Perang Ahzab atau Khandaq
Ketenangan dan kedamaian kembali normal. Setelah pecah beberapa peperangan dan manuver militer selama lebih dari satu tahun, Jazirah Arab menjadi tenteram kembali. Hanya saja orang-orang Yahudi yang harus menelan beberapa kehinaan dan pelecehan karena ulah mereka sendiri yang berkhianat, berkonspirasi dan melakukan makar, tidak mau terima begitu saja. Setelah lari ke Khaibar, mereka menunggu-nunggu apa yang akan menimpa orang-orang Muslim sebagai akibat bentrokan fisik dengan para paganis Quraisy. Hari demi hari terus berlalu membawa keuntungan bagi kaum Muslimin, pamor dan kekuasaan mereka semakin mantap. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi semakin dibakar amarah.
Mereka kembali merancang konspirasi baru terhadap orang-orang muslim, dengan menghimpun pasukan, sebagai persiapan untuk memukul orang-orang muslim, agar tidak memiliki sisa kehidupan setelah itu. Karena belum berani menyerang orang-orang Muslim secara langsung, maka mereka merancang dan melaksanakan langkah ini secara sembunyi-sembunyi dan hati-hati.
Ada dua puluh pemimpin dan pemuka Yahudi dari Bani Nadhir yang mendatangi Quraisy di Makkah. Mereka mendorong orang-orang Quraisy agar menyerang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berjanji akan membantu rencana ini dan mendukungnya. Quraisy menyembutnya dengan senang hati, apalagi sebelumnya mereka tidak berani memenuhi janji di Perang Badr antuk kedua kalinya. Maka mereka melihat ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengembalikan pamor.
Dua puluh orang pemuka Yahudi itu juga pergi ke Gtrathafan dan mengajak mereka seperti ajakan yang diserukan kepada orang-orang Quraisy. Ajakan ini mendapat sambutan yang baik. Kemudian para utusan Yahudi itu berkeliling ke berbagai kabilah Arab dengan ajakan yang sama, dan semuanya memberi respon. Satu langkah yang dirancang orang-orang Yahudi dengan mengimpun orang-orang kafir untuk menyerang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan membungkam dakwah Islam dapat berjalan mulus.
Secara serentak dari arah selatan mengalir pasukan yang terdiri dari Quraisy, Kinanah, dan sekutu-sekutu mereka dari penduduk Tihamah, di bawah komando Abu Sufyan. Jumlah mereka ada empat ribu prajurit. Bani Sulaim di Marr Azh-Zhahran juga ikut bergabung bersama mereka. Sedangkan dari arah timur ada kabilah-kabilah Ghathafan, yang terdiri dari Bani Fazarah yang dipimpin Uyainah bin Hishn, Bani Murah yang dipimpin Al-Harits bin Auf, Bani Asyja’ yang dipimpin Mis’ar bin Rukhailah, Bani As’ad, dan lain-lainnya.
Semua golongan ini bergerak ke arah Madinah secara serentak seperti yang telah mereka sepakati bersama. Dalam beberapa hari saja, di sekitar Madinah sudah berhimpun pasukan musuh yang besar, jumlahnya mencapai sepuluh ribu prajurit. Itulah gelar pasukan yang jumlalnya lebih banyak dari pada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua.
Jika pasukan itu yang sedang berhimpun di sekitar Madinah melakukan serangan secara tiba-tiba dan serentak, maka sulit dibayangkan apa yang akan terjadi dengan eksistensi kaum muslimin. Bahkan, boleh terjadi mereka akan tercabut hingga ke akar-akarnya. Tetapi model kepemimpinan Madinah tak pernah terpejam sekejap pun. Segala faktor dipertimbangkan sedemikian rupa secara masak dan segala gerakan tak lepas dari pantauan. Sebeltun pasukan musuh beranjak dari tempatnya, informasi tentang rencana mereka pun sudah tercium di Madinah.
Maka berdasarkan informasi ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam segera menyelenggarakan majelis tinggi permusyawaratan untuk menampung rencana pertahanan di Madinah. Setelah berdiskusi panjang lebar di antara anggota majelis, mereka sepakat melaksanakan usulan yang disampaikan seorang sahabat yang cerdik, Salman Al-Farisi. Dalam hal ini Salman berkata, “Wahai Rasulullah dulu jika kami orang-orang Persi sedang dikepung musuh, maka kami membuat parit di sekitar kami.” Ini merupakan langkah yang amat bijaksana, yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Arab.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam segera melaksanakan rencana itu. Setiap sepuluh orang laki laki diberi tugas untuk menggali parit sepanjang empat puluh hasta,
Dengan giat dan penuh semangat orang-orang Muslim menggali sebuah parit yang panjang. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terus memompa semangat mereka dan terjun langsang di lapangan. Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan dari Sahl bin Sa’d, dia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalam parit. Sementara orang-orang sedang giat menggalinya. Kami mengusung tanah di pandak kami.”
Beliau bersabda, “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat. Ampunilah dosa orang-orang Muhajirin dan Anshar.”
Anas meriwayatkan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pergi ke parit pada pagi hari yang amat dingin, sementara orang-orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit. Mereka tidak mempunyai seseorang yang bisa diupah untuk pekerjaan ini. Beliau tahu perut mereka kosong dan juga letih. Oleh karena itu beliau bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang Mutrajirin dan Anshar.”
Mereka menjawab, “Kamilah yang telah berbaiat kepada Muhammad, siap berjihad selagi kami masih hidup.”
Dari Al-Barra’ bin Azib dia berkata, “Kulihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perut beliau yang banyak bulunya. Sempat pula kudengar beliau melantunkan syair-syairya Ibnu Rawahah. Sambil mengangkut tanah, beliau bersabda, “Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bersedekah dan tidak shalat Turunkanlah ketenteraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya.”
Orang-orang muslim bekeja dengan giat dan penuh semangat sekalipun mereka didera dengan rasa lapar. Anas berkata, “Masing-masing orang yang sedang menggali parit diberi tepung gandum sebanyak satu genggam tangan, lalu dicampuri dengan minyak sebagai adonan. Kerongkongan mereka jarang tersentuh makanan, sehingga dari mulut mereka keluar bau yang tidak sedap.” Abu Thalhah berkata, “Kami mengadukan rasa lapar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu kami mengganjal perut kami dengan batu. Beliau juga mengganjal perut dengan dua buah batu.”
Selama penggalian parit ini terjadi beberapa tanda nubuwah yang berkaitan dengan rasa lapar yang mendera mereka. Jabir bin Abdullah melihat beliau yang benar-benar tersiksa karena lapar. Lalu Jabir menyembelih seekor hewan dan istrinya memaak satu sha’ tepung gandum. Setelah masak, Jabir membisiki Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara pelan-pelan agar datang ke rumahnya bersama beberapa sahabat saja. Tetapi beliau justru berdiri di hadapan semua orang yang sedang menggali parit yang jumlahnya ada seribu orang, lalu mereka melahap makanan yang tak seberapa banyak itu hingga mereka kenyang. Bahkan masih ada sisa dagingnya, begitu pula adonan tepung untuk roti.
Saudara perempuan An-Nu’man bin Basyir datang ke tempat penggalian parit sambil membawa korma setangkup tangan untuk diberikan kepada ayah dan pamannya. Ketika itu pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lewat di dekatnya dan meminta korma tersebut, lalu beliau meletakannya di atas selembar kain. Setelah itu beliau memanggil semua orang dan mereka pun memakannya. Setelah semua orang yang menggali parit memakannya, ternyata korma yang hanya setangkup tangan itu masih tersisa dan bahkan jumlahnya lebih banyak, sehingga sebagian ada yang tercecer keluar dari hamparan kain.
Yang lebih besar dari gambaran ini adalah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dari Jabir, dia berkata, “Saat kami menggah parit, ada sebongkah tanah yang amat keras. Mereka mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam seraya berkata, “Ini ada tanah keras yang teronggok di tengah parit.”
“Kalau begitu aku akan turun ke bawah,” sabda beliau. Setelah turun beliau berdiri tegak dan terlihat perut beliau yang diganjal batu. Sebelumnya kami bertiga sudah mencoba untuk mengatasinya, namun tidak mampu. Lalu beliau mengambil cangkul dan memukul onggokan tanah yang keras itu sehingga hancur berkeping-keping menjadi pasir.”
Al-Barra’ berkata, “Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, “Bismillah …” Kemudian menghantam tanah yang keras itu dengan sekali hantaman.
Beliau bersabda, “Allah Mahabesar, aku diberi tanah Persi. Demi Allah saat ini pun aku bisa melihat Istana Mada’in yang bercat putih.” Kemudian beliau menghantam untuk ketiga kalinya, dan bersabda, “Bismillah …” Maka hancurlah tanah yang masih tersisa. Kemudian beliau bersabda, “Allah Mahabesar. Aku diberi kunci-kanci Yaman. Demi Allah dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Shan’a.
Ibnu Istraq juga meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Salman Al Farisi radhiyanllahu anhu. Karena Madinah dikepung dengan gunung, tanah-tanah kasar yang berbatuan, dan kebun-kebun korma disegala sudutnya kecuali bagian utara, tentunya pasukan musuh sebanyak itu akan menyerbu Madinah dari arah utara. Sebagai pemegang pucuk pimpinan militer beliau tahu betul hal ini. Untuk itu parit digali di bagian ini.
Orang-orang Muslim terus menggali parit tanpa henti sepanjang siang. Baru pada sore harinya mereka pulang ke rumah menemui keluarga, hingga penggalian parit selesai seperti rencana semula sebelum pasukan paganis yang tidak terkira bayaknya tiba di pinggiran Madinah.
Pasukan Quraisy yang berkekuatan 4000 personil tiba di Mujtama’ulAsyal di kawasan Rumat, tepatnya antara Juruf dan Za’abah. Sedangkan Kabilah Ghathafan dan penduduk Najd yang berkekuatan 6000 personil itu tiba di Dzanab di dekat Uhud. Firman Allah,
“Dan, tatkala orang-orang Mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada kita dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan, yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (A1- Ahzab: 22)
Tetapi orang-orang munafik dan orang-orang yang jiwanya lemah, langsung menggigil ketakutan saat melihat pasukan yang besar ini. Firman Allah,
“Dan ingatlah, ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, Allah dan RasulNya tidak menjan¬jikan kepada kami melainkan tipu daya.”(Al-Ahzab: 12)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keluar runah dengan kekuatan 3000 personil. Di belakang punggung mereka ada Gunung Sal’un dan dapat dijadikan pelindung. Sedangkan parit membatasi posisi mereka dengan pasukan musuh. Madinah diwakilkan kepada Ibnu Ummi Maktum. Para wanita dm anak-anak ditempatkan di rumah khusus sebagai perlindungan bagi mereka.
Pada saat orang-orang musyrik hendak melancarkan serbuan ke arah orang orang Mukmin dan menyerang Madinah, ternyata mereka harus berhadapan dengan parit. Karena itu mereka memutuskan untuk mengepung orang-orang Muslim. Padahal tatkala keluar dari rumah, mereka tidak siap untuk melakukan pengepungan. Menurut mereka, penggalian parit ini sebagai siasat perang sama sekali tidak dikenal masyarakat Arab. Oleh karena itu mereka juga tidak pernah memperhatikannya sama sekali.
Orang-orang musyrik hanya bisa berputa-putar di dekat parit dengan amarah yang menggelegar. Mereka terus mencari-cari titik lemah yang bisa dimanfaatkan. Sementara orang-orang Muslim terus-menerus mengawasi gerakan orang-orang musyrik yang berputar-putar di seberang parit, dan juga melontarkan anak panah agar mereka tidak sampai mendekati parit apalagi melewatinya ataupun menimbunnya tanah lalu menjadikanya sebagai jalur penyeberangan.
Para penunggang kuda dari pasukan Quraisy merasa jengkel karena hanya bisa diam di sekitar parit tanpa ada kejelasan bagaimana kelanjutan dari pengepungan ini. Cara seperti ini sama sekali bukan kebiasaan mereka. Lalu muncul sekelompok orang di antara mereka, seperti Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahl, Dhirar bin Al-Khatlahab dan lain-lainya yang mendapatkan lubang parit yang lebih sempit Mereka terjun melewati bagian parit ini, lalu memutar kuda mereka ke arah bagian yang lebih lembab, antara parit dan Gunung Sal’un. Ali bin Abi Thalib bersama beberapa orang Muslim langsung mengepung daerah yang dapat dilewati beberapa orang musyrik itu. Amr bin Abi Wudd menantang untuk adu tanding, satu lawan satu. Tantangan ini diladeni Ali bin Abu Thalib, dan Ali juga melontarkan perkataan yang membuat Amr sangat marah. Amr yang termasuk salah seorang prajurit musyrikin yang pemberani dan pahlawan mereka, turun dari kuda sambil mengumpat kudanya sendiri dan menempeleng mukanya. Kemudian dia siap berhadapan dengan Ali bin Abu Thalib. Keduanya berputar-putar lalu bertanding dengan seru, hingga Ali dapat membunuhnya. Sementara yang lain juga merasa terdesak lalu mereka terjun ke parit dan melarikan diri. Mereka benar-benar ketakutan, sampai-sampai Ikrimah bin Abu Jahl meninggalkan tombaknya.
Beberapa hari sudah berlalu dan orang-orang musyrik terus berusaha untuk melewati parit atau membuat jalur penyeberangan. Tetapi orang-orang Muslim tidak berhenti melakukan perlawanan dan menyerang mereka dengan anak panah, sehingga mereka gagal memuluskan usaha ini.
Karena terlalu sibuk melakukan serangan balik terhadap orang-orang musyrik yang berusaha menyeberang parit, akibatnya ada beberapa shalat yang tak sempat dikerjakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan orang-orang Muslim. Di dalam Ashahihain disebutan dari Jabir radhiyanllahu anhu bahwa Umar binAl-Khathttrab muncul pada waktu Perang Khandaq, lalu terus-menerus mengolok-olok orang-orang kafir Quraisy. Lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, hampir lupa aku lupa mengerjakan shalat (ashar), padahal matahari hampir tenggelam.”
“Aku pun belum sempat mengerjakannya,” sabda beliau.
Lalu kami turun membawa alat pembuat tepung. Beliau wudhu’ dan kami pun wudhu’. Beliau shalat ashar setelah matahari tenggelam setelah itu langsung disusul dengan shalat magrib.
Nabi shallallahu alaihi wasallam merasa menyesal karena beberapa shalat yang tertinggal. Sampai sampai beliau mendoakan kemalangan bagi orang-orang musyrik. Karena gara-gara merekalah shalat beliau tidak sempat dilaksanakan. Di dalam riwayat Al-Bulkhari, dari Ali, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda pada waktu Perang Khandaq, “Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api, sebagaimana mereka telah membuat kita sibuk dan tidak sempat melaksanakan shalat ashar hingga matahari terbenam.”
Di dalam Musnad Ahmad dan Asy-Syafi’i disebutkan bahwa orang-orang musyrik itu membuat mereka sibuk hingga tak sempat melaksanakan shalat zhuhur, ashar, maghrib, dan isya’. Lalu beliau mengerjakan shalat secara sekaligus. An-Nawawi menuturkan,”Cara mengkompromikan beberapa riwayat ini, bahwa Perang Khandaq berjalan selama beberapa hari. Memang pada sebagian hari ada acara menjama’ shalat seperti yang pertama dan sebagian hari yang lain ada cara menjama’ seperti yang kedua.”.’
Dari sini dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh orang-orang musyrik untuk menyeberangi parit dan serangan orang-orang Muslim berjalan hingga beberapa hari. Karena ada parit yang menghalangi kedua pasukan, maka tidak sampai terjadi pertempuran dan adu senjata secara langsung. Peperangan terbatas hanya dengan melepaskan anak panah. Sekalipun begitu, ada beberapa orang dari masing-masing pihak menjadi korban, yaitu enam orang dari Muslimin dan sepuluh orang dari musyrikin. Di samping itu ada satu dua orang yang terbunuh karena tebasan pedang.
Dalam usaha melakukan serangan dengan melepaskan anak panah itu, Sa’d bin Mu’adz radhiyanllahu anhuma juga terkena hujanan anak panah hingga memutuskan urat di lengannya. Yang melepaskan anak panah hingga mengenainya adalah seorang laki-laki dari Quraisy yang bernama Habban bin Qais bin Al-Ariqah. Saat itu pula Sa’d memanjatkan doa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa tak ada yang lebih kucintai dari pada aku berjihad karena-Mu, melawan orang¬orang yang mendustakan Rasul-Mu dan yang telah mengusimya. Ya Allah, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dengan mereka.
Jika memang Engkau masih menyisakan sedikit peperangan melawan orang orang Quraisy, maka berikanlah sisa kehidupan kepadaku untuk menghadapi mereka agar aku bisa memerangi mereka karena Engkau. Jika memang Engkau sudah menghentikan peperangan, maka kobarkanlah lagi peperangan itu agar aku bisa mati dalam peperangan.” Pada akhir doanya dia berkata, “Janganlah Engkau mematikan aku hingga aku merasa senang setelah memerangi Bani Quraizhah.
Pada saat orang-orang Muslim menghadapi situasi perang yang amat keras ini, ular-ular berbisa yang biasa melakukan konspirasi dan berkhianat sedang menggeliat di dalam lubangnya, siap menyemburkan bisanya ke tubuh orang-orang Muslim. Tokoh penjahat Bani Nadhir (Huyai binAldatrab) datang ke perkampungan Bani Quraizhalt Dia menemui Ka’b bin Asad Al-Qurazi, pemimpin Bani Quraizhah, sekutu dan rekarmya. Padahal dia sudah membuat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk tidak menolong siapa pun yang hendak memerangi beliau. Huyai menggedor pintu benteng Ka’b. Tetapi Ka’b tidak mau membukakan pintu. Setelah Huyai mendesak terus-menerus, pintu pun dibukakan.
Huyai berkata, “Aku menemuimu wahai Ka’b dengan membawa kejayaan masa lalu dan lautan yang mempesona. Aku datang kepadamu bersama Quraisy, pemimpin dan pemuka mereka, hingga aku menyuruh mereka bermarkas di Majma’ul Asyal di bilangan Rumat. Sedangkan Ghathafan dengan semua pemimpinnya kusuruh bermarkas di Dzanab Naqami dekat Uhud. Mereka semua sudah berjanji dan bersumpah kepadaku untuk tidak pulang sebelum membinasakan Muhammad dan para pengikutnya.”
Ka’b menjawab, “Demi Allah, engkau datang kepadaku sambil membawa kebinasaan masa lalu dan awan yang kering. Awan itu mengeluarkan kilat dan suara petir, tetapi kosong melompong. Celaka engkau wahai Huyai. Tinggalkan aku dan urusanku! Aku tidak melihat diri Muhammad melainkan sosok orang yang jujur dan menepati janji.”
Huyai terus-menerus membujuk dan merayu Ka’b, hingga akhinwa Huyai bersumpah atas nama Allah dan berjanji, “Jika orang-orang Quraisy dan Gtrathafan mundur, mereka tidak jadi menyerang Muhammad, maka aku akan bergabung denganmu di dalam bentengmu, dan aku siap menanggung akibatnya bersamamu.”
Jadilah Ka’b binAs’a.d melanggar pedanjian yang telah disepakatinya. Dia
sudah melepaskm ikatan dengan ormg-orang Muslim. Dia bergabung dengan orang-orang musyrik untuk memerangi orang-orang Muslim.
Ketika itu pula orang-orang Yahudi bangkit untuk memerangi orang-orang Muslim. Ibnu Ishaq menuturkan, “Shafiyah binti Abdul Muthalib berada dalam satu bilik benteng yang dikhususkan bagi para wanita Muslimah dan anak-anak, yang dijaga Hassan bin Tsabit. Shafiyah berkata menuturkan kejadian waktu itu, “Ada seorang laki-laki Yahudi melewati tempat kami, lalu mengelilingi benteng. Sementara semua Yahudi Bani Quraizhah maju untuk berperang dan melanggar perjanjian yang sudah disepakati dengan Rasulullah shallallahu alaihi washallam. Tidak ada orang-orang Muslim yang menjaga kami, karena beliau dan semua orang-orang Muslim sedang berhadapan dengan musuh. Tidak mangkin mereka mundur ke tempat kami dan meninggalkan pos mereka jika ada orang yang menyerang kami. Kukatakan kepa.da Hassan, “Wahai Hassan, seperti yang engkau lihat, orang Yahudi itu mengitari benteng. Demi Allah aku merasa tidak aman jika dia menunjukkan titik lemah kita dari arah belakang ini kepada orang-orang Yahudi. Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat tidak sempat lagi mengurus kita. Maka hampirilah orang itu dan bunuhlah dia.”
“Demi Allah, engkau tahu sendiri aku bukanlah orang yang mahir dalam masalah bunuh-membunuh,” jawab Hassan.
Shafiyah berkata, “Lalu kuikat pinggangku dan kuambil sepotong tiang penyangga, lalu aku turun dari benteng untuk menghampiri orang Yahudi itu. Potongan tiang itu kupukulkan ke tubuhnya hingga mati. Setelah itu aku kembali lagi ke benteng. Kukatakan kepada Hassan, Wahai Hassan, turunlah dari benteng dan ikatlah dia. Kalau bukan karena dia seorang laki-laki, tentu sudah kuikat sendiri.”
Hassan bin Tsabit berkata, “Kurasa aku tak perlu lagi mengikatnya.”.
Tindakan yang berani dari bibi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini mempunyai pengaruh yang amat mendalam untuk menjaga para wanita dan anak-anak Muslimin. Sebab selama itu orang-orang Yahudi menduga rumah penampungan dan benteng bagi para wanita dan anak-anak dijaga ketat pasukan Muslimin. Padahal nyatanya sama sekali tidak terjaga. Karena dugaan itu mereka tidak berani melakukan serangan ke benteng itu. Mereka juga tidak berani terang-terangan melakukan serangan terhadap orang-orang Muslim. Mereka hanya mengulurkan bantuan kepada pasukan orang-orang kafir dengan memasok bahan makanan. Tetapi pasokan itu juga bisa diambil orang-orang Muslim, sebanyak dua puluh onta.
Kabar tentang tindakan orang-orang Yahudi didengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan orang-orang Muslim. Maka seketika itu pula beliau ingin mengecek kebenaraanya. Untuk itu beliau meminta keterangan langsung dari Bani Quraizhah, agar dapat segera diambil tindakan secara militer. Beliau mengutus Sa’d bin Mu’a.dz, Sa’d bin Ubadah,Abdullah bin Rawahatr, dan Ktrawwat bin Jubair. Beliau bersabda kepada para utusan ini, “Pergilah kesana dan cari tahu apakah benar kabar yang kita dengar dari mereka ini ataukah tidak? Jika kabar itu benar, beritahukan kepadaku hanya dengan melalui isyarat saja, agar tidak mematahkan semangat orang-orang. Jika mereka masih menempati janjinya, bolehlah kalian memberitahukan kepada orang-orang.”
Setiba di sana para utusan itu mendapatkan keadaan yang jauh lebih jahat dari gambaran semula. Orang-orang Yahudi itu secara terang-terangan mencemooh dan memperlihatkan permusuhan, bahkan mereka juga mengejek Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
“Siapa itu Rasul Allah? Tidak ada peijanjian antara kami dan Muhammad dan juga tidak ada ikatan apa-apa,” kata mereka.
Para utusan itu pulang, lalu mengisyaratkan keadaan mereka kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan berkata, “Adhal dan Qarah.”Artinya orang-orang Yahudi itu seperti Bani Adhal dan Qarah yang melanggar peljanjian.
Sekalipun para utusan itu sudah berusaha menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, toh sebagian orang-orang Muslim ada yang bisa menangkapnya sehingga mereka merasa bahwa keadaannya benar-benar amat gawat.
Itu merupakan situasi yang sangat rawan yang pernah dihadapi orang-orang Muslim. Antara posisi mereka dan posisi Yahudi Bani Quraizhah tidak ada penghalang sedikit pun andaikan mereka memukul dari belakang. Sementara di hadapan mereka ada segelar pasukan musuh yang tidak mungkin ditinggalkan. Sementara tempat penampungan para wanita dan anak-anak tidak jauh dari posisi Bani Quraizhah yang berkhianat Apalagi tempat itu tanpa pasukan yang menjaga. Keadaan mereka telah digambarkan Allah dalam firman-Nya,
“Yaitu ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Di situlah diuji orang-orang Mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang dahsyat.” (Al-Ahzab: 10-11)
Kemunafikan orang-orang munafik juga mulai muncul ke permukaan. Sebagian di antara mereka ada yang berkata, “Kemarin Muhammad berjanji kepada kami bahwa kami akan mengambil harta simpanan Kisra dan Qaishar. Sementara pada hari ini tak seorang pun di antara kami yang merasa aman terhadap dirinya, sekalipun hanya untuk buang hajat.”
Yang lain lagi ada yang berkata kepada sekumpulan kaumnya, “Rumah kami akan menjadi sasaran musuh. Maka izinkan kami untuk pergi dari sini dan pulang ke rumah kami. Karena rumah kami berada di luar Madinah.”
Allah berfirman tentang mereka ini,
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, Hai penduduk Yastrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian Dan, sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, `Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)’. Dan, rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (Al-Ahzab: 12-13)
Setelah mendengar pengkhianatan Bani Quraizhah, Rasulullah shallallhu alaihi wasallam menggelar kainnya lalu tidur telentang, diam sekian lama, hingga orang-orang Muslim mendapat ujian yang cukup berat. Namun tak lama kemudian membeisit harapan. Beliau bangkit sambil berseru,
“Allahu Akbar. Bergembiralah wahai orang-orang Muslim dengan kemenangan dan pertolongan Allah.”
Kemudian beliau merancang beberapa strategi untuk menghadapi situasi yang sangat rawan ini. Salah satu strategi yang beliau canangkan ialah dengan mengutus beberapa penjaga ke Madinah untuk menjaga para wanita dan anak anak. Tetapi sebelumnya harus ada upaya untuk mengacaukan pasukan musuh. Untuk memuluskan rencana ini, beliau hendak membuat perjanjian dengan Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin Auf, dua pemimpin Ghathafan, bahwa beliau akan menyerahkan sepertiga hasil panen korma di Madinah kepada mereka, asal mereka berdua mau mengundurkan diri dari kancah bersama kaumnya, lalu membiarkan beliau menghantam Quraisy dan menghancurkan kekuatan mereka. Terjadi tawar menawar yang cukup alot. Lalu beliau meminta pendapat Sa’d bin Mu’adz dan Sa’d bin Ubaidah tentang rencana ini.
Keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, jika Allah memerintahkan engkau untuk mengambil keputusan seperti ini, maka kami akan tunduk dan patuh. Tetapi jika ini merupakan keputusan yang hendak engkau ambil bagi kami, maka kami tidak membutuhkannya. Dulu kami dan mereka adalah orang-orang yang sama menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Dulu mereka tidak berhasrat memakan sebuah korma pun dari Madinah kecuali lewat jual beli atau bila sedang dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi petunjuk Islam serta menjadi jaya bersama engkau, mengapa kami harus memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang.”
Beliau membenarkan pendapat mereka berdua, dan bersabda, “Ini adalah pedapatku sendiri. Sebab aku melihat semua orang Arab sedang menyerang kalian dengan satu busur.”
Kemudian Allah membuat satu keputusan dari sisi-Nya yang mampu menghinakan musuh, mengacaukan semua barisan mereka serta mencerai beraikan persatuan mereka. Di antara langkah permulaannya, ada seseorang dari Ghathafan yang bernama Nu’aim bin Mas’ud bin Amir Al Asyja’i yang menemui Rasulullah shallallhu alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah masuk Islam. Sementara kaumku tidak mengetahui tentang keislamanku ini. Maka perintahkanlah kepadaku apa pun yang engkau kehendaki.”
“Engkau adalah orang satu-satunya,” sabda beliau, “berilah pertolongan kepada kami menurut kesanggupanmu karena peperangan ini adalah tipu muslihat.”
Seketika itu pula Nu’aim pergi menemui Bani Quraizhah, yang menjadi teman karibnya semasa Jahiliyah. Dia menemui mereka dan berkata, “Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian, khususnya antara diriku dan kalian.” “Engkau benar,” kata mereka.
Nu’aim berkata, “Orang-orang Quraisy tidak bisa disamakan dengan kalian. Negeri ini adalah negeri milik kalian. Di sini ada harta benda, anak anak dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan sanggup meninggalkan negeri ini untuk pindah ke tempat lain. Sementara Quraisy dan Ghathafan datang ke sini untuk memerangi Muhammad dan rekan-rekannya, lalu kalian menampakkan dukungan kepada mereka. Padahal negeri, harta benda dan wanita-wanita mereka berada di tempat lain. Jika mereka merasa mendapat kesempatan, tentu kesempatan itu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya. Jika tidak, mereka pun akan kembali ke negeri mereka dan meninggalkan kalian bersama Muhammad yang akan melampiaskan dendam kepada kalian.”
“Lalu bagaimana baiknya wahai Nu’aim?” Tanya mereka.
“Kalian tidak perlu berperang bersama mereka kecuali setelah mereka memberikan jaminan kepada kalian,” jawab Nu’ aim.
“Engkau telah memberikan jawaban yang sangat tepat,” jawab mereka.
Setelah itu Nu’aim langsung menemui Quraisy dan berkata kepada mereka, “Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian dan nasihat-nasihat yang pernah kusampaikan.”
“Begitulah,” jawab mereka.
Dia berkata lagi, “Rupanya orang-orang Yahudi merasa menyesal karena telah melanggar perjanjian dengan Muhammad dan rekan-rekannya. Secara diam-diam mereka telah mengirim utusan untuk menemui Muhammad bahwa mereka hendak meminta jaminan kepada kalian, lalu jaminan itu akan mereka serahkan kepada Muhammad, yang tentu saja mereka berpaling dari kalian. Jika mereka meminta jaminan, kalian tidak perlu memberikannya kepada mereka.”
Kemudian Nu’aim menemui orang-orang Ghathafan dan berkata seperti pula kepada mereka.
Tepatnya malam Sabtu, bulan Syawwal 5 H, orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk menemui orang-orang Yahudi, menyampaikan pesan, “Kami tidak mungkin berlama-lama di sini. Apalagi kondisi onta dan kuda kami sudah banyak yang merosot. Maka bangkitlah saat ini pula bersama kami untuk menghabisi Muhammad.”
Orang-orang Yahudi mengirim utusan kepada orang-orang Quraisy seraya menyampaikan pesan, “Hari ini adalan hari Sabtu. Kalian sudah tahu akibat yang menimpa orang-orang sebelum kami karena mereka berperang pada hari ini. Di samping itu, kami tidak mau berperang bersama kalian kecuali setelah kalian menyampaikan jaminan kepada kami.”
Setelah tahu apa yang disampaikan utusan Yahudi, orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, “Demi Allah, benar apa yang dikatakan Nu’aim kepada kalian.” Lalu mereka mengirimkan utusan lagi kepada orang-orang Yahudi, menyampaikan pesan, “Demi Allah kami tidak akan mengirim seorang pun kepada kalian. Bergabunglah bersama kami untuk menghabisi Muhammad.”
Bani Quraizhah berkata, “Demi Allah, benar apa yang dikatakan Nu’aim kepada kalian.”
Dengan begitu Nu’aim mampu memperdayai kedua belah pihak dan menciptakan perpecahan di barisan musuh, sehingga semangat mereka menjadi turun drastis.
Sementara orang-orang Muslim selalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan amankanlah kegundahan kami.”
Rasulullah juga berdoa untuk kemalangan musuh,
“Ya Allah, yang menurunkan Al-Kitab dan yang cepat hisabnya, kalahkanlah pasukan musuh. Ya Allah, kalahkanlah dan guncangkanlah mereka.”
Allah mendengar doa Rasul-Nya dan orang-orang Muslim. Setelah muncul perpecahan di barisan orang-orang musyrik dan mereka bisa diperdayai, Allah mengirimkan pasukan berupa angin taufan kepada mereka, sehingga kemah kemah mereka porak-poranda. Tidak sesuatu yang tegak melainkan pasti ambruk, tidak ada yang menancap melainkan pasti tercabut dan tidak sesuatu pun yang bisa berdiri tegar di tempatnya. Allah juga mengirim pasukan yang terdiri dari para malaikat yang membuat mereka menjadi gentar dan kacau, menyusupkan ketakutan ke dalam hati mereka.
Pada malam yang dingin dan menusuk tulang itu, Rasulullah mengutus Khudzaifah bin Al-Yaman untuk menemui orang-orang Quraisy dan kembali lagi membawa kabar tentang keadaan mereka yang seperti itu. Bahkan mereka sudah bersiap-siap untuk kembali ke Makkah. Hudzaifah bin Al-Yaman menemui beliau dan mengabarkan niat mereka untuk kembali ke Makkah. Pada keesokan harinya beliau mendapatkan musuh sudah diusir Allah dan hengkang dari tempatnya, tanpa membawa keuntungan apa-apa. Cukuplah Allah yang memerangi mereka, memenuhi janjinya, memuliakan pasukan-Nya, menolong hamba-Nya dan hanya menimpakan kekalahan kepada pasukan musuh. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.
Perang Khandaq ini terjadi pada tahun 5 H pada bulan Syawwal. Ini menurut pendapat yang lebih kuat. Orang-orang musyrik mengepung Rasulullah dan orang-orang muslim selama sebulan penuh atau mendekati itu. Dengan mengompromikan beberapa buku rujukan, dapat diambil kesimpulan bahwa permulaan pengepungan pada bulan Syawwal dan berakhir pada bulan Dzul Qa’dah. Menurut riwayat Ibnu Sa’d, Rasulullah shallallhu alaihi wasallam kembali dari Khandaq pada hari Rabu, seminggu sebelum habisnya bulan Dzul Qa’dah.
Perang Khandaq atau Ahzab bukan merupakan peperangan yang menimbulkan kerugian, tetapi merupakan perang urat syaraf. Di sini tidak ada pertempuran yang seru. Tetapi dalam catatan sejarah Islam, ini merupakan peperangan yang sangat menegangkan, yang berakhir dengan pelecehan di pihak pasukan musyrikin dan memberi kesan bahwa kekuatan sebesar apa pun yang ada di Arab tidak akan sanggup melumatkan kekuatan lebih kecil yang sedang makar di Madinah. Sebab bangsa Arab tidak sanggup menghimpun kekuatan yang lebih besar dari pada pasukan Ahzab ini. Oleh karena itu Rasulullah shallallhu alaihi wasallam bersabda, tatkala Allah sudah mengalahkan pasukan musuh, “Sekarang kitalah yang ganti menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi mereka.”
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury