• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Lima catatan tentang khusu’ dalam shalat

Bagikan

5 Catatan Tentang Khusu' dalam Shalat

Oleh Ustad Ammi Nur Baits, ST., BA.

Bismillah was shalaru was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Untuk mengenal lebih dalam mengenai khusyu’ dalam shalat, berikut kami sajikan 5 catatan tentang khusyu’ dalam shalat:

Pertama: Hukum Khusyu’

Dalam al-Quran, Allah Ta’ala banyak memuji orang yang khusyu’ ketika shalat. Diantaranya,

1. Firman Allah Ta’ala,

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلٰو تِهِمْ خَاشِعُوْنَ

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mereka khusyu’ dalam shalatnya. (QS al-Mukminun: 1-2)

2. Firman Allah ﷻ ketika memuji Zakariya ‘alaihis salam,

فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖوَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًاۗ وَكَانُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ

Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami. (QS Al Anbiya ayat 90)

Adanya banyak pujian bagi orang yang khusyu’ ketika shalat menunjukkan celaan bagi mereka yang tidak khusyu’ ketika shalat. Sehingga orang yang shalat dituntut untuk fokus pikirannya dengan shalatnya, agar bisa khusyu’ dalam shalat.

Selanjutnya, ulama berbeda pendapat mengenai hukum khusyu’ dalam shalat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa khusyu’ hukumnya anjuran dan tidak wajib. Status khusyu’ dalam shalat adalah penyempurna shalat.

Alasannya: orang yang shalat sambil memikirkan dunia, status shalatnya sah, selama dia masih sadar terhadap shalatnya. Sadar dalam arti dia tahu urutan-urutan gerakan dan apa yang dibaca di masing-masing gerakan, meskipun pikiran sedang melayang ke mana-mana.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum ibusyu dalam shalat… Jumhur ulama berpendapat bahwa khusyu termasuk salah satu sunah shalat. Dengan dalil, orang yang berfikir masalah dunia ketika shalat, status shalatnya sah. Karena mereka tidak menganggap batalnya shalat seseorang selama dia masih sadar dengan gerakan shalatnya.

Lanjuran keterangan,
Sementara itu, beberapa ulama dari berbagai madzhab – Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali bahwa khusyu’ hukumnya wajib. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai status kewajibannya,

a. Ada yang mengatakan, khusyu’ termasuk kewajiban dalam shalat, namun shalat tidak batal ketika tidak khusyu’, karena dimaafkan.
b. Ada yang mengatakan, khusyu’ termasuk kewajiban dalam shalat dan shalat batal jika-tidak khusyu;
c. Ada yang mengatakan, khusyu’ itu syarat sah shalat, namun syarat untuk sebagian dan bukan keseluruhan. Sehingga menurut pendapat ini, harus ada khusyu’ di sebagian kegiatan shalat, meskipun tidak khusyu’ di tempat yang lain. Sebagian ulama yang mengambil pendapat ini, mereka menentukan bagian shalat mana yang harus khusyu’. mereka mengatakan,selayaknya khusyu’ dilakukan ketika takbiratul ihram. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/118).

Dan pendapat yang benar, bahwa orang yang tidak khusyu’, shalatnya tetap sah, hanya saja tidak ada pahalanya. Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa dalam shalat, terkadang orang memikirkan sesuatu di luar shalat, dan status shalatnya sah. Diantaranya,

a. Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau bercerita:

اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا ، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاتِهِ قُعُودًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit dan kami shalat di belakang beliau. Beliau shalat dengan duduk, sementara Abu Bakar mengeraskan takbir beliau agar didengar semua jamaah. Tiba-tiba beliau menoleh ke kami, dan beliau lihat kami shalat dengan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat kepada kami (untuk duduk) dan kami pun duduk. Akhirnya kami menjadi makmum beliau sambil duduk. (HR. Muslim 431)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ketika shalat menunjukkan bahwa ada bagian dari shalat beliau yang tidak khusyu’.

b. Hadist dari Sahl bin Handzalah radhiallahu ‘anhu, beliau bercerita ketika peristiwa sebelum perang Hunain: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk berjaga malam di sebuah lembah memperhatikan keadaan sasaran. Menjelang subuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bertanya adakah perkembangan informasi dari penjaga malam. Sampai akhirnya dikumandangkan iqamah shalat subuh. Sahl bin Handzalah menegaskan:

فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي، وَهُوَ يَلْتَفِتُ إِلَى الشِّعْبِ حَتَّى إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ وَسَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, sementara beliau sambil menoleh ke arah lembah itu, sampai beliau selesai shalatnya dan salam.” (HR. Abu Daud, 916 dan dishahihkan Al-Albani)

Ini juga menunjukkan bahwa terkadang beliau tidak khusyu’ dalam sebagian shalatnya.

c. Hadist dari Uqbah bin Amir bahwa beliau pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seusai salam, Rasulullah langsung bergegas pulang, sampai melangkahi pundak sebagian makmum. Setelah itu, beliau balik lagi ke masjid dan mengatakan, Tadi saya teringat ada seonggok emas di rumah, saya tidak ingin emas itu jadi pikiranku, maka akupun pulang dan aku perintahkan untuk segera dibagikan. (HR. Bukhari 813).

Beliau kepikiran emas itu sejak beliau masih shalat. Sehingga shalat tidak batal disebabkan amal hati.

Dan masih banyak dalil lainnya, seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dan beliau berniat untuk memanjangkannya, namun beliau mendengar ada bayi yang nangis, kemudian beliau mempercepat shalatnya. Demikian pula, beliau pernah shalat di rumah, kemudian Aisyah datang, dan beliau bukakan pintunya. Termasuk beliau shalat sambil menggendong cucunya Umamah bintu Abil Ash bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhuma.

Hanya saja, unsur khusyu’ harus ada dalam shalat yang dikerjakan seseorang. Sehingga jika ada orang yang shalat dan tidak khusyu’ sama sekali, maka shalatnya batal. Dalam hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

Tidak ada shalat ketika makanan sudah dihidangkan atau sambil menahan dua hadats.” (HR. Ahmad 24166, dan Muslim 1274)

Menahan dua hadats maknanya adalah menahan hadats yang keluar dari jalur depan dan belakang. Dalam kondisi sangat lapar, ingin makan yang sudah disajikan, atau kondisi kebelet, ingin buang air atau angin, jika tetap dipaksa shalat maka tidak akan khusyu’ sama sekali. Ini yang membuat shalatnya dikerjakan tanpa ada unsur khusyu’ dan itu batal.

Demikian, Allahu a’lam

Catatan: Hukum menahan kentut ketika shalat

Acuan kita adalah hadis A’isyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘laihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

“Tidak ada shalat ketika makanan sudah dihidangkan atau sambil menahan dua hadats.” (HR. Ahmad 24166, dan Muslim 1274)

Terkait menahan kentut, ash-Shan’ani membedakan antara kentut yang kuat (kebelet) dan kentut yang ringan. Ketika menjelaskan hadis Aisyah di atas, beliau mengatakan:

“Termasuk dalam larangan di atas, menahan kentut. Ini jika disertai kebelet. Adapun jika dirinya mampu menahan dan tidak ada rasa kebelet, maka tidak terlarang untuk shalat sambil menahannnya.” ( 📖 Subulus Salam, 1/152).

Kedua: antara khusyu’ mukmin dan khusyu’ munafik

Diantara fenomena yang terjadi di tengah para penganut sufi adalah khusyu’ nifaq, itulah khusyu’ gaya munafiq.

Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah mengingatkan fenomena semacam ini. Beliau mengatakan,

Waspadailah khusyu’ nifaq! Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, ‘Apa itu khusyu’ nifaq?’ Engkau melihat jasadnya khusyu’ sementara hatinya tidak khusyu’. (Madarijus Salikin, 1/521)

Khusyu’ nifaq adalah khusyu’ yang dibuat-buat, sementara batinnya tidak menunjukkan rasa khusyu’. Sementara khusyu’ iman adalah khusyu’ yang timbul karena pengagungan hamba kepada Allah, sehingga hatinya dipenuhi rasa takut dan malu di hadapan Allah.

Ibnul Qoyyim menjelaskan perbedaan antara khusyu’ karena iman dan khusyu’ munafiq,

“Perbedaan antara khusyu’ iman dan khusyu’ nifaq, bahwa khusyu’ iman adalah khusyu’ batin karena mengagungkan Allah, memuliakan-Nya, malu kepada-Nya. Sehingga perasaannya dipenuhi dengan rasa takut, cinta, dan rasa malu kepada Allah. Diiringi kesadaran betapa banyak nikmat-Nya dan betapa sering kedurhakaan dirinya. Maka hatinya khusyu’ dan diikuti dengan khusyu’ anggota badan. Sedangkan khusyu’ nifaq adalah khusyu’ yang dibuat-buat, dipaksakan, sementara hatinya tidak khusyu.” (ar-Ruh, hlm. 232)

Khusyu’ seperti inilah yang dibenci para sahabat dan dibenci ulama di masa silam. Bahkan mereka membenci ketika seseorang menampakkan kekhusyu’an melebihi kondisi asli batinnya.

Fudhail bin Iyadh – ulama tabi’ Tabiin — mengatakan, Dibenci seseorang menampakkan kekhusyu’an melebihi apa yang ada di hatinya. (Madarijus Salikin, 1/521).

Al-Qurthubi menyebutkan contoh bentuk khusyu’ nifaq,

Adapun khusyu’ yang tercela adalah khusyu’ yang dibuat-buat, berpura-pura menangis, kepalanya ditunduk-tundukkan, seperti yang dilakukan orang-orang bodoh, agar kelihatan baik dan mulia. Dan itu tipuan setan dan godaan jiwa. (Tafsir al-Qurthubi, 1/375).

Terkadang kita melihat ada orang yang tangannya digetar-getarkan, dipaksakan menangis, padahal di luar masjid, kegiatannya sering maksiat.

Ketiga: pahala shalat yang didapatkan oleh hamba setingkat dengan kualitas khusyu’nya

Dalam hadis dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الرَّجلَ لينصَرِفُ وما كُتِبَ لَهُ إلَّا عُشرُ صلاتِهِ تُسعُها ثُمنُها سُبعُها سُدسُها خُمسُها رُبعُها ثُلثُها نِصفُها

Seorang hamba yang shalat, dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya. (HR. Ahmad 18894 dan dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan pahala yang berbeda-beda bagi orang yang mengerjakan shalat, tergantung dari kualitas shalatnya. Dan tingkatan kualitas shalatnya ditentukan oleh lahir dan batin shalatnya. Diantaranya adalah faktor kekhusyu’an dalam shalat.

Untuk itu, ulama sepakat bahwa pahala yang didapatkan seseorang dari shalatnya sesuai tingkat kekhusyu’annya.

Abdul Wahid bin Yazid  rahimahullah  pernah mengatakan, Ulama sepakat bahwa seorang hamba tidak mendapatkan pahala dari shalatnya selain apa yang dia renungkan dari shalatnya. (Ihya’ Ulumiddin, 1/161).

Riwayat yang menegaskan hal ini adalah keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Pahala dari shalatmu hanya senilai apa yang kamu pikirkan dari shalatmu.” (Imam al-Albani menilai: shahih dari sebagian salaf – Silsilah al-Ahadits Dhaifah, 14/1026).

Karena itulah, orang yang tidak khusyu’ dalam shalatnya, maka tidak ada pahalanya. Karena khusyu’ adalah ruh dan inti shalat. Ibnul Qayim mengatakan, Khusyu’, fokus memirkan shalat adalah ruh shalat, tujuan shalat, dan inti dari shalat. Maka bagaimana mungkin shalat seseorang akan diperhitungkan, sementara ruh dan intinya tidak ada. (Madarijus Salikin 1/526).

Bahkan sebagian ulama menyebutkan, shalat yang tidak khusyu’ lebih dekat kepada hukuman dari pada pahala.

Al-Hasan al-Bashri mengarakan, Semua shalat yang tidak menghadirkan hati, lebih dekat kepada hukuman dari pada mendapat pahala. (Qutul Qulub, Abu Thalib al-Makki, 2/170).

Keempat: makna ‘melihat Allah ketika beribadah’

Dalam hadis Jibril dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang islam, iman, dan ihsan.

Jawaban beliau ketika ditanya tentang ihsan, beliau mengatakan,

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Bukhari 50 & Muslim 102).

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kesempurnaan ibadah, yaitu dengan ihsan. Yang mana, ihsan ada 2 tingkatan,

1. Seolah-olah melihat Allah, dan ini tingkatan yang paling tinggi.
2. Meyakini bahwa Allah melihatnya, memperhatikan semua amalnya.

Jika dua hal ini tidak ada pada diri hamba ketika beribadah, maka dia akan meremehkan dan tidak serius ketika beribadah.

Kita bisa memahami ihsan tingkatan yang kedua. Lalu bagaimana dengan makna ihsan tingkatan pertama? “Kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya…”

Kita meyakini bahwa hamba tidak bisa melihat Allah. Karena hamba hanya bisa melihat Sang Penciptanya setelah dia mati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa melilhat Rab kalian sampai kalian mati.” (HR. Nasa’i dalam al-Kubro, 7764).

Lalu apa makna ibadah seolah-olah melihat Allah?

Anda garis bawahi kata seolah-olah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membuat gambaran, ‘seolah-olah’ dan bukan realita kejadiannya. Kalimat seolah-olah dipahami para ulama sebagai istihdhar al-qalb (menghadirkan perasaan) ketika dia beribadah seolah-olah Allah berada di hadapannya. Sehingga dia akan lakukan ibadah dengan sangat serius, sangat fokus, sangat khusyu’, diiringi dengan rasa takut dan harapan besar agar ibadah kita diterima.

Imam Ibnu Baz  rahimahullah  menjelaskan makna potongan hadis di atas,

Maksudnya, kamu beribadah seolah-olah kamu melihat-Nya, sehingga kamu akan bersungguh-sungguh dalam beramal, berusaha bisa ikhlas dalam beramal, berusaha untuk melakukannya sebaik – mungkin, sesempurna mungkin. Karena ketika seorang mukmin beramal seolah dia melihat Allah, dan bahwa Allah di depannya, maka dia akan bersungguh-sungguh dalam beramal, dan semangat untuk melakukannya dengan sempurna,

[sumber: binbaz.org.sa/fatwas/ 11208/]

Ini semakna dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat lain ketika menjelaskan tentang ihsan, “Engkau takut kepada Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya.” (HR. Muslim 108)

Apa yang bisa anda bayangkan ketika anda shalat di hadapan Allah, dan Dia mengetahui lahir batin anda? Anda tidak akan berani berkutik, anda tidak akan menoleh, hati anda juga akan fokus, dan tidak melayang ke mana-mana. Itulah pengaruh ihsan dalam beramal, yang membuat amal kita akan semakin bernilai.

Kelima: Khusyu’ itu Ketenangan Batin

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa tenang ketika khusyu’ dalam shalat. Allah telah menjadikan shalat sebagai penenang jiwa untuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَجُعِلَتْ قُرَّةَ عَيْنٍ فِيْ الصَّلَاةِ

Ketenangan hatiku diletakkan ketika shalat. (HR. Ahmad 14037, Nasai 3957 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Shalat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesempatan untuk beristirahat. Melepaskan kepenatan batin, setelah berinteraksi dengan banyak masalah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Bilal,

يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة

“Wahai Bilal, buat kami istirahat dengan shalat.” (HR. Ahmad 23088 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Karena itu, ketika beliau sedang memiliki masalah, beliau mengadu kepada Allah dengan cara shalat.

Sahabat Hudzifah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki masalah yang serius, beliau kerjakan shalat.” (HR. Abu Daud 1321 dan dishahihkan al-Albani).

Suasana semacam ini hanya ada pada mereka yang memiliki kedekatan dengan Rabnya. Sehingga shalat baginya adalah sebuah kenikmatan, dan bukan beban.

Bagian dari kebutuhan manusia, mereka selalu menghendaki ketenangan. Sehingga ketika orang tidak memiliki sarana untuk mendapatkan ketenangan yang sesuai syariah, mereka akan mencarinya dengan cara-cara yang tidak pernah ada ajarannya, seperti bertapa, gerakan yoga, semedi, dst.

Islam memberikan kita sarana yang sangat indah untuk mendapatkan ketenangan itu, yaitu dengan berusaha khusyu’ dalam shalat.

Demikian. Allahu a’lam.

Sumber : https://www.alquran-sunnah.com/artikel/buku-islam/tafsir-shalat/1052-5-catatan-tentang-khusu-dalam-shalat.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M