Wasiat Nabi ﷺ di Ghadir khum
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Pendahuluan
- Ghadir Khum
- Sebelum Berwasiat
- Wasiat Nabi ﷺ
- Al-Quran pedoman hidup
- Memuliakan Ahlu Bait
- Man Kuntu Maulahu fa aliyyun Maulahu
- Bersama surat Al-Maidah ayat 67
- Untuk Ulil Albab yang Jujur
- Hikmah diakhirkannya Ali bin Abu Thalib رضي الله عنه sebagai Khalifah
- Apakah Boleh Kita Mengatakan Bahwa Husain Meninggal Syahid?
- Penutup
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Sahabatnya serta para pengikutnya yang tetap setia mengikuti jejak beliau sampai akhir zaman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan segenap kasih sayang pada umatnya, banyak menyampaikan wasiat untuk menjadi pegangan dalam mengarungi kehidupan. Namun demikian, mungkin masih ada dari kaum muslimin pecinta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pecinta keluarga beliau serta pecinta para Sahabat yang belum mengetahui wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadîr Khum.
Penulis dengan segala keterbatasan, pada kesempatan ini berusaha untuk saling berbagi ilmu mengenai wasiat tersebut. Dengan ilmu, diharapkan kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya.
Ya Rabb, tambahkanlah untukku ilmu, dan karuniakanlah kepadaku pemahaman, âmîn.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini akan mengulas tentang kejadian yang melatarbelakangi wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum dan bagaimana memahami kandungan wasiat tersebut.
Penulis merasa terpanggil untuk ikut serta dalam upaya perbaikan, “Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan semampuku. Tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepadaNya lah aku kembali.”
Melihat kenyataan pahit tentang kondisi umat, kita harus tetap optimis dan berusaha untuk menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang mendapatkan hidayah dan menjadi penyebab dan perantara agar saudara-saudara kita juga mendapatkan hidayah.
Ya Allah berilah hidayah dalam hal-hal yang kami perselisihkan berupa kebenaran dengan izinMu, sesungguhnya Engkau memberi hidayah kepada siapa pun yang Engkau kehendaki… âmîn.
Tidak ada gading yang tak retak, penulis meminta kepada para pembaca untuk memberikan saran, masukan dan kritik yang membangun atas tulisan ini. Semoga Allah menjadikan buku ini sebagai ilmu yang bermanfaat sekaligus sebagai amal jariyah yang terus mengalir untuk penulis, keluarga penulis, editor, saudara-saudara yang memberi saran dan kritik yang membangun, serta siapapun yang memiliki andil dalam menyebarluaskan tulisan ini, agar pahala terus mengalir meskipun kita telah wafat dan terbujur di dalam kubur, âmîn.
Terakhir, penulis ucapkan terimakasih kepada kakak-kakak pembimbing, teman-teman, dan adik-adik yang telah memberikan saran, masukan serta kritik atas tulisan ini sebelum dipublikasikan. Semoga Allah membalas kebaikan mereka, menjadikan amalan mereka dalam timbangan kebaikan di hari ketika tidaklah bermanfaat harta maupun anak kecuali yang menemui Allah dengan hati yang selamat.
Ghadîr Khum adalah nama sebuah tempat di antara Makkah dan Madinah. Jarak ke Ghadir Khum dari Makkah sekitar 159 km dan dari Madinah sekitar 196 km. Ghadir Khum sekarang diberi nama Al-Ghurabah, jaraknya dari Juhfah sekitar 6,5 km dan dari Rabigh sekitar 18 km.[1] Jalan menuju Ghadir Khum bukanlah jalan yang biasa dilalui oleh bus-bus jamaah haji atau umrah dari Makkah ke Madinah atau sebaliknya. Ghadir Khum merupakan tempat berupa lembah yang banyak ditumbuhi pohon samur yang rindang. Ia merupakan dataran yang terhampar rendah, dahulu di tempat tersebut terdapat mata air atau sumur.
Khum adalah nama seorang laki-laki tukang celup, Ghadir disandarkan kepadanya. Sementara Ghadir sendiri secara bahasa bermakna cekungan atau dataran rendah yang menampung genangan air hujan.[2]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah singgah di sana bersama sekitar 70 ribu Sahabat pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 H (16 Maret 632 M) dalam perjalanan pulang ke Madinah setelah selesai menunaikan haji Wada’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para Sahabat berangkat dari Makkah hari Rabu tanggal 14 Dzulhijjah. Hari itu merupakan hari perpisahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kota Makkah, dengan Ka’bah dan dengan Masjidil Haram. Perjalanan dari Makkah ke Ghadir Khum ditempuh sekitar empat hari dengan beberapa kali berhenti untuk istirahat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat 84 hari setelah beliau berwasiat di Ghadir Khum.
Footnote
[1] Hadîtsul Ghadîr halaman 29-30.
[2] Mu’jam Al-Buldân (2/389).
Referensi : https://almanhaj.or.id/
Di Ghadir Khum ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah memberi wasiat dan secara khusus memuji sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Sebelum kita melihat isi wasiat dan pujian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sayyidina Ali Radhiyallahu anhu, ada baiknya kita mengetahui kronologis yang melatarbelakangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat di Ghadir Khum tersebut.
Di tahun 10 H, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu dan pasukannya ke Yaman untuk berdakwah dan bertempur dengan orang-orang yang menghalangi dakwah. Pasukan Khalid menang dalam suatu pertempuran dan mendapatkan rampasan perang. Khalid mengirim pesan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah agar mengirim utusan untuk mengambil seperlima dari rampasan perang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengutus Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bersama tiga ratus orang pasukannya ke Yaman untuk berdakwah, menjadi hakim, dan untuk mengambil seperlima dari rampasan perang pasukan Khalid. Ali diutus ke Yaman di bulan Ramadhan tahun 10 H, enam bulan setelah Khalid diutus. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar Ali membawa rampasan perang ke Makkah dan bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sana untuk bersama-sama menunaikan ibadah haji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Khalid dan pasukannya agar pulang ke Madinah, kecuali bagi tentara Khalid yang hendak bergabung dengan pasukan Ali maka dipersilakan untuk bergabung.
Dalam aturan jihad, rampasan perang dibagi untuk mujahidin sebanyak empat perlima bagian di luar gaji atau mukafa’ah yang rutin mereka terima sebagai tentara kaum muslimin. Yang seperlima diserahkan kepada Imam (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau khalifah atau pemimpin kaum muslimin). Pembagian seperlima ini sesuai dengan aturan Allah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum kerabat beliau, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu Sabil (para musafir yang kekurangan bekal), sebagaimana tercantum dalam surat Al-Anfal ayat 41. Harta rampasan bisa berupa uang, senjata, hewan, pakaian, termasuk para tawanan. Para tawanan ini statusnya menjadi budak bagi kaum muslimin.[1]
Ali telah menerima seperlima harta rampasan perang dari pasukan Khalid. Di antara seperlima rampasan perang yang diterima Ali di Yaman, ada seorang budak perempuan. Budak perempuan tersebut dibawa masuk ke kemah Ali, kemudian Ali keluar kemah dan mandi. Kejadian ini membuat sebagian sahabat yang ikut berperang marah dan kesal atas sikap Ali. Kebanyakan dari para tentara itu merupakan orang-orang yang baru masuk Islam, seperti Buraidah Al-Aslami Radhiyallahu anhu(masuk Islam tahun 7 H) dan Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu (masuk Islam tahun 8 H). Kemungkinan mereka belum tahu bahwa Ali berhak mendapat bagian dari rampasan perang tersebut. Atau mereka beranggapan bahwa Ali telah berbuat lancang menerima harta rampasan perang untuk dirinya sendiri, padahal menurut mereka seharusnya diserahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu.
Seorang Sahabat sempat menegur Ali tentang apa yang diperbuatnya. Ali menjelaskan bahwa beliau mendapatkan hak untuk memiliki rampasan perang karena beliau termasuk keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Budak perempuan tersebut termasuk bagian miliknya. Ali berijtihad bahwa beliau berhak mendapat bagian dari seperlima rampasan perang yaitu untuk kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan nash Al-Quran. Beliau yakin ketika memanfaatkan sesuatu dari rampasan perang tersebut termasuk menggauli budak yang menjadi miliknya bukanlah merupakan pelanggaran syariat.
Pasukan Khalid pulang ke Madinah, sedangkan Ali dan rombongan masih di Yaman berdakwah dan menjadi hakim di sana. Rampasan perang tidak dibawa oleh pasukan Khalid melainkan akan dibawa oleh Ali dan pasukannya ke Makkah. Ali akan menyerahkan rampasan perang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah saat haji nanti. Ketika pasukan Khalid sampai di Madinah, mereka menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Buraidah yang datang ke Madinah sebelum rombongan pasukan Khalid, melaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas sikap Ali dan berbincang berdua dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali dan menasihati Buraidah.
Dari Buraidah ia berkisah, “Aku berperang bersama Ali di Yaman, aku melihat sikap dingin darinya. Ketika aku pulang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku menceritakan tentang Ali dan merendahkannya. Aku melihat rona wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah, lalu beliau bersabda, “Wahai Buraidah bukankah aku lebih utama bagi kaum mukminin melebihi diri mereka?” Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi,
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
“Barangsiapa menjadikan aku sebagai wali, maka jadikan Ali juga sebagai wali.”[2]
Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali untuk menemui Khalid (bin Walid) agar mengambil seperlima harta rampasan perang. Aku adalah orang yang membenci Ali, ketika itu dia telah mandi. Lalu aku berkata kepada Khalid, “Apa kau tidak melihat apa yang dilakukannya?” Tatkala aku datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku sampaikan kepada beliau tentang Ali. Beliau bertanya, “Wahai Buraidah! Apakah kamu membenci Ali?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Kamu jangan membencinya karena sebenarnya ia berhak mendapatkan harta rampasan perang lebih dari itu (lebih dari sekedar seorang budak perempuan).”[3]
Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur, Buraidah tidak lagi membenci Ali bahkan beliau sangat mencintainya. Buraidah berkata, “Tidak ada seorang pun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih aku cintai dari Ali.”[4]
Imran bin Hushain bersama tiga kawannya juga melaporkan sikap Ali tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun marah kepada para pelapor dan membenarkan sikap Ali. Beliau melihat ada benih ketidaksukaan dari sebagian Shahabat kepada Ali, dan beliau khawatir hal itu akan berlanjut sampai setelah beliau wafat. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan mereka bahwa Ali adalah wali bagi setiap mukmin dan memerintahkan mereka untuk mencintai Ali.
Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, beliau bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan. Beliau mengutus Ali untuk mengambil harta rampasan perang. Ali menemui pasukan perang dan mengambil seorang tawanan (budak) wanita, kemudian beliau menggaulinya. Para Sahabat mengingkari sikap Ali tersebut. Ada empat Sahabat yang berjanji, jika kita bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan kita adukan kepada beliau apa yang dilakukan Ali. Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka dari safar (yang merupakan tugas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka memulai dengan menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberi salam (dan laporan) kepada beliau, kemudian baru kembali ke rumah masing-masing. Ketika pasukan perang ini sampai (di Madinah), mereka memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu salah satu dari empat orang sahabat melaporkan, “Wahai Rasulullah, tahukah anda bahwa Ali telah melakukan demikian dan demikian.” Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dan tidak mengindahkan laporannya. Orang yang kedua bergantian melaporkan hal yang sama, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak mempedulikannya. Orang yang ketiga juga demikian melaporkan hal yang sama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tidak mempedulikannya, sampai giliran orang yang keempat melaporkan yang sama dengan tiga teman sebelumnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya, wajah marah nampak pada beliau, lalu berkata,
مَاتُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَاتُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَاتُرِيدُون مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّامِنِّي وَأَنَامِنْهُ، وَهُوَوَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِي
“Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Sesungguhnya Ali bagian dariku dan aku bagian darinya. Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku.”[5]
Kejadian lain yang melatarbelakangi adanya khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum, adanya sebagian Sahabat dari rombongan Ali Radhiyallahu anhu yang marah dan kesal kepada Ali atas sikapnya yang memberatkan mereka.
Kisahnya, Ali dan rombongan bertolak dari Yaman menuju Makkah membawa rampasan perang, harta zakat dan hadiah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa unta yang banyak, baju-baju baru, dan lainnya. Dalam perjalanan ke Makkah Ali mendahului rombongan ke Makkah dan mewakilkan kepada seseorang untuk menjadi pimpinan rombongan. Ali berpesan agar rombongan jangan menaiki unta-unta zakat dan jangan mengenakan baju-baju baru.
Ali berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah, ketika rombongan pasukan Ali dari Yaman sampai di Makkah, Ali menemui rombongan dan melihat sebagian pasukannya memakai pakaian baru dan mendapat informasi bahwa unta-unta zakat telah dinaiki oleh sebagian anak buahnya.
Dalam keterangan yang lain, Ali masih ada urusan di Yaman dan meminta wakilnya dan rombongan berangkat terlebih dahulu ke Makkah, beliau akan menyusul. Setelah beliau menyusul di tengah perjalanan, beliau mendapatkan sebagian anak buah melanggar larangannya untuk tidak menaiki unta-unta zakat dan jangn mengenakan baju baru milik Negara.
Ali pun marah besar kepada wakilnya dan juga kepada anak buahnya yang melanggar. Ali marah karena tidak sepantasnya dan tidak boleh mereka memanfaatkan barang yang bukan miliknya. Unta-unta yang dinaiki akan menjadi letih dan lemah, berarti mereka telah merugikan barang milik orang lain. Termasuk juga baju-baju baru, itu bukan milik mereka dan tidak berhak mereka pakai. Ali memerintahkan para anak buahnya untuk turun dari unta-unta zakat dan melepaskan baju baru yang mereka kenakan. Ali sangat menjaga amanat untuk diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian Sahabat marah dan kesal atas sikap Ali yang menurut mereka bersikap kaku dan keras. Alasan mereka menaiki unta-unta zakat karena unta-unta mereka telah letih, sedangkan unta-unta zakat terlihat masih kuat. Ketika mereka sampai di Makkah, mereka mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sikap Ali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali dan melarang mereka membenci Ali.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan pulang ke Madinah dan sampai di tempat yang bernama Ghadir Khum, beliau berkhutbah di hadapan para Sahabat yang masih menyimpan kekesalan kepada Ali dan kepada mereka yang mungkin telah mendengar desas desus yang mendiskreditkan Ali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan memberikan pembelaan kepada Ali dan berwasiat agar para Sahabat dan kaum muslimin semuanya memuliakan keluarga beliau.[6]
Ibnu Katsir berkata :
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di lembah antara Makkah dan Madinah sepulang dari haji Wada’, di daerah dekat Juhfah yang bernama Ghadir Khum. Di sana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib dan beliau membersihkan nama baik Ali dari setiap komentar miring beberapa Sahabat yang membersamai Ali dari Yaman lantaran kebijakan Ali terhadap mereka yang dianggap sebagai tindakan kezaliman dan bakhil. Padahal yang benar adalah sikap Ali. Karena itu setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan manasik haji, di tengah perjalanan pulang ke Madinah pada tanggal 18 Dzulhijjah bertepatan dengan hari Ahad, beliau singgah di Ghadir Khum lalu beliau berkhutbah di bawah pohon dengan khutbah yang agung. Beliau jelaskan beberapa hal dan menyebutkan keutamaan Ali, amanahnya, keadilannya, dan kedekatannya dengan beliau. Dengan khutbah tersebut hilanglah ganjalan-ganjalan di hati banyak orang terhadap Ali.”[7]
Footnote
[1] Lihat Fiqhussunnah (2/675).
[2] HR. Ahmad No. 22945. Syaikh Syuaib Al-Arnauth rahimahullah berkata, “Isnadnya shahih atas syarat Bukhari dan Muslim.
[3] HR. Al-Bukhari No. 4093, Ahmad No. 23086.
[4] Syarhu Musykilil Âtsâr No. 3041 (8/58).
[5] HR. At-Tirmidzi No. 4045, An-Nasai di Sunan Al-Kubra No. 8420, Ahmad No. 19928, Ibnu Hibban No. 6929, dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hasan Gharîb, dan dishahihkan oleh Albani. Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sanadnya kuat. (Sumber: Buku “Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu” oleh Abdus Sattar Asy-Syaikh, halaman 88-89)
[6] Dalâilun Nubuwwah (5/398-399).
[7] Al-Bidâyah Wan Nihâyah(7/397).
Referensi : https://almanhaj.or.id/
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih waktu yang sangat tepat untuk berkhutbah setelah shalat Zhuhur, yaitu setelah para Sahabat cukup istirahat. Dr. Utsman Al-Khamis dalam ceramahnya berkata bahwa kebiasaan para musafir di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berangkat setelah Ashar dan berhenti saat Shubuh, diselingi istirahat sebentar untuk shalat Maghrib dan Isya.
Para Sahabat istirahat sebelum Zhuhur sehingga setelah Zhuhur sudah dalam keadaan segar dan siap mendengarkan khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbahnya dengan menyebut bahwa telah dekat ajal beliau, mengisyaratkan bahwa khutbahnya merupakan khutbah perpisahan dan isinya penting untuk diketahui, sehingga para Sahabat sangat perhatian dan ingin tahu apa wasiat yang akan beliau sampaikan.
Berikut ini khutbah dan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum yang dikisahkan oleh Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu:
أَمَّا بَعْدُ، أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ، أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ، وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى، أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى، أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى.
“Amma ba’du, ketahuilah wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku adalah manusia, sudah dekat masanya utusan Tuhanku (malaikat maut) akan datang (menjemputku) dan aku akan menerimanya. Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang sangat berharga, yang pertama adalah kitabullah (Al-Quran), di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, ambillah (isi) kitabullah dan pegang teguhlah. Yang kedua, aku tinggalkan kepada kalian Ahlu Baitku. Aku ingatkan kalian (agar bertakwa) kepada Allah dengan (memuliakan dan tidak menzalimi) Ahlu Baitku! Aku ingatkan kalian (agar bertakwa) kepada Allah dengan (memuliakan dan tidak menzalimi) Ahlu Baitku! Aku ingatkan kalian (agar bertakwa) kepada Allah dengan (memuliakan dan tidak menzalimi) Ahlu Baitku!”[1]
Setelah selesai khutbah singkat, beliau bertanya, “Bukankah aku lebih utama bagi kaum mukminin melebihi diri mereka sendiri?” Pertanyaan yang membuat para Sahabat lebih memperhatikan beliau lagidan penasaran untuk mendengar apa yang akan disampaikan setelah itu. Lalu beliau menghampiri Ali, mengangkatnya untuk berdiri bersama dan menggandeng tangannya lalu bersabda,
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيّ مَوْلَاهُ، اللَّهُمّ وَالِ مَن وَالَاهُ وَعَادِمَنْ عَادَاهُ
“Barangsiapa menjadikan aku sebagai walinya, maka jadikan Ali juga sebagai walinya. Ya Allah, tolonglah orang yang mencintai Ali. Ya Allah musuhilah orang yang memusuhi Ali.”[2]
Ketika Ali menjabat sebagai khalifah, ia pernah mengumpulkan manusia di Rahbah (nama tempat di Iraq), kemudian berkata kepada mereka, “Aku bersumpah dengan nama Allah, setiap muslim yang mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Ghadir Khum hendaklah berdiri!” Maka berdirilah tiga puluh orang, mereka menjadi saksi ketika beliau memegang tangan Ali lalu beliau bersabda,
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَهَذَامَوْلَاهُ اللَّهُمَّ وَال مَنْ وَالَاهُ وَعَادِمَنْ عَادَاهُ
“Barangsiapa menjadikanku sebagai walinya maka jadikanlah Ali sebagai walinya. Ya Allah, tolonglah siapapun yang melindungi Ali, dan musuhilah siapapun yang memusuhi Ali.”
Abu Thufail yang hadir saat itu bertutur, “Aku pergi meningalkan forum dengan ganjalan di hati, lalu aku berjumpa Zaid bin Arqam dan kuceritakan apa yang terjadi, “Aku mendengar Ali berkata demikian dan demikian!” Zaid menanggapi, “Jangan kamu ingkari. Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memang berkata begitu kepada Ali.”[3]
Pada kesempatan lain di Kufah, Ali bin Abi Thalib berkata di atas mimbar, “Demi Allah, saya meminta seseorang bersaksi, dan yang saya minta bersaksi hanyalah para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa di antara kalian yang mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hari Ghadir Khum,
اللَّهُمَّ مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ وَعَادِمَنْ عَادَاهُ
“Ya Allah, siapa yang telah menjadikanku walinya maka Ali juga menjadi walinya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.”
Maka bangkitlah enam orang dari samping mimbar dan bangkit pula enam orang dari samping lainnya, mereka menjadi saksi bahwa mereka mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang demikian.”[4]
Bagaimana perasaan gembira Ali bin Abi Thalib setelah sebelumnya sebagian para Sahabat kesal dan marah kepada beliau. Pernyataan tegas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan ungkapan kesetiaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam persahabatan beliau dengan Ali. Ali masuk Islam sejak awal dakwah dan berjuang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh pengorbanan dan loyalitas. Pujian beliau kepada Ali benar-benar mencairkan suasana dan melembutkan hati para Sahabat, sehingga hilanglah perasaan benci dari sebagian Sahabat yang sebelumnya kesal kepada Ali, dan tumbuh perasaan cinta yang mendalam kepada Ali lantaran kecintaan mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Footnote
[1] HR. Muslim No. 2408.
[2] HR. Ahmad No. 18479.Lihat Silsilah Ash-Shahîhah (4/330).
[3] HR. Ahmad No. 19302 dan Ibnu Hibban No. 6931. Lihat Silsilah Ash-Shahîhah (4/331).
[4] HR. An-Nasai No. 8419. Lihat Silsilah Ash-Shahîhah (4/337-340).
Referensi : https://almanhaj.or.id/
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa ajalnya sudah dekat. Ketika haji beliau pun berkhutbah bahwa mungkin beliau tidak akan berjumpa lagi dengan para Sahabat tahun depan.
Di Ghadir Khum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada para Sahabat dan kepada kita agar berpegang teguh dengan Al-Quran yang merupakan petunjuk dan cahaya bagi manusia. Al-Quran merupakan penjelas atas petunjuk dan pembeda antara hak dan batil. Al-Quran merupakan rahmat dan obat, jangan sampai umat sepeninggal beliau menyia-nyiakan Al-Quran dengan tidak membacanya, tidak mempelajari isinya dan tidak mengamalkannya.
Jika seseorang menjauh dari Al-Quran maka Allah akan menjadikan kehidupannya sempit dan di akhirat menjadi buta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya di hari kiamat dalam keadaan buta.” (Surat Thâha: 124)
Orang yang menjauh dari Al-Quran akan disesatkan dan semakin jauh dari kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”(Surat An-Nisâ’: 60)
Mereka yang menjauh dari Al-Quran akan menjadi teman setan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Dan barang siapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (yaitu Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya.” (Surat Az-Zukhrûf: 36)
Mereka yang berpegang teguh dengan Al-Quran akan taat kepada Allah yang memerintahkan untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang berpegang teguh dengan Al-Quran dia akan mencintai Sahabat dan memuliakan Ahlu Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik.
Orang yang mengikuti Al-Quran akan bertutur kata yang santun, tidak berdusta, apalagi berdusta atas nama Allah, RasulNya dan Ahlu Baitnya. Orang yang mengikuti Al-Quran tidak memiliki sifat hasad bahkan hatinya bersih dan bening sehingga mudah mendapatkan hidayahNya.
Ya Allah jadikanlah kami sebagai ahli Al-Quran dan rahmatilah kami dengan Al-Quran.
Hal kedua dari wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus kita jaga dan kita laksanakan adalah memuliakan Ahlu Bait. Beliau berwasiat kepada para Sahabat dan kepada kita sebagai pengikutnya agar memuliakan dan tidak menzalimi keluarga beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dan bahkan mengulangnya sampai tiga kali agar kita tidak lupa dan memperhatikan wasiat beliau dengan sebaik-baiknya. Beliau sayang kepada umatnya jangan sampai kita mendapat murka Allah karena tidak takut kepada Allah dan tidak memuliakan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Siapa sajakah yang dimaksud sebagai Ahlu Bait yang harus kita muliakan sebagaimana dimaksud dalam wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut? Dalam lanjutan hadits Gadir Khum disebutkan, Hushain bertanya kepada Zaid, “Siapakah yang dimaksud dengan Ahlu Bait, wahai Zaid? Bukankah para istri beliau juga termasuk Ahlu Bait?” Zaid menjawab, “Betul, para istri beliau termasuk Ahlu Bait. Namun yang dimaksud Ahlu Bait (dalam wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah mencakup keluarga/kerabat (dan keturunan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan untuk menerima shadaqah (zakat) sepeninggal beliau.” Hushain lanjut bertanya, “Siapakah mereka?” Zaid menjawab, “Keluarga (dan keturunan) Ali, keluarga (dan keturunan) ‘Aqil, keluarga (dan keturunan) Ja’far serta keluarga (dan keturunan) Abbas.” Mereka semua haram menerima shadaqah (zakat).[1]
Penulis telah menulis buku “Percikan Hikmah dari Kisah Tabi’in (Pembelaan terhadap Ahlu Bait dan Sahabat)”. Di sana dijelaskan tentang keutamaan Ahlu Bait, bagaimana memuliakan Ahlu Bait, Ahlu Bait mencintai Sahabat, larangan mencela Sahabat dan lainnya.
Dalam buku tersebut, penulis menukil tulisan tiga ulama tentang memuliakan Ahlu Bait. Berikut ini petikan singkat dari ucapan mereka.
Prof. DR. Hamka rahimahullah :
“Jadi pantaslah kalau kita ulangi seruan seorang ulama besar Alawy yang telah wafat di Ibukota ini, yaitu Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab, agar generasi-generasi yang datang kemudian dari turunan Alawy memegang teguh agama Islam, menjaga pusaka nenek moyangnya, jangan sampai tenggelam pada pengaruh peradaban Barat. Seruan Sayid ini pun semoga memelihara kecintaan dan penghormatan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam(kaum Muslimin) terhadap mereka (Ahlu Bait).”[2]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah :
“Keluarga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah keluarga yang termulia, nasab Bani Hasyim ialah nasab yang paling utama di kalangan bangsa Arab. Karenanya, tidak patut jika mereka melakukan sesuatu yang mencemarkan kemuliaan martabat mereka baik dari ucapan atau perilaku yang rendah.
Adapun soal menghormati Ahlu Bait, mengakui keutamaan mereka, dan memberikan sesuatu yang merupakan hak mereka, atau memaafkan kesalahan mereka serta tidak mempersoalkan kekeliruan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, semua itu merupakan kebajikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang-ulang berpesan,
“Aku ingatkan kalian (agar takut) kepada Allah dalam hal Ahlu Baitku, Aku ingatkan kalian (agar takut) kepada Allah dalam hal Ahlu Baitku, Aku ingatkan kalian (agar takut) kepada Allah dalam hal Ahlu Baitku.”
Jadi berbuat baik kepada mereka, memaafkan kesalahan mereka yang sifatnya personal, memuliakan mereka dan membantu mereka, semua itu merupakan perbuatan baik dan kebajikan.”[3]
Prof. Dr. Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi:
“Hukum asal terkait Ahlu Bait adalah memuliakan dan menghormati mereka, tidak menghinakan dan merendahkan mereka.
Siapa yang nasabnya terbukti sampai kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (sampai kepada Ali, Aqil, Ja’far bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu anhum) maka ditetapkan sebagai orang yang harus dimuliakan dan dihormati. Jika anda tidak tahu atau ragu akan kebenaran nasabnya, maka tanyalah kepada orang yang mengerti atau carilah informasi terkait.
Sebagian orang berlebihan dalam memuliakan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai jatuh kepada hal-hal yang haram. Sebagian lagi malah ada yang merendahkan, meremehkan ataubahkan menghinakan mereka. Adapun yang diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah ialah memuliakan mereka tanpa berlebihan dan tidak meremehkan mereka.
Memuliakan Ahlu Bait berarti memuliakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jangan sampai Ahlu Bid’ah yang justru memuliakan mereka, karena sesungguhnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah lebih berhak untuk memuliakan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau ada salah seorang dari keturunan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumahmu maka muliakanlah dia, penuhi kebutuhannya, sanjunglah dia, berbuat baiklah kepadanya sebagai bentuk ketaatan dan taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila ada keturunan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tetanggamu atau temanmu dalam pekerjaan maka jagalah dia sebaik-baiknya, istimewakan dia dengan sikap-sikap baik kepadanya. Apabila anda tahu ada janda, anak yatim, atau siapa saja dari keluarga mereka yang membutuhkan bantuan, maka segeralah bantu mereka, mudahkanlah urusannya, ringankanlah bebannya, selesaikanlah problemnya. Sehingga mereka merasakan keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka dan memotivasi mereka agar menjaga nikmat sekaligus amanat tersebut dengan sebaik-baiknya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memuliakan mereka, maka hendaklah mereka memuliakan Islam.
Mereka yang termasuk keturunan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkewajiban untuk menjadi contoh dan teladan yang baik. Jangan sampai Ahlu Bait berkata atau melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kemuliaan nasab harus dijaga dengan berpegang teguh kepada agama Islam secara konsisten dan konsekuen.”[4]
Footnote
[1] HR. Muslim No. 2408.
[2] Majalah Panji Masyarakat No. 169, 1975 M/ 1395 H, dinukil dari buku Percikan Hikmah dari Kisah Tabi’in, halaman 75.
[3] Percikan Hikmah dari Kisah Tabi’in, halaman 76-77.
[4] Percikan Hikmah dari Kisah Tabi’in, halaman 77-79.
Referensi : https://almanhaj.or.id
7. Man Kuntu Maulahu fa aliyyun Maulahu
Poin berikutnya dari wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum yang harus kita jaga dan kita laksanakan adalah mencintai sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Kecintaan kita kepada Ali terkait erat dengan kecintaan kita kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berbicara tentang wasiat ketiga ini, terjadi perbincangan di kalangan para peneliti hadits mengenai keshahihan riwayatnya. Para ulama hadits sepakat akan keshahihan hadits tentang khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pohon dengan redaksi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Zaid bin Arqam sebagaimana diuraikan sebelumnya. Adapun tambahan ucapan dan pembelaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus kepada Ali,
مَن كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
“Barangsiapa menjadikan aku sebagai walinya, maka jadikan Ali juga sebagai walinya.”
maka ulama hadits berbeda pendapat. Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Albani dan lainnya menshahihkan riwayat tersebut. Ibnu Hazm, Az-Zaila’i, Ibnu Taimiyyah dan lainnya berpendapat mendhaifkannya. Penulis dalam hal ini lebih condong mengikuti pendapat ulama yang menshahihkan.
Selain perbincangan mengenai keshahihan riwayat, ada hal lain terkait poin wasiat ini yang ternyata menjadi perselisihan dalam hal pemahaman dan pemaknaan terhadap kata maulâ (مَوْلَى) di hadits tersebut.
Adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, mereka memahami ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Ali di Ghadir Khum, مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ sebagai pengukuhan dan penunjukkan Ali menjadi khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berpendapat bahwa arti kata maulâ (مَوْلَى) adalah pemimpin dan khalifah. Ini berarti Ali adalah khalifah setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Begitu sentralnya peristiwa itu bagi paradigma kaum Syi’ah, dan begitu penting bagi keyakinan mereka, sehingga kaum Syi’ah menyelenggarakan perayaan bernama Ied Al-Ghadir pada setiap tahunnya.
Terhadap pemahaman kaum Syi’ah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kendatipun beliau melemahkan riwayat tambahan mengenai ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, beliau berkata seandainya hadits itu shahih maka maknanya sama sekali bukan pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau meluruskan kesalahan pemahaman kaum Syi’ah tersebut sebagai berikut, “Redaksi dalam hadits di atas tidak menunjukkan pengukuhan khalifah sepeninggal beliau, untuk masalah besar seperti ini harus disampaikan dengan bahasa yang sejelas-jelasnya.[1] Redaksi hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan maulâ (مَوْلَى) adalah bermakna khalifah (pemimpin). Maulâ dalam hadits ini bermakna wali (وَلِيٌّ/penolong) sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
ﱡ”Sesungguhnya penolong kalian (orang-orang yang beriman) hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, mereka yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).” (Surat Al-Maidah: 55)
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran), dan jika kamu berdua saling membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain itu, malaikat-malaikat adalah penolongnya.” (Surat At-Tahrim: 4)
Allah menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wali orang-orang beriman dan mereka adalah mawâli beliau (mereka loyal dan membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allah juga menjelaskan bahwa Allah adalah wali orang-orang beriman, dan mereka adalah wali-wali Allah, dan sesama orang-orang yang beriman juga menjadi wali bagi sebagian yang lain. Loyalitas lawan dari memusuhi, loyalitas akan menjadi kokoh jika dilakukan dari kedua belah pihak. Allah sebagai penolong memiliki kedudukan yang Agung, pertolonganNya merupakan kebaikan dan karunia. Adapun makhluk sebagai penolong agama Allah, merupakan bentuk ketaatan dan ibadah kepadaNya. Sebagaimana Allah mencintai orang-orang beriman, begitu pula orang-orang beriman mencintai Allah.
Allah wali orang-orang beriman dan juga menjadi maulâ mereka (yakni tempat orang beriman meminta pertolongan), Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wali dan maulâ orang-orang beriman, dan Ali menjadi maulâ orang-orang beriman berkenaan dengan kecintaan dan loyalitas yang merupakan lawan dari permusuhan.
Orang-orang beriman mereka loyal kepada Allah dan RasulNya, loyalitas yang merupakan lawan dari permusuhan. Hukum ini merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang beriman. Ali Radhiyallahu anhu merupakan bagian dari orang-orang beriman yang loyal kepada mereka dan mereka pun loyal kepada Ali Radhiyallahu anhu.
Maka jelas sekali perbedaan antara wali atau maulâ (penolong) dengan wâli (وَالٍ /pemimpin). Wali atau maulâ itu pembahasan tentang walâyah (وَلَايَةُ/loyalitas) yang merupakan lawan dari permusuhan, adapun wâli (pemimpin) merupakan pembahasan tentang wilâyah (وِلَايَةُ/kepemimpinan).
Jadi hadits مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُmaka pengertiannya adalah sebagai penolong bukan pemimpin, karena teksnya dengan maulâhu (penolongnya) bukan wâlihi (pemimpinnya).”[2]
Ketidaktepatan dalam mengartikan maulâ dengan “pemimpin” juga dapat dilihat dari lawan kata maulâ pada kelanjutan hadis tersebut. Mari kita perhatikan kembali redaksi lengkapnya beserta kesesuaian artinya:
اللَّهُمّ مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ وَعَادِمَنْ عَادَاهُ
“Ya Allah, siapa yang telah menjadikanku walinya maka Ali juga menjadi walinya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.”
Maka tampak jelas bahwa arti yang dikehendaki dari kata maulâ sebagai “pemimpin” sangat tidak tepat sasaran, sebab kelanjutan hadis tersebut justru menyatakan: “musuhilah orang yang memusuhi Ali.” Jika demikian, maka arti yang tepat untuk kata maulâ dalam hadis tersebut, baik secara teks maupun konteks, adalah “penolong”, sebab kebalikan dari penolong adalah musuh.
Argumen kaum Syiah sejatinya juga bertentangan dengan banyak pengakuan para tokoh Ahlu Bait. Buktinya, ketika Al-Hasan bin Al-Hasan (cucu dari Ali Radhiyallahu anhu) ditanya mengenai hadits ini, apakah merupakan nash bagi kekhilafahan Ali atau bukan? Beliau menjawab, “Tidak! Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki menunjuk Ali sebagai pemimpin atau khalifah dengan hadis ini, tentu beliau akan bersabda, ‘Wahai sekalian manusia, ini adalah penguasa urusanku, dan pemimpin bagi kalian setelahku. Maka tunduk dan patuhlah terhadap segala perintahnya’.”
Dalam kesempatan lain beliau menjawab, “Demi Allah! Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki bahwa yang dimaksud adalah pemimpin atau khalifah, tentu beliau akan mengungkapkannya dengan tegas dan jelas, sebagaimana penjelasan beliau mengenai shalat dan zakat.’”[3]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata:
“Adapun hadits tersebut, kami jadikan sebagai petunjuk jalan, kami loyal kepada Ali Al-Murtadha (Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu), kami loyal kepada orang yang loyal kepada beliau, dan kami memusuhi orang yang memusuhi beliau. Ini semua kami lakukan sebagai bentuk loyalitas kami kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan keluarganya. Kami beriman bahwa keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi Al-Quran. Sesungguhnya Al-Quran dan keluarga beliau merupakan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagaimana hadits shahih (di Ghadir) dan selain Ghadir. Apabila keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersepakat atas suatu perkara maka kami terima dan kami ikuti, dan jika mereka berselisih dalam satu perkara maka kami kembalikan kepada Allah dan RasulNya.”[4]
Maksudnya bahwa kesepakatan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Jika keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak sepakat dalam satu masalah maka kita kembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Footnote
[1] Artinya jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi wasiat dan menunjuk pengganti beliau sebagai pemimpin kaum muslimin tentu akan disampaikan dengan bahasa yang sangat jelas. Wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum disampaikan dengan bahasa yang jelas dan sangat dipahami oleh para Sahabat bahwa isinya tidak ada pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai Imam sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2] Mukhtashar Minhâjus Sunnah, halaman 432-433.
[3] Al-I’tiqâd wal Hidâyah, halaman 355-356.
[4] Tafsir Al-Manâr (6/386).
Referensi : https://almanhaj.or.id
8. Bersama surat Al-Maidah ayat 67
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanahNya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Surat Al-Mâidah: 67)
Selain asumsi terhadap pemaknaan kata maulâ (مَوْلَى) dalam hadits sebelumnya, kelompok Syiah Rafidhah meyakini bahwa ayat ini diturunkan agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat kepemimpinan kepada Ali Radhiyallahu anhu sepeninggal beliau. Bagi mereka hadits tadi merupakan justifikasi lapis kedua dari penegasan ayat 67 surat al-Ma’idah terhadap hak kepemimpinan Ali Radhiyallahu anhu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjawab bahwa ayat 67 dari surat Al-Maidah sama sekali tidak menunjukkan pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepada beliau dari Rabbnya, bersifat umum dalam segala apa saja yang diturunkan kepada beliau, sama sekali tidak menunjukkan untuk menyampaikan sesuatu yang spesifik. Barangsiapa mengklaim bahwa Al-Quran telah menyebutkan kepemimpinan Ali setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bahwasanya beliau diperintahkan untuk meyampaikannya, maka dia telah berdusta atas nama Al-Quran.[1]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah dan para ahli tafsir lainnya menyebutkan bahwa ayat 67 dari surat Al-Maidah ini diturunkan di Makkah di permulaan dakwah Islam. Syaikh Rasyid Ridha menyebutkan bahwa ayat tersebut dan ayat sebelumnya (ayat 66) serta ayat sesudahnya (68) menceritakan tentang Ahli Kitab, tidak ada hubungannya dengan perintah berupa pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [2]
Kalau ada seseorang yang meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal beliau, maka orang tersebut telah menuduh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan amanat Allah tersebut, wal ‘iyâdzu billâh. Karena dalam kenyataannya tidak ada wasiat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau.
Footnote
[1] Mukhtashar Minhâjus Sunnah, halaman 368.
[2] Tafsir Al-Manâr (6/384)
Referensi : https://almanhaj.or.id
9. Untuk Ulil Albab yang Jujur
Kelompok Syiah Rafidhah memahami isi khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum sebagai suksesi (pergantian) kepemimpinan dan pengukuhan kekhilafahan Ali Radhiyallahu anhu sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemahaman ini jelas sekali keliru dan batil apabila kita membaca latar belakang dan isi wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ghadir Khum.
Berikut ini disajikan logika-logika dan keterangan tambahan untuk mengkoreksi serta meluruskan kekeliruan pemahaman kelompok Syiah Rafidhah terhadap hadits Ghadir Khum:
Pertama, Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyampaikan wasiat berupa suksesi kepemimpinan setelah beliau wafat kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu tentu akan disampaikan saat haji, di Makkah, Arafah atau Mina. Jumlah kaum muslimin saat haji lebih banyak dibanding saat berkhutbah di Ghadir Khum. Tidak benar kalau dikatakan bahwa Ghadir Khum sebagai tempat semua para jamaah haji berpisah. Setelah selesai haji, kaum muslimin dari Makkah tetap tinggal di Makkah, yang dari Thaif pulang ke Thaif, yang dari Yaman pulang ke Yaman dan seterusnya. Yang ikut bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Ghadir Khum hanyalah penduduk Madinah atau penduduk sekitar Madinah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja mengakhirkan pembicaraan topik ini hingga saat pulang ke Madinah dan tidak membicarakannya ketika di Makkah atau pada hari Arafah, menunjukkan bahwa mukhâtab (lawan bicara) perkara ini adalah khusus penduduk Madinah, yaitu mereka yang menyertai Ali dalam peperangan.
Ada sebagian orang berdalih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya akan menyampaikan wasiat tersebut saat haji, tapi beliau khawatir akan terjadi perpecahan umat atas wasiatnya, lalu turunlah firman Allah di surat Al-Maidah ayat 67. Ini juga keliru, surat Al-Maidah 67 tidak berhubungan sama sekali dengan suksesi kepemimpinan. Sanggahan tentang hal ini telah dibahas sebelumnya.
Kedua, Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan wasiat suksesi kepemimpinan kepada Ali Radhiyallahu anhu tentu akan beliau ulang dan sampaikan lagi wasiat tersebut saat beliau sakit sebelum wafatnya di Madinah.
Kelompok Syiah menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat sakit menjelang wafatnya akan menyampaikan wasiat kepemimpinan kepada Ali Radhiyallahu anhu tapi keburu terhalang. Padahal kenyataannya setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan menulis wasiat, beliau masih hidup selama tiga hari. Dalam tiga hari itu beliau berwasiat dengan beberapa wasiat secara lisan dan tidak ada satupun wasiat yang menunjuk Ali Radhiyallahu anhu sebagai Imam. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berwasiat untuk menunjuk Ali Radhiyallahu anhu sebagai Imam, maka tidak ada seorangpun yang akan menghalangi beliau. Kenyataannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwasiat menunjuk Ali sebagai Imam sampai beliau wafat.
Penulis telah menjawab dengan lebih panjang lagi di buku “Kepemimpinan dan Keteladanan Khalifah Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu” Bab 11, Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sakit, dari halaman 89 sampai 101.
Ketiga, Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan kepemimpinan umat sepeninggal beliau diserahkan kepada Ali Radhiyallahu anhu mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu untuk menjadi imam shalat rawatib menggantikan beliau yang udzur tidak shalat ke masjid Nabawi karena sakit?
Penunjukkan imam shalat ini justru sebagai isyarat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para sahabat bermusyawarah dan memilih Abu Bakar Radhiyallahu anhu sebagai khalifah sepeninggal beliau.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan marah ketika Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu pernah sekali menjadi imam shalat karena Abu Bakar Radhiyallahu anhu terlambat datang.
Keempat, Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum Anshar segera berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih khalifah karena mereka beranggapan yang lebih berhak untuk menjadi khalifah adalah kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah dan jasa-jasa mereka sangatlah besar untuk kaum muslimin. Seandainya ada wasiat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali untuk menjadi khalifah, mustahil kaum Anshar akan berkumpul untuk memilih khalifah dari kalangan mereka.Kaum Anshar adalah kaum yang amanat dan setia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita berani menuduh kaum Anshar berkhianat? Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru berwasiat sebelum wafatnya agar umatnya berbuat baik kepada kaum Anshar. Kalau ada orang yang bersangka buruk kepada kaum Anshar dan membencinya maka ketahuilah dia orang munafik. Orang yang bersangka buruk kepada kaum Anshar, dia telah menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyakiti kaum Anshar dan kaum muslimin semuanya. Bersiap-siaplah di akhirat untuk menjadi musuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan musuh kaum Anshar saat Hari Perhitungan!
Kelima, Para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang jujur, amanat, dan pemberani. Di antara mereka ada Ahlus Shuffah, mereka datang dari luar kota Madinah dan tinggal di masjid. Mereka rela berkorban menahan lapar dan menderita karena sangat cinta kepada Allah dan RasulNya. Di antara para Sahabat adalah orang-orang Muhajirin yang hijrah dari Makkah, meninggalkan keluarga, harta, pekerjaan karena mereka cinta kepada Allah dan RasulNya. Para Sahabat rela merasakan lapar, merasakan goncangan saat perang Ahzab, mengalami luka fisik dan mental, bahkan sebagian dari mereka terbunuh di jalan Allah karena cinta kepada Allah dan RasulNya. Mereka mustahil menyembunyikan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika beliau berwasiat kepada mereka agar Ali Radhiyallahu anhu menjadi khalifah.
Di antara para Sahabat ada orang-orang yang sangat dekat dengan Ali seperti Fathimah, Abbas bin Abdul Muthalib, Ibnu Abbas, Ammar bin Yasir, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhum, mustahil mereka diam dari kebenaran, mustahil mereka khianat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mustahil mereka khianat kepada Ali Radhiyallahu anhu.
Bahkan Ali Radhiyallahu anhu sendiri tidak pernah menyebut kalau ada wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuknya menjadi khalifah, karena memang tidak ada wasiat tersebut. Jika seseorang meyakini ada ayat Al-Quran dan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Ali menjadi khalifah maka orang tersebut menuduh Ali, keluarganya, pendukungnya, dan para Sahabat sebagai pengkhianat, padahal mereka adalah orang-orang yang amanat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam kitab (Al Quran), mereka itulah yang dilaknat Allah, dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.” (Surat Al-Baqarah: 159)
Keenam, Ali Radhiyallahu anhu adalah seorang pemberani dalam kebenaran. Ali Radhiyallahu anhu berbaiat kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, berbaiat kepada khalifah Umar bin Khathab dan berbaiat kepada khalifah Utsman Radhiyallahu anhum. Ali berbaiat kepada tiga khalifah sebelum beliau, didasari keikhlasan, ketulusan dan keyakinan bahwa ketiganya berhak untuk menjadi khalifah. Seandainya beliau hendak tidak berbaiat pun bisa dan tidak akan diperangi oleh khalifah Abu Bakar atau khalifah Umar. Buktinya ketika Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu anhu, seorang tokoh Anshar, beliau tidak ikut membaiat Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar, keduanya membiarkan dan tidak memeranginya. Dan Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu anhu meskipun tidak membaiat kedua khalifah tersebut, beliau tetap mengakui kepemimpinan mereka berdua bahkan ikut berjihad ke Syam dan wafat di Syam sebagai mujahid di masa khalifah Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu.
Ketujuh, Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu saat sakit menjelang wafatnya, beliau mendiktekan wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu agar sepeninggal beliau hendaknya para Sahabat membaiat Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu menjadi khalifah. Setelah khalifah Abu Bakar Radhiyallahu anhu wafat, wasiat tersebut dibacakan dan para Sahabat membaiat Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu. Apakah masuk akal para Sahabat setia kepada wasiat Abu Bakar Radhiyallahu anhu yang dibacakan kepada mereka setelah wafatnya tapi para sahabat tidak setia kepada wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada mereka saat beliau masih hidup??? Mustahil para sahabat lebih setia kepada Abu Bakar Radhiyallahu anhu melebihi kesetiaan mereka kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Sahabat Radhiyallahu anhum menghormati, memuliakan, taat dan setia kepada Abu Bakar Radhiyallahu anhu disebabakan kesetiaan, loyalitas dan ketaatan Abu Bakar Radhiyallahu anhu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masih banyak lagi logika-logika dan dalil-dalil yang membantah syubhat (kerancuan) bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memperoleh wasiat untuk menjadi imam sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun penulis pada kesempatan ini mencukupkan pada apa yang dipaparkan di atas.
Referensi : https://almanhaj.or.id
10. Hikmah diakhirkannya Ali bin Abu Thalib رضي الله عنه sebagai Khalifah
Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
وَعَظَنَارسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةًبَلِيغَةًذَرَفَتْ مِنْهَاالْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَاالْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَارَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُمُوَدِّعٍ فَمَاذَاتَعْهَدُإِلَيْنَافَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًاحَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًاكَثِيرًافَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِالْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِين تَمَسَّكُوابِهَاوَعَضُّواعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ…
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteskan air mata dan membuat hati bergetar. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan taati (pimpinan), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafâur Râsyidîn Mahdiyyîn (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian… “[1]
Para Khulafâur Râsyidîn adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khathab, Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum.
Ada sebagian kelompok yang menuduh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu dan Khalifah Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu telah merampok/merampas kekuasaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Mereka mengatakan kekhalifahan sebelum Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah secara de facto saja, bukan de jure. Ini merupakan kesesatan, kelompok seperti ini jelas tidak mengikuti jalan para SahabatRadhiyallahu anhum, mereka juga tidak mengikuti jejak Imam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu yang tunduk dan patuh pada khalifah sebelumnya.
Dalam bab terakhir ini penulis akan menyampaikan tentang hikmah diakhirkannya Ali sebagai khalifah.
Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, usia Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah 33 tahun, usia yang masih sangat muda untuk memimpin kaum muslimin secara keseluruhan dengan segala problematikanya. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa usia matang seorang manusia adalah ketika telah mencapai usia 40 tahun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan sehingga apabila dia telah dewasa (matang) dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku temasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surat Al-Ahqâf: 15)
Alhamdulillah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menerima amanat sebagai khalifah ketika usia beliau mencapai 58 tahun, usia yang matang.
Diantara hikmah lainnya adalah sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi rahimahullah, “Para pengamat melihat sejarah pergerakan revolusioner dan seruan perbaikan seringkali kecewa saat endingnya. Di awal mula pergerakan, mereka mengadakan perbaikan dan membasmi kerusakan dan penyimpangan. Di akhir revolusi atau kudeta berdirilah suatu pemerintahan atau kekuatan politik dan militer untuk kepentingan keluarga dari pemimpin pergerakan tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan orang-orang pandai yang selalu berpikir jauh kedepan tidak simpati dan pesimis dengan setiap pergerakan keagamaan.
Nampak jelas dari percakapan Kaisar Romawi Heraklius dengan Abu Sufyan. Heraklius saat itu telah menerima surat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajaknya untuk masuk Islam. Heraklius seorang yang cerdas dan penuh pengalaman bertanya kepada Abu Sufyaan beberapa pertanyaan untuk kemudian menyimpulkan tentang dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pertanyaannya kepada Abu Sufyan, “Apakah dia keturunan raja?” Ketika Abu Sufyan menjawab, “Tidak”, maka Heraklius menyimpulkan, “Apabila dia keturunan raja, aku akan menyimpulkan bahwa dia hanya ingin merebut kembali kekuasaan milik leluhurnya.”
Maka bagaimana jadinya jika dakwah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasilkan penguasa sepeninggal beliau dari kalangan keluarga, maka manusia akan menyimpulkan bahwa dakwah tersebut untuk kepentingan dan kemakmuran keluarga beliau, wal iyadzu billah.
Dengan takdir Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka yang menjadi khalifah sesudah beliau bukanlah dari keluarganya dan juga bukan dari Bani Hasyim. Khalifah pertama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu dari Bani Taim, lalu Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu dari Bani Ady, setelah itu Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu dari Bani Umayyah. Baru setelah itu kekuasaan beralih kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu ketika tidak ada lagi orang yang lebih utama di antara kaum muslimin dan di antara para SahabatRadhiyallahu anhum. Ali tampil menjadi khalifah ketika tidak ada yang mampu mengemban amanat kekhalifahan kecuali beliau. Dari sini tidak ada celah untuk menggembosi dan mencela suksesi (pergantian) kepemimpinan pasca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebagai kepentingan keluarga dan ashabiyah (fanatik) golongan. Orang yang berhak menjadi pemimpin kaum muslimin setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah siapa di antara mereka yang paling cakap dan paling mumpuni. Benar-benar kehendak Allah yang telah menakdirkan dengan sebaik-baik takdir.”[2]
Footnote
[1] HR. Abu Daud No. 4607, At-Tirmidzi No. 2676, Ibnu Majah No. 42. Lihat Shahîh At- Targhîb wa At Tarhîb No. 37.
[2] Al-Murtadha, halaman 85-87
Referensi : https://almanhaj.or.id
11. Apakah Boleh Kita Mengatakan Bahwa Husain Meninggal Syahid?
Pertanyaan
Apakah boleh kita mengatakan bahwa husain mati syahid ?
Jawaban
Alhamdulillah.
Ya, Husain radhiyallahu ‘anhu- terbunuh dalam keadaan syahid.
Hal itu dikarenakan bahwa penduduk Irak (Kufah) menulis surat kepada beliau agar beliau keluar menemui mereka untu dibaiat menjadi pemimpin, tepatnya setelah meninggalnya Mu’awiyah –radhiyallahu ‘anhu-, dan naiknya anaknya Yazid bin Mu’awiyah.
Kemudian penduduk Kufah berubah ingin membaiat Husain, setelah mereka mendapatkan gubernur Ubaidillah bin Ziyad dari pihak Yazid bin Mu’awiyah. Ia membunuh Muslim bin Aqil utusan Husain kepada mereka, karena hati masyarakat Kufah cenderung kepada Husain, namun pedang mereka cenderung kepada Ubaid bin Ziyad.
Maka Husain keluar untuk menemui mereka, ia tidak mengetahui kalau Muslim bin Aqil, dan perubahan sikap mereka kepadanya.
Sebenarnya ia telah mendapatkan masukan dari beberapa orang yang mencintainya dan yang memiliki pandangan jauh kedepan agar beliau tidak pergi menuju Irak, namun ia bersikeras untuk menemui mereka.
Di antara mereka yang memberinya saran adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abu Sa’id al Khudri, Jabir bin Abdullah, al Masrur bin Makhramah, Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhum jami’an-.
Maka berjalanlah Husain menuju Irak, dan singgah di Karbala, ia mengetahui bahwa penduduk Irak mengingkarinya. Maka Husain meminta salah satu dari tiga hal kepada pasukan yang datang ingin membunuhnya:
Membiarkannya kembali ke Makkah
Atau mengizinkannya untuk menemui Yazid bin Mu’awiyah
Atau mengizinkannya untuk pergi ke daerah perbatasan untuk berjihad di jalan Allah.
Mereka menolak, dan meminta ia menyerahkan diri kepada mereka. Husain menolak, lalu mereka membunuhnya, sebagai seorang yang didzolimi dan syahid –radhiyallahu ‘anhu-. (Al Bidayah wan Nihayah: 11/473-520)
Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah- berkata:
“Yazid bin Mu’awiyah dilahirkan pada masa pemerintahan Utsman bin Affan –radhiyallahu ‘anhu-, dan tidak pernah bertemu dengan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, juga tidak termasuk sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, ia juga tidak terkenal sebagai seorang yang sholeh dan mengerti banyak tentang agama, ia sebatas sebagai pemuda kaum muslimin, ia juga bukan seorang yang kafir dan zindiq, ia menjadi pemimpin menggantikan ayahnya tidak disepakati oleh semua kaum muslimin, sebagian menolaknya dan yang lain mendukungnya, ia seorang yang pemberani, dermawan, tidak nampak sebagai seorang yang bengis dan kejam seperti yang kisahkan oleh musuh-musuhnya.
Dalam kepemimpinannya telah terjadi beberapa kejadian besar: Diantaranya adalah terbunuhnya Husain –radhiyallahu ‘anhu-, dan tidak atas perintah Yazid bin Mu’awiyah, ia juga tidak nampak senang dengan terbunuhnya Husain, juga ia tidak memotong gigi seri beliau –radhiyallahu ‘anhu-, juga tidak membawa kepala Husain ke Syam, akan tetapi ia menyuruh untuk mencegah Husain, dan menjauhkannya dari urusan ini. Kalau saja perintah Yazid untuk membunuhnya, maka akan semakin banyak pendukung Husain. Maka dari itu Husain –radhiyallahu ‘anhu- meminta ia menghadap Yazid, atau berangkat ke daerah perbatasan untuk berjihad di jalan Allah atau kembali ke Makkah. Namun mereka melarangnya kecuali untuk menjadi tawanan mereka, Umar bin Sa’d menyuruh untuk membunuhnya. Lalu mereka membunuhnya dalam keadaan didzalimi, ia dan sekelompok dari ahlul bait –radhiyallahu ‘anhum-. Terbunuhnya Husain adalah termasuk musibah yang besar, karena terbunuhnya Husain dan terbunuhnya Utsman sebelumnya, adalah penyebab terbesar akan terjadinya fitnah di tengah umat Islam, dan para pembunuh keduanya adalah seburuk-buruknya makhluk disisi Allah”. (Majmu’ Fatawa: 3/410-413)
Beliau juga berkata (25/302-305):
“Ketika Husain bin Ali –radhiyallahu ‘anhuma- dibunuh pada hari Asyura’ oleh sekelompok orang-orang yang dzalim dan berbuat aniaya. Maka Allah memuliakan Husain dengan syahid di jalan-Nya, sebagaimana Dia memuliakan sebagian dari ahli baitnya, Hamzah, Ja’far, dan ayahnya, yaitu; Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Allah meninggikan derajat Husain dan saudaranya Hasan, bahwa keduanya adalah pemimpin para pemuda surga, derajat yang tinggi tidak akan diraih kecuali dengan bala’ dan ujian. Sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika ditanya: Siapakah yang lebih berat ujiannya ?, beliau menjawab:
الأَنِبْيَاءُ ، ثم الصالحون ، ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلٰى حَسًبِ دينه ، فَإِنْ كَانَ في دينه صلابة زيد في بلائه ، وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رقة خفف عنه ، ولا يزال البلاء بالمؤمن حتى يمشي على الأرض وليس عليه خطيئة (رواه الترمذي وغيره)
Baca Juga Melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dalam Mimpi
“Para Nabi, kemudian orang-orang shaleh, kemudian yang serupa dengan mereka, demikian seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan derajat agamanya, jika ia komitmen dengan agamanya maka ujiannya akan ditambah, dan jika ia kurang komitmen dengan agamanya maka ujiannya pun dikurangi. Ujian itu akan senantiasa menimpa seorang mukmin sampai ia berjalan di muka bumi tanpa dosa sedikit pun”. [HR. Tirmidzi]
Sedangkan Hasan dan Husain sebelumnya sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, namun mereka berdua belum merasakan ujian sebagaimana yang telah dirasakan oleh orang-orang sebelumnya, keduanya dilahirkan pada masa jayanya Islam, tumbuh dengan penuh kemuliaan, umat Islam menghormatinya, dan memuliakannya, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat keduanya belum baligh. Maka merupakan nikmat Allah kepada keduanya dengan mengujinya agar menyusul derajat ahlu baitnya, sebagaimana pernah diujikan kepada orang yang lebih afdlol dari keduanya, yaitu Ali bin Abi Thalib yang juga dibunuh dan meninggal dunia sebagai syuhada, tentu beliau lebih afdlol dari mereka berdua. Terbunuhnya Husain adalah pemicu utama menyebarnya fitnah pada umat Islam, dan karena itulah umat Islam terpecah belah sampai sekarang.
Ketika Husain –radhiyallahu ‘anhu- keluar dan mengetahui bahwa situasinya sudah berubah, ia meminta untuk membiarkannya kembali atau bergabung dengan para mujahidin di wilayah perbatasan, atau menemui saudara seimannya Yazid agar ia memutuskan perkaranya, sampai beliau ditahan. Namun mereka memeranginya, beliau juga bertahan dan membela diri, akan tetapi mereka membunuhnya dan semua orang yang bersama beliau dalam keadaan didzolimi dan sebagai syuhada. Syahadah yang Allah memuliakan beliau dengannya; agar menyusul ahlul bait yang baik nan suci yang telah mendahuluinya. Dan Allah menghinakan orang-orang yang mendzaliminya dan memusuhinya”.
Disalin dari islamqa
Setelah kita membaca uraian di atas, ada beberapa kesimpulan dan pelajaran penting yang bisa kita petik, di antaranya:
Cinta membutuhkan pengorbanan. Perjalanan haji, perjalanan dakwah atau menuntut ilmu tentu banyak kesulitan dan hal-hal yang tidak mengenakkan. Seseorang yang mencintai Allah, dia akan menikmati segala kesulitan tersebut dan akan terasa ringan baginya.
Kemuliaan nasab bertalian dengan keimanan. Siapa yang memperoleh kemuliaan nasab dan memiliki keimanan kepada Allah berarti dia telah memperoleh dua kebaikan yang agung. Sebaliknya siapa saja yang belum mendapat taufik untuk beriman kepada Allah dan RasulNya, maka kemuliaan nasab semata-mata tidak bermanfaat sama sekali baginya.
Kemuliaan nasab sama sekali tidak meninggikan derajat mukmin di sisi Allah bila tanpa disertai amal shalih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasab tidak dapat mempercepatnya.”[1]
An-Nawawi rahimahullah berkata,”Siapa saja yang kurang amalnya, maka tidaklah bisa mencapai kedudukan orang-orang yang gemar beramal (walaupun memiliki nasab yang mulia). Sudah seharusnya seseorang tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan kemuliaan nenek moyang sehingga menyebabkan dirinya malas beramal shalih.”[2]
Tidak ada jaminan bagi Ahlu Bait untuk mendapatkan syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang artinya,“Wahai Bani Abdi Manaf! Tebuslah diri-diri kalian dari Allah! Wahai Bani Abdil Muthalib! Tebuslah diri-diri kalian dari Allah! Wahai Ummu Zubair bin Awwam bibi Rasulullah! Wahai Fathimah binti Muhammad! Tebuslah diri kalian dari Allah! Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian!” [3]
Sikap Sahabat yang tadinya membenci Ali dapat berbalik seratus delapan puluh derajat, dengan izin Allah, ia menjadi sangat mencintai Ali. Kita tidak boleh berputus asa, jika ada seseorang yang membenci kita, tidak mau berbicara kepada kita, sikapilah dengan positif. Boleh jadi hal itu merupakan teguran dari Allah dikarenakan dosa-dosa kita. Perbanyaklah istighfar, kita terus memperbaiki diri dan bertakwa kepada Allah, upayakan mengadakan ishlâh (perbaikan), semoga Allah menjadikan orang yang membenci kita berbalik dan mencintai kita karena Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil mendidik para Sahabat dengan sebaik-baiknya. Namun musuh-musuh Islam berusaha terus untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Mereka berusaha untuk memecah belah umat dari dalam. Kaum munafik tidak tinggal diam, maka bermunculanlah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam tapi tidak mengikuti metode Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Kita belajar bagaimana kita sepatutnya meminta klarifikasi jika ada hal yang dapat menimbulkan persangkaan buruk kepada seseorang. Kita belajar untuk menjadi pribadi yang rendah hati, tidak sombong. Janganlah kita gengsi untuk mengakui kesalahan, janganlah berat untuk menerima kebenaran.
Kita belajar untuk menjadi pribadi yang bijaksana. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menginginkan umatnya bermusuhan, dan beliau pandai dalam memenej konflik di antara para Shahabatnya. Rutinlah berdoa memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada kita agar ucapan-ucapan dan tulisan kita melembutkan hati kaum muslimin dan mempersatukan kaum muslimin di atas kebenaran dan petunjukNya.
Kita belajar bagaimana harus toleran dalam perbedaan yang tidak prinsip. Tapi kita tidak boleh toleran dalam perbedaan yang prinsip. Perbedaan dengan Syiah Rafidhah di antaranya dalam menyikapi hadits Ghadir Khum bukanlah perbedaan ijtihadiyah yang kita harus toleran. Ini merupakan perbedaan yang prinsip, karena konsekuensi dari perbedaan ini kelompok Syiah Rafidhah menuduh para Sahabat Radhiyallahu anhum telah berkhianat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak menepati wasiat beliau. Jelas ini merupakan tuduhan keji dan merupakan penyimpangan secara prinsip serta sebagai bentuk pelecehan terhadap Islam.
Penting sekali bagi kita memahami Islam dengan metodologi yang benar. Kita harus memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kalian (para Sahabat) imani, sungguh, mereka telah mendapat hidayah. Tapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu), maka Allah mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan pertolonganNya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Surat Al-Baqarah: 137)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (para Sahabat), Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Surat An-Nisâ:115)
Sesungguhnya daya rusak karena kesalahan metodologi dalam memahami dan mengamalkan Islam lebih dahsyat dari bom Hiroshima dan Nagasaki. Kerusakan infrastruktur akibat bom bisa cepat diperbaiki kembali, tapi kerusakan akibat kesalahan metodologi dalam memahami dan mengamalkan Islam akan diturunkan kepada anak cucu bergenerasi sehingga mengakar dan tidak mudah untuk diperbaiki.
Kita sangat menginginkan persatuan, tapi persatuan di atas landasan yang benar, diantaranya persatuan dengan menghormati dan memuliakan para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ﴿٨﴾ وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٩﴾ وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir kaum Muhajirin yang terusir dari kampung halaman mereka dan meninggalkan harta benda mereka demi mencari karunia dari Allah dan keridhaanNya dan (demi) menolong (agama) Allah dan RasulNya. Mereka (kaum Muhajirin) itulah orang-orang Ash Shaadiquun (orang-orang yang benar).
Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan (hasad) dalam hati mereka (kaum Anshar) terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka (kaum Anshar) mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka (kaum Anshar) juga memerlukan (kekurangan). Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka (kaum Anshar dan selainnya yang memiliki sifat seperti kaum Anshar) itulah orang-orang Al Muflihuun (orang-orang yang beruntung).
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun Maha Penyayang.” (Surat Al-Hasyr: 8-10)
Hendaknya kita semua terus menerus berdoa memohon kepada Allah dari lubuk hati yang paling dalam agar Allah memberi hidayah kepada kita. Kita berdoa kepada Allah agar membersihkan hati kita dari segala penyakit hati.
اللهم رَبَّ جِبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَالسَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَاكَانُوافِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَااخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَن تَشَاءُإِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Ya Allah, Rabb Malaikat Jibrl, Mikail dan Israfil, Pencipta seluruh langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui semua yang ghaib dan yang nyata, Engkau yang memutuskan di antara hamba-hambaMu tentang segala apa yang mereka perselisihkan, berilah aku hidayah dari apa-apa yang diperselisihkan berupa kebenaran dengan izinMu. Sesungguhnya Engkau memberi hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.
رَبِّ أَعِنِّي وَلَاتُعِنْ عَلَيَّ، وَانْصُرْنِي وَلَاتَنْصُرْعَلَيَّ، وَامْكُرْلِي وَلَاتَمْكُرْعَلَيَّ، وَاهْدِنِي وَيَسِّرْلِي الْهُدَى، وَانْصُرْنِي عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيَّ، رَبِّ اجْعَلْنِي لَكَ شَكَّارًا، لَكَ ذَكَّارًا، لَكَ رَهَّابًا، لَكَ مِطْوَاعًا، لَكَ مُـخْبِتًا، إِلَيْكَ أَوَّاهًامُنِيبًا، رَبّ تَقَبَّلْ تَوْبَتِي، وَاغْسِل حَوْبَتِي، وَأَجِبْ دَعْوَتِي،وثَبِّتْ حُجَّتِي، وَسَدِّدْلِسَانِي، وَاهْدِقَلْبِي، وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي
Rabbku, bantulah aku dan jangan Engkau bantu orang yang akan mencelakakanku. Tolonglah aku dan jangan Engkau tolong orang yang akan mencelakakanku. Gerakkanlah orang lain untuk keselamatanku dan jangangerakkan orang lain untuk mencelakakanku. Berilah aku hidayah, dan mudahkanlah hidayah untukku. Tolonglah aku atas orang yang menzalimiku. Rabbku, jadikanlah aku hamba yang selalu bersyukur kepadaMu, senantiasa berdzikir kepadaMu, sangat takut kepada (adzab) Mu, taat, khusyu, patuh, suka berdoa dan bertaubat kepadaMu. Rabbku, terimalah taubatku, bersihkan dosa-dosaku, perkenankanlah untaian doaku, kuatkanlah hujjahku, berilah hatiku hidayah, luruskanlah lisanku (atau tulisanku) serta hilangkanlah kejelekan hatiku.
Masih banyak lagi dari sejarah Islam yang belum kita ketahui, atau masih banyak dari sejarah Islam yang perlu kita teliti dan telaah kembali. Kita belajar untuk selalu bertanya dan mencari ilmu agar kita tidak salah dalam berkata atau bertindak.
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَاعَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَايَنْفَعُنِي، وَزِدْنِيعِلْمًا
Ya Allah, berilah manfaat untukku dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku. Ajarkanlah aku ilmu yang bermanfaat untukku dan tambahkanlah untukku ilmu.
اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًانَافِعًاوَرِزْقًاطَيِّبًاوَعَمَلًامُتَقَبَّلًا
Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal (shalih) yang diterima.
اللهم إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَايَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَايَخْشَعُ، وَمِن نَفْسٍ لَاتَشْبَعُ، وَمِنْدُعَاءٍلَايُسْمَعُ
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu, dari hawa nafsu yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar.
سُبْحَانَكَ لَاعِلْمَ لَنَاإِلَّامَاعَلَّمْتَنَاإِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mahasuci Engkau, tidak ada ilmu untuk kami kecuali yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahuilagi Maha Bijaksana.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِعَمَّايَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Disalin dari Buku WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM, Penulis Fariq Gasim Anuz]
Footnote[1] HR. Muslim No. 2699.
[2] Syarhu Shahîh Muslim(17/22-23).
[3] HR. Al-Bukhari No. 2753.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bidâyah wan Nihâyah, Abul Fida Ismail bin Katsir, Tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Dar Hajr, Cet. Ke-1, 1418 H/1997 M.
Al-I’tiqâd wal Hidâyah ilâ Sabîlilr Rasyâd, Abu Bakr Al-Baihaqi, Tahqiq: Ahmad ‘Isham Al-Katib, Darul Afaq Al-Jadidah – Beirut, Cet. Ke-1, 1401 H.
Al-Murtadha (Siratu Amîril Mukminîn Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu), Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi, Darul Qalam, Damaskus-Suriah, Cet. Ke-3, 1433 H/2012 M.
Al-Lu’lu Al-Maknûn fi Sirah An-Nabiyy Al-Ma’mûn, Musa bin Rasyid Al-Azimi, Dar Ash Shumai’i, Riyadh-KSA, Cet. Ke-3, 1439 H/2018 M.
Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, Amîrul Mukminîn wa Rabî’ul Khulafâ-ir Râsyidîn, Abdus Sattar Asy-Syaikh, Darul Qalam, Damaskus – Suriah, Cet. Ke-1, 1437 H/2016 M.
Hadîtsul Ghadîr, Abdul Wahhab Ath-Thariri.
‘Ashru Al-Khilâfah Ar-Râsyidah, DR. Akram Dhiya Al-Umari, Al-Ubaikan, Riyadh-KSA, Cet. Ke-5, 1427 H/2006 M.
Dalâ-ilun Nubuwah wa Ma’rifatu Ahwâli Shâhibisy Syarî’’ah, Abu Bakr Al-Baihaqi, Darul Kutub Al-Ilmiyyah – Beirut, Cet. Ke-1, 1405 H.
Mu’jamul Buldân, Syihabuddin Al-Humawi, Darush Shadr – Beirut, Cet. Ke-2, 1995 M.
Mukhtashar Minhâjus Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Peringkas: Abdullah bin Muhammad Al Ghunaiman, Dar Ash-Shiddiq, Shan’a – Yaman, Cety.Ke-8, 1426 H/2005 M.
Sirah Abi Turâb, Musa bin Rasyid Al-Azimi, Dar Ash-Shumai’i, Riyadh-KSA, Cet. Ke-1, 1441 H/2020 M.
Percikan Hikmah dari Kisah Tabi’in (Pembelaan Terhadap Ahlu Bait), Fariq Gasim Anuz, Pustaka Imam Syafi’I – Jakarta, Cet. Ke-1, Rajab 1436 H/Mei 2015 M.
Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif – Riyadh, Cet. Ke-1, 1415 h/1995 M.
Syarhu Shahîh Muslim, Abu Zakaria An-Nawawi, Dar Ihayaut Turats – Beirut, Cet. Ke-2, 1392 H.
Tafsîr Al-Manâr, Muhamad Rasyid Ridha, Al-Haiah Al-Mishriyyah Al-‘Ammah lil Kutub, 1990 M.
Referensi : https://almanhaj.or.id/