Para Sahabat Ahli Qira’at
Anas bin Malik رضي الله عنه., tentang para Sahabat yang hafal Al-Qur’an di masa Nabi ﷺ dan mempunyai otoritas untuk mengajarkannya kepada Sahabat lain dan atau generasi kemudian. Oleh karenanya, agar sistematis, pembahasan ini akan diarahkan pada titik tolak tersebut. Tetapi sebelum itu, sebagai pengantar, penulis merasa perlu mengutip penjelasan Prof. Dr. Nur al-Din ‘Itr dalam ‘Ulum al-Qur’an-nya berkaitan dengan kegigihan para Sahabat dalam menghafalkan Al-Qur’an.
Kegigihan Para Sahabat dalam Menghafalkan Al-Qur’an
Tak dapat dipungkiri bahwa ada banyak faktor yang dimiliki oleh para sahabat sehingga menyebabkan mereka di satu sisi begitu gigih dalam menghafalkan Al-Qur’an, dan di sisi lain membuat aktivitas menghafalkan Al-Qur’an “terasa mudah” bagi mereka. Di antara faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, kuatnya daya ingat mereka. Hal ini menjadi ciri khas orang Arab pada waktu itu, bahkan tidak sedikit yang mengatakan hingga sekarang yang diakui oleh siapapun, sampai-sampai ada di antara mereka yang mampu menghafalkan syair panjang hanya dengan sekali dengar.
Kedua, turunnya Al-Qur’an secara berangsung-angsur, sebagaimana yang telah kita ketahui, yang tentu saja semakin memudahkan proses penghafalan.
Ketiga, kewajiban membaca beberapa ayat Al-Qur’an sewaktu shalat dan berbagai keutamaan dan pahala yang dijanjikan bagi mereka yang memanjangkan salatnya saat sendirian.
Keempat, kewajiban mengamalkan Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an merupakan sumber mata air bagi akidah, ibadah, nasihat dan pengingat mereka? Maka tidak heran bila mereka senantiasa merealisasikan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an itu dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, motivasi Nabi ﷺ Bahwa sebagaimana yang dapat ditemukan dengan mudah dalam kitab-kitab hadis, Nabi ﷺ seringkali memotivasi para Sahabat untuk senantiasa membaca Al-Qur’an. Bahkan dalam salah satu hadis disebutkan waktu terlama bagi seorang muslim mengkhatamkan Al-Qur’an, yakni satu bulan atau 40 hari.
Kelima, penjagaan, pengawasan dan perhatian Nabi ﷺ atas pembelajaran Al-Qur’an kepada para Sahabat. Bahwa para Sahabat adalah murid-murid Kanjeng Nabi ﷺ. Mereka belajar Al-Qur’an secara langsung, face to face, kepada beliau. Jika ada suatu daerah atau kabilah yang masuk Islam, maka beliau mengutus beberapa Sahabatnya yang tergolong al-Qurra’ untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Hal ini berlaku bagi mereka yang tempat tinggalnya jauh dari Madinah. Sementara yang masih masuk wilayah Madinah, tentu saja menggabungkan diri ke Halaqah Nabi. Demikian lebih kurang penjelasan Prof. Dr. Nur al-Din ‘Itr.
Nah, pada konteks yang disebut terakhir inilah pembahasan di bawah ini menemukan korelasinya. Yakni siapa sajakah Sahabat yang tergolong al-Qurra’ itu?
Sabda Nabi ﷺ
Dari ‘Abd Allah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Ambillah yakni belajarlah Al-Qur’an dari empat orang (Sahabat): (yaitu) :
1. Abd Allah bin Mas‘ud
2. Salim bin Ma‘qil
3. Mu‘adz bin jabal
4. Ubay bin Ka‘ab. (HR al-Bukhari)
Yang dimaksud dengan Salim pada hadis Nabi di atas adalah Salim bin Ma‘qil, hamba sahaya Abu Hudzaifah. Sedangkan yang dimaksud Mu‘adz adalah Mu‘adz bin Jabal. Dari sini dapat dipahami bahwa empat Sahabat tersebut telah mewakili dua golongan sekaligus, Muhajirin dan Anshar. Yakni dua yang disebut pertama ‘Abd Allah bin Mas‘ud dan Salim bin Ma‘qil termasuk Muhajirin, sementara selebihnya Mu‘adz bin Jabal dan Ubay bin Ka‘ab termasuk Anshar.
Perlu diingat, penyebutan empat Sahabat di atas bukanlah “pembatasan”, dalam artian hanya merekalah yang hafal Al-Qur’an di masa Nabi. Sekali lagi, bukan itu yang dimaksud. Sabda Nabi ﷺ tersebut lebih merupakan perintah kepada para Sahabat untuk belajar Al-Qur’an kepada mereka empat Sahabat itu. Dengan kata lain, penyebutan empat nama tersebut tidak lantas menafikan adanya nama-nama lain yang juga termasuk para penghafal Al-Qur’an. Tesis ini dibuktikan dengan sekian banyak riwayat, antara lain gugurnya 70 Sahabat yang tergolong al-Qurra’ saat terjadinya Perang Bi’r Ma‘unah dan Perang Yamamah. Peperangan yang disebut pertama terjadi pada masa Nabi ﷺ, sementara yang disebut terakhir terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq رضي الله عنه.
Keterangan Anas bin Malik رضي الله عنه.
Dari Qatadah, ia berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik: Siapakah yang mengumpulkan yakni hafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah ﷺ ? Anas menjawab: (Ada) empat, semuanya dari golongan Anshar, (yaitu) Ubay bin Ka‘ab, Mu‘adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Aku (Qatadah) bertanya lagi: Siapakah Abu Zaid itu? Anas menjawab: Salah satu paman/sanak familiku. (HR al-Bukhari)
Dari jalur periwayat Tsabit (al-Bunaniy), dari Anas, ia berkata: Nabi ﷺ meninggal dunia dan tidak ada yang mengumpulkan yakni hafal Al-Qur’an kecuali empat (orang), yaitu Abu al-Darda’, Mu‘adz bin. Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. (HR al-Bukhari)
Ada dua perbedaan signifikan antara dua riwayat di atas:
Pertama, terkait nama-nama Sahabat yang disebutkan. Pada riwayat kedua, nama Ubay bin Ka‘ab diganti dengan nama Abu al-Darda’.
Kedua, terkait penggunaan redaksi. Bila pada redaksi riwayat pertama tidak ada unsur “pembatasan” sama sekali, maka riwayat kedua, sebaliknya. Di sana jelas-jelas terdapat redaksi “pembatasan”, yakni ungkapan Anas رضي الله عنه yang penulis terjemahkan dengan, “Tidak ada yang mengumpulkan yakni hafal Al-Qur’an kecuali empat (orang) (wa lam yajma‘ al-Qur’an ghairu arba‘ah).”
Redaksi “pembatasan” itulah yang menjadi topik diskusi yang panjang di kalangan para ulama. Tidak sedikit dari mereka yang mengingkari (baca: keberatan atas) penggunaan redaksi tersebut. Sehubungan dengan hal ini, berikut penulis deskripsikan secara berurutan pendapat-pendapat para ulama yang dikutip oleh Abuya terkait redaksi tersebut:
Pendapat al-Maziri (w. 536 H)
Pernyataan Anas رضي الله عنه yang berbunyi, “Lam yajma‘hu ghairuhum” itu tidak mesti berarti bahwa pada kenyataannya memang demikian. Karena kemungkinan yang dimaksud oleh pernyataannya itu adalah ia tidak mengetahui bahwa ada Sahabat lain selain mereka 4 Sahabat di atas yang juga hafal Al-Qur’an. Jika tidak, bagaimana mungkin bisa memahami seluruh Sahabat padahal sebagaimana yang kita tahu jumlah mereka sangat banyak dan berpencar-pencar di berbagai belahan dunia? Memang bisa saja hal yang disebut terakhir ini terjadi, dengan syarat (1) ia Sahabat Anas itu bertemu satu persatu dari mereka, para Sahabat seluruhnya, dan (2) masing-masing memberitahukannya tentang hafalannya yang belum sempurna saat Nabi ﷺ masih hidup. Tetapi, menurut kebiasaan, kemungkinan yang demikian itu sangatlah jauh. Berbeda halnya bila yang dimaksud adalah kemungkinan pertama, yakni bahwa kalimat itu keluar dari ijtihad pribadinya, sesuai pengetahuan yang ia miliki, maka tentu pernyataan itu tidak mesti menggambarkan keadaan para Sahabat yang sebenarnya.
Di sisi lain, pernyataan Anas رضي الله عنه itu dijadikan pedoman oleh sekelompok orang yang sesat (jama‘ah min al-mulahidah), (sehingga mereka meyakini bahwa periwayatan Al-Qur’an tidaklah mutawatir!). Padahal seperti yang terlihat, tidak ada sedikitpun yang bisa dijadikan pedoman di sana, karena kita tidak mengamini pernyataan tersebut secara tekstual. Kalaupun kita mengamininya, maka hal itu tidak lantas menafikan bahwa hafalan masing-masing Sahabat yang jumlahnya sangat banyak itu, bila dikumpulkan jadi satu, maka Al-Qur’an telah berhasil dihafalkan secara utuh. Hal ini dikarenakan mutawatir itu tidak mensyaratkan masing-masing orang menghafal Al-Qur’an secara keseluruhan. Cukuplah dikatakan mutawatir bila jumlah total hafalan dari masing-masing orang, mencapai keseluruhan Al-Qur’an.
Pendapat al-Qurthubi (w. 671 H)
Pada Perang Yamamah, 70 Sahabat yang tergolong al-Qurra’ terbunuh. Demikian pula pada masa Nabi ﷺ, peristiwa di Bi’r Ma‘unah telah menewaskan 70 Sahabat yang tergolong al-Qurra’. Oleh karenanya, pernyataan Anas رضي الله عنه tersebut dipahami sebagai kedekatannya yang begitu erat dengan empat Sahabat yang ia sebut, atau bahwa memang hanya empat nama Sahabat itulah yang muncul di benaknya saat itu.
Pendapat al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani (w. 403 H)
Ada delapan kemungkinan jawaban atas pernyataan Anas رضي الله عنه di atas:
Pertama, bahwa pernyataan tersebut tidak dipahami secara tekstual, sehingga dengan sendirinya tidak berimplikasi pada tidak adanya Sahabat selain mereka 4 orang di atas yang juga hafal Al-Qur’an.
Kedua, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada yang hafal Al-Qur’an berikut beserta seluruh al-wujuh dan al-qira’at-nya kecuali mereka 4 Sahabat di atas.
Ketiga, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada yang hafal ayat-ayat yang di-nasakh setelah sebelumnya dibaca dan hafal pula ayat-ayat yang tidak di-naskh kecuali mereka.
Keempat, bahwa yang dimaksud dengan al-jam‘ oleh Anas رضي الله عنه adalah belajar Al-Qur’an secara langsung dari lisan Nabi ﷺ, bukan dari perantara Sahabat lain. Artinya, hanya empat Sahabat yang ia sebutkanlah yang belajar Al-Qur’an secara langsung dari Nabi ﷺ
Kelima, bahwa empat Sahabat itulah yang mendedikasikan dirinya untuk menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an, sehingga mereka masyhur di bidang itu. Adapun para Sahabat selain mereka, keadaannya samar, tidak begitu dikenal di bidang itu. Oleh karenanya, Anas رضي الله عنه hanya menyebut mereka, sesuai pengetahuan yang ia miliki. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian.
Keenam, bahwa yang dimaksud dengan al-jam‘ oleh Anas رضي الله عنه adalah al-kitabah, yakni menulis Al-Qur’an. Artinya, hanya empat Sahabat itulah yang menulis Al-Qur’an lalu menghafalkannya hingga berhasil di luar kepala. Maka hal ini tidak menafikan adanya Sahabat-Sahabat lain yang menghafalkan Al-Qur’an secara langsung, hingga berhasil pula.
Ketujuh, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada Sahabat yang menyempurnakan hafalannya di masa Nabi kecuali mereka yang disebut Anas رضي الله عنه. Sementara selain mereka, baru menyempurnakan hafalannya
Pasca kewafatan Nabi ﷺ.
Kedelapan, bahwa yang dimaksud dengan “mengumpulkan/menghimpun Al-Qur’an” (jam‘ al-Qur’an) adalah mendengarkan dengan penuh saksama, menaatinya dan mengamalkan kandungannya. Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari jalur periwayatan Abi al-Zahiriyyah, bahwa ada seorang lelaki mendatangi Abu al-Darda’ seraya berkata, “Sungguh, putraku telah menghafal Al-Qur’an (yajma‘ al-Qur’an).” Maka Abu al-Darda’ berkata, “Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu. Sungguh yang dikatakan jam‘ al-Qur’an hanyalah ia yang mendengarkan dengan saksama dan menaatinya.”
Pendapat Ibn Hajar (w. 852 H)
Mayoritas “kemungkinan jawaban” yang disebut oleh Abu Bakar al-Baqilani di atas, cenderung dipaksakan (takalluf), apalagi yang terakhir itu. Bagi saya pribadi, ada “kemungkinan jawaban” lain. Yaitu bahwa yang dimaksud oleh pernyataan Anas رضي الله عنه adalah memantapkan apa yang ia sebut itu yakni keberadaan para penghafal Al-Qur’an bagi kabilah Khazraj saja, bukan Aus. Sehingga dengan demikian pernyataannya tidak menafikan sama sekali adanya golongan Muhajirin yang juga hafal Al-Qur’an. Karena Anas رضي الله عنه mengatakan hal itu dalam konteks berbangga-banggaan, unggul-unggulan, mufakharah, antara Muhajirin Aus dan Khazraj.
Hal ini sebagaimana keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari jalur periwayatan Sa‘id bin Abi ‘Arubah, dari Qatadah, dari Anas. Ia berkata, “Dua kabilah saling berbangga diri, Aus dan Khazraj. Aus berkata, ‘Di antara kami, ada empat (Sahabat yang hebat). Yaitu orang yang berguncang ‘Arsy karenanya, Sa’d bin Mu‘adz; orang yang kesakisannya menyamai dua orang, Khuzaimah bin Tsabit; orang yang dimandikan oleh para malaikat, Hanzhalah bin Abi ‘Amir; dan orang yang jasadnya dijaga oleh sekumpulan lebah (agar tidak dicabik-cabik oleh kaum musyrik), ‘Ashim bin Tsabit.’ Maka Khazraj berkata, ‘Di antara kami, (juga) ada empat (Sahabat hebat) yang hafal Al-Qur’an, tidak ada yang hafal Al-Qur’an selain mereka. (Lalu disebutlah empat nama Sahabat di atas).’”
Di sisi lain, berdasarkan sekian banyak hadis, jelaslah bahwa Abu Bakar termasuk orang yang hafal Al-Qur’an di masa Nabi ﷺ. Di dalam al-Sahih misalnya, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa beliau membangun masjid di pelataran rumahnya. Kemudian beliau senantiasa membaca Al-Qur’an di sana. Lebih lanjut, kenyataan bahwa beliau hafal Al-Qur’an tidak masa Nabi itu tidak bisa diragukan lagi bila kita melihat kegigihannya dalam menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ dan fokus perhatiannya yang tertuju kepada beliau, saat keduanya sama-sama masih di Makkah. Tidak hanya itu, beliau berdua pun sangat sering terlihat bersama-sama, sampai-sampai Umm al-Mu’minin ‘Aisyah RA berkata, “Sungguh beliau, Nabi ﷺ, senantiasa mendatangi mereka yakni rumah Abu Bakar baik di pagi hari, maupun sore hari.” Di samping itu, terdapat hadis sahih pula yang menyatakan, “Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling pandai membaca (aqra’) Kitab Allah.” Dan bukankah Sahabat Abu Bakarlah yang ditunjuk Nabi ﷺ saat beliau sakit untuk menggantikannya sebagai imam salat, ngimami kaum Muhajirin dan Anshar? Ini menunjukkan bahwa beliau adalah Sahabat terpandai yang membaca Al-Qur’an (aqra’uhum).
Catatan
1. Hadis Nabi ﷺ dan pernyataan Anas bin Malik رضي الله عنه yang dikutip pada sub-judul “Hadis Nabi” di atas dapat ditemukan dalam Shahih al-Bukhari, Kitab Fadha’il al-Qur’an, Bab al-Qurra’ min Ashhab al-Nabi Shalla Allah ‘Alaihi wa Sallam.
2. Yang dimaksud dengan al-Qurra’ ialah orang-orang yang masyhur dengan hafalan Al-Qur’an dan mendedikasikan diri untuk mengajarkannya (alladzina isytaharu bi hifdz al-Qur’an wa al-tashaddi li ta‘limihi).
3. Kabilah Aus dan Khazraj sama-sama tergolong kaum Anshar. Selama berpuluh-puluh tahun sejak nenek moyang mereka, kedua kabilah itu saling bersaing, unggul-unggulan, bahkan sering kali sampai berujung pertikaian. Barulah saat Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, sentimen kesukuan itu melebur, meski benih-benihnya masa ada.
4. Riwayat Ibn Jarir yang dikutip oleh Ibn Hajar di atas, diteliti lebih lanjut oleh Syu‘aib al-Arna’uth. Di bagian catatan kaki, beliau menuliskan komentar, yang kurang lebih bila diartikan berbunyi, “Demikian yang terdapat dalam teks-teks atau manuskrip-manuskrip asli. Kami tidak mendapati hadis (riwayat) ini di satupun kitab-kitab al-Thabari yang sampai kepada kami. Boleh jadi ia adalah kesalahan penulisan, sementara yang benar adalah al-Thabrani, karena riwayat ini terdapat di al-Mu‘jam al-Kabir (hadis nomor 3488) yang ia tulis.
5. Abu ‘Ubaid dalam karyanya yang berjudul Kitab al-Qira’at menyebut sahabat-sahabat Nabi ﷺ yang tergolong al-Qurra’. Dari kalangan Muhajirin, beliau menyebut 15 nama, yakni Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Sa‘d, Ibn Mas‘ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah, ‘Abd Allah bin al-Sa’ib, al-‘Ubadalah, ‘Aisyah, Hafshah dan Ummu Salamah. Sementara dari kalangan Anshar, beliau menyebut lima nama, yakni ‘Ubadah bin al-Shamit, Mu‘adz yang ber-kunyah Abu Halimah, Mujamma‘ bin Jariyah, Fadhalah bin ‘Ubaid dan Maslamah bin Makhlad. Tetapi beliau menegaskan lebih lanjut bahwa sebagian dari mereka itu baru menyempurnakan hafalan Al-Qur’annya pasca Nabi ﷺ intaqala ila al-Rafiq al-A‘la. Adapun para sahabat yang masyhur dikenal sebagai para pengajar Al-Qur’an (al-musytahirun bi iqra’ al-Qur’an), ada tujuh yaitu ‘Utsman, ‘Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas‘ud, Abu al-Darda’ dan Abu Musa al-Asy‘ari, sebagaimana disebut oleh al-Dzahabi dalam Thabaqat al-Qurra’-nya.
Sumber Rujukan:
1. Abi ‘Abd Allah Muhammad b. Isma‘il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 2002), 1278-1279.
2. Nur al-Din ‘Itr, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim (Damaskus: Mathba‘ah al-Shabah, 1993), 162-163.
3. Syihab al-Din Abi al-‘Abbas Ahmad b. Muhammad al-Syafi‘i al-Qustullani, Irsyad al-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), Vol. 11, 276.
4. Al-Sayyid Muhammad b. ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1986), 25-28.
5. Yusuf b. Isma‘il al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyyah min al-Mawahib al-Laduniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), 52.
6. Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Salam, 2013), Vol. 1, 192-195.
7. Syihab al-Din Ahmad b. ‘Ali b. Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, (Syu‘aib al-Arna’uth dkk (ed.) (Damaskus: al-Risalah al-‘Alamiyyah, 2013), Vol. 15, 103.
Referensi : https://nursyamcentre.com/artikel/daras_tafsir/mengenal_para_perawi_dan_penghafal_alquran_bagian_satu
Nah pada kesempatan kali ini, mari mengenal lebih dekat para sahabat al-musytahirun bi iqra’ al-Qur’an tersebut. Semoga kita memperoleh curahan rahmat dan keberkahannya. Allahuma Amin.
1. ‘Utsman bin ‘Affan رضي الله عنه
Nama lengkap beliau adalah ‘Utsman bin ‘Affan bin Abi al-‘Ash bin Umayyah bin ‘Abd Syams bin ‘Abd Manaf bin Qushay, Abu ‘Abd Allah dan Abu ‘Amr al-Qurasyi al-Umawiy. Dengan demikian, nasab beliau bersambung dengan Nabi ﷺ di Eyang Wareng beliau, ‘Abd Manaf. Beliau termasuk al-Sabiqun al-Awwalun dan berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an pada masa Nabi ﷺ. Di antara gelar kehormatan yang beliau sandang ialah Dzur al-Nurain (pemilik dua cahaya), karena beliau menikahi dua putri Nabi ﷺ, yakni Ruqayyah dan Ummu Kultsum.
Terkait perangai Sayyidina ‘Utsman, Ibn al-Jazari menyebutkan bahwa tinggi beliau proporsional (mu‘tadil al-thul), jenggotnya tebal, bahunya lebar (bidang), kulitnya coklat kekuning-kuningan dan tampan. Lebih lanjut, beliau enam tahun lebih muda dari Nabi ﷺ. Cerita tentang detik-detik wafatnya begitu masyhur, yang terjadi di hari Rabu menurut pendapat lain hari Jum‘at ba‘da Ashar, 18 Dzul Hijjah 35 H, di usia 82 tahun.
Di antara tokoh-tokoh terkenal yang mengaji Al-Qur’an kepada Sayyidina ‘Utsman adalah :
1. al-Mughirah bin Syihab al-Makhzumi
2. Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami
3. Zurr bin Hubaisy
4. Abu al-Aswa al-Du’ali
Sedangkan para perawi yang meriwayatkan hadis dari beliau, cukup banyak, di antaranya :
1. Aban, ‘Amr, Sa‘id (ketiganya adalah putra beliau)
2. Humran bin Aban
3. Ibn ‘Abbas
4. ‘Abd Allah bin ‘Umar bin al-Khaththab
5. Anas bin Malik
6. al-Sa’ib bin Yazid
7. Abu Umamah bin Sahl
8. Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami
9. al-Ahnaf bin Qays
10. Thariq bin Syihah dan lain-lain.
2. ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه
Beliau adalah ‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abd al-Muththalib bin Hasyim, Abu al-Hasan, sepupu dan menantu Nabi ﷺ. Sama seperti Sayyidina ‘Utsman, beliau juga termasuk al-Sabiqun al-Awwalun. Terkait gelar al-Qurra’ yang disandangnya, Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang putra (Ibn al-Untsa) yang lebih pandai membaca Kitab Allah Ta‘ala (Al-Qur’an) dari pada ‘Ali.” Beliau, Sayyidina ‘Ali, menghafalkan Al-Qur’an sejak masa Nabi ﷺ. Namun, para ulama berbeda pendapat terkait waktu selesainya hafalan beliau, apakah saat Nabi ﷺ masih hidup atau pasca intaqala ila al-Rafiq al-A‘la. al-Sya‘bi misalnya, cenderung berpendapat yang terakhir disebutkan, tetapi pendapatnya itu segera ditepis oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy, “Salahlah orang yang berpendapat demikian.”
Di antara tokoh dari kalangan Tabi‘in yang menghafalkan Al-Qur’an di hadapan Sayyidina ‘Ali adalah
1. Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami
2. Abu al-Aswad al-Du’ali
3. ‘Abd al-Rahman bin Abi Layla
Umat Islam bersepakat bahwa beliau dibunuh oleh ‘Abd al-Rahman bin Muljam di pagi hari, 17 Ramadhan 40 H di Kufah, di usainya yang ke-85 informasi yang disebut terakhir ini disampaikan oleh putranya, al-Husein.
3. Ubay bin Ka‘ab رضي الله عنه
Nama lengkap beliau adalah Ubay bin Ka‘ab bin Qays bin ‘Ubaid bin Zaid bin Mu‘awiyah bin ‘Amr bin Malik bin al-Najjar, Abu al-Mundzir al-Anshari al-Madani. Sebelum masuk Islam, beliau termasuk salah satu pendeta Yahudi yang banyak membaca kitab-kitab terdahulu dan termasuk segilintir orang yang pandai membaca dan menulis di waktu itu sebagaimana yang kita ketahui, kemampuan baca-tulis saat itu jarang dikuasi oleh orang-orang Arab karena budaya mereka sangat mengandalkan hafalan. Saat masuk Islam, beliau diangkat oleh Nabi ﷺ sebagai salah satu sahabat yang bertugas mencatat wahyu (min kuttab al-wahyi).
Sayyidina Ubay bergelar Sayyid al-Qurra’, bahkan Ibn al-Jazari menambahkan bahwa beliaulah Aqra’u hadzihi al-ummah ‘ala al-ithlaq. Beliau menghafalkan Al-Qur’an dan berhasil mengkhatamkannya di masa Nabi ﷺ. Tidak hanya itu, pada beberapa kesempatan, Nabipun membacakan beberapa ayat/surah kepadanya sebagai bentuk bimbingan dan pengajaran. Kepakarannya di bidang pengajaran Al-Qur’an tak diragukan lagi, terbukti dari Sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (telah kita bahas pada kesempatan sebelumnya, sila rujuk ke sana).
Oleh karenanya, tidak heran bila murid-murid Sayyidina Ubay tidak hanya dari kalangan Tabi‘in, tetapi banyak pula dari kalangan Sahabat sendiri, seperti :
1. ‘Abd Allah bin ‘Abbas
2. Abu Hurairah
3. ‘Abd Allah bin al-Sa’ib
Sementara murid beliau dari kalangan Tabi‘in “
1. ‘Abd Allah bin ‘Ayyasy bin Abi Rabi‘ah
2. Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami
3. Abu al-‘Aliyah.
Meski para ulama sepakat bahwa beliau wafat di Madinah pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Utsman bin Affan, tetapi mereka berbeda pendapat terkait tahunnya; 19, 20, 23, 30, 32, 33 dan 35 H.
4. Zaid bin Tsabit رضي الله عنه
Nama lengkap beliau adalah Zaid bin Tsabit bin al-Dhahhak bin Zaid bin Lawdzan bin ‘Amr bin ‘Abd bin ‘Auf bi Ghanam bin Malik bin al-Najjar, Abu Kharijah dan Abu Sa‘id al-Anshari al-Khazraji. Sama seperti Sayyidina Ubay, beliau juga termasuk Kuttab al-Wahyi (para pencatat wahyu). Meski dilahirkan di Madinah, tetapi beliau tumbuh besar di Makkah. Saat Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, beliaupun turut menyertainya yang waktu masih berumur 11 tahun.
Kecerdasan Sayyidina Zaid diakui secara luas oleh para sahabat. Bahkan itu pula yang mengilhami Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina ‘Umar untuk menunjuknya sebagai ketua kodifikasi Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar. Demikian pula kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Sayyidina ‘Utsman, beliau bersama tiga sahabat yang lain yakni ‘Abd Allah bin al-Zubair, Sa‘id bin al-‘Ash dan ‘Abd al-Rahman bin al-Harits b. Hisyam terpilih sebagai komite yang merealisasikan tugas tersebut.
Di antara Sahabat dan Tabi‘in yang belajar Al-Qur’an kepada beliau adalah :
1. Abu Hurairah
2. Abdullah bin ‘Abbas
3. Abd Allah bin ‘Umar
4. Abu Sa‘id al-Khudriy
5. Anas bin Malik
6. Sahl bin Sa‘d
7. Abu Umamah bin Sahl
8. Marwan bin al-Hakam
9. Sa‘id bin al-Musayyab
10. Aban bin ‘Utsman.
Menurut pendapat yang sahih, beliau wafat pada tahun 45 H di usianya yang ke-54 tahun dan dimakamkan di Baqi‘.
5. Abd Allah bin Mas‘ud رضي الله عنه
Nama lengkap beliau adalah ‘Abd Allah b.in Mas‘ud bin al-Harits bin Ghafil bin Habib bin Syamukh bin Far bin Makhzum bin Shahilah bin Kahil bin al-Harits bin Tamim bin Sa‘d bin Hudzail bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar, ‘Abu ‘Abd al-Rahman al-Hudzali al-Makki. Beliau termasuk al-Sabiqun al-Awwalun dan pembantu Nabi ﷺ. Beliaulah yang menyiapkan tempat tidur, siwak, sandal dan air yang hendak digunakan bersuci oleh Nabi ﷺ.
Meskipun postur tubuh Sayyidina Ibn Mas‘ud cenderung pendek dan kurus, tetapi tidak ada yang meragukan kepakarannya di bidang pengajaran Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi ﷺ (sila rujuk pembahasan lalu). Beliau menghafalkan Al-Qur’an secara sempurna di masa Nabi ﷺ. Tidak hanya itu, beliaulah sahabat pertama yang membaca Al-Qur’an dengan suara lantang di Makkah sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Bacaan Al-Qur’an beliau begitu merdu, sangat tahqiq dan tartil. Tidak heran bila Nabi ﷺ pernah memintanya untuk membaca Al-Qur’an, sementara Nabi menyimaknya, sebagaimana yang tertera dalam riwayat yang masyhur itu.
Di antara Tabi‘in yang belajar Al-Qur’an kepada beliau adalah :
1. Alqamah bin Qays
2. al-Aswad bin Yazid al-Nakha‘I
3. Masruq bin al-Ajda‘
4. Ubaidah al-Salmani
5. Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami
6. Tamim bin Hadzlam
7. al-Harits bin Qays
8. Zurr bin Hubaisy
9. Ubaid bin Qays
10. Ubaid bin Nadhlah
11. Amr bin Syurahbil Abu ‘Umar al-Syaibani
12. Zaid bin Wahab.
Beliau wafat di Madinah tahun 32 H, di usianya yang ke-60 sekian tahun, dan dimakamkan di Baqi‘.
6. Abu al-Darda’ رضي الله عنه
Nama asli dan lengkap beliau adalah ‘Uwaimir bin Zaid ada tiga pendapat lain terkait nama ayahnya, yakni ‘Abd Allah, Ta‘labah dan ‘Amir bin Ghanam, Abu al-Darda’ al-Anshari al-Khazraji. Beliau bergelar Hakim al-Ummah dan tidak ada satupun ulama yang meragukan bahwa beliau termasuk sahabat yang berhasil menghafal Al-Qur’an pada masa Nabi. Di antara Tabi‘in yang belajar Al-Qur’an kepada beliau adalah :
1. Abd Allah bin ‘Amir al-Yahshubi
2. Khulaid bin Sa‘d
3. Rasyid bin Sa‘d
4. Khalid bin Ma‘dan.
Di samping itu, banyak pula sahabat yang meriwayatkan hadis dari beliau, seperti :
1. Anas bin Malik
2. Ibn ‘Abbas
3. Abu Umamah
4. Abd Allah bin ‘Amr bin al-‘Ash.
Sayyidina Abu al-Darda’ memiliki kedudukan terhormat, baik dari kalangan Sahabat maupun Tabi‘in. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan-ungkapan mereka, antara lain sebagai berikut:
Abu Dzar berkata, “Khadhra’ (nama sebuah daerah) tidak mendapati orang yang lebih alim dari pada engkau, wahai Abu al-Darda’.”
Masruq berkata, “Saya mendapati ilmu para Sahabat berujung pada enam orang, yaitu ‘Umar, ‘Ali, Ubay, Zaid, Abu al-Darda’ dan Ibn Mas‘ud.”
al-Laits, seorang Tabi‘in masyhur dari seorang lelaki (anonim) berkata, “Saya melihat Abu al-Darda’ masuk masjid Nabi ﷺ bersama para pengikutnya bagaikan seorang raja. Di antara mereka, ada yang bertanya tentang faridhah, ada yang bertanya tentang hisab, ada yang bertanya tentang hadis, ada yang bertanya tentang mudhallah dan ada pula yang bertanya tentang syair.” beliau wafat pada tahun 32 H.
7. Abu Musa al-Asy‘ari رضي الله عنه
Nama asli dan lengkap beliau adalah ‘Abd Allah bin Qays bin Salim bin Hadhar, Abu Musa al-Asy‘ari al-Yamani. Beliau menghafal Al-Qur’an dan berhasil mengkhatamkannya pada masa Nabi ﷺ. Meskipun masa mulazamah beliau dengan Nabi ﷺ tergolong pendek/singkat, akan tetapi beliau termasuk sahabat yang cerdas dan bersuara merdu. Terbukti, saat Nabi ﷺ mendengar beliau membaca Al-Qur’an, Nabi bersabda, “Sungguh orang ini dianugerahi satu mizmar dari sekian mizmar keluarga Dawud.”
Di antara Tabi‘in yang belajar Al-Qur’an kepada beliau adalah :
1. Abu Raja’ al-‘Atharidi
2. Hathan al-Raqasyi.
Sementara itu, banyak pula Sahabat dan Tabi‘in yang meriwayatkan hadis dari beliau, seperti :
1. Buraidah bin al-Hushaib
2. Abu Umamah al-Bahili
3. Abu Sa‘id al-Khudriy
4. Anas bin Malik
5. Thariq bin Syihab
6. Sa‘id bin al-Musayyab
7. al-Aswad bin Yazid, dan lain-lain.
Beliau wafat pada bulan Dzul Hijjah, 44 H.
Sumber Rujukan
1. Abi al-Khair Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Jazari al-Dimasyqi al-Syafi‘i, Ghayat al-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), Vol. 1, 34-35, 269, 396, 409-410, 450, 483, 535.
2. Al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1986), 28-29.
3. Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Salam, 2013), Vol. 1, 164, 195-197.
4. Khair al-Din al-Zirikli, al-A‘lam: Qamus Tarajim li Asyhar al-Rijal wa al-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyriqin (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002), Vol. 1, 82; Vol. 3, 57, Vol. 4, 210.
5. Muhammad Salim Muhaisin, Mu‘jam Huffazh al-Qur’an ‘Abr al-Tarikh (Beirut: Dar al-Jil, 1992), 18-20, 232-235, 253-256, 395-397, 422-424, 450-452, 570-573.
6. Shafwan ‘Adnan Dawudi, Zaid b. Tsabit: Katib al-Wahy wa Jami‘ al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), 207.
7. Syams al-Din Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabi, Ma‘rifat al-Qurra’ al-Kibar ‘ala al-Thabaqat wa al-A‘shar (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1988), Vol. 1, 24-25, 25-28, 28-31, 32-36, 36-38, 39-40, 40-42.
Referensi https://nursyamcentre.com/artikel/daras_tafsir/mengenal_para_perawi_dan_penghafal_alquran_bagian_dua