• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Perjanjian Hudaibiyah

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Orang-orang Muslim Bergerak ke Makkah
  2. Upaya Quraisy Menghalangi Orang-orang Muslim Memasuki Masjidil Haram
  3. Mengalihkan Jalur Perjalanan dan Menghindari Bentrok Fisik
  4. Budail Menjadi Perantara antara Rasulullah ﷺ dan Quraisy
  5. Beberapa Orang Utusan Quraisy
  6. Allah Menahan Tangan Quraisy
  7. Utsman bin Affan sebagai Duta ke Pihak Quraisy
  8. Isu Terbunuhnya Utsman dan Baiat Ridhwan Quraisy
  9. Pengukuhan Perjanjian dan Klausul-klausulnya
  10. Klausul Abu Jandal
  11. Menyembelih Hewan Kurban dan Mencukur Rambut sebagai Tanda Umrah
  12. Menolak Mengembalikan Para Wanita Mukminah yang Hijrah
  13. Apa yang Bisa Dipetik dari Klausul-klausul Perjanjian?
  14. Orang-orang Muslim Murung dan Dialog Umar dengan Rasulullah
  15. Krisis Orang-orang Muslim yang Lemah Terpecahkan
  16. Beberapa Tokoh Quraisy Masuk Islam
  17. Babak Baru dalam kehidupan Islam dan orang-orang Muslim

Perkembangan yang terjadi di Jazirah Arab semakin menguntungkan pihak kaum Muslimin. Sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat sinyal-sinyal kemenangan yang besar dan keberhasilan dakwah Islam. Langkah permulaan sudah dirancang untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah di Masjidil Haram, yang dihalangi orang-orang musyrik selama enam tahun.

Selagi masih berada di Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi bahwa beliau bersama para sahabat memasuki Masjidil Haram, mengambil kunci Ka’bah, melaksanakan thawaf dan umrah, sebagian sahabat ada yang mencukur dan sebagian lain ada yang memendekkan rambutnya. Beliau menyampaikan mimpinya ini kepada para sahabat dan mereka tampak senang. Menurut perkiraan mereka, pada tahun itu pula mereka bisa memasukki Makkah. Tidak lama kemudian beliau mengumumkan hendak melakukan umrah. Maka mereka melakukan persiapan untuk mengadakan perjalanan jauh.

Orang-orang Badui yang mendengar niat beliu ini juga berdatangan untuk bergabung. Beliau mencuci pakaian lalu menaiki onta beliau yang bemama Al- Qashas. Sementara Madinah diserahkan kepada Ibnu Umi Maktum atau pun Numailah Al-Laitsy. Keberangkatan beliau tepat pada hari Senin tanggal 1 Dzul Qa’dah 6 H. Di antara istri beliau yang ikut adalah Ummu Salamah. Adapun jumlah para sahabat yang ikut ada 1400 orang, namun ada yang mengatakan 1500 orang. Mereka berangkat tanpa membawa senjata apa pun, kecuali senjata yang biasa dibawa oleh para musafir, yaitu pedang yang dimasukkan ke dalam sarungnya.

1. Orang-orang Muslim Bergerak ke Makkah

Mereka mulai bergerak ke arah Makkah. Setibanya di Dzul Hulaifah, hewan karban dikalungi tali dan diberi tanda. Beliau juga mengenakan pakaian ihram, agar orang-orang tidak menyerang. Seorang mata-mata dari Khuza’ah dikirim untuk mencari infornasi tentang Quraisy, lalu secepatnya kembali menemui beliau lagi. Ketika mendekati Usfan, mata-mata itu sudah bisa menemui beliau dan menyampaikan informasi,”Saat aku meninggalkan Ka’b bin Lu’ay, Quraisy sedang menghimpun beberapa kabilah dan mengumpulkan sejumlah orang untuk memerangi engkau dan menghalangi engkau agar tidak bisa memasuki Masjidil Haram.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam meminta pendapat para sahabat seraya bersabda, “Setujukah kalian jika kita condong kepada kaum kerabat yang telah membantu mereka lalu kita membasmi mereka? Kalaupun mereka diam, sebenarnya diamnya itu karena takut dan tak berdaya. Kalaupun mereka bisa selamat, di sana masih ada sekian banyak nyawa yang siap dicabut Allah. Ataukah kita harus memasuki Makkah dan siapa pun yang menghalangi, kita akan memeranginya?”

Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Tetapi kita datang hanya untuk melaksanakan umrah. Kita datang bukan untuk memerangi seseorang. Tetapi siapa pun yang akan menghalangi kita untuk memasuki Masjidil Haram, maka kita akan memeranginya.”
Beliau bersabda, “Kalau begitu lanjutkan perjalanan.” Maka mereka pun melanjutkan perjalanan.

2. Upaya Quraisy Menghalangi Orang-orang Muslim Memasuki Masjidil Haram

Setelah mendengar keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Quraisy segera menyelenggarakan majelis permusyawaratan. Keputusannya, apa pun caranya mereka hendak menghalangi orang-orang Muslim memasuki Masjidil Haram. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam dapat menghindari beberapa kabilah, ada seseorang dari Bani Ka’b yang memberikan informasi penting kepada beliau bahwa orang orang Quraisy memberangkatkan pasukan dan tiba di Dzi Thuwa. Di samping itu, ada 200 penunggang kuda di bawah komando Khalid bin Al-Walid yang mengambil poisi di Kura’Al-Ghamim, di jalur utama menuju Makkah. Pasukan Khalid bin Al-Walid ini berusaha menghalangi orang-orang Muslim. Beberapa penunggang kuda dia tugaskan untuk mengawasi kedua belah pihak.

Khalid bin Al-Walid melihat orang-orang Muslim sedang melaksanakan shalat zuhur. Dia berkata, “Mereka pasti lengah. Andaikan kita menyerang mereka secara serentak, tentu kita bisa mengalahkan mereka.” Dia memutuskan untuk menyerang orang-orang Muslim saat melaksanakan shalat ashar secara serentak. Tetapi Allah menurunkan hukum shalat khauf, sehingga kesempatan itu pun hilang dari tangan Khalid dan pasukan Quraisy.

3. Mengalihkan Jalur Perjalanan dan Menghindari Bentrok Fisik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil jalur yang sulit dan berat di antara celah-celah gunung, membawa para sahabat ke arah kanan, melewati Al-Hamsy menuju Tsaniyatul Murar sebelum turun ke Hudaibiyah. Beliau tidak melewati jalan utama menuju Makkah yang melewati Tan’im, atau beliau tidak mengambil jalan ke arah kiri.

Setelah Khalid bin Al-Walid dan pasukanya melihat kepulan debu yang ditinggalkan orang-orang Muslim dan dia menyadari bahwa mereka telah lolos, maka secepatnya dia kembali ke Makkah dan memperingatkan Quraisy.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan perjalanan. Setelah tiba di Tsaniyyatul Murar, onta beliau menderum. Orang-orang berkata, “Biarkan ia istirahat sebentar, biarkan ia istirahat sebentar!”

Lalu onta beliau disuruh bangkit kembali. Mereka berkata, “Al-Qashwa tetap menderum. Al-Qashwa tetap menderum.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa shallam bersabda, “Tidaklah Al-Qashwa menderum, dan tidaklah tindakannya itu karena kehendaknya sendiri, tetapi dia ditahan (malaikat) yang dulu menahan pasukan Gajah.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Demi yang diriku ada di tangan-Nya, jika mereka meminta kepadaku suatu rencana untuk menghormati apa-apa yang telah disucikan Allah, tentu aku akan memberikannya.”

Kemudian beliau membentak Al-Qashwa sehingga bangkit, lalu berjalan lagi hingga memasuki ujung Hudaibiyah, di dekat suatu kolam yang di sana hanya terdapat air sedikit. Orang-orang mengambilnya sedikit-sedikit, namun tetap tidak mencukupi. Mereka mengadukan rasa haus kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam Setelah itu beliau memungut anak panah dari tabungnya, lalu memerintahkan agar anak panah itu ditancapkan di kolam tersebut dan air pun memancar deras. Demi Allah, mereka terus menerus mengambil air itu hingga mereka puas.

4. Budail Menjadi Perantara antara Rasulullah ﷺ Quraisy

Setelah Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa tenang berada di sana, tiba-tiba muncul Budail bin Warqa’ Al-Khuza’y bersama beberapa orang dari Bani Khuza’ah. Bani Khuza’ah biasa memberi nasihat kepada beliau. Budail berkata, “Saat aku meninggalkan Ka’b bin Lu’ ay, mereka siap berangkat ke Hudaibiyah dengan membawa pasukan. Mereka hendak memerangi engkau dan menghalangi engkau memasuki Masjidil Haram,”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerangi seseorang. Tetapi kami datang untuk melakukan umrah.

Rupanya orang-orang Quraisy sudah semakin surut dan menjadi buta karena peperangan. Jika mereka menghendaki, engkau bisa membujuk mereka dan membukakan jalan bagiku, dan jika mereka menghendaki untuk memasuk sesuatu yang biasa dimasuki manusia, maka mereka bisa melakukannya yang berarti mereka masih memiliki nyali. Namun jika tidak menghendaki kecuali perang, maka demi diriku yang ada di tangan-Nya, aku pasti akan melayani keinginan mereka hingga kemenangan yang lalu hanya menjadi milikku atau biarlah Allah menentukan keputusan-Nya.”

Budail berkata, “Aka akan menyampaikan apa yang engkau katakan ini kepada mereka.” Lalu dia beranjak pergi untuk menemui Quraisy, seraya berkata, “Aku datang kepada kalian setelah menemui Muhammad dan aku mendengar dia telah mengucapkan suatu perkataan. Jika kalian menghendaki aku bisa memberitahukannya kepada kalian.”
Orang-orang yang bodoh di antara mereka berkata, “Kami tidak membutuhkan engkau memberitahu sesuatu pun dari dirinya kepada kami.”

Namun orang-orang yang tajam pikirannya di antara mereka berkata, “Sampaikan apa yang engkau dengar darinya.”
“Aku mendengar dia berkata begini dan begitu,” kata Budail.
Lalu Quraisy mengutus Mikraz dan Hafsh. Saat melihat kehadirannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam bersabda, “Dia adalah orang yang suka berkhianat.” Saat sudah saling berhadapan, beliau mengucapkan seperti yang sudah diucapkan kepada Budail dan rekan-rekannya dari Khuza’ah. Setelah itu Budail kembali lagi menemui orang-orang Quraisy dan menyampaikan sabda beliau.

5. Beberapa Orang Utusan Quraisy

Ada seseorang dari Kinanah, namanya Al-Hulais bin Alqamah yang berkata kepada Quraisy, “Biarkan aku menemui Muhammad.” “Silahkan,” kata mereka.
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam dan para sahabat melihat kedatangannya dari jauh, beliau bersabda, “Itu adalah Fulan, berasal dari kaum yang sangat menghormati hewan kurban. Lepaskan hewan-hewan kurban itu agar mendekatinya.” Sementara itu mereka menyambut kedatangannya dengan talbiyah. Melihat hal ini dia berkata,”Mahasuci Allah. Tidak selayalaknya orang-orang Quraisy menghalangi mereka untuk memasuki Masjidil Harant” Lalu dia langsung membalikkan badan menemui rekan-rekannya dari Quraisy, seraya berkata, “Aku melihat hewan-hewan kurban yang telah diikat dan diberi tanda. Menurut pendapatku, tidak selayaknya mereka dihalang-halangi.” Setelah itu terjadi perdebatan sengit antara dirinya dengan orang-orang Quraisy.
Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata, “Ini suatu tawaran yang bagus bagi kalian. Terimalah tawaran itu dan berilah kesempatan kepadaku untuk menemuinya.”
“Kalau begitu temuilah mereka,” kata mereka.

Maka Urwah menemui beliau, lalu beliau menyampaikan seperti yang beliau sampaikan kepada Budail.
Urwah berkata, “Wahai Muhammad, apa pendapatmu jika kaummu binasa semua?Apakah engkau pernah mendengar ada seseorang dari bangsa Arab yang membinasakan keluarganya sendiri sebelummu? Jika memang ada pendapat yang lain, maka demi Allah aku mempunyai beberapa alternatif dan juga kulihat semua rakyat akan keluar dan menyerumu.”
Beliau berbisik, “Hisaplah darah Lata hingga mati.”
“Siapa yang engkau maksudkan?” Tanya Urwah.
“Ini, Abu Bakar,” orang-orang menjawab. Saat itu Abu Bakar ada di belakang beliau.
Urwah berkata, “Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, andaikata tidak karena tugas di pundakku saat ini, tentu aku akan memenuhi apa yang engkau inginkan.” Lalu dia berbincang-bincang dengan beliau. Setiap kali berkata, Urwah memegang jenggot beliau.
Al-Mughirah bin Syu’bah berjaga-jaga di dekat kepala beliau sambil menghunus pedang. Ketika Urwah hendak memegang jenggot beliau, maka Al-Mughirah memukul tangan Urwah dengan punggung pedangnya, sambil berkata, “Jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam”

Urwah mendongakkan kepala, lalu bertanya, “Siapa orang ini.” “Al-Mughirah bin Syu’bah,” kata orang-orang di sekitarnya.
Urwah berkata, “Hai anak nakal! Bukankah aku yang membereskan urusan karena kenakalanmu dulu?”
Sebelum masuk Islam, Al-Mughirah yang keponakan Urwah pernah membunuh beberapa orang dan merampas harta mereka. Sementara Urwah harus mengeluarkan uang tebusan untuk diserahkan kepada kelurga korban. Kemudian Al-Mughirah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam dan masuk Islam. Beliau bersabda saat itu, “Aku bisa menerima keislamamnu. Tetapi harta benda yang engkau bawa, aku tidak mempunyai urasan dengannnya.”

Kemudian Urwah menyibak kerumunan para sahabat dan kembali ke rekan-rekannya dari Quraisy. Di sana dia berkata, “Wahai semua orang, demi Allah, aku pernah menjadi utusan untuk menemui para raja, Qaishar dan Kisra. Demi Allah, tidak pernah kulihat seorang raja yang diagung-agungkan rekan rekannya seperti yang dilakukan rekan-rekan Muhammad terhadap dirinya. Demi Allah, setiap kali Muhammad mengeluarkan dahak, maka dahak ita pasti jatuh di telapak tangan salah seorang di antara mereka, lalu dia mengusap usapkannya ke wajah atau kulit badannya. Jika dia memberikan suatu perintah, maka mereka segera melaksanakan perintahnya. Jika dia wudhu, maka mereka seperti orang yang sedang bertengkar karena berebut sisa air wudhunya. Jika dia berbicara, maka mereka menghentikan pembicaraan di depannya. Mereka tidak pernah menghujam pandangan ke wajah beliau karena penghormatan terhadap dirinya. Dia telah menyampaikan tawaran yang layak kepada kalian. Karena itu terimalah tawaran tersebut.”

6. Allah Menahan Tangan Quraisy

Karena para pemuda Quraisy yang semangatnya masih membara menghendaki peperangan, sementara para pemimpin mereka bennaksud mengadakan perundingan gencatan senjata, maka mereka berpikir untuk mencari altematif lain. Untuk itu mereka mengambil keputusan menyusup ke tengah barisan kaum Muslimin pada malam hari dan memancing bara peperangan. Mereka sudah siap-siap melaksanakan rencana ini. Ada tujuh puluh atau delapan puluh orang di antara mereka yang turun dari gunung Tan’im dan hendak menyusup ke tengah barisan kaum Muslimin Namun, Muhammad bin Maslamah yang bertugas sebagai komandan jaga dapat menangkap mereka semua. Karena sejak semula menginginkan suasana damai, maka Nabi memaafkan dan melepaskan mereka semua. Tentang hal ini Allah menurunkan ayat,

“Dan, Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kalian dan (menahan) tangan kalian dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kalian atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Fath: 24)

7. Utsman bin Affan sebagai Duta ke Pihak Quraisy

Pada saat au Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa shallam hendak mengutus seorang duta, menegaskan kepada Quraisy, sikap dan tujuan beliau dari perjalanan kali ini. Untuk itu beliau memanggil Umar bin Al-Khaththab dan hendak menjadikannya sebagai duta. Namun Umar merasa keberatan dengan berkata, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun sanak keluargaku dari Bani Ka’b di Makkah yang marah jika aku disiksa. Lebih baik utuslah Utsman bin Affan, karena sanak keluarganya ada di sana dan dia akan menyampaikan apa yang engkau kehendaki.”

Maka beliau memanggil Utsman bin Affan dan mengangkatnya sebagai duta untuk menemui Quraisy. Beliau bersabda, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita tidak ingin berperang, tetapi kita datang hendak melaksanakan umrah. Serulah mereka kepada Islam!” Beliau juga menyuruhnya untuk menemui beberapa laki-laki dan wanita Muslim di sana, menyampaikan kabar gembira kepada mereka tentang datangnya kemenangan dan juga mengabarkan kepada mereka bahwa Allah pasti akan memenangkan agama-Nya di Makkah sehingga setiap orang di sana pasti beriman.”

Utsman berangkat hingga dia melewati sekumpulan orang-orang Quraisy di Baldah. Mereka bertanya, “Hendak kemana engkau?”
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutasku untuk ini dan itu,” jawab Utsman.
“Kami mendengar apa yang engkau katakan. Maka laksanakan apa keperluanmu!” Kata mereka. Lalu Aban bin Sa’id bin Al-Ash menyambut kedatangannya, menyiapkan kudanya dan menyuruh Utsman naik ke atas punggang kudanya. Aban memberikan jaminan perlindangan kepada Utsman dan mengawalnya hingga tiba di Makkah. Dia menyampaikan pengiriman duta ini kepada para pemimpin Quraisy. Sebenarnya mereka menawarkan kepada Utsman untuk melaksanakan thawaf di Ka’bah. Tetapi Utsman menolak tawaran ini. Dia tidak akan thawaf sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf.

8. Isu Terbunuhnya Utsman dan Baiat Ridhwan

Cukup lama Quraisy menahan Utsman bin Affan di Makkah. Boleh jadi mereka hendak mengajaknya bermusyawarah, memecahkan masalah yang sangat rawan ini dan mereka merasa puas. Baru setelah itu mereka mengembalikan Utsman dengan jawaban yang mereka tulis dalam sebuah surat. Karena cukup lama Utsman tertahan di pihak Quraisy, maka tersiar kabar angin di kalangan orang-orang Muslim bahwa Utsman telah dibunuh. Saat kabar angin ini terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Kita tidak akan beranjak sebelum membereskan urusan mereka.”

Setelah itu beliau memanggil para sahabat untuk melakukan baiat. Maka mereka berkumpul di sekelilingnya dan mengucapkan baiat untuk tidak melarikan diri. Bahkan ada di antara mereka yang melakukan baiat untuk bersedia mati. Yang pertama kali mengucapkan baiat adalah Abu Sinan Al Asadi. Sementara Salamah bin Al-Akwa’ mengucapkan baiat di hadapan beliau untuk bersedia mati hingga tiga kali, sekali dia ucapkan di depan kerumunan orang, sekali di tengah kerumunan orang dan sekali di belakang kerumunan orang. Dalam baiat itu beliau memegang tangannya sendiri lalu bersabda, “Ini mewakili Utsman.”

Setelah proses baiat selesai, Utsman bin Affan muncul, lalu dia berbaiat kepada beliau. Hanya seorang saja yang tidak ikut dalam proses baiat ini. Dia dari golongan orang-orang manafik, namanya Jadd bin Qais.
Baiat ini dilaksanakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pohon. Umar memegang tangan beliau, sedangkan Ma’qal bin Yassar memegang dahan pohon agar tidak mengenai beliau. Inilah baiat Ridhwan, yang karenanya Allah menurunkan ayat,

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (Al-Fath: 18)

9. Pengukuhan Perjanjian dan Klausul-klausulnya

Quraisy menyadari posisinya yang cukup rawan. Maka mereka segera mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perundingan. Mereka menegaskan kepadanya agar di antara klausul perjanjian itu menyebutkan bahwa Muhammad harus pulang ke Madinah pada tahun ini, agar bangsa Arab tidak membicarakan orang-orang Quraisy bahwa beliau berhasil masuk ke sana lewatj alan kekerasan. Suhail bin Amr menemui beliau. Saat melihat kehadirannya, beliau bersabda, “Dia telah memudahkan urusan kalian. Setiap kali orang-orang Quraisy menghendaki perjanjian, mereka pasti mengutus orang Sahl pun tiba lalu berunding panjang lebar. Akhirnya kedua belah pihak menyepakati klausul-klausul perjanjian sebagai berikut :

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus pulang pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki Makkah kecuali tahun depan bersama orang-orang Muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Makkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apa pun.
2. Genjatan senjata di antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian yang lain.
3. Barang siapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah manapun yang bergabungdengan salah satu pihak, maka kabilah itu menjadi bagian dari pihak tersebut. Sehingga penyerangan yang ditujukan pada kabilah tertentu, dianggap penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.
4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya (melarikan diri), maka dia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan siapa pun dari pihak Muhammad yang mendatangi Quraisy (melarikan diri darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan padanya.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abu Thalib untuk menulis isi perjanjian ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa shallam mendiktekan kepada Ali: Bismillahir rahmannir rahim. Suhail menyela, “Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa dia? Tetapi tulislah Bismika Allahumma.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa shallam memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk menulis seperti itu. Kemudian beliau mendiktekan lagi, “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad, Rasul Allah.”

Suhail menyela, “Andaikan kami tahu bahwa engkau adalah Rasul Allah, tentanya kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Tetapi tulislah: Muhammad bin Abdullah.”
Beliau bersabda, “Bagaimana pun juga aku adalah Rasul Allah sekalipun kalian mendustakan aku.” Lalu beliau memerintahltan Ali bin Abu Thalib untuk menulis seperti usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang terlanjur tertulis. Namum Ali menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu dengan tangan beliau sendiri.

Akhirya klausul peljanjian itu selesai ditulis.”‘ Setelah perjanjian sudah dikukuhkan, Khuza’ah bergabung ke pihak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam `Sebelumnya mereka adalah sekutu Bani Hasyim, semenjak zaman Abdul Muthalib seperti yang sudah kami uraikan di bagian terdahulu. Penggabungan mereka ini merupakan kelanjutan dari persekutuan masa lampau. Sementara Bani Bakr bergabang ke pihak Quraisy.

10. Klausul Abu Jandal

Pada saat penulisan isi perjanjian itu, tiba-tiba muncul Abu Jandal bin Suhail yang berjalan tertatih-tatih kedua kakinya dalam keadaan terbelenggu. Dia meloloskan diri dari Makkah hingga tiba di tempat orang-orang Muslim.
Suhail menjawab, “Ini adalah orang pertama yang kutuntut agar engkau mengembalikannya.”
Beliau menjawab, “Kami tidak akan melanggar isi perjanjian ini sampai kapan pun.”
“Demi Allah, kalau begitu aku tidak akan menuntutmu karena suatu apa pun,” kata Suhail.
Beliau bersabda, “Kalau begitu berilah dia jaminan perlindungan karena Suhail menjawab, “Aku tidak akan memberikan jaminan perlindungan karena dirimu.”
“Lakukanlah,” pinta beliau.
“Aku tidak akan melakukannya,” jawab Suhail.
Suhail memukul Abu Jandal, anaknya sendiri yang telah masuk Islam, mencengkeram kerah bajunya lalu menyeretnya untuk dikembalikan kepada Quraisy. Abu Jandal berseru dengan suara keras, “Wahai semua orang Muslim, apakah aku akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan mengujiku karena gara-gara agamaku ini?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan bertahanlah, karena Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang lemah yang kini bersamamu. Kami sudah mengukuhkan perjanjian antara kami dengan mereka. Kami telah membuat persetujuan dengan mereka atas demikian ini dan mereka pun sudah memberikan sumpah atas nama Allah kepada kami. Maka kami tidak akan melanggarnya.”

Umar bin Al-Khaththab melompat ke samping Abu Jandal, seraya berkata, “Bersabarlah wahai Abu Jandal. Mereka hanyalah orang-orang musyrik. Darah mereka tidak ubahnya darah anjing.” Kemudian dia menyodorkan gagang pedang kepada Abu Jandal, sambil berkata, “Aku berharap dia mengambil pedang itu dan membabatnya ke tubuh ayahnya.” Umar terus mendorongnya untuk melawan ayahnya.

11. Menyembelih Hewan Kurban dan Mencukur Rambut sebagai Tanda Umrah

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menyelesaikan penulisan isi perjanjian, beliau bersabda, “Bangkitlah dan sembelihlah hewan kurban!”
Demi Allah, tak seorang pun di antara orang-orang Muslim yang bangkit sekali pun beliau sudah mengatakan tiga kali. Karena tak seorang pun yang bangkit, maka beliau masuk ke rumah Ummu Salamah. Beliau menceritakan apa yang dilakukan para sahabat. Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka hal itu terjadi? Keluarlah dan engkau tidak perlu mengeluarkan sepatah kata pun kepada seseorang sehingga engkau menyembelih onta kurban dan meminta seorang pencukur untuk mencukur rambut engkau.”
Atas saran Ummu Salamah inilah beliau keluar lagi. Tanpa berbicara dengan seorang pun beliau melaksanakan saran tersebut. Saat para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa shallam mereka pun bangkit lalu menyembelih hewan kurban dan sebagian mencukur rambut sebagian yang lain, sehingga hampir saja mereka saling bertengkar karena rambut. Satu ekor onta untuk tujuh orang, begitu pula sapi. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menyembelih onta yang dulunya milik Abu Jahl, yang di hidung onta itu ada cincin perak, dengan tujuan untuk memancing kejengkelan orang-orang musyrik. Beliau memanjatkan doa, memohonkan ampun tiga kali bagi mereka yang sudah menyembelih hewan kurban dan satu lagi bagi mereka yang sudah mencukur rambut.

12. Menolak Mengembalikan Para Wanita Mukminah yang Hijrah

Pada saat itu ada beberapa wanita Mukminah yang datang menemui beliau. Para wali wanita-wanita itu meminta untan mengembalikan mereka kepada Quraisy sesuai dengan isi perjanjian yang sudah dikukuhkan di Hudaibiyah. Namun beliau menolak permintaan ini, karena kalimat yang tertulis dalam perjanjian sama sekali tidak menunjukkan bahwa wanita juga termasuk dalam perjanjian itu. Tentang kasus ini Allah menurunkan ayat,

“Hai orang-orang yang bertman, apabila datang berhijrah kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, maka kalian hendaklah uji (keimanan mereka). Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar beriman), maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada pula halal bagt mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atas kalian mengawini mereka apabila kalian bayar kepada mereka maharnya. Dan, janganlah kalian tetap berpegang kepada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10)

Nabi shallallahu ‘alahi wa shallam menguji para wanita itu berdasarkan perintah dari Allah,

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (AI-Mumtahanah: 12)

Siapa yang menerima syarat-syarat ini, maka beliau bersabda kepadanya, “Aku telah membaiatmu.” Setelah itu beliau tidak mengembalikan mereka kepada pihak Quraisy.
Dengan hukum dalam ayat-ayat ini, orang-orang Muslim menceraikan istri-istri mereka yang kafir. Sehingga saat itu pula Umar bin Al-Khaththab menceraikan dua istrinya yang kafir. Lalu salah seorang dari keduanya dikawin Mu’awiyah dan satunya lagi dikawin Shafwan bin Umayyah.

13. Apa yang Bisa Dipetik dari Klausul-klausul Perjanjian?

Inilah gencatan senjata yang dikukuhkan di Hubaibiyah. Dengan mencermati butir-butir isi yang termaktub dalam perjanjian itu, sambil mengakui beberapa isi kelemahannya, tidak dapat diragukan bahwa langkah ini merupakan kemenangan yang amat besar bagi kaum Muslimin. Sebab sudah sekian lama pihak Quraisy tidak mau mengakui sedikitpun keberadaan orang-orang Muslim, dan bahkan mereka hendak memberantas hingga ke akar-akarnya. Mereka menunggu-nunggu babak akhir dari perjalanan orang-orang Muslim. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mereka mencoba memasang penghalang antara dakwah Islam dan manusia, sambil membual bahwa merekalah yang layak memegang kepemimpinan agama dan roda kehidupan di seluran Jasirah Arab. Sekalipun hanya mengukuhkan perjanjian, namun ini sudah bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap kekuatan orang-orang Muslim, di samping orang ¬orang Quraisy merasa tidak sanggup lagi menghadapi kaum Muslimin.

Kandungan klausul ketiga menunjukkan bahwa pihak Quraisy lupa terhadap kedudukannya sebagai pemegang roda kehidupan dunia dan kempimpinan agama. Mereka tidak lagi memperdulikan hal itu. Yang mereka pikirkan saat ini adalah keselamatan diri mereka sendiri. Kalaupun semua manusia dan orang orang selain Arab mau masuk Islam, maka mereka tidak lagi memperdulikannya dan mereka tidak akan ikut campur dalam bentuk apa pun. Bukankah sebenamya hal ini merupakan kegagalan yang telak bagi pihak Quraisy, dan sebaliknya merupakan kemenangan nyata bagi pihak orang-orang Muslim?
Peperangan secara terus-menerus yang melibatkan orang-orang Muslim dan musuh-musuhnya, sama sekali tidak dirnaksudkan orang-orang Muslim untuk mendapatkan harta benda, merenggut nyawa, membinasakan manusia atau pun memaksa manusia agar mau memeluk Islam. Satu-satanya tujuan yang hendak dicapai orang-orang Muslim dari berbagai peperangan itu ialah justru ingin menciptakan kebebasan yang utuh kepada manusia dalam masalah akidah dan agama. Hal ini telah diisyaratkan firman Allah,

“Maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman. Dan Barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir ” (Al-Kahfi: 29)

Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalangi maksud mereka. Bagian-bagian dari tujuan ini atau sinyal-sinyalnya telah terpegang di tangan. Boleh jadi tujuan ini tidak akan tercapai sekali pun dengan kemenangan yang besar dalam peperangan. Dengan adanya kebebasan ini, orang-orang Muslim bisa mencapai keberhasilan yang besar di bidang dakwah. Jumlah mereka yang tidak lebih dari tiga ribu orang sebelum gencatan senjata, semakin bertambah banyak setelah adanya gencatan senjata. Selama dua tahun setelah itu, pasukan Islam terdiri dari sepuluh ribu prajurit, yaitu saat penaklukkan Makkah.
Klausul kedua juga merupakan bagian kedua dari kemenangan bagi orang orang Muslim. Mereka bukan pihak yang mengawali peperangan, tetapi pihak Quraisylah yang mengawalinya. Allah berfirman,

“Dan, merekalah yang pertama kali memulai memerangi kalian.” (At-Taubah: 13)

Patroli militer yang dilakukan orang-orang Muslim tidak lain dimaksudkan hanya untuk memancing dendam orang-orang Quraisy dan keinginan mereka agar menghalangi manusia dari jalan Allah atau sekedar mengimbangi mereka. Yang pasti, masing-masing pihak berbuat menurut versinya masing-masing. Sebab perjanjian gencatan senjata yang disepakati berlaku selama sepuluh tahun, tentu akan membatasi kedengkian dan dendam mereka.

Klausul pertama merupakan pagar pembatas bagi Quraisy, sehingga mereka tidak bisa menghalangi seseorang untuk memasuki Masjidil Haram. Ini juga merupakan kegagalan bagi Quraisy. Ini merupakan obat yang efektif hanya sementara waktu bagi Quraisy. Mereka bisa menghalangi manusia memasuki Masjidil Haram hanya selama satu tahun.
Pihak Quraisy memberikan tiga celah ini kepada orang-orang Muslim. Mereka hanya memiliki satu celah saja, yaitu klausul keempat. Tetapi celah ini pun sebenarnya tak banyak artinya. Di sini tidak ada sesuatu yang membahayakan bagi orang-orang Muslim. Sebagaimana diketahui, seseorang disebut orang Muslim, tentu dia tidak akan lari dari Allah dan RasulNya, tidak meninggalkan wilayah Islam, kecuali dia memang murtad secara lahir dan batin. Jika dia murtad, maka Islam dan orang-orang Muslim sama sekali tidak membutuhkan dirinya. Bahkan tindakannya yang memisahkan diri dari masyarakat Islam jauh lebih baik dari pada dia berada di tengah mereka. Ini yang diisyaratkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabda beliau, “Sesungguhnya siapa pun di antara kita yang pergi bergabung dengan mereka, maka dia akan dijauhi Allah. Sedangkan di antara orang Makkah yang masuk Islam, kalaupun dia tidak bisa datang ke Madinah, toh bumi Allah itu amat luas. Bukankah Habasyah terbuka lebar bagi orang-orang Muslim pada saat penduduk Madinah belum mengenal Islam sedikit pun?”

Ini pula yang diisyaratkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabda beliau, “Dan barang siapa di antara mereka yang hendak mendatangi kita, tentu Allah akan memberikan pemecahan dan jalan keluar kepadanya.”
Mengambil langkah seperti ini, sekalipun secara sepintas lalu tampak keunggulan bagi Quraisy, pada hakikatnya mencerminkan kegundahan, kegelisahan, dan ketakutan mereka terhadap eksistensi paganisme. Mereka merasa seakan-akan eksistensi mereka berada di pinggir jurang yang terjal. Maka langkah inilah yang mereka ambil. Kalaupun ada di antara orang-orang Muslim yang lari ke pihak Quraisy, maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tak akan meminta untuk mengembalikannya. Ini merupakan bukti bahwa beliau benar-benar tegar dalam meneguhkan kekuatan dan sama sekali tidak risau dengan syarat yang tercantum dalam klausul ini.

14. Orang-orang Muslim Murung dan Dialog Umar dengan Rasulullah

Inilah hakikat yang terkandung dalam klausul-klausul kesepakatan gencatan senjata ini. Tetapi di sana ada dua fonemena yang sama sekali tidak bisa ditangkap orang-orang Muslim, sehingga karenanya mereka tampak murung dan sedih. Pertama: Sebelumnya beliau sudah menyatakan untuk mendatangi Masjidil Haram dan thawaf di sana. Lalu mengapa beliau kembali lagi tanpa melakukan thawaf di sana? Kedua: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang jelas berada di atas kebenaran dan Allah yang sudah menjanjikan kemenangan agama-Nya, mengapa buru-buru merendahkan diri dengan mengukuhkan perjanjian, tanpa melakukan tekanan terhadap Quraisy terlebih dulu?
Dua fenomena inilah yang memancing munculnya keragu-raguan, kesangsian, rasa was-was dan dugaan macam-macam di hati mereka. Karena dua fenomena ini pula perasaan mereka menjadi perih dan terluka. Sebab dugaan dan kepedihan lebih mengusai pikiran, dan mereka tidak memikirkan lebih jauh dampat isi perjanjian itu.

Boleh jadi orang yang paling murung di antara mereka adalah Umar bin Al¬Khaththab yang dikenal sebagai orang yang temperamental. Dia menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebatilan?”
“Begitulah,” jawab beliau.
“Bukankah korban yang mati di antara kita berada di surga dan korban yang mati di antara mereka berada di neraka?” Tanya Umar.
“Begitulah,” jawab beliau.
“Lalu mengapa kita merendahkan agama kita dan kembali, padahal Allah belum lagi membuat keputusan antara kita dan mereka?” Tanya Umar.
“Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah dan aku tidak akan mendurhakai-Nya. Dia adalah penolongku dan sekali-kali tidak akan menelantarkan aku,” jawab beliau.
“Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Ka’bah dan thawaf di sana?”
“Begitulah. Apakah aku pemah menjanjikan kita untuk ke sana tahun ini?” Umar menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu engkau akan pergi ke Ka’bah dan thawaf di sana tahun depan,” sabda beliau.
Umar masih penasaran dengan hati yang kurang enak. Lalu dia menemui Abu Bakar dan bertanya seperti pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, Ternyata Abu Bakar juga memberikan jawaban seperti yang diberikan beliau, sama persis. Lalu Abu Bakar menambahi, “Patuhilah kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia. Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran.”
Kemudian turun wahyu kepada Rasulullah lalu beliau membacakannya kepada Umar,

“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Al-Fath: 1)

Dan seterusnya dari surat Al-Fath. Umar bertanya, “Wahai Rasulullah apakah itu benar-benar sebuah kemenangan?”

“Benar,” jawab beliau. Barulah hatinya merasa tenang. Kemudian dia baru menyadari tindakannya itu sehingga dia menyesali karenanya. Umar berkata, “Setelah itu aku terus-menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan berusaha membebaskan dari apa yang telah dilakukan saat itu. Aku selalu dibayangi apa yang telah aku lakukan saat ini. Aku selalu berharap, semoga semua itu merupakan kebaikan.’

15. Krisis Orang-orang Muslim yang Lemah Terpecahkan

Setelah Rasululah shallallahu ‘alahi wa sallam kembali ke Madinah dan hidup tentram di sana, tiba-tiba muncul seseorang dari orang-orang Muslim yang masih mendapat siksaan di Makkah. Dia adalah Abu Bashir, seorang laki-laki dari Tsaqif, sekutu Quraisy. Lalu orang-orang Quraisy mengutus dua orang untuk mencarinya di Madinah dan mengingatkan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tentang isi perjanjian. Maka sesuai dengan isi perjanjian, beliau menyerankan Abu Bashir pergi menuju Makkah. Setibanya di Dsul Hulaifah, mereka istirahat sambil makan buah korma.
“Demi Allah, aku ingin sekali melihat pedangmu yang bagus itu hai Fulan,” kata Abu Bashit. Setelah menghunus pedang yang dimaksudkan, utusan Quraisy itu menyerahkarmya kepada Abu Bashir, seraya berkata, “Boleh, demi Allah, memang ini adalah pedang yang bagus. Ia sudah cukup kenyang malang melintang bersamaku.”
“Tolong perlihatkan kepadaku, aku ingin melihat dan memeriksanya,” kata Abu Bashir. Setelah pedang ada di tangan, dia menusukannya ke utusan Quraisy itu hingga meninggal dunia.
Seorang utusan lagi melarikan diri hingga tiba di Madinah. Dengan berlari-lari ia memasuki masjid. Saat melihat kehadirannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Sepertinya orang itu sedang ketakutan.”
Setelah berhadapan langsung dengan beliau, utusan Quraisy itu berkata, “Temanku telah dibunuh, dan aku hampir dibunuhnya pula.”
Tak lama kemudian Abu Bashir muncul, seraya berkata,”Wahai Nabi Allah, demi Allah, Dia telah memenuhi jaminan engkau. Engkau telah mengembalikan diriku kepada mereka, kemudian Allah menyelamatkan aku dari kejahatan mereka.

“Celakalah ibunya. Dia bisa menyalakan api peperangan sekalipun dia hanya sendirian,” sabda beliau”.
Mendengar sabda beliu ini, Abu Bashir sadar bahwa ia akan diserahkan lagi ke pihak Quraisy. Maka dia segera beranjak pergi hingga tiba di pinggir pantai. Apa yang dilakukan Abu Bashir ini terdengar hingga ke Makkah dan didengar pula orang-orang Muslim di sana. Karena itu Abu Jandal meloloskan diri dari Makkah dan bergabung bersama Abu Bashir. Langkah Abu Jandal ini diikuti teman-temannya yang lain yang sudah masuk Islam dan selama ini menetap di Makkah hingga cukup banyak yang berhimpun bersamanya. Karena tempat pangkalan Abu Bashir dan teman-temannya itu merupakan jalur yang dilewati kafilah dagang Quraisy menuju Syam, maka setiap ada kafilah dagang Quraisy yang lewat pasti mereka cegat, dihalangi dan harta bendanya dirampas. Akhirnya Quraisy mengirimkan utusan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam untuk menyampaikan pesan bahwa siapa pun orang Muslim yang menemui beliau dianggap aman. Belian mengirim balasan, dan setelah itu Abu Bashir dan orang-orang Muslim yang bergabung bersamanya pergi ke Madinah.

16. Beberapa Tokoh Quraisy Masuk Islam

Pada awal tahun 7H, tepatnya setelah dikukuhkan gencatan senjata, ada beberapa tokoh Quraisy yang masuk Islam, seperti Amr bin Al-Ash, Khalid bin Al-Walid dan Utsman bin Thalhah. Setelah menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, mereka yang masuk Islam ini menuturkan, “Makkah telah menyerahkan jantung hatinya kepada kita.”

17. Babak Baru dalam kehidupan Islam dan orang-orang Muslim

Gencatan senjata dan Perjanian Hudaibiyah merupakan awal babak baru dalam kehidupan Islam dan orang-orang Muslim. Quraisy adalah kekuatan yang paling menonjol dan yang paling gencar memusuhi Islam. Dengan mundurnya Quraisy dari kancah peperangan dan lebih memilih jalan damai, maka salah satu dari tiga sayap yang dimiliki pasukan musuh sudah patah dan terkoyak. Tiga kelompok musuh ini adalah Quraisy, Ghathafan, dan Yahudi. Karena Quraisy yang mempedulikan kebanggaan paganismenya dan mereka sudah melepaskan permusuhannya terhadap Islam, maka kita tidak lagi melihat peran yang berarti bagi Ghathafan setelah adanya gencatan senjata ini. Keterlibatan Ghathafan ini pun sebenarnya atas bujukan orang-orang Yahudi.

Sementara itu, orang-orang Yahudi yang telah hengkang dari Madinah menjadikan Khaibar sebagai markas konspirasi dan penyusunan maker. Setan-setan mereka bertelor dan menetas di sana, mengipasi api fitnah dan membujuk orang-orang Arab yang ada di sekitar Madinah, lalu berencana untuk membinasakan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan orang-orang Muslim, atau setidak-tidaknya menimpakkan kerugian bagi mereka. Karena itu, rencana pertama yang dirasa perlu dan hendak dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah memancing timbulnya peperangan dengan mereka.

Tetapi pada tahapan ini, yang dimulai setelah dikukuhkannya gencatan senjata, memberikan kesempatan yang amat luas bagi orang-orang Muslim untuk menyebarluaskan dakwah Islam. Semangat mereka bertambah sekian kali lipat dalam lapangan ini, di samping semangat mereka dalam aktivitas militer. Karena itu kami membagi tahapan ini menjadi dua bagian:

1. Aktivitas dalam bidang dakwah atau korespondeasi dengan beberapa raja dan amir.
2. Aktivitas militer.

Sebelum kita menguraikan aktivitas militer dalam tahapan ini, ada baiknya kita menyaj ikan masalah korespondensi dengan beberapa raja dan amir Sebab sudah barang tentu yang diperiotaskan adalah dakwah Islam, bahkan ini mempakan tujuan sepak terjang orang-orang Muslim, sampai-sampai mereka harus menghadapi musibah dan penderitaan, perang dan cobaan, kegundahan dan keguncangan.

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M