Membangun Masyarakat Baru
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Membangun Masjid Nabawi
- Mempersaudarakan di antara Sesama Orang-orang Muslim
- Butir-butir Perjanjian Islam
- Pengaruh Spiritual dalam Masyarakat
- Perjanjian dengan pihak Yahudi
Seperti yang sudah kami katakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam singgah di Bani An-Najjar pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H, bertepatan dengan tanggal 27 September 622 M. Tatkala onta yang beliau naiki berhenti dan mendenun di hamparan tanah di depan rumah Abu Ayyub, maka beliau bersabda, “Di sinilah tempat singgah, insya’Allah.” Maka beliau pun menetap di rumahnya.
Langkah pertama yang dilakukan Rasullah shallallahu ‘alahi wa sallam adalah membangun masjid. Tepat di tempat menderumnya onta itulah beliau membeli tanah tersebut dari dua anak yatim yang menjadi pemiliknya. Beliau terjun langsung dalam pembangunan masjid itu, memindahkan bata dan bebatuan, seraya bersabda, “Ya Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik kecuali kehidupan akhirat. Maka ampunilah orang-orang Anshar dan Muhajirin.”
Beliau juga bersabda, “Para pekerja ini bukanlah para pekerja Khaibar. Ini adalah pemilik yang paling baik dan paling suci.”
Sabda beliau ini semakin memompa semangat para sahabat dalam bekeija, hingga salah seorang di antara mereka berkata., “Jika kita duduk saja sedangkan Rasulullah bekerja, itu adalah tindakan orang yang sesat.”
Sementara di tempat tersebut ada kuburan orang-orang musyrik, puing puing reruntuhan bangunan, pohon korma dan sebuah pohon lain. Maka beliau memerintahkan untuk menggali kuburan-kuburan itu, meratakan puing-puing bangunan, memotong pohon dan menetapkan arah kiblatnya yang saat itu masih menghadap ke Baitul Maqdis. Dua pinggiran pintunya dibuat terlebih dahulu dari batu, dindingnya dari batu bata yang disusun dengan lumpur tanah, atapnya dari daun korma, tiangnya dari batang pohon, lantainya dibuat menghampar dari pasir dan kerikil-kerikil kecil, pintunya ada tiga. Panjang bangunannya ke arah kiblat hingga ke ujungnya ada seratus hasta dan lebarnya juga hampir sama. Adapun fondasinya kurang lebih tiga hasta.
Beliau juga membangun beberapa rumah di sisi masjid, dindingnya dari susunan batu dan bata, atapnya dari daun korma yang disanggah beberapa batang pohon. Itu adalah bilik-bilik untuk istri-istri beliau. Setelah semuanya beres, maka beliau pindah dari rumah Abu Ayyub ke rumah itu.
Masjid itu bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga merupakan sekolahan bagi orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran Islam dan bimbingan-bimbingannya, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.
Di samping semua itu, masjid tersebut juga berfungsi sebagai tempat tinggal orang-orang Muhajirin yang miskin, yang datang ke Madinah tanpa memiliki harta, tidak mempunyai kerabat dan masih bujangan atau belum berkeluarga.
Pada masa-masa awal hijrah itu juga disyariatkan adzan, sebuah seruan yang menggema di angkasa, lima kali setiap harinya, yang suaranya memenuhi seluruh pelosok. Kisah mimpi Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbah tentang adzan ini sudah cukup terkenal, sebagai mana yang diriwayatkan At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Khuzimah.
2. Mempersaudarakan di antara Sesama Orang-orang Muslim
Di samping membangun masjid sebagai tempat untuk mempersatukan manusia, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga mengambil tindakan yang sangat monumental dalam sejarah, yaitu usaha mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar. Ibnul Qayyim menuturkan, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Mereka yang dipersaudarakan ada sembilan puluh orang, separoh dari Muhajirin dan separohnya lagi dari Anshar. Beliau mempersaudarakan mereka agar saling tolong-menolong, saling mewarisi harta jika ada yang meninggal dunia di samping kerabatnya. Waris-mewarisi ini berlaku hingga Perang Badr. Tatkala turun ayat, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesama (dari pada kerabat yang bukan kerabat)”. (Al-Anfal: 75), maka hak waris-mewarisi itu menjadi gugur, tetapi ikatan persaudaraan masih tetap berlaku.
Makna persaudaraan ini sebagaimana yang dikatakan Muhammad Al-Ghazali, agar fanatisme Jahiliyah menjadi cair dan tidak ada sesuatu yang dibela kecuali Islam. Di samping itu, agar perbedaan-perbedaan keturunan, warna kulit, dan daerah tidak mendominasi, agar seseorang tidak merasa lebih unggul dan lebih rendah, kecuali karena ketakwaannya.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menjadikan persaudaraan ini sebagai ikatan yang benar benar harus dilaksanakan, bukan sekadar isapan jempol dan omong kosong semata. Persaudaraan itu harus merupakan tindakan nyata yang mempertautkan darah dan harta, bukan sekedar ucapan selamat di bibir, lalu hilang tak berbekas sama sekali. Dan memang begitulah yang terjadi. Dorongan perasaan untuk mendahulukan kepentingan yang lain, saling mengasihi dan memberikan pertolongan benar-benar bersenyawa dalam persaudaraan ini, mewarnai masyarakat yang baru dibangun dengan beberapa gambaran yang mengundang decak kekaguman.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa tatkala mereka (Muhajirin) tiba di Madinah, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mempersaudarakan Abdurrahman bin `Auf dengan Sa’d bin Ar-Rabi’. Sa’d berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambilah separoh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka kawinilah ia!”
Abdurrahman berkata,”Semoga Allah memberkahl bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?”
Maka orang-orang menunjukkan pasar Bani Qainuqa’. Tak seberapa lama kemudian dia sudah mendapatkan sejumlah samin dan keju. Jika pagi hari dia sudah pergi untuk berdagang. Suatu hari dia datang dan agak pucat.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rasulullah.
“Aku sudah menikah,” jawabnya.
“Berapa banyak mas kawin yang engkau serahkan kepada istrimu?” Dia menjawab, “Beberapa keping emas.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam “Bagilah kebun korma milik kami untuk diberikan kepada sudara-saudara kalian.”
“Kami mendengar dan kami taat,” kata mereka.
“Tidak perlu” jawab beliau, “Cukuplah kalian memberikan bahan makanan pokok saja, dan kami bisa bergabung dengan kalian dalam memanen buahnya.”
Ini menunjukkan seberapa jauh kemurahan hati Anshar terhadap saudara saudara mereka dari Muhajirin. Mereka mau berkorban, lebih mementingkan kepentingan saudaranya, mencintai, dan menyayangi. Sungguh besar kehonnatan yang dirasakan orang-orang Muhajirin. Mereka tidak menerima dari saudaranya Anshar kecuali sekedar makan yang bisa menegakkan tulang PuggungnYa.
Pertautan persaudaraan ini benar-benar merupakan tindakan yang sangat tepat dan bijaksana, karena bisa memecahkan sekian banyak problem yang sedang dihadapi orang-orang Muslim seperti yang sudah kami isyaratkan di atas.
3. Butir-butir Perjanjian Islam
Dengan mempersaudarakan orang-orang Mukmin itu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah mengikat suatu perjanjian yang sanggup menyingkirkan belenggu Jahiliyah dan fanatisme kekabilahan, tanpa menyisahkan kesempatan bagi tradisi-tradisi Jahiliyah. Inilah isi perjanjian tersebut:
“Ini adalah perjanjian dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, berlaku di antara orang-orang Mukmin dan Muslim dari Quraisy dan Yatsrib serta siapa pun yang mengikuti mereka, menyusul di kemudian hari dan yang berjihad bersama mereka:
1. Mereka adalah umat yang satu di luar golongan yang lain.
2. Muhajirin dari Quraisy dengan adat kebiasaan yang berlaku di antara mereka harus saling
kerja sama dalam menerima atau membayar suatu tebusan. Sesama orang Mukmin harus
menebus orang yang ditawan dengan cara yang ma’ruf dan adil. Setiap kabilah dari Anshar
dengan adat kebisaan yang berlaku di kalangan mereka hanis menebus tawanan mereka
sendiri, dan setiap golongan di antara orang-orang Mukmin harus menebus tawanan dengan
cara yang ma’ruf dan adil.
3. Orang-orang Mukmin tidak boleh meninggalkan seseorang yang menanggung beban hidup di
antara sesama mereka dan memberinya dengan cara yang ma’ruf dalam membayar tebusan
atau membebaskan tawanan.
4. Orang-orang Mukmin yang bertakwa harus melawan orang yang berbuat zhalim, berbuat jahat
dan kerusakan di antara mereka sendiri.
5. Secara bersama-sama mereka harus melawan orang seperti itu, sekalipun dia anak seseorang
di antara mereka sendiri.
6. Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin lainnya karena membela orang kafir.
7. Seorang Mukinin tidak boleh membantu orang kafir dengan mengabaikan orang Mukmin
lainnya.
8. Jaminan Allah adalah satu. Orang yang paling lemah di antara mereka pun berhak mendapat
perlindungan.
9. Jika ada orang-orang Yahudi yang mengikuti kita, maka mereka berhak mendapat pertolongan
dan persamaan hak, tidak boleh dizhalimi dan ditelantarkan.
10. Perdamaian yang dikukuhkan orang-orang Mukmin harus satu. Seorang Mukmin tidak boleh
mengadakan perdamaian sendiri dengan selain Mukmin dalam suatu peperangan fisabilillah.
Mereka harus sama dan adil.
11. Sebagian orang Mukmin harus menampung orang Mukmin lainnya, sehingga darah mereka
terlindungi fi sabilillah.
12. Orang musyrik tidak boleh melindungi harta orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang
Mukmin.
13. Siapa pun yang membunuh orang Mukmin yang tidak bersalah, maka dia harus mendapat
hukuman yang setimpal, kecuali jika wali orang yang terbunuh merelakannya.
14. Semua orang Mukmin harus bangkit untuk membela dan tidak boleh diam saja.
15. Orang Mukmin tidak boleh membantu dan menampung orang yang jahat. Siapa yang
melakukannya, maka dia berhak mendapat laknat Allah dan kemurkaan-Nya pada Hari
Kiamat dan tidak ada tebusan yang bisa diterima.
16. Perkara apa pun yang kalian perselisihkan, harus dikembalikan kepada Allah dan
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
4. Pengaruh Spiritual dalam Masyarakat
Dengan hikmah dan kepintarannya seperti ini, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
telah berhasil memancangkan sendi masyarakat yang baru. Tentu saja fenomena ini memberikan pengaruh spiritual yang sangat besar, yang bisa dirasakan setiap anggota masyarakat, karena mereka menjadi pendamping Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Sementara itu, beliau sendiri yang mengajari, membidik, membimbing, mensucikan jiwa manusia, menuntun mereka kepada akhlak yang baik, menanamkan adab kasih sayang, persaudaraan, kemuliaan, ibadah dan ketaatan.
Ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Bagaimanakah Islam yang paling baik itu?”
Beliau menjawab,
“Hendaklah engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada siapa pun yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal. ” (HR. Al¬Bukhari)
Abdullah bin Salam berkata, “Tatkala Rasulullah tiba di Madinah, aku mendatangi beliau. Tatkala kulihat secara jelas wajah beliau, maka aku bisa melihat bahwa wajah itu bukanlah wajah pendusta. Yang pertama kali kudengar saat itu adalah sabda beliau,
“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah pada malam hari tatkala semua orang sedang tidur, nicaya kalian akan masuk surga dengan damai. “(HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi)
Beliau juga bersabda dalam pengarahan-pengarahannya,
“tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya. ” (HR. Muslim)
“Orang Muslim adalah jika orang-orang Muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya. ” (HR. Al-Bukhari)
“Seseorang di antara kalian tidak disebut beriman sehingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri. ” (HR. Al¬Bukhari)
“Orang-orang Mukmin itu bagaikan satu orang. Jika matanya salcit, maka seluruh tubuhnya ikut merasa sakit. Jika kepalanya sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasa sakit. ” (HR. Muslim)
“Orang Mukmin bagi orang Mukmin lainnya laksana satu bangunan, yang satu menguatkan yang lain.” (Muttafaq Alaih)
“Janganlah kalian saling membenci, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan seorang Muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari ” (HR. Al-Bukhari)
“Orang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak boleh menzhalimi dan tidak menelantarkannya. Barangsiapa berada dalam kebutuhan saudaranya, maka Allah berada dalam kebutuhannya. Barangsiapa menyingkirkan darinya satu kesudahan, maka Allah akan menyingkirkan darinya satu kesudahan dari berbagai macam kesudahan hari akhirat.
Barang siapa menutupi aib orang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat.” (Muttafaq Alaih)
“Kasihanilah siapa yang ada di muka bumi, niscaya siapa yang ada di langit akan mengasihimu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi) “Bukanlah orang Mukmin itu adalah kefasikan dan membunuhnya dianggap sebagai salah satu dari cabang-cabang iman.”(HR Al-Bukhari dan Muslim)
“Mencaci orang Mukmin itu adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (HR. Al-Bukhari)
“Menyingkirkan gangguan dari jalan itu sedekah, dan hal ini dianggap sebagai salah satu dari cabang-cabang iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau juga menganjurkan agar mereka mensedekahkan hartanya dan menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Beliau bersabda,
“Sedekah itu memadamkan (menghapus) kesalahan-kesalahan sebagai¬mana air yang memadamkan api.” (HR. Ahm ad, dan Ibnu Majah)
“Siapa pun orang Muslim yang mengenakan pakaian kepada orang-orang Muslim lainnya yang telanjang, maka Allah akan mengenakan pakaian dari pelepah surga kepadanya, dan siapa pun orang Muslim memberi makan orang Muslim lainnya yang lapar, maka Allah memberinya makan dari buah-buah surga, dan siapa pun orcmg Muslim yang memberi minum orang Muslim lainnya yang haus, maka Allah memberinya minum dari minuman yang harum dan tertutup.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
“Takutlah api neraka sekalipun dengan memberikan separoh korma. Jika engkau tidak mendapatkannya, maka cukuplah dengan kata-kata yang baik.” (HR. Al-Bukhari)
Di samping semua itu, belian juga menganjurkan agar mereka menahan diri dan tidak sulta meminta-minta, menyebutkan keutamaan sabar dan perasaan puas. Beliau menggambarkan kebiasaan meminta-minta itu seperti kutu, lalat atau nyamuk yang menempel di wajah orang yang meminta-minta, kecuali jika sangat terpaksa. Di samping itu, beliau juga menyampaikan keutamaan dan pahala berbagai ibadah di sisi Allah, mengaitkan mereka merasa terlibat langsung dengan dakwah dan risalah, sehingga mereka merasa terlibat langsung dengan dakwah dan risalah, sehingga mereka semakin tergugah untuk memahami dan mencermatinya.
Begitulah cara beliau mengangkat moral dan spirit mereka, membekali mereka dengan nilai-nilai tinggi, sehingga mereka tampil sebagai sosok yang ideal dan sempurna setelah para nabi, tercatat dalam sejarah manusia.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barang siapa mengikuti, maka hendaklah dia mengikuti orang yang telah meninggal dunia. Sebab orang yang masih hidup tidak aman dari cobaan. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam Mereka adalah umat ini yang paling utama, hatinya paling berbakti, ilmunya paling mendalam, bebannya paling sedikit, yang dipilih Allah sebagai pendamping Nabi-Nya dan untuk menegakkan agamanya. Maka kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, pegangilah akhlak dan perikehidupan mereka menurut kesanggupan kalian, sesungguhnya mereka berada pada petunjuk yang lurus.”
Rasullullah shallallahu ‘alahi wa sallam sendiri memiliki sifat-sifat lahir dan batin, kesempumaan, keutamaan, akhlak dan perbua.-perbuatan yang bagus, sehingga semua orang tertarik kepada beliau. Setiap kalimat yang beliau ucapkan pasti akan diikuti para sahabat. Setiap kali ada bimbingan atau pengarahan yang beliau sampaikan, maka mereka akan berebut melaksanakannya.
Dengan cara ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mampu membangun sebuah masyarakat yang baru di Madianah, suatu masyarakat yang mulia lagi mengagumkan yang dikenal sejarah. Beliau juga mampu mencari pemecahan dari berbagai problem yang muncul di tengah masyarakat ini, yang bisa dinikmati manusia, setelah mereka keletihan dalam kungkungan kegelapan.
Dengan gambaran spiritual yang mengagumkan seperti ini, segala aspek kehidupan sosial bisa tumbuh menjadi sempurna, siap menghadapi segala arus zaman sepanjang sejarah.
5. Perjanjian dengan pihak Yahudi
Setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan berhasil memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan akidah, politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, maka beliau merasa perlu mengatur hubungan dengan selain golongan Muslim. Perhatian beliau saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan, kebahagiaan, dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatan. Untuk itu beliau menerapkan undang-undang yang luwes dan penuh tenggang rasa, yang tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan dunia yang selalu dibayangi fanatisme.
Tetangga yang paling dekat dengan orang-orang Muslim di Madinah adalah orang-orang Yahudi. Sekalipun memendam kebenciaan dan permusuhan terhadap orang-orang Muslim, namun mereka tidak berani menampakkannya. Beliau menawarkan perjanjian kepada mereka, yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama dan memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang dan memusuhi.
Perjanjian ini sendiri dikukuhkan setelah pengukuhan perjanjian di kalangan orang-orang Muslim. Inilah butir-butir perjanjian tersebut:
1. Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang Mukmin. Bagi orang-
orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Muslim agama mereka, termasuk pengikut-
pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi orang-orang Yahudi selain
Bani Auf.
2. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri, begitu pula orang-
orang Muslim.
3. Mereka harus bahu-membahu dalam menghadapi musuh yang hendak membatalkan piagam
perjanjian ini.
4. Mereka harus saling menasihati, berbuat bijak dan tidak boleh berbuat jahat.
5. Tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang sudah terikat dengan perjanjian ini.
6. Wajib membantu orang yang dizhalimi.
7. Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang Mukmin selagi mereka terjun
dalam kancah peperangan.
8. Yatsrib adalah kota yang dianggap suci oleh setiap orang yang menyetujui perjanjian ini.
9. Jika terjadi sesuatu atau pun perselisihan di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini,
yang dikhwatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah dan
Muhammad shallallahu alaihi washallam
10. Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh ditolong.
11. Mereka harus saling tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang
Yatsrib.
12. Perjanjian ini tidak boleh dilanggar kecuali memang dia orang yang zhalim atau jahat.
Dengan disahkannya perjanjian ini, maka Madinah dan sekitarnya seakan akan merupakan negara yang makmur, ibukotanya Madinah dan kepala negara, jika boleh disebut begitu, adalah Rasulullah. Pelaksana pemerintahan dan penguasa mayoritas adalah orang-orang Muslim. Sehingga dengan begitu Madinah benar-benar menjadi ibukota bagi Islam.
Untuk melebarkan wilayah yang aman dan damai, Rasulullah sudah siap-siap melibatkan kabilah-kabilah lain di kemudian hari dalam perjanjian ini, sebagaimana yang akan kami kupas di bagian mendatang.
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury