• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Oktober 2025

Urwah bin Zubair

Bagikan

Terlahir pada tahun 23 Hijriyah, di masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Urwah tumbuh dalam keluarga kuat berpegang dengan Agama. Hal ini mewarnai kepribadian Urwah menjadi sosok yang luar biasa. Kuat dalam menuntut ilmu, berbalut kesabaran, berhias kedermawanan. [1]

Ibnu Syihab Az Zuhri sosok yang dikenal sebagai pelopor penulisan hadis-hadis Nabi pernah bercerita, “Ketika aku tiba di negeri Mesir, aku kerap menyampaikan hadis-hadis Said bin Al Musayyab. Maka Ibrahim bin Abdullah bin Qaridh berujar, “Tidaklah aku mendengarmu menyampaikan sebuah hadis melainkan itu berasal dari Ibnul Musayyab.” “Benar,” jawabku. Ibrahim kembali menukas, “Sungguh engkau telah meninggalkan dua orang lelaki dari kaummu yang tidaklah aku mengetahui orang yang paling banyak hafalan hadisnya mengalahkan mereka berdua. Urwah bin Zubair dan Abu Salamah bin Abdurrahman, merekalah orangnya.”

“Sekembalinya aku ke Madinah, akupun benar-benar mendapati Urwah laksana lautan yang tak akan pernah keruh airnya.”

Bahrun La Tukaddiruhu Ad Dila’, demikian Az Zuhri menyifatinya. Sebuah permisalan agung. Lambang persaksian akan kedalaman ilmu serta melimpah-ruahnya hafalan hadis yang dimiliki oleh seorang Urwah. Layaknya samudera luas yang tiada berdasar. Bak lautan biru dengan jumlah airnya yang tak mampu ditakar.

Tidak seperti sumur dengan airnya. Timba demi timba yang secara terus menerus mengambil airnya, pada satu titik akan membuat sumur itu mulai mengeruh. Endapan tanah di dasarnya perlahan mulai terangkat seiring dengan menurunnya jumlah debit air yang dikandungnya. Air yang keruh itupun menjadi sinyal peringatan awal akan menipisnya ketersediaan air yang ada.

Lain halnya dengan samudera bebas. Kian banyak upaya kita mereguk airnya, semakin kita tersadar bahwa itu adalah sebuah upaya yang sia-sia. Satu usaha yang justru hanya mengklarifikasi nyata bahwa ketersediaan air padanya tak kenal kata sirna. Seperti itulah permisalan luasnya ilmu Urwah bin Az Zubair di mata Az Zuhri.

WUJUD SEMANGAT DAN CITA-CITA
Menjadi mulia dan dimuliakan, baik semasa di dunia maupun di akhirat kelak. Kalimat tersebut adalah sebuah janji. Komitmen saat seorang hamba berhiaskan diri dengan iman dan ilmu syar’i. Hanya saja, keilmuan bukanlah sebuah pemberian cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar. Ada pula tenaga yang harus ditebar. Al Imam Yahya bin Katsir pernah berujar, ” Ilmu tidaklah diraih dengan bersantai diri. Sebuah kalimat yang kata demi katanya terukir melalui proses percobaan yang telah beliau sendiri buktikan.

Meraih ketinggian derajat dengan ilmu syar’i tentu tidak semudah membalikkan tangan. Upaya nyata haruslah menjadi bukti dan tidak sekadar angan-angan di dalam hati. Dalam hal ini, Urwah bun Zubair patutlah kiranya menjadi salah satu cerminan.

Dalam sebuah kesempatan, beliau berkisah, “Adakalanya aku mendengar tentang sebuah hadis Rasulullah yang ada pada salah seorang shahabatnya. Tanpa pikir panjang, akupun bersegera pergi menemuinya demi menanyakan dan mendengarnya secara langsung. Setibanya aku di kediamannya, ternyata shahabat tersebut tengah beristirahat siang. Maka yang aku lakukan saat itu adalah duduk bersimpuh di depan pintunya. Menantikan keluarnya beliau sampai terpenuhi apa yang tadinya menjadi tujuanku.”

Sepenggal kisah di atas bukanlah sebuah sikap yang instan dan spontan. Jauh hari sebelum itu Urwah muda telah bermantap jiwa menyerukan citanya. Impian yang sederhana. Harapan yang tidak muluk-muluk. Berikut ini kisah singkatnya.

Nun jauh di sisi Kakbah, dalam sebuah majelis sederhana, terlontarlah sebuah ungkapan. Agar masing-masing dari sekelompok anak muda yang hadir menyuarakan apa yang diimpikannya di masa depan. Dengan semangat, satu demi satu kawan sebayanya melantunkan cita-citanya, dari yang menjadi penguasa wilayah tertentu, hingga khalifah kaum muslimin. Sementara itu Urwah muda masih tampak terpekur dalam diamnya. Tak kunjung mengungkapkan apa yang diimpikannya. Perlahan segenap pandangan tertuju kepadanya. Berharap menyaksikan bibir pemuda itu bergerak. Sebagaimana halnya sekian pasang telinga yang ada turut menanti. Sejurus kemudian terucaplah kalimat itu, “Aku hanya ingin menjadi sesosok orang yang umat manusia akan mengambil ilmu dariku.”

Ucap impian itu usai sudah menghela cita-cita mulia dalam jiwanya. Maka bergulirlah roda perjalanan beliau dalam menimba ilmu demi mewujudkannya. Semenjak kecil minatnya hanya satu kata semata, ilmu. Tak ada yang bisa mengalihkan fokus dan perhatiannya dari jalan thalabul ilmi. Bahkan sekalipun saat saudaranya Abdullah bin Zubair memegang tampuk kekuasaan wilayah negeri Hijaz. Jabatan strategis dan terhormat semisal gubernur maupun hakim yang memutuskan perkara, tak ada satupun yang membuatnya tertarik. Minatnya hanya satu, menambah perbendaharaan keilmuannya sebanyak yang ia mampu.

Sehingga, alangkah beruntungnya beliau saat memiliki akses mudah untuk keluar masuk menemui Ummul Mukminin Aisyah. Istri Nabi yang sejak usia belianya telah bersandingkan diri dengan Sang Penyampai Wahyu Ilahi. Dimana sosok shahabiyyah yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasululullah ini masih terhitung mahram beliau. Bibi dari jalur Ibundanya, Asma’ bintu Abu Bakar Ash Shiddiq. Kedekatan hubungan ini tidak lantas menjadi sebuah kebanggaan semata, namun benar-benar menjadi satu kesempatan emas yang tidak disia-siakan oleh beliau.

Bagaimana mungkin momen ini tidak dimanfaatkannya secara optimal, sementara Abu Musa Al Asy’ari pernah mengemukakan, “Tidaklah kami (yakni para sahabat.pent) mendapati sebuah hadis yang membuat kami bertanya-tanya akan makna dan penjelasannya melainkan pasti kami dapati pada diri ummul mukminin Aisyah ilmu yang menjelaskannya.”

Kelak dikemudian hari, kawan seperjuangannya dalam berthalabul ilmi ini pun mengakui, hubungan itulah yang menjadi faktor pembeda. Sebuah keutamaan nasab yang membuat Urwah bin Zubair jauh beberapa langkah di depan mereka dalam hal keilmuan. Mengalahkan yang lain dalam hal menyerap segala apa yang dilihat, didengar, dialami, dan diajarkan bibi beliau secara langsung dari Rasulullah

Seiring dengan momen kebersamaan ummul mukminin Aisyah dengan Nabi yang tidak sebentar, tidak jarang dijumpai tuntunan nubuwwah yang bermuara tunggal penceritaannya dari Aisyah seorang. Yang kalaulah bukan dengan periwayatannya niscaya akan lenyap sunnah tersebut.

Qabishah bin Dzualb bercerita, “Di zaman kekhilafahan Muawiyah bin Abi Sufyan, pada malam-malam harinya kami (beliau menyebutkan beberapa nama kawan sebayanya termasuk Urwah bin Zubair pent) biasa bersama-sama menghadiri majelis ilmu yang ada di masjid. Sementara di siang harinya, kami berpisah. Masing-masing mendatangi sahabat Nabi yang hendak diambil ilmunya. Adapun aku, Zaid bin Tsabit lah yang kupilih. Dan adalah beliau sosok yang dipandang terdepan dalam hal qadha’, fatwa, ilmu qira’ah dan faraidh baik di masa kepemimpinan Umar, Utsman maupun Ali. Di lain kesempatan aku duduk bermajelis di hadapan sahabat Abu Hurairah. Namun Urwah tetaplah Urwah, yang selalu mengalahkan kami seiring dengan keluar masuknya ia ke rumah Ummul Mukminin Aisyah.”

Tentang upayanya dalam menggali ilmu dari Sang bibi tercinta, Urwah menyebutkan, “Sungguh aku telah mendapati diriku sekitar empat tahun sebelum wafatnya Ummul Mukminin Aisyah bergumam dalam hati, ‘Sekiranya beliau wafat hari ini, niscaya tak kan ada rasa penyesalan dalam diriku dengan hadis-hadis yang ada pada beliau. Tidaklah tersisa sebuah hadis pun pada beliau melainkan aku telah menghafalkannya.””

Dalam riwayat lain, Hisyam bin Urwah bin Zubair menuturkan ucapan ayahandanya, “Telah aku tinggalkan Ummul Mukminin Aisyah (untuk mengambil hadisnya.pent) tiga tahun sebelum kematiannya (lantaran beliau telah menghafalkan seluruh hadis yang diriwayatkannya.pent).”

Jangan lupa, beliau tidak berguru hanya pada satu orang. Cita-cita mulianya untuk memberikan sumbangsih ilmu membuat nyala semangat berburu ilmunya senantiasa berkobar tak kenal kata redup. Maka tak heran bila suatu ketika putra beliau yang bernama Hisyam pernah berkata, “Sungguh demi Allah, kita belumlah mempelajari satu juz (bagian) dari duaribu atau seribu juz hadis yang ada pada ayahandaku.”

Hal inilah di antara perkara yang menjadi sebab harumnya nama Urwah dalam dunia keilmuan. Salah satu dari sebagian kecil tabiin yang dilabeli sebagai fuqaha (ahli agamanya) bumi Madinah ketika itu. Berikut ini sekelumi gambaran bagaimana kadar beliau di tengah umat Nabiyullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Abdurrahman bin Humaid bin Abdurrahman bin Auf mengisahkan, “Ketika aku dan ayahku tengah memasuki Masjid Nabawi, kami mendapati orang-orang tengah berkumpul di sebuah majelis. Mengitari seorang lelaki yang ketika itu tidak tampak begitu jelas sosoknya lantaran banyaknya manusia yang berkerumun di majelisnya. Seketika itupula aku diminta untuk pergi melihat dan memastikan, siapa gerangan sosok lelaki tersebut. Ketika aku dapat melihatnya dengan jelas, ternyata Urwah bin Zubair lah orangnya. Akupun segera memberitahukan hal itu kepada ayahku tanpa bisa menyembunyikan keterkejutanku. Saat melihatku takjub, ayahku berujar menimpali, ‘Wahai putraku, janganlah engkau terkejut karenanya! Sungguh aku benar-benar telah melihat para sahabat Nabi menanyakan permasalahan agama kepadanya

Seiring dengan kegigihan beliau dalam mendulang mutiara-mutiara kenabian, memburunya dari satu majelis ke majelis yang lain, beliau pun dikenal memiliki keistemewaan dalam hal menyampaikan dan mengajarkan hadis-hadis yang dimiliki dan dihafalkan olehnya. Seakan menyadari sepenuh hati bahwa tugas seorang yang berilmu tidak berhenti seiring dengan banyaknya ilmu yang telah diraih. Ada tugas berikutnya yang tak kalah mulia, yaitu menyampaikan dan menebar ilmu berikut nilai-nilai kebaikan yang dikandungnya kepada semesta manusia. Seolah seruan cita-citanya di masa muda tidak berhenti terus bergema di dalam jiwanya. Senantiasa mengingatkan empunya dari waktu ke waktu.

Ibnu Syihab Az Zuhri menceritakan kepada kita tentang hal ini. Kata beliau, “Dahulu Urwah bin Zubair senantiasa mendekati manusia dengan hadis-hadis yang beliau sampaikan.” Yataallafu an nasa bi hadisihi, demikian Imam Az Zuhri membahasakannya. Bukan lantaran popularitas dunia yang hendak dikejar. Bukan pula keinginan untuk dianggap dan diorangkan. Apalagi pundi-pundi harta yang diharapkan. Namun lebih kepada kesadaran hatinya yang tulus mengharapkan kebaikan untuk umat agar turut mendengar apa yang datangnya dari Sang Teladan Nabiyullah shallallahu alaihi wasallam. Bagi beliau ilmu serupa amanah di pundak, yang menuntut pemikulnya untuk menyampaikannya kepada umat. Terlebih lagi bila mengingat besarnya keutamaan para pengajar kebaikan, berikut keagungan dan keabadian nilai-nilai sedekah ilmu yang diamalkan oleh pendengarnya.

Saat masa muda telah berlalu, maka jadilah kesibukan beliau mengajar, menyampaikan, serta menyebarkan kemuliaan ilmu pengetahuannya dengan cara uniknya yang mulia pula. Tak hanya menyeru dan memotivasi umat untuk belajar kepadanya, namun beliau berupaya sekuat tenaga untuk memberikan dukungan, bantuan dan sokongan yang bisa kian memudahkan mereka untuk menimba ilmu dan beliau. Harta perbekalan, dukungan fasilitas dan sarang tak luput beliau infakkan di jalan Allah teruntuk mereka mereka yang tengah mengambil ilmu darinya. Sekali lagi, semua itu dikarenakan salah satu keinginan terbesarnya agar semakin banyak sosok-sosok yang melanjutkan tongkat estafet periwayatan hadis yang didengarnya.

ISTANA AQIQ & SUMUR URWAH
Ilmu adalah pelita. Yang akan menuntun pemiliknya dalam gelap menuju jalan keselamatan. Sebagaimana pula ilmu itu menjadi benteng penjaga. Yang melindunginya dari terjangan fitnah yang datang memburu dan menyerbu. Layaknya alarm dini, ilmu pula yang akan memberikan peringatan awal datangnya sesuatu yang mengancam keselamatan agamanya. Dengannya seseorang akan lebih waspada dan kian awas dalam mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi.

Atas dasar inilah Urwah bin Zubair lebih memilih pergi menyendiri. Mengasingkan diri dalam rangka menyelamatkan agamanya saat mendapati kemungkaran- kemungkaran di masa pemerintahan dinasti Umayyah. Satu hal yang rentan menyulut gejolak api fitnah di kalangan rakyat dan mengundang amarah serta hukuman dari Allah Pantaslah kiranya bila Al Ijliy pernah berkata tentang Urwah, “Warga Madinah yang terpercaya, sosok lelaki saleh yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Tak pernah sekalipun ia melibatkan diri dalam fitnah-fitnah yang terjadi pada masanya.”

Beliaupun pergi menuju tempat bernama Aqiq. Untuk kemudian membangun tempat tinggal di sana. Sebuah kediaman besar dengan benteng yang mengelilingi. Layaknya sebuah istana. Yang hingga hari ini pun sisa-sisa bangunan tersebut masih dapat dijumpai dalam radius sekitar 3 km dari arah Masjid Nabawi.

Memang, ada satu masa dimana Allah justru bukakan lebar-lebar pintu dunia untuknya. Sesuatu yang hakikatnya sama sekali bukan dari angan-angannya di dunia ini. Bisa jadi, semua itu lantaran dari tekad beliau dalam menginfakkan hartanya untuk para penuntut ilmu, sehingga Allah justru memberikan apa yang dengannya seorang Urwah bisa semakin mendukung niat baik mereka. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau memiliki kebun-kebun kurma, yang saat tiba masa panen, beliau buka salah satu sisi pagar kebun yang ada agar bisa menjadi akses bebas orang-orang untuk turut bisa menikmati hasilnya.

Beliau juga dikenal memiliki sumur yang digali dengan pendanaan darinya. Bi’ru Urwah, demikian sumur itu dinamakan. Yang tentangnya, Ibnu Khalliqan gambarkan, Tidak ada air sumur di kota Madinah yang rasa tawar dan kesegarannya mengalahkan airnya sumur Urwah.” Kadar airnya yang melimpah ruahpun tak luput dirasakan manfaatnya bahkan oleh warga di luar kota Madinah. Singkatnya, kedermawanan beliau tak hanya dalam menebar ilmu yang dengannya agama seseorang tegak karenanya. Namun beliau infakkan pula harta yang dengannya akan tegak dunia mereka pula.

KARENA ENGKAU MASIH SISAKAN YANG LAIN
Layaknya seorang hamba yang tiada mampu menghindar dari suratan ujian dan cobaan, demikian pula halnya apa yang dialami oleh Urwah bin Zubair . Bukankah adakalanya sebuah derita merupakan tanda cinta Sang Pencipta teruntuk hambanya? Dengan musibah dialami tersebut munajat dan ibadah hamba kepada Allah akan semakin kuat terajut. Musibah yang datang bertubi- tubi kepada beliau justru kian menampakkan kilau nyata keilmuan yang menerangi jiwanya. Seterang akal sehatnya yang gemerlap dengan pancaran kelimuan. yang

Al Akalah. Demikian penyakit itu disebut. Sejenis infeksi bakteri serius yang menghancurkan jaringan di bawah kulit. Penyakit yang juga dikenal dengan nama lain “pemakan daging” ini lazim dijumpai pada penderitanya menyebar dengan sangat cepat. Allah menghendaki ujian berupa penyakit ini menimpa Sang Muhaddits.

Dalam sebuah perjalanannya menuju Damaskus, saat hendak bertemu dengan khalifah ketika itu, beliau terluka di salah satu bagian kakinya. Tak disangka, ternyata itu bukanlah luka biasa. Dengan cepat infeksi akibat luka tersebut menjalar ke bagian lutut kakinya. Tidak tinggal diam, mendapati Urwah dalam kondisi seperti itu, khalifah meminta untuk didatangkan segera tim medis demi mengobati dan menyembuhkan lukanya. Hasil diagnosa medis mengatakan bahwa tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan Urwah kecuali untuk mengamputasi kaki yang terinfeksi. Tanpanya, penyakit itu akan terus menggerogoti bagian tubuh yang lain. Hingga pada satu titik justru akan mengancam keselamatan jiwanya.

Proses amputasi segera dijalankan. Namun masalah lain justru menghadang tim medis saat hendak memulainya. Sang pasien menolak untuk dibius. Urwah enggan untuk menerima apa yang menyebabkan kesadarannya hilang. Beliau memilih tetap dalam kondisi sadar saat diamputasi. Zikir dan bacaan Qurannya akan menjadi ganti bius yang menghilangkan rasa sakitnya.

Tak ada pilihan lain, amputasi harus segera dimulai. Bayang-bayang sang pasien yang meronta-ronta sekuat tenaga saat gergaji mulai membelah tulang kaki menggelayuti benak tenaga kesehatan yang tengah bersiap diri. Terlebih saat mereka tidak mendapati adanya tangan- tangan kukuh yang akan memegangi dan menahan gerak kesakitan sang pasien. Namun, bagi Urwah beliau hanya membutuhkan hati dan lisan yang bisa terus bermunajat kepada Rabbnya. Hanya itu. Tidak lebih.

Pengamputasian pun dimulai. Tak disangka lagi sulit dicerna. Apa yang dikhawatirkan tim medis urung terjadi. Urwah tetap tenang dalam balutan zikirnya. Saat gemerisik bunyi gergaji tengah memotong kakinya hingga lutut. Sebentuk ketahanan diri yang tidak biasa dari sesosok lelaki yang tak lagi muda. Satu-satunya hal yang menaklukkannya adalah saat gergaji besi telah usai memotong kakinya, minyak panas didatangkan guna menghentikan pendarahan sekaligus menutup luka bekas amputasi yang ada. Saat kaki yang masih mengucurkan darah tersebut dicelupkan ke minyak yang panas, detik itupula beliau pingsan. Tak mampu lagi menahan rasa sakit yang ada. Sebuah pemandangan bak sembilu yang serasa mengiris-iris sang kalbu.

Waktu berlalu. Kaki beliau belumlah pulih benar saat tiba-tiba datang seorang lelaki yang mengunjunginya, Melihatnya, Urwah segera berujar, “Jika kedatanganmu kemari dalam rangka hendak berbelasungkawa dengan apa yang menimpa kakiku ini, maka ketahuilah sesungguhnya aku telah berharap pahala atasnya kepada Allah.” “Tidak. Justru aku hendak memberitahumu dengan apa yang baru saja menimpa putramu, Muhammad,” tukas lelaki tadi. Urwah bertanya, “Ada apa dengannya?” Sang tamu itu lalu menceritakan perihal apa yang menimpa putranya. Putra yang teramat ia sayangi, yang menemani perjalanannya itu meningggal dengan sebab yang sama sekali tidak terduga. la jatuh di kandang kuda, lalu kuda yang ada di sana menendang dan menginjaknya hingga tewas. Musibah di atas musibah. Yang satu belum berlalu, datang yang lain menghampiri.

Namun tokoh kita kali ini bukanlah sembarang orang. Simaklah kalimat pertama yang meluncur dari kedua bibirnya saat pertamakali mendengar berita tersebut. Ucap ketabahan diri yang disepuh dengan ilmu syar’i saat menyikapi sebuah ujian yang teramat berat dirasa di hati. Kata beliau:

“Wahai Rabb-ku, sekiranya engkau telah merenggut salah satu anggota badanku, maka sesungguhnya engkau telah sisakan untukku anggota-anggota badan yang lain. Dan bilamana engkau ambil salah seorang putraku kehariban-Mu, maka sungguh anak-anak yang Engkau sisakan di sisiku masihlah lebih banyak dari yang Engkau ambil.” Hanya kalimat itu yang terucap, tanpa ada isak tangis yang menemani, tidak pula ratapan kesedihan yang mengiringi.

Sangat banyak murid-murid mumpuni yang terbentuk dari madrasah ilmiyah beliau. Di antaranya putra-putra beliau; Yahya, Utsman, Hisyam, dan Muhammad. Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin Abdurrahman, Ibnu Syihab, Shafwan bin Sulaim, Bakar bin Sawadah, Yazid bin Abi Habib, Abu Zinad, Muhammad bin Al Munkadir, Abul Aswad Muhammad bin Abdurrahman, Shalih bin Kaisan, Amr bin Abdillah bin Urwah, Muhammad bin Ja’far bin Az Zubair, dan masih banyak lagi. Urwah bin Az Zubair meninggal dalam usia 67 dalam keadaan berpuasa. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau. Amin. Allahu a’lam. [2]

Rahimahullah. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada sosok ‘alim rabbani yang satu ini. Lautan ilmu yang tak segan berbagi. Samudera pengetahuan, dengan debur ombaknya yang senantiasa mendorong manusia untuk turut menyelami kebaikan yang dikandungnya. Untuk berlayar bersama menuju rida-Nya yang abadi.

Dikutip dari Majalah Qudwah | Buku Kisah Indah Ulama Salaf, Media Tashfiyah.
Referensi : https://www.atsar.id/2023/10/biografi-urwah-bin-zubair.html

Pagi itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya keemasan di atas Baitul Haram, menyapa ramah pelatarannya yang suci. Di Baitullah, sekelompok sisa-sisa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tokoh-tokoh tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan tahlil dan takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan doa-doa yang shalih.

Mereka membentuk halaqah-halaqah, berkelompok-kelompok di sekeliling Ka’bah agung yang tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan kemegahan dan keagungannya. Mereka memanjakan pandangan matanya dengan keindahannya yang menakjubkan dan berbagi cerita di antara mereka, tanpa senda gurau yang mengandung dosa.

Di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.

Di dekat rukun Yamani, duduknya empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan meraka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.

Keempat remaja itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mush’ab bin Zubair, saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair dan satu lagi Abdul Malik bin Marwan.

Pembiacaraan mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Maka khayalan mereka melambung tinggi ke alam luas dan cita-cita mereka berputar mengitari taman hasrat mereka yang subur.

Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara: “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.”

Saudaranya, Mus’ab menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.”

Giliran Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”

Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun. Semua mendekati dan bertanya, “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim [orang berilmu yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunah Nabi-Nya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Hari-hari berganti serasa cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at menjadi khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang telah meninggal. Dia menjadi hakim atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan, dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka’bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-cita dahulu.

Sedangkan Mus’ab bin Zubair telah mengauasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Adapun Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya, dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.

Bagaimana halnya dengan Urwah bin Zubair? Mari kita ikuti kisahnya dari awal…

Beliau lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khilafah al-Faruq Radhiyallahu ‘Anhu. Dalam sebuah rumah yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan paling luhur martabatnya.

Adapun ayahnya bernama Zubair bin Awwam, “al-Hawari” (pembela) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam serta termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Sedangkan ibunya bernama Asma binti Abu Bakar ash-Shidiq yang dijuluki dzatun nithaqain [pemilik dua ikat pinggang].

Kakek beliau dari jalur ibu adalah Abu Bakar ash-Shidiq, khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menemani beliau di sebuah goa.

Sedangkan nenek dari jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bibinya adalah Ummul Mukminin, bahkan dengan tangan Urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah ummul Mukminin.

Maka siapa lagi kiranya yang lebih unggul nasabnya dari beliau? Adakah kemuliaan di atasnya selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?

Demi merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah yang diutarakan di sisi Ka’bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam usahanya mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para shahabat Rasulullah yang masih hidup.

Beliau mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Beliau meriyawatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir dan banyak pula mengambil dari bibinya, Aisyah Ummjul Mukminin. Pada gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi satu di antara fuqaha sab’ah (tujuh ahli fikih) Madinah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.

Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepada beliau baik tentang urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada beliau. Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai gubernur di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.

Usai shalat zuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di sisinya, maka beliau melapangkan majlis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata, “Saya mengundang Anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat Alquran setiap siang dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat Alquran dengan hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang sebentar lagi akan kami beritakan kepada Anda.

Dengan menunaikan shalat, Urwah memperolah ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan surga di dunia. Beliau tunaikan sebagus mungkin, beliau tekuni rukun-rukunnya secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat mungkin.

Telah diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah, aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”

Urwah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu sebagai jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.

Begitulah, orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap memasuki kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaa allah, laa quwwata illaa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. Al-Kahfi: 39)

Suatu masa di zaman khilafah al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorang pun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan.

Tatkala amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.

Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, laksana angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.

Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.

Kemudian bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apapun.

Namun para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.

Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah: “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.” Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.” Beliau berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”

Mulailah tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illallah Allahu Akbar,” sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.

Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan di betis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dant terhenti membaca ayat-ayat Alquran di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang beliau jaga semenjak remajanya.

Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”

Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:

Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang meragukan
Tidak juga kakiku membawaku kepada kejahatan
Telinga dan pandangan mataku pun demikian
Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan telah menimpa orang lain sebelumku.

Kejadian tersebut membuat Amirul Mukminin, al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.

Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebutaannya. Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di suatu lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seekor onta yang lari dari saya. Maka saya taruh bayi yang saya bawa di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa juh, saya mendengar jerit tangis bayi itu. Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala, dia telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu sudah habis dilalapnya. Lalu serigala tersebut lari dengan kencangnya. Akhirnya saya kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendakat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya. Demikianlah, saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.

Kemudian al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”

Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lebih darinya.”

Demi melihat kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.

Yang paling baik di antara ungkapan teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah: “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjadim kebagusan hisab untukmu.”

Urwah bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian beliau yang paling besar adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Beliau tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.

Tak bosan-bosannya beliau memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Beliau berakata, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan: “Sungguh menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?”

Beliau anjurkan pula kepada mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian menghadiahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan apa yang kalian merasa malu menghadiahkannya kepada para pemimpin kalian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan diutamakan.”

Beliau senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi hakikatnya. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, jika engkau melihat kebaikan pada seseorang maka akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan banyak orang dia adalah orang jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya. Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab setiap perbuatan ada kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan kebaikan setelahnya dan kejahatan menyebabkan timbulnya kejahatan berikutnya.”

Beliau juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah ramah. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah, “Jadikanlah tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih disukai orang daripada suatu pemberian.”

Jika beliau melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan, diingatkannya betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membiasakan diri untuk hidup sederhana.

Sebagai contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin al-Munkadir, “Aku bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku sambil berkata, “Wahai Abu Abdillah.” Aku jawab, “Labbaik.”

Urwah berkata, “Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah, lalu beliau berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, ada kalanya selama 40 hari tak ada api menyala di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk lampu ataupun memasak.” Maka aku bertanya, “Bagaimana Anda berdua hidup pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma dan air.”

Urwah hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian, dan diliputi ketaqwaan. Ketika dirasa ajalnya sudah dekat dan dia dalam keadaan berpuasa, keluarganya mendesak agar beliau mau makan, tetapi beliau menolak keras karena ingin berbuka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan minuman dari telaga al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh para bidadari cantik di surga.

Artikel www.KisahMuslim.com
Referebsi : https://kisahmuslim.com/2792-urwah-bin-zubair.html

A. Nama dan Asalnya
Ia adalah Abū ‘Abdillāh ‘Urwah bin al-Zubair bin al-‘Awwām bin al-Khuwailid bin Asad bin ‘Abdi al-Uzzā bin Quṣai bin Kilāb, seorang ulama yang warak dan berwibawa, cahaya kemuliaan terpancar dari ilmunya dan juga nasabnya.[1]

Dari sisi keilmuan, ia dikenal sebagai seorang imām, guru besar, dan tokoh ulama kota Madinah, ia termasuk salah satu dari al-fuqahā’ al-sab’ah (7 pakar fikih para tābi’īn di kota Madinah).

Adapun kemuliaan dari sisi nasabnya, ‘Urwah merupakan cucu dari bibi Nabi ﷺ, Ṣafiyah binti ‘Abdi al-Muṭṭalib raḍiyallāhu ‘anhā, kakeknya dari jalur ibu adalah Abū Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu, ibunya adalah żātu al-niṭāqain, Asmā’ binti Abī Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhumā, sedang ayahnya merupakan hawārī Rasulillāh, Zubair bin al-Awwām, bibinya adalah ‘Ā’isyah binti Abī Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhumā, istri tercinta Nabi ﷺ. [2]

Ia lahir pada tahun 23 H di kota Madīnah, pada akhir pemerintahan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu. Saat itu kota Madinah merupakan pusat ilmu Islam, para ulama dari kalangan sahabat masih mendiami kota itu, keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan, situasi politik sangat kondusif, karena kepemimpinan dikelola oleh para khulafā’u al-rāsyidūn.

B. Perkembangan Keilmuannya
Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Demikianlah pepatah yang serasi dengan ‘Urwah bin al-Zubair. Sejak kecil ‘Urwah fokus menimba ilmu dari orang tuanya. Tangga-tangga ilmu mulai ditapakinya dengan bimbingan ayah dan ibunya. Dasar-dasar ilmu periwayatan hadīṡ dan fikih bagai batu fondasi yang mulai ia susun untuk menjadi suatu bangunan ilmu dengan dibimbing oleh seorang pakar, yaitu bibinya, ‘Ā’isyah binti Abī Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu.

Kerja keras, disiplin dan tekad yang kuat dapat menyingkirkan semua kesulitan dalam proses studi ‘Urwah bin al-Zubair. Motivasi terbesar dalam hidupnya adalah bagaimana ia dapat memberi manfaat ilmu kepada manusia.

Abū Nu’aim al-Aṣbahānī dalam Ḥilyatu al-Auliyā’, mengisahkan betapa besar obsesi mimpi ‘Urwah bin al-Zubair yang ia cita-citakan di sisi ka’bah, dekat rukun Yamani:

عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، قَالَ: اجْتَمَعَ فِي الْحِجْرِ مُصْعَبٌ وَعُرْوَةُ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، فَقَالُوا: تَمَنَّوْا، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ: أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى الْخِلَافَةَ، وَقَالَ عُرْوَةُ: أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى أَنْ يُؤْخَذَ عَنِّي الْعِلْمُ، وَقَالَ مُصْعَبٌ: أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى إِمْرَةَ الْعِرَاقِ… وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: «أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى الْمَغْفِرَةَ» قَالَ: فَنَالُوا كُلُّهُمْ مَا تَمَنَّوْا، وَلَعَلَّ ابْنَ عُمَرَ قَدْ غُفِرَ لَهُ.[3]

Maknanya:

Dari Abū al-Zinād (‘Abdullāh bin Żakwān, w.130 H) ia berkata, ‘Pernah berkumpul di sisi rukun Yamani, yaitu Mus’ab bin al-Zubair, ‘Urwah bin al-Zubair, ‘Abdullāh bin al-Zubair dan ‘Abdullāh bin ‘Umar’. Mereka pun berkata, ‘Kemukakanlah cita-cita kalian’. ‘Abdullāh bin al-Zubair berkata, ‘Xita-citaku adalah menguasai kekhilafahan’. ‘Urwah berkata, ‘Adapun cita-citaku adalah (menjadi seorang ‘alim) sehingga aku dapat membagi ilmu’. Mus’ab berkata, ‘Keinginanku adalah dapat menguasai wilayah Irak’. Lalu ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata, ‘Xita-citaku adalah aku mendapat ampunan (dari Allah)’. Berkata Abū al-Zinād, ‘Maka mereka semua dapat mencapai cita-citanya, dan semoga Ibnu ‘Umar telah mendapat ampunan (yang ia cita-citakan)’.”

Cita-cita tidak akan dicapai kecuali dengan kerja keras dan kesungguhan. Kisah kesungguhan ‘Urwah bin al-Zubair dituturkan oleh sahabatnya, Qabīṣah bin Żu’aib, ia berkata, “Dahulu di pemerintahan Mu’āwiyah, kami sering menghadiri majelis ilmu di masjid, aku, Mus’ab bin al-Zubair, ‘Urwah bin al-Zubair, Abū Bakr bin ‘Abdirraḥmān, ‘Abd al-Mālik bin al-Marwān, dan beberapa remaja lainnya. Di pagi hari, kami berpencar mencari guru (untuk belajar). Aku sering duduk (belajar) kepada Zaid bin Ṡābit, saat itu ia menjabat sebagai hakim dan mufti penduduk Madinah. Lalu aku dan Abū Bakr bin ‘Abdurraḥmān bermulazamah kepada Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu. Namun kami dikalahkan ‘Urwah bin al-Zubair, karena ia boleh belajar langsung kepada bibinya, Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā.”[4]

‘Urwah bin al-Zubair unggul atas kawan-kawannya, karena disamping ia berguru dari para sahabat laki-laki, ia juga dapat berguru langsung kepada bibinya, Ā’isyah binti Abī Bakr raḍiyallāhu ‘anhumā, tak tersisa sedikitpun dari ilmu bibinya kecuali telah dikuasai seluruhnya tiga tahun sebelum bibinya wafat.[5]

‘Urwah pernah berkata, “Kadang jika aku ingin mempelajari satu hadīṡ dari seorang sahabat Nabi, aku bersabar menunggunya di depan pintu rumahnya yang sedang beristirahat, hingga ia terjaga dan keluar rumah, barulah aku menanyakan hadīṡ itu padanya.”[6]

Setelah proses studi yang panjang, jadilah ia salah satu dari al-fuqahā’ al-sab’ah.[7] Istilah ini dikenal karena ketujuh ulama ini adalah ulama yang sangat pakar dalam ilmu syar’i sepeninggal para sahabat Nabi. Mereka adalah puncak menara ilmu Islam zaman tābi’īn, sehingga ‘Umar bin ‘Abdul’azīz (khalifah ke-8 Bani Umayah) menjadikan mereka sebagai mustasyārīn (penasihat pemerintahan kekhilafahan).[8]

C. Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Guru bagai pelita dalam kegelapan setiap zaman dan peradaban. Terangnya cahaya pengajaran seorang guru akan selalu menyinari qalbu muridnya, agar selamat dalam menyusuri lorong gelap penyimpangan pemikiran. Keteladanan akhlak seorang guru selamanya akan menjadi embun penyejuk di tengah kegersangan dan kekeringan moral manusia.

Sebagai seorang tābi’īn, guru-guru ‘Urwah bin al-Zubair adalah para sahabat. Tercatat bahwa ‘Urwah bin al-Zubair berguru dari banyak sahabat Nabi, antara lain Ā’isyah binti Abī Bakr al-Siddīq, Sa’īd bin Zaid, ‘Ālī bin Abī Ṭālib, Sahl bin Abī Haṡmah, Sufyān bin ‘Abdillāh al-Ṡaqafī, al-Ḥasan, al-Ḥusain, Muḥammad bin Maslamah, Abū Hurairah, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, Zaid bin Ṡābit raḍiyallāhu ‘anhum.

Keberhasilan seorang guru dapat dilihat dari kesuksesan murid-muridnya. Setelah ‘Urwah bin al-Zubair mengabdikan diri sebagai pengajar di kota Madinah, lahirlah dari didikannya murid-murid terbaik yang menjadi ulama besar di masa itu. Di antara murid-muridnya adalah putra-putranya sendiri: Hisyam, Muḥammad, Usmān, Yaḥyā, dan ‘Abdullāh. Belajar juga darinya, Muḥammad bin Syihab al-Zuhrī, Ṣafwān bin Muslim, Yazīd bin Abī Habīb, Muḥammad bin al-Munkadir, Ṣalih bin Kaisān, dan lainnya.[9]

Kontribusi ‘Urwah bin al-Zubair dalam Islam sangatlah besar. Dalam mengabadikan sunah Nabi ﷺ -sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an- namanya selalu termasuk dalam mata rantai periwayat yang ṡiqah. Keteladanannya dalam ibadah memotivasi umat agar selalu menghambakan diri kepada Sang Pencipta. Kedermawanan yang dicontohkannya mendorong orang berpunya agar peduli kepada sesama. Teladan dalam kesabarannya, membangun benteng ketabahan dalam hati setiap insan yang menelisik tepi sejarahnya.

D. Apresiasi Ulama terhadapnya
Imām al-Żahabī (w. 748 H) berkata dalam Siyar-nya, “ ‘Urwah bin al-Zubair adalah seorang imam, guru besar kota Madinah, ahli fikih, termasuk dari tujuh pakar fikih Madinah.”[10]

Selanjutnya Imām al-Żahabī menuliskan beberapa pujian ulama terhadap ‘Urwah, sebagai berikut:[11]

‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azīz berkata, “Aku belum pernah bertemu sesorang yang lebih berilmu dari ‘Urwah bin al-Zubair.”
Abū al-Zinad berkata, “Pakar fikih penduduk Madinah ada empat; Sa’īd bin al-Musayib, ‘Urwah bin al-Zubair, Qabīsah bin Żu’aib, dan ‘Abdul Mālik bin Marwān.
Imām al-Zuhrī berkata, “Aku melihat ilmu ‘Urwah bagaikan samudera yang tak akan kering selamanya.”

قَال سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَة، عَنِ الزُّهْرِيّ: كَانَ عُرْوَةُ يَتَأَلَّفُ النَّاسَ عَلَى حَدِيْثِهِ[12]

Sufyān bin Uyainah meriwayatkan dari Imām al-Zuhrī, ia berkata, “Dahulu orang-orang jatuh cinta dengan hadīṡ, jika hadis itu disampaikan oleh ‘Urwah bin al-Zubair.”

E. Mutiara-mutiara Hikmahnya
‘Urwah bin al-Zubair dikenal sebagai ahli ibadah. Tak pernah luput, di siang harinya ia selalu mengkhatamkan seperempat Al-Qur’an (7,5 juz) dengan membuka mushaf. Jika malam tiba, qiyāmu al-lail selalu menghiasai kesendiriannya dengan membaca seperempat Al-Qur’an (7,5 juz) dari hafalannya. Total bacaan Al-Qur’annya adalah 15 juz setiap hari, kecuali pada malam sakitnya yang mengharuskan kakinya diamputasi.[13]

Kisah itu berawal saat ‘Urwah bin al-Zubair memenuhi undangan Khalifah al-Walīd bin ‘Abdi al-Malik di Damaskus. Ia membawa bersamanya putra sulungnya yang bernama Muḥammad. Sebelum sampai ke Damaskus, ia diserang penyakit al-āklah, yang mengharuskan kakinya diamputasi. Sesampainya di Damaskus, al-Walīd bin ‘Abdi al-Malik mengatur proses operasinya. Ketika tabib siap memotong kakinya, ia ditawari khamr agar ia tidak merasa sakit saat diamputasi. Namun ‘Urwah enggan meminumnya, dan lebih memilih membaca Al-Qur’an untuk meminimalisir rasa sakitnya. Kata has, has, yang terdengar dari lisannya saat menahan sakitnya.[14]

Setelah ‘Urwah siuman dari pingsannya, dan melihat kakinya sudah terpisah dari tubuhnya, dikabarkan padanya bahwa anaknya yang bernama Muḥammad baru saja meninggal, karena tak sengaja ia masuk ke kandang kuda lalu ia ditendang oleh seekor kuda, hal itu menyebabkan kematiannya.

Lisan yang selalu terjaga dengan zikir pada Allah ﷻ tidak akan berucap kecuali yang diridai Allah ﷻ. Saat itu ‘Urwah berkata,

لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (الكهف: 62)

Artinya:

“Sungguh kita telah merasa letih, karena perjalanan kita ini.”

‘Urwah lalu mengangkat tangannya, dengan segala kerendahan hati ia berdoa, sebagaimana riwayat berikut ini:

لَمَّا أُصِيْبَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ بِرِجْلِهِ وَ بِابْنِهِ مُحَمَّدٍ قَالَ: (اللَّهُمَّ كَانُوْا سَبْعَةٌ فَأَخَذْتَ وَاحِدًا وَ أَبْقَيْتَ سِتَّةً، وَ كُنَّ أَرْبَعًا فَأَخَذْتَ وَاحِدَةً وَ أَبْقَيْتَ ثَلاَثاً، فَأيمنَكَ لَئِنْ كُنْتَ أَخَذْتَ لَقَدْ أَبْقَيْتَ وَ إِنْ كُنْتَ ابْتَلَيْتَ لَقَدْ عَفَيْتَ(.[15]

Maknanya:

Ketika ‘Urwah bin al-Zubair ditimpa musibah pada kakinya dan kematian anaknya yang bernama Muḥammad, ia berdoa, “Ya, Allah, anakku ada tujuh orang, Engkau hanya mengambil satu darinya, sedang Engkau masih menyisakan enam bagiku, dahulu anggota tubuhku empat, Engkau hanya mengambil satu darinya, sedang Engkau masih menyisakan tiga bagiku, sungguh jika Engkau mengambil (dariku semuanya), itu hanya sedikit dari banyaknya pemberian-Mu, dan jika Engkau memberi cobaan (sakit padaku) sungguh besar nikmat kesehatan yang selama ini Engkau anugerahkan (untukku).”

Keteladanan ‘Urwah dalam kesabaran adalah contoh yang sangat agung. Kesabaran yang dicontohkan ‘Urwah bin al-Zubair adalah tingkat kesabaran tertinggi, karena ia menerima ketetapan Allah dengan memuji Allah ﷻ atas segala ketetapan-Nya.

Ia juga dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan, jika musim panen kurma tiba, ia selalu membuka pintu kebunnya, memanggil orang-orang mencicipinya dan membekali mereka kurma agar bisa dibawa pulang ke rumah mereka.[16] Setiap kali ia memasuki kebunnya, ia selalu membaca firman Allah ﷻ,

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ …(الكهف: 39)

Artinya:

“Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak kau ucapkan ‘Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh’ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali (pertolngan) Allah.” (Q.S. al-Kahfi: 39)

F. Wafatnya
‘Urwah bin al-Zubair adalah menara hidayah bagi kaum muslimin. Masa hidupnya dibaktikan untuk sunah Nabi ﷺ, menjadi guru, dai yang menyeru kepada kebaikan. Seluruh detik-detik umurnya diisi dengan bakti, keteladanan, dan ketakwaan kepada Allah ﷻ.

قَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ: كَانَ أَبِي يَصُوْمُ الدَّهْرَ وَ مَاتَ صَائِمًا [17]

Hisyām bin ‘Urwah berkata, “Ayahku selalu berpuasa sepanjang tahun, hingga ia wafat dalam keadaan berpuasa.”

Di kampung tempat mukimnya bernama Far’un, tidak jauh dari kota Madinah, dalam kondisi berpuasa, ‘Urwah bin al-Zubair dipanggil oleh Allah ﷻ pada tahun 94 H di usianya yang ke 71 tahun. Tahun 94 H dikenal dengan tahunnya para fuqahā’, karena banyak para fuqahā yang wafat di tahun itu.[18]

Semoga Allah merahmatinya dan memudahkan kita mengikuti langkahnya.

Footnote:
[1] Yahyā bin Syaraf al-Nawawī, Tahżīb al-Asmā’ wa al-Lugāt, (Cet. Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah,), jilid 1, hal. 331.
[2] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (cet. 2, Mu’assasah al-Risālah, Bairūt, 1405 H/1985 M), Jilid. 4, hal. 421.
[3] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Ḥilyatu al-āuliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiyā’ (Cet. Bairūt: Dār al-Kitāb al-Arabī 1974) jilid. 1, hal. 309.
[4] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 424.
[5] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1, Bairūt: Muassasah al-risālah, 1980 M), jilid 20, hal. 17.
[6] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 424.
[7] Mereka adalah Sa’īd bin al-Musayib (w. 94 H), Urwah bin al-Zubair (w. 94 H), al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakr al-Siddīq (w. 108 H), Khārijah bin Zaid bin Ṡābit (w. 100 H), ‘Ubaidullāh bin ‘Abdillāh bin ‘Utbah bin Mas’ūd (98 H), Sulaimān bin Yasār (w. 107 H), adapun yang ke tujuh, ada tiga nama yang diperselisihkan, yaitu: Abū Salamah bin ‘Abdirraḥmān bin ‘Auf (w. 94 H), Sālim bin ‘Abdillāh bin ‘Umar bin al-Khaṭṭāb (w. 106 H) dan Abū Bakr bin ‘Abdirraḥmān bin al-Hāriṡ bin Hisyām al-Makhzūmī (w. 94 H).
[8] Abdurrahmān Ra’fat Bāsyā, Ṣuwar min Hayāt Tabi’īn, (Cet. 15, Dār al-Adab al-Islāmī, 1997 M) hal. 42.
[9] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Tażkiratul Ḥufaz, (cet. 1, Bairūt:Dār al-kutub al-ilmiah, 1998 M), jilid 1, hal. 50.
[10] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 421.
[11] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 425.
[12] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1, Bairūt: Mu’assasah al-Risālah, 1980 M), jilid 20, hal. 16.
[13] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 426.
[14] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 430.
[15] Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq (cet. Dār al-fikr, 1995 M), jilid. 40, hal. 265.
[16] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 426.
[17] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Tazkiratul Huffaz, jilid 1, hal. 50.
[18] Ibnu Khilkān, Aafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān, (cet. Bairūt: Dār Ṣadir ), jilid. 3, hal. 258.
Sumber : https://markazsunnah.com/urwah-bin-al-zubair-23-94-h/

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M