• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Januari 2025

Perang Uhud

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Persiapan Quraisy Menghadapi Perang untuk Menuntut Balas
  2. Kebangkitan Kembali Pasukan Quraisy
  3. Pasukan Makkah Mulai Bergerak
  4. Mata-mata Nabi Menguasai Gerak-gerik Musuh
  5. Persiapan Orang-orang Muslim untuk Menghadapi Segala Kemungkinan
  6. Pasukan Makkah Tiba di Sekitar Madinah
  7. Majelis Permusyawaratan untuk Menetapkan Strategi Defensif
  8. Beliau membagi pasukannya menjadi tiga kelompok keberangkatan medan perang
  9. Inspeksi Pasukan
  10. Abdullah bin Ubay dan Rekan-rekannya Membelot
  11. Sisa Pasukan Islam Pergi ke Uhud
  12. Strategi Defensif
  13. Rasulullah Meniupkan Ruh Patriotisme kepada Prajurit Muslimin
  14. Pengaturan Pasukan Makkah
  15. Trik Pihak Quraisy
  16. Wanita-wanita Quraisy Bangkit Membakar Semangat
  17. Awal Meletusnya Bara Peperangan
  18. Pertempuran di Sekitar Bendera
  19. Pertempuran di Beberapa Titik
  20. Terbunuhnya Hamzah bin Abdul Muthalib
  21. Menguasai Keadaan
  22. Dari Pelukan Istri Langsung Mengambil Pedang dan Perisai
  23. Peranan Para Pemanah Saat Pertempuran
  24. Pasukan Musyrikin Kalah
  25. Kesalahan Fatal yang Dilakukan Para Pemanah
  26. Khalid bin Al-Walid Mengambil Jalan Memutar
  27. Sikap Rasulullah yang Patriotik
  28. Pasukan Muslimin Centang Perenang
  29. Pertempuran Berkorbar di Sekitar Rasulullah
  30. Saat yang Paling Kritis dalam Kehidupan Rasulullah
  31. Para Sahabat Mulai Berkumpul di Sekitar Rasulullah
  32. Orang-orang Musyrik Semakin Melipatkan Tekanan
  33. Patriotisme yang Tak Tertandingi
  34. Tersiarnya Kabar Kematian Rasulullah dan Pengaruhnya terhadap Peperangan
  35. Rasulullah Melanjutkan Pertempuran dan Menguasai Keadaan
  36. Terbunuhnya Ubay bin Khalaf
  37. Serangan Terakhir yang Dilancarkan Orang-orang Musyrik
  38. Para Syuhada Dicincang
  39. Seberapa Jauh Kesiapan Para Pahlawan Muslimin untuk Berperang Hingga Titik Penghabisan?
  40. Setiba di Jalan Bukit
  41. Kegembiraan Abu Sufyan Seusai Perang dan Dialognya dengan Umar bin Al-Khaththab
  42. Mencari Orang-orang yang Terbunuh dan Terluka
  43. Rasulullah Memanjatkan Puji dan Doa kepada Allah
  44. Kembali ke Madinah
  45. Tiba di Madinah
  46. Korban yang Terbunuh di Kedua Belah Pihak
  47. Suasana Duka Menyelimuti Madinah
  48. Perang Hamra’ul Asad
  49. Al-Qur’an Berbicara tentang Peperangan ini
  50. Hikmah dan Sasaran Lebih Jauh dari Peperangan ini

1. Persiapan Quraisy Menghadapi Perang untuk Menuntut Balas

Makkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badr dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Makkah meratapi para korban Badr dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena tahu kegandahan dan kesedihan hati mereka.

Setelah Perang Badr, semua orang Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan habis-habisan terhadap orang-orang Muslim, agar kebencian mereka bisa terobati dan dendam kesumat mereka bisa tersuapi. Karena itu mereka menggelar persiapan untuk terjun ke kancah peperangan sekali lagi.

Di antara pemimpin Quraisy yang paling bersemangat dan paling getol mengadakan persiapan perang adalah Ikrimah bin Abu Jahl, Shafwan bin Umayyah, Abu Sufyan bin Harb dan Abdullah bin Abu Rabi’ah.

Tindakan pertama yang mereka lakukan dalam kesempatan ini ialah menghimpun kembali barang dagangan yang bisa diselamatkan Abu Sufyan dan yang menjadi sebab pecahnya Perang Badr. Mereka juga menghimbau kepada orang-orang yang banyak hartanya, “Wahai semua orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membuat kalian ketakutan dan membunuh orang-orang yang terbaik di antara kalian. Maka tolonglah kami dengan harta kalian untuk memeranginya. Siapa tahu kita bisa menuntut balas.”
Mereka memenuhi himbauan ini, hingga terkumpul seribu onta dan seribu lima ratus dinar. Tentang hal ini Allah menurunkan ayat,

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan.” (Al-Anfah 36)

Mereka membukakan pintu dukungan bagi siapa pun yang hendak ikut andil untuk memerangi orang-orang Muslim, entah dia berasal dari Habasyah, Kinanah, atau pun Tihamah. Untuk keperluan ini mereka menggunakan segala cara untuk membangkitkan semangat manusia. Bahkan Shafwan bin Umayyah membujuk Abu Amah, seorang penyair yang tertawan di Perang Badr, namun kemudian dibebaskan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tanpa tebusan apa pun, dengan syarat dia tidak boleh memerangi beliau lagi dalam bentuk apa pun. Abu Shafwan membunjuknya agar menggugah semangat berbagai kabilah untuk memerangi kaum Muslimin. Dia berjanji, jika Abu Azzah kembali dari perang dalam keadaan selamat, maka dia akan memberinya harta yang melimpah. Jika tidak, maka anak-anaknya akan mendapatkan perlindungan.

Maka Abu Azzah bangkit membangkitkan semangat berbagai kabilah dengan syair-syaimya. Mereka juga menggunakan penyair lain antuk tugas ini, yaitu Musafi’ bin Abdi Manaf Al-hunahi.
Abu Sufyan adalah orang paling bersemangat melakukan persiapan menghadapi orang-orang Muslim, setelah dia kembali dari Perang Sawiq dengan tangan hampa, dan bahkan dia kehilangan harta yang cukup banyak saat itu.

Bara semakin menyala setelah yang terakhir kali orang-orang Quraisy kehilangan barang daganganya di tangan satuan pasukan Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah, dan bahkan mengancam ekonomi mereka. Kesedihan dan kegalauan yang bertumpuk-aunpuk ini semakin mendorong mereka untuk cepat-cepat mengadakan persiapan perang melawam orang-orang Muslim.

2. Kebangkitan Kembali Pasukan Quraisy

Setelah genap setahun, persiapan mereka benar-benar sudah matang. Tidak kurang dari tiga ribu prajurit Quraisy sudah berhimpun bersama sekutu-sekutu mereka dan kabilah-kabilah kecil. Para pemimpin Quraisy berpikir untuk membawa serta para wanita. Karena hal ini dianggap bisa mengangkat semangat mereka. Adapun jumlah wanita yang diikut sertakan ada lima belas orang.
Hewan pengangkut dalam pasukan Makkah ini ada tiga ribu onta. Penunggang kudanya ada dua ratus, yang disebar di sepanjang jalan yang dilaluinya, dan mengenakan baju besi ada tujuh ratus orang.

Komandan pasukan yang tertinggi dipegang Abu Sufyan bin Harb, komandan pasukan penunggang kuda dipimpin Khalid bin Al-Walid, dibantu Ikrimah bin Abu Jahl. Adapun bendera perang disertakan kepada Bani Abdi dDar.

3. Pasukan Makkah Mulai Bergerak

Setelah persiapan dirasa cukup, pasukan Makkah mulai bergerak menuju Madinah. Hati mereka bergolak karena dendam kesumat dan kebencian yang ditahan-tahan sekian lama, siap diledakkan dalam peperangan yang dahyat.

4. Mata-mata Nabi Menguasai Gerak-gerik Musuh

Al-Abbas bin Abdul Muththalib yang masih menetap di Makkah terus memata-matai setiap tindakan Quraisy dan persiapan militer mereka. Setelah pasukan berangkat, maka Al-Abbas mengirim kabar surat kilat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, berupa kabar secara rinci tentang pasukan Quraisy. Secepat kilat utusan Al-Abbas pergi menyampaikan surat, menempuh perjalanan antara Makkah dan Madinah hanya jangka waktu tiga hari. Dia menyertakan surat itu tatkala beliau sedang berada di masjid Quba’.
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menyuruh Ubay bin Ka’b untuk membacakan surat tersebut dan memerintahkan untuk merahasiakannya. Seketika itu pula beliau pergi ke Madinah, lalu merembugkan permasalahannya dengan para pemuka Muhajirin dan Anshar.

5. Persiapan Orang-orang Muslim untuk Menghadapi Segala Kemungkinan

Madinah dalam keadaan siaga satu. Tak seorang pun lepas dari senjatanya. Sekalipun sedang shalat mereka tetap dalam keadaan siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal teljadi.
Ada sekumpulan Anshar, seperti Sa’d bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair dan Sa’d bin Ubadah yang senantiasa menjaga Rasulullah. Mereka selalu berada di dekat pintu rumah beliau.
Setiap pintu gerbang Madinah pasti ada sekumpulan penjaga, karena dikuwatirkan musuh menyerang secara tiba-tiba. Ada pula sekumpulan orang orang Muslim yang bertugas memata-matai setiap gerakan musuh. Mereka berputar-putar di setiap jalur yang bisa saja dilalui orang-orang musyrik untuk menyerang orang-orang Muslim.

6. Pasukan Makkah Tiba di Sekitar Madinah

Pasukan Makkah meneruskan perjalanan, mengambil jalur utama ke arah barat menuju Madinah. Setiba di Abwa’ , Hindun bin Uthbah, istri Abu Suban mengusulkan untuk menggali kuburan ibunda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun para komandan pasukan Quraisy menolak usulan ini. Kali ini mereka bersikap sangat hati-hati terhadap akibat yang harus dihadapi jika mereka berbuat seperti itu.

Maka pasukan melanjutkan perjalanan hingga mendekati Madinah. Mereka melewati Wadi Al-Aqiq, lalu membelok ke arah kanan hingga tiba di dekat bukit Uhud, di suatu tempat disebut Ainain, di sebelah utara Madinah. Pasukan Quraisy mengambil tempat di sana pada hari Jum’at tanggal 6 Syawwal 3 H.

7. Majelis Permusyawaratan untuk Menetapkan Strategi Defensif

Kabar tentang pasukan Makkah terus-menerus disampaikan mata-mata, termasuk kabar terakhir tentang tempat yang diambil pasukan Makkah. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sedang menggelar Majlis Permusyawaratan Militer, untuk menampang berbagai pendapat dan menetapkan sikap. Dalam kesempatan itu beliau juga menceritakan mimpi yang dialaminya. Beliau bersabda, “Demi Allah, aku telah bermimpi bagus. Dalam mimpi itu kulihat beberapa ekor lembu yang disembelih, kulihat di mata pedangku ada rompal dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kokoh.”

Beberapa ekor sapi itu dita’wili dengan beberapa orang para sahabat yang terbunuh, mata pedang beliau yang rompal dita’wili dengan anggota keluarga beliau yang tertimpa musibah dan baju besi dita’wili dengan Madinah.

Dengan mimpinya itu beliau mengusulkan kepada para sahabat agar tidak perlu keluar dari Madinah, cukup bertahan di Madinah. Jika orang-orang musyrik ingin tetap bertahan di luar Madinah tanpa mau melakukan serangan, biarlah mereka berbuat begitu dan keadaan ini dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Jika mereka masuk ke Madinah, maka orang-orang Muslim akan menyerbu mereka dari mulut-mulut gang dan para wanita melancarkan serangan dari atap-atap rumah. Inilah pendapat yang disampaikan. Abdullah bin Ubay sangat menyetujui pendapat ini, yang saat itu dia juga ikut hadir dalam Majlis Permusyawaratan sebagai wakil dari pemuka Khazraj. Dia menyetujui pendapat ini bukan karena faktor strategi perang, tetapi agar memungkinkan baginya untuk menjauhi peperangan tanpa mencolok mata dan dia bisa menyelinap tanpa diketahui seorang pun. Namun Allah berkeinginan melecehkan dirinya dan rekan-rekannya di hadapan orang-orang Muslim untuk pertama kalinya, dan menyingkap tabir yang di belakangnya ada kekufuran dan kemunafikan.

Sehingga dalam kondisi yang sangat rawan itu orang-orang Muslim bisa mengetahui ular-ular berbisa yang menyelinap di balik kesamar-samaran.
Sekumpulan para sahabat yang tidak ikut serta dalam Perang Badr sebelumnya, mengusulkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar keluar dari Madinah. Bahkan mereka sangat ngotot dengan usulannya ini, sehingga ada di antara mereka yang berkata, “Wahai Rasulullah, sejak dulu kami sudah mengharapkan hari seperti ini dan kami selalu berdoa kepada Allah. Dia sudah menuntun kami dan tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah untuk menghadapi musuh-musuh kita, agar mereka tidak menganggap kita takut kepada mereka.”

Di antara tokoh kelompok yang sangat berantusias ini adalah Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang pada Perang Badr dia hanya menggantungkan pedangnya. Dia berkata kepada beliau, “Demi yang menurunkan Al-Kitab kepada engkau, aku tidak akan memberi makanan sehingga membabat mereka dengan pedangku di luar Madinah.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabaikan pendapat beliau sendiri karena mengikuti pendapat mayoritas. Maka ditetapkan untuk keluar dari Madinah dan bertempur di kancah terbuka.

Pembagian Pasukan Menjadi Beberapa Kelompok dan Keberangkatan ke Medan Perang
Nabi mendirikan shalat Jum’at dengan orang-orang Muslim, menyampaikan nasihat dan perintah kepada mereka dengan penuh semangat, mengabarkan bahwa kemenangan pasti di tangan selagi mereka sabar, serta memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi musuh. Apa yang disampailtan beliau ini disambut gembira oleh semua orang.
Orang-orang sudah menunggu-nunggu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang belum keluar dari rumah. Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair berkata kepada mereka, “Rupanya kalian telah memaksa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Maka masalah ini diserahkan kepada keputusan belian. Setelah beliau keluar nunah, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bukan maksud kami untuk menentang engkau. Berbuatlah menunurut kehendak engkau. Jika memang engkau lebih suka kita menetap di Madinah, maka lakukanlah!”
Beliau menjawab, “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi apabilah sudah mengenakan baju besinya, untuk meletakkannya kembali, hingga Allah membuat keputusan antara dirinya dan musuhnya.”

8. Beliau membagi pasukannya menjadi tiga kelompok keberangkatan medan perang

1. Kelompok Muhajirin, yang benderanya diserahkan kepada Mush’ab bin Umair Al-Abdari.
2 Kelompok Aus, yang benderanya diserahkan kepada Usaid bin Hudhair.
3. Kelompok Khazraj, yang benderanya diserahkan kepada Al-Hubab bin Al-Mundzir Al-Jamuh.

Pasukan ini terdiri dari seribu prajurit, seratus prajurit mengenakan baju besi dan lima puluh orang penunggang kuda. Ada yang berpendapat, kali ini tak seorang pun yang menunggang kuda. Madinah diserahkan kepada Ibnu Ummi Maktum, terutama untuk mengimani shalat bersama orang-orang yang masih berada di Madinah. Namun kemudian dia juga diperbolehkan untuk ikut serta. Pasukan bergerak ke arah utara. Sa’d bin Mu’adz dan Sa’d bin Ubadah berjalan di hadapan Rasulullah sambil mengenakan baju.

Setelah melewati Tsaniyyatul Wada’, di kejauhan terlihat ada satu satuan kelompok lengkap dengan persenjataannya. Ketika ditanyakan dari kelompok manakah mereka itu? Dikabarkan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi yang menjadi sekutu Khazraj. Mereka ingin ikut serta dalam peperangan melawan orang-orang musyrik. Beliau bertanya, “Apakah mereka sudah masuk Islam?” Setelah diketahui temyata mereka belum masuk Islam, maka beliau menolak untuk meminta bantuan kepada orang-orang kafir untuk memerangi orang-orang musyrik.

9. Inspeksi Pasukan

Setibanya di suatu tempat yang disebut Asy-Syaikhani, beliau menginspeksi pasukan dan menolak keikut sertaan prajurit yang usianya terlalu muda dan dianggap belum mampu terjun ke kancah perang. Anak-anak yang ditolak ini adalah Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab, Usamah bin Zaid, Usaid bin Zhuhair, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Argam, Amr bin Hazm,Abu Sa’idAl-Khudri, dan Sa’d bin Habbah. Di antara mereka ini pula nama Al-Barra’ bin Azib. Tetapi Al-Bukhhari menyebutkan bahwa Al-Barra’ mati syahid dalam Perang Uhud ini.

Sedangkan Rafi’ bin Khadij dan Samurah bin Jundab diperbolehkan bergabung sekalipun usia mereka masih terlalu muda. Rafi’ bin Khadij diperbolehkan karena dia diketahui mahir melepaskan anak panah. Setelah tahu Rafi’ diperbolehkan, maka Samurah protes, dengan berkata, “Aku lebih kuat dari Rafi’, karena aku pernah mengalahkannya.” Tatkala hal ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau memerintahkan agar keduanya bertanding di hadapan beliau, dan temyata Samurah dapat mengalahkan Rafi’. Maka dia pun diperbolehkan untuk bergabung.”

Karena sudah petang, beliau berhenti di tempat itu, lalu shalat Magrib, kemudian Isya’ bersama seluruh pasukan, dan diputuskan antuk tetap berada di sana. Beliau memilih lima puluh orang untuk berjaga-jaga dan berkeliling di sekitar pasukan. Beliau menunjuk Dzakwan bin Abd Qais sebagai penjaga beliau secara khusus.

10. Abdullah bin Ubay dan Rekan-rekannya Membelot

Sesaat sebelum fajar menyingsing, selagi shalat subuh hampir dilaksanakan, sementara musuh sudah dapat dilihat dan musuh pun dapat melihat mereka, tiba-tiba Abdullah bin Ubay membelot. Tidak kurang dari seper tiga anggota pasukan yang menarik diri. Mereka berkata, ” Kita tidak tahu atas dasar apa kita memerangi diri kita sendiri?”
Abdullah bin Ubay beralasan, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengabaikan pendapatnya yang lebih suka mendengarkan pendapat orang lain. Tidak dapat diragukan, sebab pembelotan ini bukan seperti diungkapkan tokoh orang-orang munafik ini, karena beliau mengabaikan pendapatnya. Kalau tidak, buat apa dia ikut ke tempat itu? Kalau pun itu sebabnya, tentu dia akan menolak sejak akan berangkat. Tujuannya yang pokok adalah ingin menimbulkan keguncangan dan keresahan di tengah pasukan Muslimin, setelah mendengar dan melihat pasukan musuh, sehingga banyak orang yang mundur dari pasukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sisanya yang masih bergabung bersama beliau menjadi jatuh mentalnya, sementara keberanian musuh semakin meningkat dan semangatnya semakin membara karena melihat kenyataan ini. Cara ini bisa mempercepat kehancuran Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat. Setelah itu kejayaan dan kepemimpinan di Madinah bisa berada di tangan orang munafik ini.

Hampir saja Abdullah bin Ubay berhasil mewujudkan rencananya. Dua golongan yang bergabung dalam pasukan Muslimin, Bani Haritsh dari Aus dan Bani Salimah dari Khamaj hampir saja kehilangan semangat. Tetapi Allah cepat menguasai dua golongan ini, sehingga mereka menjadi tegar kembali. Padahal sebelum itu dua golongan ini sudah kehilangan semmgat dan hampir saja mengundurkan diri. Allah berfirman tentang dua golongan ini,

“Ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal.” (Ali-Imran:122)

Saat itu Abdullah bin Haram, anak Jabir bin Abdullah, berusaha mengingatkan orang-orang munafik itu, apa yang seharusnya mereka kerjakan dalam situasi yang kritis seperti ini. Dia terus membuntuti mereka, mendoakan keburukan bagi mereka dan meminta agar mereka kembali ke medan perang. Dia berkata, “Marilah berperang di jalan Allah atau tak ada salahnya kalian bertahan saja.
Mereka menjawab, “Andaikan kami tahu kalian hendak berperang, tentu kami tidak akan pulang.
Akhimya Abdullah bin Haram kembali ke medan perang sambil berkata, “Semoga Allah menjauhkan kalian wahai musuh-musuh Allah. Sehingga Allah membuat Nabi-Nya tidak membutulikan kehadiran diri kalian.”

Tentang orang-orang munafik ini Allah berfirman,

“Dan, supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan, ‘Marilah berperang dijalan Allah atau pertahankanlah (diri kalian). Mereka berkata, ‘Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kalian. ‘Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada terkandung dalam hattnya. Dan, Allah lebih mengetahut apa yang mereka sembunyikan.” (Ali-Imran: 167)

11. Sisa Pasukan Islam Pergi ke Uhud

Setelah ada pengunduran diri dari kelompok Abdullah bin Ubay maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama sisa pasukan yang terdiri dari 700 prajurit melanjutkan perjalanan hingga mendekati musuh. Pasukan musyrikin mengambil tempat yang menghalangi pasukan Muslimin dengan bukit Uhud. Beliau bertanya, “Siapakah yang bisa menunjukan jalan yang lebih dekat tanpa harus melewati musuh?”
Abu Khaitsamah menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Lalu dia memilih jalan yang lebih pendek ke Uhud, melewati tanah dan perkebunan milik Bani Haritsah, berjalan ke arah barat meninggalkan pasukan musyrikin.

Pasukan berjalan melalui jalur ini dengan melewati kebun milik Mirba’ bin Qaizhi, seorang munafik yang buta. Tatkala dia merasa bahwa pasukan Muslimin sedang lewat, maka dia menaburkan debu ke wajah orang-orang Muslim, seraya berkata, “Aku tidak memperkenankan kamu masuk ke dalam kebunku jika memang engkau benar-benar Rasul Allah.”

Orang-orang Muslim langsung mengerubunginya, dengan maksud untuk menghabisinya. Namun beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan membunuhnya. Ini adalah orang yang buta hatinya, karena itu buta pula matanya.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meneruskan perjalanan hingga tiba di kaki bukit Uhud. Pasukan Muslimin mengambil tempat dengan posisi menghadap ke arah Madinah dengan memunggungi Uhud. Dengan posisi ini, pasukan musuh berada di tengah antara mereka dan Madinah.

12. Strategi Defensif

Di sana Rasulullah membagi tugas pasukannya dan membariskan mereka sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran. Beliau menunjuk satu detasemen yang terdiri dari para pemanah ulung. Komandan detasemen ini diserahkan kepada Abdullah bin Jubair bin An-Nu’man Al-Anshari Al-Ausi. Beliau memerintahkan agar mereka menempati posisi di atas bukit, sebelah selatan Wadi Qanat, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Jabal Rumat. Posisi tepatnya kira-kira 150 m dari posisi pasukan Muslimin.

Tujuan dari penempatan-penempatan detasemen ini tercermin dari penjelasan yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi washallam kepada para pemanah. Beliau bersabda kepada pemimpin mereka, “Lindungilah kami dengan anak panah, agar musuh tidak menyerang kami dari arah belakang. Tetaplah di tempatmu, entah kita di atas angin atau pan terdesak, agar kita tidak diserang dari arahmu.

Beliau juga bersabda kepada para pemanah itu, “Lindungilah punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian tak perlu membantu kami. Jika kalian melihat kami telah mengumpulkan harta rampasan, maka janganlah kalian turun bergabang bersama.

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, beliau bersabda, “Jika kalian melihat kami disambar burung sekalipun, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu, kecuali ada utusan yang datang kepada kalian. Jika kalian melihat kami dapat mengalahkan mereka, maka janganlah kalian meninggalkan tempat, hingga ada utusan yang datang kepada kalian.”
Dengan ditempatkannya detasemen di atas bukit dengan disertai perintah perintah militer yang keras, maka beliau sudah bisa menyumbat satu celah yang memungkinkan bagi kavaleri Quraisy untuk menyusup ke barisan orang-orang Muslim dari arah belakang dan mengacaukannya.
Pasukan Muslimin di sayap kanan dikomandani Al-Mundzir bin Amr, di sayap kiri dikomandani Az-Zubair bin Al-Awwam, dan masih didukung oleh satuan pasukan yang dikomandani Al-Micidad bin Al-Aswad. Az-Zubair bertugas menghadang laju kavaleri (pasukan penunggang kuda) Quraisy yang dipimpin Khalid bin Al-Walid (yang saat itu masih kafir). Di barisan terdepan ada sejumlah orang yang pemberani, tokoh-tokoh yang dikenal gagah perkasa dan hebat sepak terjangnya, yang kemampuannya bisa disamakan dengan beribu-ribu orang.

Pengaturan ini menampakan strategi yang sangat bijaksana dan sekaligus amat detil, yang menggambarkan kecerdikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang komandan perang. Tidak ada seorang komandan perang pun yang memiliki kecerdikan dalam menetapkan strategi yang sangat jitu ini, seperti apa pun keandalannya. Beliau memilih tempat yang sangat strategis, padahal kedatangan beliau di sana didahului pasukan musuh. Panggung dan sayap kanan pasukan terlindungi oleh satu-satunya tebing yang adadi situ. Beliau memilihkan tempat yang relatif lebih tinggi dari pasukannya. Jika terdesak, anggota pasukannya tidak mudah menyerah lalu melarikan diri, justru membuka peluang bagi musuh untuk menghabisi dan menawan mereka. Jika mereka terus bertahan, musuh justru terus mendesak maju. Sementara musuh tidak mempunyai pilihan lain untuk menyerang mereka dari sisi lain. Sebaliknya, jika kemenangan berpihak kepada pasukan Muslimin, maka musuh tidak dapat menghindar dari kejaran mereka. Di samping semua itu, beliau telah menunjuk beberapa orang di front terdepan, yang terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa dan pemberani.
Begitulah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatur pasukanya pada hari Sabtu pagi tanggal 7 Syawwal 3 H.

13. Rasulullah Meniupkan Ruh Patriotisme kepada Prajurit Muslimin

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang semua pasukan untuk melancarkan serangan kecuali atas perintah beliau. Dalam peperangan ini beliau mengenakan dua lapis baju besi. Beliau menganjurkan untuk berperang, meningkatkan kesabaran dan keteguhan selama peperangan, meniupkan keberanian dan patriotisme di tengah sahabat. Sambil menghunus pedang yang tajam beliau berseru, “Siapakah yang ingin mengambil pedang ini menurut haknya?”

Ada beberapa orang yang maju ke hadapan beliau, siap untuk mengambilnya, di antaranya Ali bin Abu Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam, Umar bin Al-Khaththab. Namun pedang itu belun juga diserahkan kepada seorang pun, hingga Abu Dujanah Simak bin Kharasyah maju ke depan sambil bertanya, “Apa haknya wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah engkau membabatkan pedang ini ke wajah wajah musuh hingga bengkok.”
“Aku akan mengambilnya menurut haknya wahai Rasulullah,” jawab Abu Dujanah. Lalu beliau memberikan pedang itu kepadanya.

Abu Dujanah adalah seorang laki laki pemberani tanpa menutup-nutupi dirinya di muka umum dalam kancah peperangan, sehingga terkesan sombong. Dia mempunyai sorban wama merah. Jika sorban itu sudah dikenakan, maka semua orang tahu bahwa dia akan berperang hingga mati. Setelah mengambil pedang dari beliau, maka dia mengikatkan sorban merahnya di kepala, lalu dia berjalan mengambil tempat di antara dua pasukan. Saat itu Rasulullah shallallahu alaihi washallam bersabda, “Sungguh itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah kecuali seperti di tempat ini.”

14. Pengaturan Pasukan Makkah

Orang-orang musyrik mengatur pasukannya hanya berdasarkan aturan barisan-barisan. Komandan pasukan tertinggi ada di tangan Abu Sufyan bin Harb yang mengambil posisi di tengah-tengah pasukan. Kavaleri Quraisy di sayap lainnya dipimpin Ikrimah bin Abu Jahl. Sedangkan pejalan kakinya dipimpin Shafwan bin Umayyah, para pemanah dipimpin Abdullah bin Rabi’ah.

Bendera perang diserahkah kepada beberapa orang dari Bani Abdid-Dar. Ini memang merupakan kedudukan mereka semenjak Bani Abdi Manaf membagi bagi beberapa kedudukan di Makkah, yang diwarisi dari Qushay bin Kilab, seperti yang sudah kita bahas di bagian awal buku ini. Jadi tak seorang pun boleh menentangnya, karena terikat oleh tradisi yang sudah berlaku. Hanya saja komandan pasukan tertinggi,Abu Sufyan banyak bercerita kepada mereka tentang apa yang menimpa pasukan Quraisy pada saat Perang Badr, yaitu saat pembawa bendera mereka,An-Nadhr bin Al-Harits tertawan. Dia berkata kepada mereka, “Wahai BaniAbdid-Dar, kalian telah dipercaya membawa bendera kami saat Perang Badr, dan akhirnya kita mengalami sial seperti yang sudah kalian ketahui. Sesunggulnwa pasukan itu diukur dari benderanya. Jika bendera itu musnah, maka musnalah mereka. Jadi lebih baik kalian melindungi bendera kita ataukah lebih baik kalian melepaskan urusan kita dengan Muhammad, dan cukuplah kami sebagai wakil kalian.”

Abu Sufyan berhasil dengan pancingannya. Mereka sangat marah mendengar ucapan Abu Sufyan ini, meradang di hadapannya dan bersumpah kepadanya dengan berkata, “Kami menyerahkan bendera kami kepadamu? Besok engkau akan tahu apa yang akan kami perbuat saat pertempuran.” Mereka pun langsung melompat ke kancah tatkala pertempuran sudah dimulai.

15. Trik Pihak Quraisy

Sebehun pecah peperangan, pihak Quraisy berusaha menciptakan perpecahan di dalam barisan pasukan Muslimin. Abu Sufyan mengirim surat yang ditujukan kepada orang-orang Anshar, yang isinya: “Biarkanlah urusan kami dengan anak paman kami, dan setelah itu kami akan pulang tanpa mengusik kalian, karena tidak ada gunanya kami memerangi kalian.

Tetapi apalah artinya usaha ini di hadapan iman yang tidak akan goyah layaknya gunung. Orang-orang Anshar membalas surat Abu Sufyan itu dengan balasan yang pedas, yang membuat merah telinga saat mendenganya.

Detik-detik pertempuran semakin dekat. Dua belah pihak sudah saling merangsek maju. Orang-orang Quraisy berusaha lagi untuk tujuan yang sama. Ada seorang pesuruh pengkianat yang biasa dipanggil Abu Amir, seorang laki laki fasik, yang nama aslinya adalah Abd Amr bin Shaifi. Dia juga biasa disebut si Rahib. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya si Fasik. Dahulu dia tennasuk pemuka Aus semasa Jahiliyah. Tatkala Islam muncul di Madinah, dia terang terangan memusuhi beliau. Dia pindah dari Madinah dan bergabung dengan pihak Quraisy, membujuk dan menganjurkan agar mereka memerangi beliau.

Dia menyatakan kepada mereka, bahwa jika kaumnya melihat kehadirannya, tentu mereka akan patuh kepadanya dan berpihak kepadanya. Dialah yang pertama kali muncul di hadapan orang-orang Muslim bersama beberapa orang dan dua hamba sahaya milik penduduk Makkah. Dia berseru memperkenalkan diri, “Wahai orang-orang Aus, aku adalah Abu Amir.” Orang-orang Aus menjawab, “Allah tidak akan memberikan kesenangan kepadamu wahai si Fasik.”

“Rupanya ada yang tidak beres dengan kaumku sepeninggal.ku,” katanya Setelah peperangan meletus, dia memerangi mereka dengan ganas dan melemparkan bebatuan.
Begitulah trik orang-orang Quraisy yang gagal total untuk memecah belah barisan orang-orang Muslim. Sebenarnya tindakan mereka ini menunjukkan ketakutan dan kegamangan yang menguasai hati mereka menghadapi orang-orang Muslim, sekalipun jumlah mereka lebih banyak dan memiliki perlengkapan yang lebih memadai.

16. Wanita-wanita Quraisy Bangkit Membakar Semangat

Ada beberapa wanita Quraisy yang ikut bergabung dalam pasukan perang kali ini, dipimpin Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan. Mereka tak henti-hentinya berkeliling di antara barisan, menabuh rebana, membangkitkan semangat, mengobarkan tekad berperang dan menggerakkan perasaan untuk bertempur dan maju ke depan. Terkadang mereka berseru kepada orang-orang yang membawa bendera.

Hayo Badi Abdid-Dar
hayo pelindung barisan belakang
tebaskan segala senjata yang tajam.”

Terkadang mereka memompa semangat kaumnya untuk terus berperang dengan berseru.

“Jika kalian maju kan kami peluk
kami hamparkan kasur yang empuk
atau jika kalian mundur kami kan berpisah
perpisahan tanpa cinta kasih.”

17. Awal Meletusnya Bara Peperangan

Dua pihak saling mendekat dan merangsek ke depan. Tahapan-tahapan perang sudah dimulai. Yang pertama kali menyulut bara pertempuran adalah pembawa bendera dari kalangan musyrikin, yaitu Thalhah bin Abu Thalhah Al Abdari. Dia a.dalah penunggang kuda Quraisy yang paling pemberani. Orang orang Muslim menyebutnya Kabsyul Katibah. Dia keluar sambil menunggang onta, mengajak untuk adu tanding. Tak seorang pan yang segera menyambut tantangannya untuk adu tanding karena keberaniannya itu. Akhimya Az-Zubair maju menghampirinya. Dia maju tidak dengan cara pelan-pelan, tetapi langsung melompat layaknya seekor singa. Sehingga sebelum sempat Thalhah turun dari punggung ontanya, Az-Zubair sudah menusukkan pedangnya hingga Thalhah terjerembab ke tanah, mati.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyaksikan adu tanding yang sangat mencengangkan ini. Maka seketika beliau bertakbir yang kemudian diikuti semua orang Muslim. Beliau memuji Az-Zubair dan bersabda sesuai dengan kapasitas dirinya, “Sesunggulnwa setiap Nabi itu mempunyai pengikut setia. Adapun pengikut setiaku adalah Az-Zubair.”

18. Pertempuran di Sekitar Bendera

Setelah itu pertempuran pun meletus dan semakin mengganas di antara kedua belah pihak. Semua sudut menjadi kancah pertempuran yang hebat Pertempuran yang paling berat ada di sekitar bendera orang-orang musyrik. Secara bergantian orang-orang Bani Abdid-Dar bertugas membawa bendera perang setelah pemimpin mereka, Thalhah bin Abu Thalltah terbunuh di tangan Az-Zubair. Bendera itu kini dibawa saudaranya Abu Syaibah Utsman bin Abu Thalhah. Dia maju untuk berperang sambil berkata, “Ada kewajiban di tangan pembawa bendera, untuk menjadikan pohon menjulang ke atas ataukan tumbang di atas tanah.”
Setelah maju ke depan dia langsung disongsong Hamzah bin Abdul Muththtalib yang menyabetnya dengan sekali tebasan di bagian pundak hingga tangannya putus. Bahkan sabetan pedang Hamzah itu melesat ke bawah hingga ke pusar dan mengeluarkan jantungnya. Setelah itu bendera pasukan Quraisy diambil alih oleh Abu Sa’d bin Abu Thalhah. Namun Sa’d bin Abi Waqqash memanah Abu Sa’d tepat mengenai tenggorokannya, membuat lidahnya terjulur keluar dan tak seberapa lama kemudian dia tersungkur ke tanah, mati. Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa dia dibunuh Ali bin Abu Thalib. Pada saat Abu Sa’d keluar dari kancah peperangan untuk buang air besar. Ali bin Abu Thalib memergokinya dan menyabetkan pedang ke arahnya. Dua kali luput, lalu disusul dengan sabetan yang ketiga kali hingga dapat membunuhnya. Kemudian bendera diambil oleh Musafi’ bin Thalhah bin Abu Thalhah.

Namun dia dapat dipanah oleh Ashim bin Tsabit bin Abu Al-Aglah hingga mati. Kemudian bendera beralih ke tangan saudamya Al-Julas bin Thalhah bin Abu Thalhah, namun dia dapat dibunuh Ali bin Abu Thalib. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dia dibunuh Hamzah bin Abdul Muththalib. Kemudian bendera beralih ke tangan Syuraih bin Qarizh, dan akhirnya dia dapat dibunuh Quzman, seorang munafik yang ikut bergabung dalam pasukan Muslimin, bukan karena hendak membela Islam, tetapi karena sifat kejantanannya. Kemudian bendera beralih ke tangan Abu Zaid Amr bin Abdi Manaf Al-Abdari, yang akhirnya dia dapat dibunuh Quzman pula. Kemudian bendera beralih ke tangan seorang anak Syurahbil bin Hasyim Al-Abdari, yang akhimya dia dapat dibunuh Quzman pula.

Jadi sudah ada sepuluh orang dari Bani Abdid-Dar yang bergantian membawa bendera, yang semuanya mati terbunuh. Setelah itu tak ada lagi yang mau membawa bendera. Tiba-tiba muncul seorang pembantu milik mereka yang berasal dari Habasyah yang maju antuk membawa bendera, namanya Shu’ab. Dia maju untuk membawa bendera sambil menunjukkan keberanian dan kehebatannya, lebih hebat dari sekedar gambaran seorang pembantu, dan bahkan lebih hebat dari para pembawa bendera sebelumnya. Dia terus berperang hingga tangannya tertebas dan putus. Dengan terbunuhnya Shu’ab ini, maka bendera pasukan Quraisy jatuh ke tanah dan tak seorang pun yang mau mengambilnya, sehingga bendera itu dibiarkan berserak di tanah.

19. Pertempuran di Beberapa Titik

Pertempuran semakin lama semakin panas dan yang paling berat berkisar di sekitar orang-orang musyrik. Pertempuran berkecamuk di setiap kancah peperangan. Sementara iman menguasai barisan orang-orang Muslim. Mereka menyerbu ke tengah pasukan musyrik layaknya air bah yang menjebol tembok bendungan, sambil berkata, “Matilah, matilah!” Begitu seruan mereka pada waktu Perang Uhud.

Abu Dujanah datang menyeruak sambil mengikatkan sorban berwarna merah di kepalanya, membawa pedang Rasulullah shallallahu alaihi washallam dengan satu tekad untuk memenuhi hak pedang itu. Maka dia pun bertempur menyelusup kesana kemari di tengah manusia. Siapa pun orang musyrik yang berpapasan dengannya pasti dibabatnya hingga meninggal. Dia benar-benar telah mengacak-ngacak barisan orang-orang musyrik.

Az-Zubair bin Al-Awwam berkata, “Ada yang terasa mengganjal di dalam sanu bari tatkala aku meminta pedang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, namun beliau menolak pennintaanku dan memberikanya kepada Abu Dujanah. Aku bertanya tanya kepada diri sendiri, ‘Toh aku adalah anak Shafiyah, bibi beliau, juga berasal dari Quraisy. Aku sudah berusaha menemui beliau dan meminta pedang itu sebelum Abu Dujanah. Namun justru beliau memberikannya kepada Abu Dujanah dan meninggalkan aku. Demi Allah aku benar-benar ingin melihat apa yang bisa dilakukan Abu Dujanah’. Maka aku menguntitnya. Dia mengeluarkan sorban merahnya lalu mengikatnya di kepala. Orang-orang Anshar berkata, “Abu Dujanah telah mengeluarkan sorban kematian”. Maka dia pan beranjak sambil berkata,

“Aku yang berjanji kepada kekasih tercinta
di bawah kaki bukit dekat pohon korma
aku tidak boleh berdiri di barisan belakang
memukul dengan pedang Allah dan Rasul-Nya.”

Dia tidak berpapasan dengan seorang pun melainkan dia pasti membunuhnya. Sementara di antara orang-orang musyrik ada seseorang yang tidak membiarkan orang kami yang terluka melainkan dia pasti membunuhnya. Jarak Ibnu Dujanah dengan orang musyrik itu semakin dekat. Aku berdoa kepada Allah agar mereka dipertemukan. Benar saja. Dua kali sabetan tidak mengena. Pada sabetan berikutnya orang musyrik itu bisa menyabet Abu Dujanah, yang ditangkis dengan perisai kulit. Setelah itu Abu Dujanah ganti menyabetnya hingga dapat membunuhnya.

Abu Dujanah telah menyusup ke tengah barisan, sehingga dia dapat lolos ke titik yang ditempati komandan para wanita Quraisy, sementara Abu Dujanah tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita. Abu Dujanah menuturkan, “Kulihat seseorang yang sedang mencakar-cakar sedemikian rupa. Maka kuhampiri orang itu. Ketika pedangku siap kutebaskan kepadanya, orang itu pan berteriak keras. Ternyata dia adalah seorang wanita. Aku menganggap pedang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terlalu mulia untuk membunuh seorang wanita.”

Ternyata wanita itu adalah Hindun binti Uthbah. Az-Zubair bin Al-Awwam berkata, “Kulihat Abu Dujanah telah mengayunkan pedangnya persis di bagian tengah kepala Hindun binti Utbah. Namun kemudian dia membelokkan ke arah sabetan pedang. Aku bergumam,’Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”‘

Sedangkan Hamzah bin Abdul Muthalib bertempur bagaikan singa yang sedang mengamuk. Dia menyusup ke tengah barisan pasukan musyrikin tanpa mengenal rasa takut, tanpa ada tandingannya. Sehingga orang-orang yang gagah berani dari pihak musuh pun dibuatnya seperti daun-daun kering yang berterbangan dihembus angin. Terlebih lagi andilnya yang nyata dalam menghabisi para pembawa bendera musuh. Dia terus menerjang dan mengejar tokoh-tokoh musuh, hingga akhimya dia terbunuh di barisan paling depan, bukan terbunuh seperti dalam dua adu tanding semata, tetapi dia terbunuh layaknya orang baik-baik yang terbunuh di tengah kegelapan malam.

20. Terbunuhnya Singa Allah Hamzah bin Abdul Muththalib

Inilah penuturan yang disampaikan sendiri oleh pembunuh Hamzah, Wahsy bin Harb, “Sebelumnya aku adalah budak Jubair bin Muth’im. Paman Jubair, Thu’aimah bin Adi terbunuh pada Perang Badr. Pada saat Quraisy pergi ke Uhud, Jubair berkata kepadaku, ‘jika kamu dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad, sebagai pembalasan atas terbunuhnya pamanku, maka engkau jadi merdeka’.
Maka aku pun ikut bergabung bersama pasukan. Aku adalah seorang penduduk Habasyah. Seperti lazimnya orang-orang Habasyah, aku juga mahir dalam melontarkan tombak kecil. Jarang sekali aku meleset dari sasaran. Saat mereka bertempur, aku segera beranjak mencari-cari Hamzah. Akhirya aku dapat melihat kelebatnya di tengah manusia layaknya onta abu-abu yang lincah. Tak seorang pun mampu menghadapi terjangannya. Demi Allah, aku pun bersiap-siap menjadikan sebagai sasaran. Aku berlindung di balik batu atau pohon untuk dapat mendekatinya. Tetapi tiba-tiba Siba’ bin Abdul Uzza mencul mendahuluiku dengan mendatangi Hamzah.
“Kemarilah wahai anak wanita tukang supit!” kata Siba’ kepada Hamzah, karena memang ibunya adalah tukang supit.

Seketika Hamzah menyabetkan pedangnya, tepat mengenai kepala Siba’.
Tombak kecil sudah kuayun-ayunkan di tangan. Saat kurasa sudah memungkinkan, tombak kulontarkan tepat mengenai perutnya bagian bawah, hingga tembus ke selangkangannya. Dia berjalan ke arahku dengan badan limbung lalu terjerembab ke tanah. Aku menungguinya beberapa saat hingga dia benar-benar meninggal. Setelah itu baru ku hampiri jasadnya dan kucabut tombakku. Kemudian aku kembali lagi ke tenda dan duduk di sana. Aku tidak mempunyai kepentingan lain. Aku membunuh Hamzah dengan tujuan agar aku menjadi orang merdeka. Maka setiba di Makkah, aku pun dimerdekakan.

21. Menguasai Keadaan

Sekalipun pasukan Muslimin mengalami kerugian yang besar dengan terbunuhnya singa Allah dan singa Rasul-Nya, Hamzah bin Abdul Muththalib, mereka tetap mampu menguasai seluruh keadaan. Yang ikut bertempur pada saat itu adalah Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abu Thalib, Az Zubair bin Al-Awwam, Mush’ab bin Umair, Thalhah bin Ubaidillah, Abdullah bin Jahsy, Sa’d bin Mu’adz, Sa’d bin Ubadah, Sa’d bin Ar-Rabi’, Anas bin An Nadhr, dan masih banyak orang-orang seperti mereka yang mampu merontokan ambisi orang-orang musyrik.

22. Dari Pelukan Istri Langsung Mengambil Pedang dan Perisai

Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Ayahnya adalah seorang tabib yang disebut si Fasik, yang sudah kami singgung di atas. Hanzhalah baru saja melangsungkan pernikahan. Saat mendengar gemuruh pertempuran, yang saat itu dia masih berada di dalam pelukan istrinya, maka dia segera melepaskan pelukan istrinya dan langsung beranjak untuk berjihad. Saat sudah terjun ke kancah pertempuran berhadapan dengan pasukan musyrikin, dia menyibak barisan hingga dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan musuh, Abu Sufyan bin Harb. Sebenarnya saat itu dia sudah dapat menundukkan Abu Sufyan. Namun hal itu diketahui Shaddad bin Al-Aswad yang kemudian menikamnya hingga meninggal dunia sebagai syahid.

23. Peranan Para Pemanah Saat Pertempuran

Detasemen para pemanah yang diangkat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan ditempatkan di atas bukit mempunyai peranan yang sangat besar dalam membalik genderang perang untuk kepentingan pasuk. Muslimin. Kavaleri Quraisy yang dipimpin Khalid bin Al-Walid dan ditopang oleh Abu Amir si Fasik melancarkan serangan tiga gelombang untuk menghancurkan sayap kiri pasukan Muslimin. Sebab jika sayap ini bisa digepur, maka inti pasukan Muslimin dapat dimasuki, sehingga barisan mereka bisa dibuat kocar-kacir dan bisa dipastikan mereka akan kalah telak. Namun setiap kali ada gelombang serangan, para pemanah yang berada di atas bukit menghujani musuh dengan anak panah, hingga dapat menggagalkan tiga kali serangan musuh.

24. Pasukan Musyrikin Kalah

Begitulah roda pertempuran terus berputar dan pasukan Muslimin yang kecil justru menguasai seluruh keadaan, sehingga sempat menyurutkan ambisi para dedengkot musyrikin, dan membuat barisan mereka berlari menghindar ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Seakan-akan tiga ribu prajurit musyrikin harus berhadapan dengan tiga puluh ribu prajurit Muslim. Keberanian pasukan Muslimin terlihat jelas.

Setelah Quraisy habis-habisan menguras tenaganya untuk menghadang serbuan pasukan Muslimin, maka terlihat semangat mereka yang turun drastis. Bahkan tak seorang pan di .tara mereka yang berani mendekati bendera, setelah terbunulmya pembawa bendera mereka yang terakhir, yaitu Shu’ab. Tak seorang pun berani mengambil bendera itu agar pertempuran berlangsung seru di sekitarnya. Mereka sudah ancang-ancang untuk mundur dan melarikan diri, seakan mereka lupa apa yang pernah bergejolak di dalam hati mereka sebelum itu, yaitu dendam kesumat dan keinginan untuk mengembalikan kejayaan, kehormatan, dan wibawa.

Ibnu Ishaq berkata, “Kemudian Allah menurunkan pertolongan-Nya kepada orang-orang Muslim dan memenuhi janji-Nya, sehingga mereka bisa mencerai beraikan musuh. Hampir pasti kemenangan ada di tangan mereka.”
Abdullah bin Az-Zubair meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, “Demi Allah, sampai-sampai aku bisa melihat betis Hindun binti Utbah yang tersingkap karena harus melarikan diri bersama rekan-rekannya.”

Dalam hadits Al-Barra’ bin Artb di dalam Ash-Shahih disebutkan, “Saat kami menyerang, mereka melarikan diri, hingga dapat kulihat bagaimana para wanita Quraisy tertatih-tatih di bukit sambil menyingsingkan kebaya, hingga terlihat betis dan gelang kaki mereka.”
Orang-orang Muslim mengejar orang-orang musyrik agar mereka meletakkan senjata dan dapat merampas harta.

25. Kesalahan Fatal yang Dilakukan Para Pemanah

Pada saat pasukan Islam yang kecil tinggal meraih kemenangan sebentar lagi atas pasukan Quraisy, yang nilai kemenangannya tidak kalah sedikit dari kemenangan yang diraih di Perang Badr, terjadi kesalahan fatal yang dilakukan para pemanah, sehingga bisa membalik keadaan secara total dan akhirnya menimbulkan kerugian yang amat banyak bagi pasukan Muslimin, bahkan hampir saja menyebabkan kematian bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kejadian ini membiaskan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi ketenaran dan kehebatan mereka setelah meraih kemenangan di Badr.

Telah kami utarakan teks perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sangat keras terhadap para pemanah itu, agar mereka tetap berada di atas bukit, dalam keadaan kalah maupun menang. Sekalipun sudah ada perintah yang sangat tegas ini, tatkala pasukan pemanah melihat orang-orang Muslim sudah mengumpulkan harta rampasan dari pihak musuh, mereka pun dikuasai egoisme kecintaan terhadap duniawi. Mereka saling berkata,”Harta rampasan, harta rampasan! Rekan-rekan kalian sudah menang. Apa lagi yang kalian tunggu?”
Komandan mereka, Abdullah bin Jubair mengingatkan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka, dengan berkata, “Apakah kalian sudah lupa apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada kalian?”
Tetapi mayoritas di antara mereka tidak mempedulikan peringatan ini. Mereka berkata,”Demi Allah, kami benar-benar akan bergabung dengan mereka agar kita mendapatkan bagian dari harta rampasan itu.”

Kemudian ada empat puluh orang meninggalkan pos di atas bukit, lalu mereka bergabung dengan pasukan inti untuk mengumpulkan harta rampasan. Dengan begitu punggung pasukan Muslimin menjadi kosong, tinggal Ibnu Jubair dan sembilan rekannya. Sepuluh orang ini tetap berada di tempat semula hingga ada perintah bagi mereka.

26. Khalid bin Al-Walid Mengambil Jalan Memutar

Kesempatan emas ini dipergunakan Khalid bin Al-Walid. Dengan cepat dia mengambil jalan memutar, hingga tiba di belakang pasukan Muslimin. Tentu saja Abdullah bin Jubair dan sembilan rekannya tak mampu menghadapi kavaleri yang dikomandani Khalid bin Al-Walid. Setelah menghabisi Abdullah bin Jubair dan rekan-rekannya, Khalid bin Al-Walid menyerang pasukan Muslimin dari arah belakang dan anggotanya berteriak dengan suara nyaring, hingga orang-orang musyrik yang sudah hampir kalah bisa melihat babak baru dalam peperangan ini. Keadaan membalik. Kini mereka bisa menguasai keadaan. Salah seorang wanita di antara mereka, Amrah binti Alqamah Al ¬Haritsiyah, segera memungut bendera yang hanya tergeletak lalu mengibar¬ ngibarkannya. Orang-orang musyrik menoleh ke arahnya lalu berkumpul di sekitarnya. Mereka saling memanggil hingga cukup banyak yang berkumpul di sana. Kemudian mereka mendekati pasukan Muslimin dan mengepung dari arah depan dan belakang hingga terjepit.

27. Sikap Rasulullah yang Patriotik

Saat itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya bersama sekelompok kecil dari sahabat, sebanyak sembilan orang. Beliau shallallahu alaihi wa sallam melihat perjuangan mereka dalam menghalau orang-orang musyrik, karena kavaleri Khalid telah memporak-porandakan mereka. Kini di hadapan beliau hanya ada dua jalan, entah segera lari menyelamatkan diri bersama para sahabatnya yang hanya sembilan orang itu ke suatu tempat yang lebih aman, lalu membiarkan pasukannya yang lain terkepung entah bagaimana jadinya nanti, ataukah dia mengumpulkan kembali semua anggota pasukan nya yang cerai berai agar kembali ke tempat beliau, lalu menggunakan mereka sebagai tameng antuk menyibak pasukan musuh hingga mencapai puncak Uhud?

Di sini tampak kecerdikan Rasulullah dan keberanian beliau dalam membaca keadaan. Dengan suara nyaring beliau berseru, “Wahai hamba hamba Allah !” Beliau sadar sepenuhnya bahwa orang-orang musyrik akan mendengar ucapan beliau ini sebelum orang-orang Muslim yang cerai berai di tempat lain bisa mendengamya, sehingga mereka bisa mengetahui posisi belian. Beliau berseru seperti itu kepada mereka dengan mempertaruhkan diri dalam kondisi yang sangat kritis itu.

28. Pasukan Muslimin Centang Perenang

Saat pasukan Muslimin terjepit, banyak di antara mereka yang hilang kendalinya. Tidak ada yang dipikiran kecuali keselamatan diri sendiri. Mereka lari dan meninggalkan kancah pertempuran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di belakang mereka setelah itu. Bahkan di antara mereka ada yang kembali ke Madinah. Sebagian yang lain ada yang melarikan diri ke atas gunung dan sebagian lain ada yang berbaur dengan orang-orang musyrik. Dua pasukan saling bercampur baur dan sulit dibeda-bedakan, sehingga tak jarang orang Muslim ada yang menyerang orang Muslim lainnya.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Pada saat Perang Uhud, orang-orang musyrik sudah kalah telak. Lalu ada iblis yang berseru, ‘Hai hamba-hamba Allah, waspadailah orang-orang di belakang kalian!’ Keadaan menjadi berbalik dan mereka menjadi campur aduk. Hudzifah segera menyadari hal ini. Dia yang bersama ayahnya, Al-Yaman, berteriak-teriak, “Hai hamba-hamba Allah, dia adalah ayahku!” Dia khawatir ayahnya menjadi korban salah sasaran. Namun tak ada orang yang menghalangi mereka, tatkala mereka membunuh ayahnya. Akhinya Hudzaifah hanya bisa berkata, “Semoga Allah mengampuni kalian.”
Ini terjadi saat barisan menjadi kacau balau, centang perenang dan keadaan menjadi hingar bingar. Mereka tidak tahu harus menghadang ke mana. Selagi keadaan seperti itu, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak, “Muhammad telah terbunuh.”

Mental orang-orang Muslim seketika itu menjadi anjlok dan semangat mereka menjadi hilang, atau tepatnya semangat itu hampir tak ada yang menyisa di dalam sanubari kebanyakan orang Muslim. Pertempuran terhenti dan banyak di antara mereka yang meletakan senjata. Sebagian lain ada yang berpikir untuk berhubungan dengan Abdullah bin Ubay, pemimpin orang-orang munafik, dengan tujuan mencari perlindungan dirinya dari serangan Abu Sufyan.

Anas bin An-Nadhr melewati orang-orang Muslim yang telah meletakkan tanganya itu seraya bertanya, “Apa yang kalian tunggu?”
Mereka menjawab, ” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terbunuh.”
“Apa yang kalian perbuat dengan kehidupan sepeninggalnya? Bangkitlah dan matilah seperti matinya Rasulullah,” kata Anas. Lalu dia berkata lagi, “Ya Allah, sesangguhnya aku meminta ampunan kepada-Mu dari apa yang mereka (orang-orang Muslim) lakukan, dan aku berlindung kepada-Mu dari apa yang mereka (orang-orang musyrik) lakukan.”
Kemudian dia berpapasan dengan Sa’d bin Mu’adz, yang bertanya kepa¬danya, “Mau kemana wahai Abu Umar?”
Anas menjawab, “Di sana ada aroma surga wahai Sa’d. Aku bisa mencium baunya dari arah Uhud.” Setelah itu dia beranjak dan menyerbu, tak seorang pun mendapatkan jasadnya. Namun kemudian saudarinya bisa mengenalinya dari perawakan tubuhnya, yang ternyata di tubuhnya terdapat lebih dari delapan puluh luka, ada yang berupa sabetan pedang dan ada yang berupa hujaman anak panah dan ada yang berupa tusukan tombak.
Tsabit bin Ad-Dandah berseru kepada kaumnya, “Wahai semua orang Anshar, kalau pun Muhammad benar-benar terbunuh, toh Allah hidup tidak mati. Berperanglah atas nama agama kalian, karena Allah akan memenangkan dan menolong kalian.” Maka beberapa orang Anshar bangkit bersamanya untuk menghalangi kavaleri Khalid bin Al-Walid. Mereka terus berperang hingga Tsabit binAd-Dandah bisa dibunuh Khalid dengan tombak, dan akhirnya semua rekannya juga mati.

Ada seorang Muhajirin melewati salah seorang Anshar yang sedang berlumuran darah. Dia bertanya, “Wahai Fulan, apakah engkau merasa bahwa Muhanunad benar-benar telah terbunuh?”

Orang Anshar itu menjawab, “Jika Muhammad telah terbunuh berarti dia telah sampai ke surga. Maka berperanglah kalian atas nama agama kalian.””
Dengan keberanian, semangat dan sifat kesatria semacam ini, maka mental orang-orang Muslim kembali bangkit. Mereka segera membuang jauh-jauh pikiran untuk menyerah atau berhubungan dengan Abdullah bin Ubay. Mereka memungut senjatanya kembali dan menghadang gelombang serangan pasukan Quraisy. Mereka yang tadinya bercerai berai itu berusaha menyibak jalan agar bisa sampai ke pusat komando. Bahkan mereka sudah mendengar bahwa kabar tentang terbunuhnya Muhammad adalah bohong semata. Hal ini semakin menambah kekuatan, sehingga mereka bisa memutar jalan dan berhimpun kembali dengan pusat komando, setelah berperang habis-habisan.

Di sana ada kelompok ke tiga yang pikiran mereka hanya tertuju kepada keselamatan diri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Mereka mundur dari front terdepan untuk melindungi beliau. Mereka dipimpin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abu Thalib dan lain-lainya yang tadinya berada di baris paling depan. Mereka mundur karena merasa ada bahaya yang mengancam keselamatan diri beliau yang mulia.

29. Pertempuran Berkorbar di Sekitar Rasulullah

Setelah berjalan dengan cara memutar, ada beberapa orang Muslim yang berada di samping kiri kanan pasukan Quraisy. Setelah itu peperangan lebih banyak berkobar di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Seperti yang sudah kami paparkan di atas, bahwa tatkala orang-orang musyrik mengambil jalan memutar, beliau hanya bersama sembilan orang Muslim. Tatkala beliau berseru, “Kemarilah! Aku adalah Rasul Allah”, maka orang-orang musyrik mendengarnya dan mengetahui keberadaan beliau. Seketika itu pula mereka memusatkan serangan ke arah beliau secara gencar sebelum anggota pasukan Islam yang lain bisa mencapai tempat beliau. Maka terjadilah pertempuran yang seru antara orang orang musyrik dan sembilan orang Muslim itu. Di sinilah tampak butir-butir kecintaan, kesetiaan, patriotisme, dan keberanian.

Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memencil bersama tujuh orang Anshar dan dua Muhajirin. Saat orang-orang Quraisy melancarkan serangan secara gencar, beliau bersabda, “Siapa pun yang melindungi kami, maka dia masuk surga atau dia akan menjadi pendampingku di surga.” Maka ada seorang Anshar yang maju dan bertempur melawan sekian banyak orang-orang musyrik hingga dia terbunuh. Lalu disusul orang Anshar lainnya, sehingga mereka yang berjumlah tujuh orang terbunuh semuanya. Setelah itu beliau bersabda kepada rekannya dari Muhajirin, “Mereka tidak adil terhadap kita.”
Orang terakhir dari tujuh Anshar yang mati adalah Umarah bin Yazid bin As-Sakan. Dia terus bertempur sekalipun banyak mendapat luka, hingga akhirwa dia jatuh terjerembab tak berdaya.”‘

30. Saat yang Paling Kritis dalam Kehidupan Rasulullah

Setelah jatuhnya Umarah bin As-Saltan, beliau tinggal bersama dua orang dari Muhajirin. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Abu Utsman, dia berkata, “Pada saat peperangan itu, tidak ada yang bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam selain Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’d bin Abu Waqqash. Itu merupakan saat yang paling kritis dalam kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebaliknya merupakan kesempatan emas bagi ormg-orang musyrik. Naman ternyata kesempatan ini tidak bisa mereka pergunakan dengan baik. Padahal sejak sebelumnya serangan mereka selalu terarah kepada diri beliau dan mereka sangat berambisi untuk membunuh beliau.

Dalam kondisi yang sangat kritis itu Uthbah bin Abu Waqqash melempar beliau dengan batu hingga mengenai lambung beliau dan gigi seri beliau yang berdekatan dengan gigi taring yang kanan bagian bawah serta melukai bibir bawah beliau. Abdullah bin Syihab Az-Zuhri mendekati beliau dan memukul hingga melukai kening beliau. Datang pula seorang penanggang kuda yang beringas, yaitu Abdullah bin Qami’ah. Dia memukulkan pedang ke bahu beliau dengan pukulan yang keras, hingga bahu masih merasa kesakitan hingga lebih dari sebulan karena pukulan itu. Hanya saja pukulan itu tak sampai menembus dan merusak baju besi yang belian kenakan.

Lalu dia memukul beliau pada bagian tulang pipi sekeras pukulan yang pertama, hingga ada dua keping lingkaran rantai topi besi yang lepas dan mengenai kening beliau. Abdullah bin Qami’ah berkata, “Ambilah barang itu untukmu. Aku adalah Ibnu Qami’ah.”
Sambil mengusap darah di kening, beliau bersabda, “Aqma’akallah.”Yang artinya, semoga Allah menghinakan dirimu.'”

Di dalam Ash-Shahih disebutkan, bahwa gigi seri yang dekat dengan gigi taring beliau pecah, kepala beliau terluka. Sambil mengusap darah yang mengalir dari lukanya, beliau bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat kemenangan jika mereka melukai wajah Rasul-Nya dan memecahkan gigi serinya, padahal dia mendoakan mereka kepada Allah?”
Lalu Allah menurunkan ayat,

“Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka atau mengadzab mereka nu, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” (Ali-Imran 128)

Dalam riwayat Ath-Thabarani disebutkan, beliau bersabda saat itu, “Amat besar kemarahan Allah terhadap suatu kaum yang membuat wajah Rasul-Nya berdarah.” Setelah diam sejenak beliau bersabda lagi, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Begitu pula yang disebutkan dalam Shahih Mushm, beliau bersabda, “Ya Rabbi, ampunilah kaumku, karena sesunggulmya mereka tidak mengetahui.”
Di dalam Asy-Sinfa, karangan Al-Qadhy Iyadh, beliau bersabda, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Tidak dapat diragukan bahwa orang-orang musyrik bennaksud hendak membunuh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Hanya saja dua orang sahabat yang menyertai beliau, Sa’d bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah berjuang dengan segenap keberanian dan kepahlawanan yang jarang ditemui. Mereka berdua, sekalipun hanya berdua di sisi beliau tidak memberi kesempatan kepada orang-orang musyrik untuk mewujudkan maksudnya. Mereka berdua yang memang dikenal sebagai para pemanah ulang di Jazirah Arab, terus-menerus melepaskan anak panah, sehingga bisa menghalau orang-orang musyrik agar menjauh dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau membantu mengeluarkan anak panah dari tabungnya lalu diserahkan kepada Sa’d bin Abi Waqqash, seraya bersabda, “Panahlah terus demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu.” Hal ini menunjukkan seberapa jauh sepak terjang Sa’d, sehingga beliau tidak pernah menghimpun ayah dan ibunya sebagai tebusan selain kepada Sa’d.

Sedangkan tentang Thalhah bin Ubaidillah,An-Nasa’i telah meriwayatkan dari Jabir tentang kisah orang-orang musyrik yang mengepung Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang hanya disertai beberapa orang Aashar. Jabir menuturkan, “Lalu orang orang musyrik tahu posisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Karena itu beliau bersabda, “Bagian siapakah orang-orang itu?” “Bagianku,” jawab Thalhah.
Kemudian Jabir menuturkan sepak terjang orang-orang Anshar dan bagaimana mereka mati satu demi satu seperti yang diriwayatkan Muslim di atas. Setelah semua Anshar terbunuh, Thalhah maju dan bertempur menghadapi sebelas orang hingga jari-jari tangannya terputus. Dia berkata,”Rasakan kamu!”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyahut, “Andaikata engkau berucap,’Bismillah’, tentu para malaikat akan mengangkat dirimu dan orang-orang bisa melihatinu.” Kemudian Allah membuat orang-orang musyrik itu mundur.

Disebutkan dalam riwayat Al-Hakim, bahwa dia mendapat tiga puluh sembilan atau tiga puluh lima luka pada Perang Uhud dan jari-jari tangannya putus.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim, dia berkata, “Kulihat jari-jari tangan Thalhah terpotong, karena melindungi Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada Perang Uhud.

At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa saat itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang diri Thalhah, “Barang siapa ingin melihat orang mati syahid yang berjalan di muka bumi, maka hendaklah dia melihat Thalhah bin Ubaidillah.”
Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Jika Abu Bakar mengingat Perang Uhud, maka dia berkata, ‘Hari itu semuanya milik Thalhah’.” Dia juga berkata, “Wahai Thalhah bin Ubaidillah, sudah selayaknya jika engkau mendapat surga dan duduk di atas kristal-kristal mutiara yang indah.”

Pada saat yang kritis itu Allah menurunkan pertolongan secara gaib. Di dalam Ash-Shahihain dari Sa’d, dia berkata, “Kulihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada Perang Uhud bersama dua orang yang bertempur dengan gigih, mengenakan pakaian berwama putih. Dua orang itu tidak pernah kulihat sebelum maupun sesudah itu.” Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa dua orang itu adalah Malaikat Jibril dan Mika’il.

31. Para Sahabat Mulai Berkumpul di Sekitar Rasulullah

Semua peristiwa ini berjalan dengan cepat. Jika tidak, orang-orang Muslim pilihan yang bertempur di front terdepan saat berlangsungnya pertempuran, hampir tidak tahu-menahu perkembangan situasi demi situasi. Saat terdengar suara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mereka segera menghampiri beliau, agar tidak ada sesuatu yang tidak diinginkan menimpa beliau. Namun saat mereka tiba, beliau sudah mendapatkan luka-luka tersebut, enam orang Aashar sudah terbunuh, orang yang ketujuh sudah tak mampu berbuat apa-apa karena banyaknya luka dan Sa’d serta Thalhah bertempur mati-matian.

Setelah tiba, mereka berdiri di sekitar beliau menjadikan badan dan senjata mereka sebagai pagar. Dengan begitu mereka bisa melindungi beliau dari serbuan musuh dan bahkan bisa membalas serangan mereka. Orang yang pertama kali tiba di dekat beliau adalah rekan beliau di gua, Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari Aisyah, dia berkata, “Abu Bakar Ash-Shidddiq berkata,’Pada waktu Perang Uhud semua orang hendak menghampiri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Aku adalah orang yang pertama kali menghampiri beliau. Kulihat di hadapan beliau ada seseorang yang bertempur menjaga dan melindangi beliau. Aku berkata,’Panahlah terus wahai Thalhah, ayah dan ibuku sebagai tebusamu’. Aku tidak begitu bisa melihat sosok Abu Ubaidah, karena dia bertempur seperti seekor burung, hingga akhimya aku bisa mendekatinya. Lalu kami bersama-sama mendekati Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang temyata saat itu Thalhah sudah tersungkur di tanah di hadapan beliau. Beliau bersabda, “Biarkan saja saudaramu, toh dia sudah berada di surga.” Saat itu beliau terkena lemparan anak panah pada bagian tulang pipinya hingga melepaskan dua keping lingkaran topi besinya yang ada di bagian itu. Aku mendekati beliau untuk mencopot dua keping rantai topi besi di kepala beliau. Abu Ubaidah berkata, “Demi Allah, aku memohon kepadamu wahai Abu Bakar, biarlah kutangani sendiri.”
Abu Bakar menuturkan berikutnya, Abu Ubaidah mengigit kepingan rantai topi besi dengan giginya karena khawatir akan menyakiti Rasulullah lalu melepasnya, hingga gigi serinya Abu Ubaidah menjadi goyah. Kemudian aku hendak mencopot potongan yang satunya lagi. Namun Abu Ubaidah berkata, “Demi Allah, aku mohon kepadamu wahai Abu Bakar, biarlah kutangani sendiri!”

Maka Abu Ubaidah berbuat seperti yang pertama hingga dapat melepas potongan yang kedua, akibatnya gigi serinya yang lain ikut goyah. Lalu kami menghampiri Thalhah untuk mengurusinya. Temyata dia mendapat luka lebih dari sepuluh luka.
Tak seberapa lama setelah melewati saat-saat yang sangat kritis ini, ada beberapa sahabat yang sudah berhimpun di sekitar beliau, seperti Abu Dujanah, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abu Thalib, Sahl bin Hanif, Malik bin Sinan, ayah Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Ammarah Nasibah binfi Ka’b Al-Mainayah, Qatadah bin An-Nu’man, Umar bin Al-Khaththab, Hathib bin Abu Balta’ah, dan Abu Thalhah.

32. Orang-orang Musyrik Semakin Melipatkan Tekanan

Dalam setiap peperangan, jumlah orang-orang Quraisy pasti lebih besar sekian lipat. Maka tidak heran jika mereka juga bisa melancarkan serangan yang lebih gencar dan menekan orang-orang Muslim. Pada saat berjalan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terperosok ke dalam lubang yang sengaja dibuat Abu Amir si Fasik. Ali segera meraih tangan beliau, lalu Thalhah bin Ubaidillah merangkulnya hingga beliau bisa berdiri lagi.
Nafi’ bin Jubair berkata, “Aku mendengar ada seseormg dari Muhajirin berkata, ‘Aku ikut dalam Perang Uhud. Kulihat bagaimana anak panah melesat dari segala arah, tertuju kepada Rasulullah shallallahu alaihi washallam Namun semua anak panah itu sama sekali tidak mengenai beliau. Kulihat Abdullah bin Syihab Az-Zuhri berkata saat itu, `Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad. Aku tidak akan selamat jika dia masih selamat’. Padahal saat itu beliau ada di dekatnya, tak ada seorangpun di sisi beliau. Bahkan kemudian dia melewati beliau. Setelah itu Shafwan mengolok-oloknya. Namun dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak bisa melihatnya. Aku berani sumpah demi Allah, pasti ada yang menghalangi pandangi kami.”

33. Patriotisme yang Tak Tertandingi

Orang-orang Muslim bangkit dengan patriotisme dan pengorbanan yang jarang terjadi seperti itu dan bahkan tidak pernah ada tandingannya dalam sejarah. Abu Thalhah menjadikan dirinya sebagai pagar di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi washallam. Dia membusungkan dadanya menerima hujaman anak panah yang dilontarkan musuh karena hendak melindungi beliau.

Anas berkata, “Pada saat Perang Uhud, musuh memusatkan serangan terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sementara Abu Thalhah berada di hadapan beliau melindangi diri dengan tamengnya. Dia adalah seorang pemanah ulung yang jarang meleset bidikannya. Saat itu dia sampai mematahkan dua atau tiga busur. Ada satu orang lagi yang bersamanya sambil memegangi kantong anak panah. Dia berkata, “Sediakan anak panah yang banyak bagi Abu Thalhah!” Sementara itu, Nabi shallallahu alaihi washallam terus mengawasi dengan seksama, melihat ke arah musuh. Abu Thalhah berkata, “Demi ayah dan ibuku, engkau tidak perlu mengawasi seperti itu karena takut terkena anak panah mereka. Leherku akan melindungi leher engkau.”

Juga diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Abu Thalhah menggunakan satu tameng bersama Nabi shallallahu alaihi washallam. Abu Talhah adalah seorang pemanah ulung. Jika dia melepaskan anak panah, maka beliau terus mengawasi anak panah itu hingga mengenai sasarannya.”
Abu Dujanah berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjadikan punggungnya sebagai tameng untuk melindangi beliau. Sekalipun beberapa anak panah mengenai punggungnya, dia sama sekali tidak bergeming.

Hathib bin Abu Balta’ah mengejar Utbah bin Abi Waqqas yang telah memecahkan gigi seri beliau yang mulia. Setelah dekat dia menyabetkan pedangnya hingga bisa memenggal kepala Utbah. Kemudian dia mengambil kuda dan pedangnya. Padahal Sa’d bin Abi Waqqash yang berambisi dapat membunuh saudara kandungnya sendiri itu, Utbah bin Abi Waqqash. Tetapi tampaknya dia tidak beruntung, karena yang bisa membunuhnya adalah Hathib.
Sementara Sahl bin Hanif, salah seorang pemanah ulang, berjanji kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam siap untuk mati. Maka dia bangkit menenang barisan orang orang musyrik.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga ikut andil melepaskan anak panah sendiri. Dari Qatadah bin An-Nu’man, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melepaskan anak panah dari busurya hingga dua ujungnya patah. Lalu Qatadah bin An-Nu’man, mengambil dan menyimpanya. Pada saat itu mata Qatadah juga terkena anak panah hingga ke tulang pipinya. Lalu beliau menyembuhkan hingga kembali seperti semula dan justru lebih baik dari matanya yang sebelah.

Abdurrahman bin Auf bertempur dengan hebat hingga gigi serinya pecah dan mendapat dua puluh luka atau lebih di sekujur tubuhnya. Sebagian ada yang mengenai kakinya hingga jalannya pincang.
Malik bin Sinan, ayah Abu Sa’id Al-Khudri menghisap darah yang mengucur dari gigi seri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hingga bersih. Beliau bersabda, “Muntahkanlah!”
Namun Malik menjawab, “Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan memuntahkannya.” Kemudian dia bangkit bertempur. Lalu beliau bersabda, “Barang siapa ingin melihat salah seorang penghuni surga, maka hendaklah dia melihat orang ini.” Dia terus bertempur hingga terbunuh sebagai syahid.

Sekalipun wanita, Ummu Umarah juga ikut andil dalam pertempuran. Dia menghadang Ibnu Qami’ah di tengah kerumunan manusia, lalu memukulnya tepat mengenai bahunya dan menimbulkan luka menganga lebar. Dia menyusulinya dengan beberapa sabetan pedang lagi. Namun karena Ibnu Qami’ah mengenakan baju besi, akhirnya dia bisa menyelamatkan diri. Ummu Umarah terus bertempur hingga mendapat dua belas luka.

Mush’ab bin Umair bertempur dengan gencar, melindungi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari serbuan Ibnu Qami’ah dan rekan-rekannya. Sementara bendera perang ada di tangan kanannya. Mereka dapat menyabetkan pedang ke tangan kanannya hingga putus. Lalu dia membawa bendera itu di tangan kirinya. Dia terus bertahan menghadapi serangan orang-orang kafir hingga mereka dapat menyabet tangan kirinya hingga putus. Lalu bendera itu ditelungkupkan di dada dan lehemya hingga dia terbunuh. Yang membunuhnya adalah Ibnu Qami’ah. Karena dia mengira Mush’ab adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka dia langsung berbalik arah ke orang-orang musyrik setelah dapat membunuhnya, lalu berteriak, “Muhammad telah terbunuh.”‘.

34. Tersiarnya Kabar Kematian Rasulullah dan Pengaruhnya terhadap Peperangan

Tak seberapa lama setelah ada teriakan ini, maka seketika tersiarlah kabar kematian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di kalangan orang-orang Muslim dan musyrik. Ini merupakan faktor yang amat halus, namun mampu meluluhkan semangat para sahabat yang bertempur di sana dan posisinya jauh dari tempat beliau. Mental mereka langsung anjlok hingga barisan mereka menjadi gocang dan resah. Hanya saja teriakan itu justru menurunkan bobot serangan orang-orang musyrik, karena dengan begitu mereka mengira telah bisa mewujudkan tujuan yang paling pokok. Kebanyakan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, membayangkan sekian banyak orang-orang Muslim yang menjadi korban.

35. Rasulullah Melanjutkan Pertempuran dan Menguasai Keadaan

Setelah Mush’ab bin Umair terbunuh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyerahkan bendera ke Ali bin Abi Thalib, yang kemudian bertempur dengan hebat. Dengan heroisme dan semangat membara yang tak ada tandingannya, para sahabat yang masih ada di sana bertempur dan juga bertahan.
Pada saat itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bisa menyibak jalan dan bergabung dengan pasukannya yang sebelumnya telah mengambil jalan memutar. Beliau menghampiri mereka. Yang pertama kali melihat kehadiran beliau adalah Ka’b bin Malik. Setelah melihat kehadiran beliau, dia berteriak, “Bergembiralah wahai semua orang Muslim. Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
Beliau segera memberi isyarat kepada Ka’b agar diam, dengan tujuan agar orang-orang musyrik tidak mengetahui posisi beliau. Teriakan Ka’b tadi bisa didengar orang-orang Muslim. Maka mereka berkerumun di sekitar beliau, yang jumlahnya ada sekitar tiga puluh orang.

Setelah berkumpul, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mundur secara teratur ke jalan bukit bersama mereka dengan membuka jalan di antara orang-orang musyrik yang sedang melancarkan serangan. Bahkan serangan mereka semakin ditingkatkan untuk menghalangi pengunduran itu. Tetapi mereka gagal menghalangi karena harus berhadapan dengan kehebatan para singa Islam.

Utsman bin Abdullah bin Al-Mughirah, salah seorang penunggang kuda dari pasukan musyrikin merangsek ke hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sambil berkata, “Aku tidak selamat selagi dia masih selamat.” Lalu beliau bangkit untuk menghadapinya. Hanya saja kuda Utsman bin Abdullah terperosok ke sebuah lubang. Al-Harits bin Ash-Shimmah menghampiri Utsman dan membabat kakinya hingga terduduk. Kemudian dia meringkusnya dan melucuti senjatanya, lalu bermaksud membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Namun Abdullah bin Jabir mengejar Al-Harits dan menyabetkan pedang ke pundak Al-Harits hingga terluka. Abu Dujanah, seorang prajurit yang heroik dengan sorban merah yang diikatkan di kepala menyerang Abdullah bin Jabir dan menyabetkan pedang ke arahnya hingga kepalanya terpenggal.

Justru pada saat peperangan yang pahit itu, orang-orang Muslim dikuasai rasa kantuk sebagai suatu penentram hati yang datangnya dari Allah, seperti disebutkan di dalam Al-Qur’ an. Abu Thalhah berkata, “Aku termasuk yang tak mampu membendung rasa kantuk saat Perang Uhud, hingga pedangku jatuh dari tangan beberapa kali. Pedang itu jatuh lalu kuambil, jatuh lagi lalu kuambil lagi.”

Dengan gambaran keberanian seperti itu, beliau dan para sahabat yang bersamanya dapat mencapai jalan bukit dan memberi jalan bagi sisa-sisa pasukan yang lain untuk melewatinya hingga mencapai tempat yang aman.
Dengan begitu mereka bisa saling bertemu di bukit. Seperti apa pun kecerdikan Khalid bin Al-Walid masih kalah dengan kecerdikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

36. Terbunuhnya Ubay bin Khalaf

Ibnu Ishaq menuturkan, setelah Rasulullah bisa berlindung di jalan bukit itu, Ubay bin Khalaf memergoki beliau, seraya berkata, “Di mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih selamat.”
Orang-orang bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah seseorang di antara kita yang membuntuti di belakangnya?”
“Biarkan saja,” jawab Rasulullah.
Setelah dekat, beliau mengambil tombak pendek dari Al-Harits bin Ash-Shimmah. Setelah tombak berada di tangan, beliau mengibas-ngibaskan sehingga lalat-lalat yang hinggap di punggung onta pun beterbangan. Kemudian beliau memapasi Ubay dan melihat tulang selangkanya di balik celah antara baju besi dan topi besi. Beliau memukulkan tombak ke tulang selangka Ubay itu hingga beberapa kali dia limbung dari panggung kudanya.

Saat kembali ke Makkah, luka di tulang selangkanya menjadi bengkak, sekalipun sebenarya luka itu hanya luka kecil. Melihat luka yang semakin membengkak itu, dia berkata, “Demi Allah, Muhammad telah membunuhku,”
Orang-orang berkata kepadanya, “Demi Allah, rupanya jantungunu sudah copot. Demi Allah, engkau sudah tidak mempanyai kekuatan lagi.”
Ubay berkata, “Selagi masih di Makkah dulu dia pernah berkata kepadaku, ‘Aku akan membunuhmu’. Demi Allah, andaikan dia meludahiku, maka ludahnya itu pan sudah bisa membunuhku.”.
Akhirnya musuh Allah ini mati di Sarif, selagi orang-orang Quraisy pulang bersamanya ke Makkah.
Dalam riwayatAbul Aswad dari Urwah disebutkan bahwa Ubay melenguh seperti sapi yang sedang melenguh, seraya berkata, “Demi yang diriku ada di tangan-Nya, andaikata yang terjadi pada diriku ini adalah pada penduduk Dzil¬Majaz, tentulah mereka akan mati semua.”.

Pada saat mundur ke jalan bukit itu, mereka harus melewati gundukan pasir yang cukup tinggi. Rasulullah shallallahu alaihi washallam berusaha mendaki gundukan itu, namun tidak bisa, sebab beliau mengenakan dua lapis baju besi, di samping luka yang cukup menganggu gerakan beliau. Akhimya Thalhah bin Ubaidillah jongkok di bawah, lalu beliau berdiri di atas Thalhah hingga dapat mendaki gundukan itu. Saat itu beliau bersabda, “Sudah seharusnya Thalhah masuk surga.”

37. Serangan Terakhir yang Dilancarkan Orang-orang Musyrik

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan tempat sebagai pusat komando di jalan bukit, maka orang-orang musyrik melancarkan serangan yang terakhir, sebagai upaya untuk menghabisi orang-orang Muslim.

Ibnu Ishaq menuturkan, selagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berada di jalan bukit, ada beberapa orang Quraisy yang mendakit bukit, di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Khalid bin Al-Walid. Beliau bersabda, “Ya Allah, tidak selayaknya bagi mereka untuk mengungguli kita.” Kemudian Umar bin Al-Khaththab bersama beberapa orang Muhajirin menyerang mereka, hingga mereka turun dari atas bukit
Sewaktu peperangan Al-Umawi, orang-orang musyrik juga pemah naik ke atas bukit. Lalu Rasulullah bersabda kepada Sa’d, “Buatlah mereka ketakutan!”

“Bagaimana dengan hanya sendirian aku bisa membuat mereka ketakutan?” tanya Sa’d.
Namun beliau tetap bersabda seperti itu hingga tiga kali. Akhimya Sa’d mengambil sebatang anak panah dari tabungnya, lalu membidikannya ke tubuh salah seorang musyrik hingga dapat membunuhnya. Sa’d menuturkan, “Lalu anak panah itu kuambil lagi dan kubidikan kepada seseorang yang lain hingga dapat membunuhnya. Kemudian anak panah itu kuambil lagi dan kubidikan kepada seseorang yang lain lagi hingga dapat membunuhnya.Akhirnya mereka turun dari atas bukit. Kukatakan, “Ini adalah anak panah yang penuh barakah.” Lalu aku memasukannya ke dalam tabungnya.”
Anak panah itu tetap disimpan Sa’d hingga saat dia meninggal dunia dan setelah itu disimpan anak keturunannya.

38. Para Syuhada Dicincang

Ini merupakan serangan terakhir yang dilancarkan orang-orang Quraisy terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Setelah mereka tidak tahu sama sekali kemana beliau pergi dan setengah yakin telah dapat membunuh beliau, maka mereka kembali lagi ke markas pasukan, kemudian bersiap-siap untuk kembali lagi ke Makkah. Di antara mereka ada yang masih berkutat pada kesibukannya, seperti yang dilakukan para wanita Quraisy yang terus mencari-cari orang-orang Muslim yang terbunuh. Mereka ada yang memotong telinganya, hidungnya, kemaluannya, mencabik cabik perutnya. Sementara Hindun binti Utbah mengambil jantung Hamzah lalu mengunyahnya. Karena dia tidak bisa menelannya, maka kunyahannya dimuntahkan lagi. Dia juga memotong telinga dan hidung Hamzah lalu menjadikannya sebagai gelang kaki dan kalung.'”

39. Seberapa Jauh Kesiapan Para Pahlawan Muslimin untuk Berperang Hingga Titik Penghabisan?

Pada detik-detik terakhir ini ada dua peristiwa yang menunjukkan seberapa jauh kesiapan para pahlawan Muslim untuk terus berperang dan seberapa jauh keteguhan hati mereka di jalan Allah. Inilah dua peristiwa tersebut :

1. Ka’b bin Malik menuturkan, “Aku termasuk orang-orang yang bergabung dalam peperangan. Setelah kulihat tindakan orang-orang musyrik terhadap tubuh orang-orang Muslim yang terbunuh, maka aku pun berlalu ke sana dan mengintip. Kulihat ada seorang musyrik yang mengumpulkan baju baju besi yang di dalamnya masih ada jasad orang-orang Muslim seraya berkata, “Kunpulkanlah sebagaimana kalian mengumpulkan kambing kambing yang sudah disembelih.”

Ternyata ada seorang Muslim yang sudah menanggu kedatangannya sejak tadi sambil mengenakan baju besinya. Aku berkalan mendekat di belakangnya dan telah kuperkirakan jarak antara diriku dan orang Muslim serta orang musyrik itu hingga semuanya bisa kulihat dengan jelas. Ternyata orang musyrik itu lebih lengkap dan lebih baik keadaannya. Aku terus mengawasi keduanya hingga mereka saling berhadapan. Lalu orang Muslim memukul orang musyrik hingga terputus menjadi dua bagian. Orang Muslim itu menampakkan wajahnya dan bertanya kepadaku, “Bagaimana menurut pendapatmu wahai Ka’b? Aku adalah Abu Dujanah.”.

2. Ada beberapa wanita Mukminah yang datang ke medan peperangan setelah pertempuran usai. Anas menuturkan, “Kulihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim menyingsingkan gaunya hingga terlihat gelang kakinya, sambil menggendong geriba tempat air di punggung. Mereka berdua memberi minum kepada orang-orang lalu kembali mundur ke belakang untuk memenuhi geribanya, lalu maju lagi untuk memberi minum.
Umar berkata, “Ummu Sulaim memberikan geriba kepada kami pada waktu Perang Uhud.”
Di antara para wanita itu ada juga Ummu Aiman. Saat dia melihat orang ¬orang Muslim lari kocar-kacir dan bahkan sebagian diantara mereka ada yang hendak kembali ke Madinah, maka seketika itu dia menaburkan debu ke wajah mereka. Dia berkata kepada mereka, “Jalankan saja alat penggiling dan berikan padaku pedangmu.” Setelah itu dia segera pergi ke kancah peperangan, memberi minum kepada orang-orang yang terluka.

Bahkan dia juga sempat membidikkan anak panah mengenai Hibban bin Al-Ariqah. Sekalipun anak panah itu mengenai sasaran, tetapi mental karena mengenai baju besi. Musuh Allah itu pun tertawa terbahak bahak karenanya. Hal ini membuat Rasulullah shallallahu alaihi washallam tidak senang. Beliau menyerahkan sebuah anak panah tanpa ada matanya kepada Sa’d bin Abi Waqqash, lalu Sa’d membidiknya ke arah Hibban dan tepat mengenai sasaran pada tengkuknya, hingga membuatnya terjengkang ke tanah. Belian tersenyum hingga terlihat gigi gerahamnya. Saat itu beliau bersabda, “Sa’d telah melecehkan Hibban untuk Ummu Aiman. Allah telah memenuhi doanya.”

40. Setiba di Jalan Bukit

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berada di jalan bukit, Ali bin Abu Thalib pergi. Tak seberapa lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa perisai dari kulit yang sudah dipenuhi air yang diambil dari mata air Al-Mihras. Dia menghampiri belian dan menyuruh untuk meminumnya. Namun beliau mencium ban yang tidak sedap, sehingga tidak jadi meminumnya. Air itu beliau pergunakan untuk membasuh darah di muka beliau dan mengguyurkaanya ke kepala, sambil bersabda,

“Allah amat murka terhadap orang yang membuat wajah Nabi-Nya berdarah.”

Sahl berkata, “Demi Allah, aku benar-benar tahu siapa yang membasuh luka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, siapa yang menuangkan air dan dengan apa mengobati. Fathimah, putri beliau yang membasuh dan Ali bin Abu Thalib yang menuangkan air. Tatkala Fathimah melihat bahwa basuhan air itu justru membuat darah beliau semakin mengalir banyak, maka dia menyobek sepotong tikar lalu membakarnya dan menempelkannya di luka belian, hingga darahnya berhenti.

Muhammad bin Maslamah datang sambil membawa air yang segar. Maka Nabi memimunnya dan mendoakan kebaikan baginya. Beliau shalat zhuhur di tempat itu sambil duduk karena lukanya, sedangkan orang-orang Muslim di belakang beliau juga sambil duduk.’.

41. Kegembiraan Abu Sufyan Seusai Perang dan Dialognya dengan Umar bin Al-Khaththab

Setelah persiapan orang-orang musyrik untuk pulang ke Makkah sudah rampung, Abu Sufyan naik ke atas bukit lalu berseru, “Apakah di tengah kalian ada Muhammad?”
Tak seorang pan yang menjawab. Lalu dia berseru lagi, “Apakah di tengah kalian ada Ibnu Qahafah?” Maksudnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Tak seorang pun yang menjawab. Lalu dia berseru lagi, “Apakah di tengah kalian ada Umar bin Al-Khaththab?”
Tak seorang pan yang menjawab, karena memang Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarangnya. Abu Sufyan hanya menanyakan tiga orang ini, karena dia dan kaumnya menganggap mereka inilah yang menjadi sendi tegaknya Islam.
Abu Sufyan berkata lagi, “Cukuplah bagi kalian orang-orang itu.”
Umar yang mendengar ucapan Abu Sufyan ini tidak mampu menahan diri. Dia pun berteriak, “Wahai musuh Allah, orang-orang yang engkau sebutkan itu masih segar bugar, dan justru Allah mengekalkan apa yang membuatmu sial.”
Abu Sufyan menimpali, “Nyatanya di antara kalian banyak yang mati dan aku tidak mengurusnya. Engkau sendiri tidak bisa mencelakakan aku.” Kemudian dia berkata lagi, “Junjunglah Hubal.”.
“Mengapa kalian tidak menjawabnya,” tanya Rasulullah. shallallahu alaihi wa sallam
“Apa yang harus kami katakan?” Mereka ganti bertanya kepada beliau. Beliau menjawab, “Jawablah: ‘Allah lebih tinggi dan lebih Agung’.” Abu Sufyan berseru lagi, “Kami punya Uzaa dan kalian tidak memilikinya.” “Mengapa kalian tidak menjawabnya?” tanya Rasulullah kepada para sahabat.
“Apa yang harus kami katakan?” Mereka ganti bertanya.
Beliau menjawab,”Jawablah,’Allah adalah penolong kami dan kalian tidak mempanyai seorang penolong pun.”

Abu Sufyan berseru lagi, “Kalau sudi naiklah engkau ke sini. Perang ini sudah membalaskan Perang Badr. Peperangan sudah imbang.”
Umar menjawab, “Tidak sama. Orang-orang kami yang terbunuh berada
di surga, sedangkan orang-orang kalian yang terbunuh ada di neraka.” Kemudian Abu Sufyan berkata lagi, “Wahai Umar, kemarilah!” Rasulullah bersabda, ” Hampirilah dia, lihat apa maunya!” Maka Umar menghampiri Abu Sufyan. Setelah mendekat, Abu Sufyan
bertanya, “Demi Allah aku memohon kepadamu wahai Umar, apakah kami
benar-benar telah membunuh Muhammad?”
“Demi Allah, sama sekali tidak,” jawab Umar, “beliau pun bisa mendengar perkataanmu saat ini.”
Abu Sufyan berkata, “Bagiku engkau lebih jujur dan lebih baik dari pada Ibnu Qami’ ah. Karena Ibnu Qami’ah yang berteriak saat pertempuran sedang berkecamuk, bahwa dia telah membunuh beliau.”
Ibnu Ishaq menuturkan, setelah Abu Sufyan dan orang-orang yang bersamanya berbalik arah untuk kembali ke Makkah, dia berseru, “Tempat yang telah disepakati pada tahun depan adalah Badr.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang di antara sahabat, “Jawablah, ‘Ya. Di sanalah tempat yang telah disepakati antara kami dan kamu’.”‘.
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abu Thalib, seraya bersabda, “Pergilah dan buntutilah mereka. Lihadah apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka kehendaki. Jika mereka mengikat kuda dan menaiki ontanya, berarti mereka pergi menuju Makkah. Namun jika mereka menaiki kuda dan mengikat ontanya, berarti mereka hendak menuju Madinah. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, jika mereka menghendaki yang demikian itu, maka aku benar-benar akan menghadapi mereka di sana dan menggempur mereka.”
Ali menuturkan, “Lalu aku membuntuti mereka untuk melihat apa yang mereka kerjakan. Ternyata mereka mengikat kuda dan menaiki onta. Mereka pergi ke Makkah.”

42. Mencari Orang-orang yang Terbunuh dan Terluka

Mereka memeriksa dan mencari orang-orang yang terluka dan terbunuh setelah orang-orang Quraisy pulang. Zaid bin Tsabit berkata, ” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutusku agar mencari Sa’d bin Ar-Rabi’. Beliau bersabda, “Jika engkau menemukannya, sampaikan salamku kepadanya. Katakan juga kepadanya, `Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadamu,’Bagaimana yang engkau rasakan?”‘
Zaid bin Tsabit menuturkan, “Kemudian aku berputar-putar di antara orang-orang yang terbunuh, hingga aku menemukannya dengan sebuah tombak terakhir yang mengenainya. Sementara di sekujur tubuhnya ada tujuh puluh luka, entah karena sabetan pedang, hujaman anak panah atau pun tikaman tombak.

“Wahai Sa’d,” kataku,”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan salam kepadamu dan bersabda kepadamu, `Sampaikan kepadaku bagaimana yang engkau rasakan?’
Sa’d bertanya, “Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan salam kepadaku? Sampaikan kepada beliau, `Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, aku mencium bau surga. Katakan pula kepada kaumku Anshar, `Kalian tidak perlu lagi mencari alasan di sisi Allah jika memang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ikut sudah selamat dan ada mata yang melihatnya’.” Setelah itu dia langsung menghembuskan napasnya yang terakhir..?

Di antara orang-orang yang terluka itu mereka juga menemukan Al-Ushairim dari Bani Abdul Ashal Amr bin Tsabit. Di badannya masih terhujam tombak kecil. Sebelum itu mereka menawarinya agar masuk Islam, namun Al-Ushairim menolaknya.
“Bukankah ini Al-Ushairim? Apa yang telah dilakukannya?” Mereka bertanya-tanya, “Saat akan meninggalkannya, dia masih menolak perintah kami.”
Kemudian mereka bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau lakukan? Apakah karena engkau merasa kasihan kepada kaummu ataukah karena kecintaan kepada Islam?”
Al-Ushairim menjawab, “Karena kecintaan kepada Islam. Aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian aku berperang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hingga aku mendapatkan musibah seperti yang kalian lihat saat ini.

Setelah itu dia meninggal dunia. Mereka mengabarkan kejadian ini kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda,
“Dia termasuk penghuni surga.”
Abu Hurairah berkata, “Padahal sekalipun Al-Ushairim belum pernah shalat kepada
Di antaraorang-orang yang terluka itu mereka juga menemukan Quzaman,
yang bertempur denga hebat lazimnya seorang pahlawan perang. Dia bisa membunuh tujuh atau delapan orang musyrik dengan tangannya sendiri. Mereka mendapatkannya menahan rasa sakit karena luka yang dideritanya. Lalu mereka membawanya ke perkampungan Bani Zhafr. Orang-orang Muslim berusaha menghiburnya. Namun dia menjawab, “Demi Allah, aku ikut berperang hanya karena pertimbangan kaumku. Kalau tidak karena itu, aku tak kan sudi berperang.”

Karena merasa tidak tahan lagi dengan sakit yang dideritanya, maka dia pun bunuh diri. Setelah mendengar kabamya, Rasulullah shallallahu alaihi washallam bersabda,
“Jika dia berkata seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.”

Begitulah akhir perjalanan orang-orang yang berperang karena membela kesukuannya atau karena berjuang untuk meninggikan kalimat Allah, sekalipun mereka berperang di bawah bendera Islam dan bergabung bersama pasukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat.
Sebaliknya, di antara orang-orang yang terbunuh terdapat seorang Yahudi dari Bani Tsa’labah. Namanya Mukhairiq. Saat Perang Uhud itu dia berkata kepada kaumnya, “Wahai semua orang Yahudi, demi Allah, kalian sudah tahu bahwa membantu Muhammad saat ini merupakan kewajiban bagi kalian.”

Mereka berkata, “Hari ini adalah hari Sabtu.” Hari Sabtu adalah hari besar dan suci bagi orang-orang Yahudi. Pada hari ini mereka tidak diperkenankan berperang.
“Tidak ada hari Sabtu bagi kalian,” jawabnya. Lalu mengambil pedang dan segala perlengkapan, seraya berkata, “Kalau pun aku mendapat celaka, aku tak peduli dengan diri Muhammad. Biarlah dia berbuat semaunya dalam peperangan ini.” Kemudian dia pergi ke medan perang dan bertempur hingga terbunuh. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang dirinya,
“Mulkhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi.”
Menghimpun Jasad Para Syuhada dan Menguburkannya
Rasulullah ikut menghampiri orang-orang yang terbunuh sebagai syuhada dan bersabda,

Aku menjadi saksi atas mereka, bahwa tidaklah ada yang terluka karena Allah, melainkan Allah akan rnembangkitkannya pada Hari Kiamat, lukanya berdarah, warnamya warna darah namun baunya adalah bau minyak kesturi.”

Sebagian sahabat ada yang sudah membawa para korban yang terbunuh ke Madinah. Lalu beliau memerintahkan agar mengembalikan para korban itu ke Uhud dan menguburkannya di tempat masing-masing menemui ajalnya, tanpa dimandikan. Jasad mereka dikuburkan beserta pakaian yang melekat di badan setelah melepas bahan-bahan pakaian dari besi dan kulit. Satu lubang diisi dua atau tiga jasad, dan setiap dua orang dibangkus dengan satu lembar kain.
“Siapakah yang lebih banyak hapal Al-Qur’ an?” tanya beliau.
Setelah mereka menunjuk seseorang yang dimaksudkan, maka orang itulah yang lebih dahulu dimasukkan ke dalam liang lahat, dan beliau bersabda,
“Aku menjadi saksi atas mereka pada Hari Kiamat.”
Jasad Abdullah binAmr bin Haram dan Amr bin Al-Jamuh dihimpun dalam satu liang, karena diketahui keduanya saling mencintai.
Mereka kehilangan mayat Hamzah. Setelah mencari kesana kemari, mereka mendapatkannya di sebuah gundukan tanah yang masih menyisakan guyuran air di sana. Rasulullah shallallahu alaihi washallam mengabarkan para sahabat bahwa malaikat sedang memandikan jasadnya. Lalu beliau bersabda, “Tanyakan kepada keluarganya, ada apa dengan dirinya?”
Lalu mereka bertanya kepada istrinya,dan dikabarkan tentang keadaannya sedang junub saat berangkat perang. Dari kejadian ini dia mendapantan julukan Ghasilul Malaikat (orang yang dimandikan malaikat).
Setelah melihat keadaan Hamzah, paman dan saudara susuan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam amat berduka. Tatkala bibi beliau, Shafiyah hendak melihat jasad saudaranya, Hamzah, maka beliau memerintahkan anaknya,Az-Zubair untuk mengalihkan agar tidak melihat apa yang menimpa jasad Hamzah.

“Ada apa memangnya?” tanya Shafiyah, “kudengar saudaraku itu banyak mendapat luka, dan itu terjadi karena Allah. Kami ridha sekalipun keadaan sedemikian rupa. Aku akan tabah dan sabar insya Allah.” Lalu dia mendekati jasad Hamzah, memandanginya lalu berdoa baginya. Setelah itu dia mundur dan memohon ampun baginya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar jasad Hamzah dikubur satu liang dengan jasad Abdullah bin Jahsy, keponakannya dan saudara sesusuan.

Ibnu Mas’ud berkata, kami tidak pernah melihat Rasulullah dalam keadaan menangis lebih sesegukan dari pada tangisannya atas Hamzah bin Abdul Muththalib. Beliau memeluknya kemudian berdiri di sampingnya. Beliau menangis lagi hingga terisak-isak.”

Pemandangan para syuhada benar-benar sangat mengenaskan dan membuat hati teriris-iris. Khabbab berkata, “Tidak ada kafan bagi Hamzah selain selembar mantel yang berwarna putih bercampur hitam. Jika mantel itu ditarik ke bagian pala, maka kakinya menyembul, dan jika ditarik ke bagian kaki, maka kepalanya yang menyembul. Akhimya mantel itu ditarik menutupi kepala dan kakinya ditutupi dengan daun.””
Abdurrahman bin Auf berkata, ” Mush’ab bin Umair terbunuh, padahal dia lebih baik dari pada aku. Dia dikafani dengan mantel. Jika bagian kepalanya ditutupi, maka kakinya menyembul, dan jika kakinya yang ditutupi, maka kepalanya yang menyembul.” Riwayat sempa juga berlaku bagi Khabbab.
Dalam keadaan seperti ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada karni, “Tutuplah mantel itu ke bagian kepalanya dan tutupkan dedaunan ke bagian kakinya.””

43. Rasulullah Memanjatkan Puji dan Doa kepada Allah

Al-ImamAhmad meriwayatkan tentang kejadian pada Perang Uhud, setelah orang-orang musyrik kembali. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berbarislah yang lurus. Aku akan memuji Allah dan berdoa kepada-Nya.” Maka mereka pun berjajar membuat beberapa shaff ke belakang beliau, lalu belianu membaca doa,

“Ya Allah, segala puji bagi-Mu, Ya Allah, tidak ada yang bisa memungut apa yang Engkau hamparkan, tidak ada yang bisa menghamparkan apa yang Engkau pungut. lidak ada yang bisa memberi petunjuk kepada orang yang Engkau sesatkan dan tidak ada yang bisa memberi kesesatan kepada orang yang Engkau beri pelunjuk. Tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau tahan dan tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan. tidak ada yang bisa mendekatkan apa yang Engkau jauhkan dan tidak ada yang bisa menjauhkan apa yang Engkau dekatkan. Ya Allah, hamparkanlah kepada kami dari barakah-Mu, rahmat-Mu, karunia-Mu, dan rezeki-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kenikmatan yang kekal kepada-Mu, yang tidak berubah dan habis. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pertolongan kepada-Mu saat lemah dan keamanan pada saat ketakutan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang Engkau berikan kepada kami dan kejahatan yang Engkau tahan dari kami. Ya Allah, buatlah kami mencintai iman dan buatlah iman itu bagus di dalam hati kami. Buatlah kami membenci kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mengikuti jalan kebenaran. Ya Allah, matikanlah kami dalam keadaan berserah diri dan hidupkanlah kami dalam keadaan berserah diri. Himpunlah kami bersama orang-orang yang shalih tanpa ada kehinaan dan bukan dalam keadaan mendapat cobaan. Ya Allah, musuhilah orang-orang kafir yang mendustakan rasul-rasul-Mu dan menghalangi manusia dari jalan-Mu. Berikanlah siksaan dan adzab-Mu terhadap mereka. Ya Allah, musuhilah orang-orang kafir yang telah diberi Engkau lah yang benar. “‘.

44. Kembali ke Madinah

Seusai mengubur para syuhada’, berdoa kepadaAllah, dan pasrah kepada-Nya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali ke Madinah. Di sini terlihat butir-butir dan kasih sayang dari para wanita Muslimah, seperti kecintaan yang ditampakkan orang orang Mukmin di kancah peperangan.
Di tengah perjalanan beliau berpapasan dengan Hamnah binti Jahsy. Setelah kematian saudaranya dikabarkan kepadanya, dia berucap, “Inna lillahi …” Lalu memohon ampunan baginya. Dia berbuat hal serupa takala dikabarkan kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Muththalib. Ketika dikabarkan kematian suaminya, Mush’ab bin Umair, maka dia menjerit dengan suara keras. Saat itu beliau bersabda, “Sesungguhnya suami wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hatinya.”

Di tengah perjalanan beliau juga berpapasan dengan seorang wanita dari Bani Dinar, yang suami, saudaranya dan ayalmya terbunuh dalam Perang Uhud. Saat orang-orang memberitahukan kematian mereka, wanita ini justru bertanya, ” Lalu apa yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?”
“Beliau baik-baik saja wahai Ummu Fulan. Beliau membawa puji bagi Allah seperti yang engkau inginkan,” jawab mereka.
“Tunjukkan kepadaku agar aku bisa melihat beliau,” pintanya. Ketika wanita itu sudah melihat beliau, maka dia berkata, “Setiap musibah asal tidak menimpa engkau adalah kecil.”

Lalu datang Ummu Sa’d bin Mu’adz sambil berlari-lari, sementara Sa’d sedang memegang tali kekang kuda beliau. Sa’d berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah ibuku.”
“Selamat atas kedatangannya,” sabda beliau. Lalu beliau berdiri sendiri untuk menyongsongnya. Setelah dia dekat, Amr bin Mu’adz, anaknya yang lain berusaha menghibumya. Namun Ummu Sa’d berkata kepada Rasulullah, “Selagi kulihat engkau selamat, maka musibah yang menimpa kuanggap ringan.”
Kemudian beliau berdoa untuk keluarga para korban Perang Uhud. Lalu beliau bersabda, “Wahai Ummu Sa’d, bergembiralah dan sampaikanlah kabar gembira kepada keluarga mereka, bahwa mereka yang terbunuh saling menyayangi di surga semuanya, dan mereka juga memintakan syafaat bagi keluarga mereka semua.”
Ummu Sa’d berkata, “Kami ridha wahai Rasulullah. Siapakah yang masih ingin menangis setelah ini?” Lalu dia berkata lagi,”Wahai Rasulullah, berdoalah bagi orang-orang yang menggantikan keluarga mereka.”

Beliau bersabda, “Ya Allah, singkirkanlah duka hati mereka, gantilah yang hilang dan baguskanlah orang-orang yang menggantikan mereka.”‘

45. Tiba di Madinah

Pada sore hari itu pula, Sabtu tanggal 7 Syawwal 3 H. Rasulullah tiba di Madinah. Setelah bertemu keluarganya, beliau menyerahkan pedang kepada putrinya, Fathimah, seraya bersabda, “Bersihkanlah darah di pedang ini wahai putriku. Demi Allah, ia telah memperlihatkan kehebatannya pada perang kali ini.
Ali bin Abu Thalib juga menyerahkan pedangnya kepada Fathimah seraya berkata, “Bersihkan pula darah di pedang ini. Demi Allah, ia telah memperlihatkan kehebatannya kepadaku pada perang kali ini.”

Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau telah memperlihatkan kehebatanmu dalam perang ini, maka Sahl bin Hunaif dan Abu Dujanah juga telah berbuat hal yang serupa bersamamu.

46. Korban yang Terbunuh di Kedua Belah Pihak

Beberapa riwayat telah sepakat menyebutkan bahwa korban yang mati di pihak orang-orang Muslim ada 70 orang, yang kebanyakan berasal dari kalangan Anshar, tepatnya sebanyak 64 dari Aus. Sementara dari kalangan Yahudi ada satu orang yang terbunuh. Sedangkan dari kalangan Muhajirin hanya empat orang.

Sedangkan korban yang terbunuh dari pihak orang-orang musyrik menurut Ibnu Ishaq ada 20 orang. Tetapi setelah penelusuran yang lebih mendetail dengan mempertimbangkan kondisi peperangan saat itu, dan hal ini juga dikuatkan beberapa pakar biografi dan peperangan, ternyata korban di pihak mereka ada 37 orang.

47. Suasana Duka Menyelimuti Madinah

Orang-orang Muslim berada di Madinah pada malam Ahad, sepulang dari Perang Uhud. Suasana duka menyelimuti diri mereka, ditambah lagi keadaan badan yang terasa letih dan payah. Kali ini mereka benar-benar mendapat bencana. Namun begitu mereka tetap berjaga-jaga di dalam dan pinggir Madinah, khususnya menjaga komandan tertinggi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sewaktu waktu bisa terancam bahaya.

48. Perang Hamra’ul Asad

Rasulullah shallallahu alaihi washallam tidak berhenti memeras pikiran dalam menghadapi keadaan ini. Karena orang-orang Quraisy tidak memperoleh kemenangan yang mutlak dan mereka pun tidak mendapatkan keuntungan material yang berarti di kancah peperangan, maka beliau khawatir mereka akan kecewa dengan hasil itu lalu kembali lagi ke Madinah untuk melakukan serangan sekali lagi. Maka dari itu beliau bertekad mengusir pasukan Quraisy saat itu pula.

Sebagaimana yang dinyatakan para pakar peperangan, bahwa Nabi shallallahu alaihi washallam berseru di hadapan orang-orang dan menganjurkan agar mereka mengejar musuh. Ini terjadi pada keesokan hari setelah Perang Uhud, tepatnya hari Ahad tanggal 8 Syawwal 3 H.
Beliau bersabda, “Yang boleh bergabung bersama kami hanyalah orang orang yang sebelumnya bergabung dalam Perang Uhud.”
“Bagaimanajika aku ikut bersamamu?” tanya Abdullah bin Ubay pimpinan orang-orang munafik.
“Tidak,” jawab beliau.
Banyak orang-orang Muslim yang meminta izin kepada beliau karena orang-orang yang bergabung dalam Perang Uhud banyak yang terluka, dan beliau mengizinkan mereka.
Jabir bin Abdullah juga meminta izin seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku suka jika senantiasa dapat menyertai setiap kali engkau terjun ke peperangan. Kemarin aku tidak bisa ikut serta karena harus mewakili ayahku mengurusi saudari-saudariku. Maka kali ini izinkanlah aku untuk bergabung bersama engkau.” Akhirnya dia diizinkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersama orang-orang Muslim keluar dari Madinah hingga tiba di Hamra’ul Asad, sejauh 8 mil dari Madinah. Mereka bermarkas di sana.
Selagi di sana, muncul Ma’bad bin Abu Ma’bad Al-Khuza’ i di hadapan Rasulullah lalu masuk Islam. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa dia masih dalam keadaan musyrik saat itu. Yang pasti, dia memberikan nasihat dan berpihak kepada beliau, apalagi ada perjanjian persahabatan antara Bani Khuza’ah dan Bani Hasyim. Dia berkata, “Wahai Muhammad, Demi Allah, kami (orang-orang Quraisy) merasa hebat karena bencana yang menimpa rekan¬ rekanmu. Namun aku tetap berharap Allah masih memberi afiat kepadamu.”

Lalu beliau menyuruh Ma’bad agar menyusul Abu Sufyan dan pasukannya serta melecehkannya. Ternyata apa yang dipikirkan beliau tentang niat pasukan Quraisy untuk melakukan serangan ke Madinah benar-benar akan dilaksanakan. Saat singgah ke Ar-Rauha’ yang jaraknya 36 mil dari Madinah, orang-orang musyrik saling ejek-mengejek.
“Kalian belum berbuat apa-apa,” kata sebagian diantara mereka kepada sebagian yang lain. Kalian sudah menguasai pemuka dan orang yang kuat di antara mereka, kemudian kalian meninggalkan mereka. Sementara masih ada sekian banyak kepala yang berhimpun lagi untuk menghadapi kalian. Maka kembalilah untuk mencabut hingga ke akar-akar mereka.”

Sebenamya jalan pikiran ini hanya muncul di permukaan saja, dari orang orang yang tidak bisa mengukur secara persis kekuatan di kedua belah pihak dan khususnya spiritual mereka. Oleh karena itu pemimpin yang ikut bertanggung jawab terhadap pasukan Quraisy, yaitu Shafwan bin Umayyah menolak jalan pikiran ini. Dia menanggapinya, “Wahai kaumku, jangan lakukan itu! Karena aku khawatir semua orang Khazraj yang kemarin tidak ikut bergabung dalam peperangan, akan berhimpun untuk menghadapi kalian. Lebih baik pulanglah dan biarlah kemenangan ini menjadi giliran kalian. Jika kalian kembali lagi, aku tidak berani menjamin kemenangan ini menjadi milik kalian lagi.”

Ternyata pendapat mayoritas menolak pendapat Shafwan. Maka pasukan Quraisy sepakat untuk kembali lagi ke Madinah. Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempat, Ma’bad bin Ma’bad sudah tiba di hadapan mereka. Sementara Abu Sufyan tidak tahu Ma’bad sudah masuk Islam.
“Apa yang terjadi di belakangmu wahai Ma’bad?” tanya Abu Sufyan.
Ma’bad menjawab, “Muhammad pergi bersama rekan-rekaanya untuk mencari kalian dalam jumlah yang tidak pemah kulihat sebanyak itu. Mereka meradang karena marah kepada kalian. Orang-orang yang belum bergabung untuk memerangi kalian kini bergabung bersamanya. Rupanya mereka menyesal karena tidak ikut dalam peperangan. Yang pasti jumlah mereka sangat banyak.”
“Celaka kau! Apa yang kau katakan ini?” tanya Abu Sufyan.
“Demi Allah, menurut pendapatku, lebih baik kalian segera pulang sebelum dia memergoki buntut pasukan ini.”

“Demi Allah, sebenarnya kami sudah sepakat untuk kembali lagi menyerang mereka hingga kami dapat membinasakan mereka,” kata Abu Sufyan. “Jangan lakukan itu. Inilah nasihatku,” kata Ma’bad.
Seketika itu tekad pasukan Quraisy menjadi melempem. Mereka tidak lagi bersemangat dan bahkan ada kekhawatiran. Maka tidak ada pilihan lain kecuali segera kembali ke Makkah. Ma’bad berharap dapat mengusir pasukan Quraisy, sekalipun Abu Sufyan sudah bertekad bulat untuk menghabisi pasukan Islam. Karena dengan begitu dia bisa menggagalkan pecahnya pertempuran kedua belah pihak.

Dalam perjalanan pulang ke Makkah, Abu Sufyan berpapasan dengan rombongan Abdul Qais yang hendak pergi ke Madinah.
“Apakah kalian sudi menyampaikan suratku kepada Muhammad?” tanya Abu Sufyan. Lalu dia berkata lagi, “Sekembali kalian dari Makkah kami akan memberikan kismis pasar Ukazh kepada rombongan kalian.”
“Bolehlah,” kata mereka.
Abu Sufyan berkata, “Sampaikan juga kepada Muhammad bahwa aku telah menghimpun sekian banyak orang untuk menghabisinya dan menghabisi rekan-rekannya.”
Setelah bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang masih berada di Hamra’ul Asad, rombongan Abdul Qais menyampaikan pesan Abu Sufyan kepada beliau. Mereka berkata,”Sesungguhnya mereka telah berhimpun untuk menghadapi kalian, maka waspadalah!”
Tetapi justru pesan disampaikan itu semakin menambah kemantapan iman orang-orang Muslim.

“Mereka berkata, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak dapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan, Allah mempunyai karunia yang besar ” (Ali Imran:173-174)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berada di Hamra’ulAsad tiga hari lagi, dan setelah itu kembali lagi ke Madinah. Sebelum kembali ke Madinah, beliau dapat menangkap Abu Azzah AI-Jumahi, yang pada saat Perang Badr menjadi tawanan, lalu dibebaskan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena keadaannya yang miskin dan putrinya yang banyak. Tetapi dengan syarat, dia tidak boleh lagi membantu seorang pun untuk memerangi beliau. Rupanya Abu Azzah ingkar janji, karena dia membangkitkan semangat orang-orang Quraisy dengan syair-syairnya untuk memerangi beliau dan orang orang Muslim, dan bahkan ikut bergabung bersama pasukan Quraisy dalam Perang Uhud.

Setelah tertangkap, dia berkata, “Wahai Muhammad, bebaskanlah dan kasihanilah aku. Lepaskanlah diriku demi putri-putriku. Beri aku satu perjanjian lagi agar aku tidak mengulang lagi perbuatan seperti ini.”
Beliau bersabda, “Dua kali pembangkanganmu di Makkah tidak akan terhapus, dan setelah itu engkau berkata, ‘Aku telah menipu Muhammad dua kali’. Orang Mukmin itu tidak akan terjerumus ke dalam satu lubang dua kali.” Kemudian beliau memerintahkan Az-Zubair atau Ashim bin Tsabit untuk membanuhnya.

Beliau juga menjatuhkan hukuman yang sama kepada salah seorang mata mata Quraisy, yaitu Mu’awiyah bin Al-Mughirah bin Abul Ash, kakek Abdul Malik bin Marwan dari garis ibunya. Hal ini bermula dari inisiatif Mu’awiyah untuk menemui keponakannya, Utsman bin Affan setelah orang-orang Quraisy kembali dari Perang Uhud. Lalu Utsman meminta perlindungan keamanan baginya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau memberikannya selama jangka waktu tiga hari. Setelah itu tidak ada lagi perlindungan baginya jika dia sampai tertangkap. Namun takala Madinah ditinggalkan pasukan, ternyata dia menetap di sana lebih tiga hari dan melakukan kegiatan mata-mata untuk kepentingan Quraisy. Setelah pasukan Islam kembali ke Madinah, dia cepat cepat melarikan diri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Zaid bin Haritsah dan Ammar bin Yasir untuk mengejarnya. Keduanya dapat menyusul Mu’awiyah lalu membunuhnya. Yang pasti, Perang Hamra’ul Asadi bukan merupakan peperangan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari Perang Uhud dan kelanjutannya.

Itulah Perang Uhud dengan seluruh tahapan dan rinciannya. Para pengkaji telah menguraikan peristiwa ini panjang lebar. Lalu pihak manakah yang bisa dikatakan kalah atau menang? Yang pasti, pada putaran kedua pasukan Quraisy lebih unggul dan mereka bisa menguasai keadaan. Sementara jumlah korban di pasukan Islam juga lebih banyak serta lebih parah. Bahkan ada satu kelompok pasukan Muslimin yang kalah total. Tetapi semua ini belum cukup bagi kita untuk beranggapan bahwa ini sudah mencerminkan kemenangan bagi pasukan Quraisy.

Yang tidak dapat diragukan, pasukan Quraisy tidak mampu melibas pasukan Muslimin. Sekalipun pasukan Muslimin sempat kacau balau, tetapi hampir mereka semua tidak melarikan diri. Mereka terus bertempur dengan gagah berani hingga dapat berhimpun kembali dengan komandan pasukan. Mereka sama sekali tidak jatuh ke tangan pasukan Quraisy dan tak seorang pun di antara mereka yang tertawan. Di samping itu, pasukan Quraisy tak mendapatkan barang rampasan walau sedikit pun. Bahkan pada putaran ketiga pasukan Quraisy tidak melanjutkan pertempuran. Justru mereka lebih dahulu mengundurkan diri sebelum pasukan Muslimin mengundurkan diri dari kancah peperangan. Mereka tidak berani masuk Madinah untuk menjarah tawanan dan barang, sekalipun jaraknya tidak seberapa jauh lagi dan di sana dalam keadaan kosong.

Semua ini menunjukan kepada kita bahwapastaran Quraisy belum berhasil menimpakan bencana dan kerugian yang besar kepada pasukan Muslimin. Bahkan boleh dibilang, mereka gagal mewujudkan cita-cita untuk memusnahkan pasukan Muslimin, terutama setelah mereka bisa membalikan keadaan saat pertempuran. Seperti ini bukan sesuatu yang aneh bagi para prajurit yang berjuang di medan perang.

Bahkan keputusan Abu Sufyan untuk buru-buru menarik diri dari kancah peperangan dan kembali ke Makkah, mengesankan kepada kita bahwa sebenarnya dia dirasuki perasaan khawatir dan was-was kalau-kalau pasukannya justru akan mengalami kekalahan telak pada putaran ketiga. Kesan seperti ini semakin kuat setelah kita tahu keputusan yang diambil Abu Sufyan, karena dia mengetahui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan pasukan Muslimin menyusulnya hingga tiba di Hamra’ul Asad.

Jadi Perang Uhud ini merupakan peperangan yang tidak tuntas, masing-masing pihak mendapat kemenangan dan kerugian sendiri-sendiri. Apalagi kedua belah pihak menahan diri untuk tidak saling menyerang. Jadi inilah pengertian peperangan yang tidak tuntas. Hal ini telah diisyaratkan firman Allah,

“Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh kalian). Jika kalian menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita
kesakitan (pula), sebagaimana kalian menderitanya, sedangkan kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. ” (An-Nisa: 104)

Masing-masing pihak merasa mendapat keuntungan dan juga dapat menimpakan kerugian kepada pihak lain, sehingga kedudukan menjadi imbang. Kemudian kedua belah pihak pulang dan masing-masing merasa menang.

49. Al-Qur’an Berbicara tentang Peperangan ini

Al-Qur’an turun menyoroti setiap kejadian yang penting dalam peperangan ini, tahapan demi tahapan, ditambah dengan berberapa catatan yang menjelaskan berberapa sebab yang mengakibatkan kerugian yang besar itu. Al-Qur’an juga menampakkan beberapa sisi kelemahanyang ada di tengah pasukan orang-orang Mukmin ini jika dikaitkan dengan kewajiban yang seharusnya mereka kerjakan pada saat-saat yang kritis, apalagi jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak diraih umat ini, sebagai umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia.

Al-Qur’an juga membicarakan sikap orang-orang munafik, melecehkan mereka dan menyingkap permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang tersimpan di dalam hati mereka, sambil berusaha mengenyahkan keragu-raguan dan kebimbangan yang bersemayam di dalam hati orang-orang Mukmin yang lemah. Karena kelompok inilah yang menjadi sasaran orang-orang munafik dan Yahudi. Al-Qur’ an juga mengisyaratkan tujuan yang mulia dari peperangan ini.
Ada enam puluh ayat dari surah Ali Imran yang turun mengenai peperangan
diawali dengan permulaan tahapan perang,

“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang.” (Ali-Imran: 121)

Kesudahan ayat-ayat ini merupakan catatan menyeluruh dari hasil peperangan dan hikmahnya. Allah berfirman,

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasulNya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (Ali Imran: 179)

50. Hikmah dan Sasaran Lebih Jauh dari Peperangan ini

Ibnul Qayyim telah membahas hikmah dan sasaran lebih jauh dari peperangan ini. Ibnu Hajar menuturkan, para ulama berkata, “Kisah mengenai Perang Uhud dan kesudahan yang menimpa orang-orang Muslim mengandung berbagai faidah dan hikmah Rabbani, di antaranya:

1. Memperlihatkan kepada orang-orang Muslim akibat yang tidak menguntungkan dari kedurhakaan dan melanggar larangan. Tepatnya adalah tindakan para pemanah yang meninggalkan posnya di atas bukit, padahal Rasulullah shallallahu alahi washallam memerintahkan agar mereka tidak meninggalkan tempat itu bagaimana pun keadaan inti pasukan Muslimin.
2. Seperti yang biasa terjadi pada diri para rasul, jika mereka mendapat cobaan tentu akan disusul dengan kesudahannya. Hikmah dari cobaan ini, jika para rasul terus menerus mendapat kemenangan, maka orang-orang yang sebenamya tidak tennasuk golongan mereka juga ikut bergabung, sehingga sulit membedakan mana orang yang baik dari mana yang tidak baik. Sebaliknya, jika mereka terus-menerus kalah, maka tujuan pengutusan mereka tidak tercapai. Hikmahnya kalian tampak jika sesekali menang dan sesekali kalah, agar orang yang membenarkan dapat dibedakan dari orang yang mendustakan. Sebab kemunafikan orang-orang munafik benar-benar tersamar di tengah orang-orang Muslim. Saat kisah ini bergulir dan orang¬orang munafik menampakkan belangnya lewat perbuatan dan perkataan mereka, maka semuanya menjadi tampak jelas, sehingga orang-orang Muslim mengetahui bahwa di tengah mereka ada musuh. Dengan begitu mereka menjadi lebih waspada.

3. Kemenangan yang tertunda sering kali meremukan jiwa dan meluluhkan kehebatan yang dirasakan. Namun orang-orang Mukmin tetap sabar saat mendapat cobaan, sedangkan orang-orang munafik menjadi risau.

4. Allah telah menyediakan bagi hamba-hamba-Nya yang Mukmin kedudukan yang mulia di sisi-Nya, yang tidak bisa dicapai begitu saja. Tetapi Dia perlu menguji dan mencoba mereka, sebagai jalan bagi mereka untuk mencapai kedudukan tersebut.

5. Mati syahid merupakan kedudukan para penolong agama Allah yang paling tinggi. Inilah yang dikehendaki Allah bagi mereka.

6. Allah ingin menghancurkan musuh-musuh-Nya, dengan menampakkan sebab-sebab yang memang menguatkan kekufuran mereka, karena mereka menyiksa para penolong-Nya. Dengan begitu, dosa orang-orang Mukmin terhapus dan dosa orang-orang kafir semakin menumpuk.

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M