Sa’id bin Jubair
Badannya kekar, sempurna bentuk tubuhnya, lincah gerak-geriknya, cerdas otaknya, jenius akalnya, antusias terhadap kebajikan, dan menjauhi dosa. Meski hitam warna kulitnya, keriting rambutnya, dan asalnya dari Habsyi, namun tidaklah jatuh rasa percaya dirinya untuk menjadi manusia yang istimewa, apalagi umurnya masih muda.
Pemuda yang berasal dari Habsyi asli dan menjadi warga Arab ini sadar betul bahwa ilmu adalah jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan takwa adalah jalan yang menuntunnya ke surga. Oleh sebab itu, dijadikannya takwa di sisi kanannya dan ilmu di sisi kirinya. Keduanya dipadukan dengan ikatan yang erat.
Dengan dua hal tersebut beliau mengarungi samudra kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan. Sejak beliau masih muda, orang-orang telah mengenalnya sebagai pemuda yang akrab dengan buku-buku yang ia baca. Atau jika mereka tidak mendapatkannya sedang membaca buku, maka beliau tengah di mihrabnya untuk ibadah. Itulah dia manusia pilihan di zamannya, Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu.
Pemuda Sa’id ini berguru kepada banyak sahabat senior, seperti Abu Sa’id al-Khudri, Adi bin Hatim ath-Thayy, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi, Abdullah bin Umar maupun Ummul Mukminin Aisyah. Tapi guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, guru besar umat Islam dan lautan ilmu yang luas.
Dengan setiap Sa’id bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya. Dari sahabat inilah beliau menggali tafsir Alquran, hadis-hadis, dan seluk-beluknya. Darinya pula beliau mendalami persoalan agama maupun tafsirnya. Juga mempelajari bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada seorang pun di muka bumi ini kecuali memerlukan ilmunya.
Selanjutnya, beliau mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu sesuai kehendak Allah. Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah sebagai tempat tinggalnya. Dan kelak beliau menjadi guru dan imam di kota itu.
Beliau menjadi imam shalat bagi kaum muslimin di bulan Ramadhan, terkadang membaca Alquran dengan qira’ah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, terkadang dengan qira’ah Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dan terkadang dengan qira’ah selainnya.
Jika beliau shalat sendirian, adakalanya beliau khatamkan Alquran dalam sekali shalat. Dan sudah menjadi kebiasaan beliau apabila membaca ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan al-Kitab (Alquran) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api.” (QS. Al-Mukmin: 70-72)
Atau ketika membaca ayat-ayat serupa yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya, dan menetes air matanya. Kemudian mengulang-ulang ayat tersebut sampai adakalanya hampir pingsan.
Beliau melakukan perjalanan ke Baitullah al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah pada bulan Rajab untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji.
Orang-orang yang merindukan ilmu dan kebaikan datang berduyun-duyun ke Kufah untuk menghirup sumber ilmu yang jernih dari Sa’id bin Jubair. Beliau ditanya, “Apakah khasyyah (takut) itu?” beliau menjawab, “Khasyyah adalah bahwa engkau harus takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga rasa takutmu menghalangi dirimu dari perbuatan maksiat.”
Ketika ditanya tentang dzikir, beliau berkata, “Dzikir itu adalah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa menyahut seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati-Nya, berarti dia berdzikir kepada-Nya. Adapun orang yang berpaling dan tak mau taat, maka dia bukanlah termasuk ahli dzikir, meski dia bertasbih dan membaca Alquran semalam suntuk.”
Kota Kufah yang menjadi pilihan beliau untuk menetap ketika itu di bawah kepemimpinan gubernur Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Kekuasaan Hajjaj meliputi Irak dan seluruh Masyriq serta negeri di seberangnya, dia memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan. Dia telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak di bawah kekuasaan Bani Umayah dan memadamkan pemberontakan di sana-sini. Menghunus pedangnya ditengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.
Sa’id bin Jubair Melawan Kekejaman Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi
Suatu ketika takdir Allah menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dengan salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang menjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban, meninggalkan bekas luka yang dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin.
Ada yang berkata bahwa fitnah tersebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibnu Asy’ats bersama pasukannya untuk menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan.
Maka berperanglah panglima yang tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian panglima itu mengirim utusan untuk menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dan ghanimah untuk baitul maal milik kaum muslimin. Selain itu dia juga menulis surat, minta izin untuk sementara menghentikan perang. Agar dia dapat mempelajari seluk-beluk medan maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk menyerbu daerah pedalaman yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang sebelumnya telah berhasil mendapatkan kejayaan.
Namun Hajjaj murka dengan pendirian panglima tersebut. Dia menulis surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari gubernurnya datang. Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tersebut untuk kemudian dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil.
Ternyata para komandan itu menyarankan untuk menentang perintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, “Apakah kalian bersedia berbaiat untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan bumi Irak dari kezalimannya?” akhirnya mereka melakukan baiat kepada panglimanya.
Tentara Abdurrahman bin Asy’ats bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan Ibnu Yusuf, dan pasukan Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu menguasai Sajistan serta sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah dan Basrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf.
Perang masih berkecamuk antara dua kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota. Hal itu membuat kemarahan Hajjaj memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban membayar jizyah. Mereka telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya pendapatan negara. Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Basrah dan kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencahariannya. Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak-istrinya dan dipaksa kembali ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan.
Para wanita, anak-anak dan orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil berseru, “Wahai umat Muhammad.. wahai umat Muhammad.” Mereka bingun hendak berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah tersebut.
Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun tangan, di antara termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.
Perang besar antara kedua belah pihak meletus. Mula kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy-ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj berada di atas angin, sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’at melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.
Setelah itu, Hajjaj memerintahkan pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui baiatnya. Di antara mereka ada yang menaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair.
Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbaiat, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga. Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan baiatmu kepada amirmu? Jika dia menjawab, “Ya” maka diterima baiatnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, “Tidak” maka dibunuh.
Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi keselamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetap teguh dan tidak meingdahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.
Menurut kabar yang tersebar, penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan selainnya selamat setelah mengaku kafir.
Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am. Ketika terjadi huru-hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.
Orang Tua: “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan baiat.”
Hajjaj: “Celakalah engkau! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”
Orang tua: “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj: “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua: “Jika engkau membunuhku.. demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorang pun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut serta memintakan rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad an-Nukhai dihadapkan dari ditanya:
Hajjaj: “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil: “Tidak. Demi Allah aku tidak akan mengakuinya.”
Hajjaj: “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil: “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj: “Ketika itu, kesalahan berada di pihakmu.”
Kamil: “benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj: “Bunuh dia!”
Lalu beliaupun dibunuh…
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi burnonan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang di hadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesungguhnya akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuah lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir. Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau dia tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilhan, yang paling manis dari keduanyapun begitu pahit. Oleh sebab itu, beliau memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Mekah.
Selama sepuluh tahun beliau tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.
Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Mekah, yaitu Khalid bin Abdullah al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.
Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Mekah. Demi Allah, kami khawatir akan diri Anda, maka sebaiknya Anda keluar saja dari sini.” Namun beliau menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.”
Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Begitu mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id, mengikat lalu mengirimkannya kepada Hajjaj di kota Wasit nanti.
Tentara Khalid mengepung rumah syaikh tersebut lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj. Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata,
“Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua kawan tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”
Belum lagi beliau selesai bicara,seorang gadis cilik muncul dan demi melihat beliau diikat dan diseret oleh para prajurit, dia langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id menghiburnya dengan lembut dan berkata, “Katakanlah kepada ibumu wahai putriku, kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah.” Bocah itupun pergi.
Sampailah utusan yang membawa Sa’id seorang imam yang zahid, ‘abid, dan berbakti itu di kota Wasit. Sa’id dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf.
Setelah Sa’id berada di hadapan Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya:
Hajjaj: “Siapa namamu?”
Sa’id: “Sa’id (bahagia) bin Jubair (perkasa).”
Hajjaj: “Yang benar engkau adalah Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh).”
Sa’id: “Ibuku lebih mengetahui namaku daripada engkau.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?”
Sa’id: “Apakah yang kau maksud adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Hajjaj: “Benar.”
Sa’id: “Manusia utama di antara keturunan Adam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik di antara manusia yang hidup dan yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menunaikan nasihat bagi Allah, kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?”
Sa’id: “Ash-Shiddiq, khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat dengan terpuji dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa merubah ataupun mengganti sedikitpun darinya.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Umar?”
Sa’Id: “Beliau adalah al-Faruq, dengannya Allah membedakan antara yang haq dengan yang batil. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan mati sebagai syuhada.”
Hajjaj: “Bagaimana dengan Utsman?”
Sa’id: “Beliau yang membekali pasukan Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur “Ruumah” dan membeli rumah untuk dirinya di Surga. Beliau adalah menantu Rasulullah atas dua orang putri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit. Lalu terbunuh di tangan orang zalim.”
Hajjaj: “Bagaimana dengan Ali?”
Sa’id: “Beliau adalah Putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemuda pertama yang memeluk Islam. Beliau adalah suami Fathimah radhiallahu ‘anha putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ayah dari Hasan dan Husein yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli Surga.”
Hajjaj: “Khalifah yang mana dari Bani Umayah yang paling kau sukai?”
Sa’id: “Yang paling diridhai Pencipta mereka.”
Hajjaj: “Manakah yang paling diridhai Rabb-nya?”
Sa’id: “Ilmu tentang itu hanyalah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zahir dan yang tersembunyi.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang diriku?”
Sa’id: “Engkau lebih tahu tentang dirimu sendiri.”
Hajjaj: “Aku ingin mendengarkan pendapatmu.”
Sa’id: “Itu akan menyakitkan dan menjengkelkanmu.”
Hajjaj: “Aku harus tahu dan mendengarnya darimu.”
Sa’id: “Yang kuketahui, engkau telah melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihatan hebat padahal justru membawamu ke arah kehancuran dan menjurumuskanmu ke neraka.”
Hajjaj: “Kalau begitu, demi Allah aku akan membunuhmu.”
Sa’id: “Bila demikian, maka engkau merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu.”
Hajjaj: “Pilihlah bagi dirimu cara-cara kematian yang kau sukai.”
Sa’id: “Pilihlah sendiri wahai Hajjaj. Demi Allah, untuk setiap cara yang kau lakukan, Allah akan membalasmu dengan cara yang setimpal di akhirat nanti.”
Hajjaj: “Tidakkah engkau menginginkan ampunanku?”
Sa’id: “Ampunan itu hanyalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan lagi di hadapan-Nya.”
Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada algojonya diperintahkan: “Siapkan pedang dan alasnya!”
Sa’id tersenyum mendengarnya, sehingga bertanyalah Hajjaj,
Hajjaj: “Mengapa engkau tersenyum?”
Sa’id: “Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu.”
Hajjaj: “Bunuh dia sekarang!”
Sa’id: (Menghadap kiblat sambil membaca firman Allah Ta’ala):
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (QS. Al-An’am: 79)
Hajjaj: “Palingkan ia dari kiblat!”
Sa’id: (Membaca firman Allah Ta’ala)
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Hajjaj: “Sungkurkan dia ke tanah!”
Sa’id: (Membaca firman Allah Ta’ala)
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha: 55)
Hajjaj: “Sembelihlah musuh Allah ini! Aku belum pernah menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti dia.”
Sa’id: (Mengangkat kedua tangannya sambil berdoa), “Ya Allah jangan lagi Kau beri kesemaptan ia melakukannya atas orang lain setelah aku.”
Tak lebih dari lima belas hari setelah wafatnya Sa’id bin Jubair, mendadak Hajjaj bin Yusuf terserang demam. Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak lagi nyenyak, sebentar-sebentar terbangun dengan ketakutan dan mengigau: “Ini Sa’id bin Jubair hendak menerkamku! Ini Sa’id bin Jubair berkata: “Mengapa engkau membunuhku?” Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri: “Apa yang telah aku perbuat atas Sa’id bin Jubair? Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!”
Kondisi itu terus berlangsung hingga dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya. Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj: “Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?”
Dia menjawab, “Aku disiksa dengan siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin Jubair aku disiksa 70 kali lipat.”
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Artikel www.KisahMuslim.com
Sumber : https://kisahmuslim.com/2849-tokoh-tabiin-said-bin-jubair.html
Kisah Sa’id bin Jubair, Ditangkap oleh Al Hajjaj, Sang Penguasa yang Bengis
Mungkin lebih dua windu waktu berlalu. Al Hajjaj bin Yusuf alchimys mendapat laporan rahasia tentang Sa’id bin Jubair. Segeralah ia mengutus seorang komandan pasukan dari negara bagian Syam bernama Al Mutalammis ibnul Ahwash untuk menangkap dan membawa Sa’id ke hadapannya.
Dengan memacu kuda, Al Mutalammis bnul Ahwash yang diperkuat 20 anggota pasukan khusus dari negerinya mulai memburu berita. Di tengah pencariannya mereka bertemu dengan seorang pendeta ang tengah berada di kuil tempat dia bertapa, lalu mereka bertanya tentang Sa’id kepada pendeta itu.
Pendeta berkata, “Ciri-ciri buronan kalian seperti apa?
Kemudian mereka menggambarkan ciri fisik Sa’id. Si pendeta segera paham dengan lelaki yang dimaksud. Mungkin saja karena kemasyhuran lelaki tersebut di tengah- tengah masyarakat sebagai sosok yang banyak beribadah kepada Allah. Walaupun pendeta itu tidak kenal nama, apalagi duduk berbincang, namun karena sering melihatnya ia pun tahu persis dan segera menunjukkan alamat lelaki yang tengah diburu itu berdasarkan penyifatan itu.
Pasukan Mutalammis memacu kuda-kuda mereka menuju tempat tinggal Sa’id. Tidak meleset. Orang yang mereka buru kini benar-benar di depan mata. “Subhanallah, Sa’id ditemukan sedang tersungkur dalam sujudnya yang lama, bermunajat kepada Allah dengan suara yang amat jelas terdengar.
“Assalamu ‘alaikum,” ucap pasukan itu kepada tokoh alim tabi’in yang banyak menangis ini. Mendengar ucapan salam, Sa’id menyudahi sujudnya lalu menyempurnakan rukun-rukun salat yang tersisa, tidak lama kemudian ia menjawab salam. Barangkali, ia memang ingin menyambut dan memuliakan orang-orang yang datang itu sebagaimana layaknya para tamu, sehingga ia pun mempercepat salatnya. Padahal ia belum pernah mengenal, juga tidak tahu misi mereka ke tempatnya.
“Kami adalah utusan Al Hajjaj untuk memanggilmu. Penuhilah!” kata mereka.
Sa’id bertanya, “Apakah harus dipenuhi panggilannya?”
“Tidak ada pilihan lain,” jawab mereka. Kemudian Sa’id menyanjung nama Allah, memuji-Nya dan membaca shalawat kepada Nabi. Kemudian bangkit dan pergi bersama mereka hingga singgah ke rumah pendeta yang menunjukkan jalan tadi.
***
“Wahai para penunggang kuda, apakah kalian berhasil mendapat buronan kalian?” tanya pendeta.
“Ya,” jawab mereka.
Pendeta pun berkata, “Naiklah kalian ke rumah, biasanya ada sepasang singa yang selalu bermalam di pekaranganku. Bergegaslah sebelum matahari terbenam.” Tak ingin mati diterkam singa, seluruh pasukan elit pilihan Al Hajjaj terhuyung-huyung memasuki rumah pendeta. Tapi, Sa’id tidak mau masuk.
Kamu ingin kabur dari kami?” mereka bertanya. ” “Bukan itu, namun aku tidak sudi memasuki rumah seorang musyrik sampai mati.” Sa’id memberi alasan.
“Sama artinya kami membiarkanmu menjadi mangsa binatang-bintang buas?”
“Sesungguhnya Rabbku akan terus melindungiku, Dialah yang akan memalingkan binatang buas dariku bahkan akan menjadikan binatang-binatang itu pengawal setia yang menjagaku dari marabahaya, insya Allah,” kata Sa’id yakin.
Mereka berkata, “Kalau begitu engkau seorang nabi?”
Sa’id berkata, “Bukan juga. Aku bukan nabi. Aku hanya sesosok hamba dari hamba-hamba Allah, banyak bersalah dan sering berdosa.”
Pendeta menyela dan mengusulkan kepada pasukan, “Dia harus memberikan jaminan yang meyakinkan diriku atas keamanannya.”
Mereka menyambung, “Berikan jaminan kepada pendeta seperti yang dimaukannya!” Sa’id berkata, “Aku letakkan jaminanku kepada Allah yang Mahaagung, sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku tidak akan bergeser dari tempat ini sampai besok pagi, Insya Allah.” Pendeta pun tak lagi berkomentar tanda setuju.
Ia berseru, “Ayo, cepat-cepatlah naiklah ke rumah dan pasanglah senar busur panah di sekeliling lelaki ini agar kalian bisa usir binatang-binatang buas yang coba mendekati lelaki saleh ini. Sungguh dia enggan masuk tempat pertapaanku gara-gara kalian.” Maka mereka pun buru-buru memasang tali senar dan segera mengamankan diri masing-masing di rumah pendeta.
Sekonyong-konyong datanglah singa betina. Setelah mendekati Sa’id, singa betina itu mengelus-elusnya. dan mengusapkan bulu-bulu tubuhnya ke badan Sa’id lalu menderum tidak jauh darinya. Tidak lama berselang datanglah yang jantan dan melakukan hal yang serupa dengan teman sejolinya.
Ketika pendeta menyaksikan keajaiban itu, esok harinya dia segara turun dan menanyakan tentang syariat-syariat Islam dan sunnah-sunnah Nabi Said menjelaskan semuanya kepada pendeta, kemudian pendeta tersebut pun bertobat dan meninggalkan kesyirikannya, masuk Islam dan baik keislamannya.
Semua tentara pasukan Mutalammis menghampiri Sa’id dan meminta maaf, mereka menciumi tangan dan kaki Sa’id, bahkan sebagian mereka mengambil tanah pijakan Sa’id semalam. Perbuatan mereka sudah tentu segera diingkari dengan tegas oleh Sa’id.
Mereka berkata, “Wahai Sa’id, kami telanjur bersumpah di hadapan Al Hajjaj untuk menceraikan istri-istri kami dan membebaskan budak-budak kami jika berhasil menemukanmu namun gagal menghadapkanmu kepadanya. Kami sungguh menyesal. Karena itu sekarang perintahkanlah kepada kami apa pun yang kamu mau.”
Sa’id berkata, “Laksanakan dan lanjutkan saja tugas kalian, sedang aku sendiri akan meminta perlindungan kepada Penciptaku, Dzat yang Keputusan-Nya tidak mungkin digugat.”
***
Kemudian rombongan berjalan lagi sampai di Negeri Wasith. Ketika berhenti, Sa’id berkata kepada mereka, “Wahai sekalian kaum, aku merasa telah mendapat penghormatan dengan persahabatan ini. Aku yakin, ajalku telah datang dan jatah umurku tak lama lagi kan berakhir. Tinggalkan aku malam ini sendiri, aku ingin bersiap menghadapi mati, menyiapkan perjumpaan dengan malaikat Munkar dan Nakir, mengingat pedihnya azab kubur dan kegelapan di dalam tanah yang membenam tubuhku Aku berjanji, saat fajar menyingsing nanti aku akan temui kalian di tempat mana saja yang kalian tentukan.”
Di antara mereka bicara, “Kita tidak mungkin melepasnya lalu kehilangan jejaknya padahal dia sudah di depan mata” Yang lain menimpali, “Angan-angan sudah terwujud hadiah dari Al Hajjaj juga telah melambaikan tangan kepada kalian. Jangan kalian berubah sikap dan menjadi loyo terhadapnya!” Sebagian mengusulkan, “Begini saja, suruhlah dia bersumpah di hadapan kalian sebagaimana yang ia lakukan ketika berada di kuil si pendeta. Tapi oh, celaka kalian, apa tidak cukup bukti untuk kalian. bagaimana singa-singa mengelus dan mengusapnya, bahkan menjaganya sepanjang malam?” Yang tersisa mengatakan, “Kami ikut saja, urusan dia kuserahkan kepada kalian, insya Allah.”
Terjadi sedikit ketegangan di antara mereka. Sementara kedua mata Sa’id terlihat basah melelehkan air mata. Seakan memang tak ambil peduli dengan ribut-ribut di sekitarnya. Ya. belum lagi ditinggal sendiri, gejolak api neraka seolah tersuguh di depan iris matanya.
Said yang dahulu rapi dan bersih, kini tampak kusut masai. Debu-debu liar hinggap dan mengubah kecerahan kulitnya. Sa’id tidak pernah lagi berselera untuk makan dan minum serta tidak pernah lagi tertawa semenjak mereka menemui dan membawanya pergi.
Pemandangan mengharukan berhasil menyentak perasaan kaum dan menghentikan perdebatan ringan itu. Lalu mereka berkata serentak, “Wahai sebaik-baik penduduk bumi, andai saja kami tidak mengenalmu dan diutus untuk menangkapmu. Duhai kecelakaan bagi kami, kecelakaan yang kami rasa akan sulit berakhir.”
“Kenapa kami harus menerima musibah dengan sebab menangkapmu? Duhai, mohonkan maaf kepada Pencipta kami di padang mashyar nanti, Dialah pemutus perkara yang Mahaagung dan Mahaadil dan tidak akan berbuat zalim sedikit jua.”
Sa’id berkata, “Aku tak mampu memastikan apakah Allah akan membuatku rida terhadap kalian atau memberi kalian uzur. Nasibku nanti semua ada pada takdir Allah yang telah ada sejak dulu.”
Kontan mereka menangis sejadi-jadinya….
Setelah mereda, Al Mutalammis berkata, “Aku memohon atas nama Allah kepadamu wahai Sa’id, bekalilah kami dengan untaian doa-doa dan nasihatmu, kami rasa tidak akan ada lagi orang sehebatmu yang akan kutemui sepeninggalmu Sampai kiamat.” Kemudian dengan tulus, Sa’id mengajari mereka doa-doa dan nasihat. Setelah itu Sa’id pun dibiarkan menjauh. Sa’id bin Jubair membersihkan badannya, dibasuhnya kepala, baju, dan kain sarungnya. Dan mereka semua di malam itu menyingkir dari Sa’id.
***
Ketika fajar Subuh menjelang, seperti yang dijanjikan, Sa’id bin Jubair mendatangi mereka dan mengetuk pintu. Mereka berkata, “Siapa di luar?”
“Kawan kalian, Demi Rabbil Ka’bah,” jawab Sa’id. Dengan derai air mata, mereka pun turun berhamburan menyambut kedatangan Sa’id. Cukup lama mereka tenggelam dalam tangis.
Beberapa saat kemudian, kafilah ini menuju jagal para ulama, Al Hajjaj bin Yusuf. Di tangan Al Hajjaj inilah, 120 ribu muwahhid (penganut tauhid) telah meregang nyawa. Di antara mereka ada berstatus sebagai shahabat Nabi dan tabi’in.
Al Mutalammis dan seorang lagi dari anggota pasukan mengapit Sa’id menuju pintu gerbang. Setelah mengucap salam, Al Mutalammis dan salah satu pasukannya masuk menghadap Al Hajjaj.
“Kalian berhasil menangkap Sa’id,” bentak Al Hajjaj
“Ya, dan kami telah menyaksikan keajaiban selama bersamanya.” Al Hajjaj tidak tertarik untuk menyimak keajaiban itu. Ia palingkan mukanya dari pasukan elit utusannya itu lalu berteriak, “Suruh dia masuk!”
Al Mutalammis segera keluar menemui Sa’id “Wahai kawan, engkau disuruh masuk. Aku hanya bisa menitipkan jiwamu kepada Allah. Semoga keselamatan atasmu.” Tutur komandan pasukan itu melepas kepergian Sa’id.
Lalu masuklah Sa’id ke hadapan Al Hajjaj tanpa rasa gentar setitik pun.
“Siapa namamu?” tanya Al Hajjaj, semoga Allah memberinya ganjaran yang setimpal atas perbuatannya. “Aku Sa’id bin Jubair (Sa’id artinya orang yang bahagia; Jubair artinya yang menambal), wahai Hajjaj.” “Bukan! Kamu adalah Syaqiy bin Kasir (Syaqiy artinya orang yang sengsara; Kasir artinya orang yang pecah).”
“Ibuku lebih tahu siapa namaku.” “Sengsara dirimu dan sengsara ibumu!”
“Bukan dirimu yang mengetahui urusan gaib (sengsara atau bahagianya seseorang di akhirat adalah urusan gaib, hanya Allah yang mengetahui).”
“Aku akan ubah duniamu ini menjadi api yang melalapmu!”
Dengan penuh keberanian Sa’id menukas, “Oh, andai aku tahu kau bisa melakukan itu, sejak dulu aku menyembahmu!”
“Apa pendapatmu tentang Muhammad?”
“Nabi penebar kasih dan pemimpin yang memberi petunjuk.”
“Bagaimana Ali, dia di surga atau di neraka?” tanya Al Hajjaj menginterogasi.
“Kalau aku masuk surga lalu melihat penghuninya baru aku tahu.”
“Terangkan kepadaku bagaimana nasib para raja dan penguasa Islam?”
Sa’id menjawab, “Aku tidak diberi kuasa untuk menilai nasib mereka.”
“Siapa yang paling kamu kagumi di antara mereka?” “Yang paling diridai oleh Penciptaku.”
“Siapa yang paling diridai oleh Sang Pencipta?”
“Ilmu tentang urusan ini di sisi Zat yang mengetahui rahasia mereka dan yang bisikan-bisikan mereka.”
“Kau tidak mau jujur kepadaku?!”
“Aku tidak suka berdusta kepadamu!”
Al Hajjaj terus saja melontarkan pertanyaan-pertanyaan celotehan, “Lantas, kenapa kamu tidak tertawa?”
“Bagaimana bisa makhluk yang diciptakan dari tanah tertawa, sementara tanah itu bisa termakan api neraka?!” “Lantas, mengapa kami tertawa?”
“Kalbu itu berbeda-beda.”
Kemudian Al-Hajjaj minta didatangkan perhiasan berupa intan, permata, dan mutiara lalu dikumpulkan di hadapan Sa’id. Sa’id berkata, “Alangkah baiknya, kalau kau kumpulkan perhiasan-perhiasan ini agar kamu terjaga dari ketakutan yang mengancammu di hari kiamat. Jika tidak, sungguh satu guncangan saja di hari kiamat kelak, bisa membuat lalai ibu yang tengah menyusui anaknya. Tidak ada kebaikan yang dikumpulkan di dunia kecuali yang baik dan suci.”
Tak lama berselang, Al-Hajjaj meminta didatangkan sebatang seruling dan rebab. Ketika senar-senar rebab itu digesek dan seruling ditiup menghasilkan suara mengalun tiba-tiba Sa’id menangis.
Al-Hajjaj mengatakan, “Kenapa engkau menangis?! Ini hanya permainan!”
Sa’id menjawab, “Justru aku sedih! Seruling itu mengingatkan aku dengan sangkakala pada hari ditiupkannya (oleh Malaikat Israfil hari kiamat). Batang kayu rebab itu, sungguh telah dipotong untuk sesuatu yang tidak dibenarkan. Sedang senar-senar itu dibuat dari usus domba yang engkau mainkan sekarang, akan dibangkitkan menyiksamu kelak di neraka!”
Dengan geram Al Hajjaj berseru, “Celaka kau wahai Sa’id!!”
“Kecelakaan itu bagi orang yang disingkirkan dari surga dan dimasukkan ke neraka,” jawab Sa’id.
“Dengan cara bagaimana kamu inginkan untuk aku bunuh?!”
Sa’id berkata, “Silakan pilih sendiri. Demi Allah, dengan cara apa pun kau membunuhku, maka seperti itu pula aku akan balas menyiksamu pada hari kiamat, dengan seizin Rabbku.”
Al Hajjaj berkata, “Kalau begitu kamu ingin mendapat pengampunanku?” Sa’id berkata, “Jika dari Allah, maka itu yang selalu aku harapkan. Adapun dirimu, kamu sendiri tidak bisa terbebas dari dosamu dan tidak ada udzur bagimu.”
Al Hajjaj pun menitahkan kepada tentaranya, “Seret dia dan bunuh!”
Tatkala Sa’id keluar dari hadapan Al-Hajjaj, beliau tertawa. Tertawanya Sa’id itu dilaporkan kepada Al-Hajjaj. Al Hajjaj pun meminta agar Sa’id dihadapkan kembali. Al- Hajjaj berkata, “Hey, kenapa engkau tertawa?”
Sa’id menjawab, “Aku merasa heran, betapa lancangnya dirimu di hadapan Allah, sedangkan Allah sangat lembut dan penyantun terhadap dirimu.”
“Datangkan tikar dari kulit dan telentangkan dia!!” Lalu
Al Hajjaj berkata lagi, “Bunuh!
Sa’id membaca ayat,
إلى وجهتُ وَجْهِيَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Aku menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dalam kondisi bertauhid dan berserah diri kepada Allah, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” [Q.S. AI An’am:79] “
Palingkan dia dari arah kiblat,” perintah Al Hajjaj.
Sa’id membaca ayat,
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“Ke mana pun kalian menghadapkan wajahmu, di sanalah wajah Allah (yakni arah kalian menghadap kepada Allah).” [Q.S. Al Baqarah:115]
“Sungkurkan wajahnya ke tanah!” kata Al Hajjaj geram. Sa’id pun membaca ayat,
مِنْهَا خَلَقْتَكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا تُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى
“Darinya (tanah) Kami menciptakan kalian dan pada tanah Kami mengembalikan kalian dan dari tanah pula Kami keluarkan kalian untuk kedua kalinya.” [Q.S. Thaha:55]
“Sembelih dia!!” perintah Al Hajjaj.
Sa’id pun mengatakan, “Adapun aku, aku jawab dengan ucapan, ‘Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) kecuali Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.’ Ambillah syahadat ini dariku sampai kau bertemu denganku pada hari kiamat (kelak aku akan berargumen dengannya di hadapan Allah atas kezalimanmu).”
Sa’id pun memanjatkan doanya, “Ya Allah, janganlah Engkau kuasakan orang ini terhadap seorang pun untuk dia bunuh setelahku.”
Kemudian Sa’id dieksekusi dengan cara disembelih di atas tikar kulit. Semoga Allah merahmati dan meridainya dan mengampuni kesalahannya. Sa’id tetap mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” beberapa kali setelah kepalanya putus.
Sebagian sumber menyebutkan bahwa setelah kejadian penjagalan ini, Al Hajjaj hanya bisa menghirup napas selama 15 hari. Perutnya kemasukan binatang pemangsa yang menggerogoti tubuhnya. Maka para tabib berusaha mengeluarkan dengan cara memasang sekerat daging busuk di dalam saluran kerongkongan Al Hajjaj dengan tujuan memancing keluar binatang mematikan itu. Usaha mereka gagal. Saat menarik daging busuk itu, hanya terlihat bercak-bercak darah. Tak lama kemudian Al Hajjaj pun binasa. Akan tetapi, Adz Dzahabi mengomentarinya, “Ini adalah kisah yang mungkar, tidak benar.”
***
Sa’id bin Jubair telah tiada. Namun, namanya tetap hidup dalam lembaran-lembaran warisan Nabi. Padanya ada untaian mutiara yang patut kita genggami.
Sa’id berkata, “Sungguh, rasa takut yang paling bernilai adalah takutmu kepada Allah yang mampu mencegahmu dari perbuatan maksiat dan mendukungmu untuk menaati-Nya. Itulah rasa takut yang berfaedah.”
Sa’id juga pernah berkata, “Zikir adalah dengan menaati Allah. Siapa saja yang menaati Allah, ia telah menyanjung-Nya. Dan siapa yang tidak menaati Allah dia bukan pengingat-Nya, walaupun dia sering mengucap kalimat thayyibah dan bertadarus Al Quran.”
Pernah ditanyakan kepada Sa’id bin Jubair, “Siapa sebenarnya orang yang paling ‘abid (banyak beribadah). “Menurutku, seorang lelaki yang terjatuh pada dosa-dosa lalu setiap kali teringat akan satu dari dosa itu, ia menyadari betapa sedikit dan remeh semua amal kebaikannya.”
***
Sa’id bin Jubair adalah tokoh tabi’in yang sangat berilmu. Telah berguru kepada sejumlah shahabat besar dan mulia. Di antara syaikh beliau yang paling banyak ia serap ilmunya adalah Abdullah bin ‘Abbas. Sa’id adalah orang yang sangat ahli dalam hadis, ribuan hadis telah dihafalnya. Ia termasuk pula periwayat Al Quran dari para shahabat dan yang kemudian duduk mengajarkan Al Quran kepada umat di zaman itu. Ia juga seorang pakar tafsir. Semoga Allah meridainya dan mengampuni dosa-dosanya.
Wallahu a’lam.
Sumber tulisan: :
– Hilyatul Auliya
– Al Bidayah wan Nihayah Siyar Alamin Nubala
Dikutip dari Buku Kisah Menakjubkan Para Ulama, Catatan Kemilau Kehidupan Para Pewaris Nabi, Penerbit Media Tashfiyah
Referensi : https://www.atsar.id/2023/09/kisah-said-bin-jubair-ditangkap-dibunuh-al-hajjaj-bin-yusuf.html
Nama dan Asalnya
Beliau adalah Abu Abdillah atau Abū Muhammad Sa’īd bin Jubair bin Hisyam al-Asadī al-Wālibī al-Kūfī. Seorang tokoh tābi’īn yang terkemuka, ahli ibadah, pakar dalam berbagai bidang ilmu, hingga ia digelari dengan al-Imām al-Hāfiz al-Muqri’ al-Mufassir al-Syahīd.[1]
Diketahui dari warna kulitnya bahwa ia berasal dari negeri Afrika. Ia berkulit hitam, karena orang tuanya berasal dari negeri Habasyah. Orang tuanya sudah lama bermukim di Kufah, maka Sa’īd bin Jubair terlahir di Kufah. Ibunya bernama Ummi al-Dahmā’ seorang pecinta dan pengkhidmat Ahlu bait Rasulillah, sedang ayahnya bernama Jubair bin Hisyam al-Asadī.
Banyak para ulama yang tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti oleh para sejarawan. Sa’īd bin Jubair termasuk di antaranya. Namun demikian, Imām Al-Zahabi (w. 748 H) memprediksi bahwa Said bin Jubair lahir di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, karena sebelum wafatnya, Sa’īd bin Jubair pernah berkata kepada anaknya: kehidupan ayahmu hanyalah 57 tahun. Informasi ini menunjukan bahwa tahun kelahirannya sekitar 38 H.[2]
Perkembangan Keilmuannya
Sa’īd bin Jubair tumbuh dalam keluarga yang cinta agama. Giat ibadah dan beramal shalih. Hal ini menjadi modal utamanya dalam menyusuri tangga-tangga keilmuan, hingga ia menjadi guru besar dalam berbagai bidang ilmu. Allah ﷻ tegaskan hal ini dalam firman-Nya:
…وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (البقرة: 282)
Artinya:
…dan bertakwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah memberikan pengajaran (ilmu) kepadamu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. al-Baqarah: 282)
Sejak masih belia, ibunda Sa’īd bin Jubair sudah membiasakannya mendirikan shalat lail di setiap malamnya. Abū Nu’aim al-Asbahānī (w. 430 H) meriwayatkan bahwa Sa’īd bin Jubair memiliki ayam jantan yang suaranya dijadikan sebagai alaram untuk bangun shalat lail. Di satu malam ayam itu tidak berkokok. Sa’īd bin Jubair pun bangun di subuh hari terluput qiyam al-lail. Ia lalu berkata: mengapa ayam itu tidak berkokok? Semoga Allah menghilangkan suaranya. Sejak saat itu, ayam itu tidak bisa lagi bersuara. Ibunya lalu menasihatinya: duhai anakku, mulai hari ini janganlah engkau mendo’akan siapapun dengan keburukan.[3]
Kemuliaan ilmu tidak digapai dengan bermalas-malasan. Nasihat ini melekat dalam jiwa Sa’īd bin Jubair, sehingga terlihat jelas buktinya dalam kesungguhannya saat menuntut ilmu. Imām Al-Zahabī (w. 748 H) menggambarkan hal itu:
عَنْ جَعْفَرِ بنِ أَبِي المُغِيْرَةِ، عَنْ سَعِيْدِ بنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: رُبَّمَا أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، فَكَتَبْتُ فِي صَحِيْفَتِي حَتَّى أَمْلأَهَا، وَكَتَبْتُ فِي نَعْلِي حَتَّى أَمْلأَهَا، وَكَتَبْتُ فِي كَفِّي حَتَّى أَمْلأَهَا[4]
Maknanya:
Dari Ja’far bin Abi al-Mughīrah bahwa Sa’īd bin Jubair berkata: setiapkali aku berguru kepada Abdullah bin Abbas, aku menulis (deras ilmunya) di buku tulisku hingga penuh, aku lalu menuliskan (limpahan ilmunnya) di sendalku hingga penuh, lalu aku menulis di telapak tanganku hingga penuh.
Niat yang tulus, tekad yang kuat dibarengi dengan ketekunan dan kerja keras dalam menimba ilmu, mengantarkan Sa’īd bin Jubair menuju puncak ilmu yang sangat tinggi. Ibnu Khilkan (w. 681 H) dalam wafayāt al-A’yān menuturkan:
قَالَ خَصِيْفٌ: كَانَ مِنْ أَعْلَمِ التَّابِعِين بِالطَّلاَقِ سَعِيْدُ بنُ الْمُسَيِّب، وبِالحَجِّ عَطَاءُ، وَبِالحَلاَلِ وَالحْرَامِ طَاوُس، وبِالتَّفْسِيْر أَبُو الحَجَّاجِ مُجَاهِدُ بنُ جَبْر، وَأَجْمَعَهُمْ لِذَلِكَ كُلِّهِ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ.[5]
Maknanya:
Khashif bin Abdirrahman al-Khidramī al-Jazarī (w. 138 H) berkata: ulama tābi’īn yang paling pakar dalam masalah hukum thalaq adalah Sa’īd bin al-Musayyib, dalam hukum haji adalah ‘Atha, dalam masalah halal dan haram adalah Thāwūs, dalam bidang tafsīr adalah Mujahid bin Jabr, dan yang pakar dalam semua bidang ilmu itu adalah Sa’id bin Jubair.
Kedalaman ilmu Sa’id bin Jubair bukan hanya diakui oleh murid atau sahabat-sahabat selevelnya, tapi juga diakui oleh gurunya sendiri, Abdullah bin Abbas. Dalam banyak kesempatan, gurunya yang bergelar Habru al-Ummah ini menyuruhnya untuk memberi fatwa atas pertanyaan-pertanyaan kaum muslimin. Imām al-Zahabī (w. 748 H) meriwayatkan:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِسَعِيْدِ بنِ جُبَيْرٍ: حَدِّثْ. قَالَ: أُحَدِّثُ وَأَنْتَ هَا هُنَا؟! قَالَ: أَوَلَيْسَ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْكَ أَنْ تُحِدِّثَ وَأَنَا شَاهِدٌ، فَإِنْ أَصَبْتَ فَذَاكَ، وَإِنْ أَخْطَأْتَ عَلَّمْتُكَ. [6]
Maknanya:
Abdullah bin Abbas pernah berkata kepada Sa’īd bin Jubair: berfatwalah. Ia lalu bertanya: pantaskah aku berfatwa (wahai guruku) sedang engkau berada di tengah-tengah kami? Ibnu Abbas menjawab: bukankah ini merupakan nikmat Allah atasmu, engkau berfatwa sedang aku mengawasimu? (berfatwalah), karena jika engkau benar itulah yang aku harapkan, dan jika engkau keliru, aku akan meluruskanmu.
Setelah Abdullah bin Abbas melihat kesempurnaan ilmu Sa’īd bin Jubair, ia mengirimnya ke kampung asalnya, Kufah untuk mengajarkan ilmunya. Di musim haji, jika penduduk Kufah datang bertanya kepada Abdullah bin Abbas, maka ia katakan bahwa murid terbaiknya telah berada di negeri mereka. Abū Nu’aim al-Asbahānī (w. 430 H) meriwayatkan, Dari Ja’far bin Abi al-Mughirah ia berkata: jika Abdulllah bin Abbas didatangi penduduk Kufah di musim haji meminta fatwanya, ia selalu berkata: bukankah di tempat kalian ada Ibnu Immi al-Dahmā’? (maksudnya: Sa’īd bin Jubair).[7]
Dalam biografi Sa’īd bin Jubair, kurang lebih empat kali ibunda Sa’īd bin Jubair disebutkan oleh para sejarawan. Ini menegaskan pentingnya peran seorang ibu dalam perkembangan keilmuan anaknya. Tutur kata, akhlak mulia dan budi pekerti luhur seorang ibu merupakan cahaya pertama yang menerangi jalan hidup anaknya. Benarlah perkataan yang mengatakan, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.[8]
Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Sa’īd bin Jubair lahir di masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu (w. 40 H). Walaupun situasi politik masa itu mengalami guncangan, namun para tābi’īn tetap konsisten mengemban amanah Rasulullah ﷺ, yaitu menjaga syari’at Allah agar tetap eksis di atas muka bumi. Salah satu bentuk tanggung jawab para tābi’in itu adalah kegigihan mereka menimba ilmu dari para sahabat Nabi.
Sa’id bin Jubair menimba ilmu dari banyak sahabat Nabi, di antaranya yaitu Abdullah bin Abbās, yang merupakan guru terbaiknya. Dari Habru al-Ummah ini pondasi dan bangunan keilmuannya terbentuk hingga menjadi sempurna. Ia juga berguru kepada Abdullah bin Umar, Abdullah bin Al-Zubair, Abdullah bin Mughaffal, Anas bin Malik, Abī Saīd al-Khudrī, Adī bin Hātim, Abū Mūsā al-Asy’arī, Abū Hurairah, Abū Ma’ūd al-Badrī, Al-Dhahāk bin Qais, Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Ia juga belajar kepada guru-guru besar para tābi’īn seperti Abū Abdurrahmān al-Sulamī.[9]
Setelah menjalani proses menuntut ilmu yang cukup lama, selanjutnya Sa’id bin Jubair mengajarkan ilmunya kepada generasi berikutnya. Dari didikannya, lahirlah murid-murid terbaik, seperti Abū Shalih al-Sammān, Ayūb al-Sikhtiyānī, Bukair bin Syihāb, Sulaimān al-Ahwal, Sulaimān al-A’masy, Simāk bin Harb, al-Zuhrī dan lainnya.[10]
Kontribusi Sa’id bin Jubair dalam Islam sangat besar, khususnya dalam mengabadikan tafsir al-Quran al-Karīm. Kepada Abdullah bin Abbas, berkali-kali Sa’id bin Jubair mendalami tafsir al-Quran ayat demi ayat dari awal hingga akhir. Kontribusinya dalam bidang hadīṡ tak diragukan lagi, namanya kerap disebutkan dalam deretan rantai periwayatan oleh para penulis kitab-kitab hadīṡ. Pandangan dan pendapatnnya dalam ilmu fikih menjadi pondasi-pondasi dasar berdirinya mazhab-mazhab fikih bagi generasi berikutnya.
Apresiasi Ulama Terhadapnya
Sebagai imam besar di kalangan para tabi’īn di thabaqah ke dua, Sa’īd bin Jubair banyak mendapatkan pujian dan apresiasi dari para tokoh di zamannya, mulai dari kalangan tabi’īn hingga kalangan sahabat Nabi.
Dalam siyarnya, Imām Al-Zahabi (w. 748 H) berkata: Sa’id bin Jubair adalah seorang imām (guru besar), al-Hāfiz (penghafal dan periwayat hadīṡ), al-Muqri’ (pakar qira’ah), al-Mufassir (ahli tafsir) al-syahīd, ulama besar di kota Kufah.[11]
Dari Amr bin Maimun, ayahnya berkata: telah wafat Sa’id bin Jubair dan tidaklah seorangpun di dunia ini kecuali dia membutuhkan ilmunya.[12]
Berkata Asy’aṡ bin Ishaq: dikatakan bahwa Sa’id bin Jubair adalah ulama yang paling cerdas. [13]
Dalam kitab tahzīb al-Tahzīb, Ibnu Hajar al-Asqalāni (w. 852 H) menyebutkan, Abu al-Qasim al-Thabari (w. 350 H) berkata: Sa’īd bin Jubair adalah seorang ulama besar yang ṡiqah, menjadi hujjah bagi kaum muslimin. Ibnu Hibbān (w. 354 H) dalam kitab al-ṡiqāt berkata: ia adalah pakar fikih, ahli ibadah, memiliki keutamaan dan bersifat warak. Yahya bin Sa’id al-Anshārī (w. 143 H) berkata: riwayat-riwayat mursal Sa’id bin Jubair lebih aku sukai dari riwayat mursal ‘Atha dan Mujahid. Sufyan al-Ṡaurī lebih mendahulukan Sa’id bin Jubair atas Ibrahim (bin Abdirrahman bin Auf) dalam tingkat keilmuan, ilmunnya lebih luas dari Mujahid bin Jabr dan Thawus bin Kaisan.[14]
Mutiara Hikmahnya
Sa’id bin Jubair dikenal sebagai seorang ulama yang tinggi ketakwaannya serta rasa takutnya kepada Allah ﷻ. Kesungguhannya dalam ibadah menjadi teladan yang susah didapat bandingannya. Ia termasuk ulama yang zuhud, warak, selalu mengingatkan manusia akan akhirat dan tidak tenggelam dalam gemerlapnya dunia. Ia juga dikenal dengan keberaniannya dalam amar ma’ruf nahi munkar. Ia kokoh berdiri di atas jalan kebenaran, walaupun harus berhadapan dengan penguasa zalim.
Di setiap tahun Sa’id bin Jubair berihram dua kali, sekali untuk haji dan sekali untuk umrah. Malam-malamnya selalu dihiasi dengan qiyām lail, siang harinya dipenuhi dengan puasa. Kedekatannya dengan al-Quran bukan hanya saat studinya atau saat ia mengajarkannya, namun Sa’id bin Jubair selalu membacanya, hingga ia rajin mengkhatamkannya.
Imam al-Zahabī (w. 748 H) meriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair sering menagis di malam hari hingga menjadi lemah penglihatannya. Al-Qasim bin Abi Ayyub berkata: dalam shalatnya, Sa’id bin Jubair sering mengulang-ulang puluhan kali firman Allah ﷻ:
(وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّه) (البقرة: 281)
Artinya:
dan takutlah kalian pada hari (ketika) kalian dikembalikan kepada Allah (QS. al-Baqarah: 281) [15]
Dari Hasan bin Shalih dari Wiqā’ ia berkata: di bulan Ramadhan, Sa’id bin Jubair dapat mengkhatamkan al-Quran antara maghrib dan Isya, dahulu mereka (para salaf) mengakhirkan pelaksanaan shalat isya.[16] Dari Abd al-Malik bin Sulaiman ia berkata: bahwa Sa’id bin Jubair sering kali mengkhatamkan al-Quran dalam dua malam.[17]
Bukair bin ‘Atīq menceritakan: satu kali aku memberi madu kepada Sa’īd bin Jubair di sebuah gelas, setelah ia meminumnya ia berkata: demi Allah aku pasti akan ditanya tentang nikmat ini. Aku bertanya kepadanya: mengapa? Ia menjawab: karena aku menikmatinya saat aku meneguknya.[18]
Sa’īd bin Jubair berkata: sesungguhnya rasa takut kepada Allah dapat menjagamu dari maksiat kepada-Nya, zikir itu adalah ketaatan kepada Allah, siapa saja yang taat kepada Allah sungguh ia telah berzikir kepada-Nya, siapapun yang tidak menaati-Nya sungguh ia lalai dari berzikir kepada-Nya, walaupun orang itu banyak bertasbih dan sering membaca al-Quran.[19]
Said bin Jubair juga pernah berkata: jika aku diberi amanah menjaga rumah mewah yang terbuat dari berlian, jauh lebih ringan bagiku daripada aku diberi amanah menjaga seorang wanita yang berparas cantik.[20]
Fitnatu al-Qurrā’
Fitnatu al-Qurrā’ atau lebih dikenal dalam sejarah dengan fitnatu Ibni al-Asy’aṡ adalah satu gerakan militer tentara Irak bersama para ulama Kufah dan Bashrah dalam usaha untuk menumbangkan kezaliman Al-Hajjaj bin Yusuf al-Ṡaqafī (w. 95 H) yang menjabat sebagai gubernur saat itu di kota Irak di bawah kepemimpinan Khalifah Abdu al-Malik bin Marwān (w. 86 H).
Awalnya Abdurrahmān bin al-Asy’aṡ al-Kindī, panglima militer terbaik di Irak, ditugaskan oleh Al-Hajjāj ke Sijistān untuk menghukum raja Ratbil karena ia melanggar perjanjian dengan kaum muslimin. Kemenangan demi kemenangan tentara kaum muslimin capai di medan pertempuran. Ketika Abdurrahman bin al-Asy’aṡ hendak mengistirahatkan pasukannya beberapa waktu, ternyata Al-Hajjāj bin Yusuf al-Ṡaqafī tidak sepakat, bahkan dengan jumawa ia memaksa pasukan untuk melanjutkan peperangan dan tidak mengizinkan mereka beristirahat.[21]
Hal itu memicu kemarahan panglima-panglima besar yang berada di medan tempur, sehingga mereka sepakat untuk membai’at Abdurrahman bin al-Asy’aṡ demi menumbangkan kezaliman Al-Hajjāj bin Yusuf di Irak. Sebagain ulama Irak pun ikut di barisan Abddurrahmān bin al-Asy’aṡ.
Sejarah menuliskan, ratusan ulama Kufah dan Bashrah berada di barisan Abdurrahman bin al-Asy’aṡ. bukan hanya ulama biasa, tapi mereka adalah ulama-ulama terkemuka, seperti: Sa’id bin Jubair, Muslim bin Yasār, Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqāsh, ‘Ᾱmir bin Syarahīl Al-Sya’bī, ‘Athā’ bin Sā’ib, Abu al-Bukhturī, Abdurrahmān bin Abī Lailā, dan ulama-ulama lainnya, sehingga fenomena ini di kenal dalam sejarah dengan nama fitnatu al-Qurrā’.
Peperangan antara pasukan Abdurrahman bin Al-Asy’aṡ al-Kindī dengan pasukan Al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafī yang disokong oleh Abd al-Malik bin Marwān berlangsung cukup lama, dari tahun 81 H hingga 83 H. Singkat cerita, peperangan dimenangkan oleh Al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafī. Ia lalu mengeksekusi semua yang terlibat dalam revolusi ini.
Tidaklah didatangkan pendukung Abdurrahman bin al-Asy’aṡ di hadapan Al-Hajjaj kecuali dia memberinya dua pilihan, pertama: jika orang itu mengaku telah kafir, maka Al-Hajjaj membebaskannya. (maksud kafir: karena mereka keluar dari bai’at Abd al-Malik bin Marwan). Pilihan kedua: siapapun dari mereka yang tetap mengaku muslim, maka hukum pancung siap menantinya. Banyak dari mereka yang melarikan diri, termasuk Sa’id bin Jubair, yang melarikan diri ke Makkah.
Wafatnya
Wafatnya Sa’id bin Jubair termasuk kisah yang memilukan. Rasa haru memenuhi qalbu siapapun yang membaca tentang akhir perjalanan hidup seorang pakar tafsīr dan perawi hadīṡ yang ṡiqah ini. Kezaliman Al-Hajjāj bin Yusuf al-Ṡaqafī di kota Irak, Kufah dan Bashrah menjadi sebab utama hal ini.
Sa’id bin Jubair dalam pelarian dari tahun 83 H hingga tahun 95 H.[22] Ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Hingga sampailah Sa’īd bin Jubair di Makkah. Di saat tawaf di sekeliling Ka’bah, ia bersama Thalq bin Habīb ditangkap oleh pemerintah Makkah saat itu, yaitu Khalid bin Abdillah al-Qasrī. Lalu mereka dikirim ke Al-Hajjaj bin Yusuf di Irak untuk dieksekusi. [23]
Di lokasi eksekusi, Al-Hajaj merendahkan Sa’id bin Jubair dengan bertanya: engkaukah Syaqi bin Kusair? (artinya: orang sengsara anak dari orang lemah). Said bin Jubair (artinya: orang bahagia anak dari orang yang kuat) menjawab: namaku seperti yang diberikan oleh ibuku. Mengapa engkau berani memberontak? Tanya al-Hajjaj. Dengan tegas Sa’id bin Jubair menjawab: karena aku telah berbai’at kepada Abdurrahman bin al-Asy’aṡ. mendengaar itu kemarahan al-Hajjaj semakin membara.
Sebelum dihukum pancung, Sa’id bin Jubair meminta agar diberi kesempatan shalat dua raka’at. Dengan sinisnya Al-Hajjaj mengatakan kepada tentaranya: alihkan kiblatnya ke kiblat orang Nashrani. Sa’id bin Jubair hanya bisa membaca firman Allah ﷻ: kemanapun kamu menghadap, disanalah wajah wajah Allah (QS. al-Baqarah: 155). Lalu Al-Hajjaj memerintahkan agar wajah Sa’id bin Jubair di tempelkan ke tanah. Ia lalu membaca firman Allah: darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu, dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain (QS. Taha: 55).
Sebelum dieksekusi, Sa’īd bin Jubair sempat berdo’a: Ya Allah, janganlah Engkau beri kesempatan keada Al-Hajjāj membunuh seorangpun setelahku. Do’a ini Allah ﷻ kabulkan, tak lama setelah wafatnya Sa’īd bin Jubair, Al-Hajjāj bin Yusuf juga wafat. [24]
Tahun 95 H bulan sya’ban, menjadi akhir perjalanan hidup seorang ulama rabbānī, Sa’id bin Jubair di umur 57 tahun. Ia dihukum pancung oleh pemerintah zalim al-Hajjāj bin Yusuf al-Ṡaqafī dalam keadaan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kehidupan Sa’īd bin Jubair, menerapkan semangatnya dalam langkah perjuangan demi kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Footnote:
[1] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, (cet. 2, muassasah al-risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), juz. 4, h. 321
[2] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 341
[3] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, (cet. 3, dār al-kutub al-ilmiyah, Bairut, 1409 H), juz. 4, h. 274
[4] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 335
[5] Ibnu Khilkān, wafayāt al-a’yān wa anbā’u Abnā’i al-zamān, (cet. 1, dār al-shādir, Bairut, 1971 M), juz. 2, h. 372
[6] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 335
[7] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 4, h. 273
[8] Beberapa sumber data yang menyebutkan ibunda Sa’īd bin Jubair:
فَقَالَتْ لَهُ أُمُّهُ: أَيْ بُنَيَّ، لَا تَدْعُ عَلَى شَيْءٍ بَعْدَهَا (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء 4/ 274)
لَدَغَتْنِي عَقْرَبٌ، فَأَقْسَمَتْ عَلَيَّ أُمِّي أَنْ أَسْتَرْقِيَ، فَأَعْطَيْتُ الرَّاقِي يَدِي الَّتِي لَمْ تُلْدَغْ، وَكَرِهْتُ أَنْ أُحَنِّثَهَا (سير أعلام النبلاء 4/333)
كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِذَا أَتَاهُ أَهْلُ الْكُوفَةِ يَسْتَفْتُونَهُ يَقُولُ: «أَلَيْسَ فِيكُمُ ابْنُ أُمِّ الدَّهْمَاءِ؟(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء 4/ 273)
قَالَ الحجاج لسعيد: أَنْتَ شَقِيُّ بنُ كُسَيْرٍ، لأَقْتُلَنَّكَ. قَالَ: فَإِذاً أَنَا كَمَا سَمَّتْنِي أُمِّي (سير أعلام النبلاء 4/327)
[9] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 322
[10] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 323
[11] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 321
[12] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 4, h. 273
[13] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 333
[14] Ibnu Hajar al-Asqalānī, Tahżīb al-Tahżīb, (cet. India : Dairatu al-Ma’ārif al-Nizāmiyah, 1326 H), juz. 4 h. 13-14
[15] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, tażkirat al-Huffāz, (cet. Dār al-kutub al-ilmiyah, Libanon, 1419 H/ 1998 M), juz. 1, h. 61
[16] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, (cet. 1, Muassasah al-risālah, Beirut, 1400 H/1980 M), juz. 10, h. 363. Mengomentari hal ini, Imam al-Zahabi berkata: idealnya menamatkan al-Quran tidak boleh kurang dari tiga hari, karena ada larangan Nabi ﷺ menamatkannya kurang dari tiga hari.(lihat. Siyar A’lām Nubala Juz. 4, h. 324)
[17] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, juz. 10, h. 363
[18] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 334
[19] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, juz. 10, h. 365
[20] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 4, h. 275
[21] Abdu Syafi Muhammad Abd al-Lathīf, Al-‘Ᾱlam al-Isami fi al-‘Ashri al-Umawī, diterjemahkan dengan judul, Bangkit dan runtuhnya Khilafah Bani Umayah, oleh Masturi Irham dan Malik Supar, (Cet. 1. Al-Kauṡar) h. 633
[22] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 337
[23] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 336
[24] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 332
Sumber : https://markazsunnah.com/biografi-said-bin-jubair-95-h/
