Tahun Berduka
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Kematian Abu Thalib
- Khadijah Radiayallahu ‘anha Menyusul Ke Rahmatullah
- Duka Yang Bertumpuk tumpuk
- Menikah dengan Saudah Radiayallahu ‘anha
Kematian Abu Thalib
Sakit Abu Thalib semakin bertambah parah, tinggal menunggu saat-saat kematiannya, dan akhirnya dia meninggal pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam bulan setelah keluar dari pemboikotan. Ada yang berpendapat dia meninggal dunia pada bulan Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya Khadijah Radhiallahu anha.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Musayyab, bahwa tatkala ajal hampir menghampiri Abu Thalib, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang saat itu di sisinya ada Abu Jahal.
“Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah,” Sabda beliau.
Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib ?” Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, “Tetap berada pada agama Abdul Muththalib.”
Beliau bersabda, “Aku benar-benar akan memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang melakukannya.”
Lalu turun ayat, “Tiadalah sepatutnnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (At-Taubah : 113).
Allah juga menurunkan ayat,
“Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash : 56)
Tidak bisa dibayangkan apa saja perlindungan yang diberikan Abu Thalib terhadap Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Dia benar-benar menjadi benteng yang ikut menjaga dakwah Islam dari serangan orang yang sombong dan dungu. Namun sayang, dia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama sekali tidak mendapat keberuntungan.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, “Engkau sangat mebutuhkan paman engkau, karena dia telah melindungi engkau, sekalipun dia sangat membuat engkau marah.”
Beliau bersabda, “Dia berada di neraka yang dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang paling bawah.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudry, bahwa dia pernah mendengar Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat nanti, sehingga dia diletakkan di neraka yang dangkal, hanya sebatas tumitnya saja.”
2. Khadijah Radiayallahu ‘anha Menyusul Ke Rahmatullah
Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin Khadijah Al Kubra meninggal dunia pula, tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari nubuwah, pada usia enam puluh lima tahun, sementara usia beliau saat itu lima puluh tahun.
Khadijah termasuk salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau di saat-saat kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda tentang dirinya, “Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku.” (Riwayat Ahmad di dalam Musnad-nya, 6/118).
Di dalam Shahihul- Bukhari, dari Abu Hurairah radiayallahu anhu, dia berkata, “Jibril mendatangi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”
Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan perasaan duka dan lara di hati Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya, karena dengan kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu beliau.
Mendung menjadi bertumpuk-tumpuk, sehingga beliau hampir putus asa menghadapi mereka. Untuk itu beliau pergi ke Tha’if, dengan setitik harapan mereka berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan mengulurkan pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab beliau tidak lagi melihat seorang yang bisa memberi perlindungan dan pertolongan. Tetapi mereka menyakiti beliau secara kejam, yang justru tidak pernah beliau alami sebelum itu dari kaumnya.
Apa yang beliau alami di Makkah juga dialami para shahabat. Hingga shahabat karib beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq berniat hijrah dari Makkah. Maka dia pergi hingga tiba di Barkil-Ghamad. Tempat yang ditujunya adalah Habasyah. Namun akhirnya dia kembali lagi setelah mendapat jaminan perlindungan Ibnud-Dughumah.
Menurut Ibnu Ishaq, setelah Abu Thalib meninggal dunia, orang-orang Quraisy semakin bersemangat untuk menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dari pada saat dia masih hidup. Sehingga ada diantara mereka yang tiba-tiba mendekati beliau lalu menaburkan debu di atas kepada beliau. Beliau masuk ke rumah dan debu-debu itu masih memenuhi kepala. Lalu salah seorang putri beliau bangkit untuk membersihkan debu-debu itu sambil menangis. Beliau bersabda kepadanya, “Tak perlu menanggis wahai putriku, karena Alllah akan melindungi bapakmu.”
Pada saat-saat seperti itu beliau juga bersabda, “Aku tidak pernah menerima gangguan yang paling kubenci dari Quraisy, hingga Abu Thalib meninggal dunia.”
Karena penderitaan yang bertumpuk-tumnpuk pada tahun itu, maka beliau menyebutnya sebagai “Annul-huzni” (tahun duka cita), sehingga julukan ini pun terkenal dalam sejarah.
4. Menikah dengan Saudah Radiayallahu ‘anha
Pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari nubuwah, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam menikahi Saudah binti Zam’ah. Dia termasuk orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam, ikut hijrah ke Habasyah yang kedua. Suaminya adalah Ash-Sakran bin Amr, yang juga masuk Islam dan hijrah bersamanya pula. Dia meninggal dunia di Habasyah atau menurut pendapat lain dia meninggal dunia di Makkah sepulang dari Habasyah. Beliau melamar Saudah lalu menikahinya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi beliau sepeninggal Khadijah. Setelah beberapa tahun kemudian, dia memberikan bagian gilirannya kepada Aisyah.
Sumber : Sirah Nabawiyah, Kitab Ar-Rahiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury)