Satuan-satuan Perang antara Perang Uhud dan Ahzab
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Satuan Perang di bawah Komando Abu Salamah
- Satuan Pasukan di bawah Komando Abdullah bin Unais
- Utusan ke Ar-Raj’i
- Tragedi Bi’r Ma’unah
- Perang Bani Nadhir
- Perang Najd
- Perang Badr yang Kedua
- Perang Dumatul Jandal
Bancana Perang Uhud membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pamor orang-orang mukmin. Aroma mereka menjadi luntur dan wibawa mereka di hati manusia menjadi susut. Kondisi ini ditambah lagi dengan beberapa kendala internal dan eksternal. Banyak bahaya yang mengepung Madinah dari segala penjuru. Orang-orang Yahudi, munafik dan Badui memperlihatkan permusuhan secara terang-terangan. Masing-masing di antara mereka mengintai orang-orang Mukmin dan bahkan bermaksud hendak menghancurkan dan mencabut eksistensinya.
Belum genap dua bulan setelah Perang Uhud, Bani As’ ad sudah menggelar persiapan untuk menyerang Madinah. Kemudian kabilah-kabilah Adhal dan Qarah pada bulan Shafar 4 H, melakukan konspirasi yang mengakibatkan kematian sepuluh sahabat. Pada bulan yang sama juga muncul konspirasi yang dilakukan Bani Amr, yang mengakibatkan kematian tujuh sahabat. Kejadian ini terkenal dengan nama Bi’r Ma’unah. Selama masa itu orang-orang Yahudi Bani Nadhir senantiasa memperlihatkan permusuhan, hingga pada bulan Rabi’ul Awwal 4 H mereka melakukan konspirasi untuk membunuh Muhammad shallallahu alaihi washallam Bani Ghathan juga ikut-ikut latah untuk menyerang Madinah pada bulan Jumadil Ula.
Angin yang berhembus dari arah orang-orang mukmin seusai Perang Uhud menyebabkan mereka dikepung dari segala penjuru. Tetapi justru semua itu merupakan hikmah tersendiri bagi Rasulullah shallallahu alaihi washallam dalam mengalihkan berbagai gelombang serta mengembalikan pamor orang-orang muslim yang sempat surut. Kesudahannya, pamor dan kehebatan mereka bangkit kembali. Langkah pertama untuk mengembalikan pamor ini adalah gerakan pengusiran hingga ke Hamra’ul Asad. Gerakan ini membawa angin segar untuk mengembalikan pamor pasukan muslimin. Sehingga gerakan ini sempat menggetarkan dan mengejudkan hati orang-orang munafik dan Yahudi. Kemudian disusul dengan beberapa manuver militer yang semakin menambah prestise pasukan Muslimin. Berikut ini akan kami uraikan beberapa manuver militer dan gerakan pasukan Muslimin.
1. Satuan Perang di bawah Komando Abu Salamah
Yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap orang-orang Muslim setelah tragedi Uhud adalah Bani As’ad bin Khuzaimah. Mata-mata Madinah mencium bahwa Thalhah dan Salamah, anak Khuailid, sedang giat menggalang kekuatan bersama kaumnya dan mereka yang patuh kepada keduanya untuk menyerang Rasulullah shallallahu alaihi washallam.
Maka seketika itu pula beliau mengirimkan satuan pasukan dengan kekuatan seratus lima puluh personil dari Muhajirin dan Anshar. Beliau menunjuk Abu Salamah sebagai komandan dan sekaligus membawa benderanya. Abu salamah langsung menggulung Bani As’ad di perkampungan mereka sebelum mereka bangkit melakukan serangan ke Madinah. Karena tak menyangka akan mendapat serangan mendadak seperti itu, akhirnya mereka pun lari kocar kacir. Alhasil, orang-orang Muslim bisa mendapatkan harta rampasan yang banyak, berupa onta dan kambing milik Bani As’ad. Setelah itu, pasukan Muslimin kembali ke Madinah dengan keadaan utuh dengan membawa harta rampasan tanpa harus berperang.
Peristiwa ini terjadi tepat munculnya hilal bulan Muharram 4 H. Karena ada infeksi pada luka yang didapatakannya pada waktu Perang Uhud, tak lama kemudian Abu Salamah meninggal dunia.
2. Satuan Pasukan di bawah Komando Abdullah bin Unais
Pada tanggal 5 Muharram tahun itu pula, ada berita yang masuk ke Madinah bahwa Khalid bin Sufyan Al-Hudzali mengimpun orang untuk menyerang kaum Muslimin. Maka Rasulullah shallallahu alaihi washallam mengirim Abdullah bin Unais untuk membinasakannya.
Sejak meninggalkan Madinah, Abdullah bin Unais tidak muncul selama delapan belas hari. Kemudian pada hari Sabtu, sebelum habisnya bulan Muharram, dia muncul sambil membawa kepala Khalid bin Sufyan dan diperlihatkannya kepada beliau. Dia datang sambil menyerahkan sebuah tongkat kepada beliau, seraya berkata, “Ini merupakan tanda antara diriku dan engkau pada Hari Kiamat.” Wasiatnya, jika meninggal dunia dia berharap agar tongkat itu juga disertakan dalam kain kafannya.
Pada bulan Shafar pada tahun yang sama, ada beberapa orang dari Adhal dan Qarah yang datang ke Rasulullah shallallahu alaihi washallam, yang mengabarkan bahwa di tengah kaumnya ada beberapa orang Muslim. Mereka meminta agar dikirim beberapa orang untuk mengajarkan Islam dan membacakan Al-Qur’ an kepada mereka. Maka beliau mengutus enam orang. Tetapi menurut pendapat Ibnu Ishaq dan dalam riwayat ada sepuluh orang. Beliau menunjuk Martsad bin Abu Martsad Al-Ghanwi sebagai pemimpin rombongan. Menurut pendapat Ibnu Ishaq dan dalam riwayat Al-Bukhari, pemimpin rombongan adalah Ashim bin Tsabit.
Mereka berangkat bersama para utusan dari Adhal dan Qarah. Setibanya di Ar-Raj’i, sebuah pangkalan air milik Bani Hudmil di bilangm Hijaz, tepatnya antara Rabigh dan Jiddah, para utusan yang memang hendak memperdayai orang-orang Muslim itu meminta bantuan kepada penduduk sebuah perkampungan Hudzail, yaitu Bani Lahyan. Ada seratus orang pemanah yang menyusul dan akhirnya dapat menghampiri rombongan ini dan mengepung mereka. Sebenarnya orang-orang Muslim itu sudah berusaha menyelamatkan diri dengan cara medaki tempat yang tinggi.
Orang-orang yang mengepung mereka berkata, “Kami berjanji dan bersumpah tidak akan membunuh seorang pun di antara kalian asal kalian mau turun.
Ashim dan beberapa rekannya menolak tawaran yang dianggapnya hanya suatu jebakan. Maka dia bertempur melawan para pengepungnya hingga meninggal bersama tujuh rekannya yang lain. Sedangkan Khubaib bin Adi, Zaid bin Ad-Dastinah, dan seorang lagi yang masih hidup, ditawari perjanjian lagi. Mereka pun turun. Tetapi mereka dikhianati kemudian hendak diikat dengan belenggu yang biasa digunakan untuk membelenggu para tawanan. Orang yang ketiga berkata, “Ini merupakan awal pengkhianatan.” Karena terus menolak, akhirya orang itu dibunuh.
Mereka membawa Zaid dan Khubaib ke Makkah dan menjualnya disana. Padahal pada waktu Perang Badr, keduanya telah menghabisi sekian banyak para bangsawan Quraisy. Khubaib ditahan di Makkah dan dimasukan ke dalam penjara setelah dibeli Hujair bin Abu lhabAt-Tamimi, namun kemudian mereka sepakat untuk membunuhnya. Untuk melaksanakannya, mereka membawa pergi dari tanah suci ke Tan’ im. Saat mereka hendak menyalib badannya, Khubaib meminta kesempatan kepada mereka untuk mendirikan shalat dua rakaat saja. Permintaan ini mereka kabulkan. Setelah mengucapkan salam dia berkata sendiri, “Demi Allah, kalau bukan karena mereka akan mengatakan bahwa aku sedang ketakutan, tentu aku alian shalat lebih banyak lagi.” Kemudian dia berkata dengan suara nyaring, “Ya Allah, hitunglah bilangan mereka, binasakanlah mereka semua dan janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara mereka tetap hidup.” Setelah itu dia melantunkan syair.
Abu Sufyan menanyainya, “Apakah engkau suka jika Muhammad ada di tengah kami lalu lehernya kami tebas, sementara engkau bebas hidup di tengah keluargamu?”
Dia menjawab, “Tidak, demi Allah. Aku tidak suka berada di tengah keluargaku, sementara Muhammad di tempatnya terkena sebuah duri karena ulah kalian.”
Kemudian mereka menyalib tubuhnya dan membunuhnya serta menunjuk beberapa orang untuk menjaga jasadnya. Kemudian muncul Amr bin Umayyah Adh-Dhamiri dan pada malam harinya dia dapat mengakali para penjaga, lalu membawa jasadnya untuk dikuburkan. Yang menangani eksekusi terhadap Khubaib adalah Uqbah bin Al-Harits, yang pada waktu Perang Badr, Khubaib telah membunuh ayahnya Uqbah. Di dalam Ash-Shahih disebutkan bahwa Khubaib adalah orang pertama yang mentradisikan shalat dua rakaat jika ada orang Muslim yang hendak dieksekusi. Sewaktu masih ditawan di penjara, dia terlihat sedang memakan setangkai buah anggur, padahal di Makkah saat itu tidak ada buah anggur.
Sedangkan Zaid bin Ad-Datsinah dibeli Shafwan bin Umayyah, lalu dibunuhnya karena Zaid telah membunuh ayahnya.
Orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk mendatangi jasad Ashim dan memotong sebagian tubuhnya, agar mereka dapat benar-benar meyakini kematiannya, karena Ashim telah membunuh sekian banyak pemuka dan bangsawan Quraisy pada waktu Perang Badr. Namun Allah mengutus sekumpulan lebah yang melindungi jasadnya dari sentuhan para utusan orang orang kafir itu, sehingga mereka sama sekali tidak bisa menjamahnya. Sebelum itu dia sudah bersumpah kepada Allah untuk tidak bersentuhan kepada orang musyrik dan tidak membiarkan dirinya disentuh orang musyrik. Takala Umar bin Al-Khaththab mendengar kejadian ini, dia berkata, “Allah menjaga hamba yang Mukmin setelah meninggal dunia, sebagaimana Dia menjaganya sewaktu masih hidup.”
Pada bulan yang sama setelah tragedi Ar-Raj’i, terjadi tragedi lain yang lebih parah lagi, yang terkenal dengan nama tragedi Bi’r Ma’unah.
Ceritanya bermula dari kedatangan Abu Bara’ Amir bin Malik, yang berjuluk Mula’ibul Asinnah, menemui Rasulullah shallallahu alaihi washallam. Beliau menyerunya masuk Islam, namun dia tidak mau dan tidak menunjukkan permusuhan. Bahkan dia berkata, “Wahai Rasulullah, andaikan saja engkau mengutus para sahabatmu ke penduduk Najd menyeru mereka kepada agamamu, tentu aku berharap mereka mau memenuhi seruan itu.”
Beliau menjawab, “Aku mengkuwatirkan keamanan mereka dari ulah penduduk Najd.”
“Aku menjamin keamanan mereka,” jawab Bara’ .
Maka beliau mengutus 40 orang. Ini menurut pendapat Ibnu Ishaq. Sedangkan dalam riwayatAsh-Shalith disebutkan 70 orang. Yang kedua inilah pendapat yang benar. Baliau menunjuk Al-Mundzir bin Amr dari Bani Sa’idah, yang berjuluk Al-Ma’niqu Liyatnuta, sebagai pemimpin rombongan, yang terdiri dari para sahabat pilihan dan penghafal Al-Qur’ an. Bersama Abu Bara’ mereka mengadakan perjalanan pada siang hari. Mereka juga membeli makanan untuk dibagi-bagikan kepada penduduk yang dilewati sambil membaca Qur’an kepada mereka. Pada malam harinya mereka shalat malam. Akhimya
mereka tiba di Bi’r Ma’unah, daerah yang diapit Bani Amir dan Harrah Bani Sulaim. Setelah menetapkan untuk singgah disana, Harram bin Milhan diutus untuk menyampaikan surat Rasulullah shallallahu alaihi washallam kepada musuh Allah, Amir bin Ath¬Thufail. Setelah menerima surat itu Amir sama sekali tidak mau membacanya dan dia memerintahkan seseorang untuk menikam Haram dengan tombak dari arah belakang.
“Allah Maha besar. Aku telah beruntung demi Yang Menjaga Ka’bah,” kata Haram saat tubuhnya tertembus tombak dan dia melihat darah yang meleleh.
Seketika itu pula musuh Allah,Amir bin Ath-Thufail, mengajak Bani Amir untuk menghabisi orang-orang Muslim. Tetapi mereka menolak ajakannya itu, karena mereka terikat perjanjian persahabatan dengan Abu Bara’ yang menjamin keselamatan rombongan orang-orang Muslim. Lalu Amir bin Ath Thufail mendatangi kabilah dari Bani Sulaim. Ajakannya itu disambut oleh Ushayyah, Ri’l, dan Dzakwan. Mereka pun datang dan mengepung para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi washallam lalu membunuh tanpa ada seorang pun yang tersisa, selain Ka’b bin Zaid bin An-Najjar. Dia pura-pura mati terkena tombak di tengah-tengah rekannya yang sudah mati, hingga dia bisa selamat dan tetap hidup sampai meletus Perang Khandaq.
Sementara itu Amr bin Umayyah Adh-Dhamiri dan Al-Mundzir bin Uqbah bin Amir yang sedang menggembalakan ternak orang-orang Muslim, melihat sekumpulan burung yang berputar-putar tak jauh dari peristiwa pembantaian. Setelah Al-Mundzir tahu apa yang terjadi, dia menyerang orang-orang yang membantai rekan-rekannya hingga meninggal dunia.
Sedangkan Amr bin Umayyah ditawan Amir bin Ath-Thufail. Setelah diberitahu asalnya dari Bani Mudhar, maka Amir membebaskannya, disamping karena pembelaan budak wanita yang mengaku dulunya milik ibunya.
Amr bin Umayyah pergi ke Madinah hendak menemui Rasulullah shallallahu alaihi washallam membawa kabar yang menimpa tujuh puluh orang Muslim, dengan korban yang sama dengan Perang Uhud. Hanya saja dalam Perang Uhud mereka jelas pergi untuk berperang sedangkan kali ini mereka dikhianati.
Dalam perjalanan ke Madinah dan setibanya di sebuah jalan tembus di Qamarah, dia mengaso di bawah sebuah pohon. Tak lama kemudian datang dua orang dari Bani Kilab dan ikut mengaso di tempat itu. Setelah kedua orang tersebut tidur, Amr membunuh keduanya. Dia merasa puas dapat membalas rekan-rekannya yang telah terbunuh, karena dia mengira kedua orang itu termasuk para pengeroyok orang-orang Muslim. Padahal antara Nabi dan kabilah kedua orang itu ada penanjian persahabatan, dan tentu saja dia tidak mengetahuinya. Setelah tiba di Madinah, dia langsung mengabarkan apa yang dia lakukan terhadap dua orang tersebut. Beliau bersabda, “Engkau telah membunuh dua orang, yang berarti aku harus membayar tebusan.” Kemudian beliau sibuk mengumpulkan uang tebusan dari orang-orang Muslim dan sekutunya dari kalangan orang-orang Yahudi. Inilah yang menjadi sebab pecahnya perang Bani Nadhir yang akan diuraikan setelah ini.
Nabi shallallahu alaihi washallam sangat terpukul karena tragedi juga tragedi Ar-Rafi yang hanya terpaut beberapa hari. Beliau amat sedih dan berduka. Bahkan beliau sempat berdoa untuk melancarkan balasan terhadap kabilah-kabilah yang berkhianat dan membantai para sahabat. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas dia berkata, “Nabi shallallahu alaihi washallam terus berdoa untuk kecelakaan orang-orang yang telah membunuh para sahabat di Bi’r Ma’unah selama tiga puluh hari. Beliau berdoa pada shalat subuh bagi kecelakaan kaum Ri’l, Dzakwan, Lahyan, dan Ushayyah. Beliau bersabda, “Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Seperti yang sudah kami terangkan di bagian terdahulu, bahwa orang orang Yahudi sangat benci terhadap Islam dan orang-orang Muslim. Hanya saja mereka bukan termasuk orang-orang yang bisa berperang dan mengangkat senjata. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang suka berkhianat dan bersekongkol. Mereka menampakan kedengkian dan permusulian. Untuk itu mereka melakukan berbagai cara untuk mengganggu orang-orang Muslim tanpa harus berperang dengan mereka, sekalipun sudah ada perjanjian di antara mereka dan kaum muslimin, sekalipun setelah Perang Bani Qainuqa’ dan terbunuhnya Ka’b bin Al-Asyraf mereka selalu dicekam ketakutan dan lebih memilih diam.
Tetapi setelah Perang Uhud mereka menjadi lancang, berani menampakkan permusuhan dan pengkhianatan, aktif menjalin hubungan dengan orang-orang munafik dan orang-orang musyrik Makkah secara rahasia serta berbuat apa pun yang sekiranya menguntungkan mereka dalam melancarkan perlawanan terhadap orang-orang Muslim.
Nabi shallallahu alaihi washallam masih bersabar menghadapi ulah mereka, yang justru semakin bertambah berani setelah tragedi Ar-Raj’i dan Bi’r Ma’unah. Bahkan mereka melakukan konspirasi yang tujuaimya untuk membunuh beliau.
Ini terjadi saat beliau pergi mendatangi mereka bersama beberapa sahabat, agar mereka mau membantu membayar tebusan bagi dua orang dari Bani Amir yang dibunuh Amr bin Umayyah Adh-Dhamri di tengah perjalanannya setelah tragedi Bi’r Ma’unah ke Madinah. Cara pembayaran tebusan ini sesuai dengan klausul perjanjian yang sudah disepakati bersama.
“Kami akan membantu wahai Abul Qasim. Sekarang duduklah di sini, biar kami menyiapkan kebutuhanmu,” kata orang-orang Yahudi Bani Nadhir.
Beliau duduk di pinggir tembok salah satu rumah milik mereka, menunggu janji yang hendak mereka penuhi. Di samping beliau ada Abu Bakar, Umar, Ali, dan beberapa sahabat yang lain.
Orang-orang Yahudi saling kasak-kusuk dan berunding. Setan membisikan kemalangan yang telah ditetapkan bagi orang-orang Yahudi. Mereka sepakat untuk membunuh Rasulullah shallallahu alaihi washallam di tempat itu. Mereka berkata, “Siapakah di antara kalian yang berani mengambil batu penggiling ini, lalu naik ke atas rumah dan menjatuhkannya ke kepala Muhammad hingga remuk?”
“Aku,” jawab Amr bin Jahsy, orang yang malang di antara mereka.
“Jangan lakukan itu,” kata Sallam bin Misykam. Katanya lagi, “Demi Allah, Muhammad pasti kalian diberitahu tentang apa yang hendak kalian lakukan, di samping hal ini merupakan pelanggaran perjanjian antara kita dan dia.” Tetapi mereka tetap bersikukuh untuk melaksanakan rencana itu.
Jibril turun dari sisi Allah kepada Rasulullah shallallahu alaihi washallam, memberitahu rencana mereka. Seketika itu pula beliau bangkit dari duduknya dan pulang ke Madinah, tanpa memberitahu para sahabat yang ikut bersama beliau. Setelah menunggu cukup lama, mereka menyusul pulang ke Madinah dan berkata kepada beliau, “Tiba-tiba saja engkau pergi dan kami tidak merasa ada sesuatu pada diri engkau.” Lalu beliau memberitahu rencana jahat orang-orang Yahudi.
Rasulullah shallallahu alaihi washallam mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menemui Bani Nadhir dan mengatakan kepada mereka, “Tinggalkanlah Madinah dan jangan hidup bertetangga denganku. Kuberi tempo sepuluh hari. Siapa yang masih kutemui setelah itu, maka alian kupenggal lehemya.”
Tidak ada pilihan bagi orang-orang Yahudi Bani Nadhir selain pergi meninggalkan Madinah. Mereka sudah menyiapkan segala-galanya untuk hengkang dari Madinah. Tetapi pemimpin orang-orang munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul, mengirim utusan untuk menemui mereka dengan mengatakan, “Kuatkan hati kalian, bertahanlah dan jangan tinggalkan rumah kalian. Toh aku mempunyai dua ribu orang yang siap bergabung bersama kalian di benteng kalian. Mereka siap mati demi membela kalian. Jika kalian diusir, kami juga akan pergi bersama kalian, dan sekali-kali kami tidak akan patuh kepada seseorang untuk menyusahkan kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian. Orang-orang Quraizhah dan sekutu kalian dari Ghathafan tentu juga akan mengulurkan bantuan kepada kalian.”
Kepercaya.an diri orang-orang Yahudi Bani Nadhir bangkit lagi karena suntikan moril ini. Mereka sepakat untuk melakukan perlawanan. Pemimpin mereka, Huyai bin Alkhathab sangat bersemangat dalam menghadapi perkataan Abdullah bin Ubay. Dia mengirim utusan kepada Nabi shallallahu alaihi washallam untuk mengatakan, “Kami tidak akan keluar dari tempat tinggal kami. Berbuatlah menurut kehendakmu!”
Tentu saja perkembangan ini menjadi rawan bagi orang-orang Muslim. Kenekatan orang-orang Yahudi Bani Nadhir untuk melakukan perlawanan pada saat-saat rawan dalam sejarah kaum Muslimin seperti ini, bisa membawa akibat yang kurang menguntungkan. Sudah dapat dipredisikan bagaimana sikap bangsa Arab terhadap mereka. Di samping itu, Bani Nadhir juga mempunyai kekuatan yang bisa diandalkan dan tidak mudah bagi mereka untuk menyerah begitu saja. Dengan pertimbangan seperti ini, sangat riskan jika diharuskan berperang. Hanya saja situasi setelah dan sebelum tragedi Bi’r Ma’unah, mendorong orang-orang Muslim untuk bersikap lebih waspada terhadap kejahatan pengkhianatan yang dilakukan individu dan golongan tertentu, namun sekaligus menambah dendam mereka untuk melibas siapa pun yang melakukan pengkhianatan. Maka tidak heran jika orang-orang Muslim sepakat untuk menyerang Bani Nadhir, setelah diketahui mereka hendak membunuh Nabi shallallahu alaihi washallam sekalipun niat mereka gagal.
Setelah Rasul1ah shallallahu alaihi washallam mengetahui reaksi Huyai bin Akhthab, maka beliau bertakbir bersama para sahabat, lalu bangkit untuk menyerang orang-orang Yahudi Bani Nadhir. Setelah menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai wakil beliau di Madinah, beliau berangkat ke perkampungan Bani Nadhir. Yang membawa bendera adalah Ali bin Abi Thalib. Setelah tiba di sana beliau mengambil keputusan untuk mengepung Bani Nadhir.
Semua penduduk Bani Nadhir masuk ke dalam benteng. Mereka berada di sana sambil melancarkan serangan dengan anak panah dan batu. Kebun korma dan ladang-ladang mereka cukup membantu. Oleh karena itu beliau memerintahkan untuk menebang pohon-pohon tersebut dan membakarnya. Allah menurunkan ayat Al-Qur’ an tentang hal ini,
“Apa saja yang kahan tebang dari pohon korma (milik orang-orang kafir) atau yang kalian biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah.” (Al-Hasyr: 5)
Pengepungan tidak berlangsung lama, hanya enam atau lima hari menurut pendapat yang lain, hingga Allah menyusupkan ketakutan ke dalam hati mereka. Setelah itu mereka sudah siap-siap menyerah dan meletakkan senjata. Mereka mengirim utusan menemui Rasulullah shallallahu alaihi washallam yang mengatakan, “Kami siap hengkang dari Madinah.”
Beliau memberi kesempatan kepada mereka untuk meninggalkan Madinah dengan seluruh keluarga, dan mereka juga boleh membawa harta benda sebanyak yang bisa dibawa seekor onta. Sedangkan senjata tidak boleh dibawa.
Mereka turun dari benteng lalu merobohkan rumah mereka untuk diambil pintu dan jendelanya. Bahkan ada di antara mereka yang membawa tiang dan penyangga atap rumah. Mereka membawa serta anak-anak dan para wanita dengan 600 ekor onta. Kebanyakan di antara mereka, terutama para tokoh dan pemimpin Bani Nadhir seperti Huyai bin Akhthab dan Sallam bin Al-Huqaiq pergi ke Khaibar. Sebagian yang lain pergi ke Syam. Hanya ada dua orang di antara mereka yang masuk Islam, yaitu Yamin bin Amr dan Abu Sa’d bin Wahb, sehingga mereka berdua tetap bisa memiliki harta bendanya.
Semua harta benda dan tempat tinggal Bani Nadhir menjadi milik Rasulullah shallallahu alaihi washallam lalu beliau memberikannya kepada siapa pun yang dikehendaki, dan bukan hanya seperlimanya saja, sebab Allah telah menetapkannya sebagai harta rampasan bagi beliau. Siapa pun tidak ada yang berani mengusiknya. Lalu beliau membaginya terutama kepada orang-orang Muhajirin yang awal, dan juga memberikan sebagian di antaranya kepada Abu Dujanah dan Sahl bin Hunaif dari Anshar karena keduanya sangat miskin. Beliau mengambil dari harta benda itu untuk nafkah keluarga beliau selama setahun. Sedangkan senjata dan perangkat perang sebagai persediaan perang fisabilillah.
Perang Bani Nadhir ini terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal 4 H, bertepatan dengan bulan Agustus 625 M. Allah menurunkan surat Al-Hasyr secara menyeluruh tentang peperangan ini. Di dalamnya digambarkan tentang pengusiran orang-orang Yahudi, pelecehan sikap orang-orang munafik, penjelasan hukum-hukum harta rampasan, pujian terhadap Muhajirin dan Anshar, penjelasan tentang diperbolehkannya menebang dan membakar pohon di wilayah musuh karena pertimbangan strategi perang, dan dalam hal ini tidak dianggap sebagai perbuatan membuat kerusakan di muka bumi. Di dalamnya juga ada nasihat bagi orang-orang Mukmin agar bertakwa dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari akhirat, lalu diakhiri dengan pujian terhadap Allah, penjelasan asma dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Abbas pernah berkata tentang surat Al-Hasyr, “Ini adalah surat An–Nadhir.”.
Dengan kemenangan yang diperoleh orang-orang Muslim dalam Perang Bani Nadhir tanpa pengorbanan apa pun, pengaruh kekuasaan mereka di Madinah semakin kokoh. Saat ini orang-orang munafik juga terlecehkan karena mereka menampakkan kelicikannya. Sementara itu, Rasulullah shallallahu alaihi washallam juga semakin mempunyai kesempatan untuk menumpas orang-orang Arab Badui yang selalu mengganggu orang-orang Muslim seusai Perang Uhud dan yang pernah mempunyai inisiatif untuk menyerang Madinah.
Sebelum Nabi shallallahu alaihi washallam sempat menghajar orang-orang yang melanggar perjanjian dan berkhianat, ada berita yang disampaikan mata-mata Madinah tentang berhimpunnya orang-orang Badui dan pedalaman dari Bani Muharib dan Tsa’labah dari Ghathafan untuk melakukan serangan. Maka beliau segera pergi ke sana. Setelah melihat kedatangan beliau dan pasukan Muslimin, ternyata orang-orang Badui dan pedalaman yang keras kepala itu langsung ketakutan. Mereka yang biasanya suka merampas dan merampok itu lari kocar-kacir ke segala penjuru dan bertahan di puncak-puncak bukit. Begitulah orang-orang Muslim mampu menggetarkan hati orang-orang Badui, kemudian mereka pulang ke Madinah.
Dalam kaitannya dengan peristiwa ini, para pakar peperangan dan biografi, menyebutkan adanya satu peperangan yang dilakukan orang-orang Muslim di Najd pada bulan Rabi’ul Awal atau Jumadil Ula 4 H, yang mereka sebut dengan peperangan Dzatur Riqa’. Memang tidak dimungkiri adanya peperangan pada masa-masa itu. Tetapi kondisi Madinah pada saat itu perlu pertimbangan yang lebih masak. Sebab, Perang Badr (yang kedua) seperti yang dijanjikan Abu Sufyan saat dia kembali dari Perang Uhud semakin dekat. Mengosongkan Madinah untuk berperang di luar, dan membiarkan orang-orang Badui dan Arab pedalaman tetap membangkang dan melakukan pemberontakan, tentu amat riskan bagi kepentingan politik dan strategi perang. Untuk itu kejahatan orang-orang Badui tersebut harus dihilangkan terlebih sebelum kaum Muslimin terjun ke Perang Badr (yang kedua).
Tidak benar Perang Dzatur Riqa’ yang dikomandani Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal atau Jumadil Ula itu. Sebab Abu Hurairah dan Abu Musa Al-Asy’ari ikut bergabung dalam peperangan itu. Padahal Abu Hurairah masuk Islam beberapa hari sebelum Perang Khaibar, dan Abu Musa Al-Asy’ari bergabung dengan Nabi di Khaibar. Jadi Perang Dzatur Riqa’ terjadi setelah Perang Khaibar. Bukti lain yang menguatkan bahwa perang ini terjadi setelah tahun 4 H, karena pada saat peperangan itu Nabi shallallahu alaihi washallam mendirikan shalat khauf. Padahal pensyariatan shalat khauf yang pertama kali terjadi pada saat Perang Asafan. Sementara itu, tidak ada perbedaan pendapat bahwa Perang Asafan terjadi setelah Perang Khandaq, yang terjadi pada akhir tahun 5H.
Setelah orang-orang Muslim dapat membungkam dan menghentikan gangguan orang-orang Arab Badui, mereka mulai bersiap-siap untuk menghadapi musuh terbesar. Setahun hampir berlalu, dan saat yang dijanjikan untuk bertempur dengan orang-orang Quraisy sewaktu Perang Uhud hampir tiba. Sudah seharusnya bagi Muhammad shallallahu alaihi washallam dan rekan beliau untuk keluar menghadapi Abu Sufyan dan kaumnya. Mereka perlu memutar roda peperangan sekali lagi untuk menentukan mana pihak yang lebih layak hidup dan eksis.
Maka pada bulan Sya’ban 4 H atau Januari 626 M, Rasulullah shallallahu alaihi washallam pergi pada hari yang telah dijanjikan bersama 1500 prajurit. Pasukan ini diperkuat dengan 10 orang penunggang kuda. Bendera ada di tangan Ali bin Abu Thalib. Madinah diwakilkan kepada Abdullah bin Rawahah. Mereka tiba di Badr dan menunggu orang-orang musyrik.
Sedangkan Abu Sufyan pergi bersama 2000 orang prajurit, yang diperkuat dengan 50 orang penunggang kuda. Mereka tiba di Zhahran sejauh satu marhalah dari Makkah dan bermalam di Majannah, pangkalan air di daerah itu. Sebenarnya berat sekali bagi Abu Sufyan untuk keluar dari Makkah, karena dia memikirkan akibat peperangan dengan kaum Muslimin. Ketakutan selalu membayangi hatinya. Ketika dia singgah di Zhahran, nyalinya semakin menciut. Lalu dia mencari akal untuk kembali lagi ke Makkah. Dia berkata kepada rekan-rekannya, “Wahai semua orang Quraisy, tidak ada yang lebih maslahat bagi kalian kecuali musim subur. Karena pada musim ini kalian dapat mengurusi tanaman dan bisa minum air susu. Padahal sekarang adalah musim paceklik. Aku lebih suka pulang. Maka lebih baik kalian juga pulang.”
Ternyata ketakutan juga membayangi hati prajurit-prajuritnya, maka mereka kembali lagi ke Makkah tanpa harus berperang dan tidak satu pendapat pun yang menentang pendapatnya. Orang-orang Muslim menunggu kedatangan pasukan Quraisy di Badr hingga selama delapan hari. Selama itu mereka menjual barang-barang dagangan dan mendapat laba yang memadai. Kemudian mereka kembali lagi ke Madinah dengan membawa pamor yang harum dan keberadaan mereka disegani. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Perang Badr yang dijanjikan atau Perang Badr yang kedua, atau Perang Badr yang terakhir, atau Perang Badr Shughra.
Sepulang Rasu1ullah shallallahu alaihi wasallam dari Badr, keadaan di wilayah Madinah menjadi aman dan tenteram, pemerintahan beliau dapat berjalan lancar. Setelah itu beliau mengarahkan pandangan ke daerah perbatasan dan pinggiran, yang berbatasan dengan Syam, agar keadaan benar-benar dapat dikendalikan dan orang-orang yang sebelumnya suka mengadakan perlawanan mau mengakui wilayah Islam.
Setelah Badr Shughra beliau menetap di Madinah selama enam bulan. Kemudian datang berita kepada beliau bahwa beberapa kabilah di sekitar Dumatul Jandal, tak jauh dari Syam, suka merampas dan merampok siapa pun yang lewat daerah itu. Bahkan mereka sudah menghimpun sekian banyak orang, siap untuk menyerang Madinah. Setelah mewakilkan Madinah kepada Siba’ bin Urfuthah A1-Ghifari, beliau berangkat bersama seribu prajurit pada akhir Rabi’ul Awwal 5 H. Beliau menunjuk seorang laki-laki dari Bani Udzrah sebagai penunjuk jalan, yang bernama Madzkur.
Beliau mengadakan perjalanan pada malam hari dan berhenti pada siang hari, hingga tiba di tempat musuh yang tidak menyadari kedatangan beliau bersama pasukan Muslimin. Setelah tahu, mereka pun berpencar melarikan diri.
Tidak berbeda jauh dengan penduduk Dumatul Jandal. Setelah tahu kedatangan beliau, mereka pun berpencar melarikan diri ke segala penjuru. Sehingga tatkala pasukan Muslimin sudah tiba di perkampungan Dumatul Jandal, mereka tidak menemukan seorang pun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menetap di sana beberapa hari, memecah pasukan menjadi beberapa kelompok dan melakukan pengejaran ke segala penjuru. Tetapi tak seorang pun dapat ditemukan. Kemudian beliau kembali lagi ke Madinah, setelah menempatkan Uyainah bin Hishn di Dumah, suatu tempat di bagian timur Syam, berjarak lima mil dari Damaskus dan bisa ditempuh selama lima belas hari perjalanan kaki dari Madinah.
Dengan gerakan yang cepat, pasti, serta dengan rencana-rencana yang matang, Nabi shallallahu alaihi wasallam mampu menciptakan keamanan, ketentraman dan menguasai keadaan, mengalihkan hari demi hari demi kemaslahatan orang-orang Muslim, meringankan beban internal dan eksternal, yang sebelumnya senantiasa mengejar dan mengepung mereka dari segala penjuru. Orang-orang munafik tidak lagi berani berbuat macam-macam dan hanya berdiam diri saja. Setelah salah satu kabilah Yahudi dapat diusir, maka yang lain menampakkan kesetiaan dan keinginan untuk memenuhi isi-isi perjanjian. Orang-orang Arab Badui dan yang hidup di pedalaman juga tenang, orang-orang Quraisy juga menghentikan serangan terhadap kaum Muslimin. Dengan begitu, orang-orang Muslim bisa bernapas dengan lega dan bebas menyebarkan Islam serta menyampaikan risalah Allah.
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury