Perang Bani Mushthaliq atau Perang Aumurais’
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Peranan Orang-orang Munafik sebelum Perang Bani Mushthaliq
- Peranan Orang-orang Munafik dalam Perang Bani Mushthaliq
Sekalipun peperangan ini tidak berjalan lama dan tidak berlarut larut dilihat dari pertimbangan militer, tetapi di sini terjadi beberapa peristiwa yang sempat mengguncang dan meresahkan masyarakat Islam, karena ulah orang-orang munafik, tetapi justru memberi pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Islam, keteguhan, kemuliaan, dan kebersihan jiwa, sekaligus mendatangkan beberapa ketetapan syariat. Kita mulai dengan uraian tentang peperangan, lalu disusul dengan beberapa peristiwa tersebut.
Peperangan ini terjadi pada bulan Sya’ban 6 H menurut pendapat yang lebih benar. Jumlah 700 pasukan 700 dan 30 orang pasukan berkuda (https://almanhaj.or.id)
Latar belakang peperangan ini, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapat informasi bahwa pemimpin Bani Mushthaliq, Al-Harits bin Abu Dhirar, menghimpun kaumnya untuk memerangi kaum Muslimin. Maka beliau mengutus Buraidah bin Al Hushaib Al-Aslami untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Buraidah pergi dan langsung menemui Al-Harits bin Al-Dhirar, mengorek keterangan darinya. Setelah yakin dengan keterangannya, Buraidah kembali dan menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta menyampaikan kabar yang diterimanya.
Setelah yakin dengan akurasi informasi ini, beliau menghimpun para sahabat dan cepat-cepat berangkat, tepatnya dua hari sebelum habisnya bulan Sya’ban. Sementara ada segolongan orang-orang munafik yang juga ikut bergabung bersama beliau. Mereka tidak pernah bergabung dalam peperangan sebelumnya. Urusan Madinah diserahkan kepada Zaid bin Haritsah. Namun menurut pendapat lain adalah Abu Dzarr, ada pula yang berpendapat Numailah bin Abdullah Al-Laitsi. Al-Harits bin Abu Dhirar juga mengirim mata-mata untuk mendeteksi gerakan pasukan Muslimin. Namun mata-mata itu tertangkap orang-orang Muslim lalu dibunuh.
Saat Al-Harits bin Abu Dhirar dan kaumnya mendengar keberangkatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam `dan terbunuhmya mata-matanya, maka dia dicekam ketakutan yang mendalam. Beberapa kabilah Arab yang sebelumnya ikut bergabung dengan Al-Harits, akhirnya melepaskan diri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiba di Muraisi’, sebuah mata air milik mereka di Qudaid. Orang-orang Muslim bersiap-siap untuk berperang. Beliau membariskan mereka. Bendera Muhajirin diserahkan kepada Abu Bakar dan bendera Anshar diserahkan kepada Sa’d bin Ubadah.
Tidak seberapa lama mereka saling melepaskan anak panah. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk melancarkan serangan secara serentak. Teryata cara ini sangat efektif, sehingga pasukan Muslimin dapat menundukan pasukan orang-orang musyrik. Cukup banyak pasukan musuh yang terbunuh, para wanita dan anak-anak ditawan, binatang ternak dirampas. Sementara korban di pihak pasukan Muslimin hanya satu orang. Korban ini dibunuh orang Anshar karena dikiranya termasuk pasukan musyrikin. Begitulah yang ditulis para penulis peperangan. Tetapi menurut Ibnul Qayyim, ini hanya dugaan semata. Tidak ada pertempuran di antara mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya mengepung hingga mereka menyerah, lalu para wanita dan anak-anak ditawan.
Di antara tawanan itu ada Juwairiyah binti Al-Harits, pemimpin mereka. Dalam pembagian harta rampasan dan tawanan, Juwairiyah menjadi bagian Tsabit bin Qais. Tsabit ingin melepasnya dengan uang tebusan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menebusnya lalu menikahinya. Karena perkawinan ini, orang-orang Muslim membebaskan 100 orang dari keluarga Bani Mushthaliq yang telah masuk Islam. Orang-orang Muslim berkata, “Mereka adalah besan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Adapun beberapa peristiwa lain yang muncul dalam peperangan ini ialah karena ulah pemimpin munafiqin, Abdullah bin Ubay bin Salul dan rekan rekannya. Ada baikmya jika kita paparkan perilaku mereka di tengah masyarakat Islam.
1. Peranan Orang-orang Munafik sebelum Perang Bani Mushthaliq
Sudah sering kami paparkan bahwa Abdullah bin Ubay sangat mendendam terhadap Islam dan orang-orang Muslim, terlebih lagi terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebab Aus dan Khazraj sudah sepakat untuk mengangkatnya sebagai pemimpin bagi mereka. Bahkan mereka sudah membuatkan mahkota bagi dirinya. Maka dia melihat beliau sebagai orang yang telah merampas kekuasaan yang sudah di tangan.
Dia sudah menampakkan dendamnya sejak permulaan hijrah, sebelum Islam benar-benar eksis di Madinah maupun sesudahnya. Suatu kali tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menunggang keledai untuk menjenguk Sa’d bin Ubadah, beliau melewati kerumunan orang yang di situ juga ada Abdullah bin Ubay, yang sedang menutup lubang lubangnya sambil berkata, “Janganlah kalian mengepul ngepulkan debu yang mengenai karni.”
Dia berkata seperti itu untuk menyindir beliau agar turun dari keledainya. Maka beliau turun dan ikut bergabung bersama mereka dan membaca Al-Qur’an. Namun Abdullah bin Ubay berkata, “Duduk saja di rumahmu dan jangan mengganggu majelis kami.
Ini terjadi sebelum diapura-pura masuk Islam. Sekalipun sudah menyatakan masuk Islam setelah Perang Badr, tetap saja dia menjadi musuh Allah dan RasulNya serta orang-orang Mukmin. Dia tidak berpikir selain bagaimana caranya untuk memecah belah masyarakat Islam dan menggerogoti kalimat Islam. Dia membantu musuh, ikut campur dalam urusan Bani Qainuqa’, berkhianat, memecah belah pasukan Muslimin pada waktu Perang Uhud, menyusupkan keresahan dan keguncangan di barisan mereka, seperti yang sudah dipaparkan pada bagian terdahulu.
Di antara gambaran kelicikan, kejahatan, tipu daya dan m akar yang dilakukan tokoh munafik ini terhadap orang-orang muslimin, setelah di pura-pura masuk Islam, setiap Jum’at dia berkata menjelang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhutbah, “Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di tengah kalian, orang yang telah dimuliakan Allah dan diagungkan-Nya. Maka tolonglah, dukunglah, dengarkan, dan patuhilah dia!”
Setelah dia duduk, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri dan berkhutbah.
Setelah Perang Uhud dan setelah dia berkhianat serta berbuat makar dalam peperangan itu, seperti biasanya dia bangkit dari duduknya dan mengulangi perkataannya sebelum Jum’at. Orang-orang Muslim di sekitarnya menarik-narik bajunya sambil berkata, “Duduklah wahai musuh Allah. Engkau tidak pantas berbuat seperti itu. Engkau telah berbuat seperti apa yang biasa engkau perbuat.”
Lalu dia keluar sambil melangkahi pundak orang-orang sambil berkata,
“Demi Allah, seakan-akan aku telah mengucapkan perkataan yang jahat dan aku harus pergi karena telah mempersulit urusannya.”
Di ambang pintu dihadang seorang Anshar. Katanya, “Celaka kamu. Kembalilah! Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan memintakan ampunan bagi dosa-dosamu.”
Abdullah bin Ubay berkata, “Demi Allah, aku tidak perlu dia memohonkan ampunan bagi dosa-dosaku.”
Dia juga menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi Bani Nadhir, berkonspirasi dengan mereka untuk menyerang orang-orang Muslim. Bahkan dia berani berkata kepada mereka, “Andaikan kalian keluar, kami pasti ikut keluar bersama kalian. Andaikan kalian diserang pasti kami akan membantu kalian.”
Begitu pula yang dia lakukan bersama rekan-rekannya pada waktu Perang Ahzab, yaitu dengan menciptakan keresahan dan kericuhan, membangkitkan ketakutan dan kekhawatiran di hati orang-orang Mukmin, seperti yang dikisahkan Allah di dalam surat Al-Ahzab ayat 12-20.
Namun akhimya semua musuh Islam dari kalangan Yahudi, munafik dan musyrik menyadari sepenuhnya bahwa latar belakang kemenangan Islam bukan karena keunggulan material, banyaknya perangkat perang dan senjata serta jumlah personil. Tetapi latar belakang kemenangan itu ialah nilai, akhlak dan idealisme yang dimiliki masyarakat Islam. Mereka juga tahu bahwa sumber air bah ini adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sosok ideal yang sangat mengagumkan dari nilai-nilai ini.
Semenjak genderang perang ditabuh selama lima tahun, upaya membungkam agama ini dan para pemeluknya tidak mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membangkitkan peperangan secara terbuka terhadap agama ini melalui jalur akhlak dan tradisi kehidupan sehari-hari. Sasaran utama untuk memuluskan tujuan ini ialah menyerang pribadi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena orang-orang munafik merupakan duri di barisan orang-orang Muslim dan mereka juga termasuk penduduk Madinah, maka tidak sulit bagi mereka untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Muslim dan mengusik perasaan mereka kapan pun yang mereka kehendaki, di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay.
Rencana mereka yang jahat ini tampak jelas seusai Perang Ahzab, saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menikahi Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy, setelah dia diceraikan Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau. Di antara tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab, anak angkat itu sama kedudukannya dengan anak kandung.
Mereka meyakini kehormatan istri anak angkat di mata bapak angkatnya. Maka takala Nabi shallallahu alaihi wasallam menikahi Zainab, orang-orang munafik mendapatkan dua celah yang memungkinkan bagi mereka melancarkan serangan terhadap beliau.
1. Zainab adalah istri beliau yang kelima. Padahal alquran tidak mengizinkan laki-laki menikahi lebih dari empat wanita. Lalu bagaimana mungkin perkawinan ini dianggap sah?
2. Zainab adalah (mantan) istri anak angkatnya. Maka tindakan beliau yang menikahi Zainab termasuk dosa besar menurut tradisi bangsa Arab. Orang orang munafik itu pun membesar-besarkan masalah ini dan mengaran ngarang cerita. Mereka berkata, “Muhammad melihat Zainab pada pandangan pertama, langsung jatuh cinta, dan hatinya terambat kepadanya. Isi hatinya ini dia sampaikan kepada Zaid sehingga Zaid melepaskan Zainab agar bisa dikawini Muhammad.”
Cerita-cerita yang mereka karang ini masih ada jejaknya, tertulis dalam beberapa buku tafsir dan hadits hingga saat ini. Tentu saja bualan mereka ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap orang-orang yang berhati lemah, sehingga turun ayat-ayat suci yang menjelaskan masalah ini secara gamblang, sehingga bisa mengobati hati. Untuk memberitahukan bualan mereka ini, Allah memulai surat Al-Ahzab dengan firman-Nya,
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Al-Ahzab: 1)
Ini gambaran sepintas tentang perilaku orang-orang munafik sebelum Perang Bani Mushthaliq. Sementara, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghadapi semua itu dengan sabar dan lemah lembut. Padahal orang-orang Muslim secara umum sudah geregetan terhadap kejahatan orang-orang munafik itu dan menahan nahan kesabaran. Sebab mereka sudah tahu persis kelicikan munafikin itu dari waktu ke waktu, sebagaiman firman-Nya,
“Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka juga) tidak bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran.“(At-Taubah:126)
2. Peranan Orang-orang Munafik dalam Perang Bani Mushthaliq
Saat Perang Bani Mushthaliq, orang-orang munafik juga ikut bergabung dalam pasukan Muslimin. Mereka telah digambarkan dalam firman Allah,
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian, untuk mengadakan kekacauan di antara kalian.” (At-Taubah: 47)
Mereka tampak bersaing, tetapi persaingan dalam kejahatan dengan menimbulkan keguncangan dan keresahan di barisan orang-orang Muslim dan mengeluarkan bualan yang buruk tentang diri Nabi shallallahu alaihi wasallam Inilah di antara gambaran secara ringkas.
1. Mereka berkata, “Jika kita kembali ke Madinah, maka penduduknya yang mulia benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina.”
Seusai perang, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih menetap di Muraisi’. Banyak orang yang mengambil air dari mata air di tempat itu. Dalam peperangan itu Umar bin Al-Khaththab membawa seorang upahan yang bernama Jahjah Al-Ghifari. Saat di mata air Jahjah bersenggolan dengan Sinan bin Wabar Al-Juharmi, lalu keduanya saling adu mulut. Sinan berteriak, “Wahai orang-orang Anshar!”
Jahjah juga tidak mau kalah. Dia berteriak,”Wahai orang-orang Muhajirin!”
Kejadian ini didengar Abdullah bin Ubay. Dia yang bersama beberapa orang dari kawannya, termasuk Zaid bin Arqam yang saat itu masih kecil, merasa marah. Abdullah bin Ubay berkata, “Apakah mereka berani berbuat seperti itu? Mereka telah menyaingi dan mengalahkan kita, justru di negeri kita sendiri. Demi Allah, kita dan mereka tak ubahnya kata pepatah `Gemukan anjingmu, niscaya ia akan menggigitmu’. Demi Allah, jika kita kembali ke Madinah, maka penduduknya yang mulia benar-benar akan mengusir penduduk yang hina.”
Kemudian dia berpaling ke arah golongannya sembari berkata, “Inilah yang telah kalian lakukan terhadap diri kalian sendiri. Kalian halalkan negeri kalian bagi mereka, kalian bagi harta benda kalian dengan mereka. Demi Allah, andaikata kalian tidak memberi harta kalian, tentu mereka akan berpindah ke tempat lain.”
Zaid bin Arqam mengabarkan apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay ini kepada pamannya, lalu pamannya mengabarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Umar bin Al-Khaththab yang ada di sisi beliau berkata, “Suruhlah Abbad bin Bisri, agar dia membunuhnya.”
Beliau berkata, “Bagaimana wahai Umar jika manusia membicarakan bahwa Muhammad telah membunuh rekan-rekannya? Tidak. Suruhlah pasukan untuk berangkat.”
Sekalipun saat itu bukan waktu yang tepat untuk memberangkatkan pasukan, tetapi mereka tetap akan berangkat Usaid bin Hudhair menemui beliu dan mengucapkan salam, lalu berkata, “Tidak biasanya engkau berangkat pada saat seperti ini.”
“Apakah engkau belum mendengar apa yang dikatakan rekanmu?” Tanya beliau. Yang dimaksudkan adalah Abdullah bin Ubay.
“Apa yang dikatakannya?” Usaid ganti bertanya.
Beliau menjawab, “Dia beranggapan bahwa jika dia kembali ke Madinah, maka penduduknya yang mulia benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina.”
“Engkau wahai Rasulullah, bisa mengusimya menurut kehendak engkau. Demi Allah, memang dia adalah orang yang hina dan engkau adalah orang yang mulia.” Kemudian dia berkata lagi, “Wahai Rasulullah, bersikaplah lemah lembut terhadap dirinya. Demi Allah, Allah telah mendatangi kita dengan keberadaan engkau. Sesungguhnya kaumnya telah membuat mahkota untuk disemadkan di kepalanya. Karena itu dia melihat engkau telah merampas kerajaannya.”
Kemudian beliau berangkat bersama pasukan pada saat itu pula seharian penuh, lalu diteruskan pada malam harinya hingga pagi hari. Seharian mereka dipanggang terik matahari. Saat berhenti untuk singgah, mereka langsung tertidur pulas setelah badan menyentuh tanah. Beliau berbuat seperti itu dengan tujuan untuk mengalihkan mereka dari kejadian sebelumnya dan agar mereka tidak membicarakannya.
Setelah mendengar Zaid bin Arqam menyampaikan apa yang dikatakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Abdullah bin Ubay langsung menemui beliau dan bersumpah demi Allah bahwa dia tidak mengatakan seperti yang dikatakan Zaid. Orang-orang Anshar yang ada di situ berkata, “Wahai Rasulullah, boleh jadi anak itu menduga-duga tentang apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay.”
Namun beliau shallallahu alaihi wasallam tetap percaya apa yang dikatakan Zaid. Sementara Zaid bin Arqam berkata sendiri, “Aku jadi menduga-duga sendiri. Padahal tidak pemah kualami yang seperti ini. Aku hanya bisa duduk-duduk di rumahku.”
Lalu Allah menurunkan surat Al-Munafiqun ayat 1-8. Setelah itu beliau mendatangiku dan membacakan ayat-ayat tersebut, lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu.’
Sedangkan anak pemimpin munafik itu, yaitu Abdullah bin Abdullah bin Ubay adalah seorang sahabat yang shalih dan pilihan. Dia ingin berlepas diri dari ayalmya. Untuk itu dia berdiri di pintu gerbang Madinah sambil menghunus pedangnya. Setelah ayahnya, Abdullah bin Ubay, muncul di dekatnya, dia berkata, “Demi Allah, engkau tidak boleh masuk sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengizinkanmu, karena beliaulah orang yang mulia dan engkaulah orang yang hina.”
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiba di pintu gerbang itu, beliau mengizinkan dan memperbolehkannya. Sebelum itu Abdullah bin Abdullah bin Ubay berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah , jika engkau ingin membunuhnya, maka suruhlah aku untuk melaksanakannya. Demi Allah, aku akan membawa kepalanya ke hadapan engkau.”
2. Berita Bohong
Dalam perang ini pula terdapat kisah yang bohong. Cerita ringkasnya, Aisyah juga ikut pergi bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam peperangan ini, karena dialah di antara istri-istri yang mendapat undian untuk ikut. Pengundian seperti ini biasa beliau lakukan setiap hendak pergi berperang. Setelah pulang dari peperangan, mereka singgah di suatu tempat. Aisyah keluar dari rombongan untuk keperluannya. Saat itu tanpa disadari kalung milik saudaranya yang dipinjamkan kepadanya jatuh. Maka dia kembali di mana kalung itu jatuh. Beberapa orang yang mengangkat sekedup Aisyah mengira bahwa dia tetap berada di dalamnya. Sebenarnya mereka juga merasa bahwa sekedup itu terlalu ringan. Tetapi Aisyah sendiri memang seorang wanita yang masih muda dan tidak gemuk. Karena yang mengangkat sekedup itu orang banyak, tentu saja mereka merasa ringan. Andaikata yang mengangkatnya satu atau dua orang, tentu mereka akan merasakan beratnya.
Setelah kalung yang dicari-cari ketemu, Aisyah kembali lagi ke tempat persinggahan, dan tak seorang pun ada di sana. Maka dia duduk saja di tempat itu. Menurut perkiraannya, mereka pasti akan mencarinya jika tidak mendapatkan dirinya di dalam sekedup. Allah berkuasa atas segala-galanya, mengatur urusan dari atas Arsy-Nya seperti yang dikehendaki-Nya. Karena rasa kantuk yang tak terbendung, Aisyah tertidur di tempat itu. Dia baru terbangun karena terusik suara Shafwan bin Al-Mu’aththal, “Inna lillahi wa inna ilahi Raji’un. Bukankah ini istri Rasulullah shallallahu alaihi washallam?”
Shafwan tertinggal dari rombongan pasukan, karena dia orang yang ngantukan. Dia bisa tahu bahwa dia itu Aisyah, karena memang dia pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab. Setelah mengucapkan Istirja’, dia mendekatkan ontanya ke sisi Aisyah dan menderumkannya. Aisyah naik ke atas onta dan tidak berkata sepatah kata pun kepadanya, dan Aisyah juga tidak mendengar sepatah kata pun dari Shafwan kecuali Istirja’nya. Kemudian dia menuntun ontanya hingga dapat menyusul rombongan pasukan yang saat itu sedang singgah di Naluvzh Zhahirah. Saat melihat kedatangan Shafwan bersama Aisyah, orang-orang berbicara kasak kusuk, masing-masing dengan versinya. Musuh Allah yang paling jahat, Abdullah bin Ubay menghembuskan nafas panjang, menyembunyikan kemunafikan dan kedengkian dan mengeram di antara tulang-tulang rusuknya. Dia sudah mengarang-ngarang berita bohong dan siap menyebarkan dan menyiarkannya. Rekan-rekannya berkeliling di sekitar Abdullah bin Ubay, mendengarkan dan menelan apa pun yang keluar dari mulutnya yang berbau busuk.
Setiba di Madinah, orang-orang yang aktif menyebar luaskan berita bohong semakin menjadi-jadi. Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya diam dan tidak menanggapinya. Karena cukup lama tidak ada wahyu yang turun, beliau meminta pendapat kepada para sahabat. Ali bin Abu Thalib mengisyaratkan agar beliau menceraikan Aisyah dan mengambil wanita yang lain. Ali hanya sekadar memberi sinyal untuk itu dan tidak mengatakannya secara terus terang. Sementara Usamah dan lain-lainnya mengisyaratkan agar beliau tidak menceraikannya, dan tidak perlu menanggapi perkataan musuh-musuh Islam.
Beliau berdiri di atas mimbar dan berpidato, memohon perlindungan kepada Allah dari tindakan Abdullah bin Ubay. Usaid bin Hudhair, pemimpin Aus menyatakan kesediaannya untuk membunuh Abdullah bin Ubay. Sa’d bin Ubadah, pemimpin Khazraj yang sedang dirasuki fanatisme kekabilahan membantah dan menolak keinginan Usaid bin Hudhair. Maka keduanya terlibat dalam perdebatan yang sengit. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melerai dan menenteramkan mereka, hingga mereka mau diam. Setelah itu beliau juga diam.
Tentang Aisyah, setibanya di Madinah dia jatuh sakit selama satu bulan. Sedikit pun dia tidak tahu masalah berita bohong ini. Hanya saja dia tidak mendapat sentuhan kelembutan dari Rasulullah shallallahu alaihi washallam seperti yang biasa beliau lakukan saat dia sakit. Setelah keadaannya sudah membaik, malam-malam dia keluar ke jamban bersama Ummu Misthah, untuk buang hajat. Ummu Misthah terpeleset karena terserempet bajunya. Dia ingin memanggil anak laki-lakinya, tetapi Aisyah menolaknya. Ketika itulah Ummu Misthah menceritaltan berita yang menyebar di Madinah tentang dirinya. Aisyah segera kembali ke rumah dan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk pulang ke orang tuanya dan mencari tahu berita yang menyebar. Setelah beliau mengizinkan,Aisyah pulang ke rumah orang tuanya, sehingga dia bisa mendapatkan kejelasan tentang berita yang menyangkut dirinya. Setelah tahu, Aisyah menangis sejadi-jadinya dan tak berhenti selama sehari dua malam. Selama itu pula kelopak matanya tidak terpejam sejenak pun dan air matanya terus mengalir. Sehingga air matanya ini dianggap telah memecahkan hatinya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang sambil mengucapkan syahadatain, lalu bersabda, “Wahai Aisyah, telah kudengar berita begini dan begitu tentang dirimu. Jika memang engkau bebas dari tuduhan tersebut, tentu Allah akan membebaskanmu, dan jika engkau telah melakukan dosa, maka mohonlah ampun dan bertaubatlah kepada Allah. Karena jika seorang hamba ini mengaku dosanya, kemudian berlaubat kepada Allah, tentu Allah akan mengampuninya.”
Saat itu Aisyah menyeka air matanya, lalu bertanya ini dan itu kepada ayah dan ibunya mengenai berita yang menyangkut dirinya. Namun keduanya tidak tahu apa yang harus dikatakan. Akhirnya Aisyah berkata, “Demi Allah, aku sudah tahu bahwa kalian juga sudah mendengar berita ini. Hati kalian terusik dan mempercayainya. Jika kukatakan kepada kalian, `Sesunggulmya aku bebas dari tuduhan ini, padahal Allah tahu bahwa aku memang bebas darinya,’ tentu kalian tidak akan pereaya begitu saja kepadaku. Namun jika aku mengakui tuduhan itu, padahal Allah tahu aku bebas darinya, tentu kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan perumpamaan antara diriku dan diri kalian, kecuali seperti perkataan ayah Yusuf, `Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).’ Dan, Allah sajalah dimohonkan pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan.”
Kemudian Aisyah beranjak dan berbaring di tempat tidur. Saat itu pula turun wahyu. Maka hati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbunga-bunga seraya menyunggingkan senyuman. Lalu beliau bersabda, “Wahai Aisyah, Allah telah membebaskanmu dari tuduhan.”
Ibunya berkata, “Bangunlah dan hampirilah beliau!”
Untuk menunjukkan kebebasan dirinya dari tuduhan yang keji itu dan tetap yakin terhadap cinta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dia berkata, “Demi Allah aku tidak mau menghampiri beliau dan tidak memuji kecuali kepada Allah.”
Wahyu dari Allah yang menjelaskan berita bohong ini adalah,
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan, siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar ” (An-Nur: 11)
Begitu pula sembilan ayat berikutnya. Adapun orang-orang yang paling getol menyiarkan berita bohong ini dijatuhi hukuman pukul sebanyak delapan puluh kali pukulan. Mereka adalah Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy. Sementara tokoh berita bohong dan penyiarannya, Abdullah bin Ubay justru tidak dijatuhi hukuman apa pun. Boleh jadi hukuman itu memang ada keringan untuk dirinya, tetapi Allah mengancamnya dengan adzab yang pedih di akhirat, atau boleh jadi ada kemaslahatan tersendiri, sehingga Abdullah bin Ubay tetap dibiarkan hidup.
Jadi selama sebulan udara Madinah ditaburi mendung keragu-raguan, kebimbangan,kegundahan, dan kegelisahan. Sementara itu, nama pemimpin orang-orang munafik tercemar dan terlecehkan, sehingga setelah kejadian itu dia sama sekali tidak berani mendongakkan kepala. Ibnu Ishaq menuturkan, “Setelah kejadian itu, setiap kali dia berbicara, maka kaumnya pasti mencela, mencaci dan mencemoohnya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada Umar, “Apa pendapatmu sekarang wahai Umar? Demi Allah, andaikata engkau membunuhnya, pasti banyak orang yang simpati kepadanya. Tetapi kalau saat ini pun aku menyuruhmu untuk membunuhnya, engkau pun pasti akan membunuhnya.”
Umar menjawab, “Demi Allah, aku pun sudah tahu bahwa urusan Rasulullah lebih besar barakahnya dari pada urusanku.”
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury