• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Perang Mu’tah

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Latar Belakang Peperangan
  2. Para Komandan Pasukan Islam dan Wasiat Rasulullah
  3. Ucapan Selamat Tinggal pada Pasukan Islam
  4. Majelis Permusyawaratan di Mu’an
  5. Pasukan Muslimin Bergerak Mendekati Musuh
  6. Permulaan Pertempuran dan Pergantian Komandan
  7. Bendera di Tangan Pedang Allah
  8. Kesudahan Perang
  9. Dampak Peperangan
  10. Satuan Pasukan ke Salasil
  11. Satuan Pasukan Abu Qatadah ke Khadhirah

Peperangan ini mempakan peperangan terbesar yang dilakukan orang-orang Muslim semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga termasuk paling menegangkan, sekaligus merupakan pendahuluan dan jalan pembuka untuk menaklukkan negeri-negeri Nashrani, yang terjadi pada bulan Jumadil Ula 8 H, bertepatan dengan bulan Agustus atau September 629 M. Mu’tah adalah sebuah dusun sebelum masuk wilayah Syam. Dari tempat ini Baitul Maqdis bisa ditempuh pedalanan kaki selama dua hari.

1. Latar Belakang Peperangan

Latar belakang peperangan ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Al-Harits bin Umair untuk mengantar surat kepada pemimpin Bushra. Namun di perjalanan dia dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani, pemimpin Al-Balaqa’ yang termasuk dalam wilayah Syam dan di bawah pemerintahan Qaishar. Syurahbil mengikat Al-Harits dan membawanya ke hadapan Qaishar, lalu dia memenggal leherya.
Padahal membunuh seorang utusan menampakan kejahatan yang amat keji, sama dengan mengamumkan perang atau bahkan lebih dari itu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat murka saat mendengar kejadian itu. Tidak heran jika kemudian beliau menghimpun pasukan yang jumlahnya mencapai 3000 prajurit dan sekaligus merupakan pasukan Islam yang paling besar. Sebelumnya mereka tidak pernah berhimpun sebanyak itu, kecuali pada Perang Ahzab.

2. Para Komandan Pasukan Islam dan Wasiat Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan. Beliau bersabda, “Apabila Zaid gugur, penggantinya adalah Ja’far. Apabila Ja’far gugur, penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah. Bendera perang berwarna putih diserahkan kepada Zaid bin Haritsah.
Beliau juga memerintahkan untuk mendatangi tempat terbunuhnya Al Haritsah bin Umair, lalu mengajak penduduk di sana agar masuk Islam. Ini jika mereka mau. Jika tidak, maka pasukan Muslimin harus memohon pertolongan kepada Allah lalu memerangi mereka. Dalam hal ini beliau bersabda,

Dengan asma Allah, perangilah fi sabilillah orang-orang yang kufur kepada Allah, janganlah kalian berkhianat, jangan merubah, jangan membunuh tmak-anak, wanita, orang tua renta, dan orang yang mengisolir di tempat pertapaan rahib, jangan menebang pohon korma dan pohon apa pun, serta jangan merobohkan bangunan.”

3. Ucapan Selamat Tinggal pada Pasukan Islam

Setelah pasukan Islam sudah siap berangkat, orang-orang datang mengerumuni mereka, memanggil para komandan pasukan yang ditunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Pada saat itu, salah seorang dari tiga komandan pasukan, Abdullah bin Raw ahah, menangis.
“Mengapa engkau menangis?” tanya mereka.
Abdullah bin Rawahah menjawab, “Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan rindu kepada kalian, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat dari sebuah kitab Allah, yang di dalamnya disebutkan neraka, “Dan tidak ada seorang pun di antara kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal ini bagi Rabmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.” Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku setelah aku meninggal nanti?”
Mereka berkata, “Allah tentu menyertai kalian dengan keselamatan, melindungi kalian, dan mengembalian kalian kepada kami dalam keadaan baik dan memperoleh harta rampasan.”

Kemudian Abdullah bin Rawahah melantunkan syair,

“Kumohon magfirah kepada Ar-Rahman
di samping tebasan pedang yang menepis kotoran
atau hunjaman tanganku yang kuat perkasa
dengan tombak yang mengeluarkan isi dada
biarlah orang berkata saat melewati kuburku
Allah telah memberikan petunjuk kepadaku.”

Kemudian mereka berangkat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkan mereka hingga Tsaniyatul Wada’. Beliau berhenti di sana dan mengucapkan selamat jalan.

Pansukan Muslimin bergerak ke arah utara lalu berhenti di Mu’an yang sudah termasuk wilayah Syam, berbatasan dengan Hijaz utara. Pada saat itu mereka mendapat informasi bahwa Heraklius bermarkas di Ma’ ab di wilayah Al-Baqa ‘ dengan kekuatan seratus ribu prajurit Romawi. Mereka masih ditambah lagi dari pasukan Lakhm, Judzam, Balqin, Bahra, dan Balli sebanyak 100.000 prajurit. Jadi, pasukan musuh berjumlah 200.000 orang.

4. Majelis Permusyawaratan di Mu’an

Orang-orang Muslim tak pernah membayangkan bahwa mereka akan berhadapan dengan pasukan sebesar itu, yang datang di daerah yang jumlahya cukup jauh. Apakah pasukan sekecil ini yang berkekuatan 3000 prajurit harus berperang dengan musuh yang amat besar dengan kekuatan 200.000 prajurit? Pasukan Muslimin benan benar bingung. Dua malam mereka berada di Mu’an memikirkan masalah ini. Mereka terus menimbang-nimbang dan bertukar pikiran. Mereka memutuskan untuk menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan jumlah musuh mereka, entah beliau akan mengirimkan bala bantuan lagi ataukah memberikan perintah tertentu dan mereka siap melak sanakannya.

Tetapi Abdullah bin Rawahah menentang pendapat ini. Dia memberikan motivasi kepada orang-orang dan berkata, “Wahai semua orang, demi Allah, apa yang tidak kalian sukai dalam kepergian ini sebenarnya justru merupakan sesuatu yang kita cari, yaitu mati syahid. Kita tidak berperang dengan manusia karena jumlah, kekuatan dan banyaknya personil. Kita tidak memerangi mereka melainkan karena agama ini, yang dengannya Allah telah memuliakan kita. Maka berangkatlah, karena di sana hanya dua salah satu dari dia kebaikan, entah kemenangan entah mati syahid.” Akhirnya diambil keputusan secara bulat seperti yang disampaikan Abdullah bin Rawahah.

5. Pasukan Muslimin Bergerak Mendekati Musuh

Setelah dua hari berada di Mu’an’ pasukan Muslimin bergerak mendekati markas pasukan Heraklius yang berada di suatu dusan di bilangan al-Baqa’ yang bernama Masyarif.
Musuh juga semakin mendekat, sedangkan pasukan Muslimin membelok ke arah Mu’tah dan bermarkas di sana. Mereka bersiap-siap untuk mengadakan pertempuran. Sayap kanan dipimpin Quthbah bin Qatadah dan sayap kiri dipimpin oleh Ubadah bin Malik.

6. Permulaan Pertempuran dan Pergantian Komandan

Di Mu’tah itulah kedua pasukan saling berhadapan dan pertempuran pun mulai meletus. 3000 prajurit Muslimin harus menghadapi gempuran musuh yang berkekuatan 200.000 prajurit, suatu pertempuran langka yang disaksikan dunia dengan rasa heran dan gelengan kepala. Tetapi apabila angin iman sudah berhembus, maka manculah hal-hal yang tak terduga dan aneh.

Pertama kali yang memegang bendera adalah Zaid bin Haritsah, kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Dia bertempur dengan gagah berani dan heroik, hampir tak ada seorang pahlawan Islam pun yang menandinginya. Dia terus-menerus bertempur dan bertempur hingga terkena tombak musuh dan akhirnya terjerembab di tanah, mati syahid.

Kemudian bendera diambil alih oleh Ja’far bin Abu Thalib. Dia juga bertempur dengan gagah berani, jarang ada bandingnya. Ketika pertempuran semakin seru, dia terlempar dari atas kudanya dan kudanya terkena senjata. Kemudian dia terus bertempur hingga tangan kanannya putus terkena senjata lawan. Bendera dia alihkan ke tangan kiri dan terus bertempur hingga tangan kirinya pun putus terkena senjata lawan. Bendera itu dia lilitkan di lengan bagian atas yang masih menyisa dan terus beerusaha mengibarkan bendera hingga dia gugur di tangan musuh. Ada yang berkata tentang dirinya, “Sesungguhnya seorang prajurit Romawi membabatkan pedang ke tubuhnya hingga terbelah menjadi dua bagian. Allah menganugerahinya dua sayap di surga. Dengan dua sayap itu dia bisa terbang menurut kehendaknya.” Karena itu Ja’far bin Abu Thalib dijuluki At-Thayyar (penerbang) atau Dzul Janahain (orang yang memiliki dua sayap).

Al-Bukhari meriwayatkan dari Nafi’, Ibnu Umar memberitahunya bahwa pada saat itu dia berdiri di samping jasad Ja’far yang sudah terbunuh. Kuhitung ada 50 luka entah karena sabetan atau hujaman di tubuhnya. Sementara tak ada satu luka pun di bagian punggungnya.
Dalam riwayat lain Ibnu Umar berkata, “Pada peperangan itu aku juga berada di sana bersama mereka. Kami mencari-cari Ja’far bin Abu Thalib, dan akhirnya kami mendapatkaimya berada di antara orang-orang yang gugur. Kami melihat ada 70 luka lebih di sekujur tubuhnya, entah karena sabetan entah karena hunjaman.” Dalam riwayatAl-Umari dari Nafi’ terdapat tambahan, “Dan kami mendapatkan luka-luka itu ada di tubuhnya bagian depan.

Setelah Ja’far bin Abu Thalib gugur, bendera diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah. Dia maju ke depan sambil naik kudanya. Dia terlihat seperti ragu-ragu. Pada saat itu dia melantunkan syair,

“Wahai jiwa segeralah turun ke sini
turunlah atau engkau akan dibenci
biarkan mereka berteriak dan menghiba
mengapa kulihat engkau tidak suka surga.”

Akhirnya dia benar-benar turun dari punggung kudanya. Pada saat itu sepupunya menghampiri dirinya sambil menyerahkan sepotong tulang yang masih menyisakan daging, seraya berkata, “Makanlah ini agar punggungmu bisa tegak, karena pada beberapa hari ini engkan menghadapi keadaan seperti yang engkau hadapi.”
Abdullah bin Rawahah mengambil dan mengigitnya sedikit. Tetapi kemudian dia memuntahkannya lagi. Dia mengambil pedangnya lalu maju ke depan untuk bertempur hingga dia gugur.

7. Bendera di Tangan Pedang Allah

Pada saat itu ada seseorang dari Bani Aljan yang bernama Tsabit bin Arqam yang maju ke depan dan mengambil bendera. Dia berkata, “Wahai semua orang Muslim, angkatlah seseorang di antara kalian!”
“Engkau saja,” jawab mereka.
“Aku tidak sanggup,” jawabnya.
Mereka menunjuk Khalid bin al-Walid. Maka setelah mengambil bendera, dia bertempur dengan hebat dan gagah berani. Al-Bukhari meriwayadran dari Khalid bin Al-Walid, dia berkata, “Ada sembilan pedang yang patah di tanganku pada waktu perang Mu’tah. Yang tinggal di tanganku hanya sebatang pedang lebar model Yaman.
Sebelum orang-orang di Madinah mendengar kabar dari kancah peperangan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda mengabarkan apa yang terjadi dengan lantaran wahyu, “Zaid mengambil bendera, lalu dia gugur. Kemudian Ja’far yang mengambilnya dan dia pan gugur. Kemudian Ibnu Rawahah yang mengambilnya dan dia pun gugur.” Kedua mata beliau meneteskan air mata, lalu belian bersabda lagi, “Hingga salah satu dari pedang-pedang Allah mengambil pedang itu dan akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada mereka.”

8. Kesudahan Perang

Seperti apa pun keberanian dan patriotisme yang dimiliki, rasanya sangat aneh jika pasukan yang terlalu kecil dapat memperoleh keberhasilan dan mampu bertahan menghadapi segelar pasukan Romawi yang amat besar, bak hamparan lautan. Pada saat seperti itu, Khalid bin Al-Walid mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam melepaskan pasukan Muslimin dari akibat yang lebih parah lagi bagi mereka.

Ada beberapa riwayat yang berbeda tentang apa yang terjadi di akhir peperangan ini. Namun setelah melihat beberapa riwayat itu, dapat disimpulkan bahwa Khalid bin Al-Walid berhasil menghadapi gempuran pasukan Romawi sepanjang hari. Karena dia merasa sangat membutuhkan suatu siasat perang, maka sejak pagi hari pada keesokannya dia harus mampu menyusupkan perasaan takut ke dalam hati pasukan Romawi. Tujuannya agar pasukan Muslimin dapat mandur tanpa harus menghadapi kejaran pasukan Romawi. Dia sadar sepenuhnya bahwa menghindar dari cengkraman cakar mereka bukanlah tindakan yang gampang, sekalipun ada kesempatan untuk itu. Sebab sesudahnya bisa saja pasukan Romawi akan melakukan pengejaran.

Pada keesokan harinya Khalid bin Al-Walid merubah komposisi pasukan dan mempersiapkannya dengan pola baru. Yang tadinya berada di front belakang dialihkan ke front depan, yang tadinya berada di sayap kiri dialihkan ke sayap kanan, begitu pula sebaliknya. Saat musuh melihat pengalihan ini, mereka seakan tidak percaya. Mereka berkata, “Rupanya mereka mendapat bala bantuan.” Bersamaan dengan ini ketakutan mulai membayangi hati mereka. Setelah kedua pasukan saling mengintip dan bertempur beberapa lama, prajurit Muslimin mundur pelan-pelan, sambil tetap menjaga komposisi pasukan. Pasukan Romawi tidak mengejar, karena mengira bahwa pasukan Muslimin akan menerapkan suatu tipuan dan sengaja menarik mereka ke tengah padang pasir lalu melancarkan serangan balik di sana.

Akhirnya pasukan Romawi pulang ke negerinya dan sama sekali tidak berpikir untuk melakukan pengejaran terhadap pasukan Muslimin. Dengan begitu orang-orang Muslimin bisa selamat hingga mereka kembali ke Madinah.
Jumlah korban yang gugur dalam peperangan ini dari pihak Muslimin ada dua belas orang. Sedangkan korban dari pihak Romawi tidak bisa diketahui. Hanya saja dengan melihat rincian jalannya peperangan ini, mestinya korban di pihak mereka jauh lebih banyak.

9. Dampak Peperangan

Sekalipun orang -orang Muslim tidak bisa melancarkan serangan balasan setelah mereka mengalami kepahitannya, toh peperangan ini tetap meninggalkan pengaruh yang positif, dengan mengangkat pamor orang-orang Muslimin. Semua orang Arab berdecak kagum dan keheranan karenanya. Pasukan Romawi adalah pasukan yang paling besar dan paling kuat di muka bumi pada zaman itu. Sebelumnya orang-orang Arab mengira bahwa kenekatan pasukan Muslimin ini sama dengan mencari mati dan terlalu riskan bagi keselamatan jiwa. Pasukan kecil ini dengan hanya kekuatan 3000 prajurit, yang harus berhadapan dengan segelar pasukan yang besar (200.000 prajurit), lalu pulang tanpa mengalami kerugiaan yang berarti, sungguh merupakan keanehan yang sulit dipercaya.

Kenyataan ini semakin menguatkan bahwa orang-orang Muslim adalah sebuah gambaran tersendiri, tidak seperti yang dikenal bangsa Arab selama itu. Dengan kenyataan ini, orang-orang Muslim pasti mendapat pertolongan dari sisi Allah dan pemimpin mereka, benar-benar Rasul Allah. Karena itu beberapa kabilah yang sebelumnya menyerang dan memusuhi kaum Muslimin, merasa simpati terhadap Islam setelah perang Mu’tah ini.

Baldran Bani Sulaim, Asyja’, Ghathafan, Fazarah, dan lain-lain menyatakan masuk Islam.
Perang ini merupakan permulaan peperangan yang seru dengan pasukan Romawi, dan sekaligus merupakan langkah untuk menaklukkan negeri-negeri yang diduduki Romawi, hingga orang-orang Muslim bisa menduduki wilayah yang cukup jauh.

10. Satuan Pasukan ke Salasil

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui sikap beberapa kabilah Arab di pinggiran Syam yang berpihak kepada pasukan Romawi dalam menghadapi orang-orang Muslim semasa Perang Mu’tah, maka beliau merasa perlu untuk memisahkan mereka dengan pihak Romawi, dan menjadi sebab penyatuan mereka dengan pihak kaum Muslimin, agar mereka tidak lagi berhimpun sekali lagi. Beliau merasa perlu melakukan tindakan yang bijaksana dan pas.

Untuk melaksanakan tugas ini beliau menunjuk Amni bin Al-Ash. Sebab neneknya berasal dari Balli (salah satu kabilah di perbatasan Syam). Maka beliau mengutusnya untuk menemui mereka pada bulan Jumadal Akhir 8 H seusai perang Mu’tah, dengan tujuan untuk membujuk dan melunakkan hati mereka. Ada yang berpendapat, sebelumnya ada informasi yang masuk bahwa penduduk Qudha’ah telah berhimpun dan hendak mendekati pinggiran Madinah. Maka beliau mengutus Amru bin Al-Ash untuk mendatangi mereka. Boleh jadi dua sebab ini berhimpun bersamaan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera wama putih kepada Amr bin Al-Ash, di samping bendera hitam. Dia berangkat bersama 300 orang dari Muhajirin dan Anshar, dan dikuatkan 30 penanggang kuda. Beliau juga memerintahkan agar dia meminta pertolongan kepada siap pun yang dilewatinya dari penduduk Balli dan kabilah-kabilah lainnya. Mereka melakukan perjalanan pada malam hari dan bersembunyi pada siang harinya. Setelah dekat dengan kabilah kabilah itu, pasukan Muslimin mendengar bahwa mereka menghimpun prajurit cukup banyak. Maka Amru bin Al-Ash mengutus Rafi’ bin Mukaits menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta bala bantuan. Maka beliau mengirim Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bersama 200 orang dari Muhajirin dan Anshar. Abu Bakar juga ikut bergabung bersamanya.

Beliau memerintahkan agar Abu Ubaidah segera bergabung dengan Amm hingga mereka berhimpun menjadi satu dan tidak boleh saling berselisih, sekalipun beliau juga menyerahkan bendera kepada Abu Ubaidah. Setelah kedua belah pihak saling bertemu, Abu Ubaidah bermaksud merekrut orang-orang. Maka Amru berkata, “Engkau datang ke sini hanya sebagai bala bantuan.Akulah yang menjadi komandan.”Abu Ubaidah menerima hal ini dan Amru juga menjadi imam saat shalat bersama mereka.

Kemudian mereka berangkat hingga tiba di wilayah Qudha’ah. Mereka terus melewati wilayah ini hingga tiba di ujungnya lagi. Di sana mereka bertemu dengan segelar pasukan. Orang-orang Muslim menyerang pasukan itu hingga mereka kocar-kacir melarikan diri ke segala penjuru. Auf bin Malik Al-Asyja dikirim untuk pulang lebih dulu dan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kafilah mereka dan keselamatannya serta apa pun yang terjadi dalam peperangan.

Dzatus Salasil adalah sebuah lembah di balik Wadil Qura. Dari tempat ini ke Madinah bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh hari. Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa orang-orang Muslim bermarkas di sebuah mata air di wilayah Judzam yang disebut As-Salasil, hingga peperangan ini disebut Dzatus Salasil.

11. Satuan Pasukan Abu Qatadah ke Khadhirah

Satuan pasukan ini dikirim pada bulan Sya’ban 8 H. Pasalnya Bani Ghathafan menghimpun pasukan di Khadhirah di wilayah Muharib, Najd. Setelah mendapat informasi tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Qatadah bersama 15 orang. Dia berangkat ke sana dan menyerang mereka, dapat membunuh mereka, menawan dan juga mendapatkan harta rampasan. Kepergianya ke sana selama 15 hari.

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M