Tata Cara Rukuk
Rukuk disyariatkan dalam shalat, yaitu setelah berdiri membaca ayat Al Qur’an, kemudian bertakbir intiqal, baru setelah itu rukuk. Diantara dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu yang dikenal dengan hadits al musi’u shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan bagaimana cara shalat yang benar dan sah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
إذا قمت إلى الصلاة فكبر واقرأ ما تيسر معك من القرآن، ثم اركع حتى تطمئن راكعا
“Jika engkau hendak shalat, bertakbirlah dan bacalah apa yang engkau mampu dari Al Qur’an, lalu rukuk dengan tuma’ninah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel mengenai takbiratul ihram, hadits ini menunjukkan bahwa rukuk adalah salah satu rukun shalat. Jika seseorang meninggalkan rukuk atau tidak rukuk dengan sempurna maka tidak sah shalatnya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“wahai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah, dan sembahlah Rabb kalian, dan kerjakanlah kebaikan, semoga kalian beruntung” (QS. Al Hajj: 77).
Al Alusi dalam Ruhul Ma’ani mengatakan: “maksudnya: shalatlah! Rukuk dan sujud disebutkan untuk menggantikan istilah ‘shalat’ karena rukuk dan sujud adalah rukun yang paling agung dan yang paling utama” (dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, 2/48).
Kapan rukuk dilakukan?
Dengan melihat hadits di atas, dan hadits lain dari Abu Hurairah kita ketahui bahwa rukuk dilakukan setelah berdiri membaca ayat Al Qur’an, kemudian takbir intiqal, setelah itu baru rukuk. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata,
كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا قام الى الصلاةِ ، يُكبِّرُ حين يقومُ ، ثم يُكبِّرُ حين يركعُ ، ثم يقولُ: سَمِعَ اللهُ لمن حمدَه. حين يرفعُ صُلبَه من الركعةِ ، ثم يقولُ وهو قائمٌ: ربنا ولك الحمدُ . قال عبدُ اللهِ: ولك الحمدُ. ثم يُكبِّرُ حين يَهْوي، ثم يُكبِّرُ حين يرفعُ رأسَه ، ثم يُكبِّرُ حين يسجدُ ، ثم يُكبِّرُ حين يرفعُ رأسَه ، ثم يفعلُ ذلك في الصلاةِ كلِّها حتى يَقضيها
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam ketika shalat, beliau bertakbir saat berdiri, kemudian bertakbir ketika akan rukuk dan mengucapkan: ‘sami’allahu liman hamidah’, yaitu ketika ia mengangkat punggungnya dari ruku. Dan ketika sudah berdiri beliau mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamd’. Kemudian beliau bertakbir ketika akan bersujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya (bangun dari sujud). Kemudian beliau bertakbir lagi ketika akan bersujud. Kemudian bertakbir lagi ketika mengangkat kepalanya (bangun dari sujud). Kemudian beliau melakukan hal itu dalam semua rakaat hingga selesai shalat” (HR. Al Bukhari no. 789).
Namun dalam shalat berjama’ah, makmum melakukan rukuk setelah imam rukuk. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما جُعِلَ الإمامُ لِيُؤْتَمَّ به، فإذا كَبَّرَ فكَبِّروا ، وإذا ركَعَ فاركعوا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka bertakbirlah, jika ia ruku, maka rukuklah…” (HR. Al Bukhari no.378, Muslim no. 411).
Huruf ف (fa) dalam فاركعوا menunjukkan adanya tartiib (urutan). Maka dipahami dari hadits ini bahwa setelah imam rukuk barulah setelah itu makmum rukuk. Artinya makmum tidak boleh menyamai gerakan rukuk imam.
Posisi anggota badan ketika rukuk
- Membungkukkan badan. Sebagaimana dalam hadits Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu, beliau berkata:
أنا كنتُ أحفظكم لصلاة رسول الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، رأيته إذا كبر جعل يديه حذاء منكبيه، وإذا ركع أمكن يديه من ركبتيه، ثم هصر ظهره
“Dahulu aku yang paling hafal diantara kalian terhadap tata cara shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku melihat beliau ketika bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan pundak, lalu membungkukkan badannya” (HR. Bukhari no. 828).
- Posisi punggung tegak lurus dengan kaki, tidak miring dan tidak terlalu bungkuk. Berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu:
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا ركع؛ لو وضع قدح من ماء على ظهره؛ لم يهراق
“biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika rukuk, andaikan diletakkan wadah air di atas punggungnya, tidak akan tumpah” (HR. Ahmad, Al Albani dalam Ashl Shifat Shalat Nabi [2/637] mengatakan: “sanadnya lemah, namun kesimpulannya hadits ini dengan keseluruhan jalannya menjadi shahih tsabit”).
- Kepala sejajar dengan punggung, tidak mendongak dan tidak terlalu menunduk. Berdasarkan hadits Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu:
إذا ركع أمكن كفيه من ركبتيه وفرج بين أصابعه ثم هصر ظهره غير مقنع رأسه ولا صافح بخده
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika rukuk beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada lututnya dan membuka jari-jarinya sambil membungkukkan badannya dengan kepala yang tidak mendongak dan tidak mendekati pahanya” (HR. Abu Daud no. 731, Al Albani dalam Shahih Abi Daud mengatakan: “hadits ini shahih kecuali lafadz ‘dan tidak mendekati pahanya‘”).
Dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha juga dijelaskan,
وكان إذا رَكَع لم يُشْخِصْ رأسَه ولم يُصَوِّبَه ولكن بين ذلك
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika rukuk beliau tidak meninggikan (mendongakkan) kepada dan tidak juga merendahkannya (terlalu membungkukkan), namun di antara keduanya (lurus)” (HR. Muslim no. 498).
- Tangan diletakkan di lutut, bukan di paha atau di bawah lutut. Sebagaimana hadits Abu Humaid di atas,
إذا ركع أمكن كفيه من ركبتيه وفرج بين أصابعه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika rukuk beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada lututnya dan membuka jari-jarinya” (HR. Abu Daud 731).
Disebutkan juga dalam hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu,
فاستقبلَ القبلةَ فَكبَّرَ فرفعَ يديهِ حتَّى حاذَتا أذُنيهِ ثمَّ أخذَ شمالَهُ بيمينِهِ فلمَّا أرادَ أن يرْكعَ رفعَهما مثلَ ذلِكَ ثمَّ وضعَ يديهِ على رُكبتيهِ
“… lalu Nabi menghadap kiblat, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan telinga. Kemudian beliau memegang tangan kiri dengan tangan kanannya. Ketika beliau hendak rukuk beliau mengangkat kedua tangannya sebagaimana sebelumnya, kemudian meletakkan kedua tangannya di lututnya…” (HR. Abu Daud 726, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
- Jari-jari direnggangkan, tidak dirapatkan. Sebagaimana hadits Abu Humaid di atas,
إذا ركع أمكن كفيه من ركبتيه وفرج بين أصابعه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika rukuk beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada lututnya dan membuka jari-jarinya”(HR. Abu Daud 731).
- Pandangan mata ketika rukuk
Para ulama berbeda pendapat mengenai arah pandangan mata dalam shalat. Sebagian ulama menganjurkan untuk memandang tempat sujud ketika shalat. Mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu,
قلتُ: يا رسولَ اللهِ !أينَ أضَعُ بصَري في الصلاةِ ؟ قال: عِندَ مَوضِعِ سُجودِكَ يا أنسُ
“Anas berkata: Wahai Rasulullah, kemana aku arahkan pandanganku ketika shalat? Rasulullah menjawab: ke arah tempat sujudmu wahai Anas” (HR. Al Baihaqi 2/283).
Namun hadits ini dhaif karena terdapat perawi Ar Rabi’ bin Badr yang statusnya matrukul hadits. Juga dengan hadits lain:
دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُودِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke ka’bah, pandangan beliau tidak pernah lepas dari arah tempat sujud sampai beliau keluar” (HR. Al Hakim 1/479, Ibnu Khuzaimah 3012).
hadits ini juga lemah karena periwayatan ‘Amr bin Abi Salamah dari Zuhair itu ma’lul (bermasalah).
Dan dalam masalah ini tidak ada satu hadits pun yang shahih dan sharih yang mengkhususkan suatu arah pandangan dalam shalat. Oleh karena itu dalam hal ini perkaranya luas. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “dalam hal ini perkaranya luas, seseorang boleh memandang ke arah yang dapat membuatnya lebih khusyu’, kecuali ketika duduk, ia memang ke arah jari telunjuknya yang berisyarat karena terdapat riwayat tentang hal ini” (Syarhul Mumthi’, 3/39). Lebih lengkapnya simak kembali artikel “Tata Cara Berdiri Ketika Shalat” .
Thuma’ninah dalam rukuk
Wajib thuma’ninah ketika rukuk, bahkan ini adalah rukun dalam shalat. Tidak boleh terlalu cepat dalam gerakan shalat sehingga tidak thuma’ninah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ثم اركع حتى تطمئن راكعا
“lalu rukuk dengan tuma’ninah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).
Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam banyak hadits menekankan umatnya untuk thuma’ninah dalam rukuk. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أتمّوا الركوع والسجود؛ فوالذي نفسي بيده، إِنّي لأراكم من بعد ظهري إِذا ما ركعتم، وإِذا ما سجدتم
“Sempurnakanlah rukuk dan sujud. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku benar-benar memperhatikan kalian di balik punggungku ketika kalian rukuk dan sujud” (HR. Bukhari no. 742, Muslim no. 425).
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
أسوأ الناس سرقة الذي يسرق من صلاته“. قالوا: يا رسول الله! وكيف يسرق من صلاته؟ قال: لا يُتمّ ركوعها وسجودها
“Pencuri yang paling bejat adalah orang yang mencuri dalam shalatnya”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dalam shalat itu?”. Beliau menjawab: “Yaitu dengan tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya” (HR. Ibnu Hibban no. 1888, dihasankan Al Albani dalam Ashl Sifat Shalat Nabi, 2/644).
Bahkan dalam hadits lain disebutkan ancaman yang lebih keras lagi,
رأى رجلًا لا يتمُّ ركوعَه ، وينقرَ في سجودهِ وهو يصلِّي ، فقال : لو ماتَ هذا على حالهِ هذه ، مات على غيرِ ملَّةِ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلم ، ينقُر صلاتَه كما ينقرُ الغرابُ الدَّمَ ، مثَلُ الذي لا يتمُّ ركوعَه وينقرُ في سجودهِ ، مَثلُ الجائعِ الذي يأكلُ التمرةَ والتمرتينِ ، لا يُغنيانِ عنه شيئًا
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat seorang lelaki yang tidak menyempurnakan rukuknya, dan ia mematuk-matik di dalam sujudnya (karena saking cepatnya) ketika dia shalat. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika orang ini mati dalam keadaan seperti ini, maka dia tidak mati di atas ajaran Muhammad. Ia mematuk-matuk seperti gagak mematuk daging. Permisalan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan mematuk-matuk dalam sujudnya seperti seorang yang lapar yang hanya memakan satu atau dua buah kurma. Itu tidak mencukupinya sedikit pun” (HR. Ath Thabrani, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifat Shalat Nabi, 2.642).
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa batas minimal thuma’ninah adalah sebatas mengucapkan satu kali bacaan tasbih secara sempurna dalam rukuk (Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, 2/49).
Lama rukuk
Kadar rukuk minimal adalah sebagaimana kadar minimal thuma’ninah yang telah disebutkan. Sedangkan yang ideal adalah lama rukuk itu kira-kira sama dengan lama i’tidal, sama dengan lama sujud dan sama dengan lama duduk antara dua sujud. Sehingga gerakan-gerakan ini kira-kira memiliki kadar waktu yang sama. Sebagaimana hadits Hudzaifah bin Al Yaman radhiallahu’anhu,
كان ركوع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وإذا رفع رأسه من الركوع، وسجوده، وما بين السجدتين قريباً من السواء
“Rukuknya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, i’tidalnya, sujudnya, duduk di antara dua sujudnya, semuanya ini kira-kira sama lamanya ” (HR. An Nasai 1068, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasai).
Dzikir-dzikir yang dibaca ketika rukuk
Bacaan doa dan dzikir yang berasal dari hadits-hadits yang shahih ada beberapa macam, yang ini merupakan khilaf tanawwu (variasi). Diantaranya:
Pertama, membaca:
سُبحانَ ربِّيَ العَظيمِ (ثلاثاً)
/subhaana robbiy al ‘azhim/ 3x
“Maha suci Allah yang Maha Agung” (HR. Abu Daud 874, An Nasa’i 1144, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Shifat Shalat Nabi, 1/268).
Kedua, membaca:
سبحان ربي العظيم وبحمده (ثلاثاً)
/subhaana robbiy al ‘azhimi wa bi hamdihi/ 3x
“Maha suci Allah yang Maha Agung dan segala puji bagiMu” (HR. Abu Daud 870, Al Bazzar 7/322, dishahihkan Al Albani dalam Shifat Shalat Nabi, 133).
Ketiga, membaca:
سبوحٌ قدوسٌ ربُّ الملائكةِ والروحِ
/subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh/
“Maha Suci Allah Rabb para Malaikat dan Ar Ruuh (Jibril)” (HR. Muslim 487).
Keempat, membaca:
سُبحانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنا وبِحَمدِكَ، اللَّهُمَّ اغفِر لي
/subhaanakallohumma robbanaa wa bihamdika, allohummaghfirli/
“Maha Suci Allah, Rabb kami, segala puji bagiMu. Ya Allah ampuni dosaku” (HR. Al Bukhari 817).
Kelima, membaca:
اللهمَّ ! لك ركعتُ . وبك آمنتُ . ولك أسلمتُ . خشع لك سمعي وبصَري . ومُخِّي وعظْمي وعصَبي
/Allohumma laka roka’tu, wabika aamantu, walaka aslamtu, khosya’a laka sam’i wa bashori, wa mukhkhi wa ‘azhomi wa ‘ashobi/
“Ya Allah, untukMu lah aku rukuk, kepadaMu lah aku beriman, untukMu lah aku berserah diri, kutundukkan kepadaMu pendengaranku dan penglihatanku, serta pikiranku, tulang-tulangku dan urat syarafku” (HR. Muslim 771).
Keenam, membaca:
اللَّهمَّ لَك رَكعتُ ، وبِك آمنتُ ، ولَك أسلمتُ وعليكَ توَكلتُ أنتَ ربِّي خشعَ سمعي وبصري ودمي ولحمي وعظمي وعصبي للَّهِ ربِّ العالمينَ
/Allohumma laka roka’tu, wabika aamantu, walaka aslamtu, wa ‘alaika roka’tu, wa anta robbi, khosya’a laka sam’i wa bashori wa dammi wa lahmi wa ‘azhomi wa ‘ashobi, lillahi robbil ‘alamin/
“Ya Allah, untukMu lah aku rukuk, kepadaMu lah aku beriman, untukMu lah aku berserah diri, kepadaMu lah aku bergantung, Engkau adalah Rabb-ku, kutundukkan kepadaMu pendengaranku dan penglihatanku, serta darahku, dagingku, tulang-tulangku dan urat syarafku, semua untuk Allah Rabb semesta alam” (HR. An Nasa’i 1050, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 133).
Ketujuh, pada shalat malam membaca:
سبحانَ ذي الجَبَروتِ والمَلَكوتِ والكِبْرياءِ والعَظَمةِ
/subhaana dzil jabaruut wal malakuut wal kibriyaa’ wa ‘azhomah/
Maha Suci Dzat yang memiliki Jabarut dan Malakut dan memiliki kedigjayaan dan keagungan” (HR. An Nasa’i 1131, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i 1131).
Bagaimana hukum membaca dzikir-dzikir tersebut? Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi mengatakan: “Dzikir ketika rukuk hukumnya sunnah mu’akkadah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Asy Syafi’i. Jadi andaikan ditinggalkan maka tidak berdosa dan shalatnya tetap sah. Baik ditinggalkan karena lupa atau karena sengaja…. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq mengatakan hukumnya wajib, jika ditinggalkan sengaja maka batal shalatnya namun jika karena lupa tidak batal” (Shifatu Shalatin Nabi lit Tharify, 122-123).
Manakah yang lebih utama, membaca salah satu dzikir saja ataukah digabung? Sebagian ulama menganjurkan secara mutlak untuk menggabungkan dzikir-dzikir yang ada. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (1/37) menyebutkan:
وكان يقول: (سبحان ربي العظيم) . وتارة يقول مع ذلك، أو مقتصراً عليه: (سبحانك اللهم ربنا! وبحمدك، اللهم! اغفر لي)
“Nabi biasa membaca ‘subhaana robbi al ‘azhim‘ dan terkadang dibarengi juga dengan membaca ‘subhaanallahumma robbana wabihamdika, allohummaghfirli‘ atau kadang hanya mencukupkan diri dengan yang pertama” (dinukil dari Ashlu Shifatis Shalat, 2/649).
Imam An Nawawi dalam Al Adzkar mengatakan:
والأفضل أن يجمع بين هذه الأذكار كلها؛ إن تمكن، وكذا ينبغي أن يفعل في أذكار جميع الأبواب
“Yang paling utama adalah menggabungkan dzikir-dzikir tersebut semuanya jika memungkinkan. Hendaknya menerapkan hal ini juga pada dzikir-dzikir yang ada di bab lain”
Namun yang lebih tepat dan lebih utama adalah terkadang membaca dzikir yang A, terkadang membaca yang B, terkadang membaca yang C, dst. Pendapat-pendapat ulama yang menganjurkan digabung dikomentari oleh Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Nazilul Abrar (84) :
يأتي مرة بهذه، وبتلك أخرى. ولا أرى دليلاً على الجمع. وقد كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يجمعها في ركن واحد؛ بل يقول هذا مرة، وهذا مرة، والاتباع خير من الابتداع
“Yang lebih tepat adalah terkadang membaca dzikir yang ini terkadang membaca dzikir yang itu. Saya memandang tidak ada dalil yang mendukung pendapat dianjurkan menggabung. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah menggabungnya dalam satu rukun, namun beliau terkadang membaca yang ini dan terkadang membaca yang itu. Dan meneladani Nabi lebih baik daripada membuat-buat cara baru” (dinukil dari Ashlu Shifatis Shalat, 2/649).
Dan pendapat Shiddiq Hasan Khan ini juga yang dikuatkan oleh Al Albani rahimahullah.
Larangan membaca ayat Al Qur’an ketika rukuk
Pada saat rukuk dilarang membaca ayat-ayat Al Qur’an, sebagaimana juga dilarang ketika sujud. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
“Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarangku membaca Al Qur’an dalam keadaan rukuk dan sujud” (HR. Muslim no. 480).
At Tirmidzi mengatakan: “demikianlah pendapat para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, para tabi’in dan yang setelahnya, mereka melarang membaca Al Qur’an ketika rukuk dan sujud” (dinukil dari Ashl Shifat Shalat Nabi, 2/669).
Dan larangan ini berlaku baik dalam shalat wajib, maupun dalam shalat fardhu. Al Albani mengatakan, “yang zhahir, tidak ada perbedaan antara shalat wajib dan shalat sunnah dalam hal ini, kerena haditsnya umum. Pendapat ini diselisihi oleh Atha’, ia mengatakan: aku tidak melarang jika engkau membaca Al Qur’an ketika rukuk atau sujud dalam shalat sunnah” (Ashl Shifat Shalat Nabiy, 2/669).
Diantara hikmah larangan ini adalah agar ketika rukuk dan sujud seseorang menyibukkan diri dengan dzikir dan doa. Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma mengatakan,
ألا وإني نُهيتُ أن أقرأَ القرآنَ راكعًا أو ساجدًا, فأما الركوعُ فعظموا فيه الربَّ عز وجل وأما السجودُ فاجتهدوا في الدعاءِ فقَمِنٌ أن يستجابَ لكم
“Ketahuilah, aku dahulu dilarang oleh Nabi untuk membaca Al Qur’an ketika rukuk dan sujud. Adapun rukuk, hendaknya kalian banyak mengagungkan Ar Rabb ‘Azza wa Jalla. Adapun ketika sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa karena doa ketika itu sangat layak untuk dikabulkan” (HR. Muslim 479).
Oleh karena itu, selain bacaan dzikir-dzikir yang disebutkan di atas juga dibolehkan serta disunnahkan ketika rukuk untuk memperbanyak dzikir yang diajarkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, yang isinya mengagungkan Allah secara umum tanpa dibatasi dengan lafadz tertentu (Shifat Shalat Nabi lit Tharifiy, 125).
Para ulama juga menyebutkan hikmah-hikmah lain dari larangan ini. Al Mulla Ali Al Qari menjelaskan: “Al Khathabi mengatakan bahwa hikmah larangan ini karena rukuk dan sujud itu keduanya adalah posisi puncaknya ketundukkan dan perendahan diri yang hendaknya dikhususkan dengan dzikir dan tasbih. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang membaca Qur’an ketika itu seakan-akan beliau tidak menyukai dicampurkannya kalam Allah dengan kalam manusia pada satu tempat sehingga seolah-olah setara. Disebutkan Ath Thibi juga, bahwa hal tersebut juga terlarang dalam keadaan berdiri” (Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, 1/711).
Berdoa ketika rukuk
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharify menjelaskan: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (dalam rukuk) membaca:
سُبحانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنا وبِحَمدِكَ، اللَّهُمَّ اغفِر لي
“Maha Suci Allah, Rabb kami, segala puji bagiMu. Ya Allah ampuni dosaku” (HR. Al Bukhari 817).
Ini menunjukkan bahwa rukuk merupakan tempat yang utama untuk berdoa. Maka seseorang boleh berdoa ketika rukuk dengan doa-doa yang ia bisa disamping juga banyak berdzikir mengagungkan Allah Jalla wa ‘Ala. Ini tidak menafikan hadits “Adapun rukuk, hendaknya kalian agungkan Ar Rabb”. Karena doa ini adalah tambahan dari dzikir mengagungkan Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka keduanya digabungkan. Dan lafadz “Ya Allah ampuni dosaku” (dalam dzikir rukuk) ini menerapkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan memohon ampunlah” (QS. An Nashr: 3)” (Shifat Shalat Nabi lit Tharify, 126).
Maka dibolehkan juga dalam keadaan rukuk untuk memperbanyak doa, dengan doa-doa yang diajarkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau doa lainnya secara mutlak dengan menggunakan bahasa arab.
Demikian yang sedikit ini semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.
*
Referensi utama:
- Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, Syaikh Husain Al ‘Awaisyah
- Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
- Shifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
- Shifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharify
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/28953-tata-cara-rukuk-dalam-shalat-2.html