Permulaaan Hijrah
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Kontingen-kontingen Pertama Yang Berhijrah
- Parlemen Quraisy Mendakan Sidang Istimewa di “Darun Nawah”
- Kabilah-kabilah Quraisy yang hadir dalam pertemuan tersebut
- Sidang Parlemen Dan Kesepakatan Terhadap Keputusan Keji Untuk Membunuh Rasulullah ﷺ
1. Kontingen-kontingen Pertama Yang Berhijrah
Setelah Bai’at ‘Aqabah II rampung dilaksanakan dan Islam telah pula sukses membangun sebuah tanah air di tengah-tengah padang sahara yang masih diselimuti oleh gelombang kekufuran dan kejahilan – dan ini merupakan upaya paling kritis yang dialami Islam sejak permulaan dakwah -, Rasulullah akhirnya mengizinkan kaum Muslimin untuk melakukan hijrah ke tanah air (baru) tersebut.
Hijrah tidak saja berarti mengesampingkan kepentingan seseorang, mengorbankan harta dan menyelamatkan jiwanya saja, tetapi harus disertai dengan kesadaran bahwa dirinya juga telah dihalalkan dan terampas, bisa jadi binasa di pangkal perjalanan atau di penghujungnya. Demikian juga, menyadari bahwa dirinya akan berjalan menuju masa depan yang masih tak menentu, dia tidak tahu ketidakstabilan dan kesedihan apa yang nantinya menjadi dampak darinya.
Kaum Muslimin mulai berhijrah, sementara mereka telah mengetahui semua (resiko) itu. Di lain pihak, kaum Musyrikun berupaya menghalang-halangi keberangkatan mereka sebab sudah merasakan apa implikasinya kelak.
Berikut ini beberapa contoh dari momen tersebut:
1. Orang pertama yang berhijrah adalah Abu Salamah. Beliau berhijrah setahun sebelum terjadinya ‘Bai’at ‘Aqabah Kubro’ berdasarkan pendapat Ibn Ishaq. Ikut serta bersamanya, isteri dan putranya. Ketika dia sudah sepakat untuk berangkat, para iparnya berkata, “Kami tidak mengkhawatirkan jiwamu, tetapi apa pendapatmu mengenai wanita kami ini (maksudnya Ummu Salamah), apa jaminannya, jika kami biarkan dia berjalan ke negeri tersebut bersamamu?.” Akhirnya mereka merebut isterinya tersebut dari tangannya. Hal ini membuat marah Keluarga Besar Abu Salamah atas perlakuan terhadap salah seorang anggota keluarga mereka. Mereka lalu berkata, “Kami tidak akan membiarkan putra kami (maksudnya anak mereka berdua, Salamah-red.,) pergi bersama (ibu)-nya saat kalian telah merebutnya dari tangan sahabat kami.” Merekapun akhirnya saling memperebutkan putra dari kedua suami-isteri tersebut sehingga mengakibatkan tangannya copot, lalu (pihak keluarga Abu Salamah) membawanya pergi.
Abu Salamah berangkat sendirian menuju Madinah sedangkan Ummu Salamah radliyallâhu ‘anha setiap pagi sering pergi ke sebuah tempat bernama al-Abthah menangis di sana hingga sore hari. Hal ini dilakukannya setelah kepergian sang suami dan terampasnya sang anak dari tangannya. Tidak terasa setahun pun berlalu dari kejadian itu. Salah seorang kerabat dekat Ummu Salamah tidak tega melihat kondisinya, lalu berkata (kepada sanak keluarganya yang lain-red.,), “Tidakkah kalian keluarkan saja wanita yang sengsara ini? Kalian telah memisahkan antara dirinya, suami dan putranya!!.”
Merekapun akhirnya berkata kepadanya, “Temuilah suamimu jika kamu mau!.” Lalu dia meminta agar putranya dikembalikan kepadanya dari tangan mereka. Akhirnya Ummu Salamah berangkat menuju Madinah, sebuah perjalanan berjarak + 500 km, tidak ada seorang makhluk Allah-pun bersamanya, hingga sampailah dia ke Tan’îm (sebagai Miqat terdekat penduduk Mekkah-red.,). Di sini, dia ditemui oleh ‘Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah. Setelah mengetahui kondisinya, dia mengantarnya hingga sampai ke Madinah. Tatkala ‘Utsman sudah dapat melihat Qubâ`, dia berkata, “Di perkampungan inilah suamimu itu, masuklah semoga Allah memberkatimu.” Kemudian ‘Utsman berpaling untuk kembali menuju Mekkah.
2. Shuhaib bin Sinan ar-Rumiy berhijrah setelah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Ketika hendak berhijrah, kaum Kafir berkata kepadanya, “Saat kamu datang kemari, (sebagai pendatang-red.,) kondisimu miskin dan hina, lalu hartamu menjadi banyak ketika sudah berada di negeri kami dan sekarang kamu telah mencapai kekayaan seperti kondisimu saat ini; apakah setelah itu semua, kemudian kamu mau kabur begitu saja membawa harta dan jiwamu?. Demi Allah, hal itu tidak boleh terjadi!!.”
Dia berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian jika aku serahkan semua hartaku kepada kalian tetapi kalian harus biarkan aku pergi?.”
Mereka menjawab, “Baiklah.”
Dia berkata lagi, “Sesungguhnya aku telah menyerahkan hartaku ini kepada kalian.”
Hal tersebut sampai ke telinga Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam sembari bersabda, “Mudah-mudahan Shuhaib mendapatkan keberuntungan, mudah-mudahan Shuhaib mendapatkan keberuntungan.”
3. ‘Umar bin al-Kkhaththab, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah dan Hisyam bin al-‘Ashiy bin Wa`il berjanji untuk bertemu di suatu tempat pada pagi hari, untuk kemudian akan berhijrah ke Madinah. Lalu bertemulah ‘Umar dan ‘Iyasy terlebih dahulu namun Hisyam tertahan sehingga tidak dapat bertemu dengan keduanya.
Tatkala keduanya sampai di Madinah dan singgah di Qubâ`, datanglah Abu Jahal dan saudaranya, al-Hârits menjumpai ‘Iyasy -ketiganya bersaudara se-ibu-. Keduanya berkata kepadanya, “Sesungguhnya ibumu telah bernadzar tidak akan ada sisir yang menyentuh rambutnya (tidak akan menyisir rambut), dan tidak akan berteduh bila tersengat matahari hingga dia melihatmu.” Hal ini membuat hati ‘Iyasy menjadi iba terhadap ibunya. Lalu ‘Umar berkata kepadanya, “Wahai ‘Iyasy! Demi Allah, sesungguhnya kaummu tidak ingin darimu selain untuk menguji agamamu sehingga kamu terfitnah, berhati-hatilah karenanya!. Demi Allah, andaikata ada seekor kutu yang menggigiti (ubun kepala) ibumu, pasti dia akan menyisirnya dan andaikata panas demikian menyengat di Mekkah, pastilah dia akan berteduh (berlindung).!” Namun ‘Ayyas ngotot untuk keluar bersama kedua saudaranya tersebut sehingga sumpah ibunya tidak jadi dilangsungkan.
Umar berkata kepadanya, “Bila memang kamu sudah bertekad demikian, maka ambillah ontaku ini sebab ia onta yang cerdas dan mudah ditundukkan. Tetaplah diatas punggungnya, jika ada sesuatu yang mencurigakan dari mereka, maka selamatkan dirimu bersamanya.” Lalu dia keluar bersama kedua saudaranya dengan menunggangi onta tersebut hingga ketika sampai di sebagian perjalanan, Abu Jahal berkata kepadanya,
“Wahai anak saudaraku! Demi Allah, ontaku ini sudah membandel, sudikah kamu membiarkan aku duduk diatas ontamu itu, di belakangmu? .”
Dia menjawab, “Tentu saja!.”, lalu dia mengekang ontanya sembari turun agar bisa bergeser. Keduanya-pun melakukan hal yang sama, namun tatkala mereka sudah sama-sama menapakti tanah, serta-merta mereka berdua melompat ke arahnya lalu menambat dan mengikatnya. Kemudian mereka berdua membawanya serta ke Mekkah pada siang hari dalam kondisi terikat.
Keduanya berteriak, “Wahai penduduk Mekkah! Beginilah yang harus kalian lakukan terhadap orang-orang bodoh di kalangan kalian seperti yang kami lakukan terhadap orang bodoh di kalangan kami ini.”
Demikianlah tiga contoh perlakuan kaum Musyrikun terhadap orang yang ingin berhijrah, begitu mereka mengetahuinya, akan tetapi sekalipun demikian, manusia tetap secara berbondong-bondong berangkat, sebagian mengikuti sebagian yang lain. Dan setelah Bai’atul ‘Aqabah berlalu dua bulan beberapa hari, tidak ada lagi seorang Muslim-pun selain Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, Abu Bakar dan ‘Aly yang tersisa di sana. Kedua orang shahabat ini ikut serta tinggal karena perintah dari beliau Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Demikian juga masih tinggal orang yang ditahan oleh kaum Musyrikun secara paksa. Sementara Rasulullah-pun telah mempersiapkan segala sesuatunya menunggu kapan diperintahkan keluar, demikian juga Abu Bakar melakukan hal yang sama.
Imam al-Bukhariy meriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam berkata kepada kaum Muslimin, ‘Sesungguhnya aku telah diperlihatkan Dâr Hijrah (Rumah tujuan hijrah) kalian, sebuah tempat yang ditumbuhi pepohonan kurma, terletak antara dua kawasan yang diselimuti bebatuan hitam.” (Yakni, perbatasan dari arah Timur dan Baratnya-red.,). Akhirnya, berhijrahlah shahabat yang mampu melakukannya menuju Madinah. Sedangkan kaum Muslimin yang masih berada di Habasyah, mayoritasnya segera berhijrah lagi menuju Madinah. Dalam pada itu, Abu Bakar juga sudah berkemas-kemas untuk berangkat menuju Madinah, lalu Rasulullah berkata kepadanya, ‘Jangan terburu-buru dulu, sesungguhnya aku berharap segera diizinkan.’ Abu Bakar balik bertanya kepada beliau, ‘Sungguh, Apakah engkau mengharapkan hal itu?.’ Beliau menjawab, ‘Ya’. Akhirnya Abu Bakar menahan dirinya demi tetap bersama Rasulullah guna menemaninya dan memberi makan kedua onta mereka dengan dedaun yang jatuh. Kondisi tersebut berlangsung selama empat bulan.”
2. Parlemen Quraisy Mendakan Sidang Istimewa di “Darun Nawah”
Begitu kaum Musyrikun melihat betapa para shahabat Rasulullah telah berkemas-kemas untuk berhijrah dengan membawa dan menggiring keturunan dan anak-anak serta harta mereka menuju perlindungan kaum Aus dan Khazraj, maka terjadilah kegemparan di kalangan mereka yang menimbulkan ketidak stabilan dan perasaan bercampur sedih. Perasaan cemas yang selama ini belum pernah mereka alami, kini menghantui mereka. Bahaya nyata dan serius yang akan mengancam sendi-sendi paganis dan ekonomi mereka telah menampakkan wujudnya di hadapan mereka. Mereka mengetahui persis sosok Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang memiliki pengaruh yang begitu besar plus gaya kepemimpinan (leadership) dan pengarahan yang sempurna. Demikian pula dengan tekad bulat, istiqamah serta pengorbanan diri di jalan Allah yang dimiliki oleh para shahabatnya. Belum lagi kekuatan dan ketangguhan yang dikenal dari suku Aus dan Khazraj dan para cendikiawan kedua suku yang memiliki naluri perdamaian dan keshalihan serta mampu mengajak untuk membuang rasa dendam diantara kedua belah pihak setelah selama bertahun-tahun lamanya mereka menelan pahitnya perang saudara.
Kaum Musyrikun juga mengetahui letak strategis kota Madinah untuk lalu-lintas jalur perdagangan yang melewati pinggir pantai Laut Merah dari arah Yaman hingga menuju kawasan Syam. Penduduk Mekkah sejak dari dulu melakukan transaksi dagang sebesar seperempat juta dinar emas per-tahunnya ke kawasan Syam. Jumlah ini di luar hasil bumi yang dimiliki oleh daerah Thaif dan daerah lainnya. Sebagai dimaklumi, bahwa perdagangan hanya berjalan bilamana stabilitas keamanan di jalur perdagangan tersebut terjamin.
Tidak asing lagi tentunya bilamana dakwah Islamiyah sudah berpusat di Yatsrib, maka hal ini akan sangat membahayakan sekali bagi kaum Quraisy, apalagi bila penduduknya berseteru dengan mereka.
Kaum Musyrikun telah merasakan betapa seriusnya bahaya yang akan mengancam kelangsungan sendi kekuasaan mereka. Karenanya, mereka membahas sarana yang paling manjur guna menghadang bahaya tersebut. Bahaya yang sumber utamanya tidak lain adalah pemangku panji Islam, Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Maka, pada hari Kamis, tanggal 26 Shafar 14 kenabian, yang bertepatan dengan bulan september 622 M – yakni setelah lebih kurang dua bulan setengah dari berlangsungnya Bai’at Kubro – parlemen Mekkah (Darun Nadwah) mengadakan pertemuan yang paling kritis dalam sejarahnya, tepatnya pada permulaan siang. Pertemuan ini dihadiri oleh semua perwakilan kabilah-kabilah Quraisy guna mempelajari langkah pasti yang dapat menjamin keberhasilan secara cepat di dalam menghabisi pemangku panji dakwah Islam tersebut dan memutus aliran cahayanya sehingga eksistensinya berakhir untuk selama-lamanya.
3. Kabilah-kabilah Quraisy yang hadir dalam pertemuan tersebut
1. Abu Jahal bin Hisyam, mewakili kabilah Bani Makhzum.
2. Jubair bin Muth’im,
3. Thu’aimah bin ‘Adiy,
4. al-Harits bin ‘Amir (ketiganya mewakili Bani Naufal bin ‘Abdi Manaf)
5. Syaibah bin Rabi’ah,
6. ‘Utbah bin Rabi’ah,
7. Abu Sufyan bin Harb (ketiganya mewakili Bani ‘Abd Syams bin ‘Abdi Manaf)
8. an-Nadlar bin al-Harits, mewakili Bani ‘Abd ad-Dar
9. Abul Bukhturiy bin Hisyam,
10. Zam’ah bin al-Aswad,
11. Hakim bin Hizam (ketiganya mewakili Bani Asad bin ‘Abd al-‘Uzza)
12. Nabih bin al-Hajjaj,
13. Munabbih bin al-Hajjaj (keduanya mewakili Bani Sahm
14. Umayyah bin Khalaf, mewakili Bani Jumah
Tatkala mereka telah berdatangan menuju Darun Nadwah sesuai janji yang telah ditentukan, datanglah Iblis menghadang mereka dalam rupa seorang tua yang berwibawa dan mengenakan pakaian yang tebal. Dia berdiri di depan pintu. Para hadirin itupun menegurnya, “Siapa gerakan bapak tua?.”
Dia menjawab, “Orang tua, penduduk Najd yang telah mendengar perihal tujuan karenanya kalian bertemu. Dia datang bersama kalian untuk mendengar apa yang akan kalian katakan, barangkali saja pendapat dan nasehatnya berguna bagi kalian.”
Mereka berkata, “Baiklah, silahkan masuk!.”
Lalu diapun masuk bersama mereka.
4. Sidang Parlemen Dan Kesepakatan Terhadap Keputusan Keji Untuk Membunuh Rasulullah
Setelah pertemuan dilangsungkan, maka mulailah diajukan beberapa usulan dan solusi serta terjadilah perdebatan yang alot.
Dalam pada itu, Abul Aswad berkata, “Kita usir dia dari tengah-tengah kita dan membuangnya dari negeri ini. Kita tidak perlu peduli, kemana dia pergi dan apa yang kiranya terjadi terhadap dirinya. Dengan demikian, kita telah memperbaiki urusan kita dan mengembalikannya seperti kondisi semula.”
Si orang tua dari Najd menimpali, “Demi Allah, tidak demikian. Ini bukanlah pendapat yang tepat. Bukankah kalian sudah mengetahui betapa indah cara bicaranya, manisnya ucapannya dan betapa kemampuannya menguasai hati-hati manusia terhadap ajaran yang dibawanya? Demi Allah, andaikata kalian lakukan seperti yang diusulkan tadi, niscaya kalian tidak akan dapat menjamin bilamana dia singgah di suatu perkampungan Arab, lantas membawa mereka kepada kalian – setelah mereka tunduk terhadapnya- hingga dia mampu menginjak-injak kalian melalui mereka di negeri kalian ini, untuk kemudian memperlakukan kalian sesuka hatinya. Karenanya, rancanglah pendapat selain ini.”
Lalu Abul Bukhturiy berkata, “Kurung dia di dalam kerangkeng besi, kunci pintunya lalu kalian tunggu apa yang akan dialaminya sebagaimana para penyair sebelumnya seperti Zuhair dan an-Nabighah dan orang-orang dulu selain mereka mati dengan cara ini, sehingga dia juga bisa merasakan apa yang pernah dirasakan oleh mereka itu.”
Si orang tua dari Najd mengomentari, “Demi Allah, tidak juga demikian. Ini bukanlah pendapat yang bagus. Demi Allah, andaikata kalian kurung dia sebagaimana yang kalian katakan, niscaya masalahnya akan mampu keluar dari balik jeruji yang kalian kunci ini berpindah kepada para shahabatnya. Sungguh, mereka pasti akan menyerang kalian, lantas merampasnya dari tangan kalian kemudian datang secara beramai-ramai kepada kalian hinga mengalahkan kalian dan rencana kalian. Karena itu, ini bukanlah pendapat yang tepat, coba pikirkan yang lainnya.”
Setelah parlemen menolak kedua pendapat tersebut, lalu diajukanlah usulan keji yang kemudian disepakati oleh semua anggota. Usulan ini dilontarkan oleh penjahat kelas kakap Mekkah, Abu Jahal bin Hisyam. Dia berkata, “Demi Allah, aku memiliki pendapat yang aku kira belum terpikirkan oleh kalian.”
Mereka bertanya-tanya kepadanya, “Apa gerangan pendapatmu itu, wahai Abul Hakam!.”
“Aku berpendapat bahwa kita harus memilih seorang pemuda yang gagah dan bernasab baik sebagai perantara kita, kemudian kita berikan kepada masing-masing mereka pedang terhunus, lalu mereka arahkan kepadanya, menebasnya secara serentak seakan tebasan satu orang untuk kemudian membunuhnya. Dengan begitu, kita bisa terbebas dari ancamannya. Sebab, bila mereka melakukan hal itu, berarti darahnya telah ditumpahkan oleh semua kabilah sehingga Bani ‘Abdi Manaf tidak akan mampu memerangi semua kabilah. Hasilnya, mereka terpaksa harus rela dengan pertimbangan akal sehat, lalu kitapun akan berbuat yang sama terhadap mereka.”
Si orang tua dari Najd tersebut menimpali lagi, “Pendapat yang tepat adalah pendapat orang ini (maksudnya, Abu Jahal-red.,). Inilah pendapat yang saya kita tidak ada lagi yang lebih tepat darinya.”
Akhirnya parlemen Mekkah pun menyetujui usulan yang keji ini secara sepakat, lalu masing-masing perwakilan kembali ke rumah masing-masing sembari bertekad bulat untuk melaksanakan keputusan tersebut secepatnya.”
Sumber : Sirah Nabawiyah, Kitab Ar-Rahiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury)