Perang Tabuk
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Latar Belakang Peperangan
- Informasi yang masih simpang siur tentang Persiapan Pasukan Romawi dan Ghassan
- Informasi Khusus dan Akurat tentang Persiapan Pasukan Romawi Beserta Ghassan
- Rasulullah Memutuskan untuk Berangkat
- Pengumuman untuk Melakukan Persiapan
- Orang-orang Muslim Berlomba-lomba Melakukan Persiapan Perang
- Pasukan Islam Berangkat ke Tabuk
- Pasukan Islam Tiba di Tabuk
- Kembali ke Madinah
- Masjid Dhirar
- Orang-orang yang Tidak Ikut Serta
- Pengaruh Peperangan
- Beberapa Peristiwa Penting pada Tahun 9 H
Perang penaklukkan Makkah merupakan perang yang memisahkan antara yang haq dan batil. Sesudah itu tidak ada tempat untuk meragukan dan menyangsikan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di seluruh Jazirah Arab. Oleh karena itu perjalanan bisa berubah total setelah itu dan semua manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong. Hal ini bisa dilihat dari uraian mengenai kedatangan berbagai utusan dan jumlah orang-orang Muslim yang datang sewaktu haji wada’, yang sekaligus menandai berakhimya kendala intemal, hingga orang-orang Muslim bisa hidup tenang, bebas mengajarkan syariat Allah dan menyebarkan dakwah.
Hanya saja di sana masih ada satu kekuatan yang menghadang perjalanan orang-orang Muslim, dan hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, yaitu kekuatan Romawi, kekuatan militer yang paling besar di muka bumi pada zaman itu. Seperti yang sudah kita ketahui di atas, bentrokan ini sudah dimulai dengan dibunuhnya duta Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa shallam Al-Harits bin Umair di tangan Syurahbil bin Amr Al-Ghasanni, saat Al-Harits membawa surat beliau yang ditujukan kepada pemimpin Bushra. Setelah itu beliau mengirimkan satuan pasukan yang dipimpin Zaid bin Haritsah, yang kemudian baru bertempur dengan pasukan Romawi dengan pertempuran yang seru di Mu’tah, tanpa membawa hasil yang berarti dari orang-orang yang zhalim itu. Tetapi setidak-tidaknya peristiwa ini mampu meninggalkan pengaruh yang sangat besar di dalam jiwa bangsa Arab, yang dekat maupun jauh.
Qaishar juga tidak mengelak pengaruh yang sangat menguntungkan orang-orang Muslim dari peperangan Mu’tah. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya kabilah-kabilah Arab yang melepaskan diri dari kekuasaan Qaishar, lalu bergabung dengan orang-orang Muslim. Lama kelamaan hal ini bisa membahayakan kekuasaan mereka terhadap wilayah-wilayah Arab. Maka tidak ada pilihan lain bagi pasukan Romawi kecuali menghancurkan kekuatan orang-orang Muslim, sebeltun kekuatan ini merembet dan berkembang menjadi besar serta menimbulkan keresahan di wilayah Arab yang berbatasan dengan wilayah kelmasaan Romawi.
Dengan pertimbangan seperti ini, belum genap setahun telah perang Mu’tah, Qaishar sudah mempersiapkan pastikan Romawi dan Arab yang tunduk kepada kekuasaamwa dari Bani Ghassan dan lainnya. Mereka sudah siap untuk terjun dalam kancah peperangan besar-besaran.
2. Informasi yang masih simpang siur tentang Persiapan Pasukan Romawi dan Ghassan
Banyak informasi yang masuk ke Madinah tentang persiapan pasukan Romawi untuk bertempur secara besar-besaran melawan kaum muslimin, hingga setiap detik penduduk Madinah seperti dibayangi perasaan takut. Setiap kali mereka mendengar suara yang terasa ganjil, pasti diasosiasikan sebagai suara pasukan Romawi. Keadaan seperti ini dapat terlihat jelas sebagaimana yang dialami sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab. Sementara pada waktu itu Nabi shallalluhu ‘alaihi wa sallam menghindari istri-istri beliau selama sebulan penuh. Sedangkan para sahabat sendiri tidak tahu menahu duduk perkara yang sebenamya, hingga mereka mengira beliau telah menceraikan mereka semua. Tentu saja hal ini menimbulkan kekhawatiran dan kegundahan di hati mereka.
Umar bin Al-Khaththab berkata menuturkan kisah ini, “Aku mempunyai seorang sahabat karib dari Anshar. Apabila aku tidak ada di tempat, maka dia akan mendatangiku lalu menyampaikan kabar yang perlu disampaikan, dan jika dia tidak ada di tempat, maka akulah yang mendatanginya dan megabarkan apa yang perlu kukabarkan (keduanya menetap di dataran tinggi di Madinah dan secara bergiliran mereka biasa menemui Nabi shallalluhu ‘alaihi wa sallam. Pada walttu itu kami dirasuki perasaan takut kalau-kalau ada di antara raja Ghassan, yang menurut informasi akan menyerang kami. Dada kami benar-benar dipenuhi tanda tanya mengenai masalah ini. Tiba-tiba rekan karibku dari Anshar itu mengetuk pintu rumahku sambil berkata, “Bukalah, bukalah!”
“Apakah orang-orang Ghassan sudah tiba?” Tanyaku tak sabar.
“Bahkan lebih dahsyat dari itu. Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam menjauhi istri-istri beliau.”
Dalam lafazh lain disebutkan bahwa dia berkata,”Sebelumnya kami sudah membicarakan Bani Ghassan yang hendak menyerang kami. Saat rekanku mendapat giliran ke rumah Nabi shallalluhu ‘alaihi wa sallam dia kembali pada waktu isya’ dan langsung mengetuk pintu rumahku keras-keras.
“Apakah dia sedang tidur?” tanyanya kepada diri sendiri.
Aku kaget sekali dan langsung keluar menemuinya. Dia berkata lagi,”Telah terjadi masalah yang sangat besar.”
“Apa itu? Apakah orang-orang Ghassan sudah tiba?” aku bertanya. “Bukan, bahkan lebih besar dan lebih panjang dari itu. Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam menceraikan istri-istri beliau.” Ini menunjukan betapa rawannya keadaan saat itu, dimana orang-orang Muslim harus menghadapi pasukan Romawi. Keadaan ini semakin diperparah karena ulah orang-orang munafik yang berkasak kusuk tentang persiapan pasukan Romawi. Sekalipun orang-orang munafik ini sudah melihat sendiri keberhasilan Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam di segala medan, dan kekuatan macam apa pun yang ada di muka bumi ini pasti akan lebur jika berani menghadang jalan beliau, tetapi mereka masih saja berharap dapat mewujudkan apa yang tersembunyi di dalam dada mereka dan menginginkan kehancuran bagi Islam serta para pemeluknya. Karena tampaknya harapan mereka akan segera terwujud, mereka pun mulai membuat intrik dan konspirasi, dengan mendirikan sebuah masjid, yaitu Masjid Dhirar. Mereka mendirikan masjid ini sebagai bentuk pengingkaran dan hendak menciptakan perpecahan di antara orang-orang Muslim serta untuk menampung orang-orang yang hendak memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Mereka menawarkan kepada Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam agar shalat di dalamnya.
Tujuan mereka untuk mengecoh orang-orang Mukmin, sehingga mereka tidak berpikir bahwa sebenarnya masjid ini hanya sekedar sebagai kedok belaka, yang justru untuk memusuhi orang-orang Muslim, dan sekaligus menjadi tempat penampungan yang aman bagi orang-orang munafik dan rekan-rekan mereka dari luar. Tetapi beliau tidak segera memenuhi tawaran mereka dan menangguhkannya hingga nanti setelah pulang dari medan peperangan. Karena perhatian beliau terpusat untuk mengadakan persiapan perang. Mereka pun gagal dan bahkan Allah melecehkan mereka serta menyibak niat jahat mereka, hingga akhirnya beliau menghancurkan masjid tersebut sepulang dari peperangan.
3. Informasi Khusus dan Akurat tentang Persiapan Pasukan Romawi Beserta Ghassan
Begitulah informasi yang masih simpang siur yang diterima orang orang Muslim dan gambaran keadaan mereka saat itu, hingga kemudian ada serombongan orang yang datang dari Syam ke Madinah sambil membawa minyak. Mereka mengabarkan bahwa Heraldius sudah menyiapkan segelar pasukan yang amat besar, berkekuatan 40.000 prajurit, yang dipimpin salah seorang pembesar Romawi. Beberapa kabilah juga bergabung bersama mereka, seperti kabilah Lakhm, Judzam, dan lain-lainnya dari kabilah-kabilah Arab yang beragama Nashrani. Pasukan mereka yang terdepan sudah tiba di Balqa’. Begitulah keadaan yang cukup rawan, yang harus dihadapi orang-orang Muslim.
Keadaan ini semakin diperparah karena saat itu bertepatan dengan musim kemarau yang amat panas dan kering. Orang-orang menghadapi keadaan yang lebih sulit dan jarang-jarang menampakkan diri. Sementara buah-buah juga mulai masak, sehingga mereka lebih suka berada di kebun buah-buahan dan keteduhan pepohonannya. Jarak yang harus mereka tempuh jika harus berperang juga amat jauh lagi sulit.
4. Rasulullah Memutuskan untuk Berangkat
Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam memandang keadaan dan perkembangan yang ada secara detil dan bijaksana. Apabila beliau bermalas-malasan dm menghindar dari peperangan melawan pasukan Romawi dalam kondisi yang sangat rawan ini, membiarkan pasukan Romawi menjarah wilayah-wliayah yang tunduk kepada Islam dan bergabung dengan Madinah, maka justru akan membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi dakwah Islam dan pamor militer kaum Muslimin. Jahiliyah yang masih merasuki jiwa manusia seusai Perang Hunain, bisa bangkit kembali, dan orang-orang munafik yang selalu mencari-cari celah untuk menancapkan tombaknya dari arah belakang. Sementara pada saat yang sama pasukan Romawi bisa melancarkan serangan terhadap kaum Muslimin dari arah depan. Begitulah upaya yang harus dilakukan beliau dan para sahabat dalam menyebarkan Islam. Peperangan dan aktivitas militer seakan tak pemah berhenti dm tak ada ujungnya.
Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam menyadari semua ini. Karena itu beliau memutuskan untuk berangkat menghadapi pasukan Romawi di daerah perbatasan mereka, sekalipun keadaan saat itu cukup sulit dan berat. Beliau tidak ingin membiarkan pasukan Romawi masuk lebih jauh ke wilayah Islam.
5. Pengumuman untuk Melakukan Persiapan
Setelah Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam mengambil sikap yang bulat, maka beliau
mengumumkan kepada para sahabat agar bersiap-siap untuk berperang melawan pasukkan Romawi. Beliau mengirim utusan untuk mendatangi berbagai kabilah Arab dan penduduk Makkah agar ikut bergabung. Jarang sekali beliau mengumumkan secara langsung keinginan untuk terjun ke suatu peperangan. Tetapi karena melihat keadaan saat itu yang sangat rawan dan situasinya yang cukup berat, maka beliau mengumumkan secara langsung keinginan untuk berperang dengan pasukan Romawi. Beliau menjelaskan secara gamblang permasalahannya kepada orang-orang, agar mereka bisa melakukan persiapan secara matang, dan mendorong mereka untuk berjihad. Ada beberapa ayat dari surat At-Taubah yang turun dalam kaitannya dengan masalah ini, membangkitkan mereka agar menguatkan hati dan berjihad. Beliau juga mendorong mereka agar mengeluarkan sedekah dan menginfakkan kelebihan harta fi sabilillah.
6. Orang-orang Muslim Berlomba-lomba Melakukan Persiapan Perang
Setelah mendengar pengumuman Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam yang menyeru untuk berperang melawan pasukan Romawi, maka seketika itu pula orang-ormg Muslim berlomba-lomba melaksanakan seruan tersebut Dengan gerak cepat mereka langsung melakukan persiapan perang. Berbagai kabilah dan suku dari berbagai tempat turun ke Madinah. Tak seorang pun orang Muslim yang rela apabila dia sampai ketinggalan dalam peperangan kali ini, kecuali orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit. Bahkan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa dan miskin juga datang kepada beliau, meminta bekal dan kendaraan kepada beliau, agar dia bisa ikut serta memerangi pasukan Romawi. Firman Allah,
“Dan tiada (pula)berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka najkahkan.” (At-Taubah: 92)
Di samping berlomba-lomba dalam melakukan persiapan, mereka juga berlomba-lomba dalam menafkahkan harta dan mengeluarkan sedekah. Sebelum itu Utsman bin Affan sudah mempersiapkan kafilah dagang menuju Syam sebanyak 200 onta lengkap dengan barang-barang yang diangkutnya dan 200 uqiyah. Maka seketika itu dia mengeluarkan sedekahnya, lalu masih
ditambah lagi dengan sedekah bempa 100 ekor onta dengan barang-barang yang diangkutnya, kemudian ditambah lagi dengan 1000 dinar yang diletakkan di bilik Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam Beliau menerimanya dan bersabda, “Tidak ada yang membahayakan Utsman karena apa yang dilakukannya setelah hari ini.”
Bahkan Utsman masih mengeluarkan sedekah lagi, lalu ditambah lagi dan masih ditambah lagi, hingga semuanya senilai 900 ekor onta dan 100 ekor kuda, tidak termasuk uang kontan.
Abdurrahman bin Auf juga datang sambil menyerahkan 200 uqiyah perak, Abu Bakar menyerahkan semua hartanya dan tidak menyisakan bagi keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya, yang nilainya sebesar 4000 dirham. Abu Bakar adalah orang yang pertama kali menemui beliau untuk menyerahkan sedekah. Umar juga datang menyerahkan separoh hartanya. Al-Abbas juga menyerahkan harta yang cukup banyak, begitu pula Thalhah, Sa’d bin Ubadah, Muliammad bin Maslamah, yang semuanya datang sambil menyerahkan sedekah. Ashim bin Adi menyerahkan 70 wasaq korma, lalu disusul orang-orang yang menyerahkan apa pun yang dimilikinya, ada yang sedikit dan ada yang banyak. Bahkan ada di antara mereka yang hanya menyerahkan satu atau dua mud korma, karena memang hanya itulah yang bisa dia keluarkan. Para wanita juga datang untuk menyerahkan berbagai macam perhiasan milik mereka. Hampir tak seorang pun yang menahan apa pun yang dimilikinya dan tidak merasa sayang terhadap hartanya kecuali orang-orang munafik. Firman Allah,
“(Orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. ” (At¬Taubah: 79)
7. Pasukan Islam Berangkat ke Tabuk
Begitulah persiapan yang dilakukan pasukan Islam Sebelum berangkat, Nabi shallalluhu ‘alaihi wa sallam menunjuk Muhammad bin Maslamah Al-Anshari, atau menurut pendapat lain adalah Siba’ bin Urfuthah, sebagai wakil beliau di Madinah. Untuk menjaga keluarga yang ditinggalkan, beliau mewakilkannya kepada Ali binAbu Thalib dan menyuruhnya agar tinggal bersama mereka dan mengamat-amati orang-orang munafik. Karena didorong keinginan yang sangat kuat untuk ikut berperang, Ali bin Abu Thalib menyusul beliau. Tetapi beliau menyuruhya agar kembali lagi ke Madinah, sambil bersabda, “Apakah engkau tidak ridha jika engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja tidak ada nabi sesudahku.”
Pada hari Kamis, Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam mulai bergerak ke arah utara dengan tujuan Tabuk. Karena jumlah pasukannya sangat besar, yaitu sebanyak 30.000 prajurit, maka persiapan untuk membekali pasukan ini tidak sempurna, sekalipun cukup banyak harta yang disedekahkan orang-orang Muslim. Bahkan dibandingkan dengan jumlah personil yang sebanyak itu, maka bekal dan tunggangan yang ada dianggap terlalu sedikit. Delapan belas orang hanya mendapat jatah satu ekor onta. Boleh jadi mereka memakan dedaunan, sekedar untuk membasahi bibir, dan terpaksa mereka harus menyembelih onta sekalipun jumlahnya hanya sedikit, untuk diambil air di badannya di samping dimakan dagingnya. Karena itu pasukan ini disebut dengan Jaisyul Usrah (pasukan yang keadaannya sulit). Perang ini terjadi bulan Rajab 9 H. (www.kisahmuslim.com)
Dalam perjalanan ke Tabuk, pasukan Islam ini melewati Al-Hijr, perkampungan orang-orang Tsamint yang dahulunya mereka pernah memotong motong batu-batu besar di lembah untuk bahan bangunan atau tempat sembunyi, atau disebut pula Wadil Qura. Orang-orang mengambil air dari sumur-sumur yang ada di lembah itu. Saat istirahat, Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian meminum air di sini dan jangan pula mempergunakan wudhu antuk shalat. Adonan yang sudah kalian buat berikan saja kepada onta dan janganlah kalian memakannya walau sedikit pun.” Sumur yang boleh diambil airnya hanya sumur yang pernah dihampiri onta Nabi.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar, dia berkata, “Saat Nabi melewati Al-Hijr, beliau bersabda, “Janganlah kalian memasuki tempat tempat yang dahulunya orang-orang Tsamud itu menganiaya diri mereka, sehingga kalian tertimpa musibah seperti yang menimpa mereka, kecuali jika kalian adalah orang-orang yang suka menangis.”
Kemudian beliau menundukkan kepala dan mempercepat jalannya hingga dapat melewati lembah tersebut. Dalam perjalanan ini semua orang sangat membutuhkan air, hingga mereka mengadu kepada Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam Karena itu beliau berdoa kepada Allah, lalu Allah menurunkan hujan kepada mereka, hingga mereka dapat meminumnya dan memuaskan kebutuhan terhadap air.
Saat perjalanan sudah mendekati Tabuk, beliau bersabda, “Insya Allah besok kalian sudah sampai di mata air Tabuk. Paling cepat kalian tiba di sana pada waktu dhuha. Siapa pun yang sudah tiba di sana, maka dia tidak boleh mengambil air sedikit pun di sana hingga aku tiba.” Mu’adz menuturkan,”Ada dua orang yang lebih dahulu tiba di sana. Mata airnya hanya mengeluarkan sedikit air. Beliau bertanya kepada dua orang itu, “Apakah kalian berdua sudah mengambil airnya walau sedikit?”
“Sudah,” jawab keduanya.
Beliau mengucapkan sepatah dua patah kata kepada keduanya seperti yang dikehendaki Allah untuk dikatakan kepada mereka berdua. Kemudian beliau mengambil sedikit airnya lalu beliau menggunakannya untuk membasuh muka dan tangan. Kemudian air itu dikembalikan lagi ke mata airnya, hingga airnya berlimpah ruah. Maka orang-orang bisa mengambil air dari mata air itu. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Mu’adz, jika umurmu panjang, maka tak seberapa lama kemudian engkau akan melihat di sini sudah penuh dengan kebun-kebun.”
Saat masih di perjalanan ke Tabuk atau menurut riwayat lain sudah tiba di sana, Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malam ini akan berhembus angin yang kencang.” Ada seseorang yang keluar dan berdiri hingga berhembus angin dan jatuh dicelah antara dua bukit. Dalam perjalanan ini Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam senantiasa menjama’ antara shalat zhuhur dan anshar, magrib dan isya’, kadang dengan jama’ taqdim kadang dengan jama’ ta’khir.
8. Pasukan Islam Tiba di Tabuk
Pasukan Islam tiba di Tabuk dan berkubu di sana. Mereka siap bertempur melawan musuh. Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan pasukan dan menyampaikan pidato dengan penuh semangat, dengan kata-kata yang kandungan maknanya amat luas, menganjurkan kepada kebaikan dunia dan akhirat, memberi peringatan dan ancaman, memberi kabar gembira dan kabar yang menyenangkan, hingga mental seluruh prajurit benar-benar siap dengan semangat yang membara, sekalipan bekal dan perlengkapan mereka sangat minim.
Sebaliknya, ketika pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya sudah mendengar bahwa Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam Ia menggalang pasukan, muncul ketakutan dan kekhawatiran yang merambat hati mereka, sehingga mereka tidak berani maju atau langsung merencanakan serangan. Mereka berpencar-pencar di batas wilayah mereka sendiri. Tentu saja hal ini mengangkat pamor militer Islam di dalam Jazirah Arab dan sekaligus mendulang kepentingan politik yang amat besar manfaatnya, yang boleh jadi tidak akan bisa diperoleh andaikan sampai terjadi pertempuran di antara dua pasukan ini.
Karena itu Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam didatangi Yuhannah bin Ru’bah, pemimpin Ailah, menawarkan perjanjian perdamaian dengan beliau dan siap menyeralikan jizyah kepada beliau. Begitu pula yang dilakukan penduduk Jarba’ dan Adruj. Beliau menulis selembar perjanjian yang kemudian mereka pegang.
Untuk pemimpin Ailah, beliau menulis surat perjannan sebagai berikut
“Bismillahir rahmanir rahim. Ini mempakan surat perjanjian keamanan dari Allah dan Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, kepada Yuhannah bin Ru’bah dan penduduk Ailah. Perahu dan kendaraan-kendaraan mereka di daratan dan di lautan berhak mendapatkan jaminan perlindungan Allah dan Muhammad sang Nabi, juga berlaku bagi siapa pun yang bersamanya dari penduduk Syam dan penduduk di pesisir pantat Siapa pan di antara mereka yang melanggar perjanjian, maka hartanya tidak akan dapat melindungi dirinya, yang berarti siapa pun boleh mengambilnya. Mereka tidak boleh dirintangi untuk mengambil air yang biasa mereka ambil dan jalan mereka di darat manpun di laut tidak boleh dirintangi.”
Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Al-Walid ke Ukaidir Dtunatul Jandal bersama 420 penunggang kuda. Beliau bersabda kepadanya, “Engkau akan menemukan dia sedang memburu sapi.”
Maka Khalid dan pasukannya pergi ke sana. Setelah benteng Ukaidir sudah terlihat mata, ada sekumpulan sapi yang menggaruk-garukan tanduknya ke pintu benteng, hingga pintu benteng terbuka dan sapi-sapi itu pun keluar. Ukaidir memburu sapi-sapi tersebut, yang saat itu adalah malam bulan pumama. Dengan siasat tertentu, Khalid bisa memegang Ukaidir dan membawanya ke hadapan Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjamin keamanan dirinya dan dia berjanji menebus dirinya dengan menyerahkan 2000 ekor onta, tebusan senilai 800 orang, 400 baju besi, 400 tombak dan siap membayar jizyah. Bersama Yuhannah, dia menyetujui perjanjian yang berlaku untuk penduduk Dumah, Tabuk, Ailah, dan Taima’.
Berbagai kabilah yang dulunya tunduk kepada kekuasaan bangsa Romawi sebagai keputusan yang diambil para pemimpin mereka sebelum itu, diyakini sebagai langkah yang salah dan kini sudah habis masanya. Mereka berbalik mendukung orang-orang Muslim. Dengan begitu wilayah kekuasaan pemerintahan Islam semakin bertambah luas, hingga langsung berbatasan dengan wilayah kekuasaan bangsa Romawi.
Pasukan Islam meninggalkan Tabuk dengan membawa kemenangan, tanpa mengalami tekanan sedikit pun. Dengan perjalanan ini Allah telah mencukan peperangan bagi orang-orang Mukmin. Dalam perjalanan pulang ke Madinah dan saat melewati sebuah jalan bukit, ada 12 orang dari golongan munafikin yang hendak menyerang Nabi shallalluhu ‘alaihi wa sallam Kejadiannya bermula saat beliau melewati jalan bukit itu bersama Ammar yang menuntun tali kendali onta beliau dan Hudzaifah bin Al-Yaman yang berjalan di depannya. Sementara orang-orang berada di tengah lembah. Kesempatan ini tidak disia-siakan orang-orang munafik tersebut. Saat beliau dan dua sahabat sedang berjalan, tiba-tiba mereka bertiga mendengar suara gaduh dari arah belakang mereka. Orang orang munafik ini berusaha berkilah dengan menutupi wajah mereka. Beliau mengutus Hudzatfah untuk mengejar mereka hingga dia dapat memukul onta mereka dengan tongkat yang dibawanya. Mereka semakin ketakutan dan lari menghindar hingga bergabung dengan inti pasukan. Hudzaifah mengabarkan nama-nama mereka kepada Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam dan apa kehendak mereka. Dengan peristiwa ini Hudzaifah dijuluki orang yang memegang rahasia Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam Tentang hal ini Allah berfirman,
“Dan mereka menginginkan apa yang tidak dapat mereka capai.” (At¬Taubah: 74)
Ketika tanda-tanda daerah Madinah sudah tampak dari kejauhan, beliau bersabda, “Itu adalah Gunung Uhud. la mencintai kami dan kami mencintainya.”
Secara lambat-lambat orang yang berada di Madinah bisa mendengar kedatangan beliau. Maka para wanita dan anak-anak keluar untuk menyongsong kedatangan pasukan dengan suasana gembira, sambil mengucapkan syair seperti yang mereka ucapkan saat kedatangan beliau ke Madinah pertama kali.
Keberangkatan beliau ke Tabuk pada bulan Rajab dan pulang dari sana pada bulan Ramadhan. Peperangan ini memakan waktu selama 50 hari. Beliau berada di Tabuk selama 20 hari, sedangkan sisanya dihabiskan di perjalanan pulang pergi. Ini merupakan peperangan beliau yang terakhir kali.
Ibnu Ishaq berkata: Pada saat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam bersiap-siap untuk berangkat ke Tabuk, para pemilik masjid Dhirar datang menemui beliau dan meminta doa restu beliau. Tatkala Rasulullah berhenti di Dzu Awan, beliau mendapat kabar tentang masjid tersebut, kemudian beliau memanggil Malik bin Ad-Dukhsyum saudara Bani Salim bin Auf dan Ma’na bin Adi atau saudaranya yang bernama Ashim bin Adi untuk menghancurkan dan membakar masjid tersebut. Mereka berdua membakar dan meruntuhkan masjid itu hingga para penghuninya lari tunggang-langgang sehingga
turunlah ayat:
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan
kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orangorang
mukmin (QS. at-Taubah: 107),
Orang-orang yang membangun masjid Dhirar ada dua belas orang. Nama-nama mereka adalah
sebagai berikut:
Khidam bin Khalid dari Bani Zaid, salah seorang warga Bani Amr bin Auf. Dari perkampungannya,
masjid Asy-Syaqqaq dibangun, Tsa’labah bin Hathib dari Bani Umaiyah bin Zaid, Muattib bin Qusyair
dari Bani Dzubai’ah bin Zaid, Abu Habibah bin Al-Az’ur dari Bani Dzubai’ah bin Zaid, Abbad bin Hunaif
saudara Sahl bin Hunaif dari Bani Amr bin Auf, Jariyah bin Amir, dan kedua anaknya Mujammi’ bin
Jariyah dan Zaid bin Jariyah, Nabtal bin Al-Harits dari Bani Dhubai’ah bin Zaid, Bahzaj dari Bani
Dhubai’ah bin Zaid, Bijad bin Utsman dari Bani Dhubai’ah bin Zaid. dan Wadi’ah bin Tsabit dari Bani
Umaiyah bin Zaid yang merupakan warga Abu Lubabah bin Al-Mundzir.
Ibnu Ishaq berkata: Masjid-masjid Rasu- lullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam di antara Madinah dengan
Tabuk adalah sebagai berikut: Masjid di Tabuk, Masjid di Tsaniyyah Midran, Masjid di Dzatu Az-Zirab,
Masjid di Al-Akhdhar, Masjid di Dzatu Al-Khith- mi, Masjid di Ala’, Masjid di Tharf Al-Batra’, Masjid di
jalan menuju Tara, Masjid di Dzi Al-Jifah, Masjid di Shadr Haudha, Masjid di Al-Hijr, Masjid di Al-Wadi
yang sekarang dikenal dengan nama Wadi Al-Qura, Masjid di Ar-Ruq’ah dari arah Bani Udzrah, Masjid
di Dzu Al-Marwah, Masjid di Al-Faifa’, Masjid di Dzu Khusyub.
11. Orang-orang yang Tidak Ikut Serta
Dengan kondisi yang khusus, peperangan ini merupakan pelajaran yang amat berat dari Allah, sehingga dengan pelajaran ini orang-orang yang beriman bisa dipisahkan dari orang-orang yang tidak beriman. Memang begitulah kebiasaan Allah dalam kondisi-kondisi seperti ini. Firman-Nya,
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).” (Ali Imran: 179)
Siapa pun yang beriman dengan iman yang benar, tentu bergabung dalam peperangan ini. Sehingga siapa pun yang mangkir dari peperangan ini dianggap memiliki indikasi kemunafikan. Jika ada seseorang yang mangkir, lalu orang orang menyebutkannya di hadapan Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda, “Biarkan saja dia. Kalau memang di dalam dirinya ada kebaikan, tentu Allah akan menyusulkannya untuk bertemu kalian. Jika tidak, tentu dia tidak akan tenang-tenang saja.” Sehingga tidak ada yang mangkir kecuali memang orang yang berhalangan, atau mereka yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya dari kalangan orang-orang munafik, yang hanya duduk setelah mereka mencari-cari alasan secara dusta atau tanpa mencari-cari alasan sama sekali. Memang di sana ada tiga orang dari orang-orang Mukmin yang lurus yang mangkir tanpa ada alasan yang dibenarkan. Mereka inilah yang kemudian diuji Allah, kemudian kesalahan mereka diampuni.
Setelah memasuki Madinah, Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam langsung menuju masjid dan shalat dua rakaat Sementara orang-orang duduk di sana. Sedangkan orang-orang munafik yang jumlahnya ada 80 orang lebih, juga datang sambil mengemukakan berbagai alasan. Bahkan mereka berani bersumpah untuk memperkuat alasan mereka yang dibuat-buat itu. Beliau menerima alasan mereka menurut penuturan yang tampak dan memintakan ampunan bagi mereka. Tetapi apa yang terpendam di dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.
Sedangkan tiga orang dari golongan orang-orang Mulanin yang lurus, yaitu Ka’b bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah, berkata apa adanya kenapa tidak ikut serta dalam peperangan ini. Sebagai hukumannya, Rasulullah melarang para sahabat berbicara dengan mereka bertiga dan mereka juga harus menjalani pengucilan secara total dengan orang-orang Mukmin. Bumi yang luas terasa sempit bagi mereka dan sesuatu yang lapang terasa sempit bagi mereka. Mereka benar-benar merasakan tekanan yang amat berat, terlebih lagi mereka juga harus berjauhan dengan istri selama empat puluh hari. Kemudian Allah menurunkan ampunannya kepada mereka,
“Dan terhadap aga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa adak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 118)
Orang-orang Muslim merasa gembira dengan turunya ayat ini, terlebih lagi tiga orang tersebut. Kegembiraan mereka sulit dibayangkan. Mereka benar benar gembira dengan datangnya kabar gembira ini, lalu mereka pun bersedekah. Boleh jadi itu adalah hari yang menyenangkan dalam kehidupan mereka.
Sedangkan orang-orang yang tidak bisa berangkat karena memang ada halangan, maka Allah berfirman,
“Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya.” (At-Taubah: 91)
Setelah mendekati Madinah dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada orang-ormg yang kalian tidak pergi dan tidak melewati suatu lembah melainkan mereka senantiasa bersama kalian. Mereka bertahan karena ada alasan.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, sementara mereka tetap tinggal di Madinah?”
“Mereka tetap berada di Madinah,” jawab beliau.
Peperangan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pamor orang-orang Mukmin dan menguatkan mereka di Jazirah Arab. Kini orang orang mulai menyadari bahwa tidak ada satu kekuatan kecuali kekuatan Islam. Sisa harapan dan angan-angan yang masih bersemayam di hati orang-orang munafik dan jahiliyah mulai sirna. Sebelumnya mereka masih berharap banyak terhadap pasukan Romawi untuk melumat pasukan Muslimin. Namun, setelah peperangan ini membuat mereka sudah kehilangan nyali dan pasrah terhadap kekuatan yang ada, karena mereka sudah tidak mempunyai celah dan peluang untuk melakukan konspirasi.
Maka tidak ada yang mereka lakukan kecuali menghiba kepada orang-orang Muslim, agar diperlakukan dengan lemah lembut, sementara Allah memerintahkan untuk bersikap keras terhadap mereka. Bahkan Allah memerintahkan untuk menolak sedekah mereka, menshalati jenazah mereka, memintakan ampunan dan berdiri di atas kubur mereka. Allah juga memerintahkan untuk menghancurkan sentral makar mereka yang diatas namakan masjid (masjid Dhirar), melecehkan dan menyingkap keburukan mereka, sehingga tidak ada lagi rahasia yang bisa mereka tutup-tutupi. Seakan ayat yang turun itu langsung menyebutkan satu per satu nama orang-orang yang berada di Madinah.
Memang beberapa kabilah Arab mengirim utusan kepada Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam setelah perang penaklukan Makkah dan bahkan sejak sebelumnya. Tetapi setelah Perang Tabuk ini, pengiriman utusan kepada beliau lebih intens. Ini menanjukkan seberapa jauh pengaruh yang dihasilkan setelah peperangan ini.
Ayat-ayat Al-Qur’ an yang Turun seputar Peperangan ini
Cukup banyak ayat ayat dari suratAt-Taubah yang turun seputar peperangan.ini. Sebagian turun sebelum keberangkatan ke Tabuk dan sebagian yang lain turun setelah keberangkatan, tepatnya ada yang turun saat perjalanan dan sebagian yang lain turan sekembali ke Madinah. Ayat-ayat ini meliputi berbagai kondisi peperangan, pelecehan terhadap ormg-orang manafik, keutamaan orang-orang yang berjihad dan ikhlas, diterimanya taubat dari orang-orang Mukmin yang lurus, berkenaan dengan orang-orang yang ikut bergabung dan mereka yang tidak bisa ikut bergabung dan masih banyak masalah-masalah lain yang terungkap.
13. Beberapa Peristiwa Penting pada Tahun 9 H
Pada tahun ini terjadi beberapa peristiwa penting dalam sejarah seperti:
1. Setelah Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, terjadi li’an antara Uwaimir dan istrinya.
2. Seorang wanita Ghamidiyah dirajam setelah dia mengakui telah berbuat zina. Dia dirajam setelah menyapih anak dari hasil perzinaan itu.
3. Raja Najasyi Ashhamah meninggal dunia, lalu Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ghaib.
4. Ummu Kultsum binti Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, yang membuat beliau sangat sedih. Beliau bersabda kepada Utsman, “Andaikan aku masih mempunyai putri yang ketiga, tentu akan kunikahkan ia dengarnnu.”
5. Pemimpin orang-orang munafik, Abdullan bin Ubay bin Salul, meninggal setelah Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk. Beliau memintakan ampunan baginya dan menshalati jenazahnya, setelah Umar bin Al-Khaththab berusaha menghalangi beliau untuk meashalatinya. Setelah itu turun ayat yang membenarkan sikap Umar bin Al-Khaththab.
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury