Pelantikan Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه Sebagai Khalifah
Imam al-Bukhari berkata, “Telah berkata kepada kami Ibrahim bin Musa dia berkata, ‘Telah berkata kepada kami Hisyam dari Ma’mar dari az-Zuhri, dia berkata, ‘Telah berkata kepadaku Anas bin Malik bahwa dia mendengar pidato terakhir Umar ketika duduk di mimbar satu hari setelah Rasulullah ﷺ wafat, sementara Abu Bakar duduk dan diam. Umar berkata, ‘Aku berharap agar Rasulullah ﷺ diberi umur yang panjang hingga menjadi orang yang paling terakhir di antara kita maksudnya agar Rasulullah ﷺ yang terakhir diwafatkan setelah seluruh sahabat wafat kini beliau telah wafat, namun Allah telah menjadikan di hadapan kita cahaya petunjuk yang telah diberikannya kepada Muhammad, selanjutnya Abu Bakar adalah Sahabat Rasulullah ﷺ. Ketika mereka berdua berada dalam gua. Beliaulah yang paling pantas menjadi pimpinan segala urusan kalian, maka berdirilah dan bai’atlah dia,’sebelumnya sebagian dari kaum muslimin telah membaitnya ketika berada di Saqifah Bani Sa’idah- namun bai’at secara umum baru terlaksana dalam masjid di atas mimbar.”
1. PIDATO PELANTIKANNYA
Az-Zuhri berkata, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata, ‘Aku mendengar Umar berkata pada hari itu kepada Abu Bakar, ‘Naiklah ke atas mimbar,’ maka iapun terus menuntut hingga Abu Bakar akhirnya naik ke atas mimbar dan dibai’at oleh seluruh kaum muslimin. Muhammad Ibnu Ishaq berkata Telah berkata kepadaku az-Zuhri dia berkata, ‘Telah berkata kepadaku Anas bin Malik, dia berkata, ‘Ketika Abu Bakar dibai’at di Saqifah, keesokan harinya ia duduk di atas mimbar sedang Umar berdiri disampingnya memulai pembicaran sebelum Abu Bakar berbicara. Umar mulai mengucapkan pujian terhadap Allah sebagai pemilik segala pujian dan sanjungan. Kemudian berkata, ‘Wahai saudara-saudara sekalian, aku telah katakan kepada kalian kemarin perkataan yang tidak kudapati dalam Kitabullah, dan tidak pula pernah diberikan Rasulullah padaku. Aku berpikiran bahwa pastilah Rasulullah ﷺ akan hidup dan terus mengatur urusan kita -maksudnya bahwa Rasulullah ﷺ akan wafat belakangan setelah para sahabat wafat, dan sesungguhnya Allah telah meninggalkan untuk kita kitabNya yang membimbing Rasulullah ﷺ maka jika kalian berpegang teguh dengannya Allah pasti akan membimbing kalian sebagaimana Allah telah membimbing NabiNya. Dan sesungguhnya Allah telah mengumpulkan seluruh urusan kita di bawah pimpinan orang yang terbaik dari kalian. Ia adalah sahabat Rasulullah ﷺ dan orang yang kedua ketika ia dan Rasulullah ﷺ bersembunyi di dalam gua. Maka berdirilah kalian dan berikanlah bai’at kalian kepadanya.’ Maka orang-orang segera membai’at Abu Bakar secara umum setelah sebelumnya di bai’at di Saqifah.
Selepas dibai’at Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, para hadirin sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik, maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhinatan. Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian tersebar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian.’[93] Sanad ini shahih, adapun ungkapannya, ‘Sesungguhnya Aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik’ adalah bagian dari ketawadhu’an beliau. Sebab mereka seluruhnya sepakat bahwa beliaulah yang terbaik dan termulia.”
2. BAI’AT ALI BIN ABI THALIB DAN AZ-ZUBAIR رضي الله TERHADAP ABU BAKAR رضي الله عنه
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, “Kami diberitahukan oleh Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Hafizh al-Isfirayini, dia berkata, telah berkata kepada kami Abu Ali al-Husain bin Ali al-Hafizh, dia berkata, telah berkata kepada kami Abu Bakar Muhammad Ibnu Ishaq bin Khuzaimah, dan Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata, telah berkata kepada kami Bandar bin Bassyar, [94] telah berkata kepada kami Abu Hisyam al-Makhzumi, dia berkata, telah berkata kepada kami Wuhaib, dia berkata, telah berkata kepada kami Dawud bin Abi Hind, dia berkata,’ Kami diberitakan dari Abu Yadhrah dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata, ‘Ketika Rasulullah ﷺ wafat, orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah. Sementara di tengah mereka hadir Abu Bakar dan Umar. Maka seorang pembicara berdiri dari kalangan Anshar sambil berkata, ‘Tahukah kalian bahwa Rasulullah ﷺ dari golongan Muhajirin, dan penggantinya dari kaum Muhajirin juga, sedangkan kami adalah penolong Rasulullah ﷺ sekaligus penolong orang yang menggantikan posisinya, maka berdirilah Umar dan berkata, ‘Sesungguhnya pembicara kalian benar! Jika kalian katakan selain itu, maka kami tidak akan membai’at kalian, lalu Umar segera meraih tangán Abu Bakar sambil berkata, Inilah pemimpin kalian, bait’atlah dia!’ Umar mulai membai’atnya lalu diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar.
Setelah itu Abu Bakar naik ke atas mimbar, kemudian ia mencari az-Zubair diantara kaum muslimin namun tidak menemukannya. Maka seseorang perintahkan untuk memanggil Zubair. Tak lama kemudian Zubair datang menghadapnya. Abu Bakar berkata, ‘Wahai pengawal dan sepupu Rasulullah ﷺ, apakah kamu ingin memecah belah persatuan kaum muslimin?’ az-Zubair menjawab, ‘Janganlah engkau menghukumku wahai khalifah Rasul!’ Az-Zubair segera berdiri dan membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak pula melihat Ali, maka beliau perintahkan agar memanggil Ali. Tak lama kemudian Ali datang. Abu Bakar berkata padanya, ‘Wahai sepupu Rasulullah ﷺ dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah persatuan kaum muslimin?’ Ali menjawab, ‘Tidak, janganlah engkau menghukumku wahai Khalifah Rasulullah ﷺ!’ Maka Ali segera membai’atnya. Begitulah yang sebenarnya terjadi dan seperti itulah kira-kira maknanya.” [95]
Abu Ali al-Hafizh berkata,”Aku mendengar Muhammad Ibnu Ishaq bin Khuzaimah berkata, Muslim bin Hajjaj datang kepadaku menanyakan perihal hadits ini, maka aku tuliskan hadits ini dalam sebuah kertas kemudian aku bacakan untuknya, maka dia berkata, ‘Hadits ini senilai dengan satu ekor unta?’ Kujawab, ‘Seekor unta? Tidak! bahkan hadits ini senilai dengan badrah (7000 dinar).” [96]
Ali bin ‘Ashim meriwayatkan dari jalur al-Jurairi, dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id al-Khudri, kemudian dia menyebutkan kisah yang semakna dengan di atas. Sanad ini shahih dari hadits Abu Nadhrah al-Munzir bin Malik bin Quta’ah, dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan al-Khudri. [97]
CATATAN: PENTING
Dalam riwayat ini banyak sekali manfaat besar yang dapat dipetik di antaranya, tentang bai’at Ali terhadap Abu Bakar. Kejadian ini terjadi di hari pertama ataupun di hari kedua setelah Rasulullah ﷺ wafat. Itulah pendapat yang benar, sebab Ali bin Abi Thalib tidak pernah berpisah dengan Abu Bakar ashShiddiq ra. sesaatpun, dan Ali sendiri tidak pernah berhenti shalat di belakangnya. Sebagaimana yang akan kami sebutkan nanti. Bahkan Ali turut keluar bersamanya menuju Dzul Qashshah ketika Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menghunus pedangnya ingin menumpas orang-orang yang murtad, sebagaimana yang kelak akan kami terangkan.
Namun karena Fathimah sedikit kesal terhadap Abu Bakar disebabkan persepsinya yang salah mengenai warisan Rasulullah ﷺ, ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Kami tidak mewarisi apa-apa, dan apa yang kutinggalkan adalah sedekah” Oleh karena itu Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Tidak memberikan warisan Rasulullah saw. kepadanya, kepada para istrinya maupun paman-pamannya berdasarkan hadits yang jelas ini, sebagaimana kelak akan kami terangkan pada waktunya.
3. Fatimah ingin Warisan Rasulullah ﷺ
Fathimah memohon padanya agar Ali dapat mengurus tanah Rasulullah ﷺ yang berada di Khaibar dan di Fadak, namun Abu Bakar tidak mengabulkan permintaannya, sebab dia berpendapat bahwa di atas pundaknyalah kewajiban mengurus seluruh tanah milik Rasulullah ﷺ Abu Bakar adalah orang yang jujur, baik, mendapat petunjuk, dan selalu mengikuti kebenaran. Akhirnya muncul dari dalam diri Fathimah rasa marah dan kesal ter-hadapnya apalagi Fathimah adalah seorang wanita yang tidak ma’shum wajar jika ia memboikot Abu Bakar ash-Shiddiq ra. hingga wafat. Oleh karena itu Ali berusaha menjaga perasaan istrinya dengan berbuat apa-apa yang dianggap dapat menyenangkannya. Namun ketika Fathimah wafat persis enam bulan sejak wafatnya Rasulullah ﷺ, Ali memandang perlu memperbaharui bai’atnya terhadap Abu Bakar, sebagaimana yang kelak akan kita sebutkan dalam Shahihain dan kitab-kitab lain-lainnya insya Allah. Walaupun sebelum-nya Ali telah membai’at Abu Bakar sebelum Rasulullah ﷺ dimakamkan.
Hal tersebut menguatkan kebenaran perkataan Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazinya dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, Telah berkata kepadaku bapakku, bahwa bapaknya Abdurrhman bin Auf- pernah bersama Umar dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair, kemudian Abu Bakar berpidato dan memohon maaf dari para hadirin sambil berkata, Sesungguhnya aku tidak pernah berambisi untuk menjadi pemimpin baik siang maupun malam. Dan aku tidak pernah pula meminta hal tersebut baik sembunyi-sembunyi maupun terang terangan.”
Maka orang-orang Muhajirin menerima perkataannya. Ali dan Zubair berkata, “Kami tidak merasa marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah pemilihan kalian, tetapi kami tetap berpandangan bahwa Abu Bakarlah yang paling pantas menjadi pemimpin. Dialah orang yang menemani Rasulullah ﷺ bersembunyi di dalam gua. Kita telah mengetahui kemulian dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan Rasulullah ﷺ Untuk menjadi imam shalat manusia ketika Rasulullah ﷺ hidup.” Sanad ini dinilai baik, Alhamdulillah Rabb al-Alamin.
4. IJMA’ SAHABAT UNTUK MEMILIH ABU BAKAR SEBAGAI KHALIFAH DAN PEMBAIATAN BELIAU TANPA ADANYA NASH
Barangsiapa memperhatikan apa yang telah kami sebutkan, maka akan terlihat jelas ijma’ (kesepakatan) sahabat dari kalangan Muhajirin maupun Anshar untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah. Semakin jelas pula maksud sabda Rasulullah ﷺ. “Allah dan kaum mukminin enggan menerima kecuali Abu Bakar”, akan semakin jelas baginya bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah menulis secara langsung dalam bentuk teks siapa yang menggantikan beliau setelah beliau wafat Baik Abu Bakar, sebagaimana anggapan sebagian Ahlus Sunnah, maupun pula Ali, sebagaimana anggapan kaum Syi’ah Rafidhah. Namun Rasulullah ﷺ telah memberikan isyarat kuat untuk memilih Abu Bakar. Hal itu akan dapat dipahami dengan mudah oleh seluruh orang berakal. Sebagaimana yang telah kami kemukakan, Alhamdulillah.
5. Dalil yang Menunjukkan Bahwa Rasulullah ﷺ. Tidak Menunjuk Seorangpun Sebagai Khalifah Sepeninggal Beliau [98]
1. Disebutkan dalam kitab Shahiliain dari hadits Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Ibnu Umar, Ketika Umar bin al-Khaththab ditikam, ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Tidakkah engkau menunjuk penggan-timu wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Jika aku memilih penggantiku sebagai khalifah maka sesungguhnya hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Abu Bakar. Dan jika aku tidak menunjuk pengganti, maka hal itu telah dilakukan juga oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Rasulullah ﷺ.” Ibnu Umar berkata, “Maka ketika itu aku ketahui bahwa Rasulullah ﷺTidak pernah menunjuk penggantinya.” [99]
2. Sufyan ats-Tsauri berkata, Aswad bin Qais meriwayatkan dari Amru bin Sufyan, dia berkata, “Ketika Ali menang dalam perang Jamal, beliau ber-pidato, ‘Wahai sekalian manusia sesungguhnya Rasulullah ﷺ tidak pernah menjanjikan kepada kami untuk mendapatkan jabatan ini sama sekali. Kami sepakat bahwa Abu Bakarlah yang pantas menggantikan beliau. Dan ternyata beliau dapat menjalankan kepemimpinannya dengan baik hingga beliau wafat. Kemudian menurut Abu Bakar, Umarlah yang lebih layak, maka beliau memilih Umar. Dan ternyata Umar juga dapat menjalankan amanah dengan istiqomah hingga beliau wafat atau dia berkata- hingga beliau dapat mene-gakkan agama’. [100]
3. Imam Ahmad berkata, “Telah berkata kepada kami Abu Nuaim, dia berkata, telah berkata kepada kami Syuraik dari al-Aswad bin Qais dari Amru bin Sufyan, dia berkata, ‘Seorang lelaki berkhutbah di Basrah ketika Ali menang. Maka Ali berkata, ‘Khathib ini as-syahsyah (berbicara tidak berle-bihan) [101] sesungguhnya Rasulullah ﷺ. terdahulu memimpin, kemudian datang setelah beliau Abu Bakar dan yang ketiga adalah Umar. Setelah mereka, gelombang fitnah datang menerpa kita menurut apa yang telah dikehendaki oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ.” .
4. Al-Hafizh al-Baihaqi berkata, “Telah berkata kepada kami Abu Abdullah Al-Hafizh, dia berkata, telah berkata kepada kami Abu Bakar Muhamad bin Ahmad al-Mazki di Marwa, dia berkata, telah berkata kepada kami Abdullah bin Rauh al-Madaini, dia berkata, telah berkata kepada kami Syabbabah bin Sawwar, dia berkata, telah berkata kepada kami Syu’aib bin Maimun dari Husein bin Abdurrahman, dari as-Sya’bi dari Abu Wa’il, dia berkata, ‘Pernah ditanyakan kepada Ali bin Abi Thalib,’Apakah engkau tidak memilih penggantimu untuk kami?’ Beliau menjawab, ‘Rasulullah ﷺ tidak pernah memilih penggantinya, kenapa aku harus memilih? Namun jika Allah ingin kebaikan untuk manusia, Dia pasti akan mengumpulkan segala urusan mereka di bawah pimpinan orang yang terbaik dari mereka sebagai-mana Allah telah memilih pemimpin terbaik setelah Rasulullah ﷺ dari orang yang terbaik di antara mereka [102]’ Sanadnya baik namun mereka tidak mengeluarkannya.”
5. Yaitu yang disebutkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits az-Zuhri dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik dari Ibnu Abbas, “Ketika Abbas dan Ali keluar dari sisi Rasulullah ﷺ ada yang bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana keadaan Rasulullah ﷺ?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah kondisi beliau lebih baik,’ namun Abbas berkata, ‘Sesungguhnya engkau keliru, aku benar-benar mengetahui wajahwajah Bani Hasyim jika akan meninggal, aku benar-benar melihat dari wajah Rasulullah ﷺ yang menandakan bahwa beliau akan meninggal. Maka mari kita pergi dan bertanya kepada beliau siapa yang kelak menjadi penggantinya. Jika kelak penggantinya dari kita maka kita akan mengetahuinya. Dan jika ternyata kelak kepemimpinan tersebut bukan milik kita. maka kita dapat menyuruh orang tersebut dan Rasulullah ﷺ bisa berwasiat padanya untuk menjaga kita.’ Maka Ali berkata, ‘Aku tidak akan menanyakan hal itu kepada beliau! Demi Allah jika beliau tidak memberikan kepemimpinan kepada kita, mustahil manusia akan mengangkat kita selama-lamanya setelah beliau wafat.’ Kisah ini diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Ishaq dari az-Zuhri dengan makna yang sama. Dan dalam riwayat ini disebutkan, ‘Maka keduanva masuk menemui Rasulullah ﷺ. Ketika beliau akan meninggal, di akhir riwayat disebutkan, ‘Wafatlah Rasulullah ﷺ pada waktu Dhuha setelah matahari meninggi pada hari itu’.” [103]
Ibnu Katsir berkata, “Peristiwa itu terjadi pada hari Senin yaitu pada hari wafatnya Rasulullah ﷺ. Dan ini menunjukkan bahwa ketika beliau wafat beliau tidak meninggalkan wasiat siapa yang menjadi pemimpin setelah beliau.”
Dalam kitab Shahihain diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa petaka terbesar terjadi ketika ada yang berusaha menghalangi keinginan Rasulullah ﷺ. Untuk menuliskan sebuah wasiat. Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa beliau minta agar seseorang menuliskan untuknya sebuah wasiat agar mereka tidak tersesat setelah wafatnya. Namun ketika banyak suara-suara yang saling berselisih antara pro dan kontra di sisi Rasulullah ﷺ maka beliau berkata, “Berdirilah kalian tinggalkan aku, sesungguhnya apa yang aku lakukan lebih baik daripada apa yang kalian serukan. “Telah kita sebutkan sebelumnya bahwa setelah itu beliau berkata, “Allah dan kaum mukminin tidak rela kecuali kepada Abu Bakar.” [104]
Dalam kitab Shahihain diriwayatkan dari hadits Abdullah bin Aun dari Ibrahim at-Taimi dari al-Aswad, dia berkata, “Ditanyakan kepada ‘Aisyah ra., mengenai perkataan orang-orang yang menerangkan bahwa Rasulullah ﷺ. Telah memberikan wasiat kepada Ali (untuk menjadi Khalifah) maka ia berkata, ‘Apa yang diwasiatkan Rasulullah ﷺ kepada Ali?’ ‘Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا menjawab, ‘Beliau (Rasulullah ﷺ) menyuruh agar bejana tempat buang air kecil dibawakan, kemudian ia bersandar dan akulah yang menjadi tempat sandarannya, tak lama kepala beliau terkulai jatuh dan ternyata beliau telah wafat tanpa aku ketahui.’ Jadi bagaimana mungkin orang-orang itu mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ memberikan wasiat kepada Ali?” [105]
Dalam kitab diriwayatkan dari hadits al-A’masy dari Ibrahim at-Taimi dari ayahnya, dia berkata, “Ali bin Abi Thalib berpidato di hadapan kami dan berkata, ‘Barangsiapa menganggap bahwa kami memiliki sesuatu wasiat (dari Rasulullah ﷺ) selain Kitabullah dan apa yang terdapat dalam sahifah -secarik kertas yang tersimpan dalam sarung pedangnya berisi tentang umur unta dan diyat tindakan criminal maka sesungguhnya dia telah berkata dusta! Dan di antara sahifah itu disebutkan sabda Rasulullah ﷺ. ‘Madinah adalah tanah suci antara gunung ‘Ir dan Tsaur [106], maka barangsiapa membuat sesuatu yang baharu atau melindungi orang tersebut maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima dari-nya sedikitpun tebusan. Dan barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya ataupun menisbatkan dirinya kepada selain maulanya (tuannya) maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya sedikitpun tebusan, dan sesungguhnya dzimmah (jaminan keamanan yang diberikan kaum muslimin terhadap orang kafir) adalah satu. Maka barangsiapa merusak dzimmah seorang mukmin maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya sedikitpuntebusan maupun suapan’. [107]
6. Bantahan Terhadap Kaum Syi’ah Rafidhah tentang khalifah
Hadits dari Ali yang terdapat dalam kitab Shahihain maupun dalam kitab lainnya merupakan bantahan telak terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang beranggapan bahwa Rasulullah ﷺ telah mewasiatkan urusan kekhalifahan kepada dirinya. Jika benar apa yang mereka klaim pastilah tidak satupun sahabat berani menolak wasiat tersebut, sebab mereka adalah generasi yang paling patuh terhadap Allah dan RasulNya, baik ketika Rasul hidup maupun setelah beliau wafat. Dan sangat mustahil jika mereka berani mengubah wasiat Rasulullah ﷺ dengan memajukan calon yang tak pernah dipilih oleh beliau. Atau sebaliknya, mengenyampingkan orang yang beliau tunjuk. Mustahil hal ini mereka lakukan, dan barangsiapa menganggap para sahabat berbuat demikian berarti ia telah terang-terangan menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah fasik dan telah bersepakat membangkang perintah Rasulullah ﷺ dan menentang hukum serta wasiat beliau. Barangsiapa berani berbuat hal itu berarti dia telah melepaskan dirinya dari ikatan Islam. Dan secara ijma’ dihukumi kafir oleh seluruh ulama, bahkan darah mereka itu lebih halal lagi untuk ditumpahkan. Selanjutnya jika wasiat ini memang ada mengapa Ali tidak menjadikannva sebagai senjata untuk menghujat para sahabat bahwa beliaulah yang berhak mengemban urusan kekhalifahan? Jika ternyata beliau tidak dapat menjalankan wasiat tersebut maka beliau dianggap lemah. Dan seorang yang lemah tidak pantas menjadi pemimpin (khalifah). Dan jika ternyata beliau mampu, tetapi tidak melaksanakannya berarti beliau seorang penghianat. Dan seorang penghianat adalah fasik yang harus disingkirkan dari kursi kekhalifahan. Dan jika ternyata beliau tidak tahu bahwa wasiat tersebut memang ada, maka berarti beliau adalah seorang yang jahil. Lalu bagaimana pula jika beliau sendiri tidak tahu sementara orang yang datang setelahnya mengetahui hal ini? Bukankah ini suatu perkara yang mustahil dan dusta yang dibarengi dengan kebodohan dan kesesatan?
Oleh karena itu anggapan seperti ini hanya dapat diterima oleh benak-benak orang yang jahil dan tertipu dengan diri mereka sendiri. Anggapan yang telah dihiasi oleh tipu muslihat syetan tanpa dalil maupun keterangan yang nyata. Hanyalah bualan dan omong kosong yang penuh kedustaan semoga kita dilindungi oleh Allah dari kebodohan mereka yang penuh dengan kehinaan dan kekafiranhanya kepada Allah sajalah kita berserah diri agar selalu diberi bimbingan untuk selalu berpegang teguh dengan as-Sunnah dan al-Qur’an dan diwafatkan di atas Islam dan imán serta diwafatkan dalam keteguhan dan keyakinan. Kemudian kita berharap agar timbangan amal kita diberatkan, diselamatkan dari api Neraka, dan berbahagia masuk ke dalam surga yang dijanjikan Allah. Sesugguhnya Dia Maha Pemberi, Pengasih dan Penyayang.
7. Bantahan Terhadap Para Pengikut Tarekat dan Tukang Dongeng
Hadits Ali yang terdapat dalam kitab shahihain di atas sekaligus merupakan bantahan terhadap prasangka-prasangka dusta para pengikut tarekat dan tukang dongeng yang jahil. Mereka beranggapan bahwa Nabi ﷺ mewasiatkan banyak perkara kepada Ali bin Abi Thalib yang mereka sebutkan dengan panjang lebar dengan bohong seolah-olah Nabi banyak berpesan kepada Ali, dengan ungkapan, “Wahai Ali lakukanlah ini dan itu! Dan jangan lakukan ini dan itu! Wahai Ali yang berbuat begini maka baginya ganjaran sebesar ini…” dan seterusnya dengan menggunakan lafazh yang sangat kacau balau ditambah lagi kandungan makna yang aneh dan penuh kebodohan. Pada hakikatnya hanya mengotori halaman saja, wallahu a’lam. [108]
8. SIKAP FATHIMAH رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا DAN ALI رضي الله عنه TERHADAP ABU BAKAR رضي الله عنه BERKENAAN WARISAN NABI ﷺ
Imam al-Bukhari berkata, Bab Perkataan Rasulullah ﷺ. Kami (para Nabi) tidak mewariskan, dan apapun yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Telah berkata kepada kami Abdullah bin Muhammad, dia berkata, telah berkata kepada kami Hisyam, dia berkata, telah berkata kepada kami Ma’mar dari az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah ra, bahwa Fathimah dan Abbas pernah mendatangi Abu Bakar untuk menuntut harta waris milik mereka yang ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ. Ketika itu mereka menuntut sebidang tanah milik Rasulullah ﷺ di Fadak dan jatah beliau di Khaibar, maka Abu Bakar berkata kepada keduanya, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Kami tidak mewariskan, dan apapun yang kami tinggalkan hakikatnya adalah sedekah, dan sesungguhnya keluarga Muhammad mendapatkan nafkah makan mereka dari hasil harta ini.’
Kemudian Abu Bakar melanjutkan perkataannya, ‘Demi Allah aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang aku lihat Rasulullah ﷺ. Mengerjakannya kecuali aku akan pula melakukannya!” Sejak itu Fathimah memboikotnya dan tidak berbicara dengannya hingga Fathimah wafat’. [109]
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam Shahihnya. kitab al- Maghazi’ [110]
Kemudian ia melanjutkan, “Ketika Fathimah meninggal, Ali mengubur-kannya pada malam hari tanpa memberitahukan berita ini kepada Abu Bakar setelah ia menshalatkannya. Ketika Fathimah masih hidup Ali masih sangat disegani karena kedudukan Fathimah. Namun ketika Fathimah wafat Ali mulai melihat banyak orang mulai mengingkari sikapnya terhadap Abu Bakar. Maka Ali segera mencari jalan untuk berdamai dengan Abu Bakar dan kembali membai’atnya. Setelah itu ia segera mengirim utusan kepada Abu Bakar agar beliau menemuinya tanpa membawa seseorangpun. Ali tidak senang jika Abu Bakar membawa Umar karena faham sikap umar yang keras- namun Umar berpesan kepada Abu Bakar.
Demi Allah, janganlah engkau mendatangi mereka sendiri!’ Abu Bakar menjawab pula, ‘Apa yang akan mereka lakukan terhadap diriku? Demi Allah aku akan mendatangi mereka! Maka berangkatlah Abu Bakar kemudian setelah mengucapkan Tasyahhdud Ali mulai berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mengetahui keutamaanmu dan apa yang Allah anugerahkan kepadamu. Dan sebenarnya kami tidak pernah merasa iri dengan kebaikan yang Allah limpahkan kepadamu. Namun engkau memaksakan kehendakmu kepada kami, sementara kami menganggap bahwa kami masih memiliki jatah dari harta warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ kepada kami karena hubungan kekerabatan kami dengan beliau.’ Ali masih terus berkatakata hingga Abu Bakar menangis dan berkata, ‘Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya! sesungguhnya kerabat Rasulullah ﷺ lebih aku cintai dan aku utamakan untuk lebih diperhatikan daripada kerabatku sendiri. Adapun perselisihan yang terjadi antara kami dan kalian dalam masalah harta warisan ini pada hakikatnya tidak pernah sedikitpun aku selewengkan dalam mengurusnya. Tidaklah segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ kecuali aku lakukan.’ Maka Ali berkata kepada Abu Bakar, ‘Aku berjanji malam ini akan membai’atmu kembali.’ Maka setelah melaksanakan shalat Zhuhur, Abu Bakar naik ke atas mimbar kemudian beliau berpidato setelah mengucapkan tasyahhud mengenai Ali dan sebab keterlambatannya memberi bai’at kepada dirinya lengkap dengan alasan yang melatarbelakanginya. Setelah itu Ali ganti naik ke atas mimbar dan setelah bertasyahud ia menyebutkan keutamaan Abu Bakar . keseniorannya dalam Islam sambil menyebutkan bahwa keterlambatan-nya dalam membai’at Abu Bakar bukan karena ingin menyainginya bukan pula karena mengingkari keutamaan yang diberikan Allah padanya. Setelah itu ia berdiri menuju Abu Bakar dan membai’atnya. Setelah itu orang ramai datang kepada Ali sambil mengucapkan, ‘ahsanta’ (sikapmu benar) sejak itu orang-orang kembali dekat kepada Ali setelah ia meralat sikapnya terdahulu.”
Bantahan Terhadap Syubhat
Dalam kasus ini kaum Syi’ah Rafidah banyak berbicara atas dasar kebodohan sambil mengada-ada perkara yang mereka tidak ketahui, bahkan mendustakan apa apa yang tidak mereka pahami ilmunya dan belum sampai kepada mereka bagaimana hakikat penafsiran yang benar dalam perkara ini. Mereka sibuk turut campur dalam hal-hal yang tidak layak mereka campuri. Bahkan sebagian dari mereka berupaya menolak hadits Abu Bakar yang kami sebutkan tadi dengan alasan bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.” (An-Naml: 16). Dan ayat lainnya yang berbunyi,
“Maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub, dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6). Padahal cara mereka beiistidlal (mengambil dalil) dianggap keliru karena beberapa alasan, [111]
Pertama, Firman Allah, “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.” (An-Naml: 16). Yakni mewarisi kerajaannya serta kenabiannya, artinya bahwa Kami (Allah) menjadikannya sebagai pengganti setelah Dawud, yakni sebagai raja yang mengatur seluruh rakyat dan sebagai hakim bagi bangsa Bani Israil. Kami jadikan ia sebagai Nabi yang mulia sebagaimana ayahnya. Sebagaimana ayahnya seorang Raja dan Nabi maka iapun dijadikan seperti itu pula. Bukan maksudnya di sini bahwa Sulaiman mewarisi harta ayahnya, sebab diriwayatkan bahwa Dawud memiliki anak yang banyak sekitar seratus orang, oleh karena itu jika makna dari mewarisi dalam ayat tadi adalah mewarisi harta kenapa hanya Sulaiman saja yang disebutkan sebagai pewaris ayahnya dari sekian banyak saudara-saudaranya. Karena itu makna dari kata mewarisi adalah mewarisi kerajaan dan kenabiannya setelah nabi Dawud wafat, karena itulah Allah berfirman, “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia berkata, ‘Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesua-tu. Sesungguhnya (semita) ini benar-benar suata kurnia yang nyata’.” (An-Naml: 16).
Dan ayat-ayat selanjutnya. Masalah ini telah kita bahas panjang lebar dalam kitab tafsir [112] dan saya anggap hal itu sudah cukup. Adapun kisah Zakaria alaihi sallam. sesunggunya beliau adalah seorang Nabi ‘yang mulia, sementara dunia dalam pandangannya sangat hina. Apalagi untuk meminta kepada Allah agar anaknya dapat mewarisi hartanya. Beliau hanyalah seorang pengrajin kayu dan makan dari hasil buah tangannya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari.[113] Dan beliau tidak pernah menyimpan makanan lebih dari keperluanya. Mustahil jika ia meminta kepada Allah agar diberikan anak yang dapat mewarisi hartanya, jika memang ia memiliki harta. Sebenarnya yang ia minta adalah anak shalih yang dapat mewarisi kenabiannya dan dapat melaksanakan apa-apa yang menjadi kemaslahatan bagi bangsa Bani Israil, dapat menunjuki mereka kepada jalan kebenaran, oleh karena itulah Allah menyebutkan, Kaaf Ha Yaa ‘Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tetang rahmat Rabb kamu kepada hamba-Nya Zakariya. yaitu tatkala ia berdo’a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut. Ia berkata,”Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Rabbku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub, dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 1-6).
Sampai akhir kisah. Ia berdoa, “Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub”, maksudnya mewarisi kenabian sebagaimana yang telah kami terangkan dalam kitab tafsir [114], bagi Allah segala pujian atas limpahan karuniaNya.
Dalam riwayat Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Abu Bakar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, Kata ‘Nabi’ di sini adalah isim jins yang mencakup seluruh Nabi, dan hadits ini dihasankan oleh at-Tirmidzi, [115] dalam hadits lain disebutkan, “Kami para Nabi tidak mewariskan.”
Kedua, Bahwasanya syariat Nabi Muhammad memiliki hukum-hukum tersendiri serta kekhususan yang tidak di miliki para nabi lainnya sebagaimana yang akan kami terangkan secara rinci kelak di akhir sirah beliau insya Allah, jika saja ditentukan bahwa para Nabi sebelumnya mewariskan hartanya kepada para anaknya dan tidak demikian hakikatnya maka seluruh yang diriwayatkan para sahabat seperti yang diriwayatkan keempat khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah penjelas mengenai kekhususan Rasulullah ﷺ dalam hal ini yang tidak dimiliki olah para nabi lainnya.
Ketiga, Wajib mengamalkan hadits ini dengan segala konsekwensinya sebagaimana yang diterapkan para khalifah, dan keshahihannya telah diakui oleh para ulama, baik hal ini merupakan kekhususan Nabi ataupun tidak. Sabda beliau, “Kami para Nabi tidak pernah mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” dari sisi lafazhnya memiliki dua makna, bisa bermakna khabar (informasi) tentang hukum yang berlaku bagi diri beliau dan bagi seluruh Nabi sebagaimana yang telah diterangkan. Itulah makna zhahirnya.
Dan bisa pula bermakna insya’ yaitu berupa wasiat beliau, seolah-olah beliau berkata, “Kami tidak meninggalkan warisan, sebab semua yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Maka seolah-olah beliau mengkhususkan seluruh harta yang beliau tinggalkan menjadi sedekah. Namun makna pertama lebih dekat, dan inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama. Walaupun makna yang kedua dapat juga diperkuat dengan hadits
Malik dan Iain-lain dari Abu Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Harta warisanku tidak dibagi-bagikan walaupun hanya satu dinar. Apa yang aku tinggalkan setelah nafkah istri-istriku dan gaji para pekerjaku adalah sedekah.” Lafazh ini dikeluarkan dalam kitab Shahihain [116] sekaligus bantahan terhadap penyelewengan orang-orang bodoh dari kelompok Syiah tentang lafaz, “matarakna sadaqoh” yang mereka barisi menjadi nasab ”sadaqoh” dengan menjadikan ”maa” sebagai maa nafiyah (bermakna penafian). Namun mereka tidak bisa mengakal-akali ungkapan Nabi ﷺ. (kami tidak mewariskan), ditambah lagi dengan lafazh hadits yang kita sebutkan ini, Apa yang kutinggalkan setelah nafkah istri-istriku dan gaji para pegawaiku adalah sedekah.” Penyelewengan lafazh ini persis sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Mu’tazilah bahwasanya salah seorang dari mereka membaca al-Qur’an di hadapan seorang syaikh dari kalangan Ahlus Sunnah,
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa\164). Tetapi dengan menashabkan Lafzhul Jalalah, maka syaikh tadi berkata keradanya, “Celakalah dirimu, bagaimana engkau membaca ayat dari firman Allah yang berbunyi,
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya).” (Al-A’raf: 143).
Kesimpulannya wajib mengamalkan sabda Nabi, ”Kami tidak mewariskan, dan apapun yang kami tinggalkan hakikatnya adalah sedekah.”
Bagaimanapun juga, lafazh dan maknanya tidak dapat dirubah. Oleh karena itu hadits ini mengkhususkan keumuman ayat al-Qur’an tentang pembagian harta warisan, yaitu kekhususan Nabi yang tidak dibagikan harta warisannya, baik dinyatakan bahwa hukum ini khusus untuk diri beliau ataupun juga berlaku umum bagi seluruh Nabi alaihi sallam.
9. Abu Bakar Minta Maaf Kepada Fathimah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا Sebelum Wafatnya
Al-Hafizh al-Baihaqi meriwayatkan dari asy-Sya’bi, dia berkata, “Ketika Fathimah sakit Abu Bakar datang menemuinya meminta kepadanya agar diberi izin masuk. Ali berkata padanya, ‘Wahai Fathimah, Abu Bakar datang minta izin agar diizinkan masuk?’ Fathimah bertanya, ‘Apakah engkau ingin agar aku memberikan izin baginya?” Ali berkata, ‘Ya ” Maka Abu Bakar masuk dan berusaha meminta maaf padanya, sambil berkata, ‘Demi Allah tidaklah aku tinggalkan seluruh rumahku, hartaku, keluarga dan kerabatku kecuali hanya mencari ridha Allah, ridha RasulNya dan ridha kalian wahai ahli bait. Abu Bakar masih terus menerus membujuk-nya hingga akhirnya Fathimah rela dan memaafkannya.’ [117] Sanad hadits ini baik dan kuat. Zhahirnya, Amir as-Sya’bi mendengar-nya langsung dari Ali, ataupun dari orang yang mendengarnya dari Ali ra.
10. ALI BIN ABI THALIB MEMPERBAHARUI BAI’AT ABU BAKAR SETELAH FATHIMAH رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا WAFAT
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i meriwayatkan dari jalur yang berbeda-beda dari az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah ra. tentang bai’at Ali terhadap Abu Bakar setelah wafat Fathimah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Bai’at ini terjadi sebagai bai’at penguat perdamaian antara keduanya, sekaligus bai’at kedua, yakni setelah kejadian di Saqifah sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan dishahihkan oleh Muslim bin al-Hajjaj. Jadi, Ali tidak pernah memisahkan diri dari Abu Bakar selama enam bulan pertama itu. la tetap shalat di belakang Abu Bakar dan turut menghadiri majlis permusyawaratannya. Dan ia juga pernah berangkat bersama Abu Bakar ke Dzul Qashshah sebagaimana kelak akan kita sebutkan.
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Abu Bakar mengimami shalat Ashar beberapa malam setelah Rasulullah ﷺ wafat, kemudian ia keluar dari masjid dan bertemu dengan al-Hasan bin Ali sedang bermain bersama anak-anak, maka Abu Bakar segera menggendongnya sembari berkata, “Sungguh sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip dengan Ali.” Sementara Ali tertawa melihatnya. [118]
Namun ketika terjadi bai’at yang kedua ini. Sebagian orang ada yang menganggap bahwa Ali belum membai’atnya sebelum bai’at kedua ini terjadi, sementara kaedah menyatakan bahwa al-mutsbit (orang yang membawa berita) lebih didahulukan daripada an-nafi (orang yang tidak membawa berita), wallahu a’lam.
Adapun kemarahan Fathimah terhadap Abu Bakar, aku tidak tahu kenapa? Jika dikatakan ia marah karena Abu Bakar telah menahan harta warisan yang ditinggalkan ayahnya, maka bukankah Abu Bakar memiliki alasan yang tepat atas tindakannya itu yang langsung diriwayatkannya dari ayahnya, “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Sementara Fathimah adalah orang yang tunduk terhadap ketentuan nash syar’i yang tidak ia ketahui sebelumnya. Bahkan hal ini pun tidak diketahui oleh istri-istri Rasulullah ﷺ sampai kemudian ‘Aisyah ra. mengabarkannya kepada mereka dan mereka sepakat menerimanya. Tidak layak kita anggap Fathimah curiga dengan hadits yang dibawakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra, mustahil hal itu terjadi dengannya. Apalagi hadits ini diterima oleh Umar bin al-Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidullah, az-Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abu Hurairah, ‘Aisyah ra. Walaupun hanya Abu Bakar seorang yang meriwayatkan hadits itu, wajib bagi seluruh kaum muslimin di atas muka bumi ini menerima dan mematuhinya. Jika kemarahan Fathimah disebabkan tuntutannya agar Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menyerahkan pengelolaan tanah yang dianggap sedekah dan bukan warisannya itu kepada Ali, maka abu Bakar juga memiliki alasan tersendiri bahwa sebagai pengganti Rasulullah ﷺ maka wajib baginya mengurus apa-apa yang diurus oleh Rasulullah ﷺ sebelumnya dan menangani seluruh yang ditangani oleh Rasulullah ﷺ. Oleh karena itulah ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang dilakukan oleh Rasulullah saw. semasa hidup beliau kecuali akan aku lakukan pula!” Oleh karena itulah Fathimah memboikotnya dan tidak berbicara dengannya hingga ia wafat.
Pemboikotan ini membuka pintu kerusakan yang besar bagi kelompok Syi’ah Rafidhah dan kejahilan yang panjang. Karena itu pula mereka banyak membuat permasalahan yang tidak berkesudahan. Andai saja mereka menge-tahui perkara yang sebenarnya pastilah mereka akan mengakui keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan menerima alasannya. Namun mereka tetap saja menjadi kelompok yang hina dan kotor, selalu berpegang kepada perkara mutasyabih (yang masih samar-samar) dan meninggalkan perkara perkara yang sudah muhkam (sudah jelas) yang disepakati oleh para ulama Islam baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in dan para ulama dari generasi setelah mereka di setiap zaman dan tempat.
Referensi :
[94] terdapat dalam naskah asli 5/248 adalah keliru dalam memberikan nama, dan perbaikan ini datang dari Sunan al-Baihaqi.
[95] Al-Hafizhh Ibnu Hajar menyebutkan kisah ¡ni dengan maknanya sebab dia semoga Allah merahmatinya menulis kisah ini dari hafalannya
[96] As-Sunan al-Kubra 8/ 143 kitab Qital Ahlu al-Baghyi, bab al-Aimmah min Quraisy. Dan lihat juga Taríkh Dimasyq 9/ 669. Redaksl yang terdapat pada Ibnu Katsir 5/249 beglni, “Hadits ini sama dengan satu ekor unta bahkan senilai badrah.” Dan perbaíkannya datang dari riwayat dalam Sunan al-Baihaqi. ‘.
[97] Dalam naskah asli al-Mundziri‘dan jelas ini adalah keliru
[98] Argumen-argumen ini disebutkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitabnya Dalail an-Nubuwwah, 7/ 221-230
[99] Shahih al-Bukhari, kitab al-Ahkam, bab al-Istikhlaf13/205 dari FathulBari, dan Muslim, kitab al-Imarat, bab al-lstikhlafwaTarkuhu 3/1445.
[100] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah 7/ 223
[101] Dalam naskah asli tertulis as-SaJsaj dan koreksi ini diambil dari Musnad Ahmad 2/ 358 no. 1255 Ahmad Syakir berkata, “Rlwayat Ini mursal.” Namun beliau menyebutkan jalan-jalan lain yang shahih sebagai pengkuat dalam Musnad no. 1107, 1206, 1258.
102 Sirrah Nubuwwah 7/223, dan Uqbah berkata, syahld (penguat hadits) dari Ali kemudian dia menyebutkan hadits datang dengan sanadnya
103 Hisyam 2/654
104 Telah disebutkan takhrijnya pada halaman terdahulu.
105 Shahih al-Bukhari, kitab al-Wasaya 5/ 356 dari FathulBan, dan Muslim, kitab al-Wasiyah hadits no. 1637
106 Ini adalah riwayat Muslim, dan dalam Shahih al-Bukhari disebutkan “Dari ‘Ir ke sini.” Sebagian orang bertanya-tanya mengenai pe-nyebutan Tsaur, sebab Tsaur berada di Makkah, Abu Ubaid berkata, kita mellhat bahwa asal hadits yaitu” apa yang terdapat antara ‘Ir sampai ke gunug Uhud, namun sebagian ulama menyebutkan bahwa kata Tsaur yang terdapat dalam hadits ¡ni nama sebuah gunung kecil yang dlkenal yang terletak di balik gunung Uhud dari arah utara. (sllahkan llhat Fathul Bari 4/82-83).
107 Al-Bukhari, kitab al-Jizyah wal muwada’ah bab zimrnah al-muslimin 6/ 273 dari Fathul Ban, dan Shahih Muslim kitab Hadits no 1370, Abu Dawud dalam al-Manasik2/216, dan Musnad Ahmad , Ahmad Syakir berkata, “Isnadnya Shahih
108 Al-Hafizh al-Baihaqi mengisyaratkan sebagiannya dalam kitab Dalail an-Nubuwwah 7/229 dan berkata, “Ini adalah hadits palsu dan bersumber dari riwayat Hammad bin Amru an-Nushabi, dan dia selalu memalsukan hadits.”
109 Al-Bukhari, kitab al-Faraidh 12/ 5 bersama FathulBarí, dan Fadak adalah sebuah kampung di samping Khaibar yang diberikan Allah kepada Rasulnya tanpa berperang, Mu’jam al-Buldan4/238
110 a!-Bukhari, kitab al-Maghazi, bab Ghazwatu Kha/bar7/493 dari Fathul Ban
111 Pengarang mnyebutkan secar lengkap mengenai masalah ini ketika dia berbicara mengenai Nabi Zakaria i’SP.
112 Tafsir Al-Qur’an Al-azhim, 6/ 192.
113 naskah aslinya, “Diriwayatkan oleh al-Bukhari,’tetapi aku tidak mendapatinya dalam kltab al-Bukhar¡ dan tidak pernah menyebutkannya dalam Tuhfatul AsyrafkecuaW datang dari riwayat Muslim dan Ibnu Majan 10/ 386. dan menyebutkan hadits ini ketika berbicara mengenai sejarah nabi Zakaria dalam kitabnya al-Bidayah wan nihayah dia menyebutkan hadits ini dari jalan Imam Ahmad kemudian berkata, “Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahih Muslim4/1847 dengan no.2379.
114 Tafsir al-Quran al-Azhim 5/207
115 Sunan at-Tirmidzi, kitab as-siyar, bab MaJa’a fi Tarikati Rasulillah, no. 1608 (4/157).
116 Bukhari, kitab al-Faraidh, bab Qaul an-Nabi, La Nurats Ma Taraknahu Shadaqah. \2/6 dari Fathul Barí, dan Muslim, kitab al-Jihadwa as-Siyar, bab Qaul an-Nabi, La Nurats Ma Taraknahu Shadaqah. 3/1382 hadits no. 1760
117 Dala’il an-Nubuwwah, 7/ 281.
118 Shahih al-Bukhari, kitab al-Manaqib, hadits no. 3750.
Sumber : https://hbis.wordpress.com/2010/01/26/pelantikan-abu-bakar-ra-sebagai-khalifah/