Pengangkatan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه menjadi khalifah
1. Pembai’atan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه menjadi khalifah
Setelah Utsman terbunuh pada malam Jum’at 18 Dzulhijjah tahun 35 H, berdasarkan pendapat yang populer, kaum muslimin mendatangi Ali ra. Dan membai’at beliau sebelum jenazah Utsman dimakamkan. Ada yang mengatakan setelah jenazah Utsman dimakamkan. Pada awalnya Ali bin Abi Thalib ra. menolak bai’at mereka. Beliau menghindar ke rumah milik Bani Amru bin Mabdzul, seorang Anshar. Beliau menutup pintu rumah, beliau menolak menerima jabatan khilafah tersebut namun mereka terus mendesak beliau. Orang-orang datang mengetuk pintu dan terus mendesak. Mereka membawa serta Thalhah dan az-Zubair . Mereka berkata, “Sesungguhnya daulah ini tidak akan bertahan tanpa amir.” Mereka terus mendesak hingga akhirnya Ali bersedia menerimanya. Ada yang mengatakan, orang pertama yang membai’at beliau adalah Thalhah dengan tangan kanannya. Tangan kanan beliau cacat sewaktu melindungi Rasulullah saw. pada peperangan Uhud. Sebagian hadirin berkata, “Demi Allah, pembai’atan ini tidak sempurna. [942]
Ali keluar menuju masjid lalu naik ke atas mimbar dengan mengenakan kain sarung dan sorban dari sutera sambil menenteng sandal beliau dan bertelekan pada busur beliau. Segenap kaum muslimin membai’at beliau. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu tanggal 19 Dzulhijjah tahun 35 H. [943] Ada yang mengatakan, Thalhah dan az-Zubair membai’at Ali setelah beliau meminta mereka untuk berbai’at. Sebagian orang mengira bahwa ada sekelompok kaum Anshar yang tidak membai’at Ali.[944]
Al-Waqidi [945] berkata, “Orang-orang di Madinah membai’at Ali. Namun tujuh orang menarik diri dan tidak ikut berbai’at. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Shuheib, Zaid bin Tsabit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Salaamah bin Waqsy dan Usamah bin Zaid. Dan tidak ada seorang sahabat Ansharpun yang tertinggal, mereka semua ikut berbai’at sejauh pengetahuan kami.”
Saif bin Umar [946] menceritakan dari sejumlah gurunya bahwa mereka berkata, “Selama lima hari setelah terbunuhnya Utsman kota Madinah dipimpin sementara oleh al-Ghafiqi bin Harb, mereka mencari orang yang bersedia memimpin. Penduduk Mesir mendesak Ali, sedang beliau sendiri menghindar dari mereka ke sebuah rumah. Penduduk Kufah mencari az-Zubair tapi mereka tidak menemukannya. Penduduk Bashrah meminta Thalhah, tapi ia tidak bersedia. Maka merekapun berkata, “Kami tidak akan mengangkat salah satu dari tiga orang ini.” Mereka menemui Sa’ad bin Abi Waqqash . Mereka berkata, “Sesungguhnya engkau termasuk salah seorang anggota majelis Syura!” Namun Sa’ad tidak memenuhi permintaan mereka. Kemudian mereka menemui Abdullah bin Umar. beliaupun menolak tawaran mereka. Merekapun bingung, lantas mereka berkata, “Jika kita pulang ke daerah masing-masing dengan membawa kabar terbunuhnya Utsman tanpa ada yang menggantikan posisinya, manusia akan berselisih tentang urusan ini dan kita tidak akan selamat. Mereka kembali menemui Ali dan memaksa beliau untuk menerimanya. Al-Asytar an-Nakha’i meraih tangan Ali dan membaia’tnya kemudian orang-orangpun ikut membai’at beliau. Penduduk Kufah mengatakan bahwasanya yang pertama kali membai’at Ali adalah al-Asytar an- Nakha’i. Peristiwa itu terjadi pada hari Kamis 24 Dzulhijjah. Itu terjadi setelah orang-orang terus mendesak beliau. Mereka semua berkata, “Tidak ada yang pantas memegangnya kecuali Ali.”
Keesokan harinya pada hari Jum’at, Ali naik ke atas mimbar. Orang-orang yang belum membai’at beliau kemarin berbondong-bondong membai’at beliau. Orang pertama yang membai’at beliau saat itu adalah Thalhah kemudian az-Zubair Bai’at ini terjadi pada hari Jum’at 25 Dzhulhijjah tahun 35 H.
2. Kelengkapan Kisah Pembai’atan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه [947]
Nash-nash yang dinukil oleh al-Imam Ibnu Katsir dari ath-Thabari dan sejarawan lainnya menegaskan keabsahan bai’at khalifah rasyid yang ke-empat Ali bin Abi Thalib ra . Pembai’atan beliau berlangsung atas dasar persetujuan ahlul halli wal aqdi di Madinah. Kemudian wilayah-wilayah Islam lainnya turut membai’at beliau kecuali penduduk Syam yang menahan bai’at hingga dilakukannya qishash terhadap pembunuh Utsman
Imam Ahmad telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih [948] dari Muhammad bin al-Hanafiyah, ia berkata, “Aku bersama Ali saat Utsman dikepung, lalu datanglah seorang lelaki dan berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh.’ Kemudian datang lagi lelaki lain dan berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin baru saja terbunuh.’ Ali segera bangkit namun aku cepat menengahinya karena khawatir akan keselamatan beliau. Beliau berkata, ‘Celaka kamu ini!’ Ali segera menuju kediaman Utsman dan ternyata beliau telah terbunuh. Beliau pulang ke rumah lalu mengunci pintu.[949]
Orang-orang mendatangi beliau sambil menggedor-gedor pintu lalu menerobos masuk menemui beliau. Mereka berkata, ‘Lelaki ini (Utsman) telah terbunuh. Sedang orang-orang harus punya khalifah. Dan kami tidak tahu ada orang yang lebih berhak daripada dirimu.’ Ali berkata, ‘Tidak, kalian tidak menghendaki diriku, menjadi wazir bagi kalian lebih aku sukai daripada menjadi amir.’
Mereka tetap berkata, ‘Tidak, demi Allah kami tidak tahu ada orang lain yang lebih berhak daripada dirimu.’ Ali berkata, ‘Jika kalian tetap bersikeras, maka bai’atku bukanlah bai’at yang rahasia. Akan tetapi aku akan pergi ke masjid, barangsiapa ingin membai’atku maka silakan ia membai’atku.’ Ali pun pergi ke masjid dan orang-orang pun membai’at beliau.”
Ahlu Sunnah wal Jama’ah berdalil dengan hadits Safinah dalam menetapkan khilafah empat orang khalifah. Hadits itu berbunyi: ” Khilafah Nubuwwah tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kerajaan bagi yang dikehendakiNya.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad dalam Musnadnya.[950] Sa’id bin Jumhan, perawi hadits Safinah, berkata, “Kemudian Safinah berkata kepadaku, ‘Coba simak, khilafah Abu Bakar dua tahun, khilafah Umar sepuluh tahun, khilafah Utsman dua belas tahun dan khilafah Ali enam tahun.”
Ibnu Asakir [951] meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada al-Maimuni, ia berkata, Aku mendengar Imam Ahmad bin Hambal ditanya, “Bagaimana sikap anda tentang khilafah?” Beliau menjawab, “Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.” Si penanya balik bertanya, “Sepertinya anda berdalil dengan hadits Safinah.” Beliau menjawab, “Aku berdalil dengan hadits Safinah dan dalil lain. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, aku lihat Ali tidak digelari Amirul Mukminin, tidak memimpin Jum’at dan melaksanakan hudud. Lalu aku lihat setelah terbunuhnya Utsman beliau melakukan hal tersebut.”
Aku katakan, “Karena pada masa itu hal tersebut wajib ia lakukan (sebagai khalifah) yang sebelumnya tidak wajib ia lakukan (karena belum menjadi khalifah).” Coba lihat bagaimana Imam Ahmad menyebutkan urutan Khulafa’ur Rasyidin yang empat berdasarkan hadits Safinah dan berdasarkan realita yang terjadi. Sebagaimana beliau membantah perkataan orang-orang yang menetapkan khilafah Ali langsung setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [952] berkata, “Imam Ahmad dan ulama lainnya bersandar kepada hadits ini dalam menetapkan khilafah Khulafa’ur Rasyidin yang empat. Demikian Imam Ahmad menegaskannya. Beliau berdalil dengan hadits tersebut dalam membantah pendapat orang yang tidak menetapkan khilafah Ali dengan alasan kaum muslimin tidak seluruhnya menyepakatinya. Sampai-sampai Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa tidak ridha kepada kekhalifahan Ali maka ia lebih sesat daripada keledai piara-annya.” Beliau juga melarang menikahkan orang seperti ini. Masalah ini telah disepakati di kalangan fuqaha’, ulama Ahlu Sunnah dan ahli ma’rifah dan tasawuf, dan merupakan madzhab jumhur kaum muslimin.
Hanya saja seba-gian pengikut hawa nafsu dari kalangan ahli kalam menyelisihinya. Seperti kaum Rafidhah yang menolak khilafah tiga orang khalifah (Abu Bakar, Umar dan Utsman) atau kaum Khawarij yang menolak khilafah Utsman dan Ali atau kaum Nawashib yang menolak khilafah Ali atau sebagian orang jahil yang tidak menentukan sikap terhadap khilafah Ali.”
Di tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan nash Imam Ahmad yang memvonis bid’ah orang-orang yang tidak menentukan sikap terhadap khilafah Ali.
Dalam kitab ash-Shawa’iqul Muhriqah [953] dinukil pernyataan Abul Ma’ali al-Juwaini sebagai berikut, “Tidak perlu diperhatikan perkataan yang menyebutkan, ‘Tidak ada kesepakatan atas kekhalifahan Ali!’ Karena kedudukan beliau itu tidak dapat dipungkiri. Hanya saja api fitnah berhembus karena masalah-masalah lain.”
Saya katakan, “Para sahabat yang tidak ikut serta bersama beliau dalam peperangan tidaklah menolak kekhalifahan beliau. Mereka tidak ikut serta karena menghindari pertumpahan darah dengan ahli kiblat. Dan juga nash-nash syar’i menyatakan bahwa menahan diri saat terjadi fitnah (pertumpahan darah di antara kaum muslimin) lebih baik daripada yang melibatkan diri ke dalamnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Ibnu Hamid sebagai berikut, “Rekan-rekan kami sepakat bahwa andaikata Ali menahan diri dari peperangan tentu lebih baik baginya. Hal ini terlihat jelas dari kegusarannya terhadap peperangan tersebut dan kejemuan beliau terhadapnya, serta bolak baliknya putera beliau, yakni al-Hasan, berkonsultasi kepada beliau dalam masalah ini. Dan juga perkataan beliau, ‘Sungguh mulia kedudukan yang dipilih oleh Sa’ad bin Malik dan Abdullah bin Umar, apabila baik maka sesungguhnya pahalanya sangatlah besar, apabila dosa maka kesalahannya adalah ringan.[954]
Namun demikian para imam as-Sunnah dan ulama hadits tidak ragu bahwa Ali lebih layak dikatakan berada dipihak yang benar dan lebih dekat kepada kebenaran seperti yang disebutkan dalam nash-nash.[955] Saya akhiri pembahasan ini dengan sebuah faidah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [956], beliau berkata, “Suatuhal yang mesti diketahui bahwa meskipun sikap yang paling tepat adalah menahan diri dari membicarakan pertikaian yang terjadi di antara sahabat, memohon ampunan bagi kedua belah pihak dan tetap loyal kepada mereka semua, namun tidak wajib meyakini bahwa kedua belah pihak hanyalah mujtahid yang berijtihad seperti halnya ulama. Namun di antara mereka ada yang berdosa dan bersalah, di antara mereka ada yang keliru dalam berijtihad karena unsur hawa nafsu. Namun apabila kesalahan itu dibandingkan dengan kebaikanyang sangat banyak maka diampuni dan tidak memberi pengaruh.
Ahlu Sunnah mengucapkan kata-kata yang baik kepada para sahabat dan mendoakan kebaikan dan ampunan untuk mereka. Tanpa meyakini mereka ma’shum dari dosa dan kesalahan dalam berijtihad, kecuali Rasulullah saw. seorang. Adapun selain beliau bisa saja jatuh dalam dosa dan kesalahan. Akan tetapi mereka adalah seperti yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an: “Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka.” (Al-Ahqaf: 16).
3. Khutbah Khilafah
Khutbah pertama yang disampaikan oleh Ali ra. adalah, setelah mengucapkan puja dan puji bagi Allah semata beliau berkata, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab yang memberi petunjuk, Allah menjelaskan di dalamnya kebaikan dan keburukan. Lakukanlah perkaraperkara yang baik dan tinggalkanlah perkara-perkara yang buruk. Sesungguhnya Allah telah menetapkan sejumlah hak dan Allah mengutamakan hak seorang muslim daripada hak-hak yang lainnya. Allah mengokohkan hak-hak kaum muslimin dengan ikhlas dan tauhid. Seorang muslim yaitu yang dapat terhindar sekalian kaum muslimin dari gangguan tangan dan lisannya kecuali karena alas an yang haq.
Tidak boleh menyakiti muslim kecuali dengan alasan yang benar. Segerakanlah urusan orang banyak dan urusan khusus masing-masing kamu adalah maut. Sesungguhnya dihadapan kamu adalah manusia-manusia sementara dibelakang kamu adalah hari Kiamat yang menggiring kamu. Manusia-manusia itu mati dan kamu menyusul mereka. Sesungguhnya manusia menunggu hari akhirat mereka. Maka bertakwalah kepada Allah terhadap hamba Allah dan negeri mereka. Sesungguhnya kalian akan dimintai pertanggungjawaban hingga atas tanah dan hewan ternak kalian. Taatilah Allah, janganlah durhaka terhadapNya.
Jika kalian melihat kebaikan, ambillah ia. Dan jika kalian melihat keburukan, tinggalkanlah ia. Sesungguhnya Allah berfirman, ” Dan ingatlah (liai para muhajirin), ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Medinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolonganNya dan diberiNya kamu rezki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. Hai orang-orang beriman, janganlah kamu, mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhia-nati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 26-27).”957
Referensi :
[942] Tidak boleh bertathayyurdan bertasya’um (beranggapan sial) yakni orang itu beranggapan sial dengan tangan Thalhah yang pertama kali membai’at Ali meskipun tangan beliau cacat, namun termasuk tangan yang paling berbahagia, karena cacat dalam berjuang menegakkan agama Allah dan dalam rangka membela Rasulullah ﷺ Menurut saya, perkataan terse but tidak benar, dan tidaklah diucapkan kecuali oleh seorang munafik atau Arab Badui yang belum mantap keimanan dalam hatinya dan masih memiliki perangai jahiliyah.
[943] Silakan lihat Tarikh ath-Thabari, 4/428, riwayat ini dari jalur al-Madaini dari Abu Bakar al-Hudzali, ia adalah seorang penukil berita yang dhaif.
944 Tarikh ath-Thabari, 4/429-430, dari jalur al-Madaini, namun dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya
[945] Yang benar, semua sahabat yang disebutkan di sini telah membai’at Ali, namun mereka mengasingkan diri dan tidak terlibat dalam berbagai peristiwa. Akhir dari perkataan al-Waqidl justru meninjukkan batalnya ucapannya yang pertama, karena tiga orang dari yang ia sebutkan itu termasuk sahabat dari kalangan Anshar.
[946] Tarikh ath-Thabari, 41422.
[947] Ini adalah judul tambahan yang tidak terdapat dalam naskah asli.
[948] Fadhailash-Shahabah, lISTi, muhaqqiqnya berkata, Sanadnya shahih.
[949] Dapat digabungkan antara riwayat ini dengan riwayat sebelumnya yang menyebutkan bahwa beliau bersembunyi di rumah seorang sahabat Anshar, yaitu mereka mendatangi Ali berulang kali.
[950] Diriwayatkan oleh Abu Dawud 4646, at-Tirmidzi 2226, Ahmad dalam Musnad, 5/220 dan telah dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah al-ahadits ash-Shahihah hadits nomor 460.
[951] Tarikh Dimasyq, 12/354.
[952] MajmW’ Fatawa, 35/18-19.
[953] Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab ash-ShawaaiquI Muhriqah halaman 184
[954] Majmu’ Fatawa, 4/439
[955] Majmu’Fatawa, 4/439
[956] Majmu’ Fatawa, 4/434.
[957] Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 4/436 dan a/-Kam/7 karanqan Ibnul Atsir, 3/194.
Sumber : https://hbis.wordpress.com/2010/03/03/pengangkatan-ali-bin-abi-thalib-ra-menjadikhalifah/