• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Perang Badr Kubra

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Latar Belakang Peperangan
  2. Kadar Kekuatan Pasukan Islam dan Pembagian Komando
  3. Pasukan Islam Bergerak Ke Badr
  4. Peringatan di Makkah
  5. Gambaran Pasukan Quraisy dan Persiapan Sebelum Perang
  6. Pasukan Quraisy Bergerak
  7. Kafilah Dapat Meloloskan Diri
  8. Kebimbangan Pasukan Makkah
  9. Posisi Pasukan Islam yang Cukup Rawan
  10. Majelis Permusyawaratan
  11. Rasulullah Melakukan Kegiatan Mata-mata
  12. Memperoleh Data yang Akurat tentang Pasukan Makkah
  13. Menempati Posisi Lebih Strategis
  14. Persiapan Pasukan
  15. Pasukan Quraisy Mulai Memasuki Arena Pertempuran dan Perpecahan di Kalangan Mereka
  16. Dua Pasukan Saling Mengintai
  17. Bara Perang Mulai Menyala
  18. Rasulullah Memohon kepada Allah
  19. Para Malaikat Telah Turun
  20. Serangan Balik
  21. Iblis Ikut Lari dari Medan Peperangan
  22. Kekalahan Telak
  23. Sepak Terjang Abu Jahal
  24. Pesona-pesona Iman dalam Peperangan
  25. Korban di Kedua Belah Pihak
  26. Makkah Menerima Kabar Kekalahan
  27. Madinah Menerima Kabar Kemenangan
  28. Pasukan Nabi Bergerak Menuju Madinah
  29. Utusan Para Penyambut
  30. Masalah Tawanan
  31. Al-Qur’an Berbicara tentang Masalah Perang

1. Latar Belakang Peperangan

Seperti yang sudah kami ungkapkan sebelwnnya, bahwa kafilah dagang Quraisy bisa lepas dari hadangan Nabi dalam perjalanan dari Makkah ke Syam. Tatkala mendekati kepulangan mereka dari Syam ke Makkah, maka beliau mengutus Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid agar pergi ke utara, dengan tugas penyelidikan. Keduanya tiba di Al-Haura’ dan berada di sana untuk beberapa lama. Tatkala kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan sudah lewat, maka keduanya cepat-cepat kembali ke Madinah dan menyampaikan kabar ini kepada Rasulullah.

Kafilah dagang itu sendiri membawa harta kekayaan penduduk Makkah, yang jumlahnya sangat melimpah, yaitu sebanyak 1.000 onta yang membawa harta benda milik mereka, yang nilainya tidak kurang dari 5.000 dinar emas. Sementara yang mengawalnya tidak lebih dari 40 orang.

Ini merupakan kesempatan emas bagi pasukan Madinah untuk melancarkan pukulan yang telak terhadap orang-orang musyrik,pukulan dalam bidang politk, ekonomi, dan militer, jika mereka sampai kehilangan kekayaan yang tiada terkira banyalmya ini. Oleh karena itu, Rasulullah mengumumkan kepada orang-orang Muslim, “Ini adalah kafilah dagang Quraisy yang membawa harta benda mereka. Hadanglah kafilah itu, semoga Allah memberikan barang rampasan itu kepada kalian.”

Beliau tidak menekankan kepada seorang pun di antara mereka untuk bergabung, tetapi beliau menyerahkan masalah ini kepada kerelaan mereka. Sebab kali ini tidak akan terjadi bentrokan yang seru dengan pasukan Quraisy, dan memang bentrokan ini baru terjadi saat di Badr. Oleh karena itu, banyak sahabat yang memilih tetap di Madinah. Sebab ketetapan kali ini tak berbeda dengan ketetapan beliau dalam mengirimkan satuan-satuan pasukan sebelumnya. Karena itu, mereka pun tidak mengingkari keputusan beliau untuk tidak ikut dalam penghadangan ini.

2. Kadar Kekuatan Pasukan Islam dan Pembagian Komando

Rasulullah mengadakan persiapan untuk keluar, beserta 313 atau hingga 317 orang, terdiri dari 82 hingga 86 dari Muhajirin, 61 dari Aus dan 170 dari Khazraj. Mereka tidak mengadakan pertemuan khusus, tidak pula membawa perlengkapan yang banyak. Kudanya pun hanya dua ekor, seekor milik Az¬Zubair bin Al-Awwam dan satu lagi milik Al-Miqdad bin Al-Aswad Al-Kindi. Sedangkan ontanya ada 70 ekor. Satu ekor dinaiki dua atau tiga orang. Sementara Rasulullah naik seekor onta bersama Ali bin Abu Thalib dan Martsad bin Abu Martsad Al-Ghanaw.

Beliau mengangkat Ibnu Ummi Maktum menjadi wakil beliau di Madinah. Namun setibanya di Ar-Rauha’, pengangkatan Ibnu Ummu Maktum sebagai wakil yang menggantikan kedudukan beliau di Madinah, ini disanggah Abu Lubabah bin Abdul Mudzir. Maka kemudian beliau mengganti Ibnu Maktum dengan Abu Lubabah.
Bendera komando tertinggi yang berwama putih diserahkan kepada Mush’ab bin Umair Al-Qurasyi Al-Abdari. Sementara pasukan Muslimin dibagi menjadi dua batalyon:

1. Batalyon Muhajirin, yang benderanya diserahkan kepada Ali bin Abu Thalib.
2. Batalyon Anshar yang benderanya diserahkan kepada Sa’d bin Mu’adz.

Komando front kanan diserahkan kepada Az-Zubair bin Al-Awwam, dan front kiri diserahkan kepada Al-Migdad bin Amr, karena hanya mereka berdualah yang naik dalam pasukan ini, dan pertahanan garis belakang diserahkan kepada Qais bin Sha’sha’ah. Komando tertinggi berada di tangan beliau.

3. Pasukan Islam Bergerak Ke Badr

Tanpa rasa gentar sedikit pun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dari jantung Madinah bersama pasukan ini, berjalan melewati jalur pokok menuju Makkah, hingga tiba di sumur Ar-Rauha’ yang sekalipun belum pernah didatangi beliau. Dari sini beliau tidak mengambil jalan ke kiri yang menuju Makkah, tetapi justru mengambil jalan ke arah kanan menuju Badr, melewati Rahaqan dan tiba di Ash-Shafra’. Dari sana beliau mengirim Basbas bin Amr dan Adi bin Abu Az-Za’ba’ Al-Juhannya agar pergi ke Badr, untuk mencari berita tenang kafilah dagang Quraisy.

4. Peringatan di Makkah

Abu Sufyan yang bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan kafilah dagang Quraisy, bertindak sangat hati-hati dan waspada. Dia tahu bahwa jalur ke Makkah penuh dengan risiko. Maka dari itu dia pun mencari-cari informasi, bertanya kepada siapa pun yang ditemuinya di jalan, hingga akhirnya dia mendapat kabar yang menyakinkan bahwa Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam telah pergi bersama rekan-rekannya untuk menghadang kafilah. Pada saat itu Abu Sufyan mengupah Dhamdham bin Amr Al-Ghifari agar pergi ke Makkah, memberitahu orang-orang Quraisy guna mengirim pertolongan untuk menyelamatkan kafilah dagang mereka dan menghadapi Muliammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta rekan-rekannya. Maka Dhamdham mengadakan perjalanan cepat hingga selamat tiba di Makkah. Dengan baju yang terkoyak-koyak dan bekalnya yang acak-acakan, dia berdiri di tengah punggung ontanya yang hidungnya sudah tampak buruk, di tengah lembah, sambil berteriak, “Wahai sekalian orang-orang Quraisy, kafilah, kafilah …! Harta benda kalian yang di bawa Abu Sufyan telah dihadang Muhammad Shallallahu alaihi washallam beserta rekan-rekannya. Menurutku kalian hams menyusulnya. Tolonglah, tolonglah !”

5. Gambaran Pasukan Quraisy dan Persiapan Sebelum Perang

Seketika itu pula semua orang bersiap-siap. Mereka berkata, “Apakah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan rekan-rekannya mengira bahwa dia bisa menjadi seperti kafilah Ibnul Hadhrami? Sama sekali tidak. Demi Allah, mereka pasti akan mendapatkan kenyataan yang berbeda.”

Mereka hanya ada dua pilihan, berangkat sendiri ataukah mewakilkan kepada seseorang. Semua penduduk Makkah hendak bergabung. Tak seorang pun pembesar mereka yang tertinggal kecuali Abu Lahab. Namun begitu dia mewakilkannya kepada seseorang yang masih berhutang kepadanya. Bahkan, beberapa kabilah Arab di sekitar mereka juga ikut bergabung. Semua perkampungan Quraisy ikut andil kecuali Bani Adi. Tak seorang pun diantara mereka yang ikut keluar.

Kekuatan pasukan Makkah ini ada 1.300 orang pada awal mulanya, 100 kuda, memiliki 600 baju besi dan onta yang cukup banyak jumlahnya dan tidak diketahui secara persis berapa jumlalmya. Komando tertinggi dipegang Abu Jahal bin Hisyam. Ada sembilan pemuka Quraisy yang bertanggang jawab terhadap rangsum yang dibutuhkan seluruh anggota pasukan. Sehari mereka menyembelih sembilan ekor onta, dan terkadang sepuluh ekor.

Setelah semua orang Quraisy sepakat untuk berangkat, di antara mereka ada yang mengingatkan permusuhan mereka dengan Bani Bakr. Mereka khawatir Bani Bakr akan memukul mereka dari belakang, sehingga mereka bisa terjepit di antara dua kobaran api. Mereka benar-benar bimbang. Namun kemudian muncul seorang iblis yang bemama Suraqah bin Malik bin Ju’stum Al-Mudliji, pemimpin Bani Kinanah, lalu berkata kepada mereka, “Akulah yang akan menjamin bagi kalian andaikan Bani Kinanah memukul kalian dari belakang, yang dapat merugikan kalian.”

6. Pasukan Quraisy Bergerak

Setelah persiapan dianggap selesai, mereka pun berangkat meninggalkan tempat mereka. Sikap mereka telah digambarkan Allah dalam firman-Nya.

“dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dart jalan Allah.” (Al-Anfal: 47)

Mereka datang seperti yang digambarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam “Dengan membawa kemarahan dan senjata mereka. Mereka memusuhi Allah dan Rasul¬Nya.” Mereka pergi dengan membawa kemurkaan dan kedengkian terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa shllam serta para sahabat, di samping untuk menyelamatkan kafilah dagang mereka.

Mereka bergerak dengan cepat, lurus ke arah utara menuju Badr. Mereka melewati jalur Usfan, Qadid, dan Al-Juhfah. Di sana datang surat dari Abu Sufyan yang isinya:

“Sesungguhnya kalian keluar hanya untuk menyelamatkan kafilah dagang, orang-orang kalian dan harta benda kalian. Allah telah menyelamatkan semuanya. Karena itu lebih baik kembalilah.”

7. Kafilah Dapat Meloloskan Diri

Seperti yang dituturkan Abu Sufyan, tadinya dia mengambil jalur pokok yang menuju Makkah. Oleh karena itu dia meningkatkan kewaspadaan dan selalu menyelidiki. Tatkala kafilahnya sudah mendekati Badr, dia mendahului rombongan hingga bertemu dengan Majdi bin Amr, dan menanyakan pasukan Madinah kepadanya.
“Aku tidak melihat seorang pun yang dicurigai. Hanya saja tadi kulihat ada dua orang penunggang yang berhenti di bukit itu,” jawab Majdi.
Setelah mengisi kantong air, keduanya pun pergi. Abu Sufyan segera mendatangi tempat menderum onta dua orang yang dimaksudkan Majdi dan meneliti kotorannya, yang ternyata di sana ada biji-bijian yang masih utuh. Dia berkata,”Demi Allah, ini adalah makanan hewan dari Yatsrib.” Secepat itu pula dia kembali menemui kafilahnya dan mengalihkan arah perjalanan menuju ke barat menuju pesisir pantai, tidak jadi mengambil jalan pokok yang melewati Badr, tepatnya ke arah kiri. Dengan cara itu kafilah Abu Sufyan bisa selamat dari hadangan pasukan Madinah lalu mengirim surat ke pasukan Makkah yang sudah tiba di Al-Juhfah.

8. Kebimbangan Pasukan Makkah

Setelah menerima surat ini, terbesit keinginan pasukan Makkah untuk kembali. Tetapi dengan sikap yang angkuh dan sombong Abu Jahal berkata, “Demi Allah, kita tidak akan kembali kecuali setelah tiba di Badr. Kita akan berada di sana selama tiga hari sambil menyembelih hewan, makan besar, menenggak arak dan para biduanita menyanyi untuk kita, biar semua bangsa Arab mendengar apa yang sedang kita lakukan dan perjalanan kita, sehingga mereka senantiasa getar menghadapi kita.

Sebenarya Al-Aldmas bin Syariq sudah menyarankan Abu Jahal untuk kembali saja. Namun banyak di antara mereka yang juga tidak mau mendengarkan saran Al-Alkhnas ini. Maka dia pun kembali bersama Bani Zuhrah. Sehingga tak seorang pun dari Bani Zuhrah yang ikut dalam peperangan. Jumlah mereka ada tiga ratus orang. Di kemudian hari, Bani Zurah sangat salut terhadap ketajaman pemikiran Al-Alkhnas ini, sehingga dia semakin disegani dan ditaati.

Sebenarnya Bani Hasyim juga ingin kembali. Namun Abu Jahal memaksa mereka, seraya berkata, “Janganlah gara-gara peperangan ini membuat kita terpecah hingga kita pulang nanti.”
Maka pasukan Makkah dengan kekuatan 1.000 orang melanjutkan perjalanan menuju Badr. Mereka terus berjalan hingga mendekati Badr dan bersembunyi di balik bukit pasir, di pinggiran wadi Badr.

9. Posisi Pasukan Islam yang Cukup Rawan

Mata-mata pasukan Madinah menyampaikan berita tentang lolosnya kafilah dagang Abu Sufyan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu masih dalam perjalanan melewati Wadi Dzifiran. Sementara itu, tidak ada kesempatan bagi beliau dan para sahabatnya untuk menghindari peperangan. Jadi mau tidak mau harus terus maju ke depan dengan mengobarkan semangat, keberanian, dan heroisme. Sebab jika pasukan Makkah dibiarkan bercokol di sekitar daerah itu, sama saja dengan memberi angin kepada mereka untuk memantapkan posisi militernya, melebarkan pengaruh politiknya, bisa melemahkan persatuan orang-orang Muslim dan menimbulkan perasaan takut. Bahkan boleh jadi gerakan Islam setelah itu hanya sebatas gerakan jasad tanpa ruh, lalu siapa pun yang memendam kedengkian dan kebencian terhadap Islam bisa melancarkan serangan setiap saat ke Madinah.

Apakah setelah itu ada seseorang yang bisa memberi jaminan kepada orang orang Muslim untuk menghadang pasukan Makkah agar tidak bisa meneruskan perjalanannya menuju Makkah, sehingga kalau pun meletus peperangan, maka peperangan itu terjadi di luar Madinah dan tidak di pelataran mereka? Sama sekali tidak ada. Sementara itu, andaikata pasukan Madinah kalah, pengaruhnya akan lebih buruk bagi pamor kaum Muslimin.

10. Majelis Permusyawaratan

Melihat perkembangan yang cukup rawan dan tidak terduga-duga ini, maka Rasulullah menyelenggarakan majlis musyawarah militer. Dalam majlis ini beliau mengisyaratkan posisi mereka yang harus dipertahankan secara mati matian dan membuka kesempatan kepada setiap anggota pasukan dan para komandannya untuk mengemukakan pendapat. Pada saat itu ada sebagian di antara mereka yang hatinya menjadi kecil dan takut terjun dalam pertempuran. Mereka inilah yang dlisyaratkan Allah dalam firman-Nya,

“Sebagaimana Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagtan dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu tetang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (Al-Anfal: 5-6)

Sedangkan para komandan pasukan, seperti Abu Bakar dan Umar bin Al-Khathab, sama sekali tidak -kendor semangatnya dan maju terus. Kemudian Al-Miqdad bin Amr berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah majulah terus seperti diperlihatkan Allah kepada engkau. Kami akan bersama engkau. Demi Allah, kami tidak akan berkata kepada engkau sebagaimana Bani Israel yang berkata kepada Musa. ‘Pergi engkau sendiri bersama Rabb-mu lalu berperanglah kalian berdua. Sesunggulmya kami ingin duduk menanti di sini saja’. Tetapi pergilah engkau bersama Rabb-mu lalu berperanglah kalian berdua, dan sesungguhnya kami akan berperang bersama kalian berdua. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, andaikata engkau pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, maka kami pun siap bertempur bersama engkau hingga engkau bisa mencapai tempat itu. “Bagus,” sabda Rasulullah sembari mendoakan kebaikan bagi Al-Miqdad.

Itulah pendapat yang disampaikan tiga komandan pasukan dari Muhajirin. Padahal jumlah mereka lebih sedikit. Maka Rasulullah ingin mendengar pendapat para komandan Anshar. Sebab mereka adalah jumlah mayoritas dalam pasukan. Terlebih lagi, beban peperangan pasti akan membebani pundak mereka. Sementara klausul Baiat Aqabah tidak menghasilkan mereka ikut dalam peperangan di luar  perkampungan mereka.
Maka setelah mendengar pendapat tiga komandan Anshar itu, beliau bersabda kepada mereka, “Berilah aku masukan wahai semua orang!” Di dalam hati, beliau mengarahkan sabdanya ini kepada Anshar.

Maksud hati beliau ini dapat ditangkap komandan Anshar dan sekaligus pembawa benderanya, yaitu Sa’d bin Mua’dz. Dia pun berkata, “Demi Allah, sepertinya yang engkau maksudkan adalah kami wahai Rasulullah.” “Begitulah,” jawaban beliau.

Sa’d berkata, “Kami sudah beriman kepada engkau. Kami sudah membenarkan engkau. Kami sudah bersaksi bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Kami sudah memberikan sumpah dan janji kami untuk patuh dan taat. Maka majulah terus wahai Rasulullah seperti engkau kehendaki. Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, andaikata engkau bersama kami terhalang lautan lalu engkau terjun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersama engkau. Tak seorang pun di antara kami yang akan mundur. Kami sedang jika besok engkau berhadapan dengan musuh bersama kami. Sesungguhnya kami dikenal orang-orang yang sabar dalam peperangan dan jujur dalam pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu tentang diri kami, apa yang engkau senangi. Maka majulah bersama kami dengan barakah Allah.”

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Sa’d bin Mu’ adz berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi engkau khawatir orang-orang Anshar hanya berpegang kepada hak mereka untuk tidak menolongmu kecuali di tengah perkampungan mereka. Sesungguhnya aku berbicara dan memberi jawaban atas nama orang-orang Aashar. Maka dari itu majulah seperti engkau kehendaki, sambunglah tali siapa pun yang engkau kehendaki, putuslah tali siapa pun yang engkau kehendaki, ambillah dari harta kami menurut kehendak engkau, berikanlah kepada kami menurut kehendak engkau. Apa pun yang engkau ambil dari kami, maka itu lebih kami sukai dari pada apa yang engkau tinggalkan bagi kami. Apa pun yang engkau perintahkan,maka urusan kami hanyalah mengikuti perintah engkau. Demi Allah, jika engkau maju hingga mencapai dasar sumur yang gelap, tentu kami akan maju bersama engkau. Demi Allah, jika engkau terhalang lautan bersama kami, lalu engkau terjun ke lautan itu, tentu kami juga akan terjun bersama engkau. ”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gembira dengan apa yang dikatakan Sa’d dan semangatnya yang menggebu-gebu. Maka beliau bersabda, “Majulah kalian dan terimalah kabar gembira, karena Allah telah menjanjikan salah satu dari dua pihak kepadaku. Demi Allah, seakan-akan saat ini aku bisa melihat tempat kematian mereka.”

Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Dzafiran untuk melanjutkan perjalanan. Beliau melewati jalan bukit yang disebut Al-Ashafir, kemudian cepat-cepat menuju suatu tempat yang disebut Ad-Dabbah dan meninggalkan Al-Hannan di sebelah kanannya, yaitu sebuah bukit pasir yang menyerupai gunung yang kokoh, kemudian tiba di dekat Badr.

11. Rasulullah Melakukan Kegiatan Mata-mata

Dari sana beliau melakukan kegiatan mata-mata sendiri bersama sahabat karib beliau di dalam gua, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tatkala beliau sedang berputar-putar di sekitar pasukan Makkah, tiba-tiba beliau berpapasan dengan seorang Arab yang sudah tua. Beliau bertanya kepadanya tentang pasukan Quraisy dan Muhammad Shallallahu alaihi washallam. Beliau menanyakan kedua pasukan untuk penyamaran.
“Aku tidak akan memberitahultan kepada kalian sebelum kalian mem¬beritahukan kepadaku, dari mana asal kalian berdua,” kata orang tua itu.
“Beritahukan kepada kami, nanti akan kami beritahukan kepadamu dari mana asal nanti,” sabda beliau.
“Jadi begitukah?” tanya orang tua itu.
“Benar,” jawab beliau.
“Menurut informasi yang kudengar, Muhammad Shallallahu alaihi washallam dan rekan-rekannya berangkat pada hari ini. Jika informasi itu benar, berarti pada hari ini dia sudah tiba di tempat ini (tepat di tempat pemberhentian pasukan Madinah). Menurut informasi yang kudengar, Quraisy berangkat pada hari ini. Jika informasi ini benar, berarti mereka sudah tiba di tempat ini (tepat di tempat pemberhentian pasukan Makkah).” Setelah itu dia bertanya, “Lalu dari mana asal kalian berdua?”

Beliau menjawab, “Kami berasal dari setetes air.”
Setelah itu beliau beranjak pergi, meninggalkan orang tua itu terlongong keheranan, “Dari setetes air yang mana? Ataukah dari setetes air di Irak?”

12. Memperoleh Data yang Akurat tentang Pasukan Makkah

Pada sore harinya beliau mengirim beberapa mata-mata lagi, untuk mencari data tentang musuh. Tugas ini diserahkan kepada tiga orang komandan Muhabrin, yaitu Ali bin Abu Thalib,Az-Zubair bin Al-Awwan dan Sa’d bin Abi Waqqash, dengan beberapa orang lagi. Mereka pergi ke mata air Badr, dan di sana mereka bertemu dengan dua pesuruh yang tugasnya mengambil air untuk kebutuhan pasukan Makkah. Mereka langsung membelenggu dua pesuruh itu dan membawanya kehadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau masih shalat, maka mereka mengorek keterangan dari keduanya. Mereka berdua menjawab, “Kami adalah para pesuruh Quraisy. Mereka memerintahkan agar kami membawa air bagi kebutuhan mereka.” Namun mereka tidak puas dengan jawaban Mereka menginginkan mereka berdua adalah pesuruh Abu Sufyan. Bagaimana pun juga mereka masih menyisakan harapan untuk dapat menguasai kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan. Karenanya mereka memukuli kedua orang tua itu hingga kesakitan. Karena mendapat pukulan yang bertubi-tubi, mereka berdua menjawab, “Kami memang pesuruh Abu Sufyan.” Barulah mereka menghentikan pukulan.

Setelah selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seakan menyindir mereka,” Jika mereka berdua berkata jujur kepada kalian, maka kalian memukuli mereka. Namun jika mereka berdusta kepada kalian, maka kalian membiarkan mereka. Demi Allah, mereka berdua berkata jujur. Mereka adalah pesuruh Quraisy.”

Kemudian beliau bersabda kepada keduanya, “Kabarkanlah kepadaku tentang posisi pasukan Quraisy!”
“Mereka berada di balik bulat pasir yang bisa engkau lihat ketika memandang ke arah Al-Udhwatul-Qushwa,” jawab mereka berdua.
“Berapa jumlah mereka?” tanya beliau.
“Banyak sekali.”
“Berapa tepatnya?”
“Kami tidak tahu persis.”
“Berapa ekor binatang yang mereka sembelih setiap harinya?” tanya beliau. “Sehari sembilan ekor dan besoknya lagi sepuluh ekor,” jawab mereka berdua.

“Berarti jumlah mereka antara sembilan ratus hingga seribu orang,” sabda beliau. Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapa saja pemuka Quraisy yang bergabung di tengah mereka?”
“Ada Uthbah dan Syaibah, kedua anak Rabi’ah,Abul Balchtari bin Hisyam, Hakim bin Hizam, Naufal bin Khuwalid, Al-Harits bin Amir, Thu’aimah bin Adi, An-Nadhr bin Al-Harits, Zam’ah bin Al-Aswad, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf …” dan beberapa orang lagi yang mereka sebutkan.

Setelah itu Rasulullah menghadap ke arah semua orang seraya bersabda, “Wahai semua orang, inilah Makkaah yang telah menghantarkan jantung hatinya kepada kalian.”
Pada malam itu Allah menurunkan hujan yang deras, sehingga orang-orang musyrik basah kuyup dan menghambat langkah mereka untuk maju. Tetapi bagi orang-orang Muslim, hujan itu seakan memoleskan kebersihan mereka dan mengenyahkan daki-daki setan dari diri mereka, bumi menjadi kesat, pasir menjadi kuat, pijakan kaki pun menjadi mantap, tempat mereka menjadi rata dan hati mereka semakin menyatu.

13. Menempati Posisi Lebih Strategis

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa pasukannya ke mata air Badr agar bisa mendahului pasukan orang-orang Quraisy, sehingga mereka bisa menghalangi orang-orang Quraisy untuk menguasai mata air itu. Maka pada petang hari mereka sudah tiba di dekat mata air Badr. Di sinilah Al-Hubab bin Al-Mundzir tampil layaknya seorang penasihat militer, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang keputusan berhenti di tempat ini? Apakah ini tempat berhenti yang diturunkan Allah kepada engkau? Jika begitu keadaannya, maka tidak ada pilihan bagi kami maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah in sekedar pendapat, siasat, dan taktik perang?”

Beliau menjawab, “Ini adalah pendapatku, siasat, dan taktik perang.”
Dia berkata, “Wahai Rasulullah, menurutku tidak tepat jika kita berhenti di sini. Pindahkanlah orang-orang ke tempat yang lebih dekat lagi dengan mata air dari pada mereka (orang-orang musyrik Makkah). Kita berhenti di tempat itu dan kita timbun kolam-kolam di belakang mereka, lalu kita buat kolam yang kita isi air hingga penuh. Setelah itu kita berperang menghadapi mereka. Kita bisa minum dan mereka tidak bisa.”
Beliau bersabda, “Engkau telah menyampaikan pendapat yang jitu.” Maka Rasulullah memindahkan pasukannya, sehingga jarak mereka dengan mata air lebih dekat lagi dari pada pihak musuh. Separoh malam mereka berada di tempat itu, lalu mereka membuat sebuah kolom air dan menimbun kolam-kolam yang lain.

Tatkala orang-orang Muslim sudah berhenti di tempat yang dimaksudkan, dekat dengan mata air, maka Sa’d bin Mu’ad mengusulkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana jika orang-orang Muslim membuat tempat khusus bagi beliau untuk memberikan komando, sekaligus sebagai antisipasi adanya serangan mendadak serta kemungkinan jika mereka terdesak dan sebelum memastikan kemenangan. Dia berkata, “Wahai Nabi Allah, bagaimana jika kami membuat sebuah tenda bagi engkau dan kami siapkan kendaraan disisi engkau, kemudian biarlah kami menghadapi musuh? jika Allah memberikan kemenangan kepada kita atau musuh, maka memang itulah yang kami sukai.

Tetapi jika hasilnya lain, maka engkau bisa langsung duduk di atas kendaraan, lalu bisa menyusul orang-orang di belakang kami. Di sana masih ada beberapa orang yang tidak ikut bergabung dengan kami. Wahai Nabi Allah, mereka jauh lebih mencintai engkau dari pada cinta kami kepada engkau. Jika mereka menganggap bahwa engkau harus menghadapi perang, tentu mereka tidak akan mangkir dari sisi engkau. Allah pasti akan membela engkau bersama mereka, memberikan nasihat kepada engkau dan berjihad bersama engkau.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon dan mendoakan kebaikan bagi Sa’d. Lalu orang-orang Muslim membuat sebuah tenda di tempat yang tinggi, tepatnya di sebelah timur laut dari medan perang.
Ada beberapa pemuda Anshar yang telah ditunjuk menyertai Sa’d bin Mu’adn, yang berjaga-jaga di sekitar Rasulullah.

14. Persiapan Pasukan

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan pasukan, berkeliling di sekitar arena yang akan dijadikan ajang pertempuran. Beliau menunjuldtan jarinya ke suatu tempat sambil bersabda, “Ini tempat kematian Fulan esok hari insya Allah, dan ini tempat kematiannya Fulan insya Allah.”
Pada malam itu beliau sering melaksanakan shalat di dekat pangkal pohon yang tumbuh di sana. Sedangkan orang-orang Muslim tidur dengan hembusan napas yang tenang seakan menyinari angkasa. Hati mereka ditaburi keyakinan. Mereka cukup istirahat pada malam itu, dengan harapan esok paginya dapat melihat kabar gembira dari Allah.

“(Ingatlah) kenka Allah menjadikan kalian mengantuk sebagai suatu penentram dari-Nya, dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu dan menghilangkan dari kalian gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hati kalian dan memperteguh dengannya telapak kaki (kalian).” (Al-Anfal: 11)

Malam itu adalah malam Jum’at, tanggal 17 Ramadhan 2 H. Sementara
keberangkatan beliau pada tanggal 8 atau 12 dari bulan yang sama.

15. Pasukan Quraisy Mulai Memasuki Arena Pertempuran dan Perpecahan di Kalangan Mereka

Malam itu pasukan Quraisy menghabiskan waktunya di Al-Udwatul Qushwa. Pada pagi harinya mereka turun dari atas lembah pasir dengan seluruh satuan-satuannya hingga tiba di lembah Badr. Tiba-tiba ada beberapa orang dari pasukan Quraisy muncul di hadapan Rasulullah Beliau bersabda, “Biarkanlah saja mereka.”
Tak seorang pun di antara mereka yang hendak mengambil air minum dari mata air melainkan pasti mereka terbunuh, kecuali Hakim bin Hizam. Dia tidak terbunuh dan setelah itu dia masuk Islam. Setiap kali berjuang di sisi beliau, dia pun berkata, “Tidak. Demi yang telah menyelamatkan aku dari Perang Badr.”

Setelah pasukan Quraisy agak tenang, mereka mengutus Umair bin Wahb Al-hunahi untuk menyelidiki dan menaksir seberapa besar kekuatan pasukan Madinah. Maka Umair berputar-putar di sekitar pasukan Muslimin dengan menaiki kudanya, kemudian kembali menemui rekan-rekannya dan berkata, “300 orang, kurang atau lebih sedikit. Tetapi tunggu dulu, biar kuselidiki lagi kalau-kalau mereka mempunyai pasukan cadangan atau pasukan pendukung di belakangnya.”

Lalu dia memacu kudanya hingga cukup jauh, dan setelah tak ada sesuatu pun yang dilihatnya, maka dia segera kembali lagi menemui pasukan Quraisy dan berkata kepada mereka, “Aku tidak melihat apa pun. Tetapi wahai orang orang Quraisy, kulihat bencana besar yang membawa mimpi, kolam-kolam Yatsrib yang membawa kematian yang memilukan. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai tameng dan benteng kecuali pedang-pedang mereka. Demi Allah, tidak ada seseorang di antara mereka yang terbunuh, melainkan dia telah membunuh salah seorang di antara kalian. Jika jumlah mereka sama dengan jumlah kalian, maka tidak ada artinya hidup setelah itu. Maka pikirkanlah hal ini!”

Pada saat itu ada pula aksi penentangan terhadap Abu Jahl yang ngotot untuk berperang. Aksi penentangan ini mengajak pasukan untuk kembali ke Makkah tanpa harus bertempur dengan musuh. Maka Hakim bin Hizam kembali bersama beberapa orang. Lalu dia menemui Utbah bin Rabi’ah dan berkata, “Wahai Abul Walid, engkau adalah pemuka Quraisy, pemimpin dan orang yang dipatuhi. Apakah engkau ingin memperoleh kenangan yang manis sepanjang masa?”
“Apa itu wahai Hakim?” tanya Utbah.
“Pulanglah dengan orang-orangmu dan bawalah urusan sekutumu Amr bin Al-Hadhrami.” Amr adalah orang yang terbunuh saat dipanah satuan perang Muslimin di Makkah.
Utbah berkata, “Aku pasti akan melakukannya dan engkaulah penjaminku atas tindakan ini. Memang dia adalah sekutuku. Maka akulah yang akan menangani masalah tebusannya dan harta yang seharusnya milik dia.”
Kemudian Utbah berkata kepada Hakim bin Hinam, “Kalau begitu temuilah Abu Jahl. Aku tidak takut jika urusan orang-orang ini menjadi terpecah karena dia.”
Lalu Utbah bin Rabi’ah berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Wahai semua orang Quraisy, demi Allah, sebenarnya tak ada gunanya kalian memerangi Muliammad Shallallahu alaihi washallam dan rekan-rekannya. Demi Allah, kalau pun kalian bisa mengalahkannya, toh seseorang di antara kalian tetap memandang wajah seseorang yang membuatnya benci tatkala melihatnya, karena anak pamannya atau seseorang di antara kerabatnya ikut menjadi korban. Pulanglah dan biarkanlah urusan Muhammad Shallallahu alaihi washallam dengan orang-orang Arab. Jika mereka dapat mengalahkannya, maka biarkan saja kalian tidak mendapatkan apa yang kalian inginkan.”
Hakim bin Hizam menemui Abu Jahl yang sedang mempersiapkan baju besinya, seraya berkata, “Wahai Abul Hakam, sesungguhnya Utbah mengutusku untuk berkata begini dan begini.”
Abu Jahl berkata, “Demi Allah, rupanya dia benar-benar ketakutan tatkala melihat Muliammad Shallallahu alaihi washallam dan rekan-rekannya. Demi Allah, kita tidak akan kembali sebelum Allah memutuskan perkara antara kita dan Muhammad Shallallahu alaihi washallam. Biarkan saja Utbah dan perkataannya. Yang pasti, dia sudah melihat bahwa Muhammad Shallallahu alaihi washallam

adalah pemakan hewan yang sudah dipotong dan di tengah mereka ada anakya, sehingga dia menakut-nakuti kalian untuk berhadapan dengannya.” Yang dimaksudkan dengan anaknya adalah Hudzaifah bin Utbah yang sudah sejak lama masuk Islam dan juga ikut hijrah.

Tatkala Utbah mendengar ucapan Abu Jahl, “Demi Allah, rupanya dia benar-benar ketakutan,” maka dia berkata, “Perlu dilihat pantat siapa yang lebih takut, entah dia atau aku.”

Karena merasa khawatir aksi penentangan ini semakin kuat dan untuk menghentikan dialog ini, maka Abu Jahl segera memanggil Amir bin Al-Hadhrami, saudara Amr bin yang menjadi korban di Makkah, seraya berkata kepadanya, “Ini sekuhunu ingin mengajak orang-orang untuk pulang. Padahal engkau tahu sendiri siapa orang yang hendak engkan tuntut balas. Maka bangkidah dan carilah orang yang hendak engkau balas dan yang membunuh saudaramu.”

Maka Amir bangkit sambil menampakan pantatnya, lalu berkata, “Demi Allah, Demi Allah, perang sudah berkobar dan orang-orang sudah tidak sabar lagi. Mereka sudah berkumpul untuk menuntut balas. Sementara mereka sudah dikacaukan karena pendapat yang disampaikan Utbah. “

Ternyata sikap gegabah telah mengalahlcan sikap bijaksana, sehingga penentang yang disampaikan Hakim itu tidak banyak berarti.

16. Dua Pasukan Saling Mengintai

Setelah dua pasukan saling mengintai, maka Rasulullah bersabda:

Ya Allah, ini Quraisy yang datang dengan kecongkakan dan kesombongannya, yang memusuhi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, yang kuharapkan adalah pertolongan-Mu seperti yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”
Tatkala Rasulullah sedang melepaskan barisan orang-orang Muslim, tiba tiba ada kejadian lucu. Saat itu Sawad bin Ghaziyyah bergeser dari barisannya. Maka beliau memukulnya dengan anak panah agar melunakan barisan, sambil bersabda, “Luruskan barisanmu wahai Sawad!” Sawad menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau telah membuatku sakit. Maka beri kesempatan kepadaku untuk membalasnya.”

Maka beliau menyingkap baju di bagian perutnya seraya bersabda, “Kalau begitu balaslah!”
Maka Sawad langsung memeluk perut beliau. Beliau bertanya, “Ada apa kamu ini wahai Sawad?”
Sawad menjawab, “Wahai Rasulullah, telah datang apa yang engkau lihat saat ini. Sejak lama aku ingin agar kulitku dapat bersentuhan dengan kulit engkau pada saat-saat terakhir aku hidup bersama engkau.” Lalu beliau mendoakan kebaikan baginya.

Seusai meluruskan dan menata barisan, beliau mengeluarkan perintah agar pasukan tidak memulai pertempuran sebehun mendapat perintah yang terakhir dari beliau. Beliau juga menyampaikan beberapa petunjuk khusus tentang peperangan, dengan bersabda, “Jika kalian merasa jumlah musuh terlalu besar, maka lepaskanlah anak panah kepada mereka. Dahuluilah mereka dalam melepaskan anak panah. Kalian tidak perlu terburu-buru menghunus pedang kecuali setelah mereka dekat dengan kalian.”
Setelah itu beliau kembali lagi ke tenda bersama Abu Bakar. Sementara Sa’d bin Mu’adz bertanggung jawab memimpin satuan pasukan yang berlugas melindungi beliau.

Ternyata pada hari itu Abu Jahl juga mencari-cari keputusan dari Allah dan mengharapkan kemenangan, seraya berkata, “Ya Allah, apakah kami harus memutuskan tali kekerabatan dan menanggung akibat yang behun kami ketahui secara pasti? Maka hancurkanlah dia pada pagi ini. Ya Allah, siapakah yang lebih Engkau cintai dan lebih Engkan ridhai di sisi-Mu, maka berilah ia kemenangan pada hari ini.”
Tentang perkata.an Abu Jahl ini, Allah telah berfirman,

“Jika kalian (orang-orang musyrik) mencari keputusan, maka telah datang keputusan kepada kalian; dan jika kalian berhenti maka itulah yang lebih baik bagi kalian; dan jika kalian kembali, niscaya Kami kembali (pula); dan angkatan perang kalian sekali-kali tidak akan dapat menolak kalian dari sesuatu bahayapun, biarpun dia banyak dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 19)

17. Bara Perang Mulai Menyala

Yang pertama kali menyulut bara peperangan adalah Al-Aswad bin Abdul Asad Al-Makhzumi, seorang laki-laki yang perangainya kasar dan buruk akhlaknya. Dia keluar dari barisan pasukan Quraisy seraya berkata, “Aku bersumpah kepada Allah, aku benar-benar akan mengambil air minum dari kolam kalian, atau aku akan menghancurkannya atau lebih baik aku mati karenanya.”

Kedatangannya langsung disambut Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah saling berhadapan, Hamzah langsung menyambetnya dengan pedang sehingga kakinya putus dibagian betis dan darahnya muncurat mengenai rekan-rekannya. Setelah itu Al-Aswad merangkak ke kolam hingga tercebur di dalamnya. Tetapi secepat kilat Hamzah menyabetnya sekali lagi tak kala dia berada di dalam kolam.

Inilah korban pertama yang kemudian menyulut api peperangan. Setelah itu muncul tiga penunggang kuda Quraisy yang handal, yang berasal dari satu keluarga, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan Al-Walid bin Utbah. Tak kala mereka benar-benar sudah keluar dari barisan, maka mereka meminta untuk adu tanding. Maka muncul tiga pemuda Anshar, yaitu Auf bin Al-Harits, Mu’awwidz bin Al-Harits, ibu mereka berdua adalah Afra’, dan Abdullah bin Rawahah.
“Siapakah kalian ini?” tanya tiga orang musyrik.
“Kami orang-orang dari Aashar,” jawab tiga orang Muslim.
“Aku menginginkan orang-orang terpandang. Kami tidak membutuhkan kalian. Kami hanya menginginkan kerabat pamanku.”
Lalu ada di antara orang-orang musyrik itu yang berseru dengan suara lantang, “Hai Muhammad, keluarkan orang-orang yang terpandang yang berasal dari kaum kalian.”
Rasulullah bersabda, “Bangunlah wahai Ubaidah bin Al-Harits, engkau Hamzah dan engkau Ali!”
Tatkala tiga orang Muslim ini berdiri dan menghampiri tiga orang musyrik itu, mereka bertanya, “Siapa kalian ini?”
Setelah pertanyaan ini dijawab, mereka pun berkata, “Memang kalian orang-orang terpandang.”
Ubaidah yang paling tua di antara mereka, berhadapan dengan Utbah bin Rabi’ah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah bin Rabi’ ah dan Ali berhadapan dengan Hamzah dan Ali tidak terlalu kesulitan melibas lawan tandingnya. Lain halnya dengan Ubaidah dan lawan tandingnya. Masing-masing saling melancarkan serangan hingga dua kali, dan masing-masing melukai lawannya. Kemudian Hamzah dan Ali menghampiri Utbah lalu membunuhnya. Setelah itu mereka berdua memapah tubuh Ubaidah yang sudah lemah, karena kakinya tertebas hingga putus. Dia sama sekali tidak mengeluh hingga meninggal dunia di Ash-Shafra’, empat atau lima hari setelah Perang Badr, di tengah perjalanan pulang ke Madinah.
Pada saat itu Ali bersumpah kepada Allah, hingga karenanya turun ayat tentang kiprahnya,

“Inilah dua golongan (golongan Mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar karena Rabb mereka.”(Al-Hajj:19)

Kesudahan adu tanding ini merupakan awal yang buruk bagi orang orang musyrik, karena mereka kehilangan tiga orang penunggang kuda yang diandalkan dan sekaligus komandan pasukan mereka, hanya dalam sekali gebrakan saja. Kemarahan mereka menggelagak, lalu mereka menyerang pasukan Muslimin secara serentak dan membabi buta.

Setelah memohon kemenangan dan pertolongan kepada Allah, memurnikan niat dan tunduk kepada-Nya, maka orang-orang Muslim menghadang serangan orang-orang musyrik yang dilancarakan secara bergelombang dan terus menerus. Mereka tetap berdiri di tempat semula dengan sikap defensif. Namun cara ini cukup ampuh untuk menjatuhkan korban di kalangan orang-orang musyrik. Tak henti-hentinya mereka berseru, Ahad Ahad

18. Rasulullah Memohon kepada Allah

Semenjak usai meluruskan dan menata barisan pasukan Muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak henti-hentinya memohon kemenangan kepada Allah seperti yang telah dijanjikan-Nya, seraya bersabda,

“Ya Allah, penuhilah bagiku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengingatkan-Mu akan sumpah dan janji-Mu.” Tatkala pertempuran semakin berkobar dan akhirya mencapai pancaknya, maka beliau bersabda lagi,

“Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi, ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki untuk disembah untuk selamanya setelah hari ini.”

Begitu mendalam doa yang beliau sampaikan kepada Allah, hingga tanpa disadari selendang beliau jatuh dari pundak. Maka Abu Bakar memungutnya lalu mengembalikan ke pundak beliau, seraya berkata, “Cukuplah bagi engkau wahai Rasulullah untuk terus-menerus memohon kepada Rabb engkau.”
Lalu Allah mewahyukan kepada para malaikat,

“Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian)orang orang yang telah beriman. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir ” (Al-Anfah 12)

Lalu Allah mewahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Al-Anfal: 9)

Artinya, para malaikat itu datang secara bergelombang, sebagian datang
lalu disusul sebagian yang lain, tidak datang serentak dalam satu waktu.

19. Para Malaikat Telah Turun

Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diserang kantuk hanya dalam sekejap saja. Kemudian beliau mendongakkan kepala seraya bersabda, “Bergembiralah wahai Abu Bakar. Inilah Jibril yang datang di atas gulungan-gulungan debu.” Dalam riwayat Muhammad bin Ishaq disebutkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bergembiralah wahai Abu Bakar. Telah datang pertolongan Allah kepadamu. Inilah Jibril yang datang sambil memegang tali kekang kuda yang ditunganginya di atas gulungan-gulungan debu.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari pintu tenda, melompat dari sana dengan mengenakan baju besi, seraya membaca ayat,

Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (Al-Qamar: 45)

Kemudian beliau memungut segenggam pasir lalu mendekat ke arah pasukan Quraisy, sembari bersabda, “Wajah-wajah yang buruk.” Kemudian beliau menaburkan pasir itu ke wajah-wajah mereka. Sehingga tak seorang pun orang musyrik melainkan matanya atau tengkuknya atau mulutnya pasti terkena pasir itu. Tentang hal ini Allah menurunkan ayat,

“Dan, bukan kamu yang melempar tatkala kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar ” (Al-Anfal: 17)

20. Serangan Balik

Pada saat itu beliau mengeluarkan perintah pamungkas kepada pasukan Muslimin agar mengadakan serangan balik, seraya bersabda, “Kokohkanlah!” Lalu beliau memompa semangat mereka untuk terus berperang, dengan bersabda, “Demi diri Muhamad yang ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara mereka berperang pada hari ini, berperang dengan sabar, mengharap keridha.an Allah, maju terus pantang mundur, melainkan Allah memasukannya ke dalam surga.” Beliau membangkitkan mereka lagi, “Bangkitlah menuju ke surga, yang luasnya seluas langit dan bumi.”

Pada saat itu tiba-tiba Al-Umair bin Al-Hammam berkata, “Bakhin! bakhin!”
“Apa yang membuatmu berkata bakhin bakhin?” tanya beliau.
“Tidak, demi Allah wahai Rasulullah. Ini hanya sekedar harapan agar aku termasuk penghuninya.”
Beliau menjawab,”Sesungguhnya engkau memang termasuk penghuninya.”
Dia mengeluarkan beberapa korma dari tabungnya lalu memakan sebagian. Namun dia segera melemparkan sambil berkata, “Jika aku masih hidup dan masih memakan kormaku ini, maka ini adalah kehidupan yang amat lama.” Kemudian dia menyerbu musuh hingga terbunuh.’.
Pada saat itu Auf bin Al-Harits juga bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat Rabb tersenyum terhadap hamba-Nya?”
Beliau menjawab, “Jika dia menjulurkan tangannya ke tengah pasukan musuh tanpa mengenakan baju besi.”

Maka seketika itu pula Auf melepaskan baju besi yang dikenakannya lalu melemparkanya begitu saja. Kemudian dia memungut pedang dan menyerang musuh hingga terbunuh.
Kemudian beliau mengeluarkan perintah agar mengadakan serangan balik. Sebab serangan musuh tidak lagi gencar dan semangat mereka sudah mengendor. Langkah bijak ini ternyata sangat ampuh untuk mengkokohkan posisi pasukan Muslimin. Setelah mendapat perintah untuk menyerang, maka mereka pun melancarkan serangan secara serentak dan gencar,mencerai beraikan barisan musuh hingga jatuh korban bergelimpangan di pihak musuh. Semangat mereka semakin berkobar setelah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjun ke kancah sambil mengenakan baju besi perangnya dan berteriak dengan suara lantang membacakan ayat, “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.”

Orang-orang Muslim bertempur hebat dengan bantuan para malaikat. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Sa’d dari Ikrimah, dia berkata, “Pada saat itu ada kepala orang musyrik yang terkulai, tanpa diketahui siapa yang telah membabatnya. Ada pula tangan yang putus, tanpa di ketahui siapa yang membabatnya.”

Ibnu Abbas berkata, tak kala seseorang dari pasukan Muslimin berusaha keras menghabisi salah seorang musyrikin di hadapannya, tiba-tiba dia mendengar suara lecutan cambuk di atasnya dan suara seorang penunggang kuda yang berkata, “Majulah terus wahai Hainum!'” Lalu orang Muslim itu memandang orang musyrik di hadapan yang sudah terjerembab.” Seorang Anshar yang melihat kejadian ini menuturkannya kepada Rasulullah. Maka beliau bersabda, “Engkau benar, Itulah pertolongan dari langit yang ketiga.
Abu Dawud Al-Mazini berkata, “Selagi aku mengejar salah seorang musyrikin untuk menebasnya, tiba-tiba kepalanya sudah tertebas sebelum pedangku mengenainya. Aku sadar bahwa rupanya dia telah dibunuh seseorang selain dari aku”

Ada seorang Anshar datang membawa Al-Abbas bin Abdul Muththalib sebagai tawanan. Al-Abbas berkata, “Demi Allah, bukan orang ini yang tadi menawanku. Tadi aku ditawan seorang laki-laki botak yang wajahnya sangat tampan menunggu seekor kuda yang gagah. Aku tidak pernah melihatnya ada di tengah-tengah mereka,”
Orang Anshar itu menyahut, “Akulah yang telah menawannya wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Diamlah kau, karena Allah telah membantumu dengan seorang malaikat yang mulia.”

21. Iblis Ikut Lari dari Medan Peperangan

Setelah melihat apa yang dialami orang-orang musyrik tatkala berhadapan dengan pasukan Muslimin yang dibantu para malaikat, maka iblis yang berbentuk Suraqah bin Malik bin Ju’syum, yang semenjak semula memang menyertai pasukan Quraisy, segera beranjak untuk melarikan diri dari kancah. Al-Harits bin Hisyam yang melihat gelagatnya itu hendak memegangnya. Tenta saja dia mengira Iblis itu benar-benar Suraqah. “Mau kemana kamu Suraqah?” tanyaAl-Harits.” Bukankan engkau pernah berkata bahwa engkau akan menjadi pendukung kami dan tidak akan meninggalkan kami?” Namun iblis itu memukul dada Al-Harits hingga membuatnya terjengkang.

Kemudian Suraqah menjawab, “Sesunguhnya aku telah melihat apa yang tidak kalian lihat. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Siksaan Allah benar benar amat pedih.” Setelah itu dia lari dan menceburkan dirinya ke laut.

22. Kekalahan Telak

Tanda-tanda kegagalan dan kebimbangan mulai merebak di barisan orang-orang musyrik. Sudah cukup banyak korban yang jatuh karena serangan orang-orang Muslim yang gencar. Pertempuran mulai mendekati masa akhir. Tidak sedikit orang-orang musyrik yang lebih suka lari dan mundur dari kancah pertempuran. Sehingga hal ini semakin memudahkan orang-orang Muslim untuk menawan dan menghabisi lawan. Maka lengkaplah sudah kekalahan orang-orang musyrik.

23. Sepak Terjang Abu Jahal

Tatkala melihat tanda-tanda kebimbangan mulai menghantui barisannya, maka Abu Jahal berusaha bersikap tegar dan menggugah semangat pasukannya. Dengan sisa-sisa kecongkakan dan keangkuhannya dia berseru, “Janganlah sekali-kali sikap Surakah yang pengecut di hadapan kalian membuat kalian menjadi kalah, karena sebenarnya dia terikat perjanjian dengan Muhammad. Janganlah sekali-kali terbunuhnya Utbah, Syaibah dan Al-Walid membuat kalian takut. Toh mereka sudah mati mendahului kita, Demi Lata dan Uzza, kita tidak akan kembali sebelum dapat membelenggu mereka. Jika aku tidak mendapatkan seseorang di antara kalian yang terbunuh, maka ambilah dia, agar kita bisa mengetahui keadaan yang menimpanya.
Tetapi belum seberapa lama ucapannya yang menunjukkan kecongkakan ini selesai dia ucapkan, barisannya sudah dibuat kocar-kacir karena serangan gencar pasukan Muslimin. Memang di sekitarnya masih tersisa beberapa orang musyrik yang terus menyabetkan pedang dan menghujamkan tombak. Tetapi semua itu tidak banyak berarti menghadapi gempuran orang-orang Muslimin. Pada saat itulah sosok Abu Jahal sudah tampak jelas di hadapan orang-orang Muslim. Dia berputar-putar menaiki kudanya, seakan-akan kematian sudah menunggunya dan sudah siap menyedot darahnya lewat tangan dua pemuda Anshar.

Abdurrahman bin Auf menuturkan, “Tatkala aku sedang berada di tengah barisan pada Perang Badr, aku menengok ke arah kiri dan kanan. Kulihat ada dua pemuda yang masih belia. Aku tidak berani menjamin keselamatan keduanya saat itu. Salah seorang di antara mereka bertanya dengan berbisik bisik kepadaku, “Wahai paman, tunjukkan kepadaku mana yang namanya Abu Jahal!”

“Wahai keponakkanku, apa yang hendak engkau lakukan terhadap dirinya?” tanyaku,
“Kudengar dia suka mencaci maki Rasulullah,” jawabnya. Lalu dia berkata lagi, “Demi yang diriku ada di tangan-Nya, jika aku sudah melihatnya, maka tak kubiarkan dia lolos dari penglihatanku hingga siapakah di antara kita yang lebih dahulu mati,”

Aku tertegun mendengar perkataannya. Lalu pemuda yang satunya lagi mencolekku dan bertanya seperti itu pula kepadaku. Aku menajamkan pandangan mencari-cari Abu Jahal yang sedang berputar-putar di tengah manusia. Setelah terlihat, aku berkata kepada mereka berdua, “Apakah kalian tidak melihat? Itulah sasaran yang engkau tanyakan itu,”
Dua pemuda itu pun langsung menyerang Abu Jahal secara serentak dengan pedangnya hingga dapat membunuhnya. Kemudian keduannya menemui Rasulullah dan beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang telah berhasil membunuhnya?”
Masing-masing menjawab, “Akulah yang telah membunuhnya,” “Apakah kalian sudah mengusap pedang kalian?” tanya beliau, “Belum,” jawab keduanya.
Beliau memandang pedang milik mereka berdua, lalu bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan harta rampasan miliknya secara khusus kepada Mu’adz bin Amr Al-Jamult Dua pemuda itu adalah Mu’adz bin Amr Al-Jamuh dan Mu’awwidz bin Afra’,”
lbnu Ishaq menuturkan, “Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh berkata, “Aku mencari informasi dari orang-orang. Sementara saat itu Abu Jahal berada di dekat pohon yang rimbun, berbaur dengan orang-orang musyrik yang membawa tombak dan pedang yang memang bergerombol di sekitamya untuk melindunginya. Orang-orang berkata, “Abul Hakam (Abu Jahal) tidak akan bisa lolos,”

Tatkala kudengar tentang dirinya, maka aku mempersiapkan diri lalu mendekati dirinya. Selagi jarak sudah memungkinkan, aku segera menyerangnya dan dapat menyabetnya hingga kakinya putus pada bagian betis. Namun kemudian anaknya, Ikrimah, menyerangku dan mengenai pandakku, hingga tanganku putus dan bergelantungan, karena kulitnya masih belum putus. Pertempuran yang terus berkecamuk membuatku tersingkir dari kancah pertempuran. Setelah berhasil membunuh sekian banyak musuh pada hari ini, akhirnya aku agak mundur ke belakang. Karena rasa sakit yang amat sangat, tanganku yang tertebas kuputus dan kubuang. Pada saat itu Mu’awwidz bin Afra’ mendekati Abu Jahal dan menyabetnya hingga tersungkur dan membiarkannya dalam keadaan sekarat. Setelah itu Mu’awwidz terus bertempur hingga terbunuh.

Tatkala pertempuran sudah berhenti, Rasulullah bertanya, “Siapa yang tahu, apa yang terjadi dengan Abu Jahal?”
Maka orang-orang berpencar untuk mencarinya. Maka Abdullah bin Mas’ud mendapatkannya dengan napas tinggal satu-satu. Abdullah bin Mas’ud menginjakkan kakinya di leher Abu Jahal, memegang jenggotnya untuk mendongakkan kepalanya.
“Apakah Allah sudah menghinakanmu wahai musuh Allah?” tanya Abdullah bin Mas’ud.
“Dengan apa Dia menghinakan diriku?” Abu Jahal balik bertanya. Lalu dia bertanya lagi, “Apakah aku menjadi hina karena menjadi orang yang telah kalian bunuh? Atau orang yang kalian bunuh itu justru lebih terhormat? Andaikan saja bukan seorang pembajak tanah yang telah membunuhku” Lalu dia bertanya, “Beritahukan kepadaltu, siapakah yang berhasil menguasai daerah ini?”
Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Allah dan Rasul-Nya.”
Abu Jahal berkata kepada Abdullah bin Mas’ud yang masih menginjakkan kakinya di lehernya, “Aku sudah naik tangga yang sulit wahai penggembala kambing.” Memang selagi di Makkah dulu, Abdullah bin Mas’ud adalah seorang penggembala kambing.
Setelah dialog ini, Abdullah bin Mas’ud menarik kepala Abu Jahal dan membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah kepala musuh Allah, Abu Jahal.”

“Demi Allah yang tiada Ilah selain Dia.” Beliau mengucapkannya tiga kali, lalu bersabda lagi, “Allah Mahabesar. Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, mengalahkan pasukan musuh-Nya.”

24. Pesona-pesona Iman dalam Peperangan

Telah kami paparkan dua contoh yang mengagumkan dari Umar bin Al-Hammam dan Auf bin Al-Harits, yang kedua-duanya anak Afra’. Dalam peperangan ini banyak gambaran mempesona yang menampakkan kekuatan iman dan kekokohan pijakan. Sebab dalam peperangan banyak bapak yang harus berhadapan dengan anaknya sendiri, saudara yang harus berhadapan dengan saudaranya, namun pijakan masing-masing berbeda dan kedua belah pihak dipisahkan dengan pedang, yang satu harus menundukkan yang lain dan kemarahan pun menjadi lebur.

Inilah beberapa gambaran iman orang-orang Muslim yang menguncang decak kekaguman:

1. Ibanu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, “Sesungguhnya aku tahu ada beberapa orang dari Bani Hasyim dan lain-lainnya yang diajak pergi paksa. Mereka tidak merasa perlu memerangi kita. Maka barang siapa bertemu dengan seseorang Bani Hasyim, janganlah membunuhnya. Barangsiapa bertemu Abul Bakthtari bin Hisyam, janganlah membunuhnya. Barangsiapa bertemu Al-Abbas bin Al-Muththalib, janganlah membunuhnya. Sesungguhnya dia diajak pergi dengan paksa.”
Abu Hudzaifah bin Utbah berkata, “Apakah kami boleh membunuh bapak kami, anak, saudara, kerabat kami dan membiarkan Al-Abbas? Demi Allah, andaikata aku bertemu dengannya, aku pasti akan membabatnya dengan pedang.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar apa yang dikatakan Abu Hudzaifah ini. Lalu beliau bertanya kepada Umar bin Al-Khaththab, “Wahai Abu Hafsh, layakkah paman Rasul Allah dibabat dengan pedang?”
Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, berikan kesempatan kepadaku untuk membabat lehernya dengan pedang. Demi Allah, dia telah berbuat munafik.”
Abu Hudzaifah berkata, “Aku merasa tidak aman dengan kata-kata yang pernah kuucapkan pada saat itu. Aku senantiasa dihantui perasaan takut kecuali jika aku bisa menebusnya dengan mati syahid.” Akhirnya Abu Hudzaifah benar-benar terbunuh seorang syahid pada perang Al-Yamamah.

2. Beliau melarang membunuh Abul Bakhtari, karena dulu dia adalah orang yang paling sering melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selagi masih berada di Makkah. Dia juga tidak pernah mengganggu beliau atau menimpakan sesuatu yang membuat beliau tidak senang. Dia juga termasuk orang yang berinisiatif mengugurkan Piagam Pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib.
Sekalipun begitu Abul Bakhtari tetap terbunuh. Hal ini terjadi karena Al-Mujadzdzar bin ZiyadAl-Balwi bertemu dengarmya di tengah pertempuran yang sedang bersama seorang rekannya. Mereka berdua sama-sama berperang. Al-Muj adzdzar berkata, “Wahai Abul Bakhtari, sesunggullnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami untuk membunuhmu.”
“Lalu bagaimana dengan temanku ini?” Tanya Abul Bakhtari.
“Tidak demi Allah. Kami tidak akan membiarkan temanmu,” jawab Al–Mujadzdzar.
“Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama-sama dengannya,” jawab Abul Bakhtari. Lalu mereka berdua melancarkan serangan sehingga terpaksa Al-Mujadzdz membanuh Abul Bakhtari.

3. Abdurrahman bin Auf dan Umayyah bin Khalaf merupakan teman karib semasa Jahiliyah di Makkah. Pada Perang Badr itu Abdurrahman melewati Umayyah bin Khalaf yang sedang berpegangan tangan dengan anaknya, Ali bin Umayyah. Sementara saat itu Abdurrahman membawa beberapa buah baju besi dari hasil rampasan. Tak kala melihatnya, Umayyah bertanya, “Apakah engkau ada perlu denganku? Aku lebih baik dari pada baju-baju besi yang engkau bawa itu. Aku tidak pemah mengalami kejadian seperti hari ini. Apakah kalian membutuhkan susu?” Artinya, Umayyah akan memberi tebusan beberapa beberapa onta yang banyak menghasilkan air susu jika dia tertawan.

Abdurrahman membuang baju-baju besi yang dibawanya, lalu menuntun Umayyah dan anaknya untuk jalan. Inilah penuturannya, Tak kala aku sedang berjalan sambil mengempit tangan mereka berdua di kanan kiriku, Ummayah bin Khalaf bertanya kepadaku, “Siapakah seseorang di antara kalian yang mengenakan tanda pengenal di dadanya berupa sehelai bulu burung onta?”
“Dia adalah Hamzah bin Abdul Muththalib,” jawabku.
“Dialah orang yang paling banyak menimpakan bencana di pasukan kami,” kata Umayyah.
Demi Allah, selagi aku berjalan mengempit tangan mereka berdua, tiba tiba Bilal melihat Umayyah, yang waktu di Makkah dulu dialah yang telah menyiksanya. Bilal berkata, “Dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat.”
“Wahai Bilal, dia adalah tawananku,” kataku.
“Aku tidak selamat jika dia masih selamat,” katanya sekali lagi. “Apakah engkau mendengarku wahai Ibnus-Sauda’?” tanyaku.
Namun dia tetap berkata seperti tadi. Setelah itu dia berteriak dengan suara nyaring, “Wahai para penolong Allah, dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf Aku tidak selamat jika dia masih selamat.”
Lalu mereka mengepung kami bertiga, sehingga membuat kami seperti berada di tempat pemotongan ikan. Aku berusaha melindungi Umayyah.

Namun ada seseorang menghanus pedangnya lalu menyabetnya tepat mengenai anak Umayyah. Umayyah berteriak amat keras, dan tidak pernah kudengar dia berteriak sekeras itu.
“Cari selamat sebisamu, karena tidak ada lagi keselamatan di sini. Demi Allah, aku sudah tidak membutuhkanmu sedikit pun,” kataku. Lalu mereka menyabetkan pedang kepada mereka berdua hingga tidak berkutik lagi. “Semoga Allah merahmati Bilal. Baju-baju besiku sudah hilang dan hatiku menjadi galau gara-gara tawananku,” kataku.
Di dalam Zadul-Ma ‘ad disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Umayyah, “Telentangkan badanmu!” Maka Umayyah pun menelentangkan badanya, lalu Abdurrahman menelentangkan badan di atas badan Umayyah. Namun mereka tetap menusuk-nusukkan pedang ke badan Umayyah yang ditindih Abdurrahman. Akibatnya ada di antara pedang mereka yang juga mengenai badan Abdurrahman.

4. Dalam peperangm itu Umar bin Al-Khaththab membunuh pamannya sendiri, Al-Ash bin Hisyam bin Al-Mughirah.

5. Saat peperangan itu Abu Bakar Ash-Shiddiq memanggil anaknya yang bergabung dengan pasukan musyrikin, “Dimanakah hartaku wahai anak kecil yang buruk?”
Abdurrahman menjawab, “Yang ada pada saat ini adalah senjata dan kuda, serta pedang tajam yang siap membabat orangNa yang renta.”

6. Tatkala banyak pasukan musuh yang menyerah dan kemudian ditawan, sementara saat itu Rasulullah berada di tenda bersama Sa’d bin Mu’adz yang berdiri di pintu tenda melihat ada rona ketidak sukaan di wajah Sa’d atas apa yang dilakukan orang-orang. Beliau bersabda kepadanya, “Demi Allah, sepertinya engkau tidak suka melihat apa yang dilakukan orang orang itu wahai Sa’d.”

“Demi Allah, begitulah wahai Rasulullah, “jawabnya, “Ini adalah peristiwa pertama yang ditimpakan Allah terhadap orang-orang musyrik. Bagaimana pun membunuh orang-orang musyrik itu lebih kusenangi dari pada membiarkan mereka tetap hidup.”

7. Pada Perang Badr itu pedang Ukkasyah bin Mihshan Al-Asadi patah. Karena itu dia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memberinya sepotong kayu dari akar pohon, seraya bersabda, “Bertempurlah dengan ini wahai Ukkashyah!” Setelah itu dia mengambilnya dari tangan beliau dan mengayunkannya, potongan akar itu berubah menjadi sebatang pedang

yang panjang, putih mengkilat dan amat tajam. Maka dia pan bertempur dengan menggunakan pedang itu hingga Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang Muslim. Pedang itu dinamakan Al-Aun. Pedang tersebut selalu menyertai Ukkasyah dalam berbagai peperangan bersama beliau, hingga dia terbunuh dalam Perang Riddah, dan saat itu pun pedang tersebut masih tetap bersamanya,'”

8. Setelah peperangan usai, Mush ‘ab bin Umair Al-Abdari melewati saudaranya, Abu Aziz bin Umair yang sebelah tangannya sedang diikat seorang Anshar sebagai tawanan. Dalam peperangan itu Abu Aziz bergabung bersama pasukan musyrikin. Mush’ab berkata kepada orang Anshar yang menawannya, “ikat kedua tanganmu sebagai ganti dirinya. Sesungguhnya ibunya adalah orang kaya raya. Siapa tahu dia akan menebusnya dan tebusannya menjadi milikmu,”
“Begitukah engkau memperlakukan aku?” tanya Abu Aziz.
“Dia juga saudaraku selain dirimu,” jawab Mush’ab.'”

9. Tubuh orang-orang musyrik yang sudah mati diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam sumur kering. Tatkala tubuh Utbah bin Rabi’ah diambil dan dimasukkan ke dalam sumur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangi wajah anak Utbah yang Muslim, Abu Hudzaifah yang tampak sendu, seraya bertanya, “Wahai Abu Hudzaifah, adakah sesuatu yang menghantui dirimu karena keadaan ayahmu ini?”
Dia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah. Aku tidak lagi ragu tentang diri ayahku dan kematiannya. Bagaimana pun juga aku masih mengakui ketajaman pikirannya, kelembutan dan keutamaannya. Sebenarnya aku berharap dia mendapat petunjuk untuk masuk Islam. Setelah aku melihat apa yang menimpanya dan ingat bagaimana dia mati dalam kekufuran, padahal sebelumnya aku sudah menaruh harapan terhadap dirinya, maka aku pun menjadi sedih karenanya.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi Abu Hudzaifah.

25. Korban di Kedua Belah Pihak

Peperangan sudah usai dengan kekalahan telak di pihak orang-orang musyrik dan kemenangan yang nyata di pihak orang-orang Muslim. Yang mati syahid dari pasukan Muslimin dalam peperangan ini ada empat belas orang, enam dari Muhajirin dan delapan dari Anshar.
Sedangkan orang-orang musyrik mengalami kerugian yang amat banyak. Korban di antara mereka ada tujuh puluh orang dan tujuh puluh orang pula yang tertawan, yang kebanyakan justru terdiri dari para pemuka dan pemimpin mereka.

Setelah peperangan usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeliling hingga berdiri di dekat korban dari orang-orang musyrik, “Keluarga yang paling buruk terhadap nabi kalian adalah diri kalian. Kalian mendustakan aku selagi orang-orang membenarkan aku. Kalian menelantarkan aku selagi orang-orang menolongku Kalian mengusir aku selagi orang-orang melindungi aku.” Lalu beliau memerintahkan agar tubuh mereka dimasukan ke dalam sumur.

Diriwayatkan dari Abu Thalhah, bahwa Nabi Allah memerintahkan untuk mengampulkan dua puluh empat pemuka Quraisy yang terbunuh, lalu mereka dilemparkan ke dalam sumur yang kotor dan bau. Sebelum itu, jika ada suatu kaum mendapatkan suatu kemenangan, maka mereka mengadakan pesta di Badr selama tiga malam. Pada hari ketiga dari Perang Badr, beliau meminta hewan kendaraannya dan mengikatnya. Kemudian beliau berjalan mengikuti para sahabat, hingga beliau berdiri di bibir sumur. Beliau menyebutkan nama orang-orang musyrik yang jasadnya dilemparkan ke dalam sumur itu, begitu nama bapak-bapak mereka. “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan, apakah kalian merasa gembira karena kalian telah menaati Allah dan RasulNya? Sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb kami kepada kami adalah benar. Lalu apakah kalian mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb kalian kepada kalian juga benar?”
Umar bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan jasad-jasad yang tidak lagi mempanyai roh?”
Beliau menjawab, “Demi yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, kalian tidak bisa mendengar dari pada mereka tentang apa yang kukatakan.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Kalian tidak lebih bisa mendengar dari pada mereka. Tetapi mereka tidak bisa menjawab.”

26. Makkah Menerima Kabar Kekalahan

Orang-orang musyrik melarikan diri dari kancah Badr dengan berpencar pencar tak beraturan. Mereka lari terbirit-birit menuju berbagai lembah dan perkampungan, setelah itu menuju ke Makkah dengan kepala tertunduk lesu. Karena perasaan malu, mereka tidak tahu bagaimana cara untuk masuk ke Makkah.
Ibnu Ishaq menuturkan, bahwa orang yang pertama kali menyampaikan kabar di Makkah tentang kekalahan Quraisy adalah Al-Haisurnan bin Abdullah Al-Khuza’t
“Apa yang terjadi di sana?” Orang-orang yang berada di Makkah bertanya kepadanya.
Dia menjawab, “Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah,Abul Hakam bin Hisyam, dan Umayyah bin Khalaf mati terbunuh” Dia masih menyebutkan beberapa nama pemimpin yang lain. Tatkala dia menyebutkan nama-nama pemuka Quraisy itu, Shafwan bin Umayyah yang hanya duduk di rumahnya berkata, “Demi Allah, jika dia memikirkan hal ini, maka bertanyalah kepadaku tentang dirinya!”
“Lalu apa yang bisa dilakukan Shafwan bin Umayyah?” tanya mereka.
Al-Haisuman menjawab, “Dia hanya duduk di rumahnya, padahal demi Allah, kulihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana ayah dan saudaranya terbunuh”
Abu Rafi’, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dulu aku adalah pembantu Al-Abbas Saat itu Islam sudah masuk kepada beberapa anggota keluarga. Al-Abbas masuk Islam, begitu pula Ummul Fadhl dan aku. Namun Al-Abbas menyembunyikan keislamannya. Saat Perang Badr, Abu Lahab tidak ikut serta. Ketika sudah ada kabar tentang kekalahan pasukan Quraisy, maka Allah membuatnya rendah dan hina. Sedangkan kami merasa kuat dan perkasa. Sementara aku adalah orang lemah yang bertugas membuat anak panah. Aku merautnya sambil duduk di batu pembatas sumur Zamzam. Demi Allah, tatkala aku sedang duduk sambil meraut anak-anak panahku dan di sisiku ada Ummul Fadhl yang juga sedang duduk-duduk, sementara saat itu kami amat gembira dengan kabar itu, tiba-tiba Abu Lahab berjalan dengan menyeret kedua kakinya yang tak berdaya, hingga dia duduk di pinggir batu pembatas Zamzam. Punggungnya menyandar ke punggungku.
“Ini dia Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib sudah datang,” orang-orang berkata.

Abu Lahab berkata, “Mari ke sini. Demi Allah, kabar apa yang engkau bawa?”
Lalu Abu Sufyan duduk di sampingnya, sementara orang-orang berdiri di hadapannya.
“Wahai keponakkanku, kabarkan kepadaku bagaimana urusan orang orang?” ya Abu Lahab.

Abu Sufyan menjawab, “Selagi kami berhadapan dengan segolongan orang, justru kami menyerahkan pundak-pundak kami kepada mereka. Mereka menyerang kami sekehendak hatinya dan menawan kami sekehendak hatinya. Demi Allah, sekalipun begitu aku tidak mencela siapapun. Kami harus berhadapan dengan orang-orang yang berpakaian putih sambil menunggang kuda yang perkasa, berseliweran di antara langit dan bumi. Demi Allah, kuda kuda itu tidak meninggajkan jejak sedikit pun dan tidak menginjak apa pun.”
Lalu aku (Abu Rafi’) mengangkat batu pembatas Zamzam, sambil berkata, “Demi Allah, itu adalah para malaikat.”

Abu Lahab mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu memukulkan ke mukaku dengan keras. Aku hendak melawannya, namun dia membanting tubuhku ke tanah, kemudian menindihiku sambil melancarkan pukulan bertubi¬ tubi. Padahal aku adalah orang yang lemah. Ummu Fadhl bangkit memungut tiang pembatas Zamzam, lalu memukulkannya sekeras-kerasnya ke kepala Abu Lahab hingga menimbulkan luka yang menganga. Ummu Fadhl berkata, “Engkau berani menyiksa orang ini selagi tuannya tidak ada.”

Setelah itu Abu Lahab beranjak pergi sambil menundukkan muka. Demi Allah, Abu Lahab hanya mampu bertahan hidup tujuh hari setelah itu. Itu pun Allah menimpakan penyakit di sekujur tubuhnya, berupa luka bernanah. Padahal bangsa Arab sangat jijik terhadap penyakit ini. Maka sanak saudaranya tidak mau mengurusnya, dan setelah meninggal pun jasadnya ditelantarkan hingga tiga hari. Mereka tidak berani mendekatinya dan tidak berusaha untuk menguburnya. Namun karena mereka takut akan dicemooh sebagai akibat dari tindakannya ini, mereka pun membuatkan sebuah lubang di dekatnya, lalu mendorong tubuhnya masuk ke dalam lubang itu, lalu mereka menimbun lubang kuburan dengan cara melemparkan batu dari kejauhan.

Begitulah penduduk Makkah menerima kabar kekalahan telak di medan Perang Badr. Tentu saja hal ini menimbulkan pengaruh yang buruk. Bahkan mereka melarang untuk meratapi orang-orang yang mati terbunuh, agar mereka tidak semakin terpuruk karena dicerca orang-orang Muslim.

Da1am Perang Badr ini Al-Aswad bin Al-Muththalib kehilangan tiga anaknya. Karena buta, dia lebih suka menangisi nasib yang menimpa mereka. Suatu malam dia mendengar suara ratap tangis. Dia mengutus pembantunya dengan berkata, “Lihatlah, apakah ratap tangis memang diperbolehkan? Apakah orang-orang Quraisy juga menangisi meratapi para korban yang mati? Karena aku pun ingin meratapi Abu Hakimah (anaknya), karena kelopak mataku sudah hampir terbakar.”

Setelah menyelidiki, pembantunya kembali lagi dan berkata, “Yang menangis itu adalah seorang wanita yang meratapi ontanya yang lepas.”
Al-Aswad hampir tak mampu menguasai dirinya. Lalu dia menurunkan sebuah syair yang sendu.

27. Madinah Menerima Kabar Kemenangan

Setelah kemenangan nyata-nyata berada di tangan orang-orang Muslim, maka Rasulullah Shallallahu alaihi washallam mengirim dua orang untuk menyampaikan kabar gembira ke penduduk Madinah, agar mereka ikut menikmati kegembiraan. Dua utusan ini adalah Abdullah bin Rawahah, yang bertugas menyampaikan kabar gembira ke penduduk di dataran tinggi, dan Zaid bin Haritsah yang bertugas menyampaikan kabar gembira ke penduduk di dataran rendah.
Sementara itu, orang-orang Yahudi dan munafiqin sudah menyebarkan isu di kalangan penduduk Madinah tentang terbunuhnya Nabi Shallallahu alaihi washallam Saat seorang munafik melihat Zaid bin Haritsah yang datang sambil menunggang onta Rasulullah Shallallahu alaihi washallam yang bemama Al-Qashwa’ , maka dia berteriak, “Muhammad telah terbunuh. Itu adalah ontanya yang sudah kita kenal, dan itu Zaid yang gagap tidak bisa berkata apa-apa karena kalah.”

Setelah dua utusan ini benar-benar sudah tiba, orang-orang Muslim mengelilingi mereka dan mendengarkan dengan seksama kabar yang mereka bawa, sehingga mereka yakin benar tentang kemenangan pasukan Muslimin. Kegembiraan langsung merebak kemana-mana dan seluruh penjuru Madinah bergetar karena suara takbir dan tahlil. Para pemuka orang-orang Muslim yang berada di Madinah segera pergi ke jalan menuju ke arah Badr, bersiap-siap untuk menyambut kedatangan Rasulullah Shallallahu alaihi washallam atas kemenangan ini.

Usamah bin Zaid berkata, “Kami menerima kabar itu selagi kami sedang meratakan tanah di rumah Ruqayah binti Rasulullah Shallallahu alaihi washallam yang menjadi istri Utsman bin Affan, karena beliau telah menyerahkan kepadaku perlindungan terhadap keamanan dirinya.

28. Pasukan Nabi Bergerak Menuju Madinah

Seusai perang, Rasulullah Shallallahu alaihi washallam masih berada di Badr selama tiga hari. Sebelum meninggalkan kancah peperangan, terjadi silang pendapat di antara anggota pasukan tentang pembagian harta rampasan. Ketika silang pendapat ini semakin meruncing maka beliau memerintahkan agar semua harta rampasan di tangan mereka diserahkan. Mereka pun menurutinya, lalu turun wahyu yang memecahkan masalah ini.
Dari Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata, “Kami pergi bersama Nabi bergabung dalam Perang Badr. Dua pasukan saling berhadapan dan Allah mengalahkan pasukan musuh.

Ada segolongan pasukan Muslimin yang mengejar musuh, mengusir dan membunuh. Ada pula sebagian lain yang menguasai harta rampasan yang telah dikumpulkan. Ada pula sebagian lain yang menjaga Rasulullah Shallallahu alaihi washallam dan tidak berhadapan langsung dengan musuh. Pada malam harinya, selagi sebagian sudah berkumpul dengan sebagian yang lain, mereka yang berhasil mengumpulkan harta rampasan berkata, “Kamilah yang telah mengumpulkan dan siapa pun tidak boleh mengusiknya.”

Sedangkan mereka yang bertugas mengejar musuh menyahut, “Kalian tidak lebih berhak dari pada kami. Kamilah yang sebenarnya telah mengumpulkan harta rampasan itu dan mengalahkan musuh.”
Sedangkan mereka yang bertugas menjaga beliau berkata, “Kami khawatir musuh akan menyerang beliau, maka sejak awal kami melindungi beliau.” Maka kemudian Allah menurunkan ayat,

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan. Katakanlah, Harta perang itu kepunyaan Allah dan Rasul Sebab itu bertawakalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orangorang yang beriman. ” (Al-Anfal:1)

Setelah tiga hari berada di Badr, pasukan Rasulullah Shallallahu alaihi washallam bergerak ke Madinah sambil membawa tawanan dan harta rampasan yang diperoleh dari orang-orang musyrik, yang penanganannya diserahkan kepada Abdullah bin Ka’b. Setelah melewati celah Ash-Shafra’, beliau menghentikan pasukan dan membagi harta rampasan di sana secara merata di antara orang-orang Muslim, setelah mengambil seperlimanya.

Setiba di Ash-Shafra’, An-Nadhr bin Al-Harits diperintahkan untuk dibunuh, karena dia adalah pembawa bendera pasukan musyrikin dan dia termasuk pemuka Quraisy yang amat jahat, paling banyak  memperdayai Islam dan menyiksa Rasulullah Shallallahu alaihi washallam Akhirnya dia dipenggal oleh Ali bin Abu Thalib.

Setibanya di Irquzh Zhabyah, beliau juga memerintahkan untuk membunuh Uqbah bin Abu Mu’aith. Di bagian terdahulu sudah kami paparkan tentang penyiksaan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi washallam Dialah yang melontarkan kotoran isi perut binatang yang sudah disembelih ke kepala beliau saat sedang shalat. Dia pula yang menjerat leher beliau dengan mantelnya. Selagi dia hampir dibunuh, Abu Bakar menahannya. Tatkala beliau tetap memerintahkan untuk membunuhnya Uqbah bertanya, “Bagaimana dengan anak-anakku wahai Muhammad?”
Beliau menjawab, “Masuk neraka.”
Lalu dia dibunuh Ashim bin Tsabit Al-Anshari. Namun pendapat lain mengatakan, yang membunuhnya adalah Ali bin Abu Thalib.

Menurut pertimbangan perang, dua orang ini memang sangat layak dibunuh. Mereka berdua bukan sekadar tawanan biasa, tetapi sudah bisa disebut penjahat perang menurut istilah zaman sekarang.

29. Utusan Para Penyambut

Setibanya di Ar-Rauha’ , pasukan Muslimin bertemu dengan orang ­orang yang keluar dari Madinah untuk menyambut kedatangan mereka dan mengucapkan selamat atas kemenangan yang diraih. Saat itu Salamah bin Salamah bertanya kepada orang-orang yang datang untuk menyambut itu, “Apa yang mendorong kalian untuk menyambut kedatangan kami? Demi Allah, jika sudah saling bertemu, maka badan kita sudah lemah dengan kepala gundul layaknya orang yang sudah tua renta.”

Rasulullah Shallallahu alaihi washallam tersenyum mendengarnya, lalu bersabda, “Wahai kepo­nakanku, mereka adalah orang-orang penting.

Usaid bin Hudhair yang berada dalam rombongan para penyambut berkata, “Wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah memenangkan engkau dan membuat engkau senang. Demi Allah wahai Rasulullah. Aku tidak menyangka engkau akan berhadapan dengan musuh. Kukira mereka hanyalah kafilah dagang. Inilah yang membuatku tidak ikut bergabung ke Badr. Andaikata aku tahu mereka adalah pasukan musuh tentu aku tak mau ketinggalan untuk ikut bergabung.”

“Engkau benar,” jawab Rasulullah.

Kemudian beliau dan pasukan Muslimin memasuki Madinah sebagai pihak yang membawa kemenangan, sehingga menanamkan rasa gentar setiap musuh yang ada di Madinah dan sekitarnya. Karenanya tidak sedikit penduduk Madinah yang masuk Islam setelah itu. Ini pula yang mendorong Abdullah bin Ubay dan rekan-rekanya untuk masuk Islam, sekalipun hanya di luar saja.

Sehari setelah tiba di Madinah, para tawanan diteliti lalu dibagikan kepada para sahabat. Beliau menasihati agar mereka memperlakukan para tawanan itu dengan baik. Para sahabat biasa memakan korma, sedangkan untuk tawanan itu disuguhi roti. Begitulah mereka mengamalkan nasihat beliau ini.

30. Masalah Tawanan

Setiba di Madinah, Rasulullah Shallallahu alaihi washallam meminta pendapat kepada para sahabat tentang masalah tawanan. Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, mereka itu masih terhitung keluarga paman kerabat atau teman sendiri. Menurut pendapatku, hendaklah engkau meminta tebusan dari mereka, agar tebusan yang kita ambil dari mereka ini dapat mengkokohkan kedudukan kita dalam menghadapi orang-orang kafir, dan siapa tahu Allah memberikan petunjuk kepada mereka, sehingga mereka menjadi pendukung bagi kita.” “Lalu bagaimana pendapatmu wahai Ibnul Khaththab?” tanya Rasulullah “Umar menj awab, “Demi Allah, aku tidak sependapat dengan Abu Bakar. Menurutku, serahkan Fulan (kerabatnya) kepadaku, biar kupenggal lehernya. Serahkan Uqail bin Abu Thalib kepada Ali bin Abu Thalib biar dia penggal lehernya. Serahkan Fulan kepada Hamzah (saudaranya), biar dia memenggal lehernya, agar musuh-musuh Allah mengetahui bahwa di dalam hati kita tidak ada rasa kasihan terhadap orang-orang musyrik, pemuka, pemimipin dan para dedengkot mereka.”

Rasulullah Shallallahu alaihi washallam lebih condong kepada pendapat Abu Bakar dan kurang sependapat dengan Umar. Beliau lebih cenderung untuk meminta tebusan dari mereka.
Inilah penuturan Umar bin Al-Khaththab pada keesokan harinya, “Aku menemui Rasulullah yang bersama Abu Bakar. Keduanya menangis. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku, apa yang membuat engkau menangis dan sahabat engkau ini? Jika perlu aku untuk menangis, maka aku pun akan menangis. Jika aku tidak perlu menangis, aku pun tetap akan menangis karena engkau berdua menangis.”
Beliau menjawab, “Aku menangis karena permintaan yang disampaikan rekan-rekanmu kepadaku, agar meminta tebusan dari mereka, padahal dahulu siksaan yang mereka tawarkan kepadaku dulu lebih dekat dari pohon ini.” Yang beliau maksudkan adalah sebatang pohon di dekat. Lalu Allah menurunkan ayat,

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kalian ambil. ” (Al-Anfal: 67-68)

Ketetapan terdahulu yang dimaksudkan Allah ini seperti yang telah difirnankan-Nya.

“Setelah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti.” (Muhammad: 4)

Di sini terkandung perkenan untuk mengambil tebusan dari para tawanan, selagi para tawanan itu tidak disiksa. Diturunkan celaan, karena mereka menawan orang-orang kafir, padahal sebelumnya tidak ada peperangan. Kemudian mereka bisa menerima tebusan, tidak hanya dari orang-orang jahat yang tidak menjadi tawanan di medan perang, tetapi juga dari para penjahat perang. Padahal biasanya para penjahat perang itu dijatuhi hukuman mati atau dipenjara seumur hidup.

Jadi pendapat Abu Bakarlah yang diterapkan, dengan mengambil tebusan dari para tawanan. Adapun nilai tebusannya ada yang empat ribu dirham, tiga ribu dirham dan seribu dirham. Siapa yang tidak sanggup menebus, maka dia bisa mengajari sepuluh anak-anak Madinah, sebagai ganti tebusannya. Jika anak-anak itu sudah mahir, maka tebusannya dianggap lunas.

Bahkan Rasulullah bermurah hati kepada sebagian tawanan, membebaskan tanpa tebusan sama sekali, seperti Al-Muththalib bin Hanthab, Shaifi bin Abu Rifa’ah, Abu Azzah Al-Jumahi, namun kemudian dia dibunuh selagi menjadi tawanan di Uhud.

Beliau juga membebaskan menantunya, Abul Ash, tetapi dengan syarat, dia harus melepaskan Zainab, putri beliau yang menjadi istrinya. Sementara Zainab sendiri sudah mengirim utusan untuk menebus suaminya. Tebusan berupa sebuah kalung yang dulu pernah dipakai Khadijah. Maka tatkala Rasulullah melihat kalung itu, hati beliau menjadi amat terenyuh. Lalu beliau meminta kepada para sahabat untuk membebaskan Abul Ash, dan mereka pun melaksanakannya. Tetapi tetap dengan syarat di atas. Akhimya dia melepaskan Zainab, yang kemudian hijrah ke Madinah. Untuk menyusul Zainab, beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan .seorang dari Anshar. Beliau bersabda kepada keduanya, “Tunggulah di perkampungan Ya’juj hingga Zainab lewat di sana, dan setelah itu temanilah dia!” Maka mereka berdua pergi untuk menyusul Zainab, hingga dapat membawanya ke Madinah. Kisah hijrahnya ini amat panjang dan juga memilukan.

Di antara tawanan itu ada pula Suhail bin Amr, seorang orator yang ulung. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, cabutlah dua gigi seri Suhail bin Amr, agar lidahnya terjulur saat berbicara dan tidak bisa lancar berpidato di mana pun dia berada untuk memusuhi engkau.” Namun beliau menolak permintaan Umar ini, sebagai langkah untuk menjaga pamor beliau dan celaan Allah pada hari kiamat.

Saat itu Sa’d An-Nu’man pergi ke Makkah untuk umrah. Tapi di sana dia ditawan Abu Sufyan. Sementara anak Abu Sufyan, Amr menjadi tawanan dalam Perang Badr itu. Maka orang-orang Muslim membebaskan Amr, lalu Abu Sufyan juga melepaskan Sa’d.

31. Al-Qur’an Berbicara tentang Masalah Perang

Surat Al-Anfal turun mengupas seputar topik peperangan ini. Surat ini merupakan penjelasan dari Allah tentang peperangan Badr, yang berbeda jauh dengan penjelasan-penjelasan lain yang membicarakan masalah raja dan pemimpin setelah kemenangan.

Pertama-tama Allah hendak mengalihkan pandangan orang-orang Muslim ke akhlak mereka yang dirasa kurang atau berlebih-lebihan pada masa lampau, agar mereka berusaha menyempurnakanya dan mensucikan diri.

Kemenangan ini menjadi nyata karena dukungan dan pertolongan Allah dari balik gaib bagi orang-orang Muslim. Allah perlu menyebutkan hal ini, agar mereka tidak terkecoh oleh kehebatan dan keberanian diri sendiri, sehingga jiwa mereka tidak tenggelam dalam kesombongan, tetapi mereka justru tawakal kepada Allah, taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.

Kemudian Allah menjelaskan tujuan yang mulia dari peperangan yang menegangkan dan banyak memakan korban ini, menunjukkan beberapa sifat dan akhlak kepada mereka yang harus diperhatikan saat perang dan saat mendapat kemenangan.

Kemudian Allah berfirman kepada orang-orang musyrik, munafik, Yahudi, dan para tawanan perang, menyampaikan yang nyata dan membimbing mereka menerima kebenaran.
Setelah itu Allah berfirman kepada orang-orang Muslim tentang masalah harta rampasan dan meletakkan dasar-dasar masalah ini. Kemudian Allah menjelaskan dan menetapkan aturan-aturan main saat perang dan damai, karena dakwah Islam saat itu sudah memasuki tahapan ini, agar perang yang dilakukan orang-orang Muslim berbeda dengan perang yang dilakukan orang orang Jahiliyah. Mereka unggul karena akhlak dan nilai-nilai yang luhur serta menegaskan kepada dunia bahwa Islam bukan sekedar teori yang mentah, tetapi Islam membekali para pemeluknya secara praktis, berlandaskan kepada dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang diserunya.

Kemudian Allah menetapan beberapa butir undang-undang Daulah Islam, dengan membuat perbedaan antara orang-orang Muslim yang menetap di wilayah Islam dan mereka yang menetap di luar wilayah Islam.
Pada tahun kedua Hijriyah turun kewajiban puasa Ramadhan, membayar zakat fitrah dan penjelasan tentang batasan-batasan zakat yang lain. Kewajiban membayar zakat fitrah dan zakat-zakat lainnya dimaksudkan untuk memperingan beban hidup yang dijalani orang-orang Muhajirin dan Anshar yang miskin, yang tidak mempunyai bakat usaha.
Ada momen yang paling mengesankan, karena Id pertama yang dijalani orang-orang Muslim dalam hidup mereka adalah Idul Fitri pada bulan Syawwal 2 Hijriyah, setelah mereka memperoleh kemenangan yang gemilang di Perang Badr. Betapa mengesankan Id yang penuh kebahagiaan ini, setelah Allah menyematkan mahkota kemenangan dan keperkasaan kepada mereka. Betapa mengagumkan shalat Idul Fitri yang mereka lakukan saat itu, setelah mereka keluar dari rumah dengan menyertakan suara takbir, tahmid, dan tauhid. Hati mereka mekar dipenuhi kecintaan kepada Allah, sambil tetap mengharapkan rahmat dan keridhaan-Nya, setelah Dia memuliakan mereka dengan nikmat dan menguatkan mereka dengan pertolongan-Nya. Lalu Allah mengingatkan mereka tentang semua ini dengan berfirman,

“Dan,ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kalian masih berjumlah sedikit lagi tertindas di bumi (Makkah). Kalian takut orang-orcmg (Makkah) akan menculik kalian, maka Allah memberi kalian tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kalian kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kalian rezeki dari yang baik-baik agar kalian bersyukur ” (Al-Anfal: 26)

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M