• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Sisa-sisa Peperangan dan Satuan Pasukan pada 7 H

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Perang Dzatur Riqa’
  2. Pengiriman pasukan sepulang dari peperangan Dzatur Riqa’

1. Perang Dzatur Riqa’

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menggempur dua sayap yang paling kuat dari tiga sayap musuh, maka pandangan beliau mulai terarah ke sayap ketiga, yaitu orang-orang Arab Badui yang dikenal keras kepala dan suka melakukan penyerangan di daerah Najd, dan yang dari waktu ke lain waktu mereka suka merampas dan merampok.
Karena orang-orang Badui itu tidak pernah berhimpun di satu wilayah atau satu kota dan mereka juga tidak mempunyai benteng pertahanan, maka ada sedikit kesulitan untuk menguasai dan memadamkan api kejahatan mereka secara tuntas. Dalam hal ini mereka lebih sulit dihadapi dari pada penduduk Makkah ataupun Khaibar. Oleh karena itu tidak banyak yang harus dilakukan untuk menghadapi mereka kecuali memberikan pelajaran dan menakut-nakuti. Orang-orang Muslim melaksanakan tugas ini hingga beberapa kali.

Karena orang-orang Badui yang menghimpun pasukan antuk menyerang pinggiran Madinah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan untuk memberi pelajaran kepada mereka, yang disebut dengan Perang Dzatur Riqa’.

Mayoritas penulis kisah peperangan menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada 4 H. Tetapi dengan andilnya Abu Musa Al-Ays’ari dan Abu Hurairah dalam peperangan ini, menunjukkan bahwa peperangan ini terjadi setelah Perang Khaibar. Menurut beberapa riwayat, terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal 7 H.

Inilah ringkasan peristiwa seperti yang disebutkan para penulis sejarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat infonnasi tentang Bani Tsa’labah yang berhimpun bersama Bani Mugharib di Ghathafan. Berdasarkan informasi ini, beliau berangkat bersama 400 atau 700 prajurit. Madinah diwakilkan kepadaAbu Dzar atau Utsman bin Affan. Beliau memasuki wilayah mereka hingga tiba di suatu tempat yang disebut Nakhl, yang ditempuh dengan perjalanan kaki dua hari dari Madinah. Beliau bertemu dengan segolongan penduduk dari Ghathafan.

Mereka menawarkan perdamaian dan tidak terjadi pertempuran. Hanya saja di sana beliau sempat shalat khauf.
Di dalam riwayat Al-Bukhhari dari Abu Musa Al-Asy ‘ ari, dia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Kami berjumlah enam orang dan di tengah kami ada seekor onta. Kami berjalan di belakang onta itu, hingga kaki kami pecah pecah, begitu pula kakiku hingga kuku kakiku terlepas. Kami membalut telapak kaki dengan kain perca, karena itu tempat tersebut kami beri nama Dztur Riqa’ (yang ada tambalanya) karena kami membalut kaki dengan sobekan kain perca.

Dalam riwayat Al-Bukhari juga disebutkan dari Jabir, dia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Dzatur Riqa’. Ketika kami tiba di suatu pohon yang rindang,kami memberi kesempatan kepada beliau untuk berteduh di bawahnya. Beliau singgah di tempat itu dan orang-orang berpencar mencari perlindungan sendiri-sendiri. Di pohon itu pula beliau menggantungkan pedangnya. Untuk beberapa saat kami tertidur. Tiba-tiba pada saat itu muncul salah seorang musyrikin, lalu memungut pedang beliau. Dengan mengacungkannya, orang itu bertanya kepada beliau, “Apakah engkau takut kepadaku?”
“Tidak,” jawab beliau.
“Siapa yang bisa menghalangimu dari tindakanku?” tanya orang itu sekali
lagi.
“Allah,” jawab beliau.
Jabir menuturkan, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami. Ketika kami berdatangan, di depan beliau ada seorang Arab Badui yang sedang duduk.
Beliau bersabda,”Tatkala aku sedang tidur, orang ini memungut pedangku. Saat terbangun, pedang itu dalam keadaan terhunus di tangannya, lalu dia bertanya kepadaku, `Siapakah yang bisa menghalangimu dariku?’ Kujawab, `Allah. Tiba-tiba saja dia terduduk di depanku.” Beliau sama sekali tidak mencaci orang itu.

Di dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa beliau shalat dua rakaat bersama sekumpulan orang Muslim, kemudian mereka mundur dan ganti sekumpulan orang Muslim yang lainnya yang shalat bersama beliau. Jadi beliau shalat empat rakaat, sedangkan orang-orang Muslim hanya shalat dua rakaat
Dalam riwayat abu Awanah disebutkan, “Pedang beliau jatuh dari tangan orang musyrikin itu, lalu belian memungutanya, seraya bertanya kepadanya, “Siapa yang bisa menghalangimu dariku?”
Orang itu menjawab, “Jadilah sebaik-baik orang yang menjatuhkan hukuman.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa shallam bersabda, “Kalau begitu bersaksilah bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah.”
“Aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhanu,” kata orang itu.
Beliau melepaskan orang itu. Setelah tiba di tengah kawanya, dia berkata kepada mereka, “Aku baru saja datang dari orang yang paling baik.”

Dalam riwayat Al-Bukhari, Musaddad berkata dari Abu Awanah, dari Abu Bisyr, “Nama orang musyrik itu adalah Ghaurats bin Al-Harits.” Menurut lbnu Hajar, disebutkan dalam riwayat Al-Waqidi tentang latar belakang kisah ini, bahwa nama orang Badui itu adalah Du’tsur, yang kemudian dia masuk Islam. Tetapi menurut zahir penuturannya, dua kisah itu memang berlainan dan terjadi dalam dua peperangan.

Dalam perjalanan pulang, mereka menawan seorang wanita dari kaum musyrik. Lalu suaminya bernadzar untuk tidak kembali sebelum dapat menghancurkan darah seorang sahabat. Maka malam-malam hari dia datang. Tetapi sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menunjuk dua orang sebagai peronda untuk menjaga orang-orang Muslim, agar tidak diserang musuh. Keduanya adalah Abbad bin Bisyr danAmmar bin Yasir. Suami wanita itu bisa menusukkan anak panah kepada Abbad yang sedang shalat. Tanpa membatalkan shalatnya, Abbad mencabut anak panah itu. Ada tiga anak panah yang mengenai dirinya, dan tidak berhenti dari shalat hingga dia mengucapkan salam. Seusai shalat barulah dia membangunkan temannya.

“Subhanallah,” kata temannya, “mengapa engkau tidak memberi tahuku?” Abbad menjawab, “Karena tadi aku sedang membaca suatu surat dan aku enggan untuk memenggalnya.
Peperangan ini cukup efektif untuk menanamkan rasa takut di dalam hati orang-orang Badui yang dikenal keras. Jika kita menelusuri lebih jauh beberapa pengiriman satuan pasukan setelah perang ini, kita bisa melihat bahwa beberapa kabilah di Ghathafan tidak berani lagi mengangkat kepala. Bahkan sedikit demi sedikit mereka menyerah dan tidak sedikit di antara mereka yang masuk Islam, sehingga kita bisa melihat beberapa kabilah dari orang-orang Arab Badui itu yang bergabung bersama kaum Muslimin dalam penaklukkan Makkah, ikut dalam Perang Hunain dan juga mendapat bagian dari rampasan perang. Saat mereka diminta untuk mengeluarkan sedekah, mereka pan memberikannya.

Dengan tuntasnya peperangan ini, maka sayap yang ketiga dari pasukan musuh sudah dapat dilumpuhkan dan terciptalah keamanan serta ketrentaman di wilayah ini. Dengan mudah orang-orang Muslim bisa menutup setiap celah yang hendak dikuak sebagian kabilah di sana. Bahkan dengan usainya peperangan ini, mulai tampak pembuka untuk menaklukkan berbagai negeri dan kerajaan-kerajaan yang besar. Karena di dalam negeri sudah ada faktor yang sangat menunjang kepentingan orang-orang Muslim.

2. Pengiriman pasukan sepulang dari peperangan Dzatur Riqa’

1. Satuan pasukan Ghalib bin Abdullah Al-Laitsy ke Bani Al-Mulawwah di Al-Qadid pada bulan Shafar atau Rabi’ul Awwal 7 H. Dulunya Bani Al-Mulawwah pemah membunuh rekan-rekan Basyir bin Suwaid. Maka satuan pasukan ini dikirim untuk melakukan pembalasan. Pertempuran meletus pada malam hari dan mereka bisa membunuh musuh dan mengambil hewan temak mereka. Tetapi musuh yang bisa menghimpan pasukan, melakukan pengejaran. Ketika jarak musuh sudah dekat dengan pasukan Muslimin, tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat sehingga banjir menghalangi mereka melangkah. Dengan begitu pasukan Muslimin bisa selamat.

2. Satuan pasukan Husami pada bulan Jumadats Tsaniyah 7 H. Satuan pasukan ini sudah diuraikan dalam pembahasan mengenai korespondensi dengan beberapa raja.

3. Satuan pasukan Umar bin Al-Khathab ke Turbah pada bulan Sya’ban 7 H. Yang bergabung bersamanya ada 30 orang. Mereka melakukan perjalanan pada malam hari dan siang harinya bersembunyi. Sekalipun begitu, kabar tentang keberangkatan satuan pasukan ini didengar pula penduduk Hawazin, lalu mereka pun lari. Saat Umar tiba di tempat tinggal mereka, tak seorang pun yang dijumpainya di sana. Karena itu dia kembali lagi ke Madinah.

4. Satuan pasukan Basyir bin Sa’d Al-Anshari ke Bani Murah di bilangan Fadak pada bulan Sya’ban 7 H bersama 30 orang. Dia pergi ke sana dan dapat merampas hewan-hewan ternak mereka, setelah itu kembali ke Madinah. Dalam perjalanan pada malam harinya, mereka dikejar dan dihujani anak panah, hingga mereka semua terbunuh kecuali Basyir. Dia dapat menyelinap ke Fadak dan hidup bersama orang-orang Yahudi. Setelah luka-lukanya sembuh, dia kembali ke Madinah.

5. Satuan pasukan Ghalib bin Abdullah Al-Laitsy ke Bani Uwal dan Bani Abd bin Tsa’labah, bersama 130 orang. Ada yang berpendapat, dia dikirim ke Al-Hurqah di bilangan Juhainah. Dia bersama pasukannya menyerang mereka dan siapa pan yang mendekat tentu dapat dibunuh. Akhirnya mereka dapat menawan ternak musuh. Dalam peperangan ini, Usamah bin Zaid dapat membunuh Mirdas bin Nuhaik, setelah dia mengucapkan, “La ilaha illallah.” Saat hal ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa shallam, maka beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya, sehingga engkau dapat mengetahui apakah dia jujur atau dusta

6. Satuan pasukan Abdullah bin Rawahah ke Khaibar pada bulan Syawwal 7 H bersama 30 orang penunggang kuda. Pasalnya, Usair bin Basyir bin Razzam berkomplot dengan Ghathafan dalam menggalang pasukan untuk menyerang orang-orang Muslim. Mereka dapat membujuk Usair bersama 30 rekannya hingga mau keluar dan mengatakan kepadanya, bahwa apabila dia mau menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau akan mengangkat dirinya sebagai wakil beliau di Khaibar. Dia mengikuti saran ini. Dalam perjalanan ke Madinah dan setelah tiba di Qamarah, terjadi salah paham antara kedua belah pihak, hingga Usair bersama 30 rekannya dapat dibunuh.

7. Satuan pasukan Basyir bin Sa’d Al-Anshari ke Yaman dan Jabbar pada bulan Syawwal 7 H bersama 300 orang Muslim, untuk menghadapi segelar pasukan musuh yang cukup besar, yang hendak menyerang daerah perbatasan Madinah. Perjalanan dilakukan pada malam hari dan sembunyi pada siang harinya. Saat musuh mendengar keberangkatan pasukan Basyir ini, mereka pun melarikan diri, sehingga Basyir mendapat hewan ternak yang cukup banyak jumlahnya dan dapat menawan dua orang. Keduanya dibawa ke Madinah dan dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu keduanya masuk Islam.

8. Satuan pasukan Hadrad Al-Aslami ke Al-Ghabah. Ibnul Qayyim memasukan peristiwa ini dalam jajaran peperangan pada tahun 7 H sebelum umrah qadha’. Ringkasan kisahnya, ada dua orang dari Jusyam bin Mu’awiyah bersama sejumlah orang datang ke Al-Ghabah. Mereka menghimpun penduduk Qais untuk memerangi orang-orang Muslim. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Hadrad bersama dua orang. Abu Hadrad cukup piawai mengambil siasat perang untuk menghadapi mereka, hingga dapat mengalahkan musuh secara telak, dan sekaligus bisa merampas onta dan domba mereka.

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M