Sejarah Shalat
Daftar Isi :
1.Shalat para Nabi terdahulu
2. Tata cara Shalat Nabi terdahulu
3. Awal disyari’atkan Shalat malam
4. Shalat lima waktu
5. Perintah Shalat lima waktu dalam bilangan dua rakaat
6. Perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah
7. Sholat pertama yang kerjakan Rasulullah Mengahadap kiblat
1.Shalat para Nabi terdahulu
Salah satu hal yang menunjukkan akan agungnya ibadah shalat yang diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman adalah bahwa shalat merupakan ibadah yang Allah syariatkan pula kepada para Nabi dan Rasul terdahulu. Sebelum turunnya perintah shalat kepada Nabi, Allah telah mensyariatkan shalat kepada para Nabi dan Rasul terdahulu. Mereka diperintahkan mendirikan shalat sebagaimana perintah shalat yang didirikan oleh kaum muslimin pada umumnya. Namun, mengenai tatacara, waktu dan hal lainnya tidak disebutkan secara rinci. Diantara dalil yang menunjukkan akan hal itu diantaranya adalah([1]):
Adapun shalatnya Nabi Ibrahim álaihis salam, maka Allah menyebut Nabi Ibrahim, ketika meninggalkan Nabi Isma’ail di lembah yang tak ada orang sama sekali, beliau bermunajat kepada Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, beliau berkata :
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki kepada mereka dari buah-buahan, suapaya mereka bersyukur.” ([2])
Ibrahim tidak menyebut amalan-amalan apapun selain shalat, yang ini menunjukkan tidak ada amalan yang paling utama seperti shalat. Demikian juga Allah berfirman:
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” ([3])
Begitu pula disebutkan dalam firman Allah doa Ibrahim.
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Ya Tuhanku, jadikanah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami perkenankanlah doaku.” ([4])
Tentang shalatnya Nabi Isma’il, Allah berfirman :
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma’il (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” ([5])
Allah berfirman tentang Nabi Syu’aib ketika melarang kaumnya menyembah sesembahan selain Allah azza wa jalla dan mencegah dari berbuat curang dalam masalah timbangan, maka kaumnya berkata :
يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ
“Hai Syu´aib, apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” ([6])
Di dalamnya terdapat dalil bahwa kaum Nabi Syu’aib tidak mengetahui amalan apapun yang paling agung yang dapat mengusik meraka keculai shalat. ([7])
Nabi Musa yang disebut dengan Kalimurrahman (orang yang diajak bicara oleh Allah), sesungguhnya perintah pertama yang Allah perintahkan kepadanya setelah tauhid adalah shalat. Allah berfirman :
فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى. إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” ([8])
Hal ini menunjukkan agungnya ibadah shalat karena Allah tidak menyebutkan dan mendahulukan amalan ibadah yang lain sebelum shalat.
Demikian pula perintah Allah kepada Nabi Musa agar memerintahkan kaumnya untuk shalat. Allah berfirman :
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah rumah-rumahmu itu qiblat (tempat shalat) dan dirikanlah shalat serta berikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman.” ([9])
Tentang shalatnya Nabi Daud, Allah menyampaikan ketika Nabi Daud ingin bertaubat dan kembali kepada Allah, beliau tidak memiliki cara selain dengan mendirikan shalat.
فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ
“Maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.” ([10])
Adapun shalatnya Nabi Sulaiman, maka Allah menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman pernah terlambat menunaikan shalat ashar disebabkan kuda-kuda beliau, kemudian beliau menyesal hal tersebut.
وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ. إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ. فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ. رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ
“Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Daud, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepada Sulaiman kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat berlari pada waktu sore. Maka ia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) hingga melalaikan diriku dari mengingat Tuhanku sampai kuda itu tertutup dari pandangan.” (Ia berkata), “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku!” Lalu ia menebas kaki dan lehernya.” ([11])
Ibnu Katsir berkata, “Banyak ulama ahli tafsir yang menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman tersibukkan dengan penampilan kuda-kuda yang dimilikinya hingga terlewatkan waktu shalat Ashar. Dan yang pasti, beliau tidak meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja, akan tetapi karena lupa. Sebagaimana Rasulullah disibukkan dengan penggalian parit pada waktu perang Khandaq dari shalat Ashar, hingga beliau mendirikan shalatnya setelah terbenamnya matahari” ([12])
Adapun shalatnya Nabi Zakaria, maka Allah berfirman :
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab. ([13])
Tentang shalatnya Nabi Yunus ‘alaihis salam, Allah berfirman
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang bertasbih kepada Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”([14])
Sebagia salaf menafsirkan “bertasbih” dengan “mengerjakan shalat”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. Begitu pula yang dikatakan oleh Sa’id bin Jabir, Qatadah dan sebagainya.” ([15])
Adapun shalatnya Nabi ‘Isa, maka diantara mukjizat beliau adalah berbicara sedangkan beliau masih dalam gendongan. Dan diantara yang beliau ucapkan :
إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا. وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” ([16])
Allah berfirman menerangkan para Nabi dari kalangan Bani Isra’il :
وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku. ([17])
Allah menyebutkan para Nabi satu persatu dan mensifati mereka diantaranya dengan shalat, Allah berfirman :
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh dan dari keturunan Ibrahim dan Israil dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” ([18])
Yang dimaksud dengan bersujud tersebut adalah shalat. Karenanya setelah itu Allah berfirman tentang kaum setelah para nabi yang tidak shalat sebagaimana para nabi. Allah berfirman :
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Kemudian datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan tersesat.” ([19])
([1]) Ta’dzim As-Shalat Li ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hal. 10.
([2]) QS Ibrahim: 37.
([3]) Al-Hajj: 26.
([4]) Ibrahim: 40.
([5]) Maryam: 54- 55.
([6]) Hud: 87
([7]) Al- Allamah As-Sa’diy menafsirkan ayat ini bahwa:
أَنَّ الصَّلَاة،َ لَمْ تَزَلْ مَشْرُوْعَةً لِلْأَنْبِيَاءِ الْمُتَقَدِّمِيْن،َ وَأَنَّهَا مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ، حَتَّى إِنَّهُ مُتَقَرِّرٌ عِنْدَ الْكُفَّارِ فَضْلَهَا، وَتَقْدِيْمَهَا عَلَى سَائِرِ الْأَعْمَالِ، وَأَنَّهَا تَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وَهِيَ مِيْزَانٌ لِلْإِيْمَانِ وَشَرَائِعِهِ، فَبِإِقَامَتِهَا تَكْمُلُ أَحْوَالُ الْعَبْدِ، وَبِعَدَمِ إِقَامَتِهَا، تَخْتَلُّ أَحْوَالُهُ الدِّيْنِيَّةُ.
Sesungguhnya shalat selalu menjadi syariat para Nabi terdahulu dan merupakan amalan yang paling utama. Sehingga orang-orang kafir mengakui keutamaannya diantara ibadah yang lain. Dapat mencegah perbuatan keji dan keburukan. Disamping itu shalat menjadi barometer keimanan dan syariat islam. Mengerjakannya dapat menyempurnakan kondisi dan keadaan seorang hamba dan sebaliknya, meninggalkannya mampu merubah keadaan ideologinya. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan Li Abdurrahman As-Sa’diy hal. 388)
([8]) Thaha: 13-14.
([9]) Yunus: 87.
([10]) Shad: 24.
([11]) Shad: 30-33.
([12]) Tafsir Ibnu Katsir 7/65.
([13]) Ali Imran: 39.
([14]) Ash-Shaffat: 143-144.
([15]) Tafsir At-Thabari 21/109.
([16]) Maryam: 30-31.
([17]) Al-Maidah: 12.
([18]) Maryam: 58.
([19]) Maryam: 59.
2. Tata cara Shalat Nabi terdahulu
Mengenai bilangan dan tata cara shalat yang dikerjakan oleh para nabi terdahulu maka para Nabi terdahulu senantiasa mendirikan shalat lima waktu sebagaimana shalat yang dikerjakan dan diajarkan oleh Jibril kepada Nabi. Hal ini berdasarkan riwayat berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّنِي جِبْرِيلُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتِ الشَّمْسُ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حُرِّمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَاةَ بَعْدَمَا أَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتْ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، الْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَكَ
Dari Ibnu Abbas, berkata: Rasulullah bersabda: Jibril mengimamiku shalat di Baitul Haram dua kali. Dia mengimamiku shalat dzuhur ketika matahari tergelincir (dan bayang-bayang) seperti tali sendal dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika mega merah menjadi hilang dan shalat shubuh ketika diharamkan bagi oang yang puasa untuk makan dan minum. Kemudian dia mengimamiku shalat dzuhur pada keesokan harinya ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika lewat sepertiga malam dan shalat shubuh setelah waktu isfar. Kemudian dia menoleh ke arahku, seraya berkata: “Wahai Muhammad! Waktu shalat adalah antara dua waktu ini yang merupakan waktu shalat para Nabi sebelum engkau.” ([1])
Adapun umat-umat para nabi terdahulu, maka telah datang dalil yang menunjukan bahwa bani Israil shalatnya kurang dari lima waktu dalam sehari semalam. Disebutkan dalam hadits yang panjang tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj, ketika Nabi turun dengan membawa perintah shalat lima waktu, kemudian bertemu dengan Nabi Musa, lalu Nabi Musa menyarankan kepada beliau agar tetap meminta keringanan lagi kepada Allah agar kurang dari 5 waktu. Ibnu Rajab mengomentari hadits tersebut dengan berkata :
وفي رواية شريك، عن أنس المتقدمة: أن موسى قال لمحمد – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بعد أن صارت خمسا: (قد – والله – رَاوَدْتُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ فَتَرَكُوْهُ) وهو يدل على أن الصلوات الخمس لم تفرض على بني إسرائيل، وقد قيل: أن من قبلنا كانت عليهم صلاتان كل يوم وليلة وقد روي عن ابن مسعود، أن الصلوات الخمس مما خص الله به هذه الأمة.
Riwayat Syarik menyebutkan, dari Anas: bahwa setelah ditetapkan perintah shalat lima waktu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi Musa berkata kepada Nabi Muhammad, “Demi Allah, aku telah membujuk Bani Isra’il agar mengerjakan shalat yang kurang dari lima waktu, namun mereka meninggalkannya”.
Ini menunjukkan bahwa shalat lima waktu tidaklah diwajibkan kepada Bani Isra’il. Dan dikatakan: sesungguhnya kaum sebelum kita diperintahkan dua shalat dalam sehari semalam. Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud bahwa shalat lima waktu merupakan ibadah yang dikhususkan bagi umat ini. Wallahu a’lam. ([2])
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya: Apakah umat terdahulu diwajibkan shalat sebagaimana diwajibkannya kepada kita seperti halnya waktu dan teta cara pelaksanaannya ataukah tidak?
Maka beliau menjawab: Mereka diwajibkan shalat sebagaimana kita mendirikannya di waktu-waktu yang telah ditentukan. Namun, tidak sama dengan waktu dan tatacara shalat kita. Wallahu a’lam. ([3])
([1]) H.R. Ahmad no. 3322, Abu Dawud no. 393, Tirmidzi no. 149 dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ no. 1402.
([2]) Fathul Bari Li Ibni Rajab 2/321.
([3]) Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 22/5 dan Fatawa Al-Kubra 2/5.
3. Awal disyari’atkan Shalat malam
Syariat shalat pertama kali yang Allah perintahkan kepada Nabi adalah ibadah shalat malam. Perintah tersebut turun kepada Nabi pada permulaan islam yang kemudian dihapus dan digantikan dengan mendirikan shalat lima waktu.([1]) Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Muzzammil, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil. (Yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu. ([2])
Ketika turun ayat tersebut, Nabi bersama para sahabat senantiasa mengerjakan perintah Allah ini selama setahun. Setelah setahun Allah menghapus perintah dalam ayat tersebut dan menggantinya dengan perintah yang ada dalam ayat terakhir dari suarat Al-Muzzammil:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” ([3])
Muqathil dan Ibnu Kaisan mengatakan:
كَانَ هَذَا بِمَكَّةَ قَبْلَ أَنْ تُفْرَضَ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ.
“Ayat ini turun di Makkah sebelum diwajibkannya shalat lima waktu. Hingga akhirnya perintah tersebut dihapus dan digantikan dengan perintah mendirikan shalat lima waktu.” ([4])
Sisi Pendalilan
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menurunkan perintah untuk mendirikan shalat malam kepada NabiNya dan juga kepada para Sahabat. At-Thabari menjelaskan hal itu dalam tafsirnya:
خَيَّرَهُ اللهُ تَعَالَى ذِكْرَهُ حِيْنَ فَرَضَ عَلَيْهِ قِيَامَ اللَّيْلِ بَيْنَ هَذِهِ الْمَنَازِلِ أَيْ ذَلِكَ شَاءَ فَعَلَ، فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ فِيْمَا ذُكِرَ يَقُوْمُوْنَ اللَّيْلَ، نَحْوَ قِيَامِهِمْ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْمَا ذُكِرَ حَتَّى خَفَّفَّ ذَلِكَ عَنْهُمْ
Allah menjadikan Nabi sebagai manusia pilihan yaitu dengan menyebut beliau ketika mewajibkannya untuk menunaikan shalat malam (qiyamullail). Disebutkan pula, bahwa yang berkewajiban mendirikan shalat malam adalah Rasulullah dan para sahabat. Mereka mendirikan shalat malam ini sebagaimana mereka mendirikan shalat pada bulan ramadhan hingga Allah menurunkan ayat yang memberikan keringanan kepada mereka.
Adapun jarak antara ayat pertama dengan ayat yang terakhir sekitar satu tahun. ([5]) Hal ini berdasarkan riwayat-riwayat berikut :
عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ وَحَكِيْمُ بْنُ أَفْلَحَ، قَالَ سَعْدٌ: فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ…أَنْبِئِيْنِيْ عَنْ قِيَامِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: أَلَسْتَ تَقْرَأُ “يَا أَيُّهَا الْمُزَمِّل؟ قُلْتُ: بَلَى، قَالَتْ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجّلَّ افْتَرَضَ قِيَامَ الَّليْلِ فِيْ أَوَّلِ هَذِهِ السُّوْرَةِ فَقَامَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا وَأَمْسَكَ اللهُ خَاتِمَتَهَا اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا فِيْ السَّمَاءِ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ فِيْ آخِرِ هَذِهِ السُوْرَةِ التَّخْفِيْفَ فَصَارَ قِيَامُ الَّليْلِ تَطَوُّعًا بَعْدَ فَرِيْضَةٍ…”
Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir dan Hakim bin Aflah, Sa’ad berkata: Wahai Ummul-mu`minin…beritahukan kepadaku bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallm? Lalu Aisyah jawab : “Bukankah engkau hafal surat “Ya Ayyuhal-muzammil”? lalu akupun jawab: “Ya” Aisyah berkata: Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan shalat malam di awal surat ini maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya selama setahun dan Allah tahan penutup surat ini di langit selama dua belas bulan hingga Allah turunkan keringanan di akhir surat maka shalat malam menjadi sunah setelah sebelumnya hukumnya wajib…”([6])
Ibnu Abbas juga berkata :
لَمَّا نَزَلَ أَوَّلُ الْمُزَّمِّلِ كَانُوا يَقُومُونَ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِمْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى نَزَلَ آخِرُهَا، فَكَانَ بَيْنَ أَوَّلِهَا وَآخِرِهَا قَرِيبٌ مِنْ سَنَةٍ
Ketika turun ayat pertama dari surat Al-Muzzammil, mereka mendirikan shalat sebagaimana halnya shalat yang mereka dirikan pada bulan Ramadhan hingga turunlah ayat yang terakhir. Dan jarak antara ayat pertama dengan ayat terakhir mendekati satu tahun. ([7])
([1]) Demikian pendapat mayoritas ulama seperti imam As-Syafi’i (lihat: Al-Umm Li As-Syafi’i 1/86), Ibnu Hajar (Fathul Bari Li Ibn Hajar 1/465), Ibnu Rajab (lihat: Fathul Bari Li Ibn Rajab 2/306). Begitu juga halnya dari mayoritas ahli tafsir diantaranya At-Thabariy, Ibnu Katsir, Al-Qurthubiy, Al-Baghawi (Tafsir At-Thabari (Jami’ Al-Bayan) 23/679, Tafsir Al-Baghawi 8/258, Tafsir Ibnu Katsir 8/259 dan Tafsir Al-Qurthubi 19/56).
([2]) Al-Muzzammil: 1-3.
([3]) Al-Muzzammil: 20.
([4]) Tafsir Al-Baghawi 8/250.
([5]) Tafsir At-Thabariy (Jami’ Al-Bayan) 23/678.
([6]) HR Muslim : no 745, dan Ahmad dalam Musnadnya : no 24269.
([7]) H.R. Baihaqi no. 4310.
4. Shalat lima waktu
Para ulama berselisih sebelum diwajibkan shalat lima waktu maka berapa kali-kah kaum muslimin shalat dalam sehari semalam?. Ibnu Hajar berkata, “Sekelompok ulama berpendapat bahwasanya sebelum al-Israa’, tidak ada shalat yang diwajibkan kepada kaum muslimin selain shalat malam tanpa ada batasan jumlah rakaat tertentu. Dan Al-Harbi berpendapat bahwa sebelum al-Israa’ shalat diwajibkan dua raka’at di pagi hari dan dua raka’at di sore hari” ([1])
Adapun diwajibkan shalat 5 waktu sehari semalam yaitu terjadi pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Pada malam tersebut awalnya Allah mensyariatkan shalat sebanyak lima puluh kali, hingga akhirnya Allah ringankan menjadi lima kali shalat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa riwayat hadits yang menerangkan perjalanan isra’ mi’raj Nabi. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَوْحَى اللهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى، فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ “، قَالَ: ” فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي، فَقُلْتُ: يَا رَبِّ، خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي، فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقُلْتُ: حَطَّ عَنِّي خَمْسًا، قَالَ: إِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ “، قَالَ: ” فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ لِكُلِّ صَلَاةٍ عَشْرٌ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلَاةً، قَالَ: ” فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ “، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَقُلْتُ: قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ.
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda: “Allah memberikan wahyu kepadaku, lalu memerintahkan kepadaku sholat lima puluh kali sehari semalam, kemudian aku kembali bertemu dengan Musa. Musa bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Apa yang Allah perintahkan padamu?” Aku menjawab: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan lima puluh kali sholat dalam sehari semalam.” Musa berkata: “Kembalilah dan mintalah keringanan kepada Tuhanmu, sungguh umatmu tak kan mampu (menunaikan) hal itu. Dan sesungguhnya aku telah dicoba dengan umatku (bani isra’il dan pemuka-pemukanya).” Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku dan berkata: “Ya Allah berilah keringanan kepada umatku”, Lalu Dia mengurangi menjadi lima kali shalat. Kemudian aku kembali kepada Musa dan berkata: “Telah diringankan kepadaku menjadi lima kali.” Dia lantas berkata: ‘Sunggguh, umatmu tidak akan mampu menunaikannya, kembalilah menghadap Rabb-mu dan mintalah keringanan.’ Aku senantiasa menghadap Allah dan kembali kepada Musa, hingga kemudian Allah berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya dia adalah lima kali shalat setiap hari dan satu kali shalat setara dengan sepuluh (kali shalat), sama dengan lima puluh kali shalat. Kemudian aku turun dan bertemu Musa dan mengabarkannya. Maka dia berkata: ‘kembalilah menghadap Rabb-mu dan mintalah keringanan.’ Lantas Rasulullah menjawab: ’Aku sudah kembali kepada Rabb-ku hingga aku merasa malu kepadaNya.” ([2])
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat lima waktu diwajibkan pada malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Isra’ dan Mi’raj. Ulama juga sepakat bahwa perintah diwajibkannya shalat lima waktu, bilangan rakaat, ruku’ dan sujudnya adalah saat peristiwa tersebut. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai waktu terjadinya peristiwa itu. ([3])
Adapun lima waktu yang diharuskan untuk didirikan shalat adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. ([4])
Di dalam ayat ini telah dijelaskan waktu-waktu didirikannya shalat lima waktu. (لِدُلُوكِ الشَّمْسِ) maksudnya adalah dari sesudah matahari tergelincir. Dan waktu mulai tergelincirnya matahari dari pertengahan langit menuju arah barat, merupakan permulaan waktu shalat dzuhur dan termasuk diantaranya adalah shalat ashar.
Adapaun (إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ) maksudnya adalah sampai gelap malam. Yaitu permulaan gelap malam waktu shalat maghrib dan shalat isya setelahnya.
Lalu (وَقُرْآنَ الْفَجْرِ) maksudnya adalah dan dirikanlah pula shalat subuh. Yaitu shalat fajar, Demikianlah petunjuk umum tentang waktu-waktu shalat lima waktu yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. ([5])
([1]) Fathul Baari 1/465
([2]) H.R. Bukhari no. 349 dan Muslim no.162.
([3]) Diantara pendapat tersebut adalah:
Al-Israa’ wa al-Mi’raaj terjadi 18 bulan setelah Nabi diangkat menjadi Nabi. Ini adalah pendapat Adz-Dzahabi di Taariikh beliau.Terjadi pada 27 Robiúl awwal setahun sebelum berhijrah. Ini adalah pendapat Abu Ishaaq al-Harbi.Adapun Ibnu Syihaab az-Zuhri, diriwayatkan dari beliau bahwa beliau berpendapat al-Israa’ terjadi setahun sebelum hijrah. Dana diriwayatkan juga dari beliau bahwa al-Israa’ terjadi 5 tahun setelah beliau diangkat menjadi Nabi (Lihat semua pendapat ini di Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 2/6)
Namun tidak ada dalil yang kuat yang menunjukan mana yang lebih tepat diantara pendapat-pendapat tersebut.
([4]) Al-Isra’: 78.
([5])Jami’ul bayan 17/514, Tafsir Ibn Katsir 5/102, Taisirul Kalamir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan hal.464.
5. Perintah Shalat lima waktu dalam bilangan dua rakaat
Bilangan rakaat pada shalat yang diperintahkan dari peristiwa isra’ dan mi’raj adalah dua rakaat dan dilaksanakan pada lima waktu yaitu pada waktu dzuhur, ashar, isya’, shubuh dan tiga rakaat pada shalat maghrib. Kemudian ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah diwajibkan menjadi empat rakaat kecuali maghrib dan shubuh, yaitu setelah kedatangan beliau ke Madinah.
Aisyah berkata :
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلاَةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِي صَلاَةِ الحَضَرِ
“Pertama kali Allah memerintahkan salat adalah dua rakaat dua rakaat([1]), baik saat muqim maupun saat perjalanan. Setelah itu, ditetapkanlah ketentuan itu untuk shalat safar dan ditambahkan lagi untuk shalat disaat muqim. ([2])
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata:
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا، وَتُرِكَتْ صَلاَةُ السَّفَرِ عَلَى الأُولَى
Shalat telah diwajibkan (pertama kali) sebanyak dua rakaat, kemudian ketika Nabi hijrah diwajibkan menjadi empat rakaat. Sedangkat shalat safar dibiarkan seperti semula. ([3])
Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah berkata:
فُرِضَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَالْحَضَرِ رَكْعَتَيْنِ، فَلَمَّا أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ زِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ، وَتُرِكَتْ صَلَاةُ الْفَجْرِ لِطُولِ الْقِرَاءَةِ، وَصَلَاةُ الْمَغْرِبِ لِأَنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ
Shalat ketika safar dan muqim diwajibkan sebanyak dua rakaat. Ketika Rasulullah berada di Madinah ditambahkan dua rakaat dua rakaat pada shalat ketika muqim. Sedangkan shalat shubuh dibiarkan (seperti semula) karena bacaannya yang panjang, begitu juga dengan shalat maghrib karena ia merupakan witr (shalat) siang hari. ([4])
Kemudian setelah ditetapkan perintah shalat dengan empat rakaat, diberikan keringanan dalam mengerjakan shalat ketika safar. Hal itu terjadi ketika Allah menurunkan firman-Nya:
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu). ([5])
Kesimpulannya, shalat fardu (Dzuhur, Ashar, dan Isya) pertama kali diwajibkan ketika al-Israa’ adalah 2 raka’at, lalu ketika Nabi berhijrah berubah diwajibkan menjadi 4 raka’at, lalu Allah beri keringanan jika dalam safar menjadi 2 raka’at lagi. Sehingga statusya sekarang shalat safar 2 raka’at bukanlah ‘azimah([6]) akan tetapi rukhsah.([7])
([1]) Penyebutan ‘dua rakaat’ diulang dua kali untuk menjelaskan bahwa setiap shalat dikerjakan sebanyak dua rakaat. (Fathul Bari Li Ibni Hajar 1/464). Kecuali shalat maghrib maka sejak awal sudah diwajibkan 3 raka’at.
([2]) H.R. Bukhari no.350.
([3]) H.R. Bukhari no.3935.
([4]) An-Nisa’: 101.
([5]) H.R. Ibnu Khuzaimah no.305 dan Ibnu Hibban no.2738.
([6]) ‘Azimah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Syathibi, yaitu:
مَا شُرِعَ مِنَ الْأَحْكَامِ الْكُلِّيَّةِ ابْتِدَاءً
Artinya: Hukum-hukum yang berlaku umum yang disyariatkan sejak semula. (Al-Muwafaqat Li As-Syathibiy 1/464).
([7]) Lihat : Fathul Bari Li Ibn Hajar 1/465
6. Perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah
Ketika di Mekah Rasulullah mengerjakan shalat dengan menghadap ke Ka’bah sekaligus menghadap ke Baitul Maqdis. Yaitu dengan menjadikan ka’bah berada dihadapan beliau dan antara beliau dan Baitul Maqdis([1]). Namun ketika Nabi berhijrah ke Madinah maka hal ini tidak bisa beliau lakukan lagi, jika beliau menghadap Baitul Maqdis maka beliau tidak bisa menghadap Ka’bah. Karena Baitul Maqdis berada di sebelah utara kota Madinah, sementara Ka’bah terletak di sebelah selatan kota Madinah. Maka beliaupun rindu agar bisa shalat menghadap Ka’bah.
Rasulullah lebih senang jika dalam arah kiblat dalam shalat dihadapkan ke ka’bah. Al-Baraa’ bin ‘Aazib, berkata:
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الكَعْبَةِ
Rasulullah senang dengan dihadapkan kiblat ke arah ka’bah. ([2])
Hal ini (Nabi shalat di Madinah menghadap Baitul Maqdis dan membelakangi Ka’bah) berlangsung sekitar 16 bulan di Madinah, hingga akhirnya Allah menurunkan wahyuNya dengan merubah arah kiblat kepada Ka’bah. Allah berfirman :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. ([3])
Ibnu Abbas, berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ بِمَكَّةَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَالْكَعْبَةُ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَبَعْدَ مَا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، ثُمَّ صُرِفَ إِلَى الْكَعْبَة
Dahulu ketika di Makkah Rasulullah mengerjakan shalat menghadap Baitul Maqdis, sedangkan Ka’bah berada di hadapan beliau. Setelah hijrah ke Madinah selama enam belas bulan, kemudian (qiblat) dirubah menghadap Ka’bah. ([4])
([1]) Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat antara rukun Yamani dengan Rukun Hajar Aswad, karena dengan demikian berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap ke utara ke arah Baitul Maqdis.
([2]) H.R. Bukhari no.399.
([3]) Al-Baqarah: 144.
([4]) H.R. Ahmad no.2991.
7. Shalat pertama yang kerjakan Rasulullah Mengahadap kiblat
Telah datang riwayat-riwayat yang menunjukan bahwa tatkala turun ayat tentang perubahan kiblat maka terjadi perubahan kiblat di masjid-masjid yang ada tatkala itu di kota Madinah. Diantaranya Masjid Nabawi([1]), Masjid Quba([2]), dan Masjid Bani Salimah([3]). Menurut Ibnu Hajar rahimahullah Masjid pertama kali yang mengalami perubahan kiblat adalah Masjid Banu Salimah, yaitu ketika Nabi sedang sholat duhur di situ, jadi perubahan kiblat terjadi ditengah-tengah Nabi sedang shalat dzhuhur. Setelah itu Nabi sholat ashar di Masjid Nabawi maka langsung menghadap Ka’bah sejak awal shalat. Adapun para penduduk Quba di Masjid Quba maka mereka baru menerima kabar keesokan harinya tatkala mereka sedang sholat subuh.
Ibnu Hajar berkata,
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَّاهَا فِي بَنِي سَلِمَةَ لَمَّا مَاتَ بِشْرُ بْنُ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ الظُّهْرُ وَأَوَّلُ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بِالْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ الْعَصْر وَأما الصُّبْح فَهُوَ من حَدِيث ابن عُمَرَ بِأَهْلِ قُبَاءٍ
“Yang benar bahwasanya sholat yang pertama kali dilakukan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam (tatkala datang perintah merubah kiblat) di Bani Salimah ketika Bisyr bin al-Baroo’ bin Ma’ruur wafat adalah sholat dzhuhur. Dan sholat pertama yang Nabi kerjakan di Masjid Nabawi adalah sholat ashar. Adapun sholat subuh maka berdasarkan hadits Ibnu Umar yaitu di Masjid Quba” ([4]) Yaitu di Quba pada waktu shalat subuh keesokan harinya ([5]).
Ibnu Katsir berkata :
وَذَكَرَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْمُفَسِّرِيْنَ وَغَيْرِهِمْ: أَنَّ تَحْوِيْلَ الْقِبْلَةِ نَزَلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَقَدْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَذَلِكَ فِي مَسْجِدِ بَنِي سَلِمَةَ، فَسُمَّيَ مَسْجِدَ الْقِبْلَتَيْنِ
“Banyak ahli tafsir dan para ulama yang lainnya menyebutkan bahwa (perintah) perubahan qiblat turun kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sementara Nabi telah sholat dua rakaát dari sholat dzuhur, yaitu di Masjid Bani Salimah. Maka dinamakanlah Masjid tersebut dengan Masjid al-Qiblatain” ([6])
Terjadinya perubahan kiblat pada pertengahan bulan Rojab tahun kedua hijriyah menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama([7])
([1]) Diantaranya hadits Al-Baroo’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
وَأَنَّهُ «صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ البَيْتِ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلَّاهَا صَلاَةَ العَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ»
“Bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam sholat ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan, dan beliau suka jika kiblat ke arah Ka’bah. Dan beliau sholat pertama kali (sholat menghadap Ka’bah) adalah sholat ashar dan sekelompok orang sholat bersama beliau” (HR Al-Bukhari no 40)
Ibnu Katsir berkata :
([2]) Diantaranya hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا»، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الكَعْبَةِ
“Tatkal orang-orang sedang sholat subuh di Masjid Quba’, tiba-tiba datang seseorang lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam telah diturunkan kepadanya malam kemarin suatu ayat Qurán, dan ia diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hendaknya kalian menghadap Ka’bah”. Awalnya wajah mereka menghadap Syaam (Baitul Maqdis) maka merekapun berputar untuk menghadap Ka’bah” (HR Al-Bukhari no 403 dan Muslim no 526)
([3]) Berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Saád. Beliau berkata :
وَيُقَالُ: بَلْ زَارَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم أُمَّ بِشْرِ بْنِ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ فِي بَنِي سَلِمَةَ فَصَنَعَتْ لَهُ طَعَامًا وَحَانَتِ الظُّهْرُ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أُمِرَ أَنْ يُوَجِّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَاسْتَدَارَ إِلَى الْكَعْبَةِ وَاسْتَقْبَلَ الْمِيزَابَ فَسُمِّيَ الْمَسْجِدُ: مَسْجِدُ الْقِبْلَتَيْنِ
“Dan dikatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam menziarahi Ummu Bisyr bin al-Baroo’ bin Ma’ruur di kampung Bani Salimah. Maka ia membuatkan makanan untuk Nabi shallallahu álaihi wasallam lalu tiba waktu dzhuhur. Maka Rasululah shallallahu álaihi wasallam sholat mengimami para shahabat dua rakaát pertama, kemudian beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah maka Nabipun berputar untuk menghadap Ka’bah dan beliau menghadap Mizab. Maka Masjid (di kampung Bani Salimah) tersebut dinamakan dengan Masjid al-Qiblatain” (At-Thobaqoot 1/241-242).
Riwayat inilah yang dinukilkan oleh para ulama diantaranya Ibnul Jauzi (Lihat Kasyful Musykil, 1/461) dan Ibnu Hajar (lihat Fathul Baari 1/503). Namun riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Sáad tanpa sanad.
([4]) Fathul Baari 1/97
([5]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/460.
Ibnu Umar berkata:
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الكَعْبَةِ
Ketika orang-orang berada di Quba’ mengerjakan shalat shubuh, tiba-tiba datang seseorang kepada mereka seraya berkata: “Sesungguhnya telah diturunkan wahyu kepada Rasulullah, beliau telah diperintahkan agar menghadap Ka’bah, maka menghadaplah ke Ka’bah. Sebelumnya mereka menghadap ke Syam, lalu berputar menghadap ke Ka’bah. (H.R. Bukhari no.403 dan Muslim no.526.)
Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin ‘Azib, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ المَقْدِسِ، سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الكَعْبَةِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ}، فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الكَعْبَةِ “، وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ، وَهُمُ اليَهُودُ: {مَا وَلَّاهُمْ} عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا، قُلْ لِلَّهِ المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى، فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الأَنْصَارِ فِي صَلاَةِ العَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ المَقْدِسِ، فَقَالَ: هُوَ يَشْهَدُ: أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الكَعْبَةِ، فَتَحَرَّفَ القَوْمُ، حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الكَعْبَة
Dahulu Rasulullah mendirikan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah lebih suka menghadap kiblat ke arah ka’bah. Lalu Allah menurunkan ayat: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.” Lalu beliau menghadap ke Ka’bah. Orang-orang bodoh dari golongan yahudi berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allahlah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus.” Setelah itu ada seseorang lelaki yang shalat bersama Nabi, kemudian setelah selesai dia keluar, lalu melewati suatu kaum dari Anshar yang mengerjakan shalat ‘ashar menghadap Baitul Maqdis. Lalu dia berkata bahwa dia bersaksi telah mengerjakan shalat bersama Rasulullah dan menghadap ke arah Ka’bah. Setelah itu kaum tersebut berputar hingga menghadap ke arah Ka’bah. (H.R. Bukhari no.399)
([6]) Tafsir Ibnu Katsir 1/326
([7]) Lihat : Fathul Baari 1/97
oleh ustad DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
https : //bekalislam.firanda.com/5189-sejarah-shalat-para-nabi-terdahulu.html