Merapatkan dan Meluruskan Shaf Shalat Jama’ah
Perintah untuk Meluruskan Shaf
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita untuk luruskan shaf dalam shalat. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah kesempurnaan shalat” (HR. Bukhari no.690, Muslim no.433).
Dalam riwayat lain:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bentuk menegakkan shalat (berjama’ah)” (HR. Bukhari no.723).
Hikmah dalam Meluruskan Shaf
Lurusnya shaf adalah sebab terikatnya hati orang-orang yang shalat. Dan bengkoknya shaf dapat menyebabkan berselisihnya hati mereka. Dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاةِ وَيَقُولُ : ( اسْتَوُوا , وَلا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: luruskan (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula” (HR. Muslim, no. 432).
Ancaman Bagi yang Tidak Meluruskan Shaf
Meluruskan shaf hukumnya wajib. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengancam orang yang tidak meluruskan shaf dalam shalat berupa terjadinya perselisihan hati di antara mereka. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin mengatakan:
المعتبر المناكب في أعلى البَدَن ، والأكعُب في أسفل البَدَن
“Yang menjadi patokan meluruskan shaf adalah pundak untuk bagian atas badan dan mata kaki untuk bagian bawah badan” (Asy Syarhul Mumthi’, 3/7-13).
Dalam kesempatan lain, beliau menjelaskan:
وهذا بلا شكٍّ وعيدٌ على مَن تَرَكَ التسويةَ ، ولذا ذهب بعضُ أهل العِلم إلى وجوب تسوية الصَّفِّ . واستدلُّوا لذلك : بأمْرِ النبي صلى الله عليه وسلم به ، وتوعُّدِه على مخالفته ، وشيء يأتي الأمرُ به ، ويُتوعَّد على مخالفته لا يمكن أن يُقال : إنه سُنَّة فقط . ولهذا كان القولُ الرَّاجحُ في هذه المسألة : وجوب تسوية الصَّفِّ ، وأنَّ الجماعة إذا لم يسوُّوا الصَّفَّ فهم آثمون ، وهذا هو ظاهر كلام شيخ الإِسلام ابن تيمية
Ini tidak diragukan lagi merupakan ancaman keras bagi orang yang tidak meluruskan shaf. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits ini. Dan beliau mengancam orang yang menyelisihi perintah ini. Maka perkara yang diperintahkan dan diancam pelakunya ketika meninggalkannya, ini tidak mungkin dikatakan hukumnya sunnah saja. Oleh karena itu pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib. Dan jama’ah yang tidak meluruskan shaf mereka berdosa. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” (Syarhul Mumthi’, 3/6).
Cara Meluruskan Shaf
Dan cara meluruskan shaf adalah dengan menyamakan mata kaki dan pundak. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin menjelaskan:
المساواة إنما هي بالأكعب لا بالأصابع؛ لأن الكعب هو الذي عليه اعتماد الجسم؛ حيث إنه في أسفل الساق، والساق يحمل الفخذ، والفخذ يحمل الجسم، وأما الأصابع فقد تكون رجل الرجل طويلة فتتقدم أصابع الرجل على أصابع الرجل الذي بجانبه وقد تكون قصيرة
“Meluruskan shaf adalah dengan meluruskan mata kaki bukan meluruskan jari-jari. Karena mata kaki itu yang menjadi tumpuan badan, sebab ia berada di bawah betis, dan betis yang menjadi tumpuan paha, dan paha yang menjadi tumpuan badan. Adapun jari jemari, terkadang ada orang yang tinggi badannya sehingga panjang jarinya, dan orang yang disebelahnya terkadang pendek” (Majmu’ Fatawa war Rasa’il, jilid 13, sumber).
Perintah untuk Merapatkan Shaf
Selain meluruskan shaf, kita juga diperintahkan untuk merapatkan shaf, sehingga tidak ada celak-celah di antara orang yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري
“luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari no.719).
dalam riwayat lain, terdapat penjelasan dari perkataan dari Anas bin Malik,
كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه
“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al Bukhari no.725).
Dan wajib menempelkan kaki dengan kaki orang disebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya. Inilah hakekat merapatkan shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله
“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Demikian juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik di atas. Al Imam Bukhari membuat judul bab:
بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
“Bab menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shaf. An Nu’man bin Basyir berkata: aku melihat seorang di antara kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya”.
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al Albani berdasarkan zhahir dari dalil-dalil. Namun sebagian ulama mengatakan maksud dari hadits-hadits ini bukanlah menempel lahiriyah, namun maksudnya agar tidak ada celah. Sehingga tidak harus menempel. Syaikh Ibnu Al Utsaimin mengatakan:
ولكن المراد بالتَّراصِّ أن لا يَدَعُوا فُرَجاً للشياطين ، وليس المراد بالتَّراص التَّزاحم ؛ لأن هناك فَرْقاً بين التَّراصِّ والتَّزاحم … لا يكون بينكم فُرَج تدخل منها الشياطين ؛ لأن الشياطِين يدخلون بين الصُّفوفِ كأولاد الضأن الصِّغارِ ؛ من أجل أن يُشوِّشوا على المصلين صلاتَهم
“Namun yang dimaksud dengan merapatkan adalah hendaknya tidak membiarkan ada celah untuk setan. Namun maksudnya rapat yang sangat rapat. Karena ada perbedaan antara at tarash (merapatkan) dan at tazahum (rapat yang sangat rapat) … maka hendaknya tidak membiarkan ada celah yang bisa membuat setan masuk. Karena setan biasa masuk ke shaf-shaf, berupa anak kambing yang kecil, sehingga bisa membuat shalat terganggu” (Asy Syarhul Mumthi’, 7/3-13).
Dari penjelasan beliau di atas, rapatnya shaf tidak harus saling menempel namun sekedar bisa menghalangi anak kambing kecil untuk bisa lewat.
Namun wallahu a’lam, dari penjelasan Anas bin Malik di atas juga zhahir hadits Abdullah bin Umar menunjukkan bahwa para sahabat dahulu menempelkan kaki dan pundak. Maka tetaplah berusaha menempelkan kaki dan pundak sebisa mungkin sebagaimana ditunjukkan oleh zahir hadits. Namun tidak boleh sampai berlebihan dalam merapatkan sehingga membuat shaf menjadi sempit dan menyulitkan.
Jika Ada yang Enggan Merapatkan Shaf
Namun pernahkah ketika shalat, saudara kita di sebelah enggan merapatkan kakinya dengan kaki kita? Ketika kita coba merapatkan, dia malah bergeser dan menjauh. Apa yang kita lakukan ketika itu? Alhamdulillah kami tanyakan hal ini kepada Syaikh Ali Ridha Al Madini hafizhahullah,
Wahai Syaikh, ketika shalat, kami berusaha menutup celah diantara kaki-kaki. Namun ada orang awam di sebelah kami menolak untuk dirapatkan. Ia terus menjauh setiap kali kami mencoba merapatkan kaki. Apa yang seharusnya kami lakukan?
Syaikh menjawab:
@kangaswad ينبه بعد الصلاة بالتي هي أحسن للتي هي أقوم ؛ فيقال له : يا أخانا السنة أن تلزق القدم بالقدم في الجماعة ؛ فإن قبل وإلا فاتركه
— علي رضا المدني (@alireda1961) December 27, 2013
Hendaknya dijelaskan kepada dia setelah shalat dengan cara yang baik dan sesuai dengan yang dipahaminya, katakanlah: “wahai saudaraku, yang sesuai sunnah itu hendaknya kita merapatkan kaki dengan kaki dalam shalat berjama’ah”. Jika ia menerima, itu yang diharapkan, jika tidak maka tinggalkan saja.
Adapun dalam keadaan ketika shalat hendak dimulai, jika kita terus mencoba merapatkan dan ia terus menolak, apakah kita diberi udzur untuk shalat dalam keadaan ada sedikit celah antara kami dengannya? Ataukah kami harus terus mencoba merapatkan sampai ia tidak bisa bergeser lagi?
Syaikh menjawab:
@kangaswad لا مانع من الصلاة مع وجود فرجة ما دام هو الذي يبعد رجله ويتباعد عنكم ؛ فإثم مخالفته للسنة عليه !
— علي رضا المدني (@alireda1961) December 27, 2013
Tidak mengapa anda shalat walaupun ada celah (shaf tidak rapat, pent.) selama kejadiannya adalah ia yang menjauhkan kakinya dari anda. Dosa atas penyelisihan terhadap sunnah ditanggung olehnya.
Jika Ada Tiang Diantara Shaf
Wajib bagi para makmum untuk berusaha menyambung shaf, dan tidak boleh memutusnya. Karena Allah ta’ala mengancam orang yang memutus shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله
“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Diantara bentuk memutus shaf adalah shalat di shaf yang terputus oleh tiang-tiang masjid. Dan terdapat larangan khusus mengenai hal ini. Dari Mu’awiyah bin Qurrah dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا
“Dahulu di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kami dilarang untuk membuat shaf di antara tiang-tiang. Dan kami menerapkan larangan ini secara umum” (HR. Ibnu Majah no. 1002, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Demikian juga perkataan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Hamid bin Mahmud, ia berkata:
صَلَّيْنَا خَلْفَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ ، فَاضْطَرَّنَا النَّاسُ فَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ ، فَلَمَّا صَلَّيْنَا قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : (كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
“Kami pernah shalat bermakmum kepada salah seorang umara, ketika itu kami terpaksa shalat di antara dua tiang. Ketika kami selesai shalat, Anas bin Malik berkata: dahulu kami (para sahabat) menjauhi perkara seperti di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. At Tirmidzi no.229, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Hadits-hadits ini menunjukkan terlarang shalat di antara tiang yang menyebabkan terputusnya shaf. Ibnu Muflih mengatakan:
وَيُكْرَهُ لِلْمَأْمُومِ الْوُقُوفُ بَيْنَ السَّوَارِي , قَالَ أَحْمَدُ : لِأَنَّهَا تَقْطَعُ الصَّفّ
“Dimakruhkan bagi para makmum untuk berdiri di antara tiang-tiang. Imam Ahmad berkata: karena hal tersebut membuat shaf terputus” (Al Furu’, 2/39).
Dan shalat di antara tiang yang menyebabkan terputusnya shaf hukumnya makruh namun tetap sah shalatnya, sebagaimana ditunjukkan oleh atsar dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu di atas. Beliau tidak mengingkari dengan keras dan tidak memerintahkan untuk mengulang shalat.
Namun dibolehkan shalat di antara tiang walaupun menyebabkan terputusnya shaf jika dalam kondisi sulit semisal karena masjid yang sempit. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:
يكره الوقوف بين السواري إذا قطعن الصفوف ، إلا في حالة ضيق المسجد وكثرة المصلين
“Dimakruhkan shalat di antara tiang-tiang jika bisa memutuskan shaf. Kecuali jika masjidnya sempit sedangkan orang yang shalat sangat banyak” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 5/295).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,
ولا تقطع الصفوف إلا عند الضرورة، إذا ازدحم المسجد، وضاق المسجد، وصف الناس بين السواري؛ فلا حرج للحاجة
“Jangan memutus shaf kecuali jika kondisi darurat. Semisal jika masjid sangat penuh dan sempit. Maka para makmum boleh membuat shaf di antara tiang-tiang, ini tidak mengapa karena ada kebutuhan” (Sumber).
Namun dalam kondisi normal, tidak ada kesempitan dan juga tidak ada kebutuhan, maka hendaknya jauhi shalat di antara tiang yang bisa memutus shaf. Jika datang ke masjid lalu menemukan shaf terakhir adalah shaf yang terputus oleh tiang, maka sikap yang tepat adalah membuat shaf baru setelahnya, yang tidak terputus oleh tiang. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid mengatakan,
فإذا جئت إلى المسجد ، وقد وقف الناس في الصف ، ولم تجد مكاناً في الصف إلا بعد العمود فلا حرج في ذلك ، وليس هذا من الصلاة خلف الصف منفردا
“Jika anda datang ke masjid dan orang-orang sudah berdiri di shaf, kemudian anda tidak menemui tempat di shaf kecuali setelah tiang, maka tidak mengapa shalat di sana. Dan tidak tergolong shalat sendirian di belakang shaf” (Sumber).
Namun dalam rangka berhati-hati, hendaknya menunggu orang lain agar tidak bersendirian di shaf yang baru. Mengingat sebagian ulama berpendapat batalnya orang yang shalat sendirian di belakang shaf.
Adapun shalat di antara tiang tanpa memutus shaf, maka ini tidak mengapa. Syaikh Masyuhur Hasan Alu Salman menjelaskan,
وأما صلاة المنفرد بين السواري أو الإمام فلا حرج فيها، والصلاة بين الساريتين دون تتميم الصف عن اليمين والشمال أيضاً لا حرج فيها لأن التراص وعدم الانقطاع حاصل
“Adapun jika seseorang shalat sendiri atau sebagai imam, di antara dua tiang, maka tidak mengapa. Demikian juga shalat para makmum di antara dua tiang, tanpa melanjutkan shaf di kanan tiang dan juga di kiri tiang, maka tidak mengapa. Karena meluruskan shaf dan menyambungnya sudah terwujud” (Sumber).
Demikian yang sedikit ini semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.
.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/52382-merapatkan-dan-meluruskan-shaf-shalat-jamaah.html