Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (7): Terbunuhnya Ali bin Abu Thalib
Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu tahu betul di barisan Syiahnya (simpatisannya) banyak pengkhianat. Ia sadar, tidak mungkin memenangkan peperangan bersama orang-orang seperti ini. Sementara Syiahnya (simpatisannya) Muawiyah adalah orang-orang yang taat dan setia.
Setelah Perang Shiffin, kondisi tak kondusif terus dihadapi Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Sampai nantinya ia syahid di tangan orang-orang Khawarij. Cerita terbunuhnya Ali, berawal dari berkumpulnya tiga orang khawarij; Abdurrahman bin Muljim al-Murodi, al-Barrak bin Abdullah at-Tamimi ash-Shirmi, dan Amr bin Bakr at-Tamimi as-Sa’di. Mereka berkumpul. Mengenang teman-teman mereka yang mati di Nahrawan saat berperang dengan Ali. Mereka mulai membandingkan kehebatan amal teman mereka itu dengan amalan mereka. Lalu merasa kerdil dan malu. Karena amalan mereka sedikit. Sementara amalan yang telah mati itu amat banyak di mata mereka. Lalu mereka berkata, “Apa yang bisa kita lakukan sepeninggal mereka? Bagaimana kalau kita jual diri kita dengan memerangi pemimpin-pemimpin sesat itu? Kita dan negeri ini akan tentram dari keburukan mereka.”
Ibnu Muljim yang berasal dari kelompok Mesir berkata, “Aku yang akan menyelesaikan Ali.”
Al-Barrak bin Abdullah berkata, “Aku akan menyudahi Muawiyah.”
Amr bin Bakr berkata, “Aku selesaikan Amr bin al-Ash.”
Mereka berjanji tidak akan mengurungkan rencana ini. Target yang mati atau mereka yang mati. Mereka hunus pedang-pedang mereka sambil menyebut nama masing-masing target. Dan rencana jahat itu akan dilakukan pada 17 Ramadhan. Ketiganya pun berangkat menuju targetnya.
Setibanya di Kufah, Ibnu Muljim langsung menemui temannya yang berasal dari Bani Taim. Keduanya bercerita, mengenang teman-teman di Nahrawan. Lalu Ibnu Muljim menyampaikan maksud kedatangannya ke Irak adalah untuk membunuh Ali bin Abu Thalib. Rencana busuk ini menjadi rahasia antara mereka berdua.
Di Kufah pula, tempat rencana jahat ditunaikan, Ibnu Muljim bertemu tambatan hatinya. Seorang wanita yang sangat cantik dari Bani Taim. Namanya Qattam. Bak pungguk merindukan bulan, keduanya memiliki pengalaman pahit yang sama terhadap Ali bin Abu Thalib. Ayah dan saudara laki-laki Qattam tewas di Nahrawan saat memerangi Ali. Tak menunggu lama, Ibnu Muljim segera melamar Qattam.
Ini menunjukkan banyaknya ahlul fitnah di Irak, di tempat Ali tinggal. Mereka membaur dengan simpatisan Ali. Atau bahkan menjadi simpatisan ala-ala untuk sang Amirul Mukminin. Wajar Ali dapati para simpatisannya banyak yang berkhianat.
Menanggapi lamaran Ibnu Muljim, Qattam berkata, “Aku tak akan mau menikah denganmu kecuali kau mau mengobati (dendam) ku.” “Apa yang kau inginkan”? kata Ibnu Muljim. Ia berkata, “(Maharku adalah) 3000, seorang budak laki-laki, seorang budak perempuan, dan membunuh Ali.” Ternyata wanita cantik ini menjadikan nyawa Ali sebagai maharnya.
Ibnu Muljim menanggapi, “Adapun membunuh Ali, sebelum kau sebut itu akulah orang yang kau cari.” Qattam berkata, “Carilah kesempatan untuk itu. Kalau kau berhasil, kau telah mengobati dirimu dan diriku. Hidupmu pun akan bahagia bersamaku. Kalau engkau yang terbunuh, pahala di sisi Allah lebih baik dari dunia dan seisinya.” Kata Ibnu Muljim, “Demi Allah, tidaklah kedatanganku ke sini kecuali untuk membunuh Ali. Untukmu apa yang kau pinta.” Qattam berkata, “Aku akan mencarikan orang yang bisa membantumu.” Lalu Qattam mencari seorang laki-laki dari kaumnya, namanya Wardan. Ia berbicara dengannya dan Wardan pun menyanggupinya.
Lalu Ibnu Muljim menemui seorang yang terkenal pemberani, namanya Syabib bin Bujrah. “Maukah engkau meraih kemuliaan dunia dan akhirat”? kata Ibnu Muljim. “Apa itu”? tanyanya. “Membunuh Ali”, jawab Ibnu Muljim.
Syabib berkata, “Celaka ibumu! Engkau datang dengan membawa malapetaka! Bagaimana kau mampu untuk membunuhnya”?
Ibnu Muljim berkata, “Bersembunyi di (jalannya menuju) masjid. Saat dia keluar untuk shalat subuh, kita sergap dan habisi dia. Kalau kita berhasil, kita telah mengobati diri kita sendiri. Dan kalau kita yang terbunuh, pahala di sisi Allah lebih baik dari dunia dan seisinya.”
Syabib berkata, “Celaka engkau! Kalau itu bukan Ali tentu lebih ringan. Kau tahu bahwa ia adalah orang yang pertama-tama memeluk Islam. Seorang yang utama. Dan berjasa dalam Islam. Berat rasanya bagiku untuk membunuhnya.”
Ibnu Muljim berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa dia telah membantai para ahli ibadah yang shaleh di Nahrawan”? “Iya”, jawab Syabib. “Kalau begitu kita membunuhnya sebagai balasan atas terbunuhnya teman-teman kita itu.” Kali ini alasan Ibnu Muljim bisa diterima Syabib. Karena pembunuh hukumannya pun dibunuh. Syabib pun menerima ajakan yang membuatnya celaka dunia akhirat itu.
Perhatikanlah! Sesesat-sesatnya pemahaman, mereka memiliki dalil dari ayat ataupun hadits. Artinya dalil Alquran dan hadits bisa diarahkan tafsirnya oleh semua orang. Walaupun itu bertentangan dengan agama bahkan nurani manusia. Dengan demikian, Alquran dan sunnah tidak bisa berdiri sendiri. Keduanya butuh dipahami dengan bingkai pemahaman yang tepat. Kita butuh memahaminya dengan pemahaman saat Alquran dan sunnah itu diturunkan. Saat belum ada penyimpangan. Saat dimana orang-orang yang mengamalkannya, semuanya mendapat pujian Allah dan Rasul-Nya. Saat itu adalah masa dimana generasi pertama hidup. Yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّياً فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْباً، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ.
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.”[Riwayat Ibnu Abdil Bar].
Tibalah waktunya, saat itu malam Jumat tepat 17 Ramadhan. Malam dimana rencana buruk dari tiga orang yang buruk ditunaikan. Ibnu Muljim bersama Syabib dan Wardan menyiapkan pedang mereka. Ketiganya bersembunyi di dekat rumah Ali. Saat keluar rumah, Ali terbiasa berseru, “Mari shalat! shalat!” Tiba-tiba tiga orang celaka ini menyergap. Syabib menyabetkan pedangnya, namun menghantam sisi pintu. Lalu Ibnu Muljim giliran berikutnya, pedangnya berhasil mengenai kepala Ali. Ia berkata, “Hukum itu di tangan Allah, hai Ali. Bukan di tanganmu. Dan juga bukan di tangan teman-temanmu (Amr dan Muawiyah).”
Melihat kondisi itu, Wardan segera lari dan masuk ke dalam rumahnya. Lalu datang seorang laki-laki dari anggota keluarganya. Wardan pun menceritakan apa yang terjadi. Laki-laki itu pergi. Kemudian kembali dengan membawa pedang. Ia hantamkan pedang itu ke Wardan hingga ia tewas. Pelaku lainnya, Syabib bin Bujrah. Ia melarikan diri di tengah kegelapan. Kontan orang-orang mengejar dan meneriakinya. Di tengah pelarian itu, ia bertemu laki-laki Hadramaut yang bernama Uwaimir. Ia lihat pedang di tangan Syabib. Lalu ia ambil baru berbicara dengannya. Saat Uwaimir melihat orang-orang datang, sementara barang bukti, pedang Syabib, berada di tangannya, ia pun takut. Lalu ia letakkan pedang itu. Sementara itu Syabib berhasil lari tanpa diketahui.
Setelah Ibnu Muljim melukai Ali, Ali berteriak, “Jangan sampai orang ini lepas.” Orang-orang pun mengejarnya. Dan berhasil menangkapnya. Peristiwa ini menyebabkan Ali tidak mengimami jamaah di masjid. Ia digantikan oleh Ja’dah bin Hubairah. Anak dari saudara perempuan Ali, Ummu Hani’.
Ali berkata, “Bawa ke hadapanku orang yang mencoba membunuhku itu”? orang-orang pun membawanya masuk. Ali berkata, “Hai musuh Allah, bukankah Allah telah berbuat baik padamu.” “Iya”, jawab Ibnu Muljim. “Apa yang memotivasimu melakukan ini”? tanya Ali. Ibnu Muljim menjawab, “Aku telah mengasah pedangku selama 40 hari. Dan aku memohon kepada Allah agar membunuh seburuk-buruk makhluk-Nya dengan pedang ini.”
Ali berkata, “Menurutku engkaulah yang akan dipancung dengan pedang itu. Dan menurutku, engkaulah seburuk-buruk ciptaan Allah itu.” Ali melanjutkan, “Nyawa dibalas dengan nyawa. Kalau aku mati karena perbuatannya ini, maka hukum mati dia. Tapi kalau aku masih hidup, akulah yang akan menentukan hukum untuknya. Wahai Bani Abdul Muthalib, janganlah kalian terlibat dalam permasalahan darah kaum muslimin. Orang-orang mengatakan, ‘Amirul mukminin telah terbunuh’. (Ingat) jangan kalian menghukum mati kecuali orang yang telah membunuhku saja. Hasan, kalau aku wafat karena sabetannya ini. Pancunglah dia dengan satu kali tebasan. Jangan dimutilasi. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْمُثْلَةَ، وَلَوْ بِالْكَلْبِ الْعَقُورِ
“Janganlah sampai kalian memutilasi. Walaupun terhadap anjing galak.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 1/97 dan al-Haitsami dalam Majmu’ az-Zawaid, 6/376-377).
Sambil menunggu pengadilan, Ibnu Muljim diikat. Tangannya ditarik dan dikebat ke belakang pundaknya. Ummu Kultsum, putri Ali bin Abu Thalib, berkata, “Hai musuh Allah! Ayahku dalam kondisi baik, tapi Allah pasti akan menghinakanmu.” Ibnu Muljim menjawab, “Lalu mengapa kau menangis? Demi Allah, pedangku kubeli dengan 1000. Dan kuracuni juga dengan 1000. Kalau seandainya ditebaskan ke penduduk Mesir dengan satu sabetan, tidak akan tersisa satu orang pun dari mereka.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/102).
Ibnu Muljim menyatakan betapa beracunnya pedangnya. Seandainya luka satu tebasan karena sabetan pedangnya, dibagi-bagi ke seluruh penduduk Mesir. Pasti semuanya tak ada yang selamat. Sehingga tak mungkin Ali selamat.
Umat Islam merasa sangat terpukul dengan terbunuhnya Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Perasaan yang sama, juga mereka alami saat terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Kejadian yang berturut-turut dan berdampak melebar ini membuat kaum muslimin sadar bahwa api fitnah akan semakin membara dan menyala. Darah akan tertumpah di tengah umat ini lebih deras lagi.
Setelah Ali wafat, penduduk Kufah membaiat al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Kemudian Hasan menunjuk Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagai panglima besar pasukan (Ibnul Jauzi: al-Muntazham 3/406 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarah hadits 7109).
Cucu Rasulullah Mendamaikan Umat
Setelah dibaiat oleh penduduk Irak, al-Hasan radhiallahu ‘anhuma keluar dengan pasukan yang sangat besar. Ia berangkan menuju Madain untuk menemui Muawiyah radhiallahu ‘anhu. Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Demi Allah, al-Hasan bin Ali membawa pasukan seperti gunung-gunung untuk menghadapi Muawiyah.” (Riwayat al-Bukhari, Fathul Bari No: 2704).
Pasukan itu terus bergerak maju mendatangi Syam. Sampai mereka tiba di satu tempat yang penduduk Syam bisa melihat besarnya jumlah pasukan berkuda yang dibawa Hasan. Amr bin al-Ash berkata, “Sungguh aku melihat pasukan yang sangat besar, yang tidak akan mundur hingga menghabisi lawannya.”
Lalu bagaimana respon Muawiyah tatkala melihat pasukan besar ini. Ia berkata kepada Amr, “Amr, seandainya kelompok ini memerangi yang ini. Lalu kelompok lain memerangi kelompok yang lain lagi. Lalu siapa yang akan mengurusi masyarakat? Siapa yang akan menjaga dan melindungi kaum perempuan? Siapa yang akan menjaga harta benda mereka?
Dari rangkaian peristiwa ini, kita bisa mengetahui orang seperti apa Muawiyah itu. Terlepas dari kesalahan ijtihadnya yang menuntut agar pembunuh Utsman segera ditangkap dan diadili, tapi dalam peristiwa Shiffin dan juga dalam menghadapi Hasan bin Ali, kita melihat bahwa Muawiyah adalah seorang yang bijak. Di Shiffin ia berusaha meminimalisir pertumpahan darah. Dengan cepat ia mengambil keputusan untuk bertahkim. Kemudian saat Hasan datang membawa pasukan yang besar, ia memikirkan pasti rakyat terabaikan kalau peperangan kelompok-kelompok kaum muslimin terus berlanjut. Ia tidak memikirkan kekuasaan sebagaimana yang dituduh oleh orang-orang. Namun tetap kita akui, ijtihadnya salah dalam satu kondisi. Yaitu menyikapi terbunuhnya Utsman.
Dan peristiwa ini juga menunjukkan peperangan yang terjadi antara para sahabat bukan ambisi saling menaklukkan. Kita tidak melihat para pemimpinnya sibuk membuat strategi memenangkan peperangan. Atau mengincar pimpinan tertinggi. Sebagaimana yang terjadi di perang pada umumnya.
Lalu Muawiyah mengutus dua orang Quraisy dari Bani Abdu Syams untuk menemui Hasan. Mereka adalah Abdurrahman bin Samrah dan Abdullah bin Amir. Muawiyah berkata, “Temuilah Hasan dan tawarkan padanya perdamaian. Temui, bicaralah baik-baik, dan mintalah ia menerima tawaran damai.” Al-Hasan bin Ali berkata kepada dua utusan ini, “Kami Bani Abdul Muthalib telah ditimpa ujian ini. Dan umat ini telah tertumpah darahnya.” Kedua utusan itu menanggapi, “Karena itu kami menawarkan Anda demikian dan demikian. Kami meminta dan memohon kepada Anda.” Hasan berkata, “Siapa aku ini sampai dipintai demikian”?
Kedua utusan itu berkata, “Kami mengikuti Anda dalam urusan tersebut.” Setiap Hasan bertanya sesuatu, keduanya selalu menjawab, “Kami mengikuti Anda dalam urusan tersebut.” Mereka menjalankan amanah Muawiyah.
Jika Muawiyah menawakan damai, maka cucu Rasulullah ini lebih terdepan lagi dalam kebaikan. Al-Hasan berkata, “Sungguh aku telah mendengar Abu Bakrah berkata, ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar. Sementara al-Hasan bin Ali berada di sisinya. Saat itu Rasulullah sesekali menghadap ke arah hadirin. Dan sesekali menghadap ke arah al-Hasan. Beliau bersabda,
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Cucuku ini adalah seorang tokoh. Dengan perantara dirinya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimn.” [HR. al-Bukhari (2557), Abu Dawud (4662), an-Nasai (1410), dan at-Turmudzi (3773)].
Peristiwa ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih hidup. 30 tahun sebelum peristiwa besar ini terjadi. Tentu ini adalah mukjizat. Kabar yang beliau sampaikan satu per satu terbukti dan terjadi. Demikian juga kabar tentang alam kubur, alam akhirat, kiamat, surga, neraka, dan alam gaib lainnya pasti terjadi. Karena itu, rugilah orang yang tidak mengimaninya.
Al-Hasan radhiallahu ‘anhu telah memilih. Ia tidak ingin darah kaum muslimin terus bercucuran. Sebagaimana nasihat yang ia sampaikan pada ayahnya saat fitnah berkecamuk. Ia serahkan kekuasaan ke tangan Muawiyah. Tanpa paksaan. Tanpa terjadi perebutan kekuasaan seperti yang dikabarkan banyak orang. Inilah letak terpujinya Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Ini juga menunjukkan ketajaman visinya. Kalau seandainya seperti yang ditudhukan orang-orang bahwa Muawiyah memerangi Hasan. Kemudian di saat itu baru Hasan menyerahkan kekuasaan. Tentu ini bukan visi yang baik. Dan nilai terpujinya pun kurang. Karena setelah darah tertumpah, kerusakan dan keributan terjadi, baru menyadari. Tapi orang yang cerdas, yang hikmahnya mendalam, dan yang visinya tajam, akan mampu membaca arah kejadian. Ia mampu mengeluarkan kebijakan yang tepat sebelum musibah terjadi.
Dari sini kita simpulkan, para sahabat adalah orang-orang yang mulia. Allah tidak mungkin keliru memilihkan Rasul-Nya para pendamping dan penolong dalam menyebarkan agama Allah. Sebagaimana kata Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ
“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, I/379, no. 3600. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanadnya shohih).
Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com