Tahapan Dakwah Diluar Makkah
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Rasulullah ﷺ di Tha’if
- Menawarkan Islam ke Berbagai Kabilah dan individu
- Kabilah-Kabilah yang Ditawari Islam
- Orang-Orang yang Beriman dari Selain Penduduk Makkah
- Enam Orang dari Penduduk Yastrib
Pada bulan Syawwal tahun ke-10 dari kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau Juni tahun 619 M Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Mekkah. Beliau datang dan pergi kesana dengan berjalan kaki, didampingi budak beliau (ketika itu), Zaid bin Hâritsah. Setiap melewati perkampungan sebuah kabilah, beliau mengajak mereka kepada Islam namun tidak satupun yang memberikan responsnya. Tatkala tiba di Thaif, beliau mendekati tiga orang bersaudara yang merupakan para pemuka kabilah Tsaqîf. Mereka masing-masing bernama ‘Abd Yalail, Mas’ud dan Habib. Ayah mereka bernama ‘Amru bin ‘Umair at-Tsaqafiy. Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam duduk-duduk bersama mereka sembari mengajak mereka kepada Allah Ta’ala dan membela Islam.
Salah seorang dari mereka berkata: “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia akan merobek-robek pakaian ka’bah”.
Yang seorang lagi berkata: “apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?”.
Orang terakhir berkata: “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang Rasul tentu engkau adalah bahaya besar bila aku menjawab pertanyaanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu”.
Lalu beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka:”Jika kalian melakukan apa yang ingin kalian lakukan, maka rahasiakanlah tentang diriku”.
Rasulullah berdiam di tengah penduduk Thaif selama sepuluh hari. Dan selama masa itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan para pemuka mereka. Sebaliknya, jawaban mereka hanyalah: “keluarlah dari negeri kami”. Mereka membiarkan beliau menjadi bulan-bulanan orang-orang iseng di kalangan mereka. Maka, tatkala beliau ingin keluar, orang-orang iseng tersebut beserta pengabdi mereka mencaci-caci dan meneriaki beliau sehingga khalayak berkumpul. Mereka menghadang beliau dengan membuat dua barisan lalu melempari beliau dengan batu dan ucapan-ucapan tak senonoh serta mengarahkannye ke urat diatas tumit beliau sehingga kedua sandal yang beliau pakai bersimbah darah.
Zaid bin Hâritsah yang bersama beliau, menjadikan dirinya sebagai perisai untuk membentengi diri beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tindakan ini mengakibatkan kepalanya mengalami luka-luka sementara orang-orang tersebut terus melakukan itu hingga memaksanya berlindung ke tembok milik ‘Utbah dan Syaibah, dua orang putera Rabi’ah yang terletak 3 mil dari kota Thaif. Manakala sudah berlindung disana, merekapun meninggalkannya.
Beliau menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk-duduk dan berteduh di bawah naungannya menghadap ke tembok. Setelah duduk dan merasa tenang kembali, beliau berdoa dengan sebuah doa yang amat masyhur. Doa yang menunjukkan betapa hati beliau dipenuhi rasa getir dan sedih terhadap sikap keras yang dialaminya serta menyayangkan tidak adanya seorangpun yang beriman. Beliau mengadu:”Ya Allah! Sesungguhnya kepada-Mu lah aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinadinanya diriku di hadapan manusia, wahai Yang Paling Pengasih diantara para pengasih! Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? (apakah) kepada orang yang jauh tetapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli, akan tetapi ‘afiat yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantaraan Nur wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunai dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridla. Tidak daya serta upaya melainkan karena-Mu”.
Kedua putra Rabi’ah yang menyaksikan hal itu menjadi tergerak rahim nya sehingga mereka memanggil seorang hamba beragama Nashrani yang mengabdi kepada mereka bernama ‘Addas sembari berkata kepadanya: “ambillah setandai anggur ini dan bawakan untuk orang tersebut”. Tatkala dia menaruhnya diantara kedua tangan Rasulullah, beliau mengulurkan tangannya untuk menerimanya sembari membaca: “bismillah”, lalu memakannya.
‘Addas berkata: “Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini. Lantas Rasulullah bertanya kepadanya: “kamu berasal dari negeri mana? Dan apa agamamu?”.
Dia menjawab: “Aku seorang Nashrani dari penduduk Ninawy (Nineveh)”.
Rasulullah berkata lagi: “dari negeri seorang shalih bernama Yunus bin Matta?”.
Orang tersebut berkata:” apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”.
Beliau menjawab: “dia adalah saudaraku, seorang yang dulunya adalah Nabi, demikian pula dengan diriku”.
‘Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kedua tangan dan kedua kakinya lalu diciuminya.
Sementara masing-masing dari kedua putera Rabi’ah, berkata salah satunya kepada yang lain: “pembantumu itu telah dibuatnya menentangmu”.
Maka, tatkala ‘Addas datang, keduanya berkata kepadanya: “celakalah dirimu! Apa yang terjadi dengan dirimu ini?”
“wahai tuanku! Tidak ada sesuatupun di muka bumi ini yang lebih baik dari orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku suatu hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi”. Jawabnya.
“celakalah dirimu, wahai ‘Addas! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu sebab agamamu lebih baik dari agamanya”, kata mereka berdua.
Setelah keluar dari tembok tersebut, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pulang menuju Mekkah dengan perasaan getir dan sedih serta hati yang hancur lebur. Tatkala sampai di suatu tempat yang bernama Qarn al-Manâzil, Allah mengutus Jibril kepadanya bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu perintahnya untuk meratakan al-Akhasyabain (dua gunung di Mekkah, yaitu gunung Qubais dan yang di seberangnya, Qu’ayqa’ân-red) terhadap penduduk Mekkah”.
Imam al-Bukhari meriwayatkan rincian kisah ini dengan sanadnya dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya ‘Aisyah radliallâhu ‘anha bercerita kepadanya bahwa dia pernah berkata kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam : “Apakah engkau menghadapi suatu hari yang lebih berat dari pada perang Uhud?”.
Beliau bersabda: “Aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang paling berat adalah pada waktu di ‘Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abd Yalail bin ‘Abd Kallal tetapi dia tidak merespons apa yang aku maui sehingga aku beranjak dari sisinya dalam kondisi bermuram muka karena sedih. Ketika itu, aku belum tersadarkan kecuali sudah di dekat tepat yang bernama Qarn ats-Tsa’âlib (sekarang disebut Qarn al-Manâzil). Waktu aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata: “sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan respons mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka”.
Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku sembari memberi salam kepadaku, kemudian berkata: “wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu; jika engkau menginginkan aku meratakan mereka dengan al-Akhasyabain, maka akan aku lakukan.
Nabi menjawab: “bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah ‘Azza Wa Jalla semata, Yang tidak boleh disekutukan dengan sesuatupun”.
Melalui jawaban yang diberikan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ini tampaklah sosok unik yang tiada duanya dari kepribadian dan akhlaq beliau yang demikian agung yang sulit untuk diselami.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersadar dan hatinya merasa tentram berkat adanya kemenangan yang berbentuk ghaib yang diberikan oleh Allah kepadanya dari atas tujuh langit. Kemudian beliau meneruskan perjalanan hingga sampai ke lembah Nakhlah (pohon korma) dan berdiam di sana selama beberapa hari. Di lembah Nakhlah tersebut terdapat dua tempat yang cocok untuk didiami, yaitu as-Sayl al-Kabîr dan az-Zîmah sebab disana terdapat sumber air dan subur. Dalam hal ini, kami belum menemukan sumber yang dapat dipercaya yang berhasil menentukan dimana tepatnya letak tempat yang pernah didiami oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersebut.
Selama masa berdiam disana, Allah mengutus kepada beliau segolongan jin yang kisahnya diabadikan di dalam al-Qur’an pada dua tempat, yaitu di dalam surat al-Ahqâf sebagaimana firman-Nya: Dan
(ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata:”Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”.Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan,[29]. Mereka berkata:”Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus,[30]. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih”.[31]. {Q,.s. al-Ahqâf/ 46:29-31}
Dan di dalam surat al-Jinn sebagaimana firman-Nya: Katakanlah (hai Muhammad):”Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya: sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan,[1]. (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Rabb kami”. [2] (Q,.s.al-Jinn/ 72:1-2)… hingga ayat 15.
Dari alur cerita di dalam ayat-ayat tersebut, demikian pula dari riwayat-riwayat yang menafsirkan kejadian tersebut, diketahui bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui kehadiran segolongan jin tersebut saat mereka hadir dan mendengarkan. Beliau hanya mengetahuinya ketika Allah memberitahukannya dengan perantaraan ayat-ayat tersebut. Kehadiran bangsa jin ini adalah untuk yang pertama kalinya namun berdasarkan alur cerita ayat-ayat tersebut juga diketahui bahwa setelah itu mereka seringkali datang.
Benarlah bahwa kejadian ini merupakan kemenangan lainnya yang dianugerahkan oleh Allah dari simpanan ghaibnya yang tersembunyi, yaitu berupa tentara-tentaranya yang hanya Dia saja Yang Mengetahuinya.
Disamping itu, ayat-ayat yang turun terkait dengan kejadian tersebut di dalamnya terdapat berita-berita gembira tentang kemenangan dakwah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan ada suatu kekuatanpun di muka bumi ini yang mampu menghalanginya. Allah berfirman: “Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah.Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q,.s.al-Ahqâf/ 46:32)
Dan firman-Nya: “Dan sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada)Nya dengan lari”. (Q,.s. al-Jinn/ 72:12).
Berkat adanya kemenangan dan kabar-kabar gembira tersebut, gumpalan awan kegetiran, kesedihan dan keputusasaan yang semula mengungkung beliau sejak keluar dari Thaif karena diusir dan ditolak menjadi sirna sudah sehingga beliau membulatkan tekad untuk kembali ke Mekkah guna memulai langkah baru di dalam menawarkan Islam dan menyampaikan risalah Allah yang abadi dengan spirit baru, heroik dan penuh vitalitas.
Ketika itu, Zaid bin Hâritsah berkata kepada beliau: “Bagaimana mungkin engkau menemui mereka kembali sedangkan mereka (kaum Quraisy) telah mengusirmu?”.
Beliau menjawab: “wahai Zaid! Sesungguhnya Allah akan menjadikan apa yang engkau lihat sebagai kemudahan dan jalan keluar. Sesungguhnya Allah akan menolong dien-Nya dan akan memenangkan nabi-Nya”.
Rasulullah meneruskan perjalanannya menuju Mekkah hingga manakala sudah mendekat, beliau tinggal di Hira’ sembari mengutus seseorang dari suku Khuza’ah agar mendatangi al-Akhnas bin Syuraiq guna meminta suakanya. Lalu dia (al-Akhnas) berkata: “aku ini adalah sekutumu, maka seorang sekutu tidak memberikan suaka”.
Kemudian beliau mengutus utusannya tersebut kepada Suhail bin ‘Amru, lalu dia berkata: “sesungguhnya Bani ‘Amir tidak memberikan suaka kepada Bani Ka’b”.
Lalu beliau mengutus utusannya tersebut kepada al-Muth’im bin ‘Adiy, maka berkatalah ia: “ya”. Kemudia dia mengenakan senjata dan mengajak anak-anak dan kaumnya seraya berkata: “Pakailah senjata dan jadilah kalian pondasi Baitullah, karena sesungguhnya aku telah memberikan suaka kepada Muhammad”.
Dia kemudian mengutus seseorang menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar dipersilahkan menemui dirinya. Lalu Rasulullah pun masuk menemuinya bersama Zaid bin Hâritsah hingga sampai ke al-Masjid al-Haram. Disana, al-Muth’im bin ‘Adiy sedang berada di atas tunggangannya sembari berseru: “wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya aku telah memberikan suaka kepada Muhammad, maka janganlah ada seorang diantara kalian yang mengejeknya”. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam digiring hingga sampai ke ar-Rukn al-Yamani (salah satu pojok Ka’bah) lalu beliau menyalaminya (menyentuhnya), lalu melakukan thawaf, shalat dua raka’at kemudian pulang ke rumahnya sementara al-Muth’im bin ‘Adiy dan anak-anaknya masih siap siaga dengan senjata hingga beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam benar-benar memasuki rumahnya.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Jahal ketika itu menanyai al-Muth’im: “benarkan engkau sebagai seorang pemberi suaka atau pengikut (alias seorang Muslim juga)?”
Dia menjawab: “benar, aku hanya seorang pemberi suaka”.
Lalu Abu Jahal berkata kepadanya: “kalau begitu, kami telah memberikan suaka kepada orang yang telah engkau berikan suaka tersebut”.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tetap saja memendam kebaikan yang dibuat oleh al-Muth’im terhadap dirinya tersebut, maka beliau pernah berkata saat di tengah tawanan perang Badar: “Andaikata al-Muth’im masih hidup kemudian dia berbicara kepadaku guna menebus mereka, niscaya akan aku serahkan urusannya kepadanya”.
2. Menawarkan Islam ke Berbagai Kabilah dan individu
Pada bulan Dzulqa’dah tahun 10 dari kenabian bertepatan dengan akhir bulan Juni atau permulaan bulan Juli tahun 619 M, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kembali ke Mekkah untuk mulai menawarkan Islam kepada kabilah-kabilah dan individu-individu. Semakin dekat datangnya musim haji, maka orang-orang yang datang ke Mekkahpun semakin banyak, baik dengan berjalan kaki maupun mengendarai unta yang kurus dari seluruh penjuru yang jauh guna melaksanakan ibadah haji dan menyaksikan berbagai manfa’at bagi mereka serta menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan. Rasulullah menggunakan kesempatan baik ini dengan mendatangi kabilah demi kabilah dan menawarkan Islam kepada mereka serta mengajak mereka masuk ke dalamnya sebagaimana yang pernah beliau lakukan semenjak tahun ke-4 dari kenabian. Pada tahun ke-10 ini beliau mulai meminta kepada mereka agar menampung, menolong serta melindunginya hingga beliau dapat menyampaikan wahyu Allah.
3. Kabilah-Kabilah yang Ditawari Islam
Imam az-Zuhry berkata: “Diantara kabilah-kabilah -yang disebutkan kepada kita- yang didatangi oleh Rasulullah dan diajak serta ditawarkan oleh beliau adalah Bani ‘آmir bin Sha’sha’ah, Muhârib bin Khasfah, Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim, ‘Abs, Bani Nashr, Bani al-Bukâ’, Kindah, Kalb, al-Hârits bin Ka’b, ‘Adzrah dan Hadlârimah. Namun tidak seorangpun dari mereka yang meresponsnya.
Penawaran Islam kepada kabilah-kabilah yang disebutkan oleh az-Zuhry ini tidak dilakukan dalam tahun yang sama atau musim yang sama akan tetapi itu terjadi antara tahun ke-4 dari kenabian hingga akhir musim sebelum peristiwa hijrah. Menyebutkan persisnya penawaran Islam kepada suatu kabilah pada tahun tertentu tidak memungkinkan, akan tetapi kebanyakan itu terjadi pada tahun ke-10 dari kenabian.
Ibnu Ishaq menyebutkan metode penawaran dan sikap mereka terhadapnya, dan berikut ini adalah ringkasannya:
1. Bani Kalb
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam datang sendiri ke perkampungan mereka, yang juga disebut Bani Abdullah. Beliau menyeru mereka kepada Allah dan menawarkan langsung kepada mereka. Beliau bersabda kepada mereka: “Wahai Bani Abdullah! Sesungguhnya Allah telah membaguskan nama bapak kalian”. Namun mereka tetap menolak apa yang ditawarkan itu.
2. Bani Hanifah
Beliau mendatangi mereka di rumah-rumah mereka dan mendakwahi mereka kepada Allah. Beliau sendiri yang menawarkan kepada mereka namun tak seorangpun dari kalangan bangsa Arab yang penolakanya lebih buruk daripada penolakan mereka.
3. Bani ‘آmir bin Sha’sha’ah
Beliau mendatangi mereka dan mendakwahi mereka kepada Allah. Beliau sendiri juga yang datang menawarkan. Buhairah bin Firas, salah seorang pemuka mereka berkata: “Demi Allah, andaikan aku dapat menculik pemuda ini dari tangan orang Quraisy, tentu orang-orang Arab akan melahapnya”. Kemudian dia melanjutkan: “Apa pendapatmu jika kami berbai’at kepadamu untuk mendukung agamamu, kemudian Allah memenangkan dirimu dalam menghadapi orang-orang yang menentangmu, apakah kami mempunyai kedudukan sepeninggalmu?”.
Beliau menjawab: “Kedudukan itu terserah kepada Allah, Dia menempatkannya sesuai kehendak-Nya”.
Buhairah berkata : “Apakah kami harus menyerahkan batang leher kami kepada orang-orang Arab sepeninggalmu? Kalaupun Allah memenangkanmu, pasti kedudukan itu juga akan jatuh kepada selain kami. Jadi kami tidak membutuhkan agamamu”. Maka, merekapun enggan menerima ajakan beliau.
Tatkala Bani ‘Amir pulang, mereka bercerita kepada seorang sepuh dari mereka yang tidak dapat berangkat ke Mekkah karena usianya yang sudah lanjut. Mereka memberitahukan kepadanya: “Ada seorang pemuda Quraisy dari Bani Abdul Muththalib menemui kami yang mengaku nabi. Dia mengajak kami agar sudi melindunginya, bersama-samanya dan pergi ke negeri kami bersamanya”.
Orang tua itu menggayutkan kedua tangannya diatas kepala sembari berkata:”Wahai Bani ‘آmir, adakah sesuatu milik Bani ‘Amir yang tertinggal? Adakah seseorang yang mencari barangnya yang hilang? Demi diri fulan yang ada ditangan-Nya, itu hanya diucapkan oleh keturunan Isma’il. Itu adalah suatu kebenaran. Mana pendapat yang dahulu pernah kalian kemukakan?”.
4. Orang-Orang yang Beriman dari Selain Penduduk Makkah
Disamping Rasulullah menawarkan Islam kepada berbagai kabilah dan utusan, beliau juga menawarkannya kepada perorangan dan individu-individu. Diantara mereka ada yang menolaknya secara baik-baik dan ada pula beberapa orang yang beriman tak lama kemudian setelah musim haji, diantara mereka adalah:
1. Suwaid bin Shamit
Dia adalah seorang penyair yang cerdas, salah seorang penduduk Yatsrib. Dia dijuluki al-Kamil (orang yang sempurna) oleh kaumnya. Julukan ini diberikan karena faktor warna kulitnya, syai’rnya, kehormatan dan nasabnya. Dia datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji atau umrah. Lalu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajaknya masuk Islam. Dia berkata: “Sepertinya apa yang ada padamu sama dengan apa yang ada padaku”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Apa yang ada padamu?”. Dia menjawab: “Hikmah Luqman”. Beliau berkata lagi: “Bacakan kepadaku!”. Diapun membacakannya, maka Rasulullahpun berkata: “Sesungguhnya ucapan ini indah akan tetapi apa yang aku bawa lebih indah lagi dari ini, ialah Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepadaku, ia adalah petunjuk dan cahaya”. Kemudian beliau membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepadanya dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Dia menerimanya dan masuk Islam.
Dia berkomentar: “Sesungguhnya ini memang benar lebih indah”. Setelah tidak berapa lama tinggal di Madinah, dia terbunuh pada perang yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj sebelum peristiwa yang disebut dengan Bu’âts. Dia masuk Islam pada permulaan tahun 11 dari kenabian.
2. Iyas bin Mu’adz
Dia seorang pemuda belia dari penduduk Yatsrib, yang datang ke Mekkah bersama rombongan utusan dari Aus, dengan tujuan mencari sekutu dari Quraisy bagi kaumnya untuk menghadapi Khazraj. Hal ini terjadi sebelum meletus perang Bu’ats pada permulaan tahun kesebelas hijrah dari kenabian sebab bara permusuhan dan perselisihan antara kedua kabilah ini sewaktu-waktu memang dapat meledak. Sementara jumlah penduduk Aus lebih sedikit daripada Khazraj. Tatkala mengetahui kedatangan mereka, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam datang menghampiri mereka dan menawarkan Islam.
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka: “Maukah kondisi kamu lebih baik dari apa yang kamu ajak?”. Mereka menjawab: “Ya, apa itu?”. Beliau menjawab: “Aku adalah Rasulullah, Dia Ta’ala mengutusku kepada para hamba-Nya, mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik terhadap-Nya dengan sesuataupun, diturunkan kepadaku al-Qur’an”. Kemudian beliau menyebutkan kepada mereka tentang Islam dan membacakan al-Qur’an.
Salah seorang diantara mereka, yaitu Iyas bin Mu’adz berkata: “Wahai kaumku! Demi Allah! Ini adalah lebih baik dari apa yang kamu ajak”. Lalu Abu al-Haysar, Anas bin Rafi’ salah seorang yang ikut dalam utusan tersebut- mengambil segempal tanah al-Bathhâ’ (sebuah tempat di Mekkah-red) dan melemparkannya ke arah wajah Iyas sembari berkata: “Menjauhlah dari kami, sungguh kami datang bukan untuk tujuan ini”. Iyas terdiam sedangkan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berdiri. Merekapun pulang ke Madinah tanpa menuai sukses untuk mengadakan persekutuan dengan kaum Quraisy.
Setelah mereka tiba di Yatsrib, tak berapa lama Iyas meninggal dunia. Selama ini dia senantiasa bertahlil, bertakbir, bertahmid dan bertasbih hingga meninggal dunia. Mereka tidak meragukan bahwa dia telah masuk Islam.
3. Abu Dzarr al-Ghifary
Dia termasuk penduduk pinggiran Yatsrib. Tatkala kabar tentang diutusnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menyebar di Yatsrib yang dibawa oleh Suwaid bin Shamit dan Iyas bin Mu’adz, kabar inipun akhirnya juga sampai ke telinga Abu Dzarr, yang dari sinilah sebab keislamannya.
Imam Bukhary meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Abu Dzarr berkata: ‘Aku seorang laki-laki dari suku Ghifar. Berita tentang adanya seorang yang muncul di Mekkah mengaku sebagai Nabi telah sampai kepada kami. Lalu aku berkata kepada saudaraku: ‘Berangkatlah menemui orang itu dan berbicaralah dengannya, lalu ceritakan kepadaku tentang beritanya’. Dia pun berangkat lalu bertemu dengan beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian pulang kembali. Lantas aku bertanya kepadanya: ‘Apa berita yang engkau bawa?’. Dia berkata: ‘Demi Allah! Sungguh aku telah melihat orang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan’. Aku bertanya lagi kepadanya: ‘Berita yang engkau bawa belum memuaskanku’. Maka, akupun mengambil tas dan tongkat kemudian berangkat ke Mekkah tapi aku seolah tidak mau tahu urusannya dan tidak suka bertanya tentang dirinya. Aku sedang minum air zam-zam dan berada di Masjid al-Haram, tiba-tiba ‘Aly melewatiku sembari menegur: ‘Sepertinya anda orang asing?’. Aku menjawab: ‘Ya, Benar’. Diapun kemudian pulang ke rumahnya sementara aku ikut bersamanya tetapi dia tidak bertanya sepatah katapun kepadaku selama dalam perjalanan, demikian pula, aku tidak bertanya kepadanya dan tidak pula memberitahukannya. Pada pagi esok harinya, aku datang ke Masjid al-Haram untuk bertanya kepadanya tentang beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorangpun yang memberitahukan kepadaku tentang dirinya. Lalu ‘Aly kembali melewatiku sembari bertanya: ‘ Apakah anda masih belum tahu dimana rumahnya?’. Aku menjawab: ‘Belum’. Dia berkata: ‘Berangkatlah bersamaku!’. Dia berkata kepadaku: ‘Apa urusanmu?, apa maksud kedatanganmu di negeri ini?’. Aku memberitahukannya: ‘Jika engkau mau merahasiakannya maka aku akan jelaskan’. Dia berkata: ‘Aku setuju’. Lalu aku bercerita: ‘Telah sampai beritanya kepada kami bahwa ada seorang laki-laki yang muncul disini mengaku sebagai Nabi Allah, lalu aku utus seseorang untuk berbicara dengannya, diapun pulang tetapi informasinya tidak memuaskanku karenanya sekarang aku ingin menemuinya langsung’.
‘Aly berkata kepadanya: ‘ Engkau memang sudah mendapat petunjuk. Wajahku ini menghadap ke arahnya, masuklah sebagaimana aku masuk karena bila aku melihat seseorang yang aku khawatirkan akan mencelakaimu, aku akan minggir ke tembok seolah tengah memperbaiki sandalku sedangkan kamu jalanlah terus. Diapun (‘Aly) pergi dan aku ikut bersamanya hingga dia memasuki rumah. Akupun masuk bersamanya menghadap Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku berkata kepada beliau: ‘Jelaskan kepadaku tentang Islam!’. Beliau menjelaskannya. Lalu akupun seketika itu masuk Islam. Beliau berkata kepadaku: ‘Wahai Abu Dzarr! Rahasiakanlah urusan ini dan kembalilah ke negerimu! Bilamana engkau telah mendengar kemenangan kami, maka datanglah kembali’. Maka, aku berkata: ‘Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran! Sungguh aku akan secara lantang mengatakannya di hadapan mereka’. Aku kemudian pergi ke masjid al-Haram sementara kaum Quraisy ada disana. Aku berkata kepada mereka: ‘ Wahai kaum Quraisy! Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang haq disembah) selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya’.
Mereka berkata : ‘Cegah penganut shâbi-ah (sebutan mereka terhadap agama baru, Islam-red) ini!’. Hadirinpun mencegahnya. Aku dipukul hingga hampir mati lalu ada al-‘Abbas mendapatiku dan melindungiku. Mereka mendatanginya tetapi dia berkata kepada mereka: ‘Celakalah kalian! Apakah kalian akan membunuh seorang pemuda dari suku Ghifar sementara jalur perdagangan dan lintasan kalian melewati perkampungan Ghifar?. Merekapun akhirnya melepaskanku. Maka, tatkala pagi hari esoknya, aku pun kembali mengulangi apa yang aku ucapkan kemarinnya, merekapun melakukan hal yang sama. Lalu al-‘Abbas kembali mendapatiku dan melindungiku dan mengatakan kepada mereka apa yang dikatakannya kemarinnya”.
4. Thufail bin Amr Ad-Dausi
Dia orang yang terpandang, penyair yang cerdas dan menjadi pemimpin kabilahnya, Daus. Kabilahnya sendiri memiliki keemiratan atau yang menyerupai bentuk keemiratan, mencakup beberapa wilayah di Yaman. Dia datang ke Makkah pada tahun kesebelah dari nubuwah. Sebelum tiba di Makkah, dia disambut sanak saudaranya di Makkah. Mereka rela mengeluarkan biaya berapa pun untuk penyambutan yang meriah itu. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Thufail, engkau sudah tiba di daerah kami. Sementara orang yang di tengah kami merintangi kehendak kami, memecah belah persatuan kami dan mencaci urusan kami. Perkataannya seperti sihir, mampu memisahkan antara laki-laki dan bapaknya, antara seseorang dan saudaranya, antara seseorang dan istrinya. Kami mengkhawatirkan dirimu dan kaummu, seperti yang menimpa kami. Maka janganlah sekali-kali engkau berbicara dengannya dan mendengar apa pun darinya.”
Thufail menuturkan, “Demi Allah, mereka terus-menerus berkata seperti itu kepadaku, hingga aku memutuskan secara bulat untuk tidak mendengar apa pun darinya dan tidak akan berbicara dengannya. Bahkan dalam perjalanan ke masjid, aku sempat menyumbat telingaku dengan kapas, agar aku tidak bisa mendengar apa pun darinya. Setiba di masjid beliau berdiri shalat di dekat Ka’bah. Aku berdiri di dekatnya. Namun Allah menghendaki agar aku bisa mendengar sebagian kata-katanya. Maka aku bisa mendengar kata-kata yang baik. Aku berkata di dalam hati. Demi ibuku yang telah melahirkanku dengan susah payah, demi Allah, aku adalah seorang penyair yang cerdas. Aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang menghalangiku untuk mendengar apa yang dikatakan orang ini? Jika memang kata-katanya itu baik, maka aku bisa menerimanya, dan jika buruk, aku bisa meninggalkannya begitu saja. Aku tetap diam seperti semula, dan tatkala beliau pulang, aku mengikutinya. Tatkala beliau masuk rumah, aku juga ikut masuk ke rumahnya. Kusampaikan kisah kedatanganku dan bagaimana orang-orang yang selalu menakut-nakuti diriku. Bahkan kuceritakan pula tindakanku yang menyumbat telingaku dengan kapas, dan akhirnya bisa kudengarkan sebagian kata-katanya. Lalu aku berkata kepada beliau, “Jelaskanlah urusanmu kepadaku!” Maka beliau menjelaskan Islam dan membacakan Al-Qur’ an di depanku. Demi Allah, tidak pernah kudengar kata-kata yang lebih bagus dari apa yang beliau katakan, tidak pernah kudapatkan urusan yang lebih adil dari itu. Seketika itu pula aku masuk Islam dan menyampaikan kesaksian yang benar. Kukatakan kepada beliau, ‘Aku adalah orang yang ditaati kaumku.’ Aku pun akan kembali menemui mereka dan mengajak mereka kepada Islam. Maka berdoalah kepada Allah agar membuatkan bagiku sebuah bukti penguat’. Maka beliau berdoa untukku.”
Adapun bukti penguatnya terjadi saat dia sudah mendekati kaumnya. Allah menampakkan cahaya yang memancar di waj ahnya. Namun dia berkata, “Ya Allah, jangan jadikan cahaya ini di waj ahku, karena aku khawatir mereka akan berkata, ‘Ini serupa dengannya.”‘ Lalu cahaya itu beralih ke cambuknya. Dia mengajak bapak dan istrinya untuk masuk Islam. Maka keduanya masuk Islam. Kaumnya tidak mau masuk Islam begitu saja, tetapi dia tetap telaten bersama mereka, hingga dia hijrah bersama tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari kaumnya setelah Perang A1-Khandaq. Kemudian dia mendapat cobaan yang baik demi Islam, terbunuh sebagai seorang yang mati syahid pada Perang Al-Yamamah.’
5. Dhimad Al-Azdi
Dia berasal dari Azd Syanu’ah dari Yaman, dan biasa memberi pengobatan dengan cara menghembuskan angin. Dia tiba di Makkah dan mendengar orang¬orang berkata, “Sesungguhnya Muhammad adalah orang gila.”
Dia berkata sendiri, “Aku akan menemui orang ini, siapa tahu Allah bisa menyembuhkan berkat pengobatanku.”
Setelah menemui beliau, dia berkata, “Hai Muhammad, sesungguhnya aku
biasa mengobati dengan hembusan angin. Apakah engkau memerlukannya?”
Rasulullah bersabada kepadanya, “Sesungguhnya pujian itu bagi Allah.
Kami memuji dan memohon pertolongan kepada-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tak seorang pun bisa menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah, tak seorang pun bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
“Tolong ulangi lagi semua kata-katamu tadi!” katanya. Maka beliau mengulanginya lagi hingga tiga kali.
Dhimad berkata, “Aku pernah mendengar ucapan tukang tenun, ucapan tukang sihir, dan para penyair. Namun aku belum pernah mendengar seperti kata-katamu ini. Sementara kami pun sudah menguasai kamus sedalam lautan. Berikanlah tanganmu, biar aku berbaiat atas nama Islam.” Maka Dhimad berbaiat menyatakan keislamannya.
5. Enam Orang dari Penduduk Yastrib
Pada musim haji tahun kesebelas dari nubuwah, tepatnya pada bulan Juli tahun 620 M, dakwah Islam memperoleh benih-benih yang baik, dan secepat itu pula tumbuh menjadi pohon yang rindang. Di bawah lindungannya, orang¬orang Muslim bisa melepaskan diri dari lembaran-lembaran kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang telah berjalan beberapa tahun.
Ada satu langkah bijaksana yang dilakukan Rasulullah dalam menghadapi tindakan penduduk Makkah yang selalu mendustakan dan menghalang-halangi orang yang mengikuti jalan Allah, yaitu beliau menemui berbagai kabilah pada malam hari, sehingga tak seorang pun dari orang-orang musyrik Makkah yang bisa menghalang-halanginya.
Suatu malam dengan ditemani Abu Bakar dan Ali, beliau keluar dan me1ewati perkampungan Dzuhl dan Syaiban bin Tsa’ labah. Beliau menyampaikan Islam kepada mereka. Abu Bakar dan seseorang dari Dzuhl mengadakan perdebatan yang cukup seru. Adapun Bani Syaiban memberikan jawaban yang tuntas, namun mereka masih menunda untuk menerima Islam.
Kemudian Rasulullah melewati Aqabah di Mina. Di sana beliau mendengar beberapa orang yang sedang mengobrol. Maka beliau mendekati mereka. Ternyata mereka ada enam orang dari pemuda Yastrib, yang semuanya berasal dari Khazraj, yaitu:
1. As’ad bin Zurarah, dari Bani An-Najjar
2. Auf bin Al-Harits bin Rifa’ah bin Afra, dari Bani An-Najjar
3. Rafi’ bin Malik bin A1-Ajlan, dari Bani Zuraiq
4. Quthbah bin Amir bin Hadidah, dari Bani Salamah
5. Uqbah bin Amir bin Nabi, dari Bani Ubaid bin Ka-13
6. Jabir bin Abdullah bin Ri’ab, dari Bani Ubaid bin Ghanm.
Untungnya mereka sudah pernah mendengar dari sekutu-sekutu mereka dari kalangan Yahudi Madinah, bahwa ada seorang nabi yang diutus pada masa ini, yang akan muncul dan mereka akan mengikutinya, sehingga mereka bisa memerangi Khazraj seperti peperangan yang menghancurleburkan kaum Ad dan Iram.”
“Siapakah kalian ini?” tanya beliau setelah saling bertemu muka dengan mereka.
“Kami orang-orang dari Khamj,” jawab mereka.
“Sekutu orang-orang Yahudi?” tanya beliau.
“Benar,” jawab mereka.
“Maukah kalian duduk-duduk agar bisa berbincang-bincang dengan kalian?”
“Baiklah.”
Mereka pun duduk-duduk bersama beliau, lalu beliau menjelaskan hakikat Islam dan dakwahnya, mengajak mereka kepada Allah dan membacakan Al¬Quf an. Mereka berkata, “Demi Allah, kalian tahu sendiri bahwa memang dia benar-benar seorang nabi seperti apa yang dikatakan orang-orang Yahudi. Janganlah mereka mendahului kalian. Oleh karena itu segeralah memenuhi seruannya dan masuklah Islam!”
Mereka ini termasuk pemuda-pemuda Yastrib yang pandai. Setiap saat peperangan antarpenduduk siap meluluhlantakkan, yang saat itu pun baranya masih tetap menyala. Maka mereka berharap dakwah beliau ini bisa menjadi sebab untuk meredakan peperangan. Mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami dan kaum yang lain terus bermusuhan dan berbuatjahat. Semoga Allah menyatukan mereka dengan engkau. Kami akan menawarkan agama yang telah kami peluk ini. Jika Allah menyatukan mereka, maka tidak ada orang yang lebih mulia selain daripada diri engkau.”
Sekembalinya ke Madinah, mereka membawa risalah Islam dan menyebarkannya di sana. Sehingga tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah menyebut nama Rasulullah
Pada tahun kesebelas dari nubuwah itu, beliau menikahi Aisyah yang saat itu umurnya 6 tahun. Lalu beliau berkumpul dengannya di Madinah pada tahun pertama setelah hijrah, yang saat itu umurnya 9 tahun.
Sumber : Sirah Nabawiyah, Kitab Ar-Rahiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury)