Rasulullah Hijrah
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Blokade Terhadap Kediaman Rasulullah ﷺ
- Rasulullah ﷺ Meninggalkan Rumahnya
- Perjalanan Dari Rumah Menuju Gua
- Saat Berdua Di Dalam Gua
- Perjalanan Menuju Madinah
- Peristiwa yang terjadi dalam perjalanan
- Singgah Di Quba`
- Memasuki Kota Madinah
- Beberapa Hukum Dan Pelajaran Dari Peristiwa Hijrah Nabi Ke Madinah
- Khutbah Rasulullah ﷺ dan Piagam Madinah
- Kisah Adzan
- Kisah Tentang Sejumlah Sahabat yang Tertimpa Penyakit
Tatkala keputusan keji untuk membunuh Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah diambil, turunlah malaikat Jibril membawa wahyu Rabb-nya, memberitahukan kepada beliau perihal persekongkolan kaum Quraisy tersebut dan idzin Allah kepada beliau untuk keluar dari Mekkah (berhijrah). Jibril telah menentukan momen hijrah tersebut sembari berkata, “Malam ini, kamu jangan berbaring di tempat tidur yang biasanya.”
Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bertolak ke kediaman Abu Bakar di tengah terik matahari untuk bersama-sama menyepakati tahapan hijrah. ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di kediaman Abu Bakar pada siang hari nan terik, tiba-tiba ada seseorang berkata kepada Abu Bakar,
“Ini Rasulullah datang dengan menutup wajah (bertopeng) pada waktu yang tidak biasa beliau mendatangi kita.”
Abu Bakar berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan untuknya!, demi ada perintah (Allah).”
‘Aisyah melanjutkan, “Lalu Rasulullah datang dan meminta idzin masuk, lantas diidzinkan dan beliaupun masuk. Kemudian Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam berkata kepada Abu Bakar,
“Keluarkan orang-orang yang ada di sisimu!.”
Abu Bakar menjawab, “Mereka hanyalah keluargamu, wahai Rasulullah!.”
Beliau berkata lagi, “Sesungguhnya telah diidzinkan kepadaku untuk keluar (berhijrah).”
Abu Bakar berkata, “Engkau ingin ditemani, wahai Rasulullah?.”
Beliau menjawab, “Ya.”
Dan setelah disepakati rencana hijrah tersebut, Rasulullah pulang ke rumahnya menunggu datangnya malam.
1. Blokade Terhadap Kediaman Rasulullah ﷺ
Para penjahat kelas kakap Quraisy, menggunakan waktu siang mereka untuk mempersiapkan diri guna melaksanakan rencana yang telah digariskan berdasarkan kesepakatan Parlemen Mekkah “Dârun-Nadwah” pada pagi harinya.
Untuk esksekusi tersebut, dipilihlah sebelas orang pemuka mereka, yaitu:
1. Abu Jahal bin Hisyam
2. al-Hakam bin Abil ‘Ash
3. ‘Uqbah bin Abil ‘Ash
4. an-Nadlar bin al-Hârits
5. Umayyah bin Khalaf
6. Zam’ah bin al-Aswad
7. Thu’aimah bin ‘Adiy
8. Abu Lahab
9. Ubay bin Khalaf
10. Nabih bin al-Hajjaj
11. Dan Munabbih bin al-Hajjaj, saudaranya
Ibn Ishaq berkata, “Tatkala malam telah gelap, merekapun berkumpul di depan pintu rumah beliau sembari mengintai kapan beliau bangun sehingga dapat menyergapnya.”
Kebiasaan yang selalu Rasulullah lakukan adalah tidur di permulaan malam dan keluar menuju Masjid Haram setelah pertengahan atau dua pertiganya untuk shalat di sana.
Mereka percaya dan yakin benar bahwa persekongkolan keji kali ini akan membuahkan hasil. Hal ini membuat Abu Jahal berdiri tegak dengan penuh keangkuhan dan kesombongan. Dia berkata kepada para rekannya yang ikut memblokade dengan nada mengejek dan merendahkan, “Sesungguhnya Muhammad mengklaim bahwa jika kalian mengikuti ajarannya, niscaya kalian akan dapat menjadi raja-diraja bangsa Arab dan asing sekaligus. Kemudian kelak kalian akan dibangkitkan setelah mati, lalu dijadikan bagi kalian surga-surga seperti suasana sorgawi di lembah-lembah al-Urdun (Yordania). Jika kalian tidak mau melakukannya, maka dia akan menyembelih kalian, kemudian kalian dibangkitkan setelah mati, lalu dijadikan bagi kalian api yang membakar.”
Tanggal main eksekusi persekongkolan tersebut adalah setelah pertengahan malam saat beliau biasa keluar dari rumah. Mereka melewati malam tersebut dengan berjaga-jaga sembari menunggu pukul 00.00. Akan tetapi, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, di tangan-Nya lah urusan lelangit dan bumi, Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya, Dia-lah Yang Maha Melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi selain-Nya. Dia telah menetapkan janji yang telah difirmankan-Nya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam setelah itu, yang berbunyi (artinya):
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy’) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Q.,s.al-Anfâl:30)
2. Rasulullah ﷺ Meninggalkan Rumahnya
Sekalipun persiapan yang dilakukan oleh kaum Quraisy untuk melaksanakan rencana keji tersebut sedemikian ekstra, namun mereka tetap mengalami kegagalan yang memalukan. Pada malam itu, Rasulullah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah di tempat tidurku, berselimutlah dengan burdah hijau yang berasal dari Hadlramaut, milikku ini. Gunakanlah untuk tidurmu, sebab tidak akan ada sesuatupun yang engkau benci dari mereka yang mampu menjangkaumu.”
Bila akan tidur, biasanya Rasulullah selalu memakai burdah nya tersebut. Malam itu, ‘Ali bin Abi Thalib radliyallâhu ‘anhu tidur di atas ranjang dan kediaman Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Sementara Rasulullah telah berhasil keluar dan menembus barisan-barisan mereka. Beliau memungut setumpuk tanah dari al-Bathhâ`, lalu meneburkannya ke arah kepala mereka. Ketika itu, Allah telah mencabut pandangan mereka dari melihat beliau sehingga tidak dapat melihat beliau. Sedangkan beliau membaca firman-Nya:
“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (Q.,s.Yâsîn:9)
Tidak ada seorang pun yang tersisa. Semuanya beliau taburkan tanah di atas kepalanya. Lalu beliau berlalu menuju kediaman Abu Bakar, kemudian keduanya keluar melalui pintu kecil (celah kecil di bagian belakang) rumah Abu Bakar pada malam hari hingga tembus ke Gua Tsaur yang menuju ke arah ke Yaman.
Para pemblokade tetap menunggu hingga tiba pukul 00.00 dan menjelang tiba waktu tersebut, tanda-tanda kesia-siaan dan kegagalan sudah nampak bagi mereka. Seorang laki-laki yang tidak ikut-serta dalam pemblokadean tersebut datang dan melihat mereka sedang berada di pintu rumah beliau Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Lalu dia menanyai mereka, “Apa gerangan yang kalian tunggu?.”
Mereka menjawab, “Muhammad.”
Dia berkata, “Sungguh telah sia-sia dan merugilah kalian. Demi Allah, dia telah melewati kalian dan menaburkan tanah ke atas kepala-kepala kalian, lalu pergi memenuhi hajatnya.”
Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak melihatnya!.” Sembari mengibas-ngibaskan tanah yang menempel di kepala-kepala mereka.
Akan tetapi mereka mengintip dari arah pintu dan melihat ‘Ali (mereka mengiranya Muhammad-red.,). Lalu berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah Muhammad yang sedang tidur dan masih memakai burdah-nya.”
Merekapun masih tetap menunggu hingga pagi menjelang. ‘Ali bangun dari tempat tidur. Melihat hal ini, mereka menjadi linglung lalu menanyainya perihal Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Dia menjawab, “Aku tidak mengetahui tentangnya.”
3. Perjalanan Dari Rumah Menuju Gua
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam meninggalkan rumah beliau pada malam tanggal 27 shafar tahun 14 kenabian, bertepatan dengan tanggal 12/13 september tahun 622 M. Lalu menuju kediaman rekan setianya, Abu Bakar radliyallâhu ‘anhu – sementara kaum Muslimin mendoakan keaman perjalanan dan hartanya-. Kemudian kedua-duanya meninggalkan rumah Abu Bakar tersebut dengan melewati pintu belakang lantas bersama-sama keluar dari Mekkah secepatnya sebelum fajar terbit.
Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah mengetahui bahwa orang-orang Quraisy akan berupaya keras untuk mencarinya dan jalan yang pertama kali akan disisir oleh mereka adalah jalan utama kota Madinah yang menuju ke arah utara. Oleh karena itu, beliau memilih jalan yang berlawanan arah sama sekali, yaitu jalan yang terletak di selatan Mekkah, yang menuju ke arah Yaman. Beliau menempuh jalan ini sepanjang 5 mil, hingga akhirnya sampai ke sebuah bukit yang dikenal dengan bukit Tsaur. Ia adalah bukit yang tinggi, jalannya terjal, sulit didaki dan banyak bebatuan. Kondisi ini membuat kaki Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam lecet (karena tanpa sandal). Ada riwayat yang menyebutkan, bahkan ketika berjalan di jalur tersebut, beliau bertumpu pada ujung-ujung kaki agar jejak perjalanannya tidak tampak, karenanya kedua kaki beliau jadi lecet. Apapun kondisinya, beliau kemudian harus diemban oleh Abu Bakar ketika mencapai bukit. Dan, Abu Bakar mulai memeganginya dengan kencang hingga akhirnya sampai ke sebuah gua di puncak bukit yang di kemudian hari dikenal oleh sejarah dengan nama Gua Tsaur.
Begitu tiba di gua, Abu Bakar berkata, “Demi Allah, jangan engkau masuk dulu sebelum aku masuk; jika ada sesuatu di dalamnya, maka biarlah aku yang mengalaminya saja. Dia masuk lalu menyapunya. Dia menemukan di sampingnya ada beberapa lubang, lantas menyobek kainnya dan menyumbatnya. Kemudian keduanya tinggal dua lagi, lantas menutupnya dengan kedua kakinya. Beliau kemudian berkata kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, “Masuklah.”. Rasulullah pun masuk dan merebahkan kepalanya di pangkuannya lalu tertidur sementara Abu Bakar disengat pada kakinya dari arah lubang (yang disumbat dengan kakinya tersebut-red.,) namun dia tidak bergerak sedikitpun karena khawatir membangunkan Rasulullah. Kondisi ini membuat air matanya menetes hingga membasahi wajah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Beliau berkata kepadanya, ?da apa denganmu, wahai Abu Bakar?.”
“Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah! Aku telah disengat “, jawabnya.
Lantas Rasulullah meludah kecil ke arah bekas sengatan tersebut sehingga apa yang dirasakannya hilang sama sekali.
Keduanya tinggal di dalam gua tersebut selama tiga malam; dari malam Jum’at, Sabtu hingga malam Ahad. Sementara pada malam-malam itu, ‘Abdullah, putra Abu Bakar mendampingi mereka berdua.
‘Aisyah bertutur, “Dia seorang anak yang sudah menginjak usia baligh, cerdas dan cepat paham. Dia berjalan pada penghujung malam mengunjungi keduanya sehingga dia seakan-akan sama-sama bermalam dengan orang-orang Quraisy. Semua perintah yang disiasati oleh keduanya terhadapnya dapat dicernanya dengan baik. Dia membawa berita tentang hal itu kepada keduanya ketika sudah bercampur gelap. ‘Amir bin Fuhairah, mawla Abu Bakar menggembalakan kambing perah untuk keduanya (Rasulullah dan Abu Bakar-penj.,), dan mengistirahatkannya untuk sesaat di malam hari sehingga keduanya dapat bermalam sembari meminum dari perahan susu kambing tersebut, kemudian ‘Amir bin Fuhairah memanggil keduanya pada akhir malam. Dia melakukan hal itu selama tiga malam tersebut.
Setelah ‘Abdullah bin Abu Bakar pulang ke Mekkah, ‘Amir bin Fuhairah menggiring kambingnya untuk mengikuti jejaknya guna menghapusnya.
Sementara kaum Quraisy semakin menjadi-jadi kegilaannya manakala mengetahui secara pasti pada pagi harinya lolosnya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dari eksekusi persekongkolan yang mereka lakukan. Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah memukuli ‘Ali, menyeretnya ke Ka’bah dan mengurungnya untuk sesaat sebagai upaya mendapatkan informasi tentang keduanya.
Manakala tindakan mereka terhadap ‘Ali tidak membuahkan hasil, mereka mendatangi rumah Abu Bakar lalu mengetuk pintunya. Ketika itu, Asma` biinti Abu Bakar keluar menemui mereka, lantas mereka berkata kepadanya,
“Mana ayahmu?.”
“Demi Allah, saya tidak tahu, kemana ayahku.” Jawabnya.
Abu Jahal mengangkat tangannya – dia ini dikenal orang yang berperangai jorok dan tak senonoh- lantas menampar pipi Asma` dengan sebuah tamparan yang menyebabkan anting-antingnya jatuh.
Di dalam sidang istimewanya, orang-orang Quraisy memutuskan untuk menggunakan berbagai sarana guna menangkap kedua orang tersebut. Mereka menjadikan semua jalur menuju kota Mekkah dari semua penjuru di bawah pengawasan yang superketat dan bersenjata. Selain itu, mereka juga memutuskan untuk memberikan hadiah besar senilai 100 ekor onta sebagai harga mati untuk masing-masing keduanya bagi siapa saja yang dapat membawa keduanya ke hadapan orang-orang Quraisy, apapun kondisinya; dalam keadaan hidup ataupun mati.
Ketika itulah, para pasukan berkuda, pejalan kaki dan pelacak jejak sama-sama bergiat untuk melakukan pencarian dan menyebar sampai ke lereng-lereng perbukitan, lembah, dataran rendah dan tinggi namun hal itu tidak membuahkan hasil dan manfa’at.
Para pelacak tersebut telah sampai pula ke mulut gua akan tetapi Allah Maha Menguasai urusan-Nya.
Imam al-Bukhariy meriwayatkan dari Anas dari Abu Bakar, dia berkata, “Aku berada di sisi Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam di gua, lalu aku mengangkat kepalaku. Ternyata, di situ ada kaki-kaki mereka. Lantas aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Andaikata sebagian mereka menoleh ke bawah pasti dia dapat melihat kita.’ Beliau berkata, ‘Diamlah, wahai Abu Bakar! Kita berdua tapi Yang ketiganya adalah Allah.” Di dalam lafazh riwayat yang lain, ‘Apa pendapatmu, bila ada dua orang sedangkan Yang ketiganya adalah Allah?.’ “
Kejadian tersebut merupakan mukjizat yang dianugerahkan oleh Allah kepada nabi-Nya dalam rangka memuliakannya padahal para pelacak tersebut hanya beberapa langkah lagi mencapai diri beliau.
Manakala spirit untuk mencari sudah mulai mengedur dan aktifitas patroli pemeriksaan sudah dihentikan serta gejolak emosi kaum Quraisy sudah mulai reda setelah secara kontinyu dan serius pelacakan dilakukan selama tiga hari tanpa membuahkan hasil, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dan shahabat setianya tersebutpun keluar menuju Madinah.
Sebelumnya, mereka berdua telah menyewa ‘Abdullah bin Uraiqith al-Laytsiy, yang merupakan gaet berpengalaman di dalam menelusuri jalan. Dia ketika itu masih menganut agama kaum Kafir Quraisy namun keduanya menaruh kepercayaan kepadanya dan menyerahkan kedua onta mereka kepadanya. Setelah itu, mereka berdua membuat perjanjian dengannya untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga malam dengan membawa kedua onta tersebut. Maka, tatkala malam senin, awal bulan Rabi’ul Awwal tahun 1 H atau bertepatan dengan 16 september tahun 622 M, ‘Abdullah bin Uraiqith menemui keduanya dengan membawa kedua onta itu. Ketika itu, Abu Bakar berkata kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, “Wahai Rasulullah, gunakanlah salah satu dari dua ontaku ini.” Dia menyerahkan kepada beliau yang terbaik dari keduanya. Lalu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam berkata kepadanya, ” (Aku bayar) Dengan harga.”
Asma` binti Abu Bakar mendatangi keduanya dengan membawa bekal makanan namun lupa mengikatnya dengan tali. Tatkala keduanya sudah berangkat, dia pergi untuk mengikat bekal makanan tersebut namun ternyata tidak memakai tali, lalu dia menyobek ikat pinggannya menjadi dua bagian, satu bagian dia ikatkan ke bekal makanan tersebut dan yang satu lagi untuk dipakainya. Ketika itulah dia kemudian dijuluki Dzâtun Nithâqain (pemilik dua ikat pinggang).
Kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dan Abu Bakar berangkat, ikut serta juga bersama mereka ‘Amir bin Fuhairah. Mereka semua dibimbing oleh ‘Abdullah bin Uraiqith dengan menempuh jalur pantai (pesisir).
Begitu keluar dari gua, jalur pertama yang dibidiknya untuk membimbing mereka adalah arah selatan menuju Yaman, kemudian ke arah Barat menuju pesisir. Lalu setelah tembus ke jalan yang tidak pernah dijejaki orang, dia menuju arah utara, dekat pinggir pantai Laut Merah. Jalur ini sangat jarang ditempuh orang.
Ibn Ishaq menyebutkan lokasi-lokasi yang pernah dilalui oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam di jalur tersebut. Dia berkata,
” Tatkala gaet (penunjuk jalan) membimbing keduanya keluar, dia membawa mereka berdua menelusuri jalur dataran rendah kota Mekkah, kemudian menempuh kawasan pesisir hingga menjumpai jalan tembus arah bawah dari ‘Asfan, lalu bergerak lagi menuju jalan bawah Amaj, kemudian dia meminta izin kepada keduanya untuk melintas hingga akhirnya menjumpai jalan tembus setelah melintasi Qudaid, kemudian membawa keduanya melintasi dari tempatnya tersebut, lalu mereka menelusuri al-Kharar, lalu menelusuri Tsunayyatul Murrah, lalu berjalan menuju Laqfa, kemudian melewati Mudlijah Laqaf, kemudian membawa keduanya memasuki Mudlijah Mujaj, kemudian menelusuri Marjah Muhaj, kemudian memasuki ke pedalaman Marjah Dzil Ghudlwain, kemudian memasuki Dzi Kasyr, kemudian membawa keduanya menuju al-Jadâjid, lalu al-Ajrad, kemudian menelusuri Dza Salam yang merupakan pedalaman musuh suku Mudlijah Ta’han, kemudian menuju al-‘Abâbid, kemudian melewati al-Fajah, kemudian menuruni al-‘Araj, kemudian menelusuri Tsunayyah al-‘A`ir -posisi kanan Rukubah- hingga akhirnya menuruni pedalaman Ri`m, kemudian akhirnya bersama keduanya tiba di Quba`.”
6. Peristiwa yang terjadi dalam perjalanan
1. Imam al-Bukhariy meriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallâhu ‘anhu, dia berkata, “Kami telah melakukan perjalanan sepajang malam dan dari keesokan harinya hingga hari mencapai suhu udara yang amat terik, jalanan lengang dan tidak satupun pelalu lalang. Lalu aku mengangkat sebuah batu besar yang berukuran panjang dan dapat dinaungi sehingga tidak tersengat oleh terik matahari, lalu kami singgah untuk berteduh di sana. Aku meratakan tempat dengan tanganku sendiri untuk Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam sehingga beliau dapat tidur, lalu aku bentangkan hamparan yang terbuat dari bulu binatang, sembari berkata, “Tidurlah, wahai Rasulullah! Aku akan mengontrol kondisi di sekelilingmu.” Lantas beliau tertidur dan aku mengontrol kondisi di sekelilingnya, tiba-tiba saya melihat seorang penggembala sedang menggiring kambingnya menuju batu besar tersebut juga, dia ingin melakukan seperti yang kami lakukan. Lalu aku bertanya kepadanya, “Kamu menggembalakan untuk siapa, wahai anakku.”
Dia menjawab, “Seorang dari penduduk Madinah.” (Dalam versi lain, “dari penduduk Mekkah.”)
Aku bertanya, “Apakah kambing yang kamu gembalakan ada air susunya?.”
Dia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Apakah dapat diperah?.”
Dia menjawab, “Ya.”
Lalu dia mengambil seekor kambing.
Aku berkata, “Perahlah susunya hingga tidak bersisa dan (hindari) dari tanah, bulu dan debu halus di matanya.”
Lalu dia memerah semua air susu yang terkumpul pada setiap persendiannya. Saya memiliki wadah kecil berisi air dan membawanya kepada Nabi untuk beliau minum dan berwudlu darinya. Aku mendatanginya namun mendapatkannya masih tertidur sehingga aku tidak ingin membangunkannya, lalu setelah beliau terjaga barulah aku memberikannya. Aku menuangkan air ke susu sehingga bagian bawahnya menjadi dingin. Lalu aku berkata, “Minumlah, wahai Rasulullah!.” Dia pun meminumnya hingga aku puas dengan hal itu, kemudian beliau berkata, “Bukankah sudah waktunya berangkat?.”
Aku menjawab, “Benar.”
Dia (Abu Bakar) berkata, “Lalu kamipun berangkat.”
2. Diantara kebiasaan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah selalu membonceng Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Hal ini, karena beliau seorang sepuh yang sudah dikenal sementara Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam masih muda dan belum dikenal. Seorang laki-laki berkata kepada Abu Bakar, “Siapa laki-laki yang bersamamu ini?.”
Dia menjawab,
“Orang ini menunjukiku jalan.”
Maksud Abu Bakar, “menunjuki jalan kebaikan.” Namun orang tersebut mengira hanya sekedar menunjuki jalan (yang ditelusuri).
3. Rasulullah dan Abu Bakar diincar oleh Suraqah bin Malik. Suraqah bertutur, “Tatkala aku sedang duduk-duduk di majlis kaumku, Bani Mudlij, datanglah seorang laki-laki dari mereka hingga berdiri di hadapan kami yang masih duduk-duduk sembari berkata, ‘Wahai Suraqah! Barusan aku telah melihat para musuh di pesisir. Aku kira mereka itu Muhammad dan para shahabatnya. Lalu tahulah aku bahwa memang mereka orangnya. Lantas aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya yang kamu lihat bukan mereka akan tetapi kamu melihat si fulan dan si fulan yang berangkat di depan mata kita. Kemudian aku berdiam di majlis sesaat, lalu berdiri dan masuk lagi. Lantas aku menyuruh budak wanitaku agar mengeluarkan kudaku yang berada di belakang bukit, lalu dia menahannya untukku.
Aku mengambil tombakku lantas keluar melalui bagian belakang rumah, aku membuat garis di tanah dengan kepala tombakku, dan menurunkan bagian atasnya hingga aku menghampiri kudaku lantas menunggangnya. Aku mengendalikannya agar membawaku lebih dekat hingga aku mendekat dari mereka namun kudaku terjungkal sehingga aku terjatuh darinya, lalu aku berdiri sembari tanganku memegangi busur panah lalu mengeluarkan anak-anak panah lantas mengundinya; apakah aku harus mencelakai mereka atau tidak?. Namun undian yang keluar justeru yang tidak aku sukai, lantas aku menunggangi kudaku lagi dan tidak mempedulikan perihal undian yang keluar tadi, kudaku membawaku mendekat hingga bilamana aku mendengar bacaan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam sementara beliau dalam kondisi tidak menoleh, hanya Abu Bakar yang lebih banyak menoleh, maka terperosoklah kedua lengan kudaku ke dalam perut bumi hingga sebatas lutut yang membuatku terjatuh lagi darinya, kemudian aku menderanya, lalu iapun bangkit lagi namun kedua lengannya itu hampir tidak dapat dikeluarkan. Tatkala ia sudah berdiri tegak, tiba-tiba bekas kedua lengannya tadi menimbulkan debu yang mengepul di langit seperti asap, lantas aku mengundi dengan anak-anak panah lagi, namun sekali lagi yang keluar adalah yang justeru aku benci, lantas aku berteriak memanggil mereka bahwa mereka aman. Merekapun menghentikan langkah, lalu aku menunggangi kudaku hingga menemui mereka. Ketika aku bertemu dan mengingat apa yang aku alami barusan saat tertahan dari menjamah mereka, terbersitlah di dalam diriku bahwa apa yang dibawa Rasulullah ini akan mendapatkan kemenangan.
Lalu aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kaummu telah menjadikan tebusan terhadap dirimu.’ Aku juga memberitahukan mereka perihal apa yang akan diinginkan orang-orang terhadap mereka. Lantas aku menawarkan mereka perbekalan dan barang, namun beliau tidak melakukan tawaran terhadapku dan tidak menanyaiku kecuali hanya berkata, ‘Ringankan harganya dari kami.’ Lalu aku memintanya agar menuliskan rekomendasi perlindungan untukku, maka beliau memerintahkan ‘Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya, lalu dia menulisnya untukku pada secarik kulit. Kemudian Rasulullah pun pergi berlalu.”
Dalam riwayat yang lain dari Abu Bakar, dia berkata, “Kami berangkat sementara orang-orang Quraisy menguber kami namun tidak seorangpun yang berhasil menemui kami selain Suraqah bin Malik bin Ju’syum yang menunggangi kudanya. Lalu aku berkata, ‘Pelacakan ini telah mencapai kita, wahai Rasulullah!.’ Lantas beliau membaca firman-Nya (artinya), ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.'[Q.s.,at-Taubah:40] “
Suraqah kemudian pulang dan mendapatkan orang-orang masih mengadakan pencarian. Lalu dia berujar, “Aku sudah mendapatkan berita pasti tentangnya untuk kalian, sehingga sudah cukuplah bagi kalian hingga disini.” Dalam hal ini, di pangkal hari dia sebelumnya sebagai orang yang gigih mencari (menguber) keduanya namun di penghujungnya justeru menjadi pelindung bagi keduanya.
4. Dalam perjalanannya tersebut, beliau melewati kemah Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah. Dia seorang wanita yang cerdas dan pekerja ulet, sudah terbiasa hidup di halaman kemahnya, kemudian memberi makan dan minum pelalu lalang di sana. Lantas mereka berdua bertanya kepadanya apakah dia memiliki sesuatu?.
Dia menjawab, “Demi Allah, andaikata kami memiliki sesuatu niscaya kami tidak akan kikir menjamu kalian apalagi orang yang menginginkannya adalah seorang asing.” Ketika itu merupakan tahun paceklik.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam memandang ke arah seekor domba yang ada di samping kemah, sembari bertanya, “Bagaimana kondisi domba ini, wahai Ummu Ma’bad?.”
Dia menjawab, “Ia adalah domba yang tak mampu lagi mencari makan.”
Beliau bertanya, “Apakah ia masih memiliki air susu?.”
Dia menjawab, “Bahkan kondisinya lebih parah lagi.”
Beliau berkata, “Apakah kamu mengizinkanku untuk memerah susunya?.”
“Ya, wahai Rasulullah. Bila engkau melihat ia memang memiliki air susu, maka perahlah.”
Lalu Rasulullah memerah putingnya dengan tangannya, membaca Bismillah dan berdoa. Maka mengembanglah putingnya dan mengalirlah air susunya dengan banyak. Lalu beliau mengambil bejana milik Ummu Ma’bad yang biasa disuguhkan kepada rombongan pejalan. Beliau memerahkan ke dalamnya hingga domba itu mengoak kencang, lalu beliau memberinya minum dan minumlah ia hingga kenyang, kemudian beliau memberi minum para shahabatnya hingga merekapun kenyang, kemudian barulah beliau minum. Setelah itu, beliau memerahnya lagi hingga bejanapun penuh, kemudian dia menyisakannya untuk Ummu Ma’bad dan merekapun berangkat.
Tak berapa lama datanglah suaminya, Abu Ma’bad, menggiring kambing-kambing yang kurus lagi kerempeng. Tatkala melihat ada air susu, dia terkejut sembari bertanya, “Dari mana engkau dapatkan ini? Padahal yang menginginkannya itu adalah orang asing dan di rumah tidak ada susu?.”
Sang isteri menjawab, “Demi Allah, tidak demikian. Hanya saja barusan seorang laki-laki yang diberkahi melewati perkemahan kita. Diantara ucapannya begini dan begini, kondisinya begini dan begini.”
Suaminya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku berpendapat dia adalah orang yang dicari-cari oleh orang-orang Quraisy. Tolong kamu sebutkan ciri-cirinya kepadaku, wahai Ummu Ma’bad!.”
Lalu dia menyebutkan ciri-cirinya yang memiliki sifat yang menawan hati, ucapan yang mempesona seakan orang yang mendengarnya melihatnya langsung di hadapannya. Dalam hal ini, kami akan memaparkan penjelasan mengenai ciri-ciri fisik beliau Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam pada halaman-halaman terakhir buku ini.
Lalu Abu Ma’bad berkata, “Demi Allah, inilah orang yang urusannya disebut-sebut oleh orang-orang Quraisy. Aku ingin sekali menemaninya dan berniat akan melakukan hal itu bila ada kesempatan. Lalu mereka mendengar suara melengking di Mekkah sementara mereka tidak dapat melihat pengucapnya,
Semoga Allah, Rabb ‘Arasy membalasnya sebaik-baik balasan
Dua sejawat telah singgah di kemah Ummu Ma’bad
Keduanya mampir membawa dan berangkat dengan kebajikan
Sungguh beruntunglah orang yang menjadi pendamping Muhammad
Wahai orang yang jauh, tidaklah Allah palingkan dari kalian
Prilaku baik dan kehormatan diri yang tiada tertandingi
Untuk menghinakan Bani Ka’b menggantikan pemudi mereka
Posisinya mendapat perhatian oleh kaum Mukminin
Tanyakan wanita kalian perihal domba dan bejananya
Sungguh jika kalian tanyakan domba, maka ia akan bersaksi
Asma’ berkata, “Kami tidak mengetahui ke mana Rasulullah pergi tatkala laki-laki dari bangsa Jin menyongsong dari arah bawah Mekkah, lalu melantunkan untaian bait-bait ini, sementara orang-orang mengikutinya dan mendengarnya namun tidak dapat melihatnya hingga kemudian dia muncul dari arah atasnya.”
Dia melanjutkan, “Tatkala kami mendengar ucapannya, tahulah kami ke mana Rasulullah pergi, yaitu ke arah Madinah.”
5. Di dalam perjalanan, Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bertemu dengan Buraidah al-Hashib al-Aslamiy yang membawa serta bersamanya 80 keluarga. Dia menyatakan keislamannya bersama mereka. Rasulullah melakukan shalat ‘Isya, lalu mereka bermakmum dengan beliau. Buraidah tinggal di negeri kaumnya hingga seusai perang Uhud, barulah mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Dari ‘Abdullah bin Buraidah bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam selalu optimis dan tidak pernah memiliki kepercayaan “Thiyarah” (percaya kepada pertanda baik atau buruk berdasarkan arah terbang burung). Buraidah berangkat bersama 70 orang penunggang kuda dari sukunya, Bani Sahm. Lalu dia menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, lantas beliau bertanya kepadanya, “Dari siapa kamu?.” Dia menjawab, “Aslam.” Lalu beliau berkata kepada Abu Bakar, “Kita telah selamat.”
Kemudian beliau berkata lagi, “Dari Bani apa?.” Dia menjawab, “Bani Sahm.” Beliau berkata, “Kalau begitu, telah keluarlah Sahm-mu (bagian dari perolehan ghanimah Uhud).
6. Rasulullah melewati Abu Aus, Tamim bin Hajar (dalam versi riwayat yang lain, Abu Tamim, Aus bin Hajar) di suatu tempat bernama Qahdâwât yang terletak antara Jahfah dan Harsyi – di ‘Araj -. Beliau telah membuat jalan onta menjadi lamban karena bersama-sama Abu Bakar menunggangi satu onta saja. Lalu Aus membawanya ke onta jantan miliknya dan mengirim seorang budaknya bersama mereka berdua. Budak ini bernama Mas’ud. Dia berkata kepada budaknya ini, “Telusurilah jalan bersama keduanya karena kamu banyak mengetahui seluk-beluk jalan dan jangan berpisah dengan mereka.” Lalu dia menelusuri jalan bersama mereka berdua hingga membawa keduanya memasuki Madinah. Kemudian, Rasulullah mengembalikan Mas’ud kepada tuannya dan menyuruhnya agar meminta Aus menghiasi ontanya di bagian leher dengan tali kuda, yaitu dua lingkaran, lalu beliau memanjangkan antara keduanya, maka jadilah ia sebagai ciri khas mereka. Tatkala kaum Musyrikun datang saat perang Uhud, Aus mengirim budaknya, Mas’ud bin Hunaidah dari arah ‘Araj dengan berjalan kaki untuk memberitahukan perihal orang-orang Quraisy tersebut kepada Rasulullah. Hal ini disebutkan oleh Ibn Mâkula dari ath-Thabariy. Mas’ud ini sudah masuk Islam setelah kedatangan Rasulullah di Madinah dan tinggal di ‘Araj.
7. Di dalam perjalanan juga, tepatnya di sebuah pedalaman Rîm, Rasulullah berjumpa dengan az-Zubair yang ikut dalam rombongan kaum Muslimin. Mereka ini adalah para pedagang yang ingin berangkat menuju kawasan Syam. Lalu az-Zubair mengenakan untuk Rasulullah dan Abu Bakar pakaian yang putih.
Pada hari senin, 8 Rabi’ul Awwal tahun 14 dari kenabian, yaitu tahun pertama dari Hijrah. Yaitu bertepatan dengan 23 September 622 M, Rasulullah pun singgah di Quba`.
‘Urwah bin az-Zubair berkata, “Kaum Muslimin di Madinah mengetahui keluarnya Rasulullah dari Mekkah. Setiap pagi, mereka pergi ke al-Harrah (tapal perbatasan) menunggu kedatangan beliau hingga mereka terpaksa harus pulang karena teriknya matahari. Suatu hari mereka juga terpaksa pulang setelah lama menunggu kedatangan beliau. Tatkala mereka sudah beranjak ke rumah masing-masing, seorang laki-laki Yahudi mengintip dari salah satu tembok rumah mereka untuk mengetahui urusan yang ditunggu-tunggu tersebut, lalu dia melihat Rasulullah dan para shahabatnya yang dalam kondisi cerah seakan fatamorgana perjalanan telah hilang, maka orang Yahudi ini tidak dapat menahan untuk berteriak sekencang-kencangnya, “Wahai kaum Arab! Ini apa yang kamu tungggu sudah datang.” Kaum Musliminpun serta-merta bangkit membawa senjata. Mereka menemui Rasulullah di tapal perbatasan itu.
Ibn al-Qayyim berkata, “Dan terdengarlah suara bercampur-aduk dan pekik takbir di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf. Kaum Muslimin memekikkan takbir sebagai ungkapan kegembiraan atas kedatangan beliau dan keluar menyongsong beliau. Mereka menyambut dengan salam kenabian, mengerumuni beliau sembari berkeliling di seputarnya sementara ketenangan telah menyelimuti diri beliau dan wahyupun turun. Allah berfirman (artinya), “maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.” (Q.s., at-Tahrîm:4)
‘Urwah bin az-Zubair berkata, “Maka mereka menemui Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, lantas beliau bersama mereka berjalan berbarengan ke arah kanan hingga singgah di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf. Hal ini terjadi pada hari Senin, bulan Rabi’ul Awwal. Abu Bakar berdiri menyongsong orang-orang sementara Rasulullah duduk dan diam. Maka orang-orang yang datang dari kalangan Anshor dan belum pernah melihat Rasulullah mengucapkan salam (mendatangi) Abu Bakar (karena mengira dia adalah Rasulullah-penj.,) hingga kemudian sinar matahari mengenai Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Karenanya, Abu Bakar langsung menghadap beliau dan menaungi beliau dengan pakaiannya. Maka ketika itu, tahulah orang-orang siapa Rasulullah.”
Seisi Madinah semuanya berangkat untuk menyambut. Ketika itu memang betul-betul hari yang dipersaksikan. Momen yang tidak pernah disaksikan oleh Madinah sepertinya sepanjang sejarahnya. Orang-orang Yahudi telah melihat kebenaran berita gembira yang diinformasikan oleh Habqûq, Nabi mereka, yang menyebutkan, “Sesungguhnya Allah datang dari at-Tîmân dan al-Qaddus datang dari bukit Fârân.”
Di Quba`, Rasulullah singgah di kediaman Kultsum bin al-Hadm. Dalam versi riwayat yang lain tertulis ‘Sa’d bin Khaitsamah namun riwayat pertama lebih valid. Sementara ‘Aliy bin Abi Thalib tinggal di Mekkah selama tiga kali sehingga dia bisa menggantikan Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dalam menunaikan titipan-titipan orang-orang yang diamanahkan kepada beliau. Kemudian barulah dia berhijrah dengan berjalan kaki hingga akhirnya berjumpa dengan keduanya di Quba` dan singgah juga di kediaman Kultsum bin al-Hadm.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam tinggal di Quba` selama empat hari; Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Selama itu, beliau mendirikan Masjid Quba` dan shalat di dalamnya. Inilah masjid pertama yang didirikan atas pondasi Taqwa setelah kenabian. Maka begitu masuk hari ke-lima, yakni Hari Jum’at, beliaupun berangkat lagi atas perintah Allah bersama Abu Bakar yang memboncengnya. Beliau juga mengutus orang untuk menemui Bani an-Najjar -para paman beliau dari pihak ibundanya-. Merekapun datang dengan menghunus pedang. Beliau berjalan menuju al-Madinah namun ketika di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf, waktu Jum’at sudah masuk, lalu beliau melakukan shalat Jum’at bersama mereka di Masjid yang berada di perut lembah itu. Mereka semua berjumlah seratus orang laki-laki.
Seusai shalat Jum’at, Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam memasuki kota al-Madinah. Dan dari sejak hari itu, kota Yatsrib dinamakan dengan Madinatur Rasul Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam (kota Rasulullah) yang kemudian diungkapkan dengan al-Madinah supaya lebih ringkas. Hari itu adalah hari bersejarah yang amat agung. Rumah-rumah dan lorong-lorong ketika itu bergemuruh pekikan Tahmid dan Taqdis (penyucian). Wanita-wanita Anshor menyanyikan bait-bait berikut sebagai ekspresi kegembiraan dan keriangan. *
Bulan Purnama telah menyinari kita
dari Tsaniyyatul Wadâ’
Kita wajib bersyukur
Selama ada yang berdoa kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau telah membawa perkara yang dita’ati
Sekalipun orang-orang Anshor bukan orang-orang yang serba berkecukupan (kaya raya) namun masing-masing individu bercita-cita rumahnya disinggahi oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Saat melewati satu per-satu rumah orang-orang Anshor, mereka mengambil tali onta beliau, begitu juga perbekalan, perlengkapan, senjata dan tameng. Setiap mereka lakukan demikian, beliau selalu berkata kepada mereka, “Biarkan ia lewat karena ia telah diperintahkan (sesuai kehendak Allah-penj.,). Onta ini masih saja berjalan bersama Rasulullah yang menungganginya hingga mencapai lokasi masjid Nabawi sekarang ini, lalu ia duduk sementara beliau belum turun darinya hingga ia bangkit lagi dan berjalan sedikit lagi, kemudian ia menoleh lantas kembali lagi dan duduk di posisi semula. Barulah beliau turun darinya. Itu adalah kediaman Bani an-Najjar, para paman beliau dari pihak ibundanya. Hal tersebut merupakan taufiq Allah kepada mereka. Sesungguhnya beliau sangat ingin singgah di rumah para pamannya tersebut agar dapat memuliakan mereka dengan hal itu. Orang-orang menawari Rasulullah agar singgah di kediaman mereka. Lalu Abu Ayyub al-Anshoriy bergegas mengambil sarung pelana milik beliau dan membawanya masuk ke rumahnya. Maka, Rasulullah berkata, “Seseorang akan ikut bersama sarung pelananya.” Lantas datanglah As’ad bin Zurarah sembari mengambil kendali ontanya yang kebetulan berada di sisinya.
Dan dalam riwayat Anas pada Shahîh al-Bukhariy disebutkan, “Nabi Allah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam berkata, ‘Mana rumah keluarga kami yang lebih dekat?.’ Maka berkatalah Abu Ayyub, ‘Aku wahai Rasulullah! Ini rumahku dan ini pintunya.’ Kemudian dia pergi, lalu disiapkanlah untuk kami tempat tidur siang. Beliau berkata, ‘Bangunlah kalian berdua atas berkah Allah.'”
Setelah beberapa hari, sampai pula isteri beliau, Saudah; kedua putri beliau, Fathimah dan Ummu Kultsum; Usamah bin Zaid dan Ummu Ayman. Bersama mereka juga berangkat ‘Abdullah bin Abu Bakar beserta keluarga besar Abu Bakar, diantarannya ‘Aisyah. Sementara Zainab masih tinggal bersama Abul ‘Ash, suaminya. Dia tidak dapat berangkat hingga usai perang Badar, barulah dapat melakukannya.
‘Aisyah menuturkan, “Tatkala Rasulullah tiba di al-Madinah, Abu Bakar dan Bilal diserang sakit, lalu aku mengunjungi keduanya sembari berkata, ‘Wahai ayahanda! Bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal! Bagaimana keadaanmu?.’ Bila diserang demam, Abu Bakar selalu bersenandung,
Setiap orang selalu berada di sisi keluarganya
Sementara kematian lebih dekat dari pada tali sandalnya
Sementara bila demam sudah hilang dari Bilal, dia mengencangkan suaranya sembari melantunkan,
Semoga saja aku menghabiskan suatu malam
Di suatu lembah dan disekelilingku ‘Idzkhir’ dan orang mulia
Semoga saja suatu hari aku membawa air dari Majinnah
Semoga saja tanda dan bayangan tampak bagiku
‘Aisyah berkata, “Lalu aku mendatangi Rasulullah sembari menginformasikannya. Beliaupun bersabda, ‘Ya Allah, anugerahilah kecintaan terhadap al-Madinah kepada kami sebagaimana kecintaan kami kepada Mekkah bahkan lebih dari itu lagi, jadikanlah ia tempat yang sehat, berkahilah sha’ dan mudd (timbangan) penduduknya serta pindahkanlah penyakit demam yang ada di dalamnya ke Jahfah.”
Hingga disini, berakhirlah satu bagian dari kehidupan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dan rampunglah fase Dakwah Islamiyyah, yang merupakan fase Mekkah.
* Ibn al-Qayyim menyebutkan bahwa sya’ir-sya’ir tersebut dilantunkan sekembalinya beliau Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dari Tabuk dan menganggap orang yang mengatakan hal itu dilakukan ketika beliau mendatangi al-Madinah adalah Wahm (ngawur). Lihat, Zâdul Ma’âd, Ibid., (III:10). Akan tetapi Ibn al-Qayyim tidak menguatkan statementnya bahwa itu wahm dengan argumentasi yang memuaskan. Dalam pada itu, al-‘Allamah al-Manshurfuriy telah menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hal itu terjadi ketika kedatangan Nabi di al-Madinah dan argumentasi-argumentasinya cukup meyakinkan. Lihat, Rahmatan Lil ‘Alamîn, (I:106)
9. Beberapa Hukum Dan Pelajaran Dari Peristiwa Hijrah Nabi Ke Madinah
Pada khuthbah yang disampaikan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam di hari penaklukan Mekkah dinyatakan bahwa “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Mekkah akan tetapi hanya ada jihad dan niat” (HR.Bukhari). Jadi hijrah dari Mekkah ke Madinah tidak lagi dihitung wajib sekalipun hukumnya tetap wajib dari negeri kafir ke negeri-negeri Islam hingga Hari Kiamat.
Hijrah ke Madinah disyari’atkan agar kaum Muslimin dapat dengan bebas beribadah kepada Rabb mereka dengan rasa aman, mendirikan pilar negara Islam dan menjaganya, untuk kemudian memperluas wilayah negara ini melalui dakwah kepada Allah. Sementara berhijrah setelah penaklukan Mekkah tidak begitu penting lagi karena eksistensi Islam sudah kuat dan kaum Muslimin sudah memiliki negara sehingga keberadaan kaum Muslimin di negeri mereka sendiri adalah lebih efektif untuk menjalankan syi’ar-syi’ar Islam dan menyebarkan ajarannya di seluruh pelosok negeri.
Sementara jihad tetap berjalan hingga hari Kiamat. Oleh karena itu, setelah penaklukan, Rasulullah membai’at kaum Muslimin atas Islam, iman dan jihad dan tidak membai’at mereka atas hijrah.
Mengenai hal ini, Ibn ‘Umar radiayallah anhu, menjelaskan, “Hijrah terputus setelah penaklukan pada masa Rasulullah sementara ia tetap berlaku selama masih ada orang-orang Kafir yang diperangi.” Maknanya, selama di dunia ini masih ada Dar Kafir, maka hijrah masih wajib bagi orang yang masuk Islam dan khawatir terjadi fitnah terhadap diennya.
Dalil penguat atas statement ini adalah firman Allah Ta’ala pada ayat 97-98, surat an-Nisa`.
Dengan demikian, momentum berdirinya Negara Islam di Madinah dan kebutuhan akan bala tentara yang bertindak melindunginya menuntut diwajibkannya hijrah ke Madinah bagi setiap Muslim yang mampu.
Al-Khaththabi berkata, “Hijrah ke Madinah dilakukan pada masa beliau Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam untuk mendampingi beliau berperang dan mempelajari syari’at Islam. Allah Ta’ala telah menegaskan masalah ini dalam beberapa ayat sampai-sampai memutus permberlakukan hak saling melindungi antara orang yang berhijrah dan tidak berhijrah. Yaitu dalam firman-Nya (artinya) “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah” (Q.s., al-Anfal:72). Tatkala Mekkah berhasil ditaklukkan dan orang-orang secara berbondong-bondong masuk Islam dari seluruh kabilah, maka gugurlah kewajiban berhijrah namun hukumnya tetap dianjurkan.”
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa bilamana ada diantara negara-negara kafir itu yang lebih memberikan perlindungan dan kebebasan kepada seorang Muslim di dalam menjalankan diennya dan dakwah, maka ia lebih pantas untuk dijadikan tempat menetap bila mana jalan ke arah itu memungkinkan bagi si Muslim dan tidak wajib baginya berhijrah karena negeri-negeri ini sudah seperti Dar Islam. Jadi menetap di sana lebih baik ketimbang meninggalkannya karena lebih diharapkan ada orang lain yang nantinya masuk Islam.”
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam menggunakan segala faktor-faktor pendukung dan sarana-sarana materialistik yang secara alami akal manusia memang menghajatkannya di dalam menghadapi permasalahan seperti itu. Tindakan berhijrah itu dilakukan beliau, bukan karena faktor takut dirinya celaka atau ragu kemungkinan dirinya jatuh ke tangan kaum Musyrikin, akan tetapi ini adalah pensyari’atan bagi umat agar mereka meneladani beliau sehingga dalam setiap perbuatan mereka, selalu berpegang kepada faktor-faktor pendukungnya.
Adalah sunnatullah, bahwa sebab ada bila ada penyebabnya selama Allah tidak membatalkan hal itu sebagaimana yang diperbuat-Nya ketika api Dia jadikan dingin dan keselamatan bagi Ibrahim alaihi sallam.,. Bila yang terjadi seperti ini, maka ini merupakan bagian dari mukjizat Nabi dan keramat bagi orang-orang Shalih serta istidraj (perdayaan) bagi orang-orang yang tidak shalih dari kalangan manusia. Buktinya, setelah beliau melakukan semua faktor-faktor pendukung yang bersifat materialistik tersebut, beliau menjadi tenang sementara sahabat beliau, Abu Bakar masih diliputi kecemasan. Konsekuensi dari ketergantungan kepada berbagai sarana kehati-hatian itu setidaknya masih menyisakan sedikit rasa takut dan cemas. Jadi, semua sarana kehati-hatian itu adalah tidak lain merupakan bagian dari tugas pensyari’atan yang harus beliau lakukan. Maka tatkala beliau selesai menjalankannya, hati beliau kembali tertaut dengan Allah Ta’ala, bergantung kepada perlindungan dan taufiq-Nya. Hal itu agar kaum Muslimin mengetahui bahwa ketergantungan di dalam segala sesuatu tidak pantas kecuali kepada Allah Ta’ala semata dan itu tidak menafikan pengambilan faktor-faktor pendukung dan tadbir untuk mencapai tujuan.
Kesediaan ‘Ali untuk tidur di ranjang Rasulullah menggantikan beliau pada malam hijrah tercatat sebagai keutamaan pribadinya yang amat besar dan menunjukkan keimanan serta keberaniannya. Ini juga menunjukkan bolehnya menipu musuh dan mengelabui mereka, bila hal itu dilakukan sebagai salah satu upaya mendapatkan faktor-faktor keselamatan.
Peran yang dimainkan para pemuda di dalam melaksanakan rencana Rasulullah untuk berhijrah, seperti peran ‘Ali dan putera-putera Abu Bakar dianggap sebagai peran teladan dan baik sekali dari para pemuda Islam tersebut.
Sesungguhnya mukjizat-mukjizat yang ditampakkan Allah untuk melindungi Nabi-Nya di dalam rihlah tersebut datang sebagaimana mukjizat yang lainnya, sebagai bagian dari pemuliaan kepada Rasulullah dan isyarat bahwa Allah adalah Penolongnya dan akan memantapkan diennya di muka bumi, baik dalam waktu yang lama ataupun singkat.
Demikian juga, peran yang dilakukan Abu Bakar di dalam hijrah, tercatat sebagai keutamaan pribadinya yang terbesar. Sebenarnya, sudah cukup baginya sebagai kemuliaan bahwa dirinya disinggung di dalam al-Qur’an berkenaan dengan hal itu, dalam firman-Nya (artinya), “Dua orang ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:”Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita.” (Q.s.,at-Tawbah:40)
Bila kita merenungi kisah Abu Ayyub dan isterinya di dalam bertabarruk (mengambil berkah) dari bekas-bekas (peninggalan-peninggalan) Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dan persetujuan beliau atas hal itu, maka jelaslah bagi kita disyari’atkannya mencari berkah dari semua bekas-bekas (peninggalan-peninggalan) beliau, bila masih ada. (Lihat: at-Tawassul: Anwâ’uhu Wa Ahkâmuhu, karya Syaikh al-Albâniy:142-147)
Sikap yang ditunjukkan Abu Ayyub al-Anshariy dan isteri menunjukkan betapa kecintaan para shahabat terhadap diri Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam . Dan ini merupakan gambaran yang terus terjadi sepanjang sirah Nabawiyyah.
Keengganan Rasulullah memakan bawang merah merupakan salah satu hal yang khusus bagi beliau saja, sebab pada dasarnya beliau menghalalkannya bagi kaum Muslimin dengan syarat tidak memakannya ketika akan ke masjid kecuali bila sudah hilang baunya. Rasulullah sendiri memberikan pengarahan akan hal itu, yaitu bahwa barang siapa yang ingin memakan bawang merah, maka hendaknya dia mematikan (bau)nya dengan cara dimasak. (SUMBER: as-Sîrah an-Nabawiyyah Fî Dlaw`i al-Mashâdir al-Ashliyyah, karya Dr.Mahdiy Rizqullah Ahmad, h.288-291)
10. Khutbah Rasulullah dan Piagam Madinah
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam memasuki kota Madinah pada bulan Rabi’ul Awal dan menetap di sana. Kemudian pada bulan Shafar tahun berikut beliau membangun masjid dan tempat tinggal beliau. Lalu kaum Anshar yang merupakan penduduk asli kota Madinah berbondong-bondong masuk Islam sehingga tidak tersisa satu rumah pun melainkan penghuninya telah memeluk Islam. Kecuali beberapa kabilah seperti Khatmah, Waqif, Wail dan Umayyah, mereka adalah kabilah dari suku Aus. Mereka tetap bersikeras di atas kemusyrikan.
Khutbah pertama yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam -menurut riwayat yang sampai kepadaku dari Abu Salamah bin Abdurrahman dan aku berlindung kepada Allah dari mengada-ada atas nama Rasulullah- adalah beliau berdiri di hadapan mereka lalu mengucapkan hamdalah dan memuji Allah Ta’ala kemudian berkata:
“Amma ba’du, wahai sekalian manusia, persiapkanlah bekal untuk dirimu kelak. Demi Allah ketahuilah bahwa masing-masing kalian akan dikejutkan dengan kematian hingga ia meninggalkan kambing-kambingnya tanpa penggembala. Kemudian Allah akan berbicara kepadanya tanpa melalui penerjemah dan tanpa penghalang: “Bukankah rasul-Ku telah datang kepadamu dan menyampaikannya kepadamu? Bukankah Aku telah mencurahkan harta kepadamu dan Aku lebihkan bagimu? Lalu apa yang telah engkau lakukan untuk bekal dirimu?” Ia menoleh ke kanan dan ke kiri namun ia tidak melihat apapun. Lalu ia melihat ke depan namun yang terlihat olehnya hanyalah Neraka jahannam. Maka barangsiapa dapat menjaga wajahnya dari api Neraka meskipun dengan sebiji kurma hendaklah ia lakukan. Bagi yang tidak punya maka cukup dengan perkataan yang elok. Karena setiap kebaikan akan dilipatganda-kan pahalanya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.”
As-Salaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Dalam kesempatan berikutnya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam berkhutbah:
“Segala puji hanyalah milik Allah semata, saya memujiNya, memohon pertolongan kepadaNya dan berlindung kepadaNya dari keburukan diri kami dan dari kejelekan amal kami. Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan olehNya niscaya tidak ada satu pun yang dapat memberinya hidayah. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata tiada sekutu bagiNya. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sungguh beruntunglah orang yang Allah hiasi hatinya dengan Kitabullah dan memasukkannya ke dalam Islam setelah kekafirannya serta lebih memilih Kitabullah daripada perkataan-perkataan manusia. Karena sesungguhnya Kitabullah adalah sebaik-baik dan seindah-indah perkataan.
Cintailah apa yang dicintai Allah dan cintailah Allah dengan sepenuh hati kalian, janganlah kalian bosan membaca Kalamullah dan dzikrullah. Dan janganlah sampai hati kalian mengeras, karena Allah akan memilih dan mengistimewakan dari setiap apa yang telah dicipta-kanNya. Allah telah menamakannya sebagai amal yang terpilih dan terbaik
{Yaitu Allah telah menamakan dzikir dan tilawah Al-Qur’an sebagai amal-amal pilihan yang terbaik, dalilnya firman Allah: “Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (Al-Qashash: 68)}
Dan mengistimewakan sebagian hambaNya {Yaitu Allah menamai sebagian hambaNya dengan Mushthafa (hamba pilihan)}.
Cintailah perkataan yang baik dan cintai juga perkara halal dan haram yang telah ditetapkan bagi kalian. Sembahlah Allah semata janganlah berbuat syirik kepada-Nya. Bertakwalah dengan sebenar-benar takwa. Jujurlah karena Allah dalam bertutur kata. Dan hendaklah kalian saling mencintai karena Allah. sesungguhnya Allah pasti marah bila perjanjianNya dilanggar.” Was salamu ‘alaikum.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam menulis sebuah piagam buat kaum Muhajirin dan Anshar berisi perjanjian damai dengan kaum Yahudi di Madinah, Rasulullah membiarkan mereka tetap memeluk agama mereka dan tidak mengusik harta benda mereka. Rasulullah menetapkan beberapa persyaratan kepada mereka, beliau menulis sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim,
Ini adalah kitab yang ditulis oleh Muhammad Nabiyullah buat kaum mukminin muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib, orang-orang yang mengikuti dan menyertai mereka serta berjuang bersama mereka. Bahwa mereka adalah umat yang satu. Kaum Muhajirin Quraisy tetap sebagaimana status mereka dahulu (Yakni status sebelum masuk Islam), saling bantu-membantu dalam membayar diyat di antara mereka serta menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin. Bani ‘Auf juga sebagaimana status mereka dahulu saling bantu memban-tu dalam membayar diyat sebagaimana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin.
Bani Sa’idah juga sebagaimana status mereka dahulu saling bantu membantu dalam membayar diyat sebagaimana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin.
Bani Al-Harits juga sebagaimana status mereka dahulu saling bantu membantu dalam membayar diyat sebagai-mana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin.
Bani Jusyam juga sebagaimana status mereka dahulu saling bantu membantu dalam membayar diyat sebagaimana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin.
Bani An-Najjar juga sebagaimana status mereka dahulu saling bantu membantu dalam membayar diyat sebagaimana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin.
Bani Amru bin ‘Auf juga sebagaimana status mereka dahulu saling bantu membantu dalam membayar diyat sebagaimana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin.
Bani An-Nabiit juga sebagaimana status mereka dahulu saling bantu membantu dalam membayar diyat sebagaimana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin. Bani Al-Aus juga sebagaimana status me-reka dahulu saling bantu membantu dalam membayar diyat sebagaimana dahulu, setiap kelompok menebus saudara mereka yang tertawan dengan cara yang ma’ruf dan adil terhadap kaum mukminin.
Sesungguhnya kaum mukminin tidak membiarkan saudaranya terlilit utang dan tanggungan yang berat dengan memberikan secara ma’ruf bantuan kepadanya dalam membayar tebusan ataupun diyat. Dan tidak mengikat perjanjian dan transaksi apapun terhadap budak saudaranya sesama mukmin tanpa sepengetahuannya. Sesungguhnya kaum muk-minin mencegah saudaranya yang berbuat jahat atau hendak berbuat zhalim, dosa, pelanggaran dan kerusakan di tengah mereka. Mereka semua saling bahu-membahu dalam mengatasinya. Meskipun pelakunya adalah anak salah seorang dari mereka. Seorang mukmin tidak boleh membunuh saudaranya sesama mukmin karena tuntutan qishash orang kafir dan tidak boleh menolong orang kafir atas kaum mukminin.
Sesungguhnya perlindungan Allah itu berlaku untuk semua lapisan kaum mukminin. Allah melindungi orang yang dilindungi seorang muk-min walaupun derajatnya rendah. Sesungguhnya kaum mukminin saling melindungi satu sama lainnya terhadap orang lain. Dan bahwasanya siapa saja yang mengikuti kami dari kalangan Yahudi maka ia berhak men-dapat pembelaan dan patut diteladani, tidak akan dizhalimi, tidak akan dibiarkan kepada orang yang memerangi mereka. Dan sesungguhnya per-damaian yang dilakukan oleh setiap kaum mukminin itu sama statusnya.
Seorang mukmin tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orang kafir di medan pertempuran fi sabilillah kecuali dengan persyaratan yang adil dan sama rata.
Setiap pejuang yang turut berperang bersama kaum muslimin harus saling bahu membahu sesama mereka. Sesungguhnya setiap kaum mukminin harus menuntut balas atas darah saudaranya yang ditumpahkan fi sabilillah. Sesungguhnya kaum mukminin muttaqin berada di atas petunjuk yang terbaik dan paling lurus. Dan sesungguhnya seorang musyrik tidak berhak melindungi harta dan jiwa kaum Quraisy. Dan tidak dapat menghalangi kaum mukminin terhadapnya. Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin tanpa hak maka dia harus menanggung hukumannya (qishash atau diyat) kecuali dimaafkan oleh wali yang terbunuh. Dan se-luruh kaum mukminin harus menuntutnya dan tidak halal bagi mereka kecuali mengajukan tuntutan.
Dan sesungguhnya tidak halal bagi setiap mukmin yang menyetujui perjanjian ini dan beriman kepada Allah dan rasulNya serta hari Akhirat untuk membantu atau melindungi pelaku bid’ah. Dan barangsiapa menolong atau melindunginya maka atasnya laknat Allah dan kemurkaanNya pada hari Kiamat. Tidak akan diterima tebusan atau ganti apapun darinya pada Hari Kiamat nanti. Dan apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya kaum Yahudi harus selalu memberikan bantuan materi kepada kaum mukminin untuk berperang. Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf adalah umat yang satu bersama kaum mukminin, kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka dan kaum muslimin juga bebas menjalankan agama mereka, demikian pula dalam urusan budak dan pribadi mereka. Kecuali orang-orang yang berbuat zhalim atau berbuat dosa maka sesungguhnya ia hanyalah membinasakan diri dan hartanya sendiri. Demikian pula perjanjian ini berlaku juga buat:
• Yahudi Bani Najjar.
• Yahudi Banil Harits.
• Yahudi Bani Saa’idah.
• Yahudi Bani Jusyam.
• Yahudi Banil Aus.
• Yahudi Bani Tsa’labah.
Kecuali orang-orang yang berbuat zhalim atau berbuat dosa maka sesungguhnya ia hanyalah membinasakan diri dan hartanya sendiri.
Dan sesungguhnya suku Jafnah adalah salah satu suku dari kabilah Tsa’labah sama statusnya seperti mereka. Demikian pula Bani Asy-Syuthaibah statusnya sama seperti Yahudi Bani ‘Auf. Sesungguhnya kebaikan dan kesetiaan itu harus menjadi penghalang berbuat dosa.
Dan sesungguhnya budak-budak Bani Tsa’labah sama statusnya dengan tuannya. Dan bithanah (orang-orang dekat) Yahudi sama statusnya dengan mereka. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari perjanjian ini kecuali dengan seizin Muhammmad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Sesungguhnya tidak boleh meng-halangi tuntutan pembalasan atas sebuah luka. Barangsiapa yang menye-rang sesungguhnya ia hanyalah menyerang diri dan hartanya. Kecuali orang-orang yang berbuat zhalim. Sesungguhnya Allah telah meridhai perjanjian ini.
Orang-orang Yahudi bebas mengurus nafkah mereka demikian pula kaum mukminin bebas mengurus nafkah mereka. Sesungguhnya mereka harus saling tolong menolong atas siapa saja yang menyerang pihak yang terikat dengan perjanjian ini. Dan mereka harus saling menasehati, sesungguhnya kebaikan dan kesetiaan itu harus menjadi penghalang ber-buat dosa. Sesungguhnya seseorang tiada berdosa karena kejahatan orang yang dilindunginya. Dan sesungguhnya pertolongan itu wajib diberikan kepada orang yang teraniaya. Sesungguhnya kaum Yahudi harus selalu memberikan bantuan materi kepada kaum mukminin untuk berperang.
( Hal ini berlaku sebelum diwajibkannya jizyah ketika itu Islam masih lemah dan kaum Yahudi ketika itu memiliki bagian dari harta rampasan perang apabila mereka berperang bersama kaum muslimin, dalam perjanjian ini disyaratkan mereka harus memberikan bantuan dalam peperangan)
Dan sesungguhnya kota Yatsrib (Madinah) ini adalah tanah haram bagi pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian ini. Sesungguhnya tetangga itu harus dihormati seperti menghormati diri sendiri, janganlah merugikan tetangga dan janganlah berbuat jahat terhadapnya. Janganlah melanggar batas-batas kecuali dengan izin pemiliknya.
Sesungguhnya masalah atau pertikaian apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang terikat perjanjian dan dikhawatirkan mengancam per-janjian ini maka harus dikembalikan kepada Allah Ta’ala dan Muhammad Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Sesungguhnya Allah memelihara isi perjanjian ini dan merestuinya. Janganlah melindungi kaum musyrikin Quraisy dan jangan pula orang yang menolong mereka.
Pihak-pihak yang terikat perjanjian harus saling membantu jika ada pihak luar yang berusaha menyerang Madinah. Jika mereka diajak berdamai maka hendaklah diterima ajakan damai tersebut. Jika mereka mengajak berdamai maka mereka memiliki hak atas kaum mukminin. Kecuali bagi mereka yang memerangi agama. Tiap-tiap orang berhak mendapat bagian sesuai dengan posisinya. Se-sungguhnya Yahudi Bani Aus, budak-budak serta diri mereka juga terikat dengan perjanjian ini. Mereka berhak mendapat perlakuan baik dari pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian ini. Sesungguhnya kebaikan dan kesetiaan itu harus menjadi penghalang berbuat dosa. Setiap orang mempertanggung jawabkan perbuatannya masing-masing. Sesungguhnya Allah membenarkan perjanjian ini dan merestuinya. Dan sesungguhnya perjanjian ini tidaklah melindungi orang-orang zhalim atau jahat. Setiap orang bebas keluar masuk Madinah kecuali orang-orang yang zhalim dan jahat. Sesungguhnya Allah melindungi orang-orang yang berbuat baik dan bertakwa.
Ketika Rasulullah telah menetap dengan tenang di Madinah bersama para sahabat dari kaum muhajirin dan Anshar, Dien Islam telah kokoh, shalat telah ditegakkan, zakat dan puasa telah diwajibkan, hukum pidana telah diterapkan, haram dan halal telah disyari’atkan, Islam telah tegak di tengah-tengah mereka dan kaum Anshar telah menyerahkan tanah air mereka dan beriman kepada Allah dan RasulNya. Awal mula ketika Rasulullah menetap di kota Madinah, kaum muslimin mengerjakan shalat bersama Rasulullah apabila waktu shalat telah datang tanpa ada panggilan atau seruan. Pada awalnya Rasulullah ingin menjadikan terompet seperti yang digunakan orang-orang Yahudi untuk panggilan ibadah mereka. Akan tetapi kemudian Rasulullah tidak menyukainya. Kemudian beliau memerintahkan agar membuat lonceng yang dipukul untuk me-manggil kaum muslimin mengerjakan shalat.
Dalam keadaan demikian, Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah saudara Al-Hariits bin Al-Khazraj mendengar seruan adzan dalam mimpinya. Ia datang menemui Rasulullah dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, tadi malam aku bermimpi didatangi seseorang, lalu seorang lelaki yang mengenakan dua potong baju berwarna hijau lewat di hadapanku. Ia membawa lonceng di tangannya. Saya berkata kepadanya: ‘Wahai hamba Allah, maukah engkau menjual lonceng itu?’
‘Untuk apa?’ tanyanya pula.
‘Untuk kami jadikan alat memanggil kaum muslimin berkumpul mengerjakan shalat’ jawabku.
Lelaki itu berkata: ‘Maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada itu?’
‘Apa itu?’ aku balik bertanya.
Dia menjawab: “Ucapkanlah:
Allahu Akbar Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar,
Asyhadu allaa ilaaha illallah, Asyhadu allaa ilaaha illallah,
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.,
Hayya ‘alash shalah, Hayya ‘alash shalah,
Hayya ‘alal falaah, Hayya ‘alal falaah,
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Laailaaha illallah.”
Ketika Abdullah mengabarkan mimpinya itu kepada Rasulullah, Beliau bersabda: “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang haq, pergilah dan temui Bilal, lalu ajarkan lafazh itu agar dia mengumandangkannya. Karena suara Bilal lebih keras dari pada suaramu. Ketika Umar bin Khat-thab mendengar Bilal mengumandangkan seruan adzan itu, dia keluar menemui Rasulullah lalu berkata: “Wahai Nabiyullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan haq, sungguh aku telah mendengar seruan itu dalam mimpiku.” Rasulullah bersabda: “Segala puji bagi Allah atas semua itu.”
12. Kisah Tentang Sejumlah Sahabat yang Tertimpa Penyakit
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata: “Ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam tiba di Madinah, kota itu adalah sarang wabah penyakit demam. Banyak dari sahabat Rasulullah yang tertimpa wabah itu. Namun Allah Ta’ala menghindarkan RasulNya dari penyakit itu. Ketika itu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Amir bin Fuhairah dan Bilal maula Abu Bakar tinggal dalam satu rumah. Mereka semua terserang penyakit demam. Maka aku pun datang untuk menjenguk mereka -peristiwa ini terjadi sebelum turunnya perintah hijab. Hanya Allah yang tahu tentang beratnya sakit yang mereka alami. Aku pun datang menemui Abu Bakar dan menyapanya: “Bagaimana keadaanmu wahai ayahku?” Abu Bakar menyahut:
“Setiap orang boleh bersenang-senang bersama keluarganya di waktu pagi
Padahal kematian itu lebih dekat dengannya daripada tali sandalnya.”
Demi Allah Abu Bakar tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan. Kemudian aku datang menemui ‘Amir bin Fuhairah, dan bertanya kepa-danya: “Bagaimana keadaanmu wahai ‘Amir?”
Dia menyahut:
Sungguh aku telah merasakan kematian sebelum aku mengalaminya
Sesungguhnya seorang pengecut selalu berteriak dari atas
Setiap orang pasti berusaha sekuat tenaga
Seperti sapi yang melindungi kulitnya dengan tanduknya
Demi Allah ‘Amir tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan. Sedang-kan Bilal apabila telah terserang demam itu, ia berbaring di halaman rumah seraya berseru:
“Duhai bisakah aku bermalam semalam saja di Fakh
Sementara di kanan kiriku terdapat idzkhir dan jalil
Duhai bisakah aku singgah di mata air Mijannah
Dan bisakah aku menatap sekali lagi bukit Syaamah dan Thafil.”
[Fakh adalah nama sebuah tempat di luar kota Makkah ; Idzkhir dan Jalil adalah nama sebuah tanaman yang harum baunya; Mijannah adalah nama sebuah pasar di zaman jahiliyah di sebelah bawah kota Mekkah lebih kurang satu barid dari Mekkah; Syaamah dan Thafil adalah nama dua buah gunung di Mekkah]
Kemudian aku menceritakan apa yang aku saksikan kepada Rasulullah. Kukatakan kepada beliau: “Mereka tidak menyadari apa yang mereka ucapkan karena parahnya demam yang menyerang.”
Mendengar penuturanku itu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam lantas berdoa:
“Ya Allah jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Mekkah atau bahkan lebih dari itu. Berkahilah mud dan sha’nya (Yaitu barang-barang yang ditimbang dengan mud dan sha’. Satu mud sama dengan dua rithal bagi penduduk Iraq. Dan satu sepertiga rithal bagi penduduk Hijaz. Satu sha’ sama dengan empat mud bagi penduduk Hijaz) serta pindahkanlah wabah yang menimpanya ke Mahya’ah. (Mahya’ah adalah Juhfah, yang merupakan miqat penduduk Syam)
Tarikh Hijriyah
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam tiba di Madinah pada hari Senin, di waktu Dhuha saat matahari mulai naik sepenggalahan (di tengah-tengah ufuk/langit). Yaitu pada tanggal dua belas Rabi’ul Awal. Ketika itu Rasulullah menginjak usia lima puluh tiga tahun, yaitu setelah tiga belas tahun beliau diangkat menjadi rasul oleh Allah Ta’ala. Beliau menetap di sana mulai bulan Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal’ Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ra-madhan, Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijah dan Muharam.
(Dari Buku Tahdzib Sirah Ibn Hisyam karya ‘Abdus Salam Harun)
Sumber : Sirah Nabawiyah, Kitab Ar-Rahiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury)