• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Oktober 2025

Imam Sahnun

Bagikan

Imam Sahun dikenal juga dengan Abu Sa’id Sahnun. Adapun nama lengkapnya adalah Abdussalam Ibn Sa’id Ibn Habib al-Tanukhi al-Arabi. Beliau bertempat tinggal di maghribi (Maroko). Beliau berasal dari Syam, tepatnya dari Humush. Imam Sahnun lahir pada tahun160 H (776/777 M.). Ayah beliau, Sa’id, adalah seorang tentara dari Syam dan beliau bukanlah seorang yang kaya, namun Sahnun muda sangat menikmati hidupnya dan pembelajarannya pada para ulama’ di kotanya yang sederhana tersebut.[1]Abu Sa’id datang bersama rombongan pasukan Humush. Julukan yang diberikan pada beliau adalah panggilan umumnya yakni “Sahnun”. Julukan tersebut diambil dari nama seekor burung yang cerdas dan berakal tajam. Hal ini disebabkan pemikiran Imam Sahnun yang terkenal sangat tajam dalam berbagai masalah.[2]

Imam Sahnun orang yang sangat terpercaya, jujur, wara’, tegas dalam kebenaran dan zuhud. Abu Bakar al-Maliki berkata, “Kendati demikian, ia tetap lembut hati, mudah berlinang air mata, khusyu’, tawaddu’, tidak banyak pura-pura namun sangat keras terhadap ahli bid’ah”. Asyhab pernah ditanya seseorang, “Siapa orang yang datang kepada kalian dari Maghrib?”. Beliau menjawab, “Sahnun”. Bukannya Asad Ibn Furad?” tanya seorang itu lagi. Ia menjawab, “Sahnun, demi Allah, ia lebih ahli fikih sembilan puluh sembilan tingkat dari Asad Ibn Furat”.[3] Asad Ibn Furad adalah salah seorang murid Imam Malik yang memiliki banyak bakat potensi. Selain seorang faqih ia juga ahli menunggang kuda. Beliaulah yang menjadi pimpinan pasukan muslim dalam menakhlukan Sisilia, dimana beliau gugur sebagai syuhada’.[4]
Sahnun pernah menjadi hakim setelah sebelumnya dipaksa menjabat. Padahal tadinya ia menolak jabatan itu di tahun 234 Hijriah. Ketika itu usianya 74 Tahun. Jabatan hakim diembannya sampai ia meninggal di tahun 240 Hijriah, atau hanya selama enam tahun. Dalam mengemban tugasnya sebagai hakim, beliau tidak pernah mengambil gajinya, juga tidak mau berhubungan dengan sultan.[5]
Imam Sahnun Abdul Salam Ibn Sa’id at-Tanukhi meninggal pada hari senin tahun 240 H. dalam usia 80 tahun.[6]

Pendidikan Imam Sahnun
Imam Sahnun belajar fiqih kepada ulama’ Mesir dan Madinah hingga menjadi ahli fiqih dan tokoh terkenal pada zamannya. Beliau menulis kitab al-Mudawwanah dalam madzhab yang menjadi sandaran madzhab Maliki.[7]

Pengembaraannya dalam mendulang ilmu tentang fiqh Imam malik berawal dari surat rekomendasi gurunya yakni al-Buhlul Ibn Rasyid kepada Ali Ibn Ziyad untuk mengajari murid kesayangannya yakni Sahnun di tunisia. Tanpa mengurangi rasa hormat Ali Ibn Ziyad kepada al-Buhlul, Ali datang untuk mengajari Sahnun muda tentang apa yang beliau pelajari dari Imam Malik. Proses pembelajaran ini yang membuat Sahnun muda semakin haus akan fiqh Imam Malik. Pada tahun 178 H.,

Sahnun muda mengembara ke mesir untuk mendalaminya dengan belajar kepada murid-murid terkemuka Imam Malik, seperti Ibnu Al-Qasim, Ibn Wahab dan Ashab. Pada saat itu Sahnun muda telah membawa beberapa bagian dari kitab al-Muwaththa’ yang telah dipelajarinya dari Anas Ibn Furat.[8]

Sebenarnya beliau sangat ingin belajar langsung kepada Imam Malik sebelum sang Imam Meninggal, namun ketika itu beliau belum memiliki cukup biaya untuk mengembara. Oleh sebab itu beliau hanya bisa belajar dan mendengar dari Ibnu al-Qasim, murid Imam Malik. Jawaban-jawaban Imam Malik terhadap masalah-masalah yang ada dibenak Sahnun, bisa didengar dan didapat dari Ibnu Al-Qasim.[9]

Imam Sahnun pernah berkata, “Aku tengah berada ditempat Ibnu Al-Qasim dan jawaban-jawaban Imam Malik terhadap berbagai masalah selalu ditanyakan kepadanya”. Kemudian Sahnun ditanya, “Mengapa kamu tidak mendengar langsung dari Imam Malik?” Imam Sahnun menjawab “Aku tidak memiliki banyak uang”. Pada kesempatan lain beliau menuturkan “itu karena kemiskinanku. Jika bukan karena kemiskinan, maka aku bisa belajar dari Malik”. Selain dari Ibnu Qasim, beliau juga belajar kepada Ibnu Wahab, Asyhab, Abdullah Ibn Abdul Hakam dan murid-murid Imam Malik lainnya.[10]

Setelah berbekal ilmu dari negeri Mesir dan kota-kota lainnya, ia kembali ke Maghrib. Disana, kepemimpinan ilmu diserahkan kepadanya. Pendapat-pendapatnya dijadikan sandaran. Imam Sahnun pun menulis kitab Al-Mudawwanah dan ia memiliki sejumlah murid dan sahabat yang tidak dimiliki murid-murid Imam Malik lainnya.[11]

Sebagai guru utamanya dalam mempelajari fiqh Imam Malik Abu Abdullah, Abdurrahman Ibnu al-Qasim (meninggal di Mesir pada than 191 H.) adalah seorang yang belajar ilmu fiqh dari Imam Malik selama 20 tahun. Dan dari al-Laits Ibn Sa’ad seorang ahli ilmu fiqh mesir (meninggal pada tahun 175 H.). Yahya Ibn Yahya menganggapnya sebagai seorang yang paling alim tentang ilmu Imam Malik dikalangan sahabatnya dan orang yang paling amanah terhadap ilmu Imam Malik. Beliau telah meneliti dan mentashih kitab al-Mudawwanah yaitu kitab terbesar dalam madzhab Malik. Imam Sahnun al-Maghribi mempelajari kitab ini dan kemudian menyusun ulang berdasarkan susunan fiqh Abu Abdullah.[12]

Abdurrahman Ibnu al-Qasim adalah murid Imam Malik yang paling hebat dan terkenal. Kedudukan Abdurrahman Ibnu al-Qasim dalam madzhab Malik seperti kedudukan Muhammad Ibn al-Hasan dalam madzhab Hanafi, karena keduanya adalah rawi dan pengusung madzhab guru-gurunya. Ibnu Qasim menjadi hujah dan fondasi utama madzhab Maliki. Banyak orang yang meriwayatkan darinya dan kepadanya segala masalah dan fatwa Imam Malik dirujuk.[13]

Karangan Imam Sahnun
Kitab al-Mudawwanah adalah buku yang ditulis oleh Imam Sahnun dan diperiksa serta diteliti oleh Ibnu al-Qasim. Sehingga tidak jarang orang-orang menganggap Ibnu Qasim sebagai pemilik dan penulis al-Mudawwanah.[14]Brockelmann, dalam bukunya Arabic Literature, mengatakan bahwa Asad Ibn Furat dan Ibn Qasim memiliki tugas untuk menyebarkan madzhab Maliki di daerah barat. Namun, hal itu benar-benar terjadi berkat jasa Imam Sahnun karena telah mengarang kitab al-Mudawwanah, yang mana kitab tersebut berpondasikan kitab karangan Imam Malik yakni al-Muwaththa’. Sebelum era 1300-an, kitab ini sangat sulit dijumpai. Namun sejak tahun 1324 M. edisi pertama kitab ini telah diterbitkan di cairo dengan cetakan sebanyak empat volume. Dan edisi kedua pada tahun 1905 M. Sebelumnya kitab ini mulai beredar pada era 400-an dan kesemuanya disalin dengan tulisan tangan.[15]

Kisah lain tentang kitab al-Mudawwanah diceritakan dalam sebuah kitab karangan Imam adz-Dzahabi yang menyebutkan bahwa asal muasal kitab al-Mudawwanah karangan Imam Sahnun adalah pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh Asad Ibn Furat kepada Ibnu Qasim. Ketika Imam Sahnun pergi membawanya, beliau mentashihkan pengetahuannya akan kitab tersebut kepada narasumber utamanya yakni Ibnu Qasim. Ibnu Qasim lalu membetulkan kesalahan yang ada didalamnya, juga menggugurkannya. Kemudian Imam Sahnun menyusun kembali dan memberinya bab-bab. Beliau juga menyatukan dasar-dasar untuk jawaban yang ditanyakan dan beberapa diantara dasar-dasar tersebut adalah atsar-atsar yang diriwayatkannya sendiri.[16]

Referensi : 
[1]E.J.Brill’s, First Encyclopedy Of Islam, (Laiden: Photomechanical reprint Vol VII 1987), hlm. 64
[2]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Imam Madinah, (Jakarta: Zaman 2012), hlm.287
[3]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.288
[4]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: …., hlm. 283
[5]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: …., hlm. 288
[6]Adz-Dzahabi, As-Siyar A’lam An-Nubala’, Terj. Fathurrahman dan Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam Jil 3 2008), hlm 17, lihat juga E.J.Brill’s, First Encyclopedy Of Islam…., hlm. 65
[7]Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, Juz. 1), hlm. 34
[8]E.J.Brill’s, First Encyclopedy Of Islam…., hlm. 64
[9]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.287
[10]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.287
[11]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.287-288
[12]Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, Juz. 1), hlm. 32
[13]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm. 270-271
[14]Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm. 268-270
[15]E.J.Brill’s, First Encyclopedy Of Islam …., hlm. 65
[16]Adz-Dzahabi, As-Siyar A’lam An-Nubala’, Terj. …., hlm. 17

Sumber : https://dukunmahasiswa.blogspot.com/2018/03/biografi-imam-sahun-al-maliki.html

BincangSyariah.com – Di pertengahan abad 1 H, peradaban Islam di Afrika Utara semakin menguat. Keinginan masyarakat untuk memperdalam kajian agama Islam pun hari demi hari kian meningkat. Untuk menghilangkan rasa haus akan ilmu pengetahuan ini, para pemuda berkelana menuju Masyriq (wilayah timur, istilah untuk menyebut wilayah Islam pertama seperti Jazirah Arab, Syam, dan Mesir) yang pada saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam.

Tidak terkecuali Abdussalam bin Sa’id at Tanukhi, pemuda ini rela bepergian jauh untuk menimba ilmu. Abdussalam bin Sa’id at Tanukhi atau yang lazim dikenal dengan Imam Sahnun merupakan anak keturunan Syam yang lahir pada 160 H.

Sejak kecil ia telah diberi gelar Sahnun, sejenis burung pemangsa karena kejelian pandangan serta kecerdasannya. Ia menetap di Afrika Utara bersama ayahnya, yang merupakan tokoh agamis sekaligus tentara Muslim Syam.

Dibesarkan oleh para pemuka Mazhab Maliki
Saat Sahnun memulai perjalanan menuntut ilmunya, Mazhab Malik telah menyebar cukup luas di Afrika Utara berkat pengaruh kuat generasi awal murid – murid Imam Malik. Kondisi ini secara tidak langsung membuat pendidikan Sahnun kental akan nuansa Maliki.

Di negaranya ia cukup beruntung karena mendapat didikan langsung dari ulama – ulama tersohor seperti Abu Kharijah, Buhlul, Ali bin Ziyad, Ibnu Abi Hassan, Abu Mas’ud bin Masyrasy, Ibnu Ghanim dan Muawiyah ash Shamadihi.

Melihat kemampuan anak muridnya, Imam Ali bin Ziyad sebagai guru pengajar kitab al-Muwattha’ karya Imam Sahnun, merekomendasikannya untuk memperdalam keilmuannya dengan berguru langsung kepada Imam Malik.

Sayangnya, Sahnun tidak sempat bertemu Imam Malik karena sudah wafat. Untungnya, ia masih dapat berguru kepada ulama pembesar mazhab Maliki yang tersebar di berbagai kota seperti Madinah, Mekah, Mesir dan Syam.

Kecerdasan Sahnun telah banyak diakui para masyayikhnya. Bahkan, saat menuntut ilmu di Mesir, sang guru Ibnu Qasim memintanya untuk tetap tinggal di Mesir. Namun, ia lebih memilih pulang ke tanah airnya, Kairouan (ibu kota Afrika Utara).

Sahnun kembali ke Kairouan tahun 191 H. Dengan segala keluhuran ilmunya, ia berhasil mematangkan posisi Mazhab Maliki di Afrika Utara, mengalahkan Mazhab al Auza’i yang sebelumnya mendominasi wilayah tersebut.

Berjejaring dengan Penganut Mazhab Maliki di Afrika Utara
Kepulangan Sahnun ke Afrika Utara membawa dampat signifikan terhadap perkembangan fikih Maliki. Apalagi saat itu pengembangan ilmu pengetahuan sedang gencar dilakukan pemerintah.

Sejumlah ulama tersohor berada di Kairouan termasuk Asad bin Furat yang merupakan murid langsung Imam Malik. Ia menjadi ulama paling berpengaruh pada masanya. Karangannya yang berjudul Asadiyah berupa kumpulan fatwa – fatwa fikih telah banyak dijadikan rujukan para ulama.

Di sisi lain, karirnya hari demi hari kian melonjak. Bermula dari pengajar di masjid Kairouan kemudian naik tingkatan hingga masuk dalam majlis musyawarah. Majlis ini dihadiri oleh para ulama terkemuka. Meskipun termasuk dalam kalangan junior, Sahnun mampu bersaing dengan yang lainnya. Bahkan ia terlihat menonjol, pendapat – pendapat yang ia kemukakan mendapatkan apresiasi penuh dari kalangan ulama.

Namanya kian dekenal berkat keberhasilannya menghimpun fatwa – fatwa Imam Malik yang diriwayatkannya dari tokoh – tokoh besar Maliki dalam sebuah karya berjudul Mudawwanah al-Kubra’. Bisa dikatakan, Mudawwanah adalah versi penyempurnaan Asadiyah Imam Asad bin Furat.

Dengan bergabungnya Sahnun, kajian keilmuan di Kairouan semakin berkembang hingga menjadi pusat keilmuan Islam di Maghrib. Para pelajar dari berbagai wilayah Islam datang ke Kairouan untuk berguru kepada Imam Sahnun. Tidak terkecuali para penuntut ilmu dari Andalusia (Spanyol).

Para ahli berbeda pendapat mengenai jumlah total murid Sahnun, antara 400 atau 700 orang. Yang jelas, murid – murid Imam Sahnun ini tumbuh menjadi ulama berpengaruh di wilayahnya masing-masing. Tujuh pemuka ulama Maliki (Al Birah) pun tidak lain mengambil ilmu dari Sahnun.

Najmuddin Hantati dalam karyanya Mazhab Maliki Bil al-Gharb al-Islami mengatakan bahwa salah satu unsur paling penting menyebarluasnya Mazhab Maliki sehingga dianut mayoritas Muslim Afrika Utara adalah hasil kerja keras Imam Sahnun.

Pengaruhnya tidak hanya tersebar saat bertugas sebagai pengajar di masyarakat namun mampu memastikannya dengan pengaplikasian Mazhab Maliki di Afrika Utara saat ia menjabat sebagai seorang hakim pemerintah.

Diangkat Menjadi Hakim Pemerintah
Nama Sahnun pun terus mencuat dari mulut ke mulut hingga terdengar ke istana Aghlabiah. Dinasti yang memimpin Afrika Utara kala itu.

Sahnun memiliki ikatan cukup kuat dengan dinasti Aghlabiah. Hal ini disebabkan keberaniannya untuk menduduki posisi hakim di pemerintahan pusat.

Saat itu, situasi politik pemerintahan tidak begitu stabil. Kenyataannya hakim tidak memiliki hak penuh untuk memutuskan hukum karena adanya intervensi pejabat pemerintah. Sehingga cukup sulit untuk menjalankan tugas dengan adil dan jujur.

Itulah mengapa para ulama Maliki terkesan menghindar dari jabatan hakim pemerintah. Tanggung jawab yang diemban terlalu berat, karena ada potensi besar penyalahgunaan ajaran agama Islam yang sulit mereka hindari.

Oleh karena itu, mereka lebih memilih bergerilya di tengah rumah – rumah masyarakat, menyebarkan ilmu pengetahuan, merespon pertanyaan – pertanyaan masyarakat mengenai sebuah hukum serta memberikan penjelasan utuh mengenai syariat Islam.

Sahnun diangkat menjadi hakim tahun 234 H dimasa Abu Abbas Muhamad bin Ibrahim saat berusia 74 tahun. Sebenarnya ia tidak ingin masuk ke ranah ini, persis seperti mayoritas ulama Maliki kala itu. Ia melakukannya tidak lain untuk berkhidmat terhadap ilmu dan menyebar luaskan ajaran Mazhab Maliki.

Tugasnya pun cukup sensitif, disetiap isu yang muncul ia harus mampu manjadi penengah antara pemerintah, masyarakat dan para ulama agar terhindar dari konflik horizontal. Untuk menjaga kredibilitasnya, Sahnun rela tidak mengambil gaji dari pekerjaannya sebagai hakim dan tidak menjalin hubungan spesial dengan para pejabat pemerintah.

Berprinsip Memegang Teguh Kebenaran
Dalam perjalannya menjadi hakim, Sahnun banyak mendapat ujian. Terutama saat adanya tekanan pejabat pemerintah untuk mempengaruhi keputusan hukumnya. Seakan tidak peduli apa yang akan terjadi pada dirinya, ia tetap menjalankan hukum sesuai prosedur dan tetap memagang teguh prinsip kebenaran meskipun harus berhadapan dengan para raja Aghlabiah sekalipun.

Peristiwa ini pernah terjadi saat Sahnun menangani kasus Mansur Tanbadzi dan perseteruan yang terjadi dengan Amir Muhammad bin Aghlab.

Sahnun kembali diuji saat isu doktrin Khalqul Qur’an (Al Qur’an itu makhluk) merebak hampir di seluruh wilayah Islam. Terlebih, marak terjadi pemaksaan untuk menerima teori ini khususnya bagi para hakim. Sahnun pun tidak terlepas dari situasi genting tersebut. Namun, ia tetap memegang teguh akidah yang ia yakini meskipun pada akhirnya ia dirugikan dalam peristiwa naas tersebut.

Memajukan Sistem Kehakiman Afrika Utara
Dalam sejarah kehakiman Islam, Sahnun merupakan salah satu hakim terbaik yang pernah dimiliki umat Muslim. Hal tersebut tidak terlepas dari kedalaman ilmu pengetahuan serta keberanian dalam mengaplikasikannya.

Ditambah lagi pengalamannya sebagai mufti maupun pengajar agama sudah malang melintang di tengah – tengah masyarakat. Tidak hanya pandai dalam berteori, Sahnun juga pandai dalam beraksi.

Muhammad Zainahum Muhammad Azb dalam karyanya Al-Imam Sahnun mengatakan bahwa Sahnun tidak hanya berkontribusi terhadap geliat pergerakan ilmiah saja, namun ia juga mampu menyulap keadaan sistem kehakiman Afrika Utara dengan berbagai terobosan dan ide barunya. Zainahum setidaknya mencatat ada lima terobosan penting yang pernah dilakukan Sahnun, berikut pemaparannya.

Pertama, pembentukan peraturan pasar. Peraturan pasar ini dibentuk agar proses jual beli masyarakat dapat berjalan dengan baik. Semua aspek jual beli termasuk barang yang akan dijual diatur dalam peraturan tersebut. Di masa sebelumnya, pemerintah tidak pernah memperhatikan hal ini.

Kedua, Sahnun menggagas dewan muhtasib (semacam dewan pengendalian harga/timbangan). Berkat keluasan pemahamannya ia ditunjuk sebagai muhtasib pertama di Afrika Utara.

Ketiga, memerangi ahli bid’ah. Sahnun cukup gesit dalam memerangi kelompok yang berpotensi meresahkan masyarakat ini. Bahkan, ia membubarkan kelompok tersebut saat tertangakap basah saat melakukan rapat di masjid – masjid. Termasuk saat menghadapi kaum Khawarij yang mencoba menyusupi masyarakat dengan pemikiran – pemikiran yang bertolak dengan ajaran esensial agama Islam khususnya ajaran Mazhab Maliki Sunni. Seperti yang diketahui, pada saat itu sekte Khawarij cukup berkembang pesat di salah satu wilayah di Afrika Utara.

Keempat, Sahnun tokoh pertama yang mengadakan imam di masjid Jami’, dimana sebelumnya posisi tersebut hanya di peruntukan untuk para petinggi pemerintahan.

Kelima, beliau merubah sistem penyimpanan dana serta inventaris kehakiman. Barang – barang inventaris ini disimpan di sekretariat yang amanah termasuk diamanahkan kepada orang – orang pedalaman, berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang menyimpannya di rumah para hakim.

Sumber : https://bincangsyariah.com/khazanah/sahnun-abdussalam-bin-said-tanukhi-pengembang-mazhab-maliki-di-afrika-utara/

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M