Kumpulan pertanyaan seputar Nazar
1. Ringkasan Hukum dan Macam Nazar
Pertanyaan
Apa hukum nazar dalam Islam?
Jawaban
Alhamdulillah.
Inilah penjelasan tema tentang nazar untuk anda yang mencakup macam dan hukum pokok yang bermanfaat untuk anda dan pembaca lainnya insyaallah.
Asfahani rahimahullah dalam ‘Mufrodat Alfadul Qur’an, hal. 797 mengatakan,”Nazar adalah mewajibkan yang tidak wajib kepada diri anda karena terjadi suatu peristiwa. Allah Ta’ala berfirman:
اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah.” [Maryam/19: 26].
Maka nazar adalah mewajibkan mukalaf (orang yang terkena beban kewajiban) terhadap dirinya yang tidak wajib atasnya. Baik secara langsung atau digantungkan. Telah disebutkan dalam Kitabullah pada posisi sanjungan. Allah ta’ala berfirman terkait dengan hamba-Nya orang-orang mukmin:
اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًاۚ – عَيْنًا يَّشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللّٰهِ يُفَجِّرُوْنَهَا تَفْجِيْرًا – يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهٗ مُسْتَطِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”[Al-Insan/76: 5-7]
Maka Allah -Tabaraka wa Ta’ala- menjadikan ketakutan mereka terhadap kegentingan hari kiamat dan pemenuhan nazarnya merupakan salah satu sebab keselamatan dan masuknya ke surga.
Hukum Nazar.
Memenuhi nazar adalah kewajiban yang disyareatkan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ لْيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka” [Al-Hajj/22:29]
Imam Syaukani rahimahullah mengatakan, “Perintah menunjukkan akan kewajiban. Telah ada banyak hadits dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam larangan bernazar dan penjelasan kemakruhannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تَنْذِرُوا، فإنَّ النَّذْرَ لا يُغْنِي مِنَ القَدَرِ شيئًا، وإنَّما يُسْتَخْرَجُ به مِنَ البَخِيلِ
“Jangan kalian semua bernazar, karena nazar tidak berpengaruh terhadap takdir sedikitpun. Sesungguhnya ia keluar dari kebakhilan.” [HR. Muslim no. 3096]
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mulai melarang kami bernazar seraya bersabda:
إنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئا، وَإنَّما يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Sesungguhnya ia (nazar) tidak dapat menolak sedikitpun. Sesungguhnya ia dikeluarkan dari kekikiran.” HR. Bukhori dan Muslim
Kalau ada yang mengatakan ‘Bagaimana disanjung orang orang menunaikan nazar kemudian dilarangnya. Seharusnya nazar yang disanjung adalah nazar ketaatan saja tanpa digantungkan terhadap sesuatu. Dimana seseorang mengharuskan dirinya untuk melakukan ketaatan dan menghalangi dari kemalasan atau rasa syukur terhadap kenikmatan.
Sementara nazar yang dilarang itu banyak macamnya diantaranya adalah nazar pengganti, dimana orang yang bernazar dalam ketaatan ketika mendapatkan sesuatu atau menolak sesuatu. Kalau tidak didapatkan, tidak melakukan ketaatan. Ini yang dilarang. Mungkin hikmah dilarangnya hal itu adalah karena sebab-sebab berikut ini:
Orang nazar melakukan ketaatan dengan berat. Ketika terjadi pada kondisi sulit dan mengharuskan melakukan sesuatu. Orang nazar ketika bernazar melakukan ketaatan dengan syarat jika apa yang diinginkan tercapai. Sehingga nazarnya seperti pengganti yang dapat mencederai niatan dalam ketaatan. Karena kalau dia tidak sembuh dari penyakitnya, tidak akan bershodaqah karena digantungkan atas kesembuhannya. Inilah kondisi kikir. Karena dia tidak mengeluarkan hartanya sedikitpun kecuali dengan pengganti langsung. Biasanya lebih dari apa yang dikeluarkannya.
Sebagian orang mempunyai keyakinan jahiliyah, muaranya bahwa nazar harus mendapatkan sesuai dengan tujuan yang dia lakukan. Atau Allah akan merealisasikan tujuan orang yang bernazar karena nazarnya. Menghilangkan keyakinan pada sebagaian orang awam. Dimana akhirnya bahwa nazar dapat menolak takdir. Atau mendapatkan manfaat segera atau memalingkan dari keburukan. Maka hal itu dilarang khawatir keyakinan orang awam akan hal itu. Serta peringatan bahaya metode seperti itu terhadap keselamatan aqidah.
Macam Nazar dari sisi kewajiban menunaikannya:
Pertama: Nazar harus dilaksanakan (Nazar Ketaatan) yaitu semua nazar dalam ketaatan kepada Allah Azza Wajallah seperti nazar shalat, puasa, umroh, haji, silaturrohim, I’tikaf, jihad, menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran seperti dia mengatakan ‘Demi Allah wajib atasku berpuasa atau bersedekah segini atau demi Allah wajib atasku menunaikan haji tahun ini atau shalat dua rakaat di masjidil haram sebagai rasa syukur kepada Allah terhadap nikmat kesembuhan dari penyakitku.
Atau secara digantungkan seperti bernazar melakukan ketaatan kepada Allah digantungkan dengan sesuatu yang bermanfaat jika terjadi hal itu sehingga dia mengatakan ‘Kalau orang yang hilang ketemu atau jikalau Allah menghalangi kejelekan musuh dariku maka saya akan berpuasa atau bersedekah segini. Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ.
“Siapa yang bernazar ketaatan kepada Allah, hendaknya dia melakukan ketaatannya. Dan siapa yang bernazar melakukan kemaksiatan, maka jangan melakukan kemaksiatannya.[HR. Bukhori, 6202]
Kalau seseorang bernazar melakukan ketaatan kemudian datang kondisi yang menghalangi untuk menunaikannya seperti bernazar untuk puasa sebulan atau menunaikan haji atau umroh. Akan tetapi terkena sakit yang menghalangi menunaikan puasa, haji, umroh atau bernazar untuk bersedekah akan tetapi menjadi miskin yang menghalangi antara dia dengan menunaikan nazarnya. Maka dalam kondisi seperti ini, berpindah menebus nazarnya dengan tebusan (kaffarah) sumpah. Sebagaimana yang ada dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata:
وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَا يُطِيقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ
“Siapa yang bernazar dan tidak mampu (menunaikannya), maka menebus dengan tebusan (kaffarah) sumpah. [HR. Abu Dawud, Hafidz Ibnu Hajar berkomentar dalam Bulugul Maram sanadnya shoheh dan Hafidz menguatkan status sampai sahabat Nabi (waqf).]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa (33/49) mengatakan, “Apabila seseorang bernazar untuk melakukan ketaatan karena Allah, maka dia harus menunaikannya. Akan tetapi kalau tidak menunaikan nazar karena Allah, maka dia harus menebus dengan tabusan sumpah menurut mayoritas ulama salaf.
Kedua: Nazar yang tidak boleh ditepati dan ada kaffarah (tebusan) sumpah. Yang termasuk bentuk nazar ini adalah
1. Nazar kemaksiatan: yaitu semua bentuk nazar di dalamnya ada kemaksiatan kepada Allah seperti bernazar memberi minyak dan penerang di kuburan atau menginfakan untuknya. Atau bernazar mengunjungi kuil atau tempat-tempat kesyirikan. Hal ini menyerupai bernazar untuk patung dari beberapa sisi. Begitu juga kalau bernazar melakukan salah satu kemaksiatan seperti berzina, minum khomr, mencuri, memakan harta anak yatim atau mengingkari kepemilikan yang sah dari seseorang atau memutus kekerabatan sehingga dia tidak menyambung kerabat si fulan atau tidak masuk ke rumahnya tanpa ada alasan yang dibenarkan syareat. Semuanya ini tidak diperbolehkan menunaikannya secara tegas. Bahkan seharusnya dia menebus nazarnya dengan tebusan sumpah. Dalil tidak diperbolehkan menunaikannya (nazar) dalam bentuk ini adalah hadits Aisyah radhiallahu anha dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ
“Siapa yang bernazar mentaati Allah, maka hendaknya dia lakukan. Dan siapa yang bernazar bermaksiat kepadanya, maka jangan melakukannya” [HR. Bukhori.6202]
Dari Imron bin Husain sesungguhnya Rasulullah sallallahu alai wa sallam berbda:
لاَ وَفَاءَ لِنِذْرٍ في مَعْصِيَةِ
“Tidak boleh menunaikan nazar dalam kemaksiatan. “[HR. Muslim, 3099].
2. Semua Nazar yang kontradiksi dengan Nash. Kalau seorang muslim bernazar, kemudian mengetahui bahwa nazarnya bertentangnan dengan nash shohih dan jelas. Di dalamnya ada perintah atau larangan, maka dia harus berhenti tidak boleh menunaikan nazarnya dan mengganti dengan tebusan (kaffarah) sumpah. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan Bukhori rahimahullah dari Ziyad bin Jubair berkata:
كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ نَذَرْتُ أَنْ أَصُومَ كُلَّ يَوْمِ ثَلاثَاءَ أَوْ أَرْبِعَاءَ مَا عِشْتُ فَوَافَقْتُ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ النَّحْرِ فَقَالَ أَمَرَ اللَّهُ بِوَفَاءِ النَّذْرِ وَنُهِينَا أَنْ نَصُومَ يَوْمَ النَّحْرِ فَأَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ مِثْلَهُ لا يَزِيدُ عَلَيْه
“Saya bersama dengan Ibnu Umar dan ada seseorang bertanya kepadanya seraya mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu selama saya masih hidup. Ternyata hari itu bertepatan dengan hari nahr (hari raya idul adha) maka beliau menjawab, “Allah telah memerintahkan untuk memenuhi nazar dan melarang kita berpuasa pada hari nahr (Hari raya idul adha). Dia mengulanginya dan beliau mengatakan yang sama tanpa ada tambahan. [Shahih Bukhori, 6212].
Diriwayatkan Imam Ahmad dari Ziyad bin Jubair berkata, seseorang bertanya kepada Ibnu Umar ketika beliau berjalan di Mina. Seraya berkata, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu. Bertepatan hari ini dengan hari nahr (hari raya idul adha) apa pendapat anda?. maka beliau menjawab, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi nazar dan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang atau mengatakan kita dilarang berpuasa pada hari nahr. Berkata, seseorang itu menyangka beliau tidak mendengar. Maka dia mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu. Bertepatan harinya dengan hari nahr. Maka beliau menjawab, “Allah memerintahkan untuk memenuhi nazar sementara Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang kita atau kita dilarang berpuasa pada hari nahr. Berkata, beliau tidak menambah dari hal itu sampai bersandar ke gunung. Hafid Ibnu Hajar berkata, “Telah ada ijma’ bahwa tidak diperbolehkan berpuasa baik sunah maupun nazar pada hari raya idul firti juga hari raya idul adha.
Nazar yang tidak ada hukumnya kecuali dengan kaffarah (tebusan) sumpah. Nazar ini tidak ada hukum yang terkait dengannya kecuali komitmen orang yang bernazar kaffarah (tebusan) sumpah atas nazarnya. Diantaranya adalah
1. Nazar mutlak (secara umum) yaitu nazar yang tidak disebutkan. Kalau orang Islam bernazar tanpa menyebutkan apa yang dinazarkan dibiarkan secara umum tanpa menyebutkan atau menentukan seperti mengatakan ‘Saya bernazar kalau Allah menyembuhkan penyakitku tanpa menyebutkan sesuatu. Maka dia harus kaffarah (tebusan) sumpah. Telah diriwayatkan Uqbah bin Amir dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
كفارة النذر كفارة اليمين
“Tebusan nazar adalah tebusan sumpah. HR. Muslim
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Malik dan Mayoritas ulama memahami untuk nazar umum seperti ucapannya saya bernazar. Syarkh Muslim karangan Nawawi, (11/104).
Nazar pilihan antara menunaikannya atau kafarah (tebusan) sumpah. Ada nazar pilihan untuk orang yang bernazar antara menunaikan nazar atau menebus nazarnya dengan tebusan sumpah. Bentuk nazar ini mencakup:
1. Nazar kemarahan yaitu semua nazar yang keluar dari sumpah dalam rangka menganjurkan untuk melakukan sesuatu atau melarang. Membenarkan atau mendustakan tanpa sengaja pelakunya melakukan nazar atau melakukan ketaatan. Hal itu seperti seseorang mengatakan dalam kondisi marah (Kalau kamu melakukan ini, maka saya akan berhaji atau puasa sebulan atau bersedekah 1000 dinar) atau mengatakan (Kalau kamu berbicara dengan si fulan, maka saya akan memerdekakan budak ini atau menceraikan istriku) atau semisal itu. Kemudian dia melakukannya. Sementara dia sendiri melakukan hal itu tiada lain hanya menguatkan agar tidak melakukannya. Hakekat tujuannya agar tidak melakukan syarat dan juga tidak terkena balasan. Maka kondisi seperti ini diberi pilihan.
2. Dalam kondisi pilihan. Atau anjuran melakukan sesuatu atau tidak melakukan. Antara menunaikan nazarnya atau menebus dengan tebusan sumpah. Esensinya itu termasuk sumpah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kalau nazar digantungkan pada sisi sumpah. Seraya dia mengatakan, “Kalau anda bepergian bersama mereka, maka saya berhaji. Atau hartaku dishodaqohkan atau saya memerdekakan (budak). Hal ini menurut para shahabat dan mayoritas para ulama adalah sumpah nazar. Bukan pelaku nazar. Kalau tidak menunaikan apa yang dia komitmenkan, maka diterima dengan tebusan sumpah. Beliau mengatakan pada tempat yang lain, “Kewajiban nazar marah yang terkenal menurut kami adalah pilihan salah satu dari dua hal, bisa takfir (tebusan) atau melakukan apa yang digantungkan. Kalau dia tidak berkomitmen dengan apa yang digantungkan, maka harus melakukan kaffarah (tebusan).
3. Nazar mubah yaitu semua nazar yang mencakup salah satu urusan mubah. Seperti bernazar memakai baju secara khusus. memakan makanan khusus, menaiki kendaran khusus atau memasuki rumah tertentu dan semisal itu. Dari Tsabit bin Dhohak berkata:
نذر رجل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ينحر إبلا ببوانة ـ وفي رواية : لأنه وُلِد له ولد ذكر ـ فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إني نذرت أن أنحر إبلا ببوانة . فقال النبي صلى الله عليه وسلم :” هل كان فيها وثن من أوثان الجاهلية يعبد ؟ ” قالوا : لا . :” هل كان فيها عيد من أعيادهم ؟ ” ، قالوا: لا . قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” أوف بنذرك فإنه لاوفاء لنذر في معصية الله ولا فيما فيما لا يملك ابن آدم
“Seseorang bernazar pada zaman Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam akan menyembelih unta di Buwanah – dalam redaksi lain- karena dia mendapatkan anak lelaki, maka beliau mendatangi Nabi sallallahu alaihi wa sallam seraya berkata, “Sesungguhnya saya bernazar menyembelih untah di Buwanah. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Apa disana ada patung jahiliyah yang disembah ? mereka menjawab, “Tidak. Apakah disana ada perayaan mereka? Mereka menjawab, “Tidak. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikan nazar anda, karena tidak boleh melaksanakan nazar dalam rangka kemaksiatan kepada Allah dan yang tidak dimiliki bani Adam. [HR. Abu Dawud, 2881].
Orang ini bernazar menyembelih unta di Buwanah (tempat di belakang Yanbuk) karena bersyukur kepada Allah Ta’ala. Karena dikaruniai anak lelaki. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam memperbolehkan menunaikan nazarnya. Dan menyembelih unta di tempat tersebut.
Kita memohon kepada Allah taufiq sebagaimana yang dicintai dan diridhoi-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad.
Disalin dari islamqa
Referensi : https://almanhaj.or.id/4898-ringkasan-hukum-dan-macam-nazar.html
2. Hukum Nadzar : Makruh Atau Haram?
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Setelah seseorang menentukan nadzar dan arahnya ; apakah boleh seseorang merubahnya bila mendapatkan arah yang lebih berhak ?
Jawaban
Akan saya kemukakan mukadimah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yaitu bahwa tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, sebab pada dasarnya hukum nadzar itu makruh ataupun diharamkan sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya di dalam sabdanya.
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan nadzar. Beliau bersabda : Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil”[1]
Maka, kebaikan yang anda perkirakan terjadi dari nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai penyebabnya.
Banyak orang yang bila sudah sakit, akan bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila disembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila sesuatu hilang, dia bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila menemukannya kembali. Kemudian, bila dia ternyata disembuhkan atau menemukan kembali barang yang hilang tersebut, bukanlah artinya bahwa nadzar itu yang menyebabkannya akan tetapi hal itu semata berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah adalah Mahamulia dari sekedar kebutuhan akan suatu persyaratan ketika Dia dimintai.
Oleh karena itu, anda wajib bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disembuhkan dari sakit ini atau agar barang yang hilang ditemukan kembali. Sedangkan nadzar itu sendiri, ia tidaklah memiliki aspek apapun dalam hal ini. Banyak sekali orang-orang yang bernadzar tersebut, bila sudah mendapatkan apa yang dinadzarkan, kemudian bermalas-malasan untuk menepatinya bahkan barangkali tidak jadi melakukannya. Ini tentunya bahaya yang amat besar. Sebaiknya, dengarkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.
وَمِنْهُمْ مَّنْ عٰهَدَ اللّٰهَ لَىِٕنْ اٰتٰىنَا مِنْ فَضْلِهٖ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُوْنَنَّ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ – فَلَمَّآ اٰتٰىهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖ بَخِلُوْا بِهٖ وَتَوَلَّوْا وَّهُمْ مُّعْرِضُوْنَ – فَاَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِيْ قُلُوْبِهِمْ اِلٰى يَوْمِ يَلْقَوْنَهٗ بِمَآ اَخْلَفُوا اللّٰهَ مَا وَعَدُوْهُ وَبِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ
“Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karuniaNya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih’. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” [At-Taubah/9 : 75-77]
Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya seorang mukmin melakukan nadzar.
Sedangkan jawaban atas pertanyaan diatas, maka kami katakan bahwa bila seseorang bernadzar sesuatu pada arah tertentu dan melihat bahwa yang selainnya lebih baik dan lebih diperkenankan Allah serta lebih berguna bagi para hambaNya, maka tidak apa-apa dia merubah arah nadzar tersebut ke arah yang lebih baik.
Dalilnya adalah hadits tentang seorang laki-laki yang datang ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar akan melakukan shalat di Baitul Maqdis bila kelak Allah menganugrahkan kemenangan kepadamu di dalam menaklukan Mekkah”. Maka beliau menjawab : “Shalatlah di sini saja”, kemudian orang tadi mengulangi lagi perkataannya, lalu dijawab oleh beliau, “Kalau begitu, itu menjadi urusanmu sendiri” [2]
Hadits ini menunjukkan bahwa bila seseorang berpindah dari nadzarnya yang kurang utama kepada yang lebih utama, maka hal itu boleh hukumnya.
[Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, hal. 68]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640).
[2]. Hadits Riwayat Abu Daud di dalam kitab Al-Iman (3305)
Referensi : https://almanhaj.or.id/1949-hukum-nadzar-makruh-atau-haram.html
3. Nadzar Hukumnya Makruh Sementara Menepatinya Suatu Keharusan
Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahnman Al-Jibrin ditanya : Apa sebenarnya hukum syariat mengenai nadzar ? Apakah bila tidak menepatinya akan mendapatkan sanksi ?
Jawaban.
Secara syariat, hukum nadzar itu adalah makruh. Dalam hal ini terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan nadzar. beliau bersabda.Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil“. [1]
Hal itu karena sebagian orang bila sudah sakit, rugi atau disakiti barulah dia bernadzar sedekah, menyembelih atau menyumbang uang bila disembuhkan dari penyakit tersebut atau tidak merugi lagi. Dia berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyembuhkan atau membuatnya beruntung kecuali bila dia melakukan nadzar tersebut. Maka, dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah tidak akan merubah sesuatupun dari apa yang telah Dia takdirkan akan tetapi hal itu adalah perbuatan orang bakhil, yang tidak mau berinfaq kecuali setelah memasang nadzar.
Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau I’tikaf, maka harus ditepati. Tetapi bila ia nadzar maksiat seperti membunuh, berzina, minum khamr atau merampas harta orang lain secara zhalim dan semisalnya maka tidak boleh menepatinya tetapi dia harus membayar kafarat sumpah, yaitu memberi makan sebanyak sepuluh orang miskin dan seterusnya.
Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah (dibolehkan) seperti makan, minum, pakaian, bepergian, ucapan biasa dan semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia harus mengalokasikannya kepada kaum miskin dan kaum lemah seperti makanan, meyembelih kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa amal shalih yang bersifat fisik atau materil seperti jihad, haji dan umrah, maka dia harus menepatinya. Bila dia mengkhususkannya untuk suatu pihak maka dia harus menyerahkannya kepada pihak yang telah dikhususkan tersebut seperti masjid, buku-buku atau proyek-proyek kebajikan dan tidak boleh mengalokasikannya kepada selain yang telah ditentukannya tersebut.
[Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Jibrin, hal. 67]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
______
Footnote
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640).
Referensi : https://almanhaj.or.id/1750-nadzar-hukumnya-makruh-sementara-menepatinya-suatu-keharusan.html
4. Tidak Mampu Melaksanakan Nadzar
Pertanyaan :
Ustad saya bertanya. Bagaimana hukumnya jika bernadzar tapi tidak mampu memenuhinya ? Dalam hal ini saya bernadzar, jika istri saya diterima sebagai PNS, saya mau menghafal juz ‘amma (juz ke-30 dari al-Qur’an), tapi sudah tiga ini saya coba untuk menghafal rasanya berat sekali. Saya mudah sekali lupa. Saya takut sampai mati belum bisa menghafal. Mohon jawabannya
Jawaban :
Orang yang bernadzar lalu ia tidak mampu menepatinya atau tidak mampu melaksanakan apa yang menjadi nadzarnya karena sesuatu hal, maka dia harus membayar kafarat berdasarkan atsar dari ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu. Ia harus membayar kafarat yamin (sumpah) yaitu membebaskan budak atau memberikan pakaian untuk orang miskin atau memberikan makanan kepada mereka. Bagi yang tidak mampu maka dia harus berpuasa tiga hari sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Mâidah/5:89.
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu mengatakan :
مَنْ نَذَرَ نَذْرًا لاَيُطِيْقُهُ فُكَفَّارَتُهُ كَفَارَةُ الْيَمِيْنِ
Siapa saja yang bernadzar dengan nadzar yang ia tidak mampu (untuk menepatinya) maka kafaratnya adalah kafarat sumpah [HR Abu Dawud, no 3344, Bab Man Nadzara Nadzran laa Yuthiquhu]
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila seseorang tidak mampu menepati nadzar, maka wajib atasnya (menunaikan) kafarat sumpah menurut pendapat mayoritas Ulama dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad. [Majmû Fatâwâ, 33/49]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Referensi : https://almanhaj.or.id/3926-tidak-mampu-melaksanakan-nadzar.html