Kehidupan di Madinah
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Periode Madinah bisa dibagi tiga tahapan masa
- Kondisi yang masih labil di Madinah tatkala Hijrah
- Kelompok Pertama
- Kelompok Kedua
- Kelompok Ketiga
1. Periode Madinah bisa dibagi tiga tahapan masa
1. Tahapan masa yang banyak diwarnai guncangan dan cobaan, banyak rintangan yang muncul dari dalam, sementara musuh dari luar menyerang Madinah untuk menyingkirkan para pendatangnya. Tahapan ini berakhir dengan dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzul-Qa’dah tahun ke-6 dari hijrah.
2. Tahapan masa perdamaian dengan para memimpin paganisme, yang berakhir dengan Fathu Makkah pada bulan Ramadhan tahun ke-8 dari hijrah. Ini juga merupakan tahapan masa berdakwah kepada para raja agar masuk Islam.
3. Tahapan masa masuknya manusia ke dalam Islam secara berbondong¬bondong, yaitu masa datangnya para utusan dari berbagai kabilah dan kaum ke Madinah. Masa ini membentang hingga wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ke-11 dari hijrah.
2. Kondisi yang masih labil di Madinah tatkala Hijrah
Makna hijrah bukan sekadar upaya melepaskan diri dari cobaan dan cemoohan semata, tetapi di samping makna itu hijrah juga dimaksudkan sebagai batu loncatan untuk mendirikan sebuah masyarakat baru di negeri yang aman. Oleh karena itu, setiap Muslim harus mampu, wajib ikut andil dalam usaha mendirikan negara baru ini, harus mengerahkan segala kemampuannya untuk menjaga dan menegakkannya.
Tidak dapat disangsikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam adalah pemimpin, komandan dan pemberi petunjuk dalam menegakkan masyarakat ini. Semua krisis dikembalikan kepada beliau tanpa ada yang menentangnya.
Manusia yang beliau hadapi di Madinah bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Keadaan yang satu berbeda jauh dengan yang lain, dan beliau juga harus menghadapi berbagai problem yang berbeda tatkala menghadapi masing-masing kelompok. Tiga kelompok ini adalah:
1. Rekan-rekannya yang suci, mulia, dan baik.
2. Orang-orang musyrik yang sama sekali tidak mau beriman kepada beliau, yang berasal dari berbagai kabilah di Madinah.
3. Orang-orang Yahudi.
Berbagai masalah yang dihadapi Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam kaitannya dengan rekan¬rekannya (para sahabatnya) dengan kondisi kehidupan di Madinah, berbeda dengan kondisi mereka di Makkah. Sekalipun mereka diikat dengan satu kalimah dan menuju satu tujuan yang telah disepakati, hanya saja mereka berpencar-pencar di berbagai keluarga, ditekan, dilecehkan, dan diusir. Mereka tidak memiliki kekuasaan macam apa pun. Kekuasaan ada di tangan musuh mereka. Orang-orang Muslim tidak mampu mendirikan satu masyarakat Islam yang baru, dengan bahan baku yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat.
manusia macam apa pun di dunia ini. Oleh karena itu kita melihat beberapa surat Makkiyah hanya berkisar pada masalah dasar-dasar Islam, syariat-syariat yang pengamalannya bisa dilaksanakan oleh masing-masing individu, anjuran kepada kebajikan, kebaikan, akhlak yang mulia, penjauhan keburukan dan kehinaan.
Sementara saat di Madinah, kekuasaan mutlak berada di tangan mereka semenjak hari pertama, dan tak seorang pun yang berkuasa atas mereka. Maka sudah saatnya bagi mereka untuk menghadapi berbagai masalah peradaban dan kemajuan, penghidupan dan ekonomi, politik dan pemerintahan, perdamaian dan perang, pemilahan antara yang halal dan haram, ibadah dan akhlak serta berbagai masalah kehidupan yang lain.
Sudah tiba saatnya bagi mereka untuk membentuk masyarakat Islam yang baru, masyarakat Islami, yang berbeda dengan masyarakat Jahiliyah di sepanj ang periode sejarah, yang berbeda dengan masyarakat mana pun di dunia ini dan menj adi teladan bagi dakwah Islam dengan berbagai bentuk rintangan, siksaan dan tantangan yang dihadapi orang-orang Muslim selama sepuluh tahun.
Tidak dapat diragukan, pembentukan suatu masyarakat yang ideal seperti ini tidak mungkin dilakukan hanya dalam jangka waktu satu hari, satu bulan atau satu tahun saja, tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama, agar ketetapan-ketetapan syariat, hukum, pengetahuan, pendidikan dan pelaksanaan bisa menjadi sempurna dengan melalui beberapa tahapan secara berjenjang. Allah sudah cukup dengan ketetapan syariat-Nya. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam siap melaksanakan, memberi petunjuk dan mengajari orang-orang Muslim, firman Allah,
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah.” (AI¬Jumu’ah: 2)
Para sahabat menerima beliau dengan sepenuh hati dan melaksanakan hukum-hukumnya dengan senang hati.
“Dan, apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, maka bergetarlah hati mereka.” (Al-Anfal: 2)
Rincian tentang masalah tersebut kurang tepat jika kami panjang lebarkan dalam buku ini. Kami batasi sekadar menurut kebutuhan.
Inilah masalah paling besar yang harus dihadapi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam kaitannya dengan orang-orang Muslim. Dalam lingkup yang lebih luas, inilah yang dimaksudkan dari dakwah Islam dan risalah Muhammad. Tetapi permasalahannya tidak terbatas sampai disitu saja. Di sana masih banyak masalah lain yang perlu dituntaskan dengan cepat.
Orang-orang Muslim meliputi dua kelompok: Satu kelompok hidup di tempat tinggalnya, di rumah dan dengan harta bendanya. Tidak banyak yang mereka butuhkan selain itu, kecuali jaminan keamanan. Mereka adalah orang-orang Anshar. Sebenarnya di antara mereka ada permusuhan sejak dahulu, tepatnya antara Aus dan Khazraj. Di samping mereka ada kelompok lain, yaitu orang-orang Muhajirin yang keadaannya berbeda dengan Anshar. Mereka mencarai selamat dengan pergi ke Madinah, tanpa ada tempat untuk berteduh, tidak ada lapangan kerja untuk penghidupannya, tidak memiliki harta untuk mempertahankan hidupnya, sementara jumlah mereka juga tidak sedikit. Bahkan hari demi hari jumlah mereka semakin bertambah, karena siapa pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya diizinkan (diwajibkan) hijrah. Sebagaimana yang diketahui, Madinah bukan termasuk daerah yang memiliki kekayaan yang melimpah. Maka tidak jarang jika kondisi ekonominya amat labil. Sementara pada saat itu seluruh kekuatan yang memusuhi Islam memboikot hubungan ekonomi, sehingga pemasukan dari luar semakin menipis.
Mereka adalah orang-orang musyrik yang menetap di beberapa kabilah di Madinah. Mereka tidak mampu berkuasa atas orang-orang Muslim. Di antara mereka ada pula yang dirasuki keragu-raguan untuk meninggalkan agama nenek moyangnya. Namun mereka tidak pernah berpikir untuk memusuhi Islam dan orang-orang Muslim. Tak seberapa lama kemudian mereka pun masuk Islam dan melepaskan agamanya yang lampau.
Sebenarnya di antara mereka ada yang menyimpan dendam kesumat terhadap Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan orang-orang Muslim, tetapi mereka tidak berani menyatakannya. Bahkan mereka terpaksa menampakkan kecintaan dan kesukaan, karena beberapa pertimbangan. Tokoh kelompok ini adalah Abdullah bin Ubay. Sebelum itu, tepatnya seusai Perang Bu’ats, sebenarnya Aus dan Khazraj sudah sepakat untuk mengangkat dirinya sebagai pemimpin. Padahal sebelumnya, mereka tidak pernah berpikir untuk mengangkat seseorang sebagai
pemimpin. Bahkan untuk maksud ini mereka sudah merancang mahkota untuk disematkan di kepalanya, sebagai wujud pengangkatan dirinya sebagai raja dan pemimpin bagi Aus dan Khazraj. Tetapi sebelum dia sempat menjadi raja bagi seluruh penduduk Madinah, terbetik kabar tentang kedatangan Rasulullah
dan banyak kaumnya sendiri yang berpaling darinya. Oleh karena itu dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai orang yang telah merampas kerajaan yang sudah tampak di depan mata. Maka tidak heran jika kemudian dia menyimpan kebencian terhadap beliau. Karena dia melihat beberapa pertimbangan yang tidak mendukungnya untuk bergabung dengan beliau, apalagi beliau tidak memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengeruk kepentingan duniawi, maka dia hanya bisa menyimpan kekufuran di dalam batinnya. Sehingga setiap ada kesempatan untuk melancarkan tipu daya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan orang orang Muslim, maka kesempatan itu pasti tidak disia-siakan. Sementara rekan rekannya yang dulu mengharapkan kedudukan tertentu dalam kerajaannya, juga ikut mendukung rencana-rencananya. Maka orang-orang Muslim yang lemah pikirannya dia pergunakan sebagai alat untuk memuluskan segala rencananya.
Mereka adalah orang-orang Yahudi. Dahulu semasa mendapat tekanan dari bangsa Asyur dan Romawi, mereka berpihak kepada orang-orang Hijaz, walaupun sebenarnya mereka adalah orang-orang Ibrani. Namun setelah bergabung dengan orang-orang Hijaz, mereka hidup dengan ala Arab, berbahasa Arab dan mengenakan pakaian Arab pada umumnya, sehingga nama kabilah dan nama-nama mereka juga menggunakan nama Arab, serta mereka pun kawin dengan orang-orang Arab. Sekalipun begitu mereka tetap menjaga fanatisme jenis mereka sebagai orang-orang Yahudi dan tidak menyatu dengan bangsa Arab secara total. Bahkan mereka masih membanggakan diri sebagai bangsa Israel (Yahudi) dan masih sempat melecehkan bangsa Arab, dengan menyebut bangsa Arab sebagai orang-orang Ummiyyin, alias orang-orang jalang dan buas, buta huruf, hina, dan terbelakang. Dalam pandangan mereka, harta bangsa Arab boleh mereka ambil semaunya, sebagaimana firman Allah,
“Mereka berkata, `Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang yang ummi.” (Ali-Imran: 75)
Mereka tidak terlalu berhasrat untuk menyebarluaskan agamanya, karena materi agama mereka tak lebih dari ramalan nasib, sihir, mantera-mantera, hembusan pada buhul dan yang serupa dengan ini. Oleh karena itu mereka membual sebagai orang-orang yang memiliki ilmu, keutamaan, kelebihan dan kepeloporan dalam kehidupan spritual.
Mereka pintar mencari berbagi sumber penghidupan dan mata pencaharian. Perputaran bisnis biji-bijian, korma, khamr, dan kain ada di tangan mereka. Mereka mengimpor kain, biji-bijian, dan khamar, serta mengekspor korma. Selain itu pun masih banyak pekerjaan yang mereka tekuni. Mereka mengambil keuntungan sekian kali lipat dari orang-orang Arab secara keseluruhan dan juga menerapkan riba. Mereka biasa memberi pinjaman uang kepada para pemimpin dan pemuka Arab, agar para pemimpin itu memberikan pujian kepada mereka lewat syair-syair, hingga mereka menjadi tersohor di masyarakat karena mengucurkan dana sekian banyak. Setelah itu mereka mengambil tanah dan kebun para pemimpin itu sebagai jaminan, dan beberapa tahun kemudian tanah-tanah itu menjadi milik mereka jika hutang tidak terlunasi.
Mereka juga dikenal sebagai orang-orang yang suka menyebarluaskan isu dan kerusakan, angkuh, bersekongkol, memicu peperangan dan permusuhan di antara berbagai kabilah yang berdekatan dengan mereka, mengadu domba di antara mereka dengan cara-cara yang licik dan terselubung, tanpa disadari sedikit pun oleh kabilah-kabilah itu, sehingga kabilah yang satu dengan yang lain terus-menerus dilanda peperangan. Jika bara peperangan itu mulai padam, maka mereka meniup-niupnya lagi, lalu menonton peperangan yang berkecamuk di antara sesama bangsa Arab sambil duduk dengan tenang. Karena orang-orang Yahudi itu menerapkan bunga yang tinggi atas pinjaman yang diberikan, maka orang-orang Arab tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena kesulitan dana. Dengan cara ini orang-orang Yahudi bisa meraup dua keuntungan sekaligus, dapat menjaga eksistensi mereka, menerapkan pasar riba untuk mengambil keuntungan sekian lipat, dengan begitu mereka bisa menumpuk kekayaan yang melimpah.
Di Madinah mereka mempunyai tiga kabilah yang terkenal, yaitu:
1. Bani Qainuqa’. Dulunya mereka adalah sekutu Khazraj dan perkampungan mereka berada di
dalam Madinah.
2. Bani Nadhir.
3. Bani Quraizhah. Dulunya mereka merupakan sekutu Aus bersama dengan Bani Nadhir, yang
menetap di pinggir Madinah.
Tiga kabilah inilah yang membangkitkan peperangan antara Aus dan Khazraj sejak jauh-jauh waktu. Mereka juga mempunyai andil dalam Perang Bu’ats, karena masing-masing berkomplot dengan sekutunya.
Tentu saja tidak ada yang bisa diharapkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dari orang-orang Yahudi ini. Karena mereka memandang Islam dengan mata kebencian dan kedengkian. Rasul pun tidak berasal dari ras mereka, sehingga gejolak fanatisme rasial yang telah menguasai pikiran hati mereka menjadi terang. Sementara itu, dakwah Isam senantiasa mampu menyatukan hati manusia, memadamkan api kebencian dan pennusuhan, mengajak kepada penepatan janji dan memegang amanat dalam keadaaan bagaimana pun, membatasi pada makan yang halal dan pencarian harta yang baik. Dengan kata lain, berarti semua kabilah Arab di Yastrib tentu akan bersatu. Jika begitu keadaannya, cakar Yahudi tentu akan tumpul dan aktivitas bisnis mereka siap mengalami kegagalan. Mereka tidak bisa lagi mengeruk pemasukan dari pasar riba yang selama itu menj adi sumber kekayaan mereka. Bahkan boleh jadi kabilah-kabilah Arab itu akan bangkit, lalu memperhitungkan harta riba yang pernah diambil orang-orang Yahudi, lalu mereka menuntut kembali tanah yang pernah lepas ke tangan orang-orang Yahudi.
Orang-orang Yahudi sudah menghitung-hitung semua itu semenjak melihat dakwah Is1am hendak memusatkan kegiatannya di Yatsrib. Oleh karena itu mereka memendam permusuhan yang menggelegak terhadap Islam dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam semenjak beliau masuk Yatsrib, sekalipun mereka tidak berani menampakkannya kecuali setelah sekian lama.
Hal ini bisa diketahui jelas seperti yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dari Ummul Mukminin Shafiyyah. Ibnu Ishaq menuturkan, “Aku meriwayatkan dari Shafiyyah binti Huyai bin Akhthab, dia berkata, “Aku adalah anak yang paling disayangi ayahku dan juga pamanku, Abu Yasir. Setiap kali aku bertemu, tentu mereka berdua akan meggendongku dan melepaskan anak lain yang sedang digendongnya. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tiba di Madinah, singgah di Quba’ di Bani Amr bin Auf, maka ayahku, Huyai bin Akhthab dan pamanku, Abu Yasir bin Akhthab pergi ke sana pada malam hari. Keduanya tidak kembali kecuali setelah matahari terbenam pada keesokan harinya. Mereka berdua terlihat malas, loyo, tanpa semangat dan jalannya pelan-pelan. Aku segera menghampiri mereka berdua seperti biasanya, namun demi Allah, tak seorang pun di antara mereka berdua yang mau menoleh ke arahku. Mereka terlihat murung. Kudengar pamanku bertanya kepada ayahku, “Diakah orangnya?”
“Demi Allah, memang dia,” jawab ayahku.
“Apakah engkau yakin?”
“Ya,” jawab ayahku.
“Apa yang kau pikirkan tentang dirinya?”
“Demi Allah, aku akan memusuhinya selagi aku masih hidup,” jawab ayahku.
Hal ini juga diriwayatkan A1-Bukhari tentang keislaman Abdullah bin Salam yang sebelumnya itu dia adalah ulama Yahudi tersohor. Tatkala mendengar kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah, dia cepat-cepat menemui beliau dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak bisa dipahami kecuali seorang nabi. Maka tatkala mendengar jawaban-jawaban yang disampaikan beliau, seketika itu pula dia masuk Islam.
Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi adalah orang¬orang yang suka mendustakan. Jika mereka tahu aku sudah masuk Islam sebelum engkau bertanya kepada mereka, tentu jawaban mereka akan menjadi lain selagi mereka masih berada di hadapan engkau.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengirim utusan, hingga ada beberapa orang Yahudi datang kepada beliau. Sementara Abdullah bin Salam bersembunyi di dalam rumah. Beliau bertanya, “Bagaimana kedudukan Abdullah bin Salam di tengah kalian?”
Mereka menjawab, “Dia adalah orang yang paling banyak ilmunya di antara kami dan anak dari orang yang paling banyak ilmunya di antara kami. Dia adalah orang yang paling baik di antara kami dan anak dari orang yang paling baik di antara kami. ”
Dalam lafazh lain disebutkan, dia adalah pemimpin kami dan anak pemimpin kami.”
Dalam lafazh lainnya disebutkan, “Dia adalah orang yang paling baik di antara kami dan anak dari orang yang paling baik di antara kami, orang yang paling mulia di antara kami dan anak dari orang yang paling mulia di antara kami.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada mereka, “Apa pendapat kalian jika dia masuk Islam?” “Itu tidak mungkin terjadi,” jawab mereka dua atau tiga kali.
Lalu Abdullah bin Salam menampakkan diri sembari berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah. Sesungguhnya dia datang dengan kebenaran.” “Engkau dusta,” kata mereka.
Ini merupakan pelajaran dan pengalaman pertama yang diterima Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam menghadapi orang-orang Yahudi pada hari pertama beliau memasuki Madinah.
Semua ini merupakan gambaran kondisi di dalam. Sedangkan dari luar, maka kekuatan terbesar yang memusuhi Islam adalah dari pihak Quraisy. Mereka sudah memiliki pengalaman selama sepuluh tahun, tatkala orang-orang Muslim berada di bawah kekuasaan mereka. Segala bentuk tekanan, penyiksaan, intimidasi, pemboikotan, kesewenang-wenangan dan penindasan sudah pernah mereka lakukan terhadap orang-orang Muslim. Kemudian tatkala orang-orang Muslim hijrah ke Madinah, mereka merampas tanah, rumah dan harta benda orang-orang Muslim, memisahkan seseorang dengan istri dan keluarganya. Bahkan tidak jarang keluarganya disiksa.
Tidak berhenti sampai di sini saja. Mereka juga bersengkokol untuk membunuh dan menghabisi Rasulullah serta dakwah beliau. Namun usaha mereka untuk melaksanakan persengkokolan itu gagal total.
Kemudian tatkala orang-orang Muslim benar-benar sudah bisa menyelamatkan diri dan pindah ke daerah yang jauhnya lima ratus kilometer, orang orang Quraisy masih menggunakan sarana politik, mengingat kedudukan mereka yang cukup mapan di seluruh masyarakat Arab, karena mereka cukup terpandang dalam urusan keduniaan dan kepemimpinan, karena mereka menetap di tanah suci dan berdampingan dengan Baitullah dan sekaligus sebagai pengelolanya. Mereka membujuk orang-orang musyrik di seluruh Jazirah Arab agar mau memusuhi penduduk Madinah, sehingga Madinah merupakan wilayah yang terkucil dan tidak mendapatkan masukan dari luar. Sementara pada saat yang sama jumlah orang-orang yang datang ke sana semakin bertambah. Suasana perang sudah membayang di depan mata dan hampir bisa dipastikan akan meletus antara para penduduk Makkah yang sewenang-wenang dan orang¬orang Muslim di negerinya yang baru. Sungguh amat riskan jika orang-orang Muslim harus dibebani tanggung jawab seperti ini.
Sudah selayaknya orang-orang Muslim mengambil kembali harta orang orang musyrik yang sewenang-wenang itu, karena dahulu mereka telah merampas harta orang-orang Muslim. Sudah sepantasnya orang-orang Muslim menguasai orang-orang musyrik itu, karena dahulu mereka telah menguasai orang-orang Muslim. Seharusnya orang-orang musyrik yang sewenang-wenang itu menyerahkan satu takaran, sebagai ganti dari satu takaran yang pernah mereka ambil. Dengan cara ini mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menindas orang-orang Muslim.
Inilah beberapa masalah dan problem yang dihadapi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tatkala tiba di Madinah, dengan kapasitas beliau sebagai rasul, pengajar, pembimbing dan komandan pasukan.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah melaksanakan tugas risalah dan kepemimpinan di Madinah, berbuat lemah lembut dan penuh kasih sayang atau pun tegas dan keras terhadap masing-masing pihak yang memang harus mendapat perlakuan seperti ini. Namun tidak dapat diragukan, kelemahlembutan sikap beliau jauh lebih dominan daripada kekerasan, sehingga hanya dalam jangka waktu beberapa tahun saja, begitu banyak orang yang masuk Islam. Pembaca akan mendapatkan penjelasan mengenai masalah ini dalam uraian berikut.
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury