• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Perang Bani Quraizhah

Bagikan

Pada waktu zhuhur, pada hari Rasulullah shallallhu alaihi wasallam kembali ke Madinah dan saat itu beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah, Jibril mendatangi beliau seraya berkata, “Mengapa engkau letakkan senjata? Sesungguhnya para malaikat tidak pernah meletakkan senjatanya. Selagi kini engkau sudah pulang, maka sampaikan permintaan kepada orang-orang, lalu bangkitlah dengan orang orang yang bersamamu ke Bani Quraizhah. Aku akan berangkat ke depanmu. Akan kuguncang benteng mereka lalu kususupkan ketakutan ke dalam hati mereka.” Maka Jibril pergi di tengah prosesi para malaikat.

Rasulullah shallallhu alaihi washallam memerintahkan seorang mu’adzin agar berseru kepada orang orang, “Siapa yang tunduk dan patuh, maka janganlah sekali-kali mendirikan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah.”

Madinah diserahkan kepada Ibnu Ummi Maktum. Bendera diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib dan menyuruhnya agar lebih dahulu berangkat ke Bani Quraizhah. Setiba di dekat benteng mereka, dia mendengar suara-suara sumbang dan ejekan yang ditujukan kepada diri beliau.

Beliau pergi di tengah prosesi Muhajirin dan Anshar, hingga tiba di pangkalan air milik Bani Quraizhah, yang disebut Bi’r Anna. Orang orang Muslim melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah shallallhu alaihi washallam. Secara berkelompok mereka berangkat menuju Bani Quraizhah. Saat tiba waktu shalat Ashar, sebagian diantara mereka ada yang masih di tengah perjalanan. Sebagian yang lain berkata, “Kami tidak mendirikan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah seperti yang diperintahkan kepada kami.” Hingga ada sebagian di antara mereka yang mendirikan shalat ashar setelah tiba waktu isya’. Mereka berkata, “Kami tidak saling mempermasalahkan hal ini. Karena yang dimaksudkan beliau agar kami cepat-cepat pergi. Sekalipun ada yang mendirikannya di tengah perjalanan, tak seorang pun yang mempermasalahkannya.”

Secara berkelompok pasukan Muslimin bergerak ke arah Bani Quraizhah, hingga mereka berkumpul dengan Nabi shallallhu alaihi washallam yang jumlahnya ada tiga ribu orang.

Penunggang kuda ada tiga puluh orang. Mereka mendekati benteng Bani Quraizhah dan diputuskan untuk mengepungnya.

Setelah pengepungan dilakukan secara ketat, ada tiga hal yang ditawarkan pemimpin mereka, Ka’b bin Asad, kepada kaumnya, orang-orang Yahudi:

1. Mereka masuk Islam dan masuk agama Muhammad. Dengan begitu mereka mendapat jaminan keamanan atas darah, harta, anak-anak, dan wanita wanita mereka. Dalam hal ini dia berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian sudah tahu sendiri bahwa memang dia adalah nabi yang diutus, dia pula yang namanya kalian baca di dalam kitab kalian.”
2. Mereka membunuh anak-anak dan wanita-wanita mereka dengan tangan mereka sendiri, lalu berperang melawan Muhammad dengan pedang terhunus hingga meraih kemenangan atau biar saja mereka terbunuh semua dan tak seorang pun menyisa.
3. Langsung menyerang Rasulullah dan para sahabat dan melanggar larangan berperang pada hari Sabtu.

Namun mereka menolak semua tawaran ini. Pada saat itu pemimpin mereka, Ka’b bin Asad, berkata dengan nada tinggi karena marah, “Apa yang membuat salah seorang di antara kalian menjadi keras kepala setelah dilahirkan ibunya semalam suntuk?”
Tidak ada pilihan lain bagi Bani Quraizhah setelah menolak tiga usulan ini selain pasrah kepada keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Sekalipun begitu mereka masih berusaha menjalin kontak dengan kawan mereka yang sudah masuk Islam. Siapa tahu mereka mau menunjukkan jalan untuk mengambil keputusan yang baik. Maka mereka mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan pesan, “Utusan Abu Lubabah agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.”
Dulu Abu Lubabah adalah sekutu mereka. Sementara harta dan anak-anak Abu Lubabah juga ada di wilayah orang-orang Yahudi. Saat melihat kedatangan Abu Lubabah, semua orang Yahudi mengelu-elukannya. Yang laki-laki bangkit mengerumuninya dan para wanita serta anak-anak menangis di hadapannya. Abu Lubabah sangat iba melihat keadaan mereka. Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad?”

“Begitulah,” jawabnya sambil memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher, yang maksudnya mereka akan dijatuhi hukuman mati. Padahal tidak selayaknya dia berbuat seperti itu di hadapan mereka. Setelah itu barulah Abu Lubabah sadar bahwa dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya. Seketika itu dia berbalik dan tidak menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Dia masuk ke masjid Nabawi dan mengikat tubuhnya di tiang masjid. Dia bersumpah tidak akan melepaskan tali itu kecuali beliau sendiri yang melepaskannya dan dia juga tidak akan memasuki wilayah Bani Quraizhah. Setelah beliau mendengar apa yang telah diperbuat Abu Lubabah, yang sejak lama ditunggu tunggu kedatangannya, bersabda, “Andaikan dia menemuiku, tentu aku akan mengampuninya. Tetapi jika memang dia berbuat seperti itu, maka aku tidak akan melepaskannya kecuali jika dia bertobat kepada Allah.”

Sekalipun Abu Lubabah sudah mengisyaratkan seperti itu, mereka tetap mengambil keputusan untuk pasrah kepada keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang sebelumnya mereka sudah bertahan menghadapi pengepungan yang panjang. Apalagi bahan makanan, air dan peralatan cukup menunjang untuk itu. Di samping itu orang-orang Muslim terus-menerus diserang hawa dingin dan rasa lapar, karena mereka berada di tempat yang terbuka, ditambah lagi dengan kondisi badan mereka yang letih sehabis diperas menghadapi segelar pasukan musuh dari Quraisy dan Ghathafan. Tetapi perlu diingat, Perang Bani Quraizhah adalah peperangan urat syaraf. Allah menyusupkan ketakutan ke dalam hati orang-orang Yahudi. Mental mereka langsung merosot. Keadaan ini mencapai puncaknya hingga muncul Ali bin Abu Thalib dan Az-Zubair bin Al-Awwam. Ali Berteriak, “Wahai pasukan iman, demi Allah, aku siap merasakan seperti yang dirasakan Hamzah, atau lebih baik aku membuka benteng mereka.”

Setelah itu orang Yahudi tunduk kepada keputusan Nabi Beliau shallallahu alaihi wasallam memeritahkan untuk menahan semua Yahudi yang laki-laki dan tangan mereka dibelenggu. Muhammad bin Salamah Al-Anshari diserahi tugas untuk mengawasi mereka. Sedangkan para wanita dan anak-anak digiring ke tempat tertentu yang terpencil.
Orang-orang Aus mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, engkau telah membuat keputusan terhadap Bani Qainuqa’ seperti yang engkau ketahui. Mereka adalah sekutu saudara kami dari Khazraj. Sementara Bani Quraizhah adalah rekan kami. Maka berbuat baiklah terhadap mereka.”
Beliau bertanya, “Apakah kalian ridha jika yang membuat keputusan adalah salah seorang di antara kalian?”
“Baiklah,” jawab mereka.
Beliau bersabda, “Serahkan kepada Sa’d bin Mu’adz.”
“Kami ridha,” kata mereka.

Saat itu Sa’d bin Mu’adz berada di Madinah dan tidak ikut pergi ke Bani Qainuqa’ karena mendapat luka di lengannya sewaktu Perang Ahzab, maka dia dipanggil untuk datang dengan naik seekor keledai. Tatkala dia hendak menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam orang-orang berkata di kanan kirinya, “Wahai Sa’d, berbuat baiklah kepada rekan-rekanmu, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengangkat dirimu sebagai orang yang akan memutuskan perkara. Maka berbuat baiklah terhadap mereka.”
Sa’d bin Mu’adz diam tak menanggapi perkataan mereka. Tetapi karena semakin banyak orang yang berkata seperti itu, dia berkata, “Kini sudah tiba saatnya bagi Sa’d untuk tidak mempedulikan celaan orang yang suka mencela karena Allah.” Setelah mendengar jawaban Sa’d ini, di antara mereka ada yang kembali ke Madinah dan meratapi apa yang bakal menimpa mereka.

Setelah Sa’d berhadapan dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda kepada para sahabat, “Temuilah pemimpin kalian!”
Setelah menurunkan Sa’d dari punggung keledai, mereka berkata, “Wahai Sa’d, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu sudah pasrah kepada keputusanmu.” “Apakah keputusanku berlaku bagi mereka?” Tanya Sa’d.
“Ya,” jawab para sahabat.
“Apakah juga berlaku bagi orang-orang Muslim?”
“Ya,” jawab mereka.
“Bagi siapa pun yang ada di sini?” tanyanya lagi, sambil mengarahkan pandangannya ke arah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai penghormatan terhadap beliau. “Ya, juga bagi diriku,” jawab beliau.
Akhimya Sa’d berkata, “Aku memutuskan bahwa orang-orang Yahudi yang laki-laki harus dibunuh, para wanita dijadikan tawanan dan harta benda dibagi rata.”
Beliau bersabda, “Engkau telah membuat keputusan berdasarkan keputusan Allah dari atas langit yang ke tujuh.”

Keputusan Sa’d ini sudah pas dan adil. Karena di samping Bani Quraizhah telah melakukan pengkhianatan yang keji, mereka juga telah menyiapkan seribu lima ratus bilah pedang, dua ribu tombak, tiga ratus baju besi dan lima ratus perisai untuk membinasakan kaum Muslimin. Semua ini baru diketahui setelah orang-orang Muslim dapat menaklukkan benteng dan perkampungan orang-orang Yahudi Bani Quraizhah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk menahan orang-orang Yahudi Bani Quraizhah di rumah binti Al-Harits, seorang wanita dari Bani An-Najjar. Sebuah parit digali di dalam pasar Madinah. Sekelompok demi sekelompok digiring ke dalam parit tersebut. Beberapa orang Yahudi yang dekat dengan pemimpin mereka, Ka’b bin Asad bertanya, “Apa yang dia perbuat terhadap kita menurut penglihatanmu?”
Ka’b menjawab, “Apakah di tempat manapun memang kalian tidak bisa berpikir? Apakah kalian tidak melihat orang yang banyak berbicara tidak akan dilepaskan dan orang yang telah diusir di antara kalian tidak bisa kembali lagi? Demi Allah, itu adalah hukuman mati.” Jumlah kaum laki-laki dari Yahudi Bani Quraizhah ini berjumlah enam ratus hingga tujuh ratus orang. Mereka semua dipenggal.

Begitulah kesudahan ular-ular pengkhianat yang telah melanggar perjanjian yang pernah disepakati dan membantu pasukan musuh yang bermaksud hendak membinasakan kaum Muslimin, justru pada saat yang kritis. Dengan tindakan seperti itu mereka dianggap sebagai penjahat perang, sehingga layak mendapat hukuman mati.

Ada pula setan-setan Bani Nadhir yang ikut dibunuh bersama mereka. Salah seorang di antara penjahat Perang Ahzab adalah Huyai bin Akhthab, ayah Shafiyah Ummul Mukminin . Dia bergabung di benteng Bani Quraizhah saat Quraisy dan Ghathafan pulang, karena harus memenuhi janjinya kepada Ka’b bin Asad, yang sebelum itu dia terus-menerus membujuk dan mendorong Ka’b untuk melanggar perjanjian. Huyai telah merobek-robek pakaiannya yang bagus agar tidak dirampas. Saat digiring dengan tangan terbelenggu di belakang leher untuk menjalani eksekusi, dia berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Demi Allah, aku mencela diriku karena aku telah memusuhimu. Tetapi siapa pun yang memang dikalahkan Allah, pastilah dia akan kalah juga.” Lalu dia berkata kepada orang¬ orang di sekitarnya, “Wahai manusia, tidak apa-apa kalau memang sudah menjadi keputusan Allah. Ketetapan, takdir, dan tempat pembantaian, semua telah diputuskan bagi Bani Israil.” Kemudian dia duduk dan lehernya dipenggal.

Hanya ada satu orang wanita saja di antara mereka yang dibunuh. Pasalnya, sebelum itu dia telah menimpukkan batu penggiling kepada Khalad bin Suwaid hingga meninggal dunia. Maka dia dieksekusi mati karena perbuatannya itu.
Rasulullah memerintahkan untuk membunuh siapa pun yang sudah baligh. Sedangkan anak-anak yang dianggap belum baligh dibiarkan hidup. Di antara anak yang dianggap belum baligh adalah Athiyyah Al-Qurazhi. Dia dibiarkan hidup, lalu masuk Islam dan menjadi sahabat yang baik.
Tsabit bin Qaiz meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar Az-Zabir bin Batha beserta keluarga dan harta bendanya diserahkan kepadanya. Sewaktu Perang
Bu’ats, Az-Zabir berjasa telah menyelamatkan Tsabit bin Qaiz. Permintaan itu dikabulkan. Tsabit bin Qaiz berkata, “Rasulullah telah menyerahkan dirimu kepadaku, begitu pula keluarga dan hartamu.”
Namun setelah mengetahui bahwa semua rekan-rekannya Yahudi yang dia cintai telah dibunuh, Az-Zabir berkata, “Atas jasaku kepadamu dulu wahai Tsabit, aku minta pertemukanlah aku dengan orang-orang yang aku cintai.”

Lalu Tsabit memenggal lehernya dan mempertemukannya dengan orang orang yang dicintainya. Lalu dia meminta kepada beliau agar anak Az-Zabir, Abdurrahman bin Az-Zabir dibiarkan hidup. Kemudian dia masuk Islam dan menjadi sahabat yang baik.
Adapun Ummul Mundzir Salma binti Qaiz An-Najjariyah, meminta kepada beliau untuk mengampuni Rifa’ah bin Samwal Al-Quraizi. Lalu Rifa’ah masuk Islam dan menjadi sahabat yang baik.

Ada beberapa orang Bani Quraizhah yang masuk Islam pada malam sebelum mereka menyerah, sehingga darah, harta, dan keluarga mereka dilindungi. Pada malam itu pula muncul Amr, yang tak ikut bergabung dengan Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian. Muhammad bin Maslamah yang bertugas menjaga beliau melihat dirinya. Dia dibiarkan pergi dan tidak tahu kemana perginya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membagi seluruh harta rampasan dari Bani Quraizhah setelah mengambil seperlimanya. Tiga bagian diperuntukkan bagi barisan penunggang kuda. Sedangkan pasukan pejalan kaki mendapat satu bagian. Para tawanan diserahkan kepada Sa’d bin Zaid Al-Anshari untuk dibawa ke Najd, lalu dijual di sana dan dibelikan kuda serta senjata.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memilih untuk diri beliau salah seorang wanita mereka, Raihanah binti Amr bin Junafah. Wanita itu tetap berada dalam hak beliau hingga beliau meninggal dunia. Menurut Al-Kalbi, beliau membebaskan Raihanah dan menikahinya pada tahun 6 H. Dia meninggal dunia saat beliau pulang dari Haji Wada’, lalu dikuburkan di Baqi’.

Setelah urusan Bani Quraizhah selesai, doa seorang hamba yang shaleh, Sa’d bin Mu’adz dikabulkan, seperti yang sudah kami singgung sewaktu Perang Ahzab. Sebelumnya Nabi membuatkan sebuah kemah di dekat masjid, agar lebih mudah bagi beliau untuk menjenguknya. Setelah urusan Bani Quraizhah selesai, lukanya semakin parah dan pecah. Dari bagian lukanya itu mengalir darah hingga mengalir ke kemah lain di sampingnya yang ditempati Bani Ghifar. Mereka berkata, “Wahai para penghuni kemah, apa yang mengalir ini?”
Ternyata darah itu berasal dari luka Sa’d bin Mu’adz, lalu dia meninggal dunia karenanya.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Jabir, bahwa Rasulullah bersabda, “Arsy Allah Yang Maha Pemurah berguncang karena kematian Sa’d bin Mu’adz.”

Di dalam Shahih At-Tirmidzi disebutkan dari hadits Anas, dia berkata, “Saat jenazah Sa’d bin Mu’adz diangkat, orang-orang munafik berkata, `Betapa ringan jenazahnya.”‘
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Karena para malaikatlah yang mengangkat jenazahnya.”
Sewaktu mengepung Bani Quraizhah, ada seorang Muslim yang meninggal, yaitu Khallad bin Suwaid, karena ditimpuk batu alat penggiling oleh seorang wanita Bani Quraizhah. Selama pengepungan itu ada pula yang meninggal dunia, yaitu Abu Sinan bin Minshan, saudara Ukkasyah.

Sedangkan Abu Lubabah tetap dalam keadaan terikat di masjid selama enam hari. Setiap tiba waktu shalat ada seorang wanita yang menghampirinya dan melepaskan talinya agar dia bisa shalat. Setelah itu dia mengikatnya lagi. Pada dini hari sebelum subuh wanita tersebut memintakan ampunan bagi Abu Lubabah, yang saat itu beliau sedang berada di rumah Ummu Salamah. Ummu Salamah berdiri di ambang pintunya lalu berkata, “Wahai Abu Lubabah, terimalah kabar gembira, karena Allah telah mengampunimu.”
Maka seketika itu orang-orang mengerumuni Abu Lubabah untuk melepaskan talinya. Namun Abu Lubabah menolak seorang pun melepaskan tali yang mengikat tubuhnya selain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri yang melepaskannya. Saat melewatinya untuk melaksanakan shalat subuh, beliau melepaskan talinya.

Peperangan ini terjadi pada bulan Dzul Qa’dah 5 H. Adapun pengepungan berjalan selama dua puluh lima hari.
Allah menurunkan beberapa ayat tentang Perang Ahzab dan Bani Quraizhah dalam surat Al-Ahzab. Di dalam ayat-ayat ini terdapat penjelasan penting tentang keadaan orang-orang Mukmin dan munafik, kemudian kehinaan yang diderita pasukan musuh dan kesudahan pengkhianatan para ahli kitab.

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M