penjagaan perbatasan, serta menjanjikan kemenangan yang telah Allah janjikan kepada mereka. Inilah yang menjadi keadaan Ibnu Taimiyah.
Keberaniannya di medan perang telah menjadi kisah yang dikenang banyak orang, baik dari mereka yang sezaman dengannya maupun yang menuliskan biografinya. Ia menghadapi kematian dengan gagah berani saat bertemu musuh, dan para pejuang tidak melihatnya kecuali setelah pertempuran usai. Namun, saat perang berlangsung, siapa pun yang melihatnya akan melihatnya seperti singa perkasa yang menyerang dengan gagah, bergerak lincah, bertempur melawan musuh dengan penuh keberanian, mengharapkan syahid.
Jika ia melihat pasukan lemah, ragu, atau takut, ia menyemangati mereka, menguatkan hati mereka dengan membacakan ayat-ayat jihad. Mereka yang melihatnya berperang dan menunjukkan keberaniannya pun ikut bersemangat. Menelusuri semua pertempuran yang diikuti oleh Ibnu Taimiyah serta mencatat seluruh keberaniannya bukanlah tugas yang mudah. Bahkan jika bisa dihitung, mencatat dan merangkumnya akan membutuhkan tulisan yang panjang. Namun, kita dapat merujuk pada beberapa peristiwa yang menunjukkan keberanian dan ketegasannya terhadap berbagai musuh, yaitu sebagai berikut:
1) Jihad dan pertempurannya melawan bangsa Tartar;
2) Jihad dan pertempurannya melawan kaum Nasrani;
3) Jihadnya melawan kaum Rafidhah dan para penyerang lainnya. [1]
Perang melawan bangsa Tartar
Salah satu peristiwa penting adalah sikapnya terhadap Raja Tartar, Ghazan. Pada tahun 699 H, ia bersama delegasi dari tokoh-tokoh terkemuka Damaskus pergi menemui raja tersebut. Dalam pertemuan itu, Ibnu Taimiyah berbicara dengan tegas dan keras kepada Ghazan. Keberanian dan ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran menjadi salah satu faktor yang membuat raja tersebut tidak menyerang Damaskus.
Setelah pasukan Tartar pergi, masyarakat tetap merasa takut akan kemungkinan mereka kembali menyerang. Oleh karena itu, penduduk berkumpul di sekitar tembok kota untuk menjaga dan mempertahankan negeri mereka. Setiap malam, Ibnu Taimiyah berkeliling di antara mereka, menguatkan hati mereka, dan menanamkan keteguhan dalam diri mereka.
Kemudian, pada tahun 700 H, tersebar kabar bahwa pasukan Tartar akan kembali menyerang Syam. Ketakutan pun melanda masyarakat. Banyak pejabat, bangsawan, serta ulama yang melarikan diri. Namun, Ibnu Taimiyah tetap teguh dan duduk di masjid besar (masjid Jami’), mengobarkan semangat jihad di tengah masyarakat, melarang mereka untuk lari, dan mendorong mereka agar berinfak di jalan Allah.
Ketika tersebar kabar bahwa Sultan mundur dari peperangan, Ibnu Taimiyah segera melakukan perjalanan menemuinya. Ia pergi ke Mesir untuk mendorong Sultan agar tetap berjuang dan menguatkan hatinya, serta menjanjikannya kemenangan dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Dengan nada tegas, ia berkata kepada Sultan, “Jika kalian berpaling dari Syam dan tidak melindunginya, maka kami akan mengangkat seorang pemimpin yang akan menjaganya dan mengelolanya di masa damai.” [2]
Keberanian Ibnu Taimiyah semakin bersinar dalam jihadnya pada perang Syakhab tahun 702 H. Ia mengobarkan semangat jihad, menguatkan hati Sultan, para panglima, serta para tentara, dan menjanjikan mereka kemenangan. Ia mendatangi Khalifah dan Sultan secara bergantian, menyemangati mereka, dan menguatkan mental mereka.
Hingga akhirnya, Allah menganugerahkan kemenangan kepada kaum Muslimin. Setelah kemenangan itu, kedudukan Ibnu Taimiyah semakin tinggi di mata rakyat dan para pemimpin. Semua orang menyadari keutamaan dan perannya yang besar dalam meraih kemenangan tersebut.
Perang melawan kaum Nasrani
Adapun jihad Ibnu Taimiyah melawan kaum Nasrani, hal ini diceritakan oleh murid sekaligus sahabatnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, berdasarkan kesaksian orang-orang yang melihatnya langsung. Ia berkata,
“Mereka menceritakan bahwa mereka melihat keberanian luar biasa yang sulit digambarkan dengan kata-kata di dalam diri Ibnu Taimiyah dalam penaklukan ‘Akka. Mereka berkata, ‘Bahkan, beliaulah yang menjadi penyebab utama keberhasilan kaum Muslimin dalam menaklukkan kota itu, berkat tindakan dan nasihatnya.’” [3]
Kemudian, di antara perjuangan Ibnu Taimiyah melawan kaum Nasrani adalah peristiwa ketika Sultan Ghazan menguasai kota Damaskus. Saat itu, Raja Karaj datang kepadanya dan menawarkan harta yang sangat banyak sebagai imbalan agar ia diberi kesempatan untuk membantai kaum Muslimin di Damaskus.
Ketika berita ini sampai kepada Ibnu Taimiyah, ia segera bangkit tanpa ragu, menyemangati kaum Muslimin, mendorong mereka untuk meraih syahid, serta menjanjikan kemenangan, keamanan, dan hilangnya ketakutan. Maka, sejumlah tokoh dan pemuka dari Damaskus berangkat bersamanya menuju Sultan Ghazan.
Ketika mereka tiba di hadapan Sultan, ia bertanya, “Siapa mereka ini?”
Dijawab, “Mereka adalah para pemimpin Damaskus.”
Maka Sultan pun mengizinkan mereka masuk.
Ibnu Taimiyah maju terlebih dahulu, dan saat Sultan Ghazan melihatnya, Allah menanamkan rasa segan yang besar dalam hatinya. Sultan segera mendekatkannya dan mempersilakannya duduk. Kemudian, Ibnu Taimiyah mulai berbicara, menolak keputusan Sultan yang hendak memberikan kekuasaan kepada Raja Karaj untuk membantai kaum Muslimin. Ia juga menjamin akan mengumpulkan harta sebagai pengganti tawaran Raja Karaj, serta mengingatkan Sultan tentang keharaman menumpahkan darah kaum Muslimin.
Dengan penuh hikmah, ia menasihati dan memberi peringatan kepada Sultan Ghazan. Akhirnya, Sultan menerima nasihatnya dengan sukarela dan membatalkan rencana tersebut. Dengan demikian, berkat perjuangan Ibnu Taimiyah, darah kaum Muslimin terselamatkan, anak-anak mereka terlindungi, dan kehormatan mereka tetap terjaga. [4]
Dari kisah ini, jihad Ibnu Taimiyah melawan kaum Nasrani tidak hanya berupa pertempuran langsung dengan pedang, tetapi juga perjuangan melalui diplomasi, yaitu dengan menggagalkan rencana mereka untuk membantai kaum Muslimin melalui persekutuan dengan pasukan Tartar.
Jihad melawan Rafidhah dan para penyerang
Adapun jihad Ibnu Taimiyah melawan kaum Rafidhah dan para penyerang, salah satu peristiwanya terjadi pada tahun 704 H. Saat itu, beliau terus berjuang dengan penuh keteguhan melawan penduduk pegunungan Kisrawan. Beliau mengirim surat ke berbagai wilayah Syam, mendorong umat Islam untuk memerangi mereka, serta menegaskan bahwa perang ini adalah bagian dari jihad di jalan Allah.
Kemudian, beliau sendiri memimpin pasukan untuk menyerang wilayah tersebut, bersama dengan pemimpin wilayah (wakil Sultan) dan pasukan yang menyertainya. Mereka terus mengepung penduduk Kisrawan hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada mereka. [5]
Setelah Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin, penduduk Kisrawan diusir, fitnah mereka dipadamkan, dan mereka dipaksa untuk mengikuti syariat Islam dalam ucapan, perbuatan, dan keyakinan.
Catatan kaki:
[1] Ibnu Taimiyyah, karya Syaikh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 36; dengan sedikit pengubahan oleh penulis.
[2] Al-Bidayah wa An Nihayah, karya Ibnu Katsir, 14: 15.
[3] Al-A’lam Al-‘Aliyyah, karya Al-Hafizh Al-Bazzar, hal. 30; dengan sedikit perubahan.
[4] Ibid, hal. 63-64; dengan sedikit perubahan.
[5] Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, karya Ibnu Abdi Al-Hadi, hal. 148-149; dengan sedikit perubahan.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah senantiasa mendapatkan ujian yang menyertainya dalam hidupnya, dan penulis tidak bermaksud dengan ujian sang syekh sebagai penghinaan terhadapnya, karena ia rahimahullah hidup dalam keadaan dimuliakan dan dihormati, bahkan ketika dalam penjara sekalipun. Di mana pun ia berada, selalu ada penghormatan dan penghargaan. Yang penulis maksud dengan ujian di sini adalah penjara dan pembatasan kebebasannya dalam berdakwah. [1]
Hal yang paling berat bagi seorang ulama adalah ketika ia terhalang untuk menyampaikan syariat Allah dan mengajarkannya kepada manusia. Seorang muslim memang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cobaan. Ini adalah ujian dari Allah, yang dengannya Dia menguji hamba-Nya, dan kewajiban seorang muslim dalam menghadapinya adalah bersabar dan mencari hiburan dalam ketetapan-Nya. [2]
Secara lahiriah, hal-hal ini tampak sebagai ujian, tetapi sebenarnya itu adalah anugerah dan karunia dalam bentuk cobaan. Ibnu Taimiyah ini diuji dengan berbagai cobaan sepanjang hidupnya karena kedudukannya telah mencapai puncaknya, ia melampaui semua persaingan, namanya dikenal di setiap tempat, dan ia memiliki tekad sekuat baja, lidah yang fasih dan tajam, serta kehendak yang kuat untuk berjuang. Semua itu demi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Namun, kedudukannya yang tinggi telah membangkitkan kebencian dari mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan tidak mampu mencapai derajat yang sama dengannya. [3]
Ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah menjadikan dirinya unggul di antara para ulama pada zamannya, yang sebagian besar terjebak dalam taklid buta, fanatisme yang tercela, atau hawa nafsu, demi mengejar jabatan yang tidak abadi. Begitulah kita menemukan Ibnu Taimiyah sebagai seorang reformis dan pendidik, yang terlibat dalam pertempuran di berbagai medan, berjuang di berbagai tempat, membela Al-Qur’an dan Sunnah, serta membantah segala bentuk perantara apapun itu dan siapapun yang menghadapinya. Hal ini menimbulkan permusuhan dari lawan-lawannya yang berasal dari berbagai mazhab dan aliran, serta dari penguasa pada masanya yang memasukkannya ke dalam penjara hingga ia meninggal di sana, rahimahullah.
Namun, ia meninggalkan warisan besar bagi kita, yang menjadi dasar bagi metodologi tauhid dalam bidang agama dan pendidikan umat, yang menjadi referensi penting bagi kaum muslimin setelahnya.
Dan pada akhirnya, ujian yang dihadapi oleh imam ini dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai anugrah baginya dan bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Ketika ia pergi ke Mesir pada tahun 705 H, di mana pun ia berada, ia menjadi cahaya dan petunjuk. Ketika ia melewati Gaza, ia mengadakan sebuah majelis besar di masjidnya dan memberikan pengajaran yang bijak. Begitu juga pada tahun 707 H, ia mulai mengajar di Mesir, hingga Allah memberikan manfaat yang besar melalui dirinya, dan orang-orang melihatnya sebagai seorang yang tulus dalam hati dan pikirannya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. [4]
Namun, yang terjadi adalah adanya orang-orang dengan rasa iri yang mendalam dalam hati mereka yang sakit, yang disebabkan oleh keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran dan ketundukan mereka kepadanya. Mereka juga merasa terganggu dengan perintahnya untuk menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta penolakan mereka terhadapnya. Bahkan, beberapa di antara mereka melaporkannya kepada penguasa karena ia berbeda pendapat dengan mereka. Seperti para pengikut tasawuf yang sudah berlebihan, para pelaku bid’ah, orang-orang jahil yang hanya ikut-ikutan, dan mereka yang memiliki jabatan dan takut kehilangan kedudukan, serta mereka yang telah menjual agama mereka demi dunia.
Begitu pula, kehidupan Ibnu Taimiyah penuh dengan serangkaian ujian yang berturut-turut datang menimpanya. Ia dipenjara tujuh kali [5]: empat kali di Mesir (di Kairo dan Alexandria) dan tiga kali di Damaskus. Awal mula ia dipenjara adalah ketika usianya menginjak dua puluh dua tahun, setelah kembali dari ibadah haji, di mana ia mulai menghadapi cobaan berupa penahanan, penyiksaan, dan pengawasan ketat selama 34 tahun, mulai dari tahun 693 H hingga hari wafatnya di penjara Qal’ah di Damaskus pada hari Senin, 20 Zulkaidah 728 H.
Ada berbagai alasan di balik penahanan-penahanannya:
1) Penahanan pertama terjadi di Damaskus pada tahun 693 H untuk waktu yang singkat.
2) Penahanan kedua terjadi di Mesir karena perbedaan pendapat mengenai sifat-sifat Allah, seperti masalah ‘arsy dan turunnya Allah, dan berlangsung selama satu tahun enam bulan dari Ramadan 705 H hingga Syawal, Rabi’ul Awal 707 H.
3) Penahanan ketiga di Mesir terjadi karena ia melarang tawassul dan istighatsah kepada makhluk, serta pernyataannya tentang Ibnu Arabi si sufi, dan durasinya juga singkat, mulai dari awal Syawal 707 H hingga 18 Syawal 707 H.
4) Penahanan keempat di Mesir adalah kelanjutan dari penahanan ketiga, berlangsung lebih dari dua bulan dari akhir Syawal 707 H hingga awal tahun 708 H.
5) Penahanan kelima terjadi di Mesir, kelanjutan dari penahanan keempat, di mana ia dipindahkan ke Alexandria dan dijaga secara ketat selama tujuh bulan lebih, dari awal Rabi’ul Awal 709 H hingga Syawal 709 H, atas hasutan beberapa pihak yang memiliki kepentingan.
6) Penahanan keenam terjadi di Damaskus karena pernyataannya mengenai sumpah dengan talak, yang dianggapnya sebagai sumpah yang harus ditebus. Penahanan ini berlangsung lima bulan dua puluh delapan hari, dari 12 Rajab 720 H hingga 10 Muharam 721 H.
7) Penahanan ketujuh dan terakhir terjadi di Damaskus karena perbedaan pendapat mengenai ziarah kubur yang dianggap sunnah dan bid’ah, yang berlangsung selama dua tahun, tiga bulan, dan empat belas hari, dimulai pada hari Senin, 6 Sya’ban 726 H hingga malam wafatnya pada Senin, 20 Zulkaidah 728 H. [6]
Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan semua itu sebagai kebaikan Ibnu Taimiyah dan umatnya. Dengan izin Allah, melalui penjara-penjara tersebut, banyak orang yang mendapat hidayah. Ilmunya tersebar dari Mesir ke Afrika Utara dan Andalusia. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Mungkin kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [7]
Dan firman Allah,
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [8]
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Ibnu Taimiyah karya Syekh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 49.
[2] Al-Waabilu Ash-Shayyib, karya Ibnul Qayyim, hal. 7.
[3] Op. Cit, hal. 49; dengan perubahan.
[4] Ibid, hal. 55, 60-62; dengan perubahan.
[5] Al-Madaakhil Ila Aatsari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 31-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.
[6] Ibid, hal. 32-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.
[7] QS. An-Nisa’: 19.
[8] QS. Al-Baqarah: 216.
Sumber: https://muslim.or.id/107719-kisah-jihad-syekhul-islam-ibnu-taimiyah-bag-2.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
