Sutrah Shalat
Daftar Isi :
1. Hukum Sutrah
Diantara sunnah yang mulai luntur di tengah kaum muslimin sekarang terkait ibadah shalat adalah menghadap sutrah ketika shalat. Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat memberikan pencerahan kepada umat mengenai sutrah dalam shalat.
Sutrah secara bahasa arab artinya apapun yang dapat menghalangi (lihat Qamus Al Muhith). Jadi sutrah adalah penghalang. Dalam terminologi ilmu fiqih, sutrah artinya segala sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang disusun, atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 3/176-177).
Menghadap sutrah ketika shalat adalah hal yang disyariatkan. Banyak hadits yang mendasari hal ini diantaranya hadits Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها
“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
juga hadits dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhani radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ
“Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain”).
juga sabda beliau:
لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka perangilah ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).
Sumber: https://muslim.or.id/18214-sutrah-shalat-1-hukum-sutrah.html
2. Apa saja yang bisa jadi Sutrah
1. Anak Panah
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ
“Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain”).
2. Hewan tunggangan
Dalilnya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu, beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْرِضُ رَاحِلَتَهُ وَهُوَ يُصَلِّي إِلَيْهَا
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menghadap pada hewan tunggangannya ketika shalat” (HR. Bukhari 507, Muslim 502)
Namun hendaknya hewan tunggangan yang dijadikan sutrah diikat dan tidak membuat orang yang shalat terkena najis.
3. Tiang
Dalilnya hadits Salamah bin Al Akwa’ radhiallahu’anhu, Yazid bin Abi Ubaid berkata:
كنتُ آتي مع سَلَمَةَ بنِ الأكوَعِ،فَيُصلِّي عندَ الأُسطُوانَةِ التي عندَ المُصحفِ،، فقُلْت: يا أبا مُسْلِمٍ، أراكَ تَتَحَرَّى الصلاةَ عندَ هذهِ الأُسطوانَةِ؟ قال: فإني رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يَتَحَرَّى الصلاةَ عِندَها
“aku pernah bersama Salamah bin Al Akwa’, lalu ia shalat di sisi (di belakang) tiang yang ada di Al Mushaf. Aku bertanya: ‘Wahai Abu Muslim, aku melihat engkau shalat di belakang tiang ini, mengapa?’. Ia berkata: ‘aku pernah melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memilih untuk shalat di belakangnya’” (HR. Bukhari 502, Muslim 509)
4. Pohon
Dalilnya hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, beliau berkata:
لقد رأيتُنا ليلةَ بدرٍ, وما فينا إنسانٌ إلَّا نائمًا, إلَّا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فإنَّه كان يُصلِّي إلى شجرةٍ ويدعو حتَّى أصبحَ
“Sungguh aku menyaksikan keadaan kita pada malam hari perang Badar, tidak ada seorang pun dari kita yang tidak tidur kecuali Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ketika itu beliau mengerjakan shalat menghadap ke sebuah pohon dan berdoa hingga pagi hari” (HR. Ahmad 2/271, Syaikh Ahmad Syakir menilai sanadnya shahih)
5. Tongkat yang ditancapkan
Dalilnya hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, beliau berkata:
أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا خرَج يومَ العيدِ، أمَرَ بالحَربَةِ فتوضَعُ بَين يَدَيهِ، فيُصلِّي إليها والناسُ وَراءَهُ، وكان يفعل ذلك في السَّفرِ، فمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَها الأُمَراءُ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika keluar ke lapangan untuk shalat Id, beliau memerintahkan seseorang untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Lalu beliau shalat menghadap tombak tersebut dan orang-orang manusia bermakmum di belakang beliau. Beliau juga melakukan ini tersebut dalam safarnya. Kemudian hal ini pun dicontoh oleh para umara” (HR. Bukhari 494, Muslim 501)
6. Dinding
Dalilnya hadits Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiallahu’anhu
كان بين مُصلَّى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وبين الجدارِ ممرُّ الشاةِ
“Biasanya antara tempat shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dinding ada jarak yang cukup untuk domba lewat” (HR. Al Bukhari 496)
7. Benda apapun yang meninggi
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim 511)
Imam An Nawawi menjelaskan: “mu’khiratur rahl adalah sandaran pelana yang biasanya ada di belakang penunggang hewan” (Syarh Shahih Muslim, 1/231).
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai seberapa tinggi mu’khiratur rahl itu?
An Nawawi menyatakan, “dalam hadits ini ada penjelasan bahwa sutrah itu minimal setinggi mu’khiratur rahl, yaitu sekitar 2/3 hasta, namun dapat digantikan dengan apa saja yang berdiri di depannya” (Syarh Shahih Muslim, 4/216).
Ibnu Bathal memaparkan: “At Tsauri dan Abu Hanifah menyatakan ukuran minimal sutrah setinggi mu’khiratur rahl yaitu tingginya 1 hasta. Ini juga pendapat Atha’. Al Auza’i juga menyatakan semisal itu, hanya saja ia tidak membatasi harus 1 hasta atau berapapun” (Syarh Shahih Muslim, 2/131).
Tentu saja ini adalah khilafiyah ijtihadiyyah diantara para ulama.
Andaikan seseorang hanya mendapatkan benda yang tingginya kurang dari 1 hasta atau 2/3 hasta, semisal batu, kayu, tas atau semacamnya apa yang mesti ia lakukan?
Jawabnya, ia boleh memakai benda tersebut sebagai sutrah, selama benda tersebut bisa menghalangi atau membatasi orang yang lewat di depannya. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Al Auza’i, Imam Ahmad, Asy Sya’bi, dan Nafi’.
Abu Sa’id berkata: “kami biasa bersutrah dengan panah atau dengan batu dalam shalat” (lihat Fathul Baari Libni Rajab, 4/38).
Sehingga dalam hal ini perkaranya luas insya Allah.
8. Orang lain
Jika benda yang tingginya sekitar 2/3 hasta sah untuk menjadi sutrah, maka bersutrah dengan orang lain yang tentu lebih tinggi dari itu dibolehkan. Jumhur ulama menyatakan bolehnya menjadikan orang lain sebagai sutrah. Namun mereka berselisih pendapat dalam rinciannya.
Hanabilah secara mutlak membolehkan bersutrah kepada orang lain. Adapun Hanafiyah dan Malikiyyah menyatakan bolehnya bersutrah pada punggung orang lain, baik ia berdiri ataupun duduk.
Adapun bersutrah mengharap bagian depan orang lain, atau menghadap orang yang tidur, atau menghadap wanita tidak diperbolehkan. Sedangkan menghadap punggung wanita hukum diperselisihkan, dianggap boleh oleh Hanafiyah dan salah satu pendapat Malikiyyah, dan haram menurut pendapat lain dari Malikiyyah.
Ringkasnya, boleh bersutrah kepada orang lain, selama ia tidak membuat orang yang shalat teralihkan atau tersibukkan pikirannya atau membuatnya tidak khusyu’ (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/179).
Yang tidak boleh dijadikan sutrah
1. Garis
Sebagian ulama, semisal Malikiyah, membolehkan untuk menghadap sutrah berupa garis, namun ini tidak benar karena dalil yang mereka gunakan adalah hadits yang dhaif. Yaitu hadits:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَل تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا، ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
“Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka jadikanlah sesuatu berada di hadapannya. Jika tidak ada apa-apa maka tancapkanlah tongkat. Jika tidak ada tongkat maka buatlah garis. Setelah itu apa saja yang lewat di depan dia tidak akan membatalkannya” (HR. Ahmad 7392, Ibnu Majah 943)
dari jalan Isma’il bin Umayyah, dari Abu Amr bin Muhammad bin Amr bin Huraits, dari kakeknya, Huraits bin Sulaim, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Abu ‘Amr bin Muhammad dan juga kakeknya Huraits bin Sulaim berstatus majhul. Sehingga sanad ini sangat lemah.
Terdapat jalan lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnad-nya (2705), dari jalan Hammam, dari Ayyub bin Musa, dari anak pamannya yang biasa membacakan hadits padanya, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Sanad ini mubham, karena terdapat perawi yang tidak diketahui namanya.
Terdapat jalan lain yang dikeluarkan Musaddad dalam Musnad-nya, dari jalan Hasyim, ia menuturkan, Khalid Hadza, dari Iyyas bin Mu’awiyah, dari Sa’id bin Jubair bahwa ia berkata:
إذا كان الرجل يصلي في فضاء؛ فليركز بين يديه شيئاً؛ فإن لم يكن معه شيء؛ فليخط خطاً في الأرض
“Jika seseorang shalat di tanah lapang, maka tegakkanlah sesuatu di hadapannya. Jika ia tidak mendapati apa-apa, maka buatlah garis”
Semua perawinya tsiqah namun Sa’id bin Jubair adalah seorang tabi’in, sehingga sanad ini maqthu’. Dengan demikian hadits ini sangat dhaif dan sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bahwa garis mencukupi untuk dijadikan sutrah (lihat Silsilah Ahadits Shahihah Syaikh Al Albani, 12/674-679).
Namun perlu menjadi catatan, jumhur ulama membolehkan bersutrah dengan garis jika tidak mendapatkan benda yang tingginya sekitar 2/3 hasta atau 1 hasta (atau lebih). Dan membuat khat (garis) tersurat dalam nash, walaupun dha’if.
Sufyan Ats Tsauri menyatakan: “Membuat garis lebih disukai daripada bersutrah dengan batu yang ada di jalanan jika kurang dari 1 hasta” (Fathul Baari Libni Rajab, 4/38).
Dan dalam hal ini, para ulama meng-qiyas-kan sajadah dengan garis. Artinya jika tidak mendapatkan benda tinggi yang bisa dijadikan sutrah, maka boleh menggunakan sajadah.
At Thahthawi mengatakan: “Ini qiyas yang lebih utama, karena al mushalla (pijakan tempat shalat;sajadah) lebih bisa menghalangi orang yang lewat dari pada sekedar garis”.
Para ulama Syafi’iyyah bahwa lebih mengutamakan sajadah daripada sekedar garis, mereka mengatakan: “Sajadah lebih didahulukan daripada garis, karena sajadah lebih mencocoki maksud (dari sutrah)” (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/180).
Kesimpulannya, tidak boleh bersutrah dengan garis jika masih ada benda-benda lain yang bisa dijadikan sutrah. Namun jika memang tidak ada, maka jika ada sajadah itu lebih utama. Jika tidak ada, maka dengan membuat garis yang terlihat orang lain.
2. Mushaf Al Qur’an
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan: “tidak semestinya menjadikan mushaf sebagai sutrah bagi orang yang shalat di masjid ataupun di tempat lain. Dalam kitab At Taaj dan Al Ikliil karya Al Mawwaq ia berkata: “berkata penulis Al Mudawwanah: ‘tidak baik bagi orang yang shalat menjadikan mushaf sebagai kiblat dengan mengarah kepadanya’”. juga Al Hathab dalam Mawahib Al Jalil mengatakan: “tidak boleh shalat menghadap sutrah”. (Sumber: fatwa.islamweb.net)
3. Segala benda yang jika dijadikan sutrah, akan menyerupai penyembah berhala
Jika benda yang dipakai sutrah dikhawatirkan muncul sangkaan bahwa orang yang shalat menyembah benda tersebut, maka terlarang memakainya sebagai sutrah. Sebagaimana para ulama melarang menggunakan sutrah berupa satu buah batu besar jika sebenarnya banyak batu tersedia. Karena itu menyerupai orang-orang penyembah berhala dan akan disangka dilakukan penyembahan pada batu tersebut. Adapun jika batu yang dijadikan sutrah itu banyak, maka tidak mengapa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/178)
4. Segala benda yang membuat shalat tidak khusyu’
Setiap muslim wajib untuk berusaha khusyu’ dalam shalat dengan menjauhkan hal-hal yang bisa memalingkan hatinya dari kesibukan shalat.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata:
إن في الصلاة لشغلا
“Sungguh, shalat itu sangatlah sibuk” (Muttafaqun ‘Alaih)
Para ulama menyatakan: “hendaknya sutrah shalat itu benda yang tsabit (tetap; stabil) tidak menyibukkan pikiran orang yang shalat sehingga tidak khusyu’” ( Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/178)
Sumber: https://muslim.or.id/18221-sutrah-shalat-2-apa-saja-yang-bisa-menjadi-sutrah.html
3. Jarak Sutrah
Jarak antara orang yang shalat dengan sutrah-nya
Para ulama berselisih pendapat mengenai berapa jarak antara orang yang shalat dengan sutrah-nya. Karena dalam hal ini sekurang-kurangnya terdapat tiga hadits yang sekilas nampak tidak sejalan.
Hadits 1
Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها
“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Hadits 2
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiallahu’anhu, beliau berkata:
كان بين مُصلَّى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وبين الجدارِ ممرُّ الشاةِ
“Biasanya antara tempat shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dinding ada jarak yang cukup untuk domba lewat” (HR. Al Bukhari 496).
An Nawawi mengomentari hadits ini : “yaitu jarak dari tempat sujud” (Syarah Shahih Muslim, 4/225).
Hadits 3
Hadits Bilal bin Rabbah radhiallahu’anhu yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6060),
قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ: مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ هُوَ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ، وَبِلَالٌ ، وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ: ” مَاذَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ: جَعَلَ عَمُودًا عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودَيْنِ عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ ، وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ، ثُمَّ صَلَّى وَجَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ نَحْوًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ
“Aku membaca dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Malik menuturkan padaku, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke dalam Ka’bah bersama Usamah bin Zaid, Bilal, Utsman bin Thalhah Al Hajabi kemudian menutup pintunya. Lalu Abdullah bin Umar bertanya kepada Bilal ketika keluar: “apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ?”. Bilal menjawab: “Beliau memasang satu tiang di sebelah kirinya, dua tiang di sebelah kanannya, dan tiga tiang dibelakangnya. Sehingga Ka’bah saat ini memiliki enam tiang. Kemudian beliau shalat dan menjadikan jarak antara beliau dengan tembok sejauh tiga hasta” (HR. Ahmad 6060, hadits ini shahih, semua perawinya tsiqah tanpa keraguan).
Kompromi hadits
Para ulama memberikan beberapa kompromi hadits-hadits di atas:
Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan: “andaikan kita kompromikan hadits Sahl dan hadits Ibnu Umar dengan mengambil hadits Ibnu Umar untuk shalat sunnah, sedangkan hadits Sahl untuk shalat wajib, ini kompromi yang ada benarnya. Karena shalatnya Nabi di dalam Ka’bah adalah shalat tathawwu’, sedangkan yang dikabarkan Sahl adalah mengenai tempat shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di masjidnya yang biasa didirikan shalat fadhu” (Fathul Baari Libni Rajab, 4/29).
Jadi menurut kompromi ini, dalam shalat wajib jarak sutrah adalah sejarak domba lewat sedangkan dalam shalat sunnah sejauh 3 hasta, dihitung mulai dari tempat sujud.
Ad Dawudi menyatakan bahwa sejarak domba lewat itu jarak minimal sedangkan tiga hasta adalah jarak maksimal (Nailul Authar, 3/7). Inipun dihitung dari tempat sujud.
Sebagian ulama mengkompromikan bahwa sejarak domba lewat itu dihitung dalam keadaan sujud dan rukuk, sedangkan tiga hasta itu dihitung dalam keadaan berdiri (Nailul Authar, 3/7).
Ibnu Shalah berkata: “para ulama menyatakan bahwa kadar jarak domba lewat itu adalah tiga hasta” (Nailul Authar, 3/7). Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa jarak sutrah itu tiga hasta, ini pendapat Asy Syafi’i, Atha dan lainnya.
Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan : “hadits Ibnu Umar sanadnya lebih shahih daripada hadits Sahl, namun keduanya baik”. Artinya menurut beliau boleh membuat jarak sejarak domba lewat atau boleh juga 3 hasta. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa jarak sutrah tidak ada batasannya (Fathul Baari Libni Rajab, 4/29 ).
Wallahu’alam, ketika ada beberapa dalil yang nampak tidak sejalan, yang paling baik adalah mengkompromikan semua dalil yang ada tanpa mengabaikan satu dalil pun.
Dan nampaknya kompromi pada poin 3 lebih mencakup semua dalil, yaitu sejarak domba lewat itu dihitung dalam keadaan sujud dan rukuk, sedangkan tiga hasta itu dihitung dalam keadaan berdiri, dengan demikian orang yang shalat pun lebih mendekat kepada sutrah sebagaimana diperintahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri.
Imam Ahmad pernah ditanya, “berapa jarak antara orang yang shalat dengan kiblatnya (sutrah)?”, beliau menjawab: “hendaknya ia mendekat kepada kiblat (sutrah) sedekat mungkin”. Lalu Imam Ahmad membacakan hadits Ibnu ‘Umar (Fathul Baari Libni Rajab, 4/29 ).
Ini mengisyaratkan Imam Ahmad berpandangan bahwa 3 hasta dalam hadits Ibnu Umar itu sangat-sangat dekat dengan sutrah yaitu dihitung dalam keadaan berdiri.
Ibnu Hajar Al Asqalani juga menyatakan: “tidak ragu lagi bahwa sangat tepat apa yang dikatakan oleh Al Baghawi: ‘para ulama menganjurkan untuk mendekat kepada sutrah sekadar jarak yang memungkinkan untuk sujud, demikian juga (kaidah) jarak antar shaf (dalam shalat berjama’ah)’” (Fathul Baari, 1/575).
Kehilangan Sutrah Di Tengah Shalat
Jika orang yang shalat kehilangan sutrahnya di tengah shalat, misalnya sutrah yang ia gunakan terbawa angin, diambil orang, atau orang yang ia jadikan sutrah sudah beranjak pergi, maka apa yang mesti dilakukan? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
Bergerak atau berjalan mencari sutrah lain jika tidak menyibukkan.
Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah menyatakan:
“Ini merupakan pendapat Imam Malik dan beberapa ulama yang lain. Dan telah aku jelaskan hal ini dalam kitab Al Qaulul Mubin Fii Akhta’i Al Mushallin. Adapun dalilnya adalah dalil-dalil umum. Semisal sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها
“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya”
walyadnu minha artinya mendekat. Dan ada riwayat shahih bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat kemudian ada domba yang hendak lewat, maka beliau pun melangkah ke depan sampai perutnya menyentuh tembok. Lalu domba tadi lewat di belakang beliau.
Maka sudah selayaknya setiap orang untuk bersemangat dalam hal ini. Orang-orang awam berkeyakinan bahwa bergerak dalam shalat itu tidak terpuji, bahkan sebagian orang berkeyakinan bahwa bergerak lebih dari 3 kali itu membatalkan shalat. Ini adalah khurafat yang telah saya peringatkan sejak dahulu.
Yang benar, jika bergerak dalam shalat itu dalam rangka mengusahakan kesempurnaan atau kebaikan dalam shalat, maka gerakan ini terpuji. Jika seseorang shalat di tempat yang biasa dilalui orang, maka ia bergerak melangkah menjauhi tempat manusia berlalu lalang hingga ia merasa tenang pikirannya, maka ini gerakan yang terpuji.
Hukum asal bergerak dalam shalat adalah makruh, berdasarkan hadits ‘Ubadah bin Ash Shamit dalam Shahih Muslim:
اسكنوا في صلاتكم
‘berlaku tenanglah dalam shalatmu‘
namun jika dengan bergerak sedikit dapat tercapai kebaikan shalat, maka ini terpuji. Patokan gerakan sedikit atau banyak, kembali kepada ‘urf. Jika orang-orang menganggap suatu gerakan itu tergolong sedikit, maka itu gerakan yang sedikit. Jika orang-orang menganggap suatu gerakan itu tergolong banyak, maka itu gerakan yang banyak”. (Sumber: ar.islamway.net)
Tidak perlu melakukan apa-apa.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
“Ketika imam salam, makmum menjadi munfarid. Maka dalam keadaan ini ‘sutrah imam adalah sutrah bagi makmum‘ tidak berlaku, karena si imam saat ini bukan lagi imam, ia sudah berpindah dari posisinya sebagai imam. Namun setelah itu jika makmum kembali berdiri meneruskan shalat, apakah disyari’atkan bagi makmum untuk mencari sutrah?
Yang menurutku lebih tepat, tidak disyariatkan untuk mencari sutrah. Karena para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika mereka masbuk dan hendak menyelesaikan sisa shalatnya, mereka tidak mencari sutrah.
Lalu jika kita katakan bahwa sebaiknya mencari sutrah, atau bahkan wajib bagi yang berpendapat wajibnya sutrah, maka pada umumnya diperlukan melangkah dan gerakan yang tentunya tidak bisa kita bolehkan kecuali dengan dalil yang tegas.
Maka yang nampaknya lebih tepat, kita katakan kepada makmum bahwa sutrah anda sudah berakhir dengan berakhirnya imam dan anda tidak perlu mencari sutrah. Karena tidak ada dalil mengenai mencari sutrah di tengah-tengah shalat. Yang ada dalilnya adalah mencari sutrah sebelum mulai shalat.” (Liqa Babil Maftuh, kaset no. 155, fatwa no. 16, Asy Syamilah)
Wallahu’alam, jika seseorang yang shalat merasa perlu bergerak melangkah sedikit untuk menghindari orang yang lalu lalang, maka ini tidak mengapa dan tidak membatalkan shalatnya. Namun asalnya, diam dan tidak melakukan gerakan tambahan itu lebih baik. Bila ada yang lewat di depannya cukup dihalau dengan tangan.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab:
“Gerakan melangkah tersebut tidak membatalkan shalatnya insya Allah. Melangkah sedikit sehingga orang-orang bisa lewat di belakang orang yang shalat, ini tidak membatalkan shalatnya, insya Allah. Jika masih ada raka’at yang tersisa, maka sempurnakanlah. Namun jika ia tetap pada tempatnya, shalat tetap pada tempatnya, walhamdulillah, ini lebih utama daripada melangkah”. (Sumber: binbaz.org.sa)
Sumber: https://muslim.or.id/18221-sutrah-shalat-2-apa-saja-yang-bisa-menjadi-sutrah.html
4. Hukum lewat di depan orang sedang Sholat
Shalat Dengan Menggunakan Sutrah
Tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa lewat di depan sutrah hukumnya tidak mengapa dan lewat di tengah-tengah antara orang yang shalat dengan sutrahnya hukumnya tidak boleh dan orang yang melakukannya berdosa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/184).
Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505)
Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).
Dengan demikian kita tidak boleh lewat diantara orang yang shalat dengan sutrahnya, hendaknya kita mencari jalan di luar sutrah, atau lewat belakang orang yang shalat tersebut, atau mencari celah antara orang yang shalat, atau cara lain yang tidak melanggar larangan ini.
Shalat Tanpa Menggunakan Sutrah
Demikian juga terlarang lewat di depan orang yang sedang shalat walaupun ia tidak menghadap sutrah, orang yang melakukannya pun berdosa. Berdasarkan hadits dari Abu Juhaim Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)
Namun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي (di depan orang yang shalat) yaitu berapa batasan jarak di depan orang shalat yang tidak dibolehkan lewat? Dalam hal ini banyak pendapat yang dinukil dari para ulama:
Tiga hasta dari kaki orang yang shalatSejauh lemparan batu, dengan lemparan yang biasa, tidak kencang ataupun lemahSatu langkah dari tempat shalatKembali kepada ‘urf, yaitu tergantung pada anggapan orang-orang setempat. Jika sekian adalah jarak yang masih termasuk istilah ‘di hadapan orang shalat’, maka itulah jaraknya.Antara kaki dan tempat sujud orang yang shalat
Yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah antara kaki dan tempat sujud orang yang shalat. Karena orang yang shalat tidak membutuhkan lebih dari jarak tersebut, maka ia tidak berhak untuk menghalangi orang yang lewat di luar jarak tadi (Syarhul Mumthi’, 3/246).
Dengan demikian jika ingin lewat di depan orang yang shalat yang tidak menggunakan sutrah hendaknya lewat diluar jarak sujudnya, dan ini hukumnya boleh.
Shalat Berjama’ah
Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa makmum dalam shalat jama’ah tidak disunnahkan untuk membuat sutrah. Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum. Namun apakah boleh seseorang lewat di depan para makmum? Atau bolehkah lewat diantara shaf shalat jama’ah? Dalam hal ini ada dua pendapat diantara para ulama :
- Hukumnya tidak boleh, berdasarkan keumuman larangan dalam hadits Abu Juhaim. Selain itu gangguan yang ditimbulkan oleh orang yang lewat itu sama baik terhadap orang yang shalat sendiri maupun berjama’ah.
- Hukumnya boleh berdasarkan perbuatan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahihain, Ibnu Abbas berkata,
قْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ ، وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang dengan menunggang keledai betina. Ketika itu aku hampir menginjak masa baligh. Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap ke dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf. Kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku itu” (HR. Al Bukhari 76, Muslim 504).
Perbuatan sahabat Nabi, jika diketahui Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan banyak sahabat namun tidak diingkari, maka itu adalah hujjah (dalil). Dan ini merupakan sunnah taqririyyah, sunnah yang berasal dari persetujuan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap sebuah perkataan atau perbuatan. Sehingga sunnah taqririyyah ini merupakan takhsis (pengkhususan) dari dalil umum hadits Abu Juhaim.
Yang shahih, boleh lewat di depan para makmum shalat jama’ah, yang melakukan hal ini tidak berdosa dengan dalil perbuatan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma. Namun andaikan bisa menghindari atau meminimalisir hal ini, itu lebih disukai. Karena sebagaimana jika kita shalat tentu kita tidak ingin mendapatkan gangguan sedikit pun, maka hendaknya kita pun berusaha tidak memberikan gangguan pada orang lain yang shalat.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا يؤمنُ أحدُكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه
“tidak beriman seseorang sampai ia menyukai sesuatu ada saudaranya sebagaimana ia menyukai sesuatu itu ada pada dirinya” (lihat Syarhul Mumthi, 3/279).
Shalat Di Masjidil Haram Atau Tempat Yang Banyak Dilalui Orang
Apakah boleh lewat di depan orang yang shalat di Masjidil Haram?
Sebagian ulama membolehkan secara mutlak karena darurat dikarenakan banyaknya dan merupakan tempat lalu lalangnya orang-orang dalam rangka thawaf dan lainnya.
Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan: “demikian juga jika seseorang shalat di Masjidil Haram, maka tidak perlu menghadang orang yang lewat di depannya, karena terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mekkah, orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khamsah” (Mulakhash Fiqhi, 145).
Sebagian lagi tetap melarang berdasarkan keumuman hadits Abu Juhaim. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Tidak ada perbedaan hukum lewat di depan orang shalat baik di Mekkah maupun di selain Mekkah. Inilah pendapat yang shahih. Tidak ada hujjah bagi yang mengecualikan larangan ini dengan hadits
أنه كان يُصلِّي والنَّاسُ يمرُّون بين يديه، وليس بينهما سُترة
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat (di Mekkah), orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau”
karena dalam hadits ini tedapat perawi yang majhul. Adanya perawi majhul adalah kecacatan bagi hadits. Andaikan hadits ini shahih pun, maka kita bawa kepada kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di tempat orang ber-thawaf. Dan orang yang thawaf itu adalah orang-orang yang lebih berhak berada di tempat thawaf. Karena tidak ada tempat lain selain ini. Sedangkan orang yang shalat, dia bisa shalat di tempat lain. Adapun orang yang thawaf tidak memiliki tempat lain selain sekeliling Ka’bah, sehingga ia lebih berhak. Demikian andaikan haditsnya shahih. Oleh karena itu Imam Al Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya memberi judul bab “sutrah di Mekkah dan tempat lainnya”. Artinya, menurut beliau hukum sutrah di Mekkah dan tempat lain itu sama” (Syarhul Mumthi, 3/248).
Dari penjelasan beliau ini juga dapat dipahami bahwa jika seseorang shalat di tempat melakukan thawaf maka boleh dilewati, karena orang yang thawaf lebih berhak untuk berada di tempat thawaf.
Yang paling bagus dalam masalah ini adalah rincian yang dipaparkan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah dan sebagian ulama Malikiyyah, yaitu sebagai berikut:
Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat, dan terdapat celah yang memungkinkan bagi orang yang lewat untuk tidak lewat di depan orang shalat, maka orang yang lewat tadi berdosa. Sedangkan yang shalat tidak berdosa.
Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, sedangkan tidak ada celah yang memungkinkan untuk lewat selain melewati orang shalat, maka dalam hal ini orang yang shalat berdosa. Adapun orang yang lewat tidak berdosa.
Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, dan ada celah yang memungkinkan untuk lewat, maka keduanya berdosa.
- Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat dan tidak ada celah untuk lewat, maka boleh lewat dan keduanya tidak berdosa (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/185).
Perlu dicatat bahwa rincian ini berlaku dalam keadaan tempat shalat yang ramai orang berlalu-lalang dan banyak orang melakukan shalat semisal Masjidil Haram. Adapun di tempat biasa yang tidak terlalu banyak orang lalu-lalang, maka tidak ada alasan untuk melewati orang yang shalat walaupun andaikan tidak ada celah dan ia ada keperluan untuk melewatinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara orang yang punya keperluan untuk lewat atau pun tidak punya keperluan. Karena ia tidak punya hak untuk lewat di depan orang yang shalat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat”
arba’in di sini artinya 40 tahun (Syarhul Mumthi’, 3/247). Maka yang patut dilakukan adalah menunggu orang yang shalat selesai. Ibnu Rajab mengomentari hadits ini: “ini adalah dalil bahwa berdirinya seseorang selama 40 tahun untuk menunggu adanya jalan agar bisa lewat, itu lebih baik daripada lewat di depan orang yang shalat jika ia tidak menemukan jalan lain” (Fathul Baari Libni Rajab, 4/80).
Apakah Shalat Menjadi Batal Dengan Adanya Sesuatu Yang Lewat?
Shalat bisa menjadi batal jika ia dilewati oleh wanita, atau keledai, atau anjing. Adapun jika yang lewat adalah selain tiga hal ini, maka tidak batal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim 511)
anjing yang dimaksud adalah anjing hitam sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:
إذا صلَّى الرَّجلُ وليسَ بينَ يدَيهِ كآخرةِ الرَّحلِ أو كواسطةِ الرَّحلِ قطعَ صلاتَه الكلبُ الأسودُ والمرأةُ والحمارُ
“Jika salah seorang dari kalian shalat, dan ia tidak menghadap sesuatu yang tingginya setinggi ujung pelana atau bagian tengah pelana, maka shalatnya bisa dibatalkan oleh anjing hitam, wanita, dan keledai” (HR. Tirmidzi).
Batalnya shalat dalam hal ini berlaku baik jika yang shalat memakai sutrah, lalu wanita, atau keledai, atau anjing lewat di antara ia dan sutrahnya, maupun tanpa sutrah namun mereka lewat di daerah sujud orang yang shalat.
Namun tidak berlaku untuk makmum shalat jama’ah karena sutrah imam adalah sutrah bagi makmum, dan makmum tidak disyari’atkan untuk menahan orang yang lewat di depannya. Sehingga jika wanita, atau keledai, atau anjing lewat diantara shaf shalat jama’ah maka tidak membatalkan shalat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa secara mutlak shalat tidak bisa dibatalkan dengan lewatnya sesuatu, sedangkan hadits di atas maksudnya batal pahala atau kesempurnaan shalatnya. Tentu saja ini merupakan ta’wil yang tidak memiliki dasar. Dan petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sebaik-baik petunjuk.
Al Lajnah Ad Daimah menyatakan: “yang shahih, lewatnya hal-hal yang disebutkan itu di depan orang yang shalat atau antara ia dan sutrahnya itu membatalkan shalatnya. Karena terdapat hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl’. Riwayat Imam Muslim. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat tidak bisa batal dengan hal-hal tersebut. Namun pahalanya berkurang karena berkurangnya seluruh kekhusyukannya atau sebagian kekhusyukannya. Namun yang nampaknya lebih tepat adalah apa yang terdapat dalam hadits, sedangkan pendapat yang kedua tadi merupakan ta’wil yang tidak didasari oleh dalil” (Fatawa Lajnah Daimah, no. 6990 juz 7 hal 82).
Tapi, jika wanita, anjing hitam atau keledai lewat di depan orang yang shalat, sedangkan orang yang shalat ini sudah mencari tempat yang aman dari orang yang lewat, sudah menghadap sutrah, atau ia pun sudah berusaha menghadang dan menahan yang lewat tadi dengan sungguh-sungguh namun tetap saja bisa lolos, maka shalat tidak batal.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan: “(jika wanita lewat) secara zhahir shalatnya batal, dan wajib diulang. Namun menurut saya, ada sesuatu yang kurang tepat dalam pendapat ini. Karena seorang yang melakukan shalat, ketika ia sudah melakukan apa saja yang diperintahkan oleh syari’at, lalu datang perkara yang bukan atas kehendaknya, dan ini pun bukan karena tafrith (lalai) ataupun tahawun (menyepelekan), bagaimana mungkin kita mengatakan ibadahnya batal karena sebab perbuatan pihak lain? Karena yang berdosa adalah yang lewat. Adapun jika hal itu terjadi karena menyepelekan atau lalai sebagaimana dilakukan kebanyakan orang, maka shalatnya batal tanpa keraguan” (Syarhul Mumthi’, 3/239).
Inilah pendapat yang kami anggap sebagai pendapat yang lebih pertengahan dalam hal ini.
Mungkin ada yang bertanya, “bagaimana dengan wanita? apakah shalat seorang wanita batal jika dilewati wanita lain?”.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya pertanyaan serupa, beliau menjawab: “iya, batal. Karena tidak ada perbedaan hukum antara lelaki dan wanita kecuali ada dalil yang menyatakan berbeda hukumnya. Namun jika wanita tersebut lewat di luar sutrah jika ada sutrah, atau di luar sajadah jika shalatnya pakai sajadah, atau di luar area sujud jika tidak pakai sutrah dan sajadah, maka ini tidak mengapa dan tidak membatalkan” (Majmu’ Fatawa war Rasail Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, 13/318).
Hukum Menghalangi Orang Lewat
Disyariatkan bagi orang yang shalat untuk menahan atau menghalangi orang yang lewat di depannya. Baik ia memakai sutrah maupun tidak. Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509)
Sebagian ulama berdalil dengan mafhum hadits ini, bahwa yang disyariatkan untuk menahan orang yang lewat adalah jika shalatnya memakai sutrah. Pendapat ini tidak tepat karena dalam riwayat yang lain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk menghalangi orang yang lewat secara mutlak.
إذا كان أحدُكم يصلِّى فلا يدعُ أحدًا يمرُّ بين يدَيه . وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه . فإنما هو شيطانٌ
“Jika seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia, karena sesungguhnya itu setan” (HR. Muslim 505. 506).
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menahan orang yang lewat ketika sedang shalat, apakah wajib atau tidak? Karena lafadz-lafadz hadits mengenai hal ini menggunakan lafadz perintah, yaitu فليدفَعْهُ (cegahlah) dan وليدرَأْه (tahanlah) atau semacamnya, maka pada asalnya menghasilkan hukum wajib. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Lebih diperkuat lagi wajibnya karena diperintahkan untuk memerangi orang yang enggan dicegah untuk lewat (lihat Syarhul Mumthi’, 3/244).
Sedangkan jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena sibuk menahan orang yang lewat dapat menghilangkan tujuan dari shalat yaitu khusyuk dan tadabbur. Selain itu juga adanya perbedaan hukum melewati orang yang shalat, sebagaimana telah dijelaskan, mengisyaratkan tidak wajibnya menahan orang yang lewat. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/187) dan serta pendapat mu’tamad madzhab Hambali (Syarhul Mumthi’, 3/243).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memaparkan kompromi yang bagus antara yang mewajibkan secara mutlak dengan yang mensunnahkan secara mutlak: “Dapat kita bawa kepada kompromi berikut: perlu dibedakan antara lewat yang membatalkan shalat dengan yang tidak sampai membatalkan shalat. Jika lewatnya tersebut membuat shalat batal, maka wajib ditahan. Namun jika tidak sampai membatalkan shalat, maka tidak wajib (sunnah) untuk ditahan. Karena dalam kondisi ini, adanya yang lewat tersebut maksimal hanya membuat shalat kurang sempurna,
tidak sampai membatalkan. Berbeda halnya jika adanya yang lewat tadi dapat membatalkan shalat. Lebih lagi jika shalatnya adalah shalat fardhu, jika anda membiarkan sesuatu lewat hingga membatalkan shalat anda sama saja anda sengaja membatalkan shalat. Dan hukum asal membatalkan shalat fardhu adalah haram” (Syarhul Mumthi’, 3/245).
Cara Menahan Orang Yang Lewat
Sebagaimana hadits yang telah disebutkan, disebutkan cara menahan orang yang lewat adalah
وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه
“Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia”
Maksudnya ketika lewat pertama kali, maka tahanlah dengan cara yang ringan namun cukup untuk menahannya. Jika ia berusaha untuk lewat kedua kalinya, maka tahanlah dengan lebih bersungguh-sungguh. Sebagaimana perbuatan seorang sahabat Nabi, Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:
بينما أنا مع أبي سعيدٍ يصلي يومَ الجمعةِ إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ, إذ جاء رجلٌ شابٌ من بني أبي مُعْيطٍ, أراد أن يجتازَ بين يديه , فدَفَعَ في نحرِه , فنظر فلم يجد مساغًا إلا بين يديْ أبي سعيدٍ, فعاد فدَفَعَ في نحرِه أشدَّ من الدفعةِ الأولى , فمثلَ قائمًا, فنال من أبي سعيدٍ , ثم زاحم الناسَ ، فخرج فدخل على مرْوانَ , فشكا إليه ما لقي قال ودخل أبو سعيدٍ على مرْوانَ , فقال له مرْوانُ: ما لك ولابنِ أخيك ؟ جاء يشكوك , فقال أبو سعيدٍ: سمعتُ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقولُ : إذا صلى أحدُكم إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ، فأراد أحدٌ أن يجتازَ بين يديه, فلْيدْفعْ في نحرِه, فإن أبى فليقاتِلْه , فإنما هو شيطانٌ
“aku (Abu Shalih; perawi hadits) ketika itu bersama yang Abu Sa’id sedang shalat pada hari Jum’at dengan menghadap sutrah. Kemudian datang seorang pemuda dari Bani Abi Mu’yath hendak lewat di depan beliau. Kemudian beliau pun menahannya di lehernya. Lalu pemuda itu melihat-lihat sekeliling, namun ia tidak melihat celah lain selain melewati Abu Sa’id. Sehingga pemuda itu pun berusaha lewat lagi untuk kedua kalinya. Abu Sa’id lalu menahannya lagi pada lehernya namun lebih sungguh-sungguh dari yang pertama. Akhirnya pemuda itu berdiri sambil mencela Abu Said. Setelah itu dia memilih untuk membelah kerumunan manusia. Pemuda tadi pergi ke rumah Marwan (gubernur Madinah saat itu). Ia menyampaikan keluhannya kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Marwan bertanya kepadanya: ‘Apa yang telah kau lakukan kepada anak saudaramu sampai-sampai ia datang mengeluh padaku?’ Lalu Abu Sa’id berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah di lehernya. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan’” (HR. Muslim 505)
dalam riwayat lain:
عن أبي سعيد، أنه كان يصلي ومر بين يديه ابن لمروان، فضربه، فقال مروان: ضربت ابن أخيك؟ فقال: ما ضربت إلا شيطانا
“dari Abu Sa’id, ia pernah shalat lalu anaknya Marwan lewat di depannya, ia pun memukulnya.
Marwan setelah kejadian itu bertanya kepada Abu Sa’id: ‘Apakah engkau memukul anak saudaramu?’. Abu Sa’id berkata: ‘Tidak, aku tidak memukulnya. Yang aku pukul adalah setan’”.
Ishaq bin Ibrahim pernah melihat Imam Ahmad shalat, ketika ada yang hendak lewat di depannya, beliau menahannya dengan lembut. Namun ketika orang itu mencoba lewat lagi, Imam Ahmad menahannya dengan keras (Fathul Baari Libni Rajab, 4/83).
Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan makna فليقاتِلْه (perangilah ia) beliau berkata”maksudnya adalah menahan. Dan menurutku makna perkataan ini bukanlah melakukan kekerasan, karena segala sesuatu itu ada batasnya”. Beliau juga berkata: “para ulama bersepakat maksudnya memerangi di sini bukanlah memerangi dengan pedang (senjata), dan tanpa menoleh, dan tidak sampai pada kadar yang membuat shalatnya batal” (Fathul Baari Libni Rajab, 4/84).
Para ulama juga bersepakat bahwa hendaknya cara yang digunakan untuk menahan orang yang shalat itu bertahap, dimulai dari yang paling ringan dan lembuat setelah itu jika berusaha lewat lagi maka mulai agak keras dan seterusnya (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/187).
Adapun mengenai makna فإنما هو شيطانٌ (sesungguhnya orang yang lewat di depan orang shalat adalah setan), ada dua tafsiran dari para ulama:
Orang tersebut disertai dan ditemani setan yang setan ini memerintahkan dia untuk melewati orang shalat. Ini pendapat yang dikuatkan Abu Hatim. Sebagaimana dalam sebagian riwayat dikatakan:
فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“karena bersamanya ada qarin (setan)”
Perbuatan melewati orang shalat adalah perbuatan setan, sehingga orang ini adalah setan berbentuk manusia. Ini adalah pendapat Al Jurjani. (lihat Fathul Baari Libni Rajab, 4/88)
Demikian risalah singkat mengenai sutrah shalat. Semoga dengan mengetahui fiqih mengenai sutrah, kaum Muslimin dapat lebih menjaga dan meningkatkan kualitas shalatnya, sehingga shalat tidak hanya sekedar gerakan bungkuk-berdiri. Melainkan sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menggapai ridha-Nya. Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.Sos., M.Pi.
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/18356-sutrah-shalat-4-hukum-lewat-di-depan-orang-yang-sedang-shalat.html