Uraian Materi Ulumul Qur’an-4
Daftar Isi : (klik Menu menuju Isinya dan klik kembali menuju ke Menu)
- 30. Amtsal al-Quran (Perumpamaan dalam al-Quran)
- 31. Aqsam al-Quran (Sumpah dalam al-Quran)
- 32. Jadal al-Quran (Debat dalam al-Quran)
- 33. Qashash al-Quran (Cerita dalam al-Quran)
- 34. Lughat al-Quran (Bahasa dalam al-Quran)
- 35. Keistimewaan (Mu’jizat) al-Quran
- 36. Badi’ al-Quran
- 37. Macam Bentuk Ayat Mutasyabihat Lafdzi
- 38. Mengenal surat al-Hawamim
30. Amtsal al-Quran (Perumpamaan dalam al-Quran)
Di dalam Al-Qur’an surat Az Zumaar ayat 27-31 Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِيْ هٰذَا الْقُرْاٰنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَۚ – ٢٧
- Dan sungguh, telah Kami buatkan dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan bagi manusia agar mereka dapat pelajaran.
قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِيْ عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ – ٢٨
- (Yaitu) Al-Qur’an dalam bahasa Arab, tidak ada kebengkokan (di dalamnya) agar mereka bertakwa.
ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيْهِ شُرَكَاۤءُ مُتَشَاكِسُوْنَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيٰنِ مَثَلًا ۗ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ ۗبَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ – ٢٩
- Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang hamba sahaya yang menjadi milik penuh dari seorang (saja). Adakah kedua hamba sahaya itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ ۖ – ٣٠
- Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).
ثُمَّ اِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ ࣖ ۔ – ٣١
- Kemudian sesungguhnya kamu pada hari Kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu.
Salah satu kandungan Al-Qur’an adalah amtsal atau ilustrasi yang bertujuan agar manusia lebih memahami isi kandungan ayat Al-Qur’an. Amtsal dalam bahasa Arab artinya “Ibrozul ma’na fi surotin hisiyyah taqsibuhu” atau memunculkan makna dalam bentuk konkrit sehingga menghasilkan sesuatu yang mudah dipahami.
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا بِالْمُتَشَابِهِ وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
Penjabaran hadist di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, Halal, merupakan sesuatu yang jelas diperbolehkan. Manusia diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang halal dan melakukan sesuatu yang halal tersebut sesuai dengan aturan-aturan tertentu yang telah disyariatkan oleh agama. Misalnya kegiatan makan dan minum, silahkan dikerjakan tetapi jangan sampai berlebih-lebihan (mumbadzir). Sesungguhnya orang-orang yang suka membadzirkan sesuatu adalah temannya syetan. Hal ini dapat dilihat daam QS. Al-Isra ayat 26-27.
Kedua, Haram, merupakan sesuatu yang jelas dilarang. Manusia diperintahkan untuk menjauhi apa yang telah dilarang, misalnya larangan riba (QS. Al-Baqarah ayat 275), larangan mendekati zina (QS. Al-Isra ayat 32), larangan berbuat dzalim (QS. At-Taubah ayat 36), larangan memfitnah orang lain (QS. Al-Baqarah ayat 191), larangan untuk menggunjingkan orang lain (QS. Al-Hujurat ayat 42), dan lain sebagainya.
Ketiga, Muhkamun, merupakan sesuatu yang pasti dan tidak memiliki interpretasi berlainan. Misalnya perintah untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat di dalam QS. Al-Baqarah ayat 43.
Keempat, Mustasyabih, merupakan kandungan yang saling menyerupai satu dengan yang lainnya. Manusia diperintahkan untuk beriman kepada ayat-ayat mutasyabih, seperti ayat-ayat tentang sifat Allah. Mari kita lihat dalam QS. Al-Fatah ayat 11. Kata “yad” dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai “tangan” yang berbeda dengan makhluk, tetapi bisa juga diartikan sebagai al-qudrah atau kekuasaan.
Kelima, Amtsal, merupakan ilustrasi. Manusia diperintahkan untuk memikirkan ayat-ayat tentang amtsal, yang memberikan berbagai ilustrasi tentang contoh-contoh yang diungkapkan oleh Al-Quran. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Az-Zumar ayat 27 yang menjelaskan maksud Allah membuat contoh-contoh di dalam kandungan Al-Quran agar manusia mengambil pelajaran.
Misalnya di dalam QS. Al-Baqarah ayat 260, Allah menjelaskan balasan bagi mereka yang suka berinfak kepada orang lain di jalan Allah. Pada ayat tersebut, digambarkan perumpamaan orang-orang yang menginfakan hartanya di jalan Allah seperti satu biji yang menumbuhkan tujuh tangkai dan pada setiap tangkai ada seratus biji. Inilah yang disebut transaksi dengan Allah jika dilakukan dengan ikhlas. Bahkan balasan berinfak ini bisa lebih banyak lagi bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Jadi dari ayat tersebut ilustrasi yang digambarkan adalah ternyata infak itu akan menghasilkan harta yang lebih banyak lagi dan bahkan mendapatkan balasan yang tidak terhingga. Karena dicontohkan oleh Allah dengan ilustrasi yang sangat indah dengan perbandingan 1 banding 700. Angka 700 ini dapat bermakna tidak terhingga.
Contoh lain kandungan Al-Quran dalam bentuk amtsal juga dapat dilihat dalam QS Al Ankabut ayat 41-43. Ayat ini menjelaskan ilustrasi orang-orang yang menyembah kepada selain Allah SWT yang digambarkan oleh Allah dengan amtsal agar mudah dipahami. Gambaran orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sesuatu yang disembahnya, sebagai penolongnya, dan sebagai tujuan akhirnya, diibaratkan seperti laba-laba yang membuat sarang. Allah mengatakan bahwa sehina-hinanya rumah adalah yang seperti rumah laba-laba. Yaitu bangunan yang tidak ada landasannya sehingga mudah goyah ketika ditiup angin. Sama halnya dengan manusia yang menjadikan selain Allah sebagai tujuannya, maka mereka tidak akan memiliki landasan hidup yang kokoh.
Selain itu, Amtsal ini mengajak manusia untuk berpikir. Seperti dalam QS. Ar-Rahman ayat 2 yang berbunyi, “Allamahul bayaan.” Makna al-bayan adalah agar manusia mampu berbicara, berpikir, berilustrasi, dan menarik kesimpulan. Pikiran manusia harus diarahkan pada hal-hal kebaikan sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan.
Kehidupan manusia di dunia ini kuat atau tidaknya sangat tergantung pada landasannya yaitu iman kepada Allah dan takwa di hadapan-Nya. Andaikan semua penduduk bumi seluruhnya beriman maka akan Allah akan bukakan keberkahan dari langit dan bumi.
Amtsal dapat menjadikan yang jauh menjadi dekat dan yang abstrak menjadi konkrit. Maka amtsal ini pun menjadi penting dalam dunia pendidikan. Ketika seorang guru menjelaskan suatu teori kepada para muridnya, memberikan ilustrasi dan contoh-contoh menjadi sangat penting. Agar mudah untuk dipikirkan oleh para murid.
Selanjutnya pada QS. Az-Zumar ayat 28 di atas, dijelaskan bahwa Al-Quran menggunakan Bahasa Arab, yaitu yang paling sempurna dan paling mudah dipahami. Bahasa Al-Quran tidak berbelit-belit ujungnya agar manusia menjadi orang yang bertakwa lagi menjaga diri.
Amtsal kemudian dijelaskan kembali pada QS. Az-Zumar ayat 29 yaitu ilustrasi seseorang yang menyembah banyak Tuhan, seperti seorang budak yang memiliki banyak tuan yang perintah masing-masing tuan saling bertentangan satu sama lain. Dibandingkan dengan budak yang hanya memiliki satu tuan, pasti lebih jelas dan lebih mudah untuk dipahami.
Allah SWT kemudian menerangkan pada ayat QS. Az-Zumar ayat 30-31 bahwa ujung kehidupan manusia adalah kematian. Kematian ibarat seperti pintu dan setiap manusia akan masuk ke dalam pintu tersebut. Cukuplah kematian menjadi pengingat. Ada sebuah hadist yang berkaitan dengan kematian yaitu
Dari Sahl bin Sa’d berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
تَاتِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مَفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ
“Jibril mendatangiku lalu berkata: “Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan mati. Cintailah siapa yang kamu suka, karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Dan berbuatlah sesukamu, karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan karenanya.” (HR. At-Thabrani)
HR. Imam Baihaqi dari Jibril, “Ya Muhammad, hiduplah engkau sekehendak engkau. Maka engkau akan mati. Cintai oleh engkau sekehendak hati engkau, ingatlah engkau akan menjauhinya. Silahkan berbuat sekehendak engkau, engkau akan dibalas sesuai dengan apa yang engkau perbuat. Ketahuilah bahwa semulia-mulianya Muslim adalah yang suka melakukan qiyamul lail.”
Dari kedua hadist tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa apa yang ada di dunia ini hanya sementara, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan. Misalnya jabatan, berapa lama kita akan memegang suatu jabatan? Harta benda dan materi pun demikian. Selain itu ada yang harus kita usahakan yaitu melaksanakan qiyamul lail. Ibadah ini menekankan pentingnya kekhusyuan dan keikhlasan. Dalam qiyamul lain tersebut kita meminta kepada Allah SWT apapun. Karena tumpuannya hanyalah Allah.
Muslim yang paling kuat adalah yang memiliki izzah, tidak meminta-minta kepada orang lain untuk kepentingan dirinya atau mengharapkan sesuatu dari orang lain. Maka, kita tidak meminta pemenuhan kebutuhan diri kita kepada orang lain, tetapi kita hanya meminta kepada Allah. Wallahua’lam.
Tulisan ini merupakan resume Tafsir Quran Surat Az Zumaar ayat 27-31 yang dijelaskan oleh Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc pada Ahad, 10 Januari 2020 / 26 Jumadil Ula 1442H pukul 05.30 di acara Pengajian Jamaah Masjid Al Hijri-1 dan disiarkan melalui Kalam TV.
Disarikan oleh: Dr. Hj. Qurroh Ayuniyyah, SE, M.Ec
Sumber : https://suaraislam.id/perumpamaan-dalam-al-quran/
31. Aqsam al-Quran (Sumpah dalam al-Quran)
Pertanyaan
Dalam ajaran Kristen bahwa Allah Ta’ala itu tidak butuh bersumpah pada diri-Nya dan tidak juga terhadap makhluk-Nya. Akan tetapi dalam Al-Qur’an yang dibuat bersumpah adalah di antara makhluk-Nya. Apakah point ini dapat dijelaskan?
Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama : Seharusnya anda mengetahui bahwa Allah Ta’ala melakukan apa yang diinginkan. Dia tidak ditanya apa ayang dilakukan, sedangkan mereka (para makhluk) ditanya (amalannya). Seorang hamba tidak patut mempertanyakan Tuhan tentang prilaku-Nya kenapa melakukannya? Akan tetapi seharusnya melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Ketika Iblis membantah terhadap perintahnya untuk bersujud kepada Nabi Adam alaissalam dengan firman-Nya, ( أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا ) Apakah saya bersujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah. [Al-Israa/17: 6]. Maka dia dijauhi dari rahmat-Nya.
Al-Qurtuby rahimahullah berkata:
“Bagi Allah bersumpah dengan apa yang disukai dari makhluk-Nya baik hewan dan makhluk padat. Meskipun tidak diketahui hikmah hal itu.” [Al-Jami Liahkamil Qur’an, 19/237]
Syekh Ibnu utsaimin rahimahullah berkata, ‘Ini adalah perbuatan Allah, Allah tidak ditanya apa yang dilakukannya, Dia dapat bersumpah dengan apa yang disukai dari makhluk-Nya. Dia yang bertanya bukan ditanya, Yang menghukum bukan dihukum.’ [Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibnu Utsaimin, 10/797]
Kedua : Segala sesuatu yang Allah bersumpah dengannya merupakan tanda-tanda dan bukti ketauhidan-Nya, bukti kekuasan-Nya serta membangkitkannya dari kematian. Sumpah dengannya menunjukkan keagungan bagi-Nya subhanahu. Dan mengingatkan orang kepada bukti keesaan-Nya, serta tanda-tanda yang menunjukkan keagungan kekuasannya dan kesempurnaan rububiyah-Nya. Ini termasuk kesempurnaan memberikan hujjah kepada hamba-Nya. Dimana (Allah) bersumpah dengan makhluk yang agung agar mengingatkan akan keagungan yang dibuat sumpah. Sehingga yang bersumpah sebagai dalil terhadap apa yang dibuat sumpah.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Sesungguhnya Allah bersumpa dengan yang disumpahi dari makhluk-Nya karena ia termasuk ayat dan makhluk-Nya. Ini adalah dalil akan kerububiyahan, keulihiyahan, ilmu, kekuasaan, keinginan, rahmat, hikmah, keagungan, dan izzah-Nya, maka Dia subhanahu bersumpah dengannya. Karena sumpah dengannya menunjukkan akan keagungan-Nya. Kami makhluk tidak diperkenankan bersumpah dengannya secara nash dan ijma’.[Majmu’ Fatawa, 1/290].
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ‘Allah bersumpah dengan ayat-ayat ini sebagai dalil atas keagungan dan kesempurnaan kekuasaan dan hikmah-Nya. Sehingga bersumpah dengannya menunjukkan keagungannya dan Tingginya kedudukannya yang mengandung pujian kepada Allah Azza Wa Jalla. Sementara kita tidak dibolehkan bersumpah dengan selain nama Allah atau sifat-Nya, karena kami dilarang melakukan hal itu.’ [Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 10/798]
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah telah merinci hikmah sumpah Allah dengan makhluk-Nya dengan mengatakan, ‘Kalau dikatakan, ‘Apa faedah dari sumpah-Nya padahal Allah jujur meskipun tanpa bersumpah. Karena sumpah kalau untuk kaum yang berimana kepada-Nya dan membenarkan perkataan-Nya, maka tidak diperlukan lagi. Sedangkan jika untuk kaum yang tidak mempercayai-Nya, maka tidak ada gunanya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَىِٕنْ اَتَيْتَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ بِكُلِّ اٰيَةٍ مَّا تَبِعُوْا قِبْلَتَكَ
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu.” [Al-Baqarah/2: 145]
Jawabannya bahwa manfaat bersumpah terdiri dari beberapa sisi:
1. Ini adalah metode Bahasa Arab untuk menguatkan sesuatu dengan sumpah, bahwa hal itu telah diketahui oleh semua atau ketika ada bentuk pengingkaran dari yang diajak bicara. Dan Al-Qur’an itu diturunkan dengan memakai Bahasa Arab yang jelas.
2. Bahwa orang mukmin akan bertambah keyakinannya dengan hal itu. Tidak mengapa adanya tambahan penguat yang akan menambah keyakinan seorang hamba. Allah berfirman terkait dengan nabi Ibrahim:
رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ
“Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” [Al-Baqarah/2: 260]
3. Bahwa Allah bersumpah dengan sesuatu yang agung, hal itu menunjukkan kesempurnaan kekuasaan, keagungan dan ilmu-Nya. Maka, ciptaan yang Dia bersumpah dengannya, adalah bukti akan kebenaran yang bersumpah lewat keagungan apa yang diciptakan.
4. Mengisaratkan kedudukan yang disumpah. Karena Allah tidak bersumpah melainkan dengan sesuatu yang agung. Kedua sisi ini tidak kembali kepada pembenaran berita, bahkan untuk menunjukkan bahwa ciptaan yang Allah bersumpah dengannya merupakan penegasan akan kebesarannya.
5. Perhatian terhadap sumpah, bahwa selayaknya mendapatkan perhatian dan penetapan.’ [Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 10/612-613]
Ketiga : Adapun pengakuan orang Kristen bahwa agama Kristen menganggap tidak memerlukan sumpah, dan membuat hal itu sebagai subhat kepada orang-orang Islam. Maka kami dapat katakan sebelumnya, sesungguhnya hak Allah untuk menetapkan suatu urusan sebelum dan sesudahnya. Dia berhak bersumpah terhadap apa yang dikehendaki dan melakukan apa yang dikehendaki ‘(Dia) tidak ditanya terhadap apa yang dilakukan, (sementara) mereka (para makhluk) yang ditanya’ meskipn begitu, orang Kristen tidak berhak menyanggah di sini, berbicara tentang masalah agamanya, sementara kitab suci ada pada mereka. Tidak benar kalau Allah tidak bersumpah di kitab mereka dengan sesuatu dari makhluk-Nya.
Coba kita baca hal itu, ‘Sesungguhnya Tuhan telah bersumpah dengan kebanggaan Ya’qub, sesungguhnya Saya tidak akan melupakan selamanya semua amalan-amalannya.’ Amus, 8: 7.
Dalam terjemahan bersama di antara golongan-golongan Kristen pada paragraf yang sama, ‘Dengan kedudukan Ya’qub, Tuhan bersumpah. Saya tidak akan melupakan amalan-amalan mereka selamanya.’
Begitu juga dengan Tuhan Babil telah bersumpah dengan pencuri, penipu dan pezina! Karena Ya’qub telah mencuri kenabian dari saudaranya ‘’Iisu’ (Kitab Takwin Pasal 27), menipu pamannya ‘Laban’ pada kambing (Kitab Takwin Pasal 30 no, 32-43) sebagaimana dia menikah lebih dari dua wanita, keduanya itu ‘Rahil’ dan Liah’ (keduanya bersaudara) dan masuk (bersetubuh) dengan dua budak, dimana keduanya milik kedua istrinya ‘Rahil dan Liah, nama budaknya itu ‘Balha’ dan Zulfah’ (Kitab Takwin Pasal 30 no. 4 dan Kitab Takwin Pasal 3 no. 9-10) hal itu dalam tinjauan Kristen termasuk berzina.
Sementara kami kaum muslimin menjadikan Nabi Allah Ya’qub alaihis salam itu mulia, dari tuduhan orang yang menuduh, dan dusta para pendusta. Akan tetapi kami katakan kepada mereka, ‘Debu di pelupuk mata saudaranya terlihat, sementara batang dipelupuk matanya tak terlihat.’ Jangan kamu beragama agar dapat mengecoh, karena dengan beragama itu yang menjadikan kamu punya agama. Dengan timbangan yang kamu buat menimbang, maka kamu ditimbang.
Oleh karena itu kenapa anda melihat debu yang ada dipelupuk mata saudara anda, sementara kayu yang ada di pelupuk mata anda tidak teliti, atau bagaimana anda dapat mengatakan kepada saudara anda, ‘Biarkan saya keluarkan debu dari pelupuk mata anda, sementara kayu ada di pelupuk mata anda?? Wahai orang yang ingin dilihat, keluarkan dahulu kayu yang di pelupuk mata anda, maka ketika itu anda akan melihat dengan jelas dapat mengeluarkan debu di pelupuk mata saudara anda. (Injil Matta, 1/5-7).
Ini kalau sekiranya di pelupuk mata saudara anda ada debu, bagaimana kalau debu itu ada di pelupuk mata anda maka anda menyangka, karena debu terus bersama anda- bahwa semuanya terlihat ada debu!!
Barangsiapa yang di mulutnya terdapat penyakit pahit, maka akan didapatkan (rasa) pahit itu meski pada air yang mendidih.
Wallahu’alam.
Disalin dari islamqa
Referensi : https://almanhaj.or.id/4127-kenapa-allah-taala-bersumpah-dalam-al-quran.html
32. Jadal al-Quran (Debat dalam al-Quran)
Jadal al-Qur‟an adalah ilmu yang mengkaji cara (metode) al-Qur‟an beradu argumentasi dengan para penentangnya. Kajian terhadapnya ialah kajian atas metode-metode tersebut, yakni dengan membaca ulang ayat-ayatnya.
Macam-macam Jadal dalam Al-Qur’an
Secara umum, jadal al-Qur‟an dapat dikelompokkan dalam dua kategori:
1. Jadal yang terpuji (al-jadal al-mamduh)
Jadal ini adalah suatu debat yang dilandasi niat yang ikhlas dan murni dengan cara-cara yang damai untuk mencari dan menemukan kebenaran. Contoh dari jadal jenis ini ada pada surat Al-qashash: 48-50.
فَلَمَّا جَاۤءَهُمُ الْحَقُّ مِنْ عِنْدِنَا قَالُوْا لَوْلَآ اُوْتِيَ مِثْلَ مَآ اُوْتِيَ مُوْسٰىۗ اَوَلَمْ يَكْفُرُوْا بِمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى مِنْ قَبْلُۚ قَالُوْا سِحْرٰنِ تَظٰهَرَاۗ وَقَالُوْٓا اِنَّا بِكُلٍّ كٰفِرُوْنَ, (48), قُلْ فَأْتُوْا بِكِتٰبٍ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ هُوَ اَهْدٰى مِنْهُمَآ اَتَّبِعْهُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ, (49), فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ(50).
Ketika telah datang kepada mereka kebenaran (Al-Qur’an) dari sisi Kami, mereka berkata, “Mengapa tidak diberikan kepadanya (Nabi Muhammad mukjizat) seperti apa yang telah diberikan kepada Musa?” Bukankah mereka itu telah ingkar kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu? Mereka berkata, “(Al-Qur’an dan Taurat adalah) dua (kitab) sihir yang saling menguatkan.” Mereka (juga) berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari keduanya.”(48), Katakanlah (Nabi Muhammad), “Datangkanlah sebuah kitab dari sisi Allah yang lebih banyak memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur’an), niscaya aku mengikutinya, jika kamu orang-orang benar.”(49), Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
2. Jadal yang tercela (al-jadal al-madzmum)
Jadal ini adalah setiap debat yang menonjolkan kebathilan atau dukungan atas kebathilan itu. Jadal al madzmum ini ada yang dilakukan dalam bentuk debat tanpa landasan keilmuan. Salah satu contoh jadal jenis ini ada dalam surat Al-hajj: 3 dan 8.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطٰنٍ مَّرِيْدٍۙ
Di antara manusia ada yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu dan (hanya) mengikuti setiap (langkah dan tipu daya) setan yang sangat jahat. (Al-hajj: 3)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ
Di antara manusia ada yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi penerangan.
Macam-macam Jadal dalam al-Qur‟an meurut Manna‟ al-Qathan dalam bukunya “Mabahits Fii Ulum al-Qur‟an” adalah sebagai berikut:
1. Menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar dasar kaidah, seperti ketauhidan Allah dan Uluhiyah-Nya dan keimanan kepada malikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian. Seperti firman Allah dalam (QS. al-Baqarah: 21-22)
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah: 21)
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
(Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 21)
2. Membantah pendapat para penantang dan lawan, serta mematahkan argumentasi mereka. perdebatan macam ini mempunyai beberapa bentuk :
a. Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertanyan tentang hal-hal yang telah diakui dan diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya diingkari, seperti penggunaan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khalik, seperti firman Allah pada (QS. al-Thur: 35-43)
اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَۗ, اَمْ خَلَقُوا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ بَلْ لَّا يُوْقِنُوْنَۗ, اَمْ عِنْدَهُمْ خَزَاۤىِٕنُ رَبِّكَ اَمْ هُمُ الْمُصَۣيْطِرُوْنَۗ, اَمْ لَهُمْ سُلَّمٌ يَّسْتَمِعُوْنَ فِيْهِۚ فَلْيَأْتِ مُسْتَمِعُهُمْ بِسُلْطٰنٍ مُّبِيْنٍۗ, اَمْ لَهُ الْبَنٰتُ وَلَكُمُ الْبَنُوْنَۗ, اَمْ تَسْـَٔلُهُمْ اَجْرًا فَهُمْ مِّنْ مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُوْنَۗ, اَمْ عِنْدَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُوْنَۗ, اَمْ يُرِيْدُوْنَ كَيْدًاۗ فَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا هُمُ الْمَكِيْدُوْنَۗ, اَمْ لَهُمْ اِلٰهٌ غَيْرُ اللّٰهِ ۗسُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“35. Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? 36. Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan) 37. Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa? 38. Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata39. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki?40. Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang? 41. Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya?42. Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang kafir itu merekalah yang kena tipu daya 43. Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
b. Mengambil dalil dengan mabda‟ (asal mula kejadian) untuk menetapkan ma‟ad (hari kebangkitan), seperti Firman-Nya dalam (QS. Qaaf: 15)
اَفَعَيِيْنَا بِالْخَلْقِ الْاَوَّلِۗ بَلْ هُمْ فِيْ لَبْسٍ مِّنْ خَلْقٍ جَدِيْدٍ
Apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? (Sama sekali tidak,) bahkan mereka dalam keadaan ragu tentang penciptaan yang baru.
“Maka Apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? sebenarnya mereka dalam Keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru”. Dan begitu pun pada surat al-Qiyaamah ayat; 36-40
Allah berfirman:
اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ, اَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّنْ مَّنِيٍّ يُّمْنٰى, ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوّٰىۙ, فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْاُنْثٰىۗ, اَلَيْسَ ذٰلِكَ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يُّحْيِ َۧ الْمَوْتٰى ࣖ
(36) Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?, (37) Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)?, (38) Kemudian, (mani itu) menjadi sesuatu yang melekat, lalu Dia menciptakan dan menyempurnakannya., (39) Lalu, Dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan., (40) Bukankah (Allah) itu kuasa (pula) menghidupkan orang mati?
Dan begitu pun pada surat Ath-Thariq ayat; 5-8 Allah. berfirman :
فَلْيَنْظُرِ الإنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ, خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ, يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ, إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ
(5) Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?, (6) Dia diciptakan dari air yang terpancar, (7) yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada., (8) Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).
Termasuk di antaranya beristidlal dengan kehidupan bumi sesudah matinya (keringnya) untuk menetapkan kehidupan sesudah mati untuk dihisab. Misalnya di (QS. Fushilat: 39)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. Membatalkan pendapat lawan dan membuktikan (kebenaran) kebalikannya, seperti yang tersurat dalam (QS. al-An‟am: 91)
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلا آبَاؤُكُمْ قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia”. Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya
d. Menggunakan teori (as-sabr wa taqsim),yakni mengoleksi beberapa sifat sesuatu, kemudian menjelaskan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah „illat, alasan hukum, seperti firman-Nya (QS.
al-An‟am: 143-144)
ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الأنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الأنْثَيَيْنِ نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. وَمِنَ الإبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الأنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الأنْثَيَيْنِ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَذَا فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“143. (yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?” Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar, 144. dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim
e. Membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya dengan menjelaskan bahwa pendapat yang dikemukakannya itu menimbulkan suatu pendapat yang tidak diakui oleh siapapun. Misalnya pada (QS. al-An‟am: 100-101) :
وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ, بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. (100) Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Diamenciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu”. (101)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak, hal ini karena proses kelahiran anak tidak
mungkin terjadi dari sesuatu yang satu. Proses tersebut hanya bisa terjadi dari dua pribadi. Padahal Allah tidak mempunyai istri. Di samping itu Dia menciptakan segala sesuatu dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu ini sungguh kontradiktif bila dinyatakan bahwa Dia melahirkan sesuatu. Dia mengetahui segala sesuatu, dan pengetahuan-Nya ini membawa konklusi bahwa Dia berbuat atas dasar kehendak-Nya sendiri. kehendak sendiri dengan yang berbuat karena hukum alam. Dengan kemahatahuan-Nya akan segala sesuatu itu, maka mustahil jika Dia sama dengan benda-benda fisik alami yang melahirkan sesuatu tanpa disadari, seperti panas dan dingin. Dengan demikian maka tidak benar menisbatkan anak kepadaNya.
Di dalam kitab Al-Itqon fii Ulumil Qur`an, Imam Syuyuti menyebutkan beberapa hal yang termasuk dalam bentuk Jadal diantaranya:
1. Al-Isyjal
Yaitu meletakkan kata yang menunjuk kepada lawan bicara dan juga apa yang dibicarakan. Contohnya dalam firman Allah dalam (QS. Ali Imron: 194 dan QS. Ghafir: 8)
رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ
Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imron: 194)
رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, (QS. Ghafir: 8).
2. Al-Intiqol
Yaitu memindahkan argumen yang dijadikan dalil kearah argumen yang tidak dapat diikuti sehingga di dalam perdebatan kadang argumen tidak dimengerti maksudnya oleh lawan. Contoh dalam (QS. Al-Baqarah: 258)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (QS. Al-Baqarah: 258)
Memaknai istilah menghidupkan dengan membebaskan, disinilah kekeliruan tersebut sehingga Allah SWT merubah argumen dengan yang lainnya yaitu menerbitkan matahari dari barat.
3. Munaqodhoh
Yaitu menggantungkan sesuatu dengan hal yang mustahil, yang mengisyaratkan kemungkinan terjadi. Contoh dalam (QS. alA‟raf: 40).
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS. alA‟raf: 40).
C. Metode-metode Jadal dalam Al-Qur’an
Abu Zahra di dalam kitabnya Al-Mu‟jizat al-Kubramembagi metodemetode jadal dalam al-Qur‟an menjadi 6 langkah yaitu:
1. Al Ta‟rifat
Allah SWT secara langsung memperkenalkan diri-Nya dan ciptaan-Nya sebagai pembuktian akan wujud dan kemahakuasaanNya. Karena Allah tidak terjangkau oleh indera manusia maka dengan mengukapkan hal-hal yang bisa ditangkap indera manusia, manusia akan mampu memahami akan wujud dan kekuasaan Sang Maha Kuasa.
2. Al Istifham Al Taqriri
Dalam bentuk ini Allah mengajukan pertanyaan langsung dengan penetapan jawaban atasnya. Pertanyaan tentang hal yang memang sudah nyata, diangkat lagi lalu disertai dengan jawaban yang merupakan penetapan atas kebenaran yang sudah pasti. Al Tajzi‟at Allah mengungkapkan bagian dari suatu totalitas secara kronlogis yang menjadi argumentasi dialektis untuk melemahkan lawan dan menetapkan suatu kebenaran. Masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai bukti untuk membuktikan kebenaran yang dimaksudkan.
4. Qiyas Al Khalaf
Dalam bahasa indonesia ini disebut “analogi terbalik”. Dengan prosedur ini kebenaran ditetapkan dengan membatalkan pendapat lawan yang berkebalikan atau berlawanan. Sebab dalam realitas kehidupan tidak dapat berkumpul dua hal yang berlawanan
5. Al Tamsil
Allah mengungkapkan perumpamaan bagi suatu hal. Dengan perumpamaan itu dimaksudkan agar suatu kebenaran dapat dipahami secara lebih tepat dan lebih mudah, lalu lebih melekat di sanubari “lawan”.
6. Al Muqabalat
Mempertentangkan dua hal yang salah satunya memiliki efek yang jauh lebih besar dibanding dengan yang lainnya. Seperti halnya mempertentangkan antara Allah SWT dengan berhala yang disembah orang-orang musyrik.
Adapun Metode-metode Jadal dalam al-Qur‟an menurut Manna‟ al-Qathan dalam bukunya “Mabahits Fii Ulum al-Qur‟an” beliau menjelaskanal-Qur‟an dalam berdebat dengan para penentangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti kalangan awam dan orang ahli. Ia membatalkan setiap kerancuan dan mematahkan setiap perlawanan dan pertahanan dalam uslub yang konkrit hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penelitian.
Al-Qur‟an tidak menempuh metode yang dipegang teguh oleh para ahli kalam yang memerlukan adanya muqaddimah (premis) dan natijah (konklusi), seperti dengan cara ber-istidlal (inferensi) dengan sesuatu yang bersifat kulliy (universal) atau yang juz‟iy (partial) dalam qiyas syumuul, beristidlal dengan salah satu dua juz‟iy atas yang lain dalam qiyas tamsiil, atau ber-istidlal dengan juz‟iy atau kulliy dalam qiyas istiqraa‟. Hal itu disebabkan oleh beberapa alasan:
a. Dikarenakan Al Qur‟an turun ditengah tengah bangsa Arab dan menggunakan bahasa mereka maka Al-Qur’an berargumen sebagaimana argumen-argumen mereka sehingga mereka jelas atas persoalan-persoalan yang dibicarakan. Allah SWT berfirman dalam Surat Ibrohim ayat 4:
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, kecuali dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka.”
b. Bersandar pada fitroh jiwa, yang percaya kepada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam. Dalam beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih efektif.
c. Menghindari dari kata kata yang rumit dan membutuhkan rincian merupakan hal yang dianjurkan dan diinginkan semua orang. Kata-kata yang membutuhkan penjelasan panjang lebar merupakan sebuah kerumitan yang sulit dipahami oleh orang-orang umum, maka apabila seseorang mampu menggunakan argumen yang tepat dan tidak rumit akan menang dalam berargumen. Begitulah Allah SWT memberikan bantahan- bantahan yang jelas dan mudah diterima oleh siapapun.
Di dalam kitab ar-Raddu „alaa Mantiqiyyin Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa: “Dalil-dalil analogi yang dikemukakan para ahli debat, yang mereka namakan „bukti-bukti‟ untuk menetapkan adanya Tuhan, Sang Pencipta, Yang Suci dan Mahatinggi itu, sedikitpun tidak dapat menunjukkan esensi Dzat-Nya. Tetapi hanya menunjukkan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusyrikan. Sebab jika kita mengatakan: „Ini adalah muhdats (baru), dan setiap yang baru mempunyai muhdits (pencipta)‟; atau „Ini adalah sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib‟. Pernyataan seperti ini hanya menunjukkan muhdits mutlak atau wajib mutlak… Konsepnya tidak bebas dari kemusryikan.”
Selanjutnya beliau mengatakan: “Argumentasi mereka tidak menunjukkan kepada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukkan waajibul wujud atau yang lainnya. Tetapi ia hanya menunjukkan kepada sesuatu yang kulliy, padahal sesuatu yang kully itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan. Sedang waajibul wujuud, pengetahuan mengenainya dapat menghindarkan dari kemusyrikan. Dan barang siapa yang tidak mempunyai konsep tentangsesuatu yang bebas dari kemusryikan, maka ia belum berarti telah mengenal Allah”.
Dalam kitabnya beliau melanjutkan keterangannya, bahwa: “Ini berbeda dengan ayat-ayat yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya dalam (QS. al-Baqarah: 164)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
“Sesungguhnya pada apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal, bagi kaum yang berpikir” dan lain sebagainya; menunjukkan sesuatu yang tertentu, seperti matahari yang merupakan tanda bagi siang hari, firman Allah dalam (QS. al-Israa‟: 12)
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلا
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahuntahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”.
Ayat-ayat tersebut menunjukkan esensi Pencipta yang Tunggal, Allah SWT. tanpa serikat antara Dia dengan yang lain. Segala sesuatu selain Dia selalu membutuhkan Dia, karena itu eksistensi segala sesuatu itu menuntut secara pasti eksistensi Pencipta itu sendiri.
Dalil-dalil Allah atas ketauhidan-Nya, seperti ma‟aad (hidup kembali di akhirat) yang diberitakan-Nya dan bukti-bukti yang ditegakkan-Nya bagi kebenaran Rasul-Rasul-Nya, tidak memerlukan qiyaas syumuul atau qiyaas tamtsil. Akan tetapi dalil-dalil tersebut benar-benar menunjukkan maknanya secara nyata. Pengetahuan tentang itu menuntut pengetahuan tentang makna yang ditunjukkannya, dan perpindahan pikiran dari dalil tersebut kepada madlulnya pun sangat jelas bagai proses perpindahan pikiran dari melihat sinar matahari ke pengetahuan tentang terbitnya matahari itu. Inferensi semacam ini bersifat aksiomatik (badihi) dan dapat dipahami oleh semua akal.
Begitupun di dalam kitab Al-Burhan fi ulumul Qur‟an Imam az-Zarkasyi mengatakan: “Ketahuilah bahwa al-Qur‟an telah mencakup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu dalil pun, satu bukti atau definisi-definisi mengenai sesuatu, baik berupa persepsi akal maupun dalil naql yang universal, kecuali telah dibicarakan oleh Kitabullah (al-Qur‟an). Tetapi Allah mengemukakannya sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab; tidak menggunakan metode-metode berfikir ilmu kalam yang rumit, hal itu dikarenakan ada dua hal:
Pertama, mengingat firman-Nya pada (QS. Ibrahim: 4):
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya”.
Kedua, bahwa orang yang cenderung menggunakan argumentasi pelik dan rumit itu sebenarnya ia tidak sanggup menegakkan hujjah dengan kalam agung. Sebab orang yang mampu memberikan pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara lebih jelas yang bisa dipahami sebagian besar orang, tentu tidak perlu melangkah ke cara yang lebih kabur, rancu dan berupa teka-teki yang hanya dipahami oleh segelintir orang.
Oleh karena itu Allah memaparkan seruan-Nya dalam berargumentasi dengan makhluk-Nya dalam bentuk argumentasi yang paling agung yang meliputi juga bentuk paling pelik, agar orang awam dapat memahami dari yang agung itu apa yang dapat memuaskan dan mengharuskan mereka menerima hujjah tersebut, dan dari celah-celah keagungannya kalangan ahli dapat memahami juga apa yang sesuai dengan tingkat pemahaman para sastrawan.
Dengan pengertian itulah hadits: “Sesungguhnya setiap ayat itu mempunyai lahir dan bathin, dan setiap hurufnya mempunyai hadd dan matla‟ diartikan, tidak dengan pendapat kaum batiniyah. Dari sisi ini maka setiap orang yang mempunyai ilmu pengetahuan lebih banyak, tentu akan lebih banyak pula pengetahuannya tentang ilmu al-Qur‟an”.
Itulah sebabnya apabila Allah menyebutkan hujjah atas rubbubiyah (ketuhanan) dan wahdaniyah (keesaan-Nya) selalu dihubungkan, kadang-kadang, dengan “mereka yang berakal” dengan “mereka yang mendengar”, dengan “mereka yang berfikir”, dan terkadang dengan “mereka yang mau menerima pelajaran”. Hal ini untuk mengingatkann, setiap potensi dari potensi-potensi tersebut dapat digunakan untuk memahami hakekat hujjah-Nya itu. Misalnya firman Allah (QS. Ar-Ra‟ad: 4):
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Sumber : Konsep Jadal Dalam Al-Qur‟an (Kajian Terhadap Ayat-ayat Jadal), oleh Muhammad Syukron Bin Makmur, (IPTIQ) JAKARTA 2019
33. Qashash al-Quran (Cerita dalam al-Quran)
A. Pengertian Qashashul Qur’an
Kata Qashashul berasal dari bahas Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang berarti tatabbu’ al-atsar (napak tilas/ mengulang kembali masa lalu). Qishash menurut Muhammad Ismail Ibhrahim yang berarti “hikayat (dalam bentuk) prosa yang panjang”. sedang menurut Manna Khalil al-Qattan “qashashtu atsarahu” yang berarti “kisah ialah menelusuri jejak”. Kata al-qashash adalah bentuk masdar seperti dalam firman Allah QS. Al-Kahfi (18): 64 disebutkan:
فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا
Terjemahnya:
“Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula”.
Maksudnya kedua orang itu kembali mengikuti jejak darimana keduanya itu datang. Dan firmanNya melalui lisan ibu Musa, QS. Al-Qashash (28): 11 sebagai berikut: Terjemahnya:
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ikutilah dia”.
Maksudnya ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya. Secara etimologi (bahasa), al-qashash mempunyai arti urusan (al-amr), berita (al-khabar), perbuatan (al-sya’an), dan keadaan (al-hal). Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata al-Qashsash diterjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya). Menurut Al-Raghib al-Ishfahani, Qashsash adalah akar kata (mashdar) dari qashsha yaqushshu, secara lughawi konotasinya tak jauh berbeda dari yang disebutkan di atas, yang dipahami sebagai “cerita yang ditelusuri” seperti dalam firman Allah swt. Qs Yusuf (12): 111:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ
Terjemahnya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunya akal”.
Dengan melihat beberapa arti Qishshash di atas dapat diambil pengertian bahwa Qishash sama dengan kisah yang mempunyai arti segala peristiwa, kejadian atau berita yang telah terjadi dari suatu cerita untuk menelusuri jejaknya. Adapun yang dimaksud dengan Qashashul Qur’an adalah
إخبار عن الأحوال الماضية والأنبياء القدماء والأحداث الواقعة فى الماضى.
“Pemberitaan mengenai keadaan umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu, dan peristiwa yang pernah terjadi”.
Menurut perspektif al-Qur’an, Allah SWT. mengungkapkan diriNya melalui peristiwa-peristwa, namun wahyuNya menggunakan tema-tema yang sudah terkenal dan dinyatakan kembali sampai orang-orang beriman meresapinya. Al_Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan neger-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik mempesona.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa pada kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qur’an semuanya cerita yang benar-benar terjadi, tidak ada cerita fiksi, khayal, apalagi dongeng. Jadi bukan seperti tuduhan sebagian orientalis bahwa al Qur’an ada yang tidak cocok dengan fakta sejarah.
B. Macam-macam Qashashul Qur’an
Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Dilihat dari sisi pelaku
Dilihat dari sisi pelaku, Manna al- Qathtan membagi menjadi tiga macam yaitu:
a) Kisah para nabi
Bagian ini bersikan tentang ajakan para nabi kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat yang menimpa orang beriman (mempercayai) dan golongan yang mendustakan para nabi. Misalnya kisah nabi Nuh AS., Ibrahim AS., Musa AS., Harun AS, Isa AS., Muhammad SAW, dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
b) Kisah yang berhubungan dengan masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya.
Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halamannya, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putera Adam, Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashabus Sabti (orang –orang yang menangkap ikan pada hari sabtu), misalnya Maryam, Ashabul ukhdud, Ashabul Fil dan lain-lain.
c) Kisah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW
Seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah al_Taubah, perang al-Akhzab, Hijrah, Isra’ dan lain-lain.
Cerita-cerita mengenai para nabi dalam Al-Qur’an bervariasi sesuai dengan kasus, tetapi mereka semua adalah pemberi peringatan yang mendapat perlindungan Allah SWT. Kepada para hambaNya. Perlindungan ini adalah salah satu elemen dalam narasi yang dipercepat dengan insiden. Contoh Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari api yang dilempar kedalamnya oleh umatnya setelah dia menghancurkan patung-patung QS. al Anbiya’ (21): 68-71. Nabi Isa as diselamatkan ketika Allah SWT. secara mukjizat menghalanginya dari orang-orang Yahudi dari menyalibnya QS. an-Nisa (4): 157.
2. Dilihat dari panjang pendeknya
Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah al-Qur;an dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Kisah panjang, contohnya kisah nabi Yusuf AS. dalam QS. Yusuf (12) yang hamper seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan memiliki kekuasaan.
b. Contoh lainnya adalah kisah nabi Musa a.s dalam surah al-Qashash (28), kisah nabi Nuh a.s dan kaumnya dalam QS Nuh (71), dan lain-lain.
c. Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama (sedang), seperti kisah Maryam dalam QS Maryam (19), kisah Ahzab al-Kahfi pada QS al-Kahfi (18), kisah nabi Adam a.s dalam QS al-Baqarah (2), dan QS Thoha(20), yang terdiri atas sepuluh atau beberapa belas ayat saja.
d. Kisah pendek yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah nabi Hud AS. nabi Luth a.s dalam Qs al-A’raaf (7), kisah nabi Shahih AS. dalam Qs Hud (110), dan lain-lain.
3. Dilihat dari jenisnya
Dilihat dari jenisnya Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Kisah Sejarah (al-qishash al-tarikhiyyah), berkisar tentang kisah-kisah sejarah, seperti para nabi dan rasul.
b. Kisah sejarah/ perumpamaan (al-qishash al-tamtlisiyah), untuk menerangkan atau memperjelas suatu pengertian, bahwa peristiwa itu tidak benar terjadi tetapi hanya perkiraan.
c. Kisah asatir, kisah ini untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan, fenomena yang ada atau menguraikan masalah yang sulit diterima akal.
Kisah-kisah al-Qur’an pada umumnya mengandung tiga unsur yaitu:
1) Pelaku (al-sakhsiyyat), kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidaklah hanya manusia. Dalam QS an-Naml (27): 23, tetapi juga ada malaikat, dalam QS Hud (11): 69-83, Jin dalam QS saba’ (34):12, dan binatang (burung, semut, dll), dalam QS An-Naml (27): 18-19.
2) Peristiwa (ahdats), hal ini terbagi menjadi: peristiwa yang berkelanjutan, peristiwa yang dianggap luar biasa dalam QS Almaidah (5): 110-115, dan peristiwa yang dianggap biasa dalam QS Almaidah (5):116-118.
3) Dialog (alhiwar), dalam QS Al-A’raf (7):11-25, Thaha (20): 9-99.
C. Karakteristik Qashashul Qur’an
Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara berurutan (kronologis) dan memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar. Tetapi terkadang berbagai kisah disebutkan berulang-ulang dibeberapa tempat, ada pula beberapa kisah disebutkan al-Qur;an dalam bentuk yang berbeda, disatu tempat ada bagian yang di dahulukan dan ditempat lain diakhirkan. Kadang-kadang pula disajikan secara ringkas dan kadang secara panjang lebar. Hal tersebut menimbulkan perdebatan diantara kalangan orang yang meyakini dan orang-orang yang meragukan al-Qur’an. Mereka yang ragu terhadap al-Qur’an sering mempertanyakan, mengapa kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak disusun secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami? Karena hal itu tersebut menurut mereka dipandang tidak efektif dan efisien.
Menurut Manna Khalil al-Qattan, bahwa penyajian kisah-kisah dalam al-Qur’an begitu rupa mengandung beberapa hikmah yaitu :
1. Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an
2. Memberi perhatian besar terhadap kisah tersebut untuk menguatkan kesan yang mantap dan melekat dalam jiwa
3. Memperlihatkan adanya perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut.
Sedang faedah Qashashul Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh setiap nabi, QS. al Anbiya’ (21):25.
2. Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya dalam menegakkan agama Allah SWT. serta menegakkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnya pertolongan Allah SWT. dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya, QS. Hud (11):120.
3. Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4. Memperlihatkan kebenaran nabi Muhammad SAW. dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
5. Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk, QS. Ali Imran (3):93
6. Kisah merupakan salah satu bentuk sastera yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam dalam jiwa, QS Yusuf (12): 111.
D. Tujuan Qashasul Qur’an
Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai dengan kondisi mereka karena sejak kecil sampai dewasa bahkan sampai tua, jarang orang yang tak suka pada kisah, apalagi bila kisah mempunyai tujuan ganda, yakni disamping pengajaran dan pendidikan juga berfungsi sebagai hiburan. Al-Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup kedua aspek itu, disamping tujuan yang mulia, juga kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa yang indah dan menarik, sehingga tak ada orang yang bosan membaca dan mendengarnya. Sejak dahulu sampai sekarang, telah berlalu empat belas abad, kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up dated, mendapat tempat dan hidup di hati umat, padahal bahasa-bahasa lain telah banyak yang masuk museum, dan tidak terpakai lagi dalam berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin dan lain-lain.
Cerita-cerita dalam al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang bernila sastera saja, baik gaya bahasa maupun cara menggambarkan peristiwa-peristiwa, tetapi merupakan suatu media untuk mewujudkan tujuan yang asli. Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum mempunyai tujuan untuk kebenaran dan semata-mata untuk keagamaan. Adapun tujuan-tujuan kisah dalam secara keseluruhan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan, QS. Yusuf (12): 2-3, QS. (28):3, QS. (3):44.
2. Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah SWT. QS. (21): 51-92
3. Menerangkan bahwa semua agama itu dasarnya satu dan semuanya dari Tuhan Yang Maha Esa, QS. Al-A’raf (7):59
4. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. QS. Hud
5. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Dengan agama nabi Ibrahim AS. secara khusus. Dengan agama-agama bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hugungan umum antara semua agama.
E. Faedah Qashashil Al-Quran
Banyak faedah yang terdapat dalam qashash (kisah-kisah) Al-Quran sebagaimana yang diutarakan Manna Al-Qaththan berikut ini.
1. Meneguhkan hati Rasulullah SAW. dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi.
3. Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4. Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
5. Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk. Di samping itu, kisah-kisah itu memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum diubah dan direduksi.
6. Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam dalam jiwa.
F. Hukum Dan Pandangan Para Ulama Terhadap Qashashil Al-Quran
Berkaitan dengan penuturan nama dan gelar dalam kisah-kisah di dalam Al-Quran, ada sebuah persoalan penting yang harus dijadikan jawabannya. Misalkan, suatu kisah di dalam Al-Quran yang menyebutkan nama-nama pelaku khusus, apakah hanya berlaku bagi para pelaku kisah tersebut, ataukah berlaku secara umum bagi siapa saja? Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusu atau umum?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang harus dijadikan pertimbangan adalah keumuman redaksi, bukannya kekhususan sebab. As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa pertimbangan itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golonga lain. Ini dapat dibuktikan antara lain pada ayat zhihar dalam kisah Salman bin Shakhar, ayat li’an dalam kisah Hilal bin Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kisah tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus trsebut diterapkan pula terhadap peristiwa lain yang serupa.
Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kisah tertentu, bahkan menunjuk pribadi seseorang namun, berlaku umum. Misalnya, surat Al-Maidah (5) ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil. Ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibn Taimiyyah, tidak benar jika dikatakan bahwa perintah berlaku adil bagi Nabi itu hanya ditujukan terhadap dua kabilah itu.
Penjelasan mengenai penyebutan nama pelaku kisah, atau hakikat kisah itu sendiri, dikemukakan pula oleh Kuntowijoyo, Thaha Husein, dan Asy-Syarabashi. Kuntowijoyo memandang bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang kemprehensif mengenai nilai-nilai ajaran agama islam, sedangkan bagian kedua dimaksudkan sebagai ajakan melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayub misalnya, menggambarkan tipe sempurna mengenai betapa gigihnya kesabaran orang beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun menggambarkan archetype mengenai kejahatan tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia. Kisah kaum Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Shaleh AS. lebih menggambarkan archetype mengenai penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
Ungkapan yang hampir senada diungkapkan pula oleh Asy-Syarabashi. Ia menjelaskan bahwa kisah-kisah dalam Al-Quran tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa atau pribadi tertentu, tetapi sebagai bahan pelajaran bagi umat manusia.
Thaha Husein, yang terkenal dengan pendapat-pendapatny yang controversial dan sekularistik, lebih tertarik membahas apakah pelaku-pelaku kisah didalam Al-Quran itu pernah ada atau hanya khayalan semata. Dengan mengambil contoh kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ia berkesimpulan demikian:
“Taurat telah mengisahkan kepada kita tentang Ibrahim dan Ismail, demikian juga Al-Quran. Akan tetapi, munculnya kedua nama tokoh itu dalam Tauran dan Al-Quran tidak menjamin keberadaan keduanya secara historis. Kita terdorong untuk melihat keduanya di dalam sejarah sebagai suatu jalan untuk menetapkan hubungan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab di satu pihak, serta agama Islam dan agama Yahudi, Al-Quran dan Taurat, dipihak yang lain.”
Tidak hanya itu, Thaha Husein pernah mengatakan bahwa hijrahnya Ibrahim ke Mekah yang kemudian mengembangkan bangsa Arab musta’rabah hanyalah fiksi belaka. Maka, wajarlah jiksa para ulama konsevatif menganggap gagasan-gagasannya itu sebagai usaha melemparkan keraguan keotentikan Al-Quran. Bahkan, Rasyid Ridha telah menuduhnya keluar dari Islam.
Benang merah yang dapat ditangkap dari pendapat ketiga orang di atas adalah hal terpenting dari kisah-kisah yang terdapat Al-Quran bukanlah wacana pelakunya, tetapi drama kehidupan yang mereka mainkan. Atas dasar ini pulalah, Muhammad Abduh mengkritik habis-habisan kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir Al-Quran, terutama ketika menjelaskan para pelaku kisah.
Sumber : https://parawali99.blogspot.com/2017/03/makalah-qashash-al-quran-ulumul-qur-an.html
34. Lughat al-Quran (Bahasa dalam al-Quran)
Ilmu Lughat, yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata Al-Quran. Mujahid r.a. berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang ayat-ayat Al-Quran tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jika mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
35. Keistimewaan (Mu’jizat) al-Quran
Oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimulai dengan surat al-Fatihan dan ditutup dengan surat an-Nas, bernilai ibadah bagi siapa yang membacanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الــم ialah satu huruf, akan tetapi ا satu huruf, ل satu huruf dan م satu huruf. [HR. Bukhari].
Banyak hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan membaca surat-surat dari al-Qur’an.
Berikut ini kami paparkan sebagian keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an al-Karim:[2]
1. Tidak sah shalat seseorang kecuali dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an (yaitu surat Al-Fatihah-red) berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah“. [HR. Bukhari-Muslim]
2. Al-Qur’an terpelihara dari tahrif (perubahan) dan tabdil (penggantian) sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya“. [al-Hijr/15 : 9]
Adapun kitab-kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil telah banyak dirubah oleh pemeluknya.
3. Al-Qur’an terjaga dari pertentangan/kontrakdiksi (apa yang ada di dalamnya) sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya“. [an-Nisa’’4 : 82]
4. Al-Qur’an mudah untuk dihafal berdasarkan firman Allah:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran“. [al-Qamar/54 : 32]
5. Al-Qur’an merupakan mu’jizat dan tidak seorangpun mampu untuk mendatangkan yang semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menantang orang Arab (kafir Quraisy) untuk mendatangkan semisalnya, maka mereka menyerah (tidak mampu). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ
“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya”. Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya … “. [Yunus/10 : 38]
6. Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi siapa saja yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam suatu majlis kecuali turun pada mereka ketenangan dan diliputi oleh rahmat dan dikerumuni oleh malaikat dan Allah akan menyebutkan mereka di hadapan para malaikatnya“. [HR. Muslim].
7. Al-Qur’an hanya untuk orang yang hidup bukan orang yang mati berdasarkan firman Allah:
لِّيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)“. [Yaasiin/36 : 70]
Dan firman Allah:
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya“. [an-Najm/53 : 39]
Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat dari ayat ini bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang mati. Karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit. Adapun bacaan seorang anak untuk kedua orang tuanya, maka pahalanya bisa sampai kepadanya, karena seorang anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah.
8. Al-Qur’an sebagai penawar (obat) hati dari penyakit syirik, nifak dan yang lainnya. Di dalam al-Qur’an ada sebagian ayat-ayat dan surat-surat (yang berfungsi) untuk mengobati badan seperti surat al-Fatihah, an-Naas dan al-Falaq serta yang lainnya tersebut di dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman“. [Yunus/10 : 57]
Begitu pula dalam firmanNya:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman“. [ِAl-Israa/17 : 82]
9. Al-Qur’an akan memintakan syafa’at (kepada Allah) bagi orang yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memohonkan syafa’at bagi orang yang membacanya (di dunia)“. [HR. Muslim].
10. Al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab sebelumnya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu“. [al-Maidah/5 : 48]
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata sesudah menyebutkan beberapa pendapat tentang tafsir (مُهَيْمِنًا): “Pendapat-pendapat ini mempunyai arti yang berdekatan (sama), karena istilah (مُهَيْمِنًا ) mencakup semuanya, yaitu sebagai penjaga, sebagai saksi, dan hakim terhadap kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mencakup dan sempurna, yang diturunkan sebagai penutup kitab-kitab sebelumnya, yang mencakup seluruh kebaikan (pada kitab-kitab) sebelumnya. Dan ditambah dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak (ada dalam kitab) yang lainnya. Oleh karena inilah Allah k menjadikannya sebagai saksi kebenaran serta hakim untuk semua kitab sebelumnya, dan Allah menjamin untuk menjaganya[3].
11. Berita Al-Qur’an pasti benar dan hukumnya adil. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya” [al-An‘aam/6 : 115].
Qatadah rahimahullah berkata: “Setiap yang dikatakan al-Qur’an adalah benar dan setiap apa yang dihukumi al-Qur’an adalah adil, (yaitu) benar dalam pengkhabaran dan adil dalam perintahnya, maka setiap apa yang dikabarkan al-Qur’an adalah benar yang tidak ada kebohongan dan keraguan di dalamnya, dan setiap yang diperintahkan al-Qur’an adalah adil yang tidak ada keadilan sesudahnya, dan setiap apa yang dilarang al-Qur’an adalah bathil, karena al-Qur’an tidak melarang (suatu perbuatan) kecuali di dalamnya terdapat kerusakan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dia menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [al-A’raaf/7 : 157][4]
12. Di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah yang nyata, dan tidak (bersifat) khayalan, maka kisah-kisah Nabi Musa bersama Fir’aun adalah merupakan kisah nyata. Firman Allah:
نَتْلُوا عَلَيْكَ مِن نَّبَإِ مُوسَى وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar“. [al-Qashash/28 : 3]
Begitu pula kisah As-Haabul Kahfi merupakan kisah nyata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya“. [Al-Kahfi/18 : 13].
Dan semua apa yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an adalah haq (benar). Allah berfirman:
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar“. [ali-Imran/3 : 62]
13. Al-Qur’an mengumpulkan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu“. [al-Qashash/28 : 77]
14. Al-Qur’an memenuhi semua kebutuhan (hidup) manusia baik berupa aqidah, ibadah, hukum, mu’amalah, akhlaq, politik, ekonomi dan. permasalahan-permasalahan kehidupan lainnya, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Allah berfirman:
مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ
“Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab“. [al-An’aam/6 : 38]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri“. [an-Nahl/16 : 89]
Al-Qurthubi berkata dalam menafsirkan firman Allah (مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ ) Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab [Al-An’am/6 : 38] : “Yakni di dalam al-Lauh al-Mahfud. Karena sesungguhnya Allah l sudah menetapkan apa yang akan terjadi, atau yang dimaksud yakni di dalam al-Qur’an yaitu Kami tidak meninggalkan sesuatupun dari perkara-perkara agama kecuali Kami menunjukkannya di dalam al-Qur’an, baik penjelasan yang sudah gamblang atau global yang penjelasannya bisa didapatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau dengan ijma’ ataupun qias berdasarkan nash al-Qur’an”[5].
Kemudian Al-Quthubi juga berkata: “Maka benarlah berita Allah, bahwa Dia tidak meninggalkan perkara sedikitpun dalam al-Qur’an baik secara rinci ataupun berupa kaedah.
Ath-Thabari berkata dalam menafsirkan ayat (وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ) “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu. [An-Nahl/16: 89]: “Al-Qur’an ini telah turun kepadamu wahai Muhammad sebagai penjelasan apa yang dibutuhkan manusia, seperti mengetahui halal dan haram dan pahala dan siksa. Dan sebagai petunjuk dari kesesatan dan rahmat bagi yang membenarkannya dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, berupa hukum Allah, perintahNya dan laranganNya, menghalalkan yang halal mengharamkan yang haram. …Dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri …… beliau berkata : “dan sebagai gambar gembira bagi siapa saja yang ta’at kepada Allah dan tunduk kepadaNya dengan bertauhid dan patuh dengan keta’atan, maka Allah akan berikan kabar gembira kepadanya berupa besarnya pahala di akhirat dan keutamaan yang besar[6].
15. Al-Qur’an mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jiwa manusia dan jin.
Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) manusia maka banyak kaum musyrikin pada permulaan Islam yang terpengaruh dengan al-Qur’an dan merekapun masuk Islam. Sedangkan di zaman sekarang, saya pernah bertemu dengan pemuda Nasrani yang telah masuk Islam dan dia menyebutkan kepadaku bahwa dia terpengaruh dengan al-Qur’an ketika ia mendengarkan dari kaset. Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) jin, maka sekelompok jin telah berkata:
قُلْ أُوحِىَ إِلَىَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْءَانًا عَجَبًا {1} يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَئَامَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدًا
“Katakanlah (hai Muhammad) :” Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya : sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an) , lalu mereka berkata : Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseoranpun dengan Rabb kami” [al-Jin/72 : 1-2]
Adapun orang-orang musyrik, banyak diantara mereka yang terpengaruh dengan al-Qur’an ketika mendengarnya. Sehingga Walid bin Mughirah berkata: “Demi Allah, ini bukanlah syair dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia (al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak yang melebihinya[7].
16. Orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkan adalah orang yang paling baik. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari]
17. Orang yang mahir dan tertatih-tatih membaca al-Qur’an.
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir dengan al-Qur’an bersama malaikat yang mulia, sedang orang yang membaca al-Qur’an dengan tertatih-tatih dan ia bersemangat (bersungguh-sungguh maka baginya dua pahala” [HR. Bukhari-Muslim].
18. Allah menjadikan al-Qur’an sebagai pemberi petunjuk dan pemberi kabar gembira. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar“. [al-Isra/17 : 9]
19. Al-Qur’an menenangkan hati dan memantapkan keyakinan. Orang-orang yang beriman mengetahui bahwa al-Qur’an adalah tanda (mujizat) yang paling besar yang menenangkan hati mereka dengan keyakinan yang mantap. Allah berfirman:
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram“. [ar-Rad/13 : 28].
Maka apabila seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, atau penyakit, maka hendaklah ia mendengarkan al-Qur’an dari seorang Qari’ yang bagus suaranya, seperti al-Mansyawi dan yang lainnya. Karena Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَسِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَنًا
“Baguskan (bacaan) al-Qur’an dengan suaramu maka sesungguhnya suara yang bagus akan menambah keindahan suara al-Qur’an“. [Hadits Shahih, lihat Shahihul Jami’ karya Al-Albani rahimahullah].
20. Kebanyakan surat-surat dalam al-Qur’an mengajak kepada tauhid, terutama tauhid uluhiyah dalam beribadah, berdo’a, minta pertolongan.
Maka pertama kali dalam al-Qur’an yaitu surat al-Fatihah, engkau dapati firman Allah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) “Kami tidak menyembah kecuali kepadaMu dan kami tidak minta pertolongan kecuali kepadaMu”. Dan diakhir dari al-Qur’an yaitu surat al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, engkau jumpai tauhid nampak sekali dalam firmanNya:
(قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ).
“Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa “. [al-Ikhlash/112 : 1]
(قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ)
“Katakanlah “Aku berlindung kepada Rabb Yang Menguasai subuh“. [al-Falaq/113 :1]
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Rabb manusia“. [an-Naas/114 :1].
Dan masih banyak ayat tauhid di dalam surat-surat al-Qur’an yang lain. Di dalam surat Jin engkau baca firman Allah Azza wa Jalla :
قُلْ إِنَّمَآ أَدْعُوا رَبِّي وَلآ أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Rabbmu dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya“. [al-Jin/72 : 20].
Juga di dalam surat yang sama Allah berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah“. [al-Jin/72 : 18].
21. Al-Qur’an merupakan sumber syari’at Islam yang pertama yang Allah turunkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kufur, syirik dan kebodohan menuju cahaya keimanan, tauhid dan ilmu. Allah berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji“. [Ibrahim/14 : 14].
22. Al-Qur’an memberitakan perkara-perkara ghaib yang akan terjadi, tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ
“Golongan itu (yakni kafirin Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang“. [al-Qamar/54 : 45].
Dan sungguh orang-orang musyrik telah kalah dalam perang Badar, mereka lari dari medan peperangan. Al-Qur’an (juga) banyak memberitakan tentang perkara-perkara yang ghaib, kemudian terjadi setelah itu.
(Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dosen di Darul Hadits Al-Khairiyah di Makkah Al-Mukarramah)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Diterjemahkan oleh Ahmad Khamidin dari makalah yang berjudul Min Khashaish Al-Qur’an Al-Karim, di dalam majalah Al-Furqan no:85, hal: 24-25
[2] Penomoran dari penerjemah
[3] Tafsir Ibnu Katsir juz 2 hal. 65
[4] Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 2 hal. 167
[5] Juz 6 hal. 420
[6] Juz 14 hal. 161
[7] Lihat Ibnu Katsir juz 4 hal 443
Referensi : https://almanhaj.or.id/31597-keistimewaan-keistimewaan-al-quran-2.html
Ilmu Badi’, yaitu ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu di atas juga di sebut sebagai cabang ilmu balaghah yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al-Quran adalah mukjizat yang agung, maka dengan ilmu-ilmu di atas, kemukjizatan Al-Quran dapat di ketahui.
37. Macam Bentuk Ayat Mutasyabihat Lafdzi
Pembahasan ilmu Mutasyabihat terbagi menjadi dua yaitu Mutasyabihat Maknawi dan Mutasyabihat Lafdzi. Mutasyabihat Maknawi adalah kesamaran yang terkait dengan pemahaman dan penafsiran, sedangkan Mutasyabihat Lafdzi adalah kesamaran yang terkait dengan teks dan redaksi ayat.
Ayat yang termasuk Mutasyabihat Lafdzi bisa dikatakan sebagai ayat-ayat yang mirip atau serupa antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, karena kemiripannya yang menyebabkan suatu kesamaran atau kesulitan, menjadikannya termasuk cakupan ilmu Mutasyabihat.
Ayat-ayat Mutasyabihat Lafdzi memiliki beragam bentuk dan model. Dalam buku Nashruddin Baidan dijelaskan bahwa suatu ayat masuk kategori Mutasyabihat Lafdzi jika masuk dalam dalam tiga persyaratan berikut :
1. Ayat yang mirip teksnya dan membicarakan tema yang sama
2. Ayat yang mirip teksnya namun membicarakan tema yang berbeda
3. Ayat yang sama persis teksnya
Dari ketiga persyaratan di atas, cukup banyak ayat-ayat yang termasuk Mutasyabihat Lafdzi. Apalagi ayat masuk kategori “mirip” yang jika diuraikan bisa bermacam-macam bentuknya. Berbeda dengan ayat yang sama persis dengan mudah ditemukan dan tidak banyak.
Lalu apa saja contoh dari bentuk atau macam-macam ayat mutasyabihat lafdzi? Berikut ini dijelaskan macam-macam bentuk ayat mutasyabihat lafdzi dengan menguraikan panjang lebar ketiga persyaratan di atas.
1. Ayat yang sama persis teksnya (Tikrar)
Ayat yang sama dengan ayat lainnya, baik dari segi susunan maupun bentuknya. Dengan kata lain pengulangan atau tikrar. Ayat semacam ini cukup mudah ditemukan dan mudah dihafalkan karena sama persis teksnya. Diantaranya QS Al-Qamar ayat 17 dan 22.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
2. Ziyadah wa Nuqshan
Selanjutnya ayat yang masuk kategori mirip. Mirip ini bisa bermacam-macam. Ada ayat yang mirip dengan ayat lainnya namun ada yang dikurangi (nuqshan) ada pula yang ditambahi (ziyadah). Misalnya antara QS At-Tin ayat 6 dan QS Al-Insyiqaq ayat 25.
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍۭ
Perbedaannya hanya ada tambahan huruf “fa”. Dalam QS At-Tin ayat 6 terdapat tambahan huruf “fa”, sedangkan dalam QS Al-Insyiqaq ayat 25 tidak ada tambahan huruf fa-nya. Ini yang perlu diperhatikan bagi para penghafal al-Qur’an
3. Taqdim wa Ta’khir
Ayat yang masuk kategori mirip berikutnya adalah dari segi urutan redaksi. Ada kalanya redaksinya diletakkan di depan (taqim), dan ada kalanya redaksinya diletakkan di akhir (ta’khir). Misalnya antara QS Ali Imran ayat 129 dan QS Al-Maidah ayat 40.
وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ يَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ يُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Perhatikan kalimat yang diberi warna. Terlihat ada perbedaan dari segi urutan redaksi. Kata yagfhiru diletakkan di depan dalam QS Ali Imran ayat 129, sedangkan dalam QS Al-Maidah ayat 40 kata yaghfiru diletakkan di belakang.
4. Ma’rifat wa Nakirah
Ayat yang masuk kategori mirip berikutnya adalah dari segi bentuk umum redaksi. Ada kalanya redaksinya berbentuk khusus (ma’rifat), dan ada kalanya redaksinya berbentuk umum (nakirah). Misalnya antara QS Al-An’am ayat 93 dan QS As-Shaf ayat 7.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَ
Perhatikan kata terakhir dari potongan kedua ayat di atas, tepatnya kata “kadzib”. Dalam QS Al-An’am ayat 93 menggunakan bentuk nakirah dengan tanwin, sedangkan dalam QS As-Shaf ayat 7 menggunakan bentuk ma’rifat dengan tambahan al.
5. Mudzakkar wa Muannats
Ayat yang masuk kategori mirip berikutnya adalah dari segi jenis kelamin. Ada kalanya redaksinya berbentuk jenis laki-laki (mudzakkar), dan ada kalanya redaksinya berbentuk jenis perempuan (muannats). Misalnya antara QS Yusuf ayat 104 dan QS Al-An’am ayat 90.
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَٰلَمِينَ
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَٰلَمِينَ
6. Ibdal
Ayat yang masuk kategori mirip berikutnya adalah Ibdal atau pengganti. Pengganti ini bisa bermacam-macam mulai dari segi idhafah (penggabungan), khitab (lawan bicara), dan lain-lain. Misalnya antara QS Al-An’am ayat 151 dan QS Al-Isra’ ayat 31.
نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
Perhatikan penggunaan khitab dhamir (kata ganti) kum (kalian laki-laki) dan hum (mereka laki-laki). Dalam QS Al-An’am didahulukan dhamir kum lalu hum. Berbeda dengan QS Al-Isra’ ayat 31 yang mengawali dengan hum lalu kum.
Wallahu a’lam…
Source: https://www.khudzilkitab.com/2023/01/macam-macam-bentuk-ayat-mutasyabihat.html
Surat-surat dalam al-Qur’an memiliki nama masing-masing seperti surat al-Fatihah, al-Baqarah, hingga surat an-Nas. Selain nama per surat, ada juga nama untuk kelompok surat yang memenuhi kategori tertentu. Salah satunya adalah surat al-Hawamim.
Pengertian dan Keutamaan surat al-Hawamim
Secara bahasa, al-Hawamim merupakan jama’ atau bentuk plural dari kata Hamim (حم). Kata hamim merupakan salah satu huruf muqatha’ah yang juga menjadi salah satu pembuka surat-surat dalam al-Qur’an atau biasa disebut huruf fawatihus suwar.
Dengan kata lain, surat al-Hawamim adalah tujuh surat yang diawali dengan huruf huruf muqatha’ah berupa hamim. Surat-surat yang diawali hamim juga biasa disebut surat keluarga hamim atau alu hamim (ال حم) karena diawali hamim sekalipun setelahnya berbeda-beda.
Surat al-Hawamim ini memiliki nama-nama lain yang disebutkan dalam beberapa hadis maupun asar sahabat. Misalnya ada juga yang menamakannya dengan arais al-Qur’an (beberapa perhiasan al-Quran) sebagaimana hadis yang berbunyi
الْحَوَامِيْمُ دِيْبَاجُ الْقُرْآنِ
Artinya : Hawamin adalah perhiasan Al-Qur’an
Sama dengan redaksi hadis di atas yang diriwayatkan dari Anas, dalam sunan ad-Darimi juga terdapat hadis nomor 3288 yang menyebutkan terkait keutamaan surat al-Hawamim ini (arais al-Quran) dengan jalur yang lain yaitu
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ عَنْ مِسْعَرٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ كُنَّ الْحَوَامِيمُ يُسَمَّيْنَ الْعَرَائِسَ
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Ja’far bin ‘Aun] dari [Mis’ar] dari [Sa’d bin Ibrahim] ia berkata; Surat-surat yang diawali dengan (bacaan) HAA MIIM dinamakan dengan Al ‘Ara`is (para pengantin).
Surat-surat al-Hawamim
Apa saja surat al-Hawamim itu? Sesuai dengan pengertiannya, surat al-Hawamim adalah surat-surat yang diawali dengan huruf muqatha’ah berupa hamim. Dalam 114 surat di dalam al-Qur’an, setidaknya ada 7 surat yang masuk dalam kategori al-Hawamim.
Ketujuh surat yang masuk dalam kategori al-Hawamim adalah surat al-Mu’min (biasa juga disebut surat Ghafir), surat Fushshilat, surat as-Syura, surat az-Zukhruf, surat ad-Dukhan, surat al-Jatsiyah, dan surat al-Ahqaf. Berikut ini ditampilkan dua ayat awal dari masing-masing ketujuh surat.
1. Ayat pertama dan kedua QS Al-Mu’min
حمٓ 0 تَنزِيلُ ٱلْكِتَٰبِ مِنَ ٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْعَلِيمِ
2. Ayat pertama dan kedua QS Fushshilat
حمٓ 0 تَنزِيلٌ مِّنَ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
3. Ayat pertama dan kedua QS As-Syura
حمٓ 0 عٓسٓقٓ
4. Ayat pertama dan kedua QS Az-Zukhruf
حمٓ 0 وَٱلْكِتَٰبِ ٱلْمُبِينِ
5. Ayat pertama dan kedua QS Ad-Dukhan
حمٓ 0 وَٱلْكِتَٰبِ ٱلْمُبِينِ
6. Ayat pertama dan kedua QS Al-Jatsiyah
حمٓ 0 تَنزِيلُ ٱلْكِتَٰبِ مِنَ ٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَكِيمِ
7. Ayat pertama dan kedua QS Al-Ahqaf
حمٓ 0 تَنزِيلُ ٱلْكِتَٰبِ مِنَ ٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَكِيمِ
Semoga bermanfaat…
Source: https://www.khudzilkitab.com/2023/01/mengenal-kelompok-surat-al-hawamimm.html