Merenungkan makna dalam shalat
Oleh Ustad Ammi Nur Baits, ST., BA.
Merenungkan gerakan dalam shalat, bentuknya ada 2:
Pertama, Merenungkan bagaimana cara melakukan gerakan yang sesuai sunah
Modal utama untuk bisa melakukan ini adalah dengan mempelajari sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Seperti bagaimana cara melakukan takbiratul ihram yang sesuai sunah, bagaimana cara sedekap yang sesuai sunah, cara rukuk yang benar, cara i’tidal yang benar, dst.
Mengapa harus sesuai sunah?
Karena secara umum, manusia akan semakin yakin dengan amalannya, jika amalan itu sesuai dengan praktek yang dilakukan panutannya. Sehingga, jika anda ingin gerakan shalat anda yakin benar, ikuti praktek shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau pernah menegaskan hal ini dalam sabdanya,
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, no. 6008)
Kata kuncinya adalah jadikan gerakan shalat kita berdalil, sehingga anda bisa berfikir untuk melakukan gerakan sesuai sunah ketika shalat. InsyaaAllah saya akan menyebutkan beberapa rincian sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beberapa gerakan dalam shalat.
Hanya saja, para pembaca yang ingin melihat lebih detail sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat, kami sarankan agar membaca buku: Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah. Buku ini termasuk salah satu karya ilmiah, yang menginspirasi saya untuk belajar shalat lebih serius. Alhamdulillah, sudah banyak edisi terjemah bahasa Indonesia.
Kedua, Merenungkan makna dari setiap gerakan yang dilakukan
Allah menurunkan syariat shalat dipenuhi dengan hikmah. Sehingga setiap gerakan yang dilakukan hamba, hakekatnya mengandung banyak makna dan hikmah. Meskipun banyak orang yang tidak menyadarinya.
Di kesempatan kali ini, kita akan melihat lebih dekat, gerakan demi gerakan dalam shalat, bagaimana hikmah dan makna yang perlu untuk kita renungkan.
1. Hikmah dan Makna Berdiri ketika Shalat
Untuk shalat wajib, posisi berdiri merupakan rukun shalat.
Allah perintahkan orang yang shalat untuk berdiri, melalui firman-Nya,
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ
Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah: 238)
Sementara dalil dari hadis, disebutkan dalam hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Kerjakan sambil berdiri, jika tidak mampu, kerjakan sambil duduk. Jika tidak mampu kerjakan sambil berbaring miring. (HR. Bukhari 1117).
Ketika orang itu berdiri, maka dia menghadap kepada Allah dengan jiwa dan raganya. Karena itu, pada saat berdiri shalat kita diperintahkan untuk tunduk menghadap ke tempat sujud. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah. (HR. Al Baihaqi & disahihkan Al-Albani)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang orang yang shalat sambil melihat ke atas. (HR. Bukhari).
Renungkan:
a. Renungkan bahwa ketika anda berdiri pada saat shalat, anda sedang melaksanakan perintah Allah di surat al-Baqarah: 238.
b. Renungkan bahwa saat ini kita sedang menghadap Allah di dunia, dan nanti kita akan menghadap Allah di akhirat. Menghadap Allah untuk menerima hisab. Ada yang dimudahkan dan ada yang mengalami kesulitan.
c. Berharaplah kepada Allah, sebagaimana Allah memudahkan kita untuk berdiri menghadap kepada-Nya ketika shalat pada saat di dunia. Semoga dengan ini Allah akan memudahkan kita menghadap kepada-Nya di hari kiamat.
d. Sebaliknya, orang yang tidak mau berdiri menghadap Allah ketika di dunia dengan melaksanakan shalat, dia akan mendapatkan kesulitan ketika menghadap Allah di akhirat.
Allah berfirman,
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ بِهٰذَا الْقُرْاٰنِ وَلَا بِالَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِۗ وَلَوْ تَرٰىٓ اِذِ الظّٰلِمُوْنَ مَوْقُوْفُوْنَ عِنْدَ رَبِّهِمْۖ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضِ ِۨالْقَوْلَۚ يَقُوْلُ الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا لِلَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْا لَوْلَآ اَنْتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِيْنَ
Dan orang-orang kafir berkata, “Kami tidak akan beriman kepada Al-Qur’an ini dan tidak (pula) kepada Kitab yang sebelumnya.” Dan (alangkah mengerikan) kalau kamu melihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian mereka mengembalikan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, “Kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang mukmin.” (QS. Saba’ : 31).
Ibnu Rajab menggambarkan ketakutan para ulama di masa silam ketika mereka berdiri menghadap Allah,
Dulu diantara ulama, ketika mereka berdiri melakukan shalat, mereka merasa takut kepada ar-Rahman Ta’ala ketika pandangannya melenceng, menoleh, bermain kerikil atau bermain apapun atau mengobrol dengan batinnya dalam masalah dunia. Kecuali jika dia lupa, selagi masih shalat. (al-Khusyu’ Lil Aziz al-Jabbar, hlm. 14)
2. Memahami Makna Mengangkat Tangan Ketika Takbir
Mengangkat tangan dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika takbiratul ihram, ketika rukuk, ketika I’tidal, dan ketika bangkit dari duduk tasyahud awal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya terkadang setinggi pundak, dan terkadang setinggi telinga.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ،
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundak, ketika memulai shalat.” (HR. Bukhari 735 & Muslim 390).
Dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي صَلَاتِهِ، وَإِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، وَإِذَا سَجَدَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika takbiratul ihram, ketika rukuk, ketika i‘tidal, hingga setinggi daun telinga.” (HR. Nasai 1024, dan yang lainnya).
Karena itu, Pada saat kita mengangkat tangan, tanamkan pada diri kita bahwa kita sedang melaksanakan dan melestarikan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hikmah Mengangkat Tangan:
Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan hikmah mengangkat kedua tangan ketika shalat. Imam an-Nawawi’ dalam al-Majmu’ menyebutkan beberapa hikmah mengangkat tangan ketika takbir,
Dari Imam as-Syafii, bahwa beliau pernah shalat di samping Muhammad bin Hasan as-Syaibani (Salah satu murid senior Abu Hanifah), Ketika shalat, Imam as-Syafi’i mengangkat tangan pada saat rukuk dan i’tidal. Hingga Muhammad bin Hasan bertanya ke beliau, “Mengapa anda mengangkat tangan?” jawab Imam as-Syafii, bahwa itu bentuk pengagungan kepada Allah Ta’ala dan mengikuti sunah Rasul-Nya, serta mengharapkan pahala Allah.
Kemudian an-Nawawi melanjutkan, At-Tamimi – ulama madzhab Syafiiyah — dalam kitabnya at-Tahrir bi Syarh Shahih Muslim mengatakan,
“Ada sebagian orang yang mengatakan, mengangkat kedua tangan ketika takbir termasuk ibadah yang tidak bisa dilogika maknanya. Ada juga yang mengatakan, mengangkat tangan itu isyarat tauhid. Sementara al-Muhallab ulama Malikiyah dalam Syarh shahih Bukhari mengatakan, hikmah mengangkat tangan ketika takbiratul ihram adalah untuk memperlihatkan orang yang tidak mendengar imam, agar dia tahu bahwa imam sudah mulai shalat sehingga bisa diikuti.”
Imam an-Nawawi menyebutkan pendapat lainnnya, Ada juga yang mengatakan, itu tanda bahwa dia pasrah dan tunduk, Karena tawanan ketika kalah, dia mengangkat kedua tangannya sebagai penanda dia pasrah. Ada juga yang mengatakan, ini isyarat bahwa dia telah melepaskan semua urusan dunia, dan siap untuk menghadap dalam shalatnya. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 3/310)
Jika kita hitung, an-Nawawi menyebutkan 8 hikmah dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika takbir.
Semoga dengan memahami ini kita semakin semangat dalam mengamalkan sunah ini.
3. Merenungkan Makna Bersedekap di Dada
Bersedekap merupakan salah satu yang disyariatkan dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kami para nabi diperintahkan untuk menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan bersedekap — meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat. (HR ad-Daruqutni 1106 dan dishahihkan al-Albani)
Karena itu, renungkanlah bahwa ketika anda bersedekap pada saat shalat, hakekatnya anda sedang melaksanakan salah satu perintah Allah kepada para nabi-Nya.
Cara bersedekap sesuai sunah ada 2:
a. Telapak tangan kanan diletakkan (tanpa menggenggam) di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri, atau hasta kiri. (ada 3 tempat). Dalilnya adalah kisah yang disampaikan Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu ketika melihat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad 18870, Abu Daud 727 & disahihkan Syuaib al-Arnauth).
b. Telapak tangan kanan menggenggam punggung telapak tangan kiri. (HR. Nasa’i & disahihkan al-Albani)
Anda bisa memilih posisi ketika bersedekap secara bergantian, agar tidak hanya 1 posisi saja, yang itu bisa membuat shalat kita cenderung bergerak otomatis tanpa dipikirkan sebelumnya. Berbeda ketika anda telah mengetahui ada beberapa sunah dalam masalah ini, anda akan berpikir untuk memilih terlebih dahulu. Dan ini akan menambah porsi khusyu’ ketika shalat. Karena anda memikirkan konten shalat.
Bersedekap termasuk bentuk al-Khudhu (ketundukan) ketika kita menghadap Allah.
Imam Ahmad pernah ditanya apa maksud kita melakukan sedekap ketika shalat. Jawaban beliau, Itu adalah bentuk ketundukan di hadapan Dzat Yang Maha Perkasa. (Al-Khusyu’ Lil Aziz al-Jabbar, hlm. 14)
4. Menghayati Makna Rukuk ketika Shalat
Rukuk termasuk unsur penting dalam shalat. Karena itu, di beberapa ayat dalam al-Quran, Allah menyebut shalat dengan rukuk. Diantaranya firman Allah Ta’ala,
وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ
dan rukuklah beserta orang yang rukuk. (QS. Al-Baqarah : 43)
Rukuk yang dimaksud dalam ayat ini adalah melaksanakan shalat. (Tafsir al-Jalalain, hlm. 50)
Bahkan kata rukuk dijadikan sebagai standar untuk menyebut satuan kuantitas shalat. Kita mengenal istilah raka’at [ركعات ] yang itu diambil dari kata rukuk [ركع]. Padahal gerakan shalat ada banyak sekali, ada berdiri, sujud, duduk, dst. Namun syariat tidak menyebut shalat 2 sajadat (dari kata: sujud) atau 4 jalasat (dari kata: duduk), namun syariat menyebut 2 rakaat, 3 rakaat, dst.
Rukuk didefinisikan oleh al-Asfahani, Rukuk secara bahasa artinya menunduk. Terkadang digunakan untuk menyebut gerakan rukuk dalam shalat, terkadang untuk sinonim kata tawadhu dan ketundukan. (Mufradat Alfadz al-Quran, 1/414).
Orang kafir menolak ketika diperintahkan untuk rukuk. Allah berfirman,
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Rukuklah,” mereka tidak mau rukuk. (QS. al-Mursalat: 48).
Mereka yang tidak mau rukuk, diancam oleh Allah akan celaka kelak di hari kiamat.
Karena itu, ketika kita melakukan rukuk, sadari bahwa kita sedang melaksanakan perintah Allah yang diingkari orang kafir. Sehingga kita berharap bisa selamat dari adzab, tidak sebagaimana orang kafir yang diancam dengan adzab.
5. Menghayati Makna Sujud ketika Shalat
Sujud merupakan posisi gerakan dalam shalat yang paling menunjukkan ketundukan seorang hamba di hadapan Penciptanya. Ketika sujud, seorang hamba meletakkan anggota badan yang paling mulia, yaitu wajahnya, di lantai yang sejajar dengan kakinya.
Sebagai balasannya, Allah mendekat kepada hamba, ketika mereka sedang bersujud di hadapan-Nya. Sehingga doanya ketika itu lebih berpeluang untuk diijabahi oleh Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kondisi terdekat seorang hamba kepada Rabnya adalah ketika dia sedang sujud. Karena itu, perbanyaklah berdoa. (HR. Muslim 1111, Ahmad 9460 dan yang lainnya)
Allah menyebutkan dalam al-Quran bahwa semua makhluk bersujud kepada-Nya. Allah ﷻ berfirman,
وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ
Dan segala apa yang ada di langit dan di bumi hanya bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk bergerak (bernyawa) dan (juga) para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. (QS. an-Nahl: 49).
Ar-Raghib al-Asfahani menjelaskan, sujud itu ada 2:
a. Sujud yang nilainya ibadah, itulah sujud yang dilakukan oleh orang yang tunduk kepada Allah. Pelakunya berhak mendapatkan pahala dari Allah. Seperti sujudnya seorang mukmin kepada Allah.
b. Sujud taskhir, yaitu sujud yang maknanya ketundukan, itulah sujud yang dilakukan semua makhluk, baik yang berakal maupun yang tidak berakal. Karena mereka semua adalah hamba Allah. (Mufradat Alfadz al-Quran, 396).
Iblis dimurkai Allah karena dia menolak ketika diperintahkan untuk bersujud. Sampai dia menangis ketika ada seorang muslim yang melakukan sujud tilawah. Dari Abu Hurairah tadhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺮَﺃَ ﺍﺑْﻦُ ﺁﺩَﻡَ ﺍﻟﺴَّﺠْﺪَﺓَ ﻓَﺴَﺠَﺪَ ﺍﻋْﺘَﺰَﻝَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻳَﺒْﻜِﻰ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻳَﺎ ﻭَﻳْﻠَﻪُ – ﻭَﻓِﻰ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔِ ﺃَﺑِﻰ ﻛُﺮَﻳْﺐٍ ﻳَﺎ ﻭَﻳْﻠِﻰ – ﺃُﻣِﺮَ ﺍﺑْﻦُ ﺁﺩَﻡَ ﺑِﺎﻟﺴُّﺠُﻮﺩِ ﻓَﺴَﺠَﺪَ ﻓَﻠَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔُ ﻭَﺃُﻣِﺮْﺕُ ﺑِﺎﻟﺴُّﺠُﻮﺩِ ﻓَﺄَﺑَﻴْﺖُ ﻓَﻠِﻰَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ
“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” [HR Muslim 254 & Ahmad 9713]
Sehingga sujud yang kita lakukan, akan membuat setan semakin terhina. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang sujud sahwi, “Jika ternyata dia shalat 4 rakaat, maka kedua sujud sahwi itu akan menghina setan.” (HR. Muslim 1300 & Ahmad 11689).
6. Menghayati Makna Duduk ketika Shalat
Duduk diantara dua sujud dan duduk tasyahud dilakukan dengan meletakkan kedua tangan di paha. Sehingga sang hamba bersimpuh di hadapan Allah. Pandangan tunduk ke arah tempat sujud atau ke arah jari telunjuk ketika tasyahud. Semua ini menunjukkan tawadhu’ sang hamba di hadapan Rabnya.
Mengenai cara duduk iftirasy sesuai sunah disebutkan dalam keterangan Umar radhiyallahu ‘anhu, “Termasuk sunah dalam shalat (ketika duduk), kaki kanan ditegakkan, mengarahkan jari-jari tangan ke arah kiblat, dan duduk di atas kaki kiri.” (HR. Abu Daud 960, Nasai 1165 dan dishahihkan Al-Albani)
Mengenai cara duduk diantara dua sujud dan duduk tasyahud awal akan dibahas selengkapnya di masing-masing pembahasan yang terkait. Pahami dan lakukan cara ini dengan baik, agar duduk iftirasy yang anda lakukan sesuai sunah.
7. Memahami Makna Mengacungkan Telunjuk ketika Tasyahud
Mengacungkan jari telunjuk ketika tasyahud dianjurkan untuk dimulai dari awal tasyahud.
Dianjurkan juga mengarahkan pandangan ke arah isyarat telunjuk. Berdasarkan keterangan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika menceritakan cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari telunjuknya ke arah kiblat, dan beliau mengarahkan pandangannya ke arah jarinya.” (HR. Nasai 1168, Ibn Hibban 1947 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Mengenai tata cara mengisyaratkan telunjuk yang sesuai sunah, kami bahas di bagian tasyahud awal.
Hikmah Mengacungkan Telunjuk ketika Tasyahud
Hikmah paling utama ketika mengacungkan jari adalah mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena melestarikan sunah termasuk hikmah tertinggi dalam setiap amalan kita, terlebih amal ibadah.
Disamping itu, terdapat hadis yang menyebutkan bahwa isyarat telunjuk ketika tasyahud lebih ditakuti setan dari pada pukulan besi.
Ketika Ibnu Umar tasyahud, beliau mengisyaratkan telunjuknya. Kemudian beliau mengatakan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Isyarat itu lebih ditakuti setan dari pada besi.” Maksud beliau adalah isyarat telunjuk. (HR. Ahmad 6000 dan dihasankan al-Albani)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa hikmah isyarat telunjuk di sini untuk menunjukkan wahdaniyah (ke-Esa-an) Allah ﷻ. Ibnu Utsaimin menyebutkan bahwa isyarat jari ketika tasyahud menunjukkan ketinggian Dzat yang menjadi sasaran dalam berdoa, yaitu Allah Ta’ala. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, jilid 13 – Bab Cara Duduk diantara Dua Sujud).
Demikian, Semoga semakin memahamkan kita akan makna setiap gerakan yang kita lakukan dalam shalat, sehingga mendorong kita untuk lebih khusyu’ dalam mengerjakannya.
Allahu a’lam.